Anda di halaman 1dari 32

BOOKLET PIDANA INTERNASIONAL | 1

5. PENEGAKAN HUKUM PIDANA INTERNASIONAL MELALUI


PENGADILAN NASIONAL DAN PENGADILAN INTERNASIONAL

Pasal 1 Statuta Roma menyatakan secara jelas bahwasanya


keberadaan mahkamah atau pengadilan internasional ini menjadi
pelengkap dari yurisdiksi kejahatan nasional. Komplementaritas atau
pelengkap pada dasarnya dapat diartikan dengan memprioritaskan
pelaksanaan sistem peradilan nasional di atas peradilan
internasional untuk mengadili pelaku kejahatan internasional. 1 Hal
ini dikarenakan tiap-tiap negara memiliki kedudukan yang sama
sehingga keberadaan pengadilan internasional ini bukan untuk
mengganggu-gugat kedaulatan suatu negara dalam hal penerapan
pidana terhadap pelaku kejahatan.

Selanjutnya terkait dengan prosedur penegakan hukum pidana


internasional dapat dibedakan ke dalam dua cara, yakni:2

1) Direct enforcement system


Penegakan hukum pidana internasional secara langsung memilki
dua tujuan, yakni untuk melaksanakan pembentukan suatu
Mahkamah Pidana Internasional dan upaya untuk mengajukan
tuntutan dan peradilan terhadap pelaku tindak pidana
internasional melalui Mahkamah Pidana Internasional.

2) Indirect enforcement system


Penegakan hukum pidana internasional secara tidak langsung
adalah suatu upaya mengajukan tuntutan dan peradilan
terhadap para pelaku tindak pidana internasional melalui

1
Sari Aziz, Kedudukan Prinsip Komplementaritas Mahkamah Pidana Internasional Atas
Pemberian Amnesti Terhadap Pelaku Kejahatan Internasional, Jurnal Hukum dan
Pembangunan No. 3, 2004, hlm. 233.
2
Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Bandung: PT Refika
Aditama, 2016, hlm. 15.
BOOKLET PIDANA INTERNASIONAL | 2

undang-undang nasional. Dapat dilakukan melalui kerja sama


internasional, seperti ekstradisi, mutual legal assistance treaty
atau judicial assistance treaty antar dua negara atau lebih.

6. EKSTRADISI DALAM UPAYA PENEGAKAN HUKUM PIDANA


INTERNASIONAL

Dalam sejarahnya, tercatat bahwa proses penyerahan penjahat


pelarian dilakukan pertama kali melalui perjanjian damai antara
Raja Remeses II dari Mesir dengan Hattusili II dari Kheta yang dibuat
sekitar tahun 1279 SM. Salah satu poin dalam perjanjian damai
tersebut adalah untuk menyerahkan penjahat yang melarikan diri
atau berhasil ditemukan dalam wilayah pihak lainnya.3

A. PENGERTIAN
Ekstradisi berasal dari bahasa latin “extradere” yang berarti
menyerahkan atau “extradio” yang berarti penyerahan.
Sementara Starke mengartikan ekstradisi sebagai berikut:
“The term extradition denotes the process whereby
under treaty or upon a basis of reciprocity one state
surrenders to another state at its request a person
accused or convicted of a criminal offence committed
against the law of the requesting state competent to try
alleged offender”

Sejalan dengan pengertian tersebut, ektradisi juga dikenal


sebagai penyerahan oleh suatu negara kepada negara yang
meminta penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana
karena melakukan suatu kejahatan di luar wilayah negara yang

3
I Wayan Parthiana, Ekstradisi dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional
Indonesia, Bandung: CV Mandar Maju, 1990, hlm. 3. Sebagaimana mengutip
pendapat Arthur Nussbaum dalam bukunya yang berjudul A Concise History of the
Law of Nations.
BOOKLET PIDANA INTERNASIONAL | 3

menyerahkan dan di dalam yurisdiksi wilayah negara yang


meminta penyerahan tersebut, karena berwenang untuk
mengadili dan memidananya.4 Bagi Indonesia, perjanjian
ekstradisi merupakan suatu kewajiban internasional, karena
telah menjadi pihak dalam konvensi PBB Anti Korupsi 2003
(UNCAC).

B. UNSUR-UNSUR
Adapun beberapa unsur ekstradisi antara lain sebagai berikut:5
1) Subjek
 Negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili
kemudian bertindak sebagai pihak yang meminta
(requesting state).
 Negara tempat pelaku kejahatan (tersangka, tertuduh,
terdakwa) atau terpidana itu bersembunyi. Negara ini
selanjutnya diminta oleh negara yang meminta dan
disebut requested state.

2) Objek
Pelaku kejahatan yang diminta oleh requesting state kepada
requested state. Walaupun sebagai objek namun sebagai
manusia dia harus diperlakukan sebagai subjek hukum
dengan segala hak dan kewajibannya yang azasi, yang tidak
boleh dilanggar oleh siapapun.

3) Prosedur atau Tata Cara


Yakni harus dilakukan dengan berdasarkan prosedur atau
tata cara sesuai dengan formalitas tertentu suatu perjanjian.

4
Lihat ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1979
tentang Ekstradisi.
5
I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi, Bandung: CV Yrama
Widya, 2004, hlm. 129.
BOOKLET PIDANA INTERNASIONAL | 4

4) Tujuan
Penyerahan atau ekstradisi yang dimaksudkan bertujuan
untuk mengadili pelaku kejahatan dan menjatuhkan
hukuman apabila terbukti bersalah dan agar pelaku
kejahatan menjalani hukuman yang telah dijatuhkan
kepadanya yang telah mempunyai kekuatan hukum di negara
yang berwenang mengadilinya. Namun satu hal yang lebih
penting bukan hanya menyeret pelaku kejahatan ke depan
pengadilan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya
secara hukum, tetapi lebih jauh lagi sebagai upaya mencegah
makin meluasnya tindakan serupa yang akan mengancam
keamanan dan ketertiban serta keselamatan internasional
yang sudah menjadi tanggung jawab dari seluruh negara-
negara di dunia.

C. PRINSIP/ASAS
1) Asas kejahatan ganda (double criminality principle)
Suatu perbuatan yang dilakukan oleh orang yang diminta
haruslah merupakan kejahatan atau tindak pidana menurut
hukum pidana negara peminta maupun negara yang
diminta.6

2) Asas kekhususan (principle of speciality)


Pada intinya asas ini hanya memperbolehkan bagi negara
yang mengadili pelaku kejahatan untuk mengadili
berdasarkan kejahatan yang dijadikan alasan dilakukannya
ekstradisi. Jadi tidak diperkenankan untuk mengadili
berdasarkan kejahatan lainnya yang tidak dijadikan alasan.
Namun asas kekhsusan ini masih dapat dikesampingkan

6
Lihat ketentuan Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
1979 tentang Ekstradisi.
BOOKLET PIDANA INTERNASIONAL | 5

dengan syarat, negara-peminta harus meminta persetujuan


lebih dahulu kepada negara diminta atas keinginannya untuk
mengadili orang yang bersangkutan atas kejahatan yang lain
itu. Permintaan itu harus dilakukan secara tegas dalam
bentuk tertulis kepada negara-diminta. Jika negara-diminta
menyetujuinya dan persetujuan itupun juga harus
dinyatakan secara tegas dalam bentuk tertulis maka barulah
negara-peminta bisa mengadili orang yang bersangkutan atas
kejahatan lainnya itu. Akan tetapi tetap perlu ditegaskan,
kejahatan lain tersebut adalah kejahatan yang termasuk
dalam daftar jenis kejahatan yang dapat dijadikan sebagai
dasar untuk meminta pengekstradisiannya sebagaimana
ditentukan dalam perjanjian ekstradisi antar kedua negara
tersebut.7

3) Asas tidak menyerahkan warga negara (non-extradition of


nationals)
Negara diminta diberikan kekuasaan untuk tidak
menyerahkan warga negaranya kepada negara peminta
sehubungan dengan kejahatan yang dilakukannya di negara
tersebut dengan pertimbangan bahwa setiap negara wajib
melindungi warga negaranya.

4) Asas non bis in idem


Keberadaan asas ini untuk memberi kepastian hukum bagi
pelaku kejahatan agar tidak dilakukan penghukuman atas
kejahatan yang sama dua kali. Apabila pelaku kejahatan telah
dihukum di negara tempat ia berada, maka negara peminta
tidak dapat meminta penyerahan penjahat tersebut untuk
diekstradisi karena kejahatan yang sama yang baginya telah

7
I Wayan Parthiana, Ekstradisi dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional
Indonesia, Op.Cit., hlm. 125.
BOOKLET PIDANA INTERNASIONAL | 6

mempunyai kekuatan hukum yang pasti di negara tempat


pelaku kejahatan berada atau negara yang diminta.8

5) Asas daluarsa
Yakni tidak akan dilakukan ekstradisi atas kejahatan yang
penuntutan atau pelaksanaan hukumannya telah mencapai
masa daluarsa.9 Batasan waktu yang diberikan sehubungan
dengan ini bagi tiap-tiap perjanjian berbeda. Suatu peristiwa
dianggap daluarsa apabila telah lewat masa berlaku. Peristiwa
tersebut dibiarkan begitu saja sehingga dilupakan orang
seakan-akan tidak pernah terjadi.

6) Asas capital punishment


Yakni apabila suatu negara meminta dilakukannya ekstradisi
atas kejahatan yang ancaman hukumannya pidana mati atau
ada kemungkinan pelaku kejahatan akan dikenakan
hukuman mati, maka atas alasan ini ekstradisi tidak dapat
diterima. Namun demikian alasan penolakan ini dapat
dikecualikan bilamana negara yang meminta dapat menjamin
dengan penuh keyakinan bahwa ketentuan pidana mati tidak
akan dilaksanakan.10

D. MEKANISME PELAKSANAAN
8
Lihat ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1979
tentang Ekstradisi.
9
Lihat ketentuan Pasal 12 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1979
tentang Ekstradisi.
10
Lihat ketentuan Pasal 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1979
tentang Ekstradisi.
BOOKLET PIDANA INTERNASIONAL | 7

Apabila dijabarkan secara sederhana, maka mekanisme


pelaksanaan permohonan ekstradisi dapat dilakukan sebagai
berikut:11
1) Menyampaikan informasi mengenai pelaku yang akan
diesktradisi kepada negara yang akan dimintakan.
Informasinya berupa identitas pelaku, tindak pidana yang
dilanggar, peraturan perundang-undangan, atau sumber
hukum apa yang dilanggar.
2) Membuat keterangan dari pihak yang berwenang terkait
kelengkapan dokumen yang akan digunakan sebagai dasar
permintaan ekstradisi. Kalau pelaku berstatus sebagai
Terdakwa, maka disertai dengan surat penangkapan.
Sedangkan bila status pelaku sebagai Terpidana, maka
melampirkan keputusan hakim.
3) Dokumen yang telah lengkap selanjutnya disampaikan ke
negara yang dimintakan.

E. BIAYA
Semua biaya yang terkait dengan ekstradisi dibebankan kepada
Pihak yang wilayahnya merupakan tempat biaya tersebut
dikeluarkan. Biaya pengangkutan dan transit yang berhubungan
dengan penyerahan atau penjemputan orang yang diekstradisi
ditanggung pihak peminta. Apabila biaya tersebut merupakan
biaya yang tidak terduga, para pihak wajib berkonsultasi satu
sama lain untuk menyelesaikannya.

F. DAFTAR PERJANJIAN EKSTRADISI INDONESIA DENGAN


NEGARA LAIN

11
Arif Havas Oegroseno, Dalam Perjanjian Ekstradisi, yang Penting Bukan Prosedurnya,
diakses dari laman https://hukumonline.com/berita/baca/hol16751/arif-havas-
oegroseno-dalam-perjanjian-ekstradisi-yang-penting-bukan prosedurnya?
r=0&q=MEKANISME%20EKSTRADISI&rs=1847&re=2020, pada 03 Desember 2020.
BOOKLET PIDANA INTERNASIONAL | 8

1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1974


tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi antara Pemerintah
Republik Indonesia dan Pemerintah Malaysia.
2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1976
tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi antara Republik
Indonesia dan Republik Philippina serta Protokol.
3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1978
tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi antara Republik
Indonesia dan Kerajaan Thailand.
4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1994
tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi antara Republik
Indonesia dan Australia.
5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2007
tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi antara Republik
Indonesia dan Republik Korea.
6) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2014
tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi antara Republik
Indonesia dan Republik India.
7) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2015
tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi antara Republik
Indonesia dan Republik Sosialis Vietnam.
8) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2015
tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi antara Republik
Indonesia dan Papua.
9) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2017
tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi antara Republik
Indonesia dan Republik Rakyat China.
10) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2019
tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi antara Republik
Indonesia dan Persatuan Emirat Arab.
BOOKLET PIDANA INTERNASIONAL | 9

11) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2019


tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi antara Republik
Indonesia dan Republik Islam Iran.
BOOKLET PIDANA INTERNASIONAL | 10

7. BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM UPAYA PENEGAKAN


HUKUM PIDANA INTERNASIONAL
Latar belakang dibentuknya Mutual Legal Assistance adalah karena
perbedaan sistem hukum antara beberapa negara sehingga
menimbulkan sulitnya melakukan pemeriksaan kejahatan.
Seringkali tiap negara memiliki keinginan tersendiri untuk
menggunakan sistem hukumnya dalam menangani kejahatan, hal
inilah yang kemudian mengakibatkan proses pelaksanaan
pemeriksaan menjadi lamban dan berbelit-belit.12

Mengutip perkataan Komisaris Jenderal M.A. Erwin, MAP, Kepala


Badan Reserse Kriminal Kepolisian Republik Indonesia sebagaimana
dalam tulisan Elisatris Gultom yang berjudul Pembentukan Mutual
Legal Assistance sebagai salah satu upaya Pencegahan dan
Pemberantasan Kejahatan Transnasional Terorganisasi, dikatakan
bahwa:13
“Kendala yuridis (dalam penanganan kejahatan
transnasional terorganisasi- penulis) lebih
disebabkan oleh adanya perbedaan sistem hukum
pidana di antara negara anggota ASEAN. Ada
negara yang menganut Sistem Continental dan ada
pula yang menganut sistem Anglo Saxon. Perbedaan
besar terutama terdapat dalam sistem peradilan
pidana yaitu ada yang menganut Due Process
Model/DPM (lebih menitik beratkan pada
perlindungan HAM bagi tersangka, sehingga
menimbulkan birokrasi yang cukup panjang dalam
peradilan pidana) dan ada yang memilih Crime
Control Model/CCM (menekankan efisiensi dan
efektivitas peradilan pidana dengan berlandaskan
asas praduga tak bersalah)”

12
Elisatris Gultom, Pembentukan Mutual Legal Assistance sebagai salah satu upaya
Pencegahan dan Pemberantasan Kejahatan Transnasional Terorganisasi, diakses dari
laman https://elisatris.wordpress.com/mutual-legal-assistance-dalam-kejahatan-
transnasional-terorganisasi/, pada 03 Desember 2020.
13
Ibid.
BOOKLET PIDANA INTERNASIONAL | 11

A. PENGERTIAN
Mutual Legal Asisstance (MLA) atau bantuan timbal balik muncul
sebagai salah satu upaya dalam mengatasi dan memberantas
berbagai kejahatan yang sifatnya lintas batas atau
transnasional.14 Dalam ketentuan hukum positif di Indonesia,
bantuan timbal balik dapat diartikan sebagai permintaan
bantuan berkenaan dengan penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan negara yang diminta.15

B. RUANG LINGKUP
Pasal 7 Konvensi Wina Tahun 1988 menyatakan ruang lingkup
perjanjian timbal balik dalam masalah pidana terkait dengan hal-
hal sebagai berikut:
1) Memperoleh bukti-bukti atau keterangan dari tersangka;
2) Meningkatkan pelayanan atas dokumen pengadilan;
3) Melaksanakan penyelidikan dan penangkapan;
4) Memeriksa obyek dan lokasi;
5) Menyediakan keterangan dan barang bukti;
6) Menyediakan dokumen-dokumen, catatan-catatan asli atau
salinannya termasuk catatan bank, keuangan, perusahaan,
atau perdagangan;
7) Mengidentifikasi atau melacak hasil-hasil kejahatan,
kekayaan atau alat-alat atau barang-barang lain untuk
tujuan pembuktian.

Sedikit berbeda dengan ketentuan di atas, ruang lingkup


berdasarkan ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia

14
Romli Atmasasmita, Tindak Pidana Narkotika Transnasional dalam Sistem Hukum
Pidana Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1997, hlm. 7.
15
Lihat ketentuan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
2006 tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana.
BOOKLET PIDANA INTERNASIONAL | 12

Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik Dalam


Masalah Pidana antara lain:16

1) Mengidentifikasi dan mencari orang;


2) Mendapatkan pernyataan atau bentuk lainnya;
3) Menunjukkan dokumen atau bentuk lainnya;
4) Mengupayakan kehadiran orang untuk memberikan
keterangan atau membantu penyidikan;
5) Menyampaikan surat;
6) Melaksanakan permintaan penggeledahan dan penyitaan;
7) Perampasan hasil tindak pidana;
8) Memperoleh kembali sanksi denda berupa uang sehubungan
dengan tindak pidana;
9) Melarang transaksi kekayaan, membekukan aset yang dapat
dilepaskan atau disita, atau yang mungkin diperlukan untuk
memenuhi sanksi denda yang dikenakan, sehubungan
dengan tindak pidana;
10) Mencari kekayaan yang dapat dilepaskan, atau yang
mungkin diperlukan untuk memenuhi sanksi denda yang
dikenakan, sehubungan dengan tindak pidana; dan/atau
11) Bantuan lainnya yang sesuai dengan undang-undang ini.

C. PENOLAKAN BANTUAN TIMBAL BALIK


Dalam hal terdapat alasan sebagai berikut, maka pengajuan
bantuan timbal balik dapat ditolak antara lain:
1) Permintaan berkaitan dengan pelanggaran oleh negara yang
diminta dianggap sebagai pelanggaran politik atau terkait
dengan politik;
2) Permintaan berkaitan dengan pelanggaran menurut hukum
militer;
16
Lihat ketentuan Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
2006 tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana.
BOOKLET PIDANA INTERNASIONAL | 13

3) Negara yang diminta menganggap bahwa pelaksanaan suatu


permintaan cenderung merugikan kedaulatan, ketertiban,
dan kepentingan negara;
4) Permintaan menyangkut fakta-fakta yang menjadi dasar
pembebasan, pengampunan, atau hukuman dari seseorang
yang diadili;
5) Permintaan dibuat untuk menuntut atau menghukum
seseorang karena ras, agama, kebangsaan, etnis, jenis
kelamin, atau pandangan politiknya;
6) Proses pidana terhadap orang yang dituntut melanggar hak
asasi manusia;
7) Permintaan berkaitan dengan pelanggaran yang diancam
hukuman mati di negara peminta.

G. DAFTAR PERJANJIAN BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK


ANTARA INDONESIA DENGAN NEGARA LAIN
1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2006
tentang Pengesahan Perjanjian Mengenai Bantuan Hukum
Timbal Balik Dalam Masalah Pidana antara Republik
Indonesia dan Republik Rakyat China.
2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2012
tentang Pengesahan Perjanjian Mengenai Bantuan Hukum
Timbal Balik Dalam Masalah Pidana antara Republik
Indonesia dan Pemerintah Daerah Administrasi Khusus Hong
Kong Republik Rakyat China.
3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2014
tentang Pengesahan Perjanjian Mengenai Bantuan Hukum
Timbal Balik Dalam Masalah Pidana antara Republik
Indonesia dan Republik Korea.
4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2014
tentang Pengesahan Perjanjian Mengenai Bantuan Hukum
BOOKLET PIDANA INTERNASIONAL | 14

Timbal Balik Dalam Masalah Pidana antara Republik


Indonesia dan Republik India.
5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2015
tentang Pengesahan Perjanjian Mengenai Bantuan Hukum
Timbal Balik Dalam Masalah Pidana antara Republik
Indonesia dan Republik Sosialis Vietnam.
6) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019
tentang Pengesahan Perjanjian Mengenai Bantuan Hukum
Timbal Balik Dalam Masalah Pidana antara Republik
Indonesia dan Persatuan Emirat Arab.
7) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2019
tentang Pengesahan Perjanjian Mengenai Bantuan Hukum
Timbal Balik Dalam Masalah Pidana antara Republik
Indonesia dan Republik Islam Iran.
8) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2020
tentang Pengesahan Perjanjian Mengenai Bantuan Hukum
Timbal Balik Dalam Masalah Pidana antara Republik
Indonesia dan Konferederasi Swiss.
BOOKLET PIDANA INTERNASIONAL | 15

8. PENEGAKAN HUKUM PIDANA INTERNASIONAL MELALUI


PENGADILAN INTERNASIONAL AD HOC

A. NUREMBERG TRIBUNAL
Nuremberg Tribunal atau International Military Tribunal (IMT)
merupakan pengadilan pertama yang dibentuk di dunia untuk
mengadili para penjahat perang dan kejahatan serius lainnya.
Nama Nuremberg digunakan karena tempat pelaksanaan
persidangan untuk menghukum para pemimpin politik dan
militer Nazi serta organisasi yang berafiliasi dengan Nazi terjadi
di Kota Nuremberg (Nürnberg) tepatnya di Palace of Justice.

Pengadilan ini diakui secara resmi oleh Majelis Umum PBB


melalui resolusi tanggal 11 Desember 1946. 17 Adapun tuntutan
yang diajukan Jaksa terhadap para pelaku kejahatan tersebut
antara lain:
1) Konspirasi melakukan kejahatan terhadap perdamaian,
kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan;
2) Kejahatan terhadap perdamaian;
3) Kejahatan perang;
4) Kejahatan terhadap kemanusiaan.

Masing-masing dari keempat negara Sekutu—Amerika Serikat,


Britania Raya, Uni Soviet, dan Prancis—menunjuk seorang
hakim dan tim penuntut. Hakim Ketua Geoffrey Lawrence dari
Britania Raya bertindak sebagai hakim ketua pengadilan
tersebut. Peraturan pengadilan dihasilkan dari penyesuaian
antara sistem peradilan Kontinental dan Anglo-Amerika.

PARA TERDAKWA
17
Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Op.Cit., hlm. 11.
BOOKLET PIDANA INTERNASIONAL | 16

Terdapat 24 orang Terdakwa untuk mewakili pemimpin Nazi di


bidang diplomasi, ekonomi, politik, dan militer, antara lain Adolf
Hitler, Heinrich Himmler, dan Joseph Goebbels tidak pernah
menjalani persidangan, karena telah melakukan bunuh diri
sebelum perang berakhir. Oleh karena itu hanya 21 orang
Terdakwa yang muncul di pengadilan. Industrialis Jerman,
Gustav Krupp dimasukkan dalam dakwaan awal, tetapi ia sudah
tua dan dalam kondisi sakit-sakitan. Dalam sidang pendahuluan
diputuskan untuk mengecualikannya dari proses peradilan.
Sekretaris Partai Nazi, Martin Bormann diadili dan dijatuhi
hukuman secara in absentia (tanpa kehadirannya dalam
persidangan). Robert Ley melakukan bunuh diri pada malam
sebelum persidangan.

PUTUSAN
Para Hakim memberikan putusan kepada dua belas Terdakwa
berupa hukuman mati dengan cara digantung, yakni Joachim
von Ribbentrop, Hans Frank, Alfred Rosenberg, dan Julius
Streicher. Sementara Hermann Goering lolos dari tiang
gantungan karena melakukan bunuh diri pada malam sebelum
hukuman mati dijatuhkan. Selanjutnya hukuman penjara
seumur hidup dijatuhkan kepada tiga Terdakwa dan kurungan
penjara 10 hingga 20 tahun kepada empat Terdakwa, dan
pembebasan kepada tiga orang Terdakwa lainnya. 18 Selain itu
ditetapkan juga 6 organisasi yang terlibat dalam Perang Dunia II
sebagai organisasi kejahatan dan membebaskan 2 organisasi dari
tuduhan.19

KRITIK/KELEMAHAN
18
Ibid., hlm. 12.
19
Ibid.
BOOKLET PIDANA INTERNASIONAL | 17

Kritikan tajam terhadap Nuremberg Tribunal adalah terkait


retroaktivitas, Nuremberg Tribunal dituding menggunakan
ketentuan ex post facto, bahwa istilah dan definisi dari Crimes
against Peace, War Crimes, dan Crimes against Humanity dibuat
dan dirumuskan oleh pihak sekutu agar dapat menghukum
penjahat perang Jerman. Kemudian terkait selektivitas, bahwa
pada Nuremberg Tribunal, hanya penjahat perang Jerman saja
yang dihadapkan ke persidangan, sementara dugaan kejahatan
sama yang dilakukan oleh pihak sekutu diabaikan. Dengan
demikian pengadilan ini dianggap masih berat sebelah. Seperti
halnya Truman yang memerintahkan pengeboman terhadap
Hiroshima dan Nagasaki yang menewaskan ratusan ribu orang
termasuk perempuan dan anak-anak. Red Army Uni Soviet yang
membunuh 15.000 orang petugas Polandia yang dikubur dalam
kuburan masal di Katyn Forest. Suatu hal yang sering disebut
sebagai victor’s justice, yang mana menurut Bassiouni
merupakan “avoidable error”.

B. TOKYO TRIBUNAL
Mahkamah Tokyo dikenal juga dengan nama Pengadilan Militer
Internasional untuk Timur Jauh adalah pengadilan internasional
yang merupakan pengadilan ad hoc yang ada untuk mengadili
para pemimpin kekaisaran Jepang atas tiga kategori kejahatan,
yakni kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang, dan
kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan selama Perang
Dunia II. Mahkamah Tokyo memiliki peranan penting dalam
upaya pembentukan Mahkamah pidana Internasional dan
sekaligus dalam pelaksanaan penegakan Hukum Humaniter
Internasional. Selain itu juga dapat menjamin dan melindungi
martabat Hak Asasi Manusia.
BOOKLET PIDANA INTERNASIONAL | 18

Berbeda dengan Mahkamah Nuremberg yang berbentuk Treaty


yang disusun oleh beberapa negara. Keberadaan Tokyo Tibunal
dibentuk berdasarkan suatu pernyataan atau proklamasi
Komandan Tertinggi Pasukan Sekutu di Timur Jauh yaitu
Jenderal Douglas MacArthur. Kemudian oleh Negara Amerika
Serikat disusun Piagam untuk Mahkamah ini yang pada
dasarnya mengacu kepada Piagam Mahkamah Nuremberg.

Adanya konsep tanggung jawab komando yaitu yang menyatakan


bahwa Pemimpin, penyelenggara, pencetus, dan pembantu yang
ikut ambil bagian dalam perencanaan atau pelaksanaan dari
sebuah rencana bersama atau konspirasi untuk melakukan
kejahatan yang mana saja yang masuk dalam yurisdiksi
pengadilan bertanggung jawab atas segala tindakan yang
dilakukan oleh siapa pun dalam pelaksanaan rencana atau
konspirasi tersebut.

C. INTERNATIONAL CRIMINAL TRIBUNAL FOR THE FORMER


RWANDA (ICTR)
International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) yang
berkedudukan di Arusha, Tanzania ini dibentuk melalui Resolusi
Dewan Keamanan PBB No 955, tanggal 8 November 1994. Tugas
utamanya adalah meminta pertanggungjawaban para pelaku
pembunuhan masal terhadap kurang lebih 800.000 orang
Rwanda terutama dari suku Tutsi. Dalam putusannya ICTR
menyatakan bahwa para pelaku terbukti terlibat baik secara
langsung maupun tidak langsung dalam tindakan-tindakan
kekerasan pemusnahan etnis yang terencana dan terorganisir
sebelumnya.

Berbeda dengan ICTY, ICTR dalam melaksanakan tugasnya


mendapat dukungan dan kerja sama yang baik dari negara-
BOOKLET PIDANA INTERNASIONAL | 19

negara Afrika lainnya untuk menyerahkan para tertuduh yang


kedapatan ada di wilayahnya. Sebagai contoh mantan Menteri
Kehakiman Rwanda Mathieu Ngirumpatse ditangkap pada 11
Juni 1998 di Mali yang kemudian diserahkan pada ICTR.
Penyerahan juga dilakukan oleh Kenya dan Afrika Selatan
terhadap Dr Casimir Bizimungu, Eliezer Niyitegeke dan Ignace
Bagliishema para mantan pejabat sipil dan militer yang dituduh
sebagai penjahat perang. Kerja sama juga diperoleh dari negara-
negara barat. Perancis, misalnya pada tanggal 8 Maret 2000
menyerahkan Jean de Dieu Kamuhanda yang dituduh
melakukan perbuatan pemusnahan ras dan kejahatan terhadap
kemanusiaan ke ICTR ketika yang bersangkutan berada di
wilayahnya. Perancis juga sedang mengupayakan pemindahan
Franchois Xavier Nzuwomeneye, mantan Perwira Tinggi Rwanda
yang dituduh melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan dan
berhasil ditangkap di Mountauban, Perancis. Partisipasi aktif ini
merupakan perkembangan positif bagi kegiatan ICTR.

D. INTERNATIONAL CRIMINAL TRIBUNAL FOR THE FORMER


YUGOSLAVIA (ICTY)

International Criminal Tribunal for The Former Yugoslavia (ICTY)


merupakan pengadilan internasional ketiga dan terbesar kedua
setelah Pengadilan Nuremberg yang dibentuk untuk mengadili
individu-individu pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan,
kejahatan perang, pelanggaran berat Konvensi Jenewa 1949 serta
genocide.20 Pengadilan internasional pertama dan kedua dibentuk
oleh Sekutu sebagai pemenang perang (Amerika Serikat,
Perancis, Inggris, Rusia) pada 1946 di Nuremberg dan 1949 di
Tokyo untuk kasus kejahatan perang pada Perang Dunia ke II.
20
Boer Maulana, Hukum Internasional dan Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era
Dinamika Gobal, Bandung: PT Alumni, 2003, hlm. 283.
BOOKLET PIDANA INTERNASIONAL | 20

Dari dua pengadilan pertama ini lahir suatu ketentuan hukum


yang sangat fundamental dalam hukum internasional yakni
menempatkan individu sebagai subjek hukum internasional.
Ketentuan hukum internasional sebelumnya tidak memasukkan
individu sebagai subjek hukum internasional, maka tidak
demikian halnya dari putusan pengadilan tahun 1946 dan 1949
tersebut. Menurut pandangan pengadilan internasional saat itu
"Kejahatan terhadap hukum internasional dilakukan manusia,
bukan oleh kesatuan abstrak, dan hanya menghukum individu-
individu yang melakukan kejahatan demikian, ketentuan-
ketentuan hukum internasional dapat dijalankan". Dengan
demikian individu tidak dapat lagi berlindung dibalik negaranya
terhadap kejahatan-kejahatan (kejahatan perang) yang
dilakukannya.

ICTY dibentuk oleh Dewan Keamanan PBB melalui Resolusinya


Nomor 827 tanggal 25 Mei 1993. Tugas, kewenangan, dan
mekanisme kerja ICTY diatur dalam Statute of ICTY 1993.
Berdasarkan Pasal 1 Statute, tugas ICTY yang berkedudukan di
Den Haag tersebut adalah untuk mengadili orang-orang yang
bertanggung jawab atas pelanggaran-pelanggaran berat terhadap
hukum humaniter internasional yang terjadi di negara bekas
Yugoslavia sejak 1991.

Pada 3 Maret 2000, Mahkamah menjatuhkan penjara 45 tahun


kapada Jendral Kroasia Bosnia Tihomir Blaskic yang telah
mengorganisir ethnic cleansing terhadap orang-orang muslim
salama parang Bosnia 1992-1995. Jendral paling senior ini juga
dituduh melakukan pelanggaran berat terhadap Konvensi
Janewa 1949. Putusan Mahkamah manyatakan bahwa Blaskic
tidak membunuh orang-orang muslim dengan tangannya sendiri,
tetapi la tetap bersalah karena tidak berusaha mencegah
terjadinya kejahatan-kajahatan dan menghukum pelakunya.
BOOKLET PIDANA INTERNASIONAL | 21

Dalam upayanya menangkap para tartuduh, ICTY yang tidak


memiliki polisi sendiri cukup kesulltan, tarpaksa harus
mangandalkan kerja sama penguasa suatu nagara di mana para
tertuduh berada. Dalam hal ini mamang negara-negara bekas
Yugoslavia kurang menunjukkan kerja sama dengan ICTY,
sehingga masalah banyak orang-orang panting yang menjadi
tertuduh masalah menduduki jabatan-jabatan penting
pemerintahan di negaranya. Menanggapi parmasalahan ini, DK
PBB memang telah mengeluarkan resolusi-resolusi No. 1160,
1199, 1203, dan 1207 yang menegaskan hak penuntut umum
untuk melakukan pameriksaan di Kosovo dan mewajibkan
Republik Federal Yugoslavia bekerjasama dengan ICTY, tetapi
resolusi tersebut belum ditaati sepenuhnya oleh pemerintah
Yugoslavia, masalah banyak para tertuduh yang tidak diserahkan
ke ICTY, malah justru dilindungi dan diberi kadudukan penting
di pemerintahan.

E. PENGADILAN HYBRID
Hybrid Court atau Mixed Court merupakan sebuah tribunal yang
mengkombinasikan atau menggabungkan hukum internasional
dengan nasional, termasuk aparatur pengadilannya.21 Urgensi
pembentukan hybrid tribunal adalah untuk mengatasi
permasalahan yang ada dalam sistem hukum domestik yang
dinilai masih tergolong lemah dalam menangani kasus kejahatan
internasional dan juga karena adanya impunitas. 22 Salah satu
penyebab impunitas adalah adanya terdapat rasa sungkan atau
enggan mengadili pelaku kejahatan internasional yang jelas-jelas

21
Shaw N. Malcolm, International Law, Cabridge: Grotius Publication Limited, 2008, hlm. 417.
22
Daniel Brando Makalew, Pengadilan Campuran (Hybrid Tribunal) Dalam Perspektif
Hukum Pidana Internasional, Jurnal Lex Privatum Vol. VIII No. 3, September 2020,
hlm. 80.
BOOKLET PIDANA INTERNASIONAL | 22

harus diadili karena sudah melanggar norma-norma hukum


pidana internasional.

Berikut akan sedikit dibahas mengenai hybrid tribunal atas


dasar perjanjian internasional:

1) HYBRID TRIBUNAL SIERRA LEON


Pembentukan The Special Court for Sierra Leone merupakan
suatu keinginan dari rakyat Sierra Leone yang diajukan oleh
Presidennya kepada Dewan Keamanan PBB pada tahun 2000
dengan tujuan untuk mengadili kejahatan kemanusiaan di
Sierra Leone.23 Atas permintaan tersebut, Dewan Keamanan
PBB lantas menerbitkan Resolusi Nomor 1315 Tahun 2000.
Pada Januari 2002, PBB dan pemerintah Sierra Leone
menandatangani perjanjian bersama tentang pembentukan
pengadilan pidana internasional beserta Statutanya.24
Selanjutnya pengadilan campuran inilah yang kemudian
dikenal sebagai “Pengadilan Khusus untuk Sierra Leone”
(Special Court for Sierra Leone).

Sebagaimana pengadilan campuran, Pemerintah Sierra Leone


dan PBB masing-masing memiliki kewenangan untuk
mengangkat sebagian hakim, penuntut umum, dan panitera.
Selanjutnya terkait dengan biaya operasional pengadilan,
ditentukan berasal dari sumbangan sukarela masyarakat
internasional dan apabila tidak mencukupi maka akan
diupayakan jalan lain oleh Sekretaris Jenderal dan Dewan
Keamanan PBB.25

23
I Made Pasek Diantha, Hukum Pidana Internasional Dalam Dinamika Pengadilan
Pidana Internasional, Jakarta: Prenamedia Group, 2014, hlm. 93.
24
Ibid.
25
Ibid., hlm. 94.
BOOKLET PIDANA INTERNASIONAL | 23

Tujuan utama pemerintah dan Sierra Leone dan PBB


membentuk The Special Court for Sierra Leone diantaranya: 26
 Untuk melindungi dan menjaga kejahatan yang telah
terjadi terulang kembali.
 Untuk mencari kebenaran sejarah tentang kejahatan
terhadap kemanusiaan selama perang sipil.
 Memberikan keadilan bagi para korban kejahatan
terhadap kemanusiaan selama perang sipil.
 Sebagai salah satu model dari lembaga peradilan
nasional Sierra Leone dan sebagai bentuk kontribusi
terhadap reformasi sistem peradilan nasional Sierra
Leone.

2) HYBRID TRIBUNAL KAMBOJA


Pengadilan campuran di Kamboja yang dinamakan dengan
"the Extraordinary Chambers" didirikan pada tahun 2003
berdasarkan perjanjian antara PBB dengan pemerintah
Kamboja yang ditandatangani pada tanggal 6 Juni 2003
dalam rangka mengadili pemimpin Khmer Merah yang masih
hidup atas dakwaan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Terdakwa yang diadili dalam kasus ini antara lain mantan
Panglima Tentara Khmer Merah Ta Mok, kepala interogator
Kaing Khek Iev, presiden Khieu Samphan, menteri luar negeri
Ieng Sary, dan Nuon Chea. Mereka ini merupakan pejabat
senior Khemer Merah yang merencanakan dan memberikan
perintah bagi para prajurit bawahannya. Hukuman yang
disiapkan adalah tuntutan hukum maksimal seumur hidup
dan minimal selama lima tahun penjara. Berdasarkan pasal 2
Perjanjian tersebut menyebutkan bahwa Extraordinary
26
Daniel Brando Makalew, Pengadilan Campuran (Hybrid Tribunal) Dalam Perspektif
Hukum Pidana Internasional, Op.Cit., hlm. 81.
BOOKLET PIDANA INTERNASIONAL | 24

Chamber tersebut memiliki jurisdiksi yang menyangkut


berbagai pembunuhan, kekejaman dan kejahatan
internasional seperti genosida, kejahatan terhadap
kemanusiaan, pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa
dan kejahatan terhadap orang-orang yang dilindungi menurut
hukum internasional.

Selanjutnya terkait dengan dana operasional yang digunakan


untuk membiayai pengadilan ini digunakan dana dari pihak
internal pemerintah Kamboja dan "Trust Fund" PBB (dalam
kurun waktu tiga tahun berjumlah 56,3 juta Dollar). Karena
banyak pihak yang terlibat dalam pengadilan kasus ini dan
tidak semuanya orang asli Kamboja, maka terkait dengan
bahasa yang digunakan adalah bahasa Khmer, bahasa Inggris
dan bahasa Prancis sehingga diharapkan dapat meminimalisir
kerancuan bahasa dan salah penafsiran.

Unsur Hybrid Court


Adapun unsur hybrid court dalam kasus ini terlihat dari
ketentuan hukum yang digunakan untuk menuntut dan
mengadili para Terdakwa dalam kasus ini. Sesuai dengan
kesempakatan yang telah dibuat, Terdakwa dalam kasus ini
akan dikenakan aturan hukum nasional Kamboja dan aturan
hukum internasional lainnya, yakni:
a) Pasal 3 law on Extraordinary Chamber mengenai
pembunuhan, penyiksaan dan penganiayaan religius
diambil dari pasal 209, pasal 210, pasal 500, pasal 501,
pasal 503, pasal 504, pasal 505, pasal 506, pasal 507,
pasal 508 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
kamboja 1956;
b) Pasal 4 Law on Extraordinary Chamber adalah mengenai
genosida sesuai dengan Konvensi Genosida tahun 1948;
BOOKLET PIDANA INTERNASIONAL | 25

c) Pasal 5 Law on Extraordinary Chamber terkait kejahatn


terhadap kemanusiaan yang diambil dari Statue of the
International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR);
d) Pasal 6 Law on Extraordinary Chambers menyangkut
kejahatan perang yang secara terbatas meliputi
pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa 1949;
e) Pasal 7 Law on Extraordinary Chamber adalah
penegakan Konvensi Den Haag 154 tentang perlindungan
Benda-Benda Budaya selama Konflik bersenjata;
f) Pasal 8 Law on Extraordinary Chamber berkaitan dengan
Konvensi Wina 1961 Mengenai Hubungan Diplomatik.
Dalam hal ini dibahas kejahatan terhadap orang-orang
yang dilindungi menurut hukum internasional.

Selanjutnya dari segi hukum beracara, hal yang kemudian


terlihat sebagai unsur hybrid terletak pada komposisi Majelis
Hakim dan Penuntut Umum yang berwenang mengadili.
Komposisi dari Extraordinary Chamber in the Court of
Cambodia terdiri dari, chambers and judicial office
(mahkamah dan kantor peradilan) dan office of administration
(kantor administrasi). Chamber and judiciary office
beranggotakan para hakim yang berasal dari Kamboja dan
PBB dengan ketentuan sebagai berikut:27
a) Pada tingkat pertama (trial chambers), jumlah hakimnya
terdiri dari 5 orang dengan komposisi 3 hakim Kamboja
dan 2 hakim PBB.
b) Pengadilan banding melibatkan 7 hakim dengan
komposisi 4 hakim Kamboja dan 3 hakim PBB.
c) Majelis hakim pada Mahkamah Agung (supreme Court
chamber) beranggotakan 7 hakim (termasuk hakim

27
Extraordinary Chambers in the Court of Cambodian (ECCC), Judicial Chambers
diakses dari http://www.eccc.gov.kh/en/judicial-chamber pada 27 November 2020.
BOOKLET PIDANA INTERNASIONAL | 26

banding dan hakim pada tingkat akhir) dengan


ketentuan 4 hakim Kamboja dan 3 hakim PBB yang
dipilih oleh Mahkamah Agung berdasarkan rekomendasi
dari Sekjen PBB.

Selain itu juga terdapat co-investigation judges atau hakim-


hakim independen yang memeriksa hasil investigasi (satu
Hakim Kamboja dan satu Hakim Internasional) yang
bertanggung jawab dalam hal penyelidikan, dan juga ada dua
orang Penuntut Umun (satu orang dari Kamboja dan satu
orang lainnya dari Penuntut Umum Internasional) yang
bertanggung jawab dalam hal penuntutan.

Kelemahan
Kelemahan dari hybrid court ini adalah terkait dengan limited
jurisdiction, yakni terbatas hanya kepada pihak yang palng
bertanggung jawab dalam kasus ini yang diadili. Dalam
pengadilan Kamboja ini Terdakwa yang diadili merupakan
petinggi Khmer Merah yang berjumlah lima orang dan terlibat
secara langsung sebagai otak atau dalang dari adanya kasus
ini. Dengan keterbatasan tersebut lantas pengadilan ini gagal
memasukkannya ke dalam kategori kejahatan kemanusiaan
yang berefek luas dan sistematis. Limited jurisdiction ini
sejatinya menimbulkan suatu ketidakadilan dalam mengadili
suatu kasus. Sebagaimana yang diketahui bahwa kasus
kemanusiaan di Kamboja menewaskan kurang lebih dua juta
orang. Sehingga bila hanya mengadili pelaku yang berjumlah
lima orang akan terkesan tidak adil, karena nyatanya pelaku
yang terlibat lebih dari itu dengan memiliki porsinya masing-
masing.

3) HYBRID TRIBUNAL LEBANON


BOOKLET PIDANA INTERNASIONAL | 27

Terjadinya perang saudara di Lebanon mengakibatkan


terbunuhnya Perdana Menteri Hariri melalui serangan bom
pada tanggal 14 Februari 2005 yang terindikasi sebagai
kejahatan terorisme. Besoknya tanggal 15 Februari 2005,
Dewan Keamanan PBB mengutuk pemboman itu dan
menyerukan pemerintah Lebanon segera menindak
pelakunya.28

Selanjutnya Dewan Keamanan PBB atas persetujuan


pemerintah Lebanon membentuk Komisi Investigasi
Independen pada tanggal 7 April 2005. Komisi menyimpulkan
bahwa memang ada bukti keterlibatan pemerintah Suriah
dalam serangan teroris pada tanggal 14 Februari 2005, paling
sedikit ada 19 orang teroris terlibat dalam pemboman yang
menyebabkan tewasnya Hariri. Setelah dilakukannya
investigasi tersebut, pemerintah Lebanon pada tanggal 13
Desember 2005 menulis surat kepada Dewan Keamanan agar
membentuk pengadilan pidana internasional untuk mengadili
para teroris dan penjahat lainnya. Dewan Keamanan
merespons surat itu dengan sebuah rencana pembentukan
pengadilan pidana campuran seperi model Sierra Leone,
setelah terlebih dahulu membuat perjanjian kesepakatan
antara PBB dan pemerintah Lebanon.29 Perlunya dibentuk
pengadilan pidana khusus untuk mengadili kejahatan yang
ada di Lebanon ini adalah dikarenakan terhadap jenis
kejahatan terorisme bukan merupakan yurisdiksi
International Criminal Court (ICC).

28
Daniel Brando Makalew, Pengadilan Campuran (Hybrid Tribunal) Dalam Perspektif
Hukum Pidana Internasional, Op.Cit., hlm. 82.
29
I Made Pasek Diantha, Hukum Pidana Internasional Dalam Dinamika Pengadilan
Pidana Internasional, Op.Cit., hlm. 105.
BOOKLET PIDANA INTERNASIONAL | 28

Akhirnya Dewan Keamanan menerbitkan Resolusi 1757/2007


yang isinya antara lain:
 Pembentukan pengadilan pidana campuran merupakan
kewajiban bersama antara PBB dan pemerintah
Lebanon.
 Resolusi ini dilampiri naskah perjanjian kesepakatan
antara PBB dan Lebanon serta dilampiri pula naskah
Statuta pengadilan.
 Sumber biaya operasional pengadilan, komposisinya 51%
sumbangan sukarela dari berbagai pihak dan 49% dari
pemerintah Lebanon.

Selain hybrid tribunal atas perjanjian internasional, juga terdapat


hybrid tribunal yang dibentuk oleh PBB atau International
Administration, antara lain:

1) HYBRID TRIBUNAL KOSOVO


Pada Juni tahun 1999, setelah pemboman yang dilakukan
NATO telah menghentikan pemusnahan etnis dan kekejaman
yang dilakukan oleh tentara Serbia terhadap populasi etnis
Albania di Kosovo, Dewan Keamanan PBB melalui Resolusi
1244 membentuk pemerintah transisi di Kosovo yang disebut
United Nations Interim Administration in Kosovo untuk
menjaga keamanan dan pertahanan di daerah tersebut
dengan melakukan fungsi administrasi dasar untuk
masyarakat sipil termasuk pendirian hukum masyarakat dan
ketertiban, mengkoordinasikan bantuan kemanusiaan dan
bencana, memfasilitasi proses penentuan masa depan Kosovo.
30

30
Daniel Brando Makalew, Pengadilan Campuran (Hybrid Tribunal) Dalam Perspektif
Hukum Pidana Internasional, Op.Cit., hlm. 84.
BOOKLET PIDANA INTERNASIONAL | 29

Tugas-tugas dari United Nations Interim Administration in


Kosovo tidak mudah dilaksanakan. Banyak dari infrastruktur
fisik dari sitem peradilan misalnya bangunan pengadilan,
perpustakaan hukum, perlengkapan telah hancur saat
terjadinya konflik dan diskriminasi terhadap etnis Albania,
keadaan ini juga mengakibatkan sistem peradilan lokal tidak
memiliki kapasitas atau independensi untuk mengadakan
suatu peradilan. ICTY pun tidak mampu untuk menangani
kasus tersebut karena penuntut umum ICTY menegaskan
bahwa pengadilan internasional ini hanya dapat dilaksanakan
bagi individu yang melakukan kejahatan besar pula, dan juga
penjara yang tidak manusiawi bagi para tahanan yang
31
mencederai standar HAM internasional. Atas alasan
tersebut kemudian dibentuk pengadilan khusus yang
dinamakan Kosovo War and Ethnic Crimes Court yang
memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan perang, kejahatan
serius dalam hukum humanitarian dan kejahatan terhadap
etnis tertentu. Pengadilan ini memiliki yurisdiksi yang sama
dengan ICTY tetapi lebih terfokus kepada pelaku kejahatan
yang tidak disidang dalam ICTY.

2) HYBRID TRIBUNAL BOSNIA HERZEGOVINA


Sama seperti Kosovo, wilayah Bosnia Herzegovina sebenarnya
secara teritorial dicakup juga oleh jurisdiksi ICTY. Namun,
dipahami bahwa ICTY terutama dibentuk dalam situasi
genting dan lebih difokuskan pada prosekusi terhadap tokoh-
tokoh kunci dalam konflik Yugoslavia. Pembentukan War
Crimes Chamber juga didorong oleh kebutuhan ICTY untuk
menyelesaikan tugasnya dengan sesuai tenggat waktu yang
diberikan oleh Dewan Keamanan PBB, sehingga transfer
perkara kepada War Crimes Chambers dianggap sebagai salah
31
Ibid.
BOOKLET PIDANA INTERNASIONAL | 30

satu solusi seraya memperkuat kapasitas pengadilan nasional


Bosnia Herzegovina untuk mengadili kejahatan internasional
dengan standar internasional pula.32

32
Ibid., hlm. 85.
BOOKLET PIDANA INTERNASIONAL | 31

DAFTAR PUSTAKA

DOKUMEN HUKUM

Undang-Undang Republik Indonesia tentang Ekstradisi. UU Nomor 1


Tahun 1979. LN. 2 Tahun 1982. TLN No. 3130.
Undang-Undang Republik Indonesia tentang Bantuan Timbal Balik
Dalam Masalah Pidana. UU Nomor 1 Tahun 2006. LN. 18 Tahun
2006. TLN. 4607.
Undang-Undang Republik Indonesia tentang Kejaksaan Republik
Indonesia. UU Nomor 16 Tahun 2004. LN. 67 Tahun 2004. TLN.
4401.

BUKU
Boer Maulana, Hukum Internasional dan Pengertian, Peranan dan
Fungsi dalam Era Dinamika Gobal, Bandung: PT Alumni, 2003.
I Made Pasek Diantha, Hukum Pidana Internasional Dalam Dinamika
Pengadilan Pidana Internasional, Jakarta: Prenamedia Group,
2014.
I Wayan Parthiana, Ekstradisi dalam Hukum Internasional dan Hukum
Nasional Indonesia, Bandung: CV Mandar Maju, 1990.
I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi,
Bandung: CV Yrama Widya, 2004.
Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Bandung:
PT Refika Aditama, 2016.
Romli Atmasasmita, Tindak Pidana Narkotika Transnasional dalam
Sistem Hukum Pidana Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 1997.
BOOKLET PIDANA INTERNASIONAL | 32

DOKUMEN LAINNYA
Arif Havas Oegroseno, Dalam Perjanjian Ekstradisi, yang Penting Bukan
Prosedurnya, diakses dari laman
https://hukumonline.com/berita/baca/hol16751/arif-havas-
oegroseno-dalam-perjanjian-ekstradisi-yang-penting-bukan
prosedurnya?r=0&q=MEKANISME
%20EKSTRADISI&rs=1847&re=2020, pada 03 Desember 2020.
Daniel Brando Makalew, Pengadilan Campuran (Hybrid Tribunal) Dalam
Perspektif Hukum Pidana Internasional, Jurnal Lex Privatum Vol.
VIII No. 3, September 2020.
Elisatris Gultom, Pembentukan Mutual Legal Assistance sebagai salah
satu upaya Pencegahan dan Pemberantasan Kejahatan
Transnasional Terorganisasi, diakses dari laman
https://elisatris.wordpress.com/mutual-legal-assistance-dalam-
kejahatan-transnasional-terorganisasi/, pada 03 Desember
2020.
Extraordinary Chambers in the Court of Cambodian (ECCC), Judicial
Chambers diakses dari http://www.eccc.gov.kh/en/judicial-
chamber pada 27 November 2020.
Sari Aziz, Kedudukan Prinsip Komplementaritas Mahkamah Pidana
Internasional Atas Pemberian Amnesti Terhadap Pelaku
Kejahatan Internasional, Jurnal Hukum dan Pembangunan No.
3, 2004.
Shaw N. Malcolm, International Law, Cabridge: Grotius Publication
Limited, 2008.

Anda mungkin juga menyukai