1
Sari Aziz, Kedudukan Prinsip Komplementaritas Mahkamah Pidana Internasional Atas
Pemberian Amnesti Terhadap Pelaku Kejahatan Internasional, Jurnal Hukum dan
Pembangunan No. 3, 2004, hlm. 233.
2
Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Bandung: PT Refika
Aditama, 2016, hlm. 15.
BOOKLET PIDANA INTERNASIONAL | 2
A. PENGERTIAN
Ekstradisi berasal dari bahasa latin “extradere” yang berarti
menyerahkan atau “extradio” yang berarti penyerahan.
Sementara Starke mengartikan ekstradisi sebagai berikut:
“The term extradition denotes the process whereby
under treaty or upon a basis of reciprocity one state
surrenders to another state at its request a person
accused or convicted of a criminal offence committed
against the law of the requesting state competent to try
alleged offender”
3
I Wayan Parthiana, Ekstradisi dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional
Indonesia, Bandung: CV Mandar Maju, 1990, hlm. 3. Sebagaimana mengutip
pendapat Arthur Nussbaum dalam bukunya yang berjudul A Concise History of the
Law of Nations.
BOOKLET PIDANA INTERNASIONAL | 3
B. UNSUR-UNSUR
Adapun beberapa unsur ekstradisi antara lain sebagai berikut:5
1) Subjek
Negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili
kemudian bertindak sebagai pihak yang meminta
(requesting state).
Negara tempat pelaku kejahatan (tersangka, tertuduh,
terdakwa) atau terpidana itu bersembunyi. Negara ini
selanjutnya diminta oleh negara yang meminta dan
disebut requested state.
2) Objek
Pelaku kejahatan yang diminta oleh requesting state kepada
requested state. Walaupun sebagai objek namun sebagai
manusia dia harus diperlakukan sebagai subjek hukum
dengan segala hak dan kewajibannya yang azasi, yang tidak
boleh dilanggar oleh siapapun.
4
Lihat ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1979
tentang Ekstradisi.
5
I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi, Bandung: CV Yrama
Widya, 2004, hlm. 129.
BOOKLET PIDANA INTERNASIONAL | 4
4) Tujuan
Penyerahan atau ekstradisi yang dimaksudkan bertujuan
untuk mengadili pelaku kejahatan dan menjatuhkan
hukuman apabila terbukti bersalah dan agar pelaku
kejahatan menjalani hukuman yang telah dijatuhkan
kepadanya yang telah mempunyai kekuatan hukum di negara
yang berwenang mengadilinya. Namun satu hal yang lebih
penting bukan hanya menyeret pelaku kejahatan ke depan
pengadilan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya
secara hukum, tetapi lebih jauh lagi sebagai upaya mencegah
makin meluasnya tindakan serupa yang akan mengancam
keamanan dan ketertiban serta keselamatan internasional
yang sudah menjadi tanggung jawab dari seluruh negara-
negara di dunia.
C. PRINSIP/ASAS
1) Asas kejahatan ganda (double criminality principle)
Suatu perbuatan yang dilakukan oleh orang yang diminta
haruslah merupakan kejahatan atau tindak pidana menurut
hukum pidana negara peminta maupun negara yang
diminta.6
6
Lihat ketentuan Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
1979 tentang Ekstradisi.
BOOKLET PIDANA INTERNASIONAL | 5
7
I Wayan Parthiana, Ekstradisi dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional
Indonesia, Op.Cit., hlm. 125.
BOOKLET PIDANA INTERNASIONAL | 6
5) Asas daluarsa
Yakni tidak akan dilakukan ekstradisi atas kejahatan yang
penuntutan atau pelaksanaan hukumannya telah mencapai
masa daluarsa.9 Batasan waktu yang diberikan sehubungan
dengan ini bagi tiap-tiap perjanjian berbeda. Suatu peristiwa
dianggap daluarsa apabila telah lewat masa berlaku. Peristiwa
tersebut dibiarkan begitu saja sehingga dilupakan orang
seakan-akan tidak pernah terjadi.
D. MEKANISME PELAKSANAAN
8
Lihat ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1979
tentang Ekstradisi.
9
Lihat ketentuan Pasal 12 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1979
tentang Ekstradisi.
10
Lihat ketentuan Pasal 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1979
tentang Ekstradisi.
BOOKLET PIDANA INTERNASIONAL | 7
E. BIAYA
Semua biaya yang terkait dengan ekstradisi dibebankan kepada
Pihak yang wilayahnya merupakan tempat biaya tersebut
dikeluarkan. Biaya pengangkutan dan transit yang berhubungan
dengan penyerahan atau penjemputan orang yang diekstradisi
ditanggung pihak peminta. Apabila biaya tersebut merupakan
biaya yang tidak terduga, para pihak wajib berkonsultasi satu
sama lain untuk menyelesaikannya.
11
Arif Havas Oegroseno, Dalam Perjanjian Ekstradisi, yang Penting Bukan Prosedurnya,
diakses dari laman https://hukumonline.com/berita/baca/hol16751/arif-havas-
oegroseno-dalam-perjanjian-ekstradisi-yang-penting-bukan prosedurnya?
r=0&q=MEKANISME%20EKSTRADISI&rs=1847&re=2020, pada 03 Desember 2020.
BOOKLET PIDANA INTERNASIONAL | 8
12
Elisatris Gultom, Pembentukan Mutual Legal Assistance sebagai salah satu upaya
Pencegahan dan Pemberantasan Kejahatan Transnasional Terorganisasi, diakses dari
laman https://elisatris.wordpress.com/mutual-legal-assistance-dalam-kejahatan-
transnasional-terorganisasi/, pada 03 Desember 2020.
13
Ibid.
BOOKLET PIDANA INTERNASIONAL | 11
A. PENGERTIAN
Mutual Legal Asisstance (MLA) atau bantuan timbal balik muncul
sebagai salah satu upaya dalam mengatasi dan memberantas
berbagai kejahatan yang sifatnya lintas batas atau
transnasional.14 Dalam ketentuan hukum positif di Indonesia,
bantuan timbal balik dapat diartikan sebagai permintaan
bantuan berkenaan dengan penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan negara yang diminta.15
B. RUANG LINGKUP
Pasal 7 Konvensi Wina Tahun 1988 menyatakan ruang lingkup
perjanjian timbal balik dalam masalah pidana terkait dengan hal-
hal sebagai berikut:
1) Memperoleh bukti-bukti atau keterangan dari tersangka;
2) Meningkatkan pelayanan atas dokumen pengadilan;
3) Melaksanakan penyelidikan dan penangkapan;
4) Memeriksa obyek dan lokasi;
5) Menyediakan keterangan dan barang bukti;
6) Menyediakan dokumen-dokumen, catatan-catatan asli atau
salinannya termasuk catatan bank, keuangan, perusahaan,
atau perdagangan;
7) Mengidentifikasi atau melacak hasil-hasil kejahatan,
kekayaan atau alat-alat atau barang-barang lain untuk
tujuan pembuktian.
14
Romli Atmasasmita, Tindak Pidana Narkotika Transnasional dalam Sistem Hukum
Pidana Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1997, hlm. 7.
15
Lihat ketentuan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
2006 tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana.
BOOKLET PIDANA INTERNASIONAL | 12
A. NUREMBERG TRIBUNAL
Nuremberg Tribunal atau International Military Tribunal (IMT)
merupakan pengadilan pertama yang dibentuk di dunia untuk
mengadili para penjahat perang dan kejahatan serius lainnya.
Nama Nuremberg digunakan karena tempat pelaksanaan
persidangan untuk menghukum para pemimpin politik dan
militer Nazi serta organisasi yang berafiliasi dengan Nazi terjadi
di Kota Nuremberg (Nürnberg) tepatnya di Palace of Justice.
PARA TERDAKWA
17
Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Op.Cit., hlm. 11.
BOOKLET PIDANA INTERNASIONAL | 16
PUTUSAN
Para Hakim memberikan putusan kepada dua belas Terdakwa
berupa hukuman mati dengan cara digantung, yakni Joachim
von Ribbentrop, Hans Frank, Alfred Rosenberg, dan Julius
Streicher. Sementara Hermann Goering lolos dari tiang
gantungan karena melakukan bunuh diri pada malam sebelum
hukuman mati dijatuhkan. Selanjutnya hukuman penjara
seumur hidup dijatuhkan kepada tiga Terdakwa dan kurungan
penjara 10 hingga 20 tahun kepada empat Terdakwa, dan
pembebasan kepada tiga orang Terdakwa lainnya. 18 Selain itu
ditetapkan juga 6 organisasi yang terlibat dalam Perang Dunia II
sebagai organisasi kejahatan dan membebaskan 2 organisasi dari
tuduhan.19
KRITIK/KELEMAHAN
18
Ibid., hlm. 12.
19
Ibid.
BOOKLET PIDANA INTERNASIONAL | 17
B. TOKYO TRIBUNAL
Mahkamah Tokyo dikenal juga dengan nama Pengadilan Militer
Internasional untuk Timur Jauh adalah pengadilan internasional
yang merupakan pengadilan ad hoc yang ada untuk mengadili
para pemimpin kekaisaran Jepang atas tiga kategori kejahatan,
yakni kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang, dan
kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan selama Perang
Dunia II. Mahkamah Tokyo memiliki peranan penting dalam
upaya pembentukan Mahkamah pidana Internasional dan
sekaligus dalam pelaksanaan penegakan Hukum Humaniter
Internasional. Selain itu juga dapat menjamin dan melindungi
martabat Hak Asasi Manusia.
BOOKLET PIDANA INTERNASIONAL | 18
E. PENGADILAN HYBRID
Hybrid Court atau Mixed Court merupakan sebuah tribunal yang
mengkombinasikan atau menggabungkan hukum internasional
dengan nasional, termasuk aparatur pengadilannya.21 Urgensi
pembentukan hybrid tribunal adalah untuk mengatasi
permasalahan yang ada dalam sistem hukum domestik yang
dinilai masih tergolong lemah dalam menangani kasus kejahatan
internasional dan juga karena adanya impunitas. 22 Salah satu
penyebab impunitas adalah adanya terdapat rasa sungkan atau
enggan mengadili pelaku kejahatan internasional yang jelas-jelas
21
Shaw N. Malcolm, International Law, Cabridge: Grotius Publication Limited, 2008, hlm. 417.
22
Daniel Brando Makalew, Pengadilan Campuran (Hybrid Tribunal) Dalam Perspektif
Hukum Pidana Internasional, Jurnal Lex Privatum Vol. VIII No. 3, September 2020,
hlm. 80.
BOOKLET PIDANA INTERNASIONAL | 22
23
I Made Pasek Diantha, Hukum Pidana Internasional Dalam Dinamika Pengadilan
Pidana Internasional, Jakarta: Prenamedia Group, 2014, hlm. 93.
24
Ibid.
25
Ibid., hlm. 94.
BOOKLET PIDANA INTERNASIONAL | 23
27
Extraordinary Chambers in the Court of Cambodian (ECCC), Judicial Chambers
diakses dari http://www.eccc.gov.kh/en/judicial-chamber pada 27 November 2020.
BOOKLET PIDANA INTERNASIONAL | 26
Kelemahan
Kelemahan dari hybrid court ini adalah terkait dengan limited
jurisdiction, yakni terbatas hanya kepada pihak yang palng
bertanggung jawab dalam kasus ini yang diadili. Dalam
pengadilan Kamboja ini Terdakwa yang diadili merupakan
petinggi Khmer Merah yang berjumlah lima orang dan terlibat
secara langsung sebagai otak atau dalang dari adanya kasus
ini. Dengan keterbatasan tersebut lantas pengadilan ini gagal
memasukkannya ke dalam kategori kejahatan kemanusiaan
yang berefek luas dan sistematis. Limited jurisdiction ini
sejatinya menimbulkan suatu ketidakadilan dalam mengadili
suatu kasus. Sebagaimana yang diketahui bahwa kasus
kemanusiaan di Kamboja menewaskan kurang lebih dua juta
orang. Sehingga bila hanya mengadili pelaku yang berjumlah
lima orang akan terkesan tidak adil, karena nyatanya pelaku
yang terlibat lebih dari itu dengan memiliki porsinya masing-
masing.
28
Daniel Brando Makalew, Pengadilan Campuran (Hybrid Tribunal) Dalam Perspektif
Hukum Pidana Internasional, Op.Cit., hlm. 82.
29
I Made Pasek Diantha, Hukum Pidana Internasional Dalam Dinamika Pengadilan
Pidana Internasional, Op.Cit., hlm. 105.
BOOKLET PIDANA INTERNASIONAL | 28
30
Daniel Brando Makalew, Pengadilan Campuran (Hybrid Tribunal) Dalam Perspektif
Hukum Pidana Internasional, Op.Cit., hlm. 84.
BOOKLET PIDANA INTERNASIONAL | 29
32
Ibid., hlm. 85.
BOOKLET PIDANA INTERNASIONAL | 31
DAFTAR PUSTAKA
DOKUMEN HUKUM
BUKU
Boer Maulana, Hukum Internasional dan Pengertian, Peranan dan
Fungsi dalam Era Dinamika Gobal, Bandung: PT Alumni, 2003.
I Made Pasek Diantha, Hukum Pidana Internasional Dalam Dinamika
Pengadilan Pidana Internasional, Jakarta: Prenamedia Group,
2014.
I Wayan Parthiana, Ekstradisi dalam Hukum Internasional dan Hukum
Nasional Indonesia, Bandung: CV Mandar Maju, 1990.
I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi,
Bandung: CV Yrama Widya, 2004.
Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Bandung:
PT Refika Aditama, 2016.
Romli Atmasasmita, Tindak Pidana Narkotika Transnasional dalam
Sistem Hukum Pidana Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 1997.
BOOKLET PIDANA INTERNASIONAL | 32
DOKUMEN LAINNYA
Arif Havas Oegroseno, Dalam Perjanjian Ekstradisi, yang Penting Bukan
Prosedurnya, diakses dari laman
https://hukumonline.com/berita/baca/hol16751/arif-havas-
oegroseno-dalam-perjanjian-ekstradisi-yang-penting-bukan
prosedurnya?r=0&q=MEKANISME
%20EKSTRADISI&rs=1847&re=2020, pada 03 Desember 2020.
Daniel Brando Makalew, Pengadilan Campuran (Hybrid Tribunal) Dalam
Perspektif Hukum Pidana Internasional, Jurnal Lex Privatum Vol.
VIII No. 3, September 2020.
Elisatris Gultom, Pembentukan Mutual Legal Assistance sebagai salah
satu upaya Pencegahan dan Pemberantasan Kejahatan
Transnasional Terorganisasi, diakses dari laman
https://elisatris.wordpress.com/mutual-legal-assistance-dalam-
kejahatan-transnasional-terorganisasi/, pada 03 Desember
2020.
Extraordinary Chambers in the Court of Cambodian (ECCC), Judicial
Chambers diakses dari http://www.eccc.gov.kh/en/judicial-
chamber pada 27 November 2020.
Sari Aziz, Kedudukan Prinsip Komplementaritas Mahkamah Pidana
Internasional Atas Pemberian Amnesti Terhadap Pelaku
Kejahatan Internasional, Jurnal Hukum dan Pembangunan No.
3, 2004.
Shaw N. Malcolm, International Law, Cabridge: Grotius Publication
Limited, 2008.