Anda di halaman 1dari 10

TUGAS UAS HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL

Disusun Oleh :

Nama : Angelos Gogo Siregar

NPM : (110110170303)

Dosen : A. Gusman Catur S, S.H.,LL.M.,PH.D

Chloryne Trie Isana Dewi, S.H.,LL.M

Kelas : D

Fakultas Hukum

Universitas Padjajaran

2020
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Mengingat pentingnya peran laut baik dari sudut pandang keamanan, ekonomi, maupun politik,
maka dibutuhkan sebuah landasan yang kuat terhadap penentuan batas maritim antar negara
dimana hal tersebut diatur dalam United Nations Convention on the Law of the Sea 1982
(Konvensi Hukum Laut 1982). Konvensi Hukum Laut 1982 merupakan perjanjian internasional
yang berisi 320 pasal dan 9 lampiran yang mengatur mengenai hampir semua aktivitas dan
persoalan tentang kelautan termasuk di antaranya adalah pengaturan zona-zona maritim dengan
status hukum yang berbeda-beda, penetapan rezim negara kepulauan, pemanfaatan dasar laut,
pengaturan mengenai hak lintas bagi kapal, perlindungan lingkungan laut, pelaksanaan riset
ilmiah kelautan, pengelolaan perikanan, serta penyelesaian sengketa. Selain penting sebagai
suatu perangkat hukum laut.1

Kita lihat bahwa Laut China Selatan sendiri merupakan wilayah perairan yang menjadi sumber
ketegangan yang terjadi di sekitar wilayah Asia Timur. Terdapat 3 alasan bahwa mengapa posisi
dari Laut China Selatan sendiri menjadi hal yang diperebutkan karena:2

1) Wilayah laut dan gugusan kepulauan di Laut China Selatan atau Laut Tiongkok Selatan
mengandung sumber kekayaan alam yang sangat besar, meliputi kandungan minyak dan
gas bumi serta kekayaan laut lainnya.
2) Wilayah perairan Laut China Selatan atau Laut Tiongkok Selatan merupakan wilayah
perairan yang menjadi jalur perlintasan aktivitas pelayaran kapal-kapal internasional,
terutama jalur perdagangan lintas laut yang menghubungkan jalur perdagangan Eropa,
Amerika, dan Asia.
3) Pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat di Asia, membuat negara-negara seperti China
dan negara-negara di kawasan Laut China Selatan atau Laut Tiongkok Selatan, bahkan
termasuk Amerika Serikat sangat berkeinginan menguasai kontrol dan pengaruh atas

1
Muhammad Rafi Darajati, Huala Adolf & Idris, “Putusan Sengketa Laut China Selatan Serta Implikasi Hukumnya
Terhadap Negara Disekitar Kawasan Tersebut”, Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.1 Januari-Maret
2018, hlm.23
2
P.P.Nainggolan, Konflik Laut China Selatan dan Implikasinya Terhadap Kawasan, Jakarta: P3DI Setjen DPR
Republik Indonesia,2013, hlm.10-11
wilayah Laut China Selatan atau Laut Tiongkok Selatan yang dinilai sangat strategis dan
membawa manfaat ekonomis yang sangat besar bagi suatu negara.

Oleh sebab itu, maka negara Vietnam yang merupakan salah satu pihak yang dirugikan karena
China melakukan intimidasi dan pelecehan di batas perairan yang diperebutkan dimana China
selalu beranggapan bahwa ia memiliki sejarah yaitu nine dash line atau 9 garis putus-putus yang
berarti bahwa kedaulatan yang tidak terbantahkan atas pulau-pulau di Laut China Selatan dan
perairan yang berdekatan, dan memiliki hak-hak berdaulat dan hukum yurisdiksi atas perairan
tersebut beserta laut dan tanah di bawahnya yang mencampai 90 persen kedaulatan Laut China
Selatan dimana hal tersebut pernah diputus sengketanya dalam Pengadilan Arbitrase Permanen
di Den Haag pada bulan Juli 2016 yang memenangkan Filipina dimana menganggap argument
dari pihak China tersebut tidak benar adanya dan harus mengikuti UNCLOS dimana pihak China
juga sudah meratifikasinya.

Pihak Vietnam telah melakukan paling tidak empat kali pertemuan bilateral dengan China pada
awal 2011 dalam rangka membicarakan perbedaan antar mereka mengenai Laut China Selatan
atau Laut Tiongkok Selatan. Sayang sekali beberapa perilaku China seperti, semakin
meningkatnya jumlah dan kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan kapal-kapal China di
perairan Vietnam akhirnya membuat segala hasil pertemuan bilateral antar keduanya menjadi
tiada manfaat. Insiden seperti pemotongan kawat-kawat di tempat ekplorasi minyak Vietnam
yang dilakukan China juga pada akhirnya semakin memperkeruh suasana dan membuat inisiatif
baru bagi Vietnam untuk selalu meningkatkan kapabilitas militernya di Laut China Selatan atau
Laut Tiongkok Selatan.3 Maka mengenai hal ini akan dibahas bagaimana mekanisme
penyelesaian sengketa tersebut secara efektif antara Vietnam terhadap China.

1.2 Identifikasi Masalah


1) Bagaimana penyelesaian sengketanya jika diajukan melalui Arbitrase
Internasional?
2) Jika ingin melalui proses pengadilan, cara apa yang dapat ditempuh untuk
menyelesaikan sengketa ini?

3
Sudira, I Nyoman, “Konflik Laut China Selatan dan Politik Luar Negeri Indonesia ke Amerika dan Eropa”, Jurnal
Ilmiah Hubungan Internasional Vol. 10 No. 2 Tahun 2014, hlm.143
BAB II PEMBAHASAN

2.1. Penyelesaian Perkara Vietnam-China Melalui Arbitrase Internasional

Arbitrase memiliki definisi sebagai salah satu mekanisme alternatif penyelesaian sengketa yang
merupakan bentuk tindakan hukum yang diakui oleh undang-undang dimana salah satu pihak
atau lebih menyerahkan sengketanya dengan satu pihak lain atau lebih kepada satu orang arbiter
atau lebih ahli yang profesional, yang akan bertindak sebagai hakim/peradilan swasta yang akan
menerapkan tata cara hukum negara yang berlaku atau menerapkan tata cara hukum perdamaian
yang telah disepakati bersama oleh para pihak tersebut terdahulu untuk sampai kepada putusan
yang final dan mengikat.4Salah satu kelebihan arbitrase terletak pada sifat putusannya dimana
putusan arbitrase adalah bersifat final dan mengikat (final and binding). Dengan demikian,
proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat diselesaikan dengan lebih cepat
dibandingkan dengan proses peradilan umum yang berlangsung lebih lama karena dapat
dilakukan upaya hukum atas putusan peradilan dan bertingkattingkat. 5Arbitrase internasional
memliki 2 pengertian dimana:6

a) Dalam arti sempit, bahwa arbitrase sebagai suatu lembaga penyelesaian sengketa yang
khusus menangani dan menyelesaikan sengketasengketa di bidang perdagangan.
Arbitrase dalam arti ini adalah arbitrase yang pengaturannya tunduk pada pengaturan di
bawah United Nations commission International Trade Law (UNCITRAL).
b) Dalam arti luas, bahwa arbitrase internasional dalam arti luas adalah arbitrase sebagai
lembaga penyelesaian sengketa untuk menyelesaikan segala sengketa seperti yang
tercantum di dalam pasal 33 ayat (1) Piagam PBB.

Penyelesaian melalui arbitrase internasional ini tentunya memperkuat argument dari Vietnam
dimana kedua belah pihak bersepakat untuk menentukan siapa yang berhak untuk mengadilinya.
Dalam perjanjian arbitrase dibagi ke beberapa golongan, yaitu :7

1) Klausul arbitrase yang menunjuk kepada badan arbitrase yang sudah terlembaga.
4
Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) Suatu Pengantar, Jakarta: Fikahati
Aneska, 2011, hlm.61
5
Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional Indonesia dan Internasional, Jakarta:
Sinar Grafika, 2013, hlm.60
6
Gary B. Born, International Commercial Arbitration Commentary and Material, The Hague: Kluwer Law
International, 2001, hlm.6
7
Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Jakarta : Sinar Grafika,2004, hlm.48
2) Klausul arbitrase yang sifatnya khusus dan yang umum dimana klausul arbitrase khusus
adalah klausul yang menyatakan bahwa suatu sengketa tertentu yang timbul dari suatu
perjanjian akan diserahkan kepada badan arbitrase. Sedangkan klausul arbitrase umum
adalah klausa yang berkaitan dengan semua sengketa yang timbul diantara para pihak
atau mengenai semua sengketa yang timbul di antara para pihak atau mengenai
penafsiran dan pelaksanaan perjanjian yang berlaku diantara mereka.

Mengenai kasus antara Vietnam dan China ini, China yang tidak mengakui putusan dari
Pengadilan Arbitrase Permanen (PCA) di Den Haag bulan juli 2016 terhadap sengketa antara
Filipina dengan China yang secara teori implikasinya dari putusan PCA dengan negara-negara
yang berkepentingan di sekitar kawasan Laut China Selatan bahwa putusan PCA terkait sengketa
Laut China Selatan merupakan klarifikasi atau interpretasi PCA terhadap Konvensi Hukum Laut
1982 sehingga dapat menjadi sumber hukum yang berlaku umum atau mengikat semua negara.
Interpetasi ini sebenarnya dapat memudahkan para pihak yang bersengketa di LCS untuk
merundingkan klaim mereka masing-masing.8

Oleh karena hal tersebut maka penulis melihat dalam penyelesaian sengketa antara Vietnam dan
China menggunakan penyelesaian sengketa dengan klausul arbitrase umum dimana jika
mengajukan hal tersebut maka selain kebebasan karena diselesaikan di tahap sebelum
pengadilan, namun juga bisa mempertimbangkan dari perjanjian maupun penafsiran dari putusan
sengketa antara Filipina dengan China dimana hal tersebut melihat mengenai 2 poin penting
dalam putusan sengketanya dengan Filipina yaitu :9

1) Interpretasi PCA mengenai Nine Dash Line yang tidak memiliki dasar dan bertentangan
dengan Konvensi Hukum Laut 1982 bisa digunakan oleh negaranegara di sekitar
kawasan LCS apabila Tiongkok kembali melanggar kedaulatan negara lain. Putusan PCA
tersebut dapat dijadikan sarana untuk memperlemah argumen Tiongkok.
2) Fakta bahwa tidak ada fitur laut yang diklaim oleh Tiongkok yang mampu menghasilkan
apa yang disebut ZEE yang memberikan negara hak berdaulat untuk sumber daya, seperti
perikanan, minyak, dan gas dalam 200 mil laut. Dampaknya, negara-negara di kawasan
LCS dapat mengetahui seberapa besar klaim wilayah mereka di kawasan tersebut.

8
Ibid
9
Muhammad Rafi Darajati, Huala Adolf & Idris, Op.Cit, hlm.41
Putusan ini juga akan berguna dan dirujuk oleh negara-negara dalam praktiknya maupun
oleh putusan lembaga ajudikasi di masa mendatang.

2.2 Penyelesaian Sengketa Melalui Mahkamah Hukum Laut Internasional

Mahkamah hukum laut internasional (International Tribunal for the Law of the Sea)
merupakan badan independen yang didirikan melalui konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa
(PBB) dimana dasar hukum yang digunakan adalah (The United Nations Convention on the Law
of the Sea/UNCLOS)10. Seperti sedikit dijelaskan di bagian latar belakang, UNCLOS mengatur
hukum laut internasional, yang di dalamnya mengatur perbedaan penetapan batas wilayah negara
pantai dan negara kepulauan11. UNCLOS merupakan suatu perwujuan dari kehendak dan usaha
bersama masyarakat internasional untuk mengatur masalah yang berhubungan dengan kelautan.
Jika tidak tercapai suatu kesepakatan dalam penyelesaian sengketa secara damai, maka para
pihak dapat menggunakan prosedur wajib yang menghasilkan keputusan yang memaska
(compulsory procedures)12.

China seringkali menggunakan klaim nine dash line atau 9 garis putus-putus atas
teritorial laut mereka yang hanya diakui secara nasional, sedangkan China seakan memaksakan
prinsip tersebut untuk mengklaim wilayah laut negara lain seperti Filipina (Laut Cina Selatan) 13,
Indonesia (Pulau Natuna)14, dan Jepang (Kepulauan Senkaku/Diaoyu)15. Maka dari itu, klaim
yang diajukan pada Vietnam ini bukanlah merupakan hal yang baru. Jika kita melihat pada
kasus-kasus sebelumnya, maka jalus penyelesaian sengketa secara diplomatik yang dilakukan
oleh Vietnam tidak memiliki keterikatan atas hasilnya maka diperlukan suatu putusan yang
bersifat memaksa para pihak.

10
International Tribunal Law of The Sea , The Tribunal dilansir dari https://www.itlos.org/en/the-tribunal/ pada
tanggal 10 Juni 2020 pukul 10.13 WIB
11
Ummi Yusnita, “Penyelesaian Sengketa Batas Laut Antara Indonesia dan Malaysia Dalam Perspektif Hukum
Internasional”, Jurnal Binamulia Hukum, Vol 7 No. 1, 2018, hlm 98
12
Marsita Kantjai,”Kewenangan Tribunal Internasional Hukum Laut Dalam Penyelesaian Sengketa Kelautan
Menurut Konvensi Hukum Laut PBB Tahun 1982”, Jurnal Lex Privantum, Vol. 7 No. 1, 2019, hlm 98.
13
VOA Indonesia, “Filipina Protes Klaim China di Laut China Selatan”, https://www.voaindonesia.com/a/filipina-
protes-klaim-china-di-laut-china-selatan-/5387064.html, diakses pada 10 Juni 2020 pukul 11.51 WIB.
14
Anthony Kevin, “China Ngotot Klaim Natuna, Ada Harta Karun di Natuna?”,
https://www.cnbcindonesia.com/news/20200105172154-4-127775/china-ngotot-klaim-natuna-ada-harta-karun-di-
natuna, diakses pada 10 Juni 2020 pukul 12.02 WIB.
15
Ni Putu Mona Cherry Hitomi, “Segi-Segi Hukum Laut Internasional Dalam Penyelesaian Sengketa antara Jepang
Dan Cina”, https://ojs.unud.ac.id/index.php/Kerthanegara/article/view/38773/23497, diakses pada 10 Juni 2020
pukul 12.15 WIB.
Konvensi Hukum Laut 1982 sepakat menghasilkan rumusan baru tentang rezim hukum
landas kontinen dengan memberikan batas klaim minimal sejauh 200 mil laut dan klaim
maksimal sejauh 350 mil laut bagi negara pantai dengan kriteria tertentu. Dengan berdasarkan
pada rumusan baru tersebut, keterkaitan faktor geomorfologis dan geofisik dengan daratan suatu
negara pantai hanya berkaitan dengan klaim maksimal landas kontinen 16. Hal tersebut tentunya
tidak selaras dengan nine dash line atau 9 garis putus-putus yang dipercayai Cina berdasarkan
historis mereka.

Melihat dari keputusan dari sidang ITLOS bersifat mengikat negara negara yang terlibat
dalam sengketa ini dengan cara mengambil sistem suara terbanyak dari anggota mahkamah yang
hadir dengan ketentuan bahwa ketua mahkamah dapat memberikan suara penentu jika terdapat
suara sama banyak.17 Apabila diantara para pihak ada perbedaan penafsiran keputusan atau
pelaksanaannya mengenai kesalahan dalam suatu perjanjian yang bertentangan maka para pihak
memungkinkan mengajukan pada mahkamah18 untuk melakukan tindak lanjut mengadakan
interprestasi, mengubah (revise), meralat dan membatalkan. Mengubah keputusan hanya
dimungkinkan apabila ada fakta baru dan kesalahan dalam suatu keputusan. Penolakan juga
dapat dilakukan dalam suatu keputusan jika adanya cacat hukum dalam keputusan tersebut. Ada
kemungkinan bagi para pihak untuk menolak suatu keputusan didasarkan pada doktrin
pembatalan (nullify doctrine).

Dengan adanya suatu putusan yang mengikat para pihak maka diharapkan akan memaksa kedua
belah pihak untuk menjalankan putusan Mahkamah yang kemudian tidak terjadi klaim-klaim
serupa kembali, setidaknya di dalam lingkup wilayah yang sama dan pendapat dari China
mengenai bahwa putusan tersebut tidak mempunyai pengaruh terhadap kepastian hukumnya
dapat terjawab karena Mahkamah Internasional sendiri walaupun kelembagaan sendiri namun
tetap dibawah dari naungan PBB.

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan

16
Suryo Sakti Hadiwijoyo, Batas Wilayah Negara Indonesia : Dimensi Permasalahan dan Strategi Penanganan,
Yogyakarta: Gava Media, 2009, hlm. 94.
17
Chairul Anwar, Hukum Internasional Horizon Baru Hukum Laut Internasional Konvensi Hukum Laut 1982,
Jakarta : Djambatan, 1989, hlm. 134.
18
United Nation Convention on the Law of the Sea Article 82
Penyelesaian sengketa dengan Arbitrase Internasional dan Mahkamah Internasional
merupakan dua cara yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan kasus klaim Cina terhadap
wilayah laut Vietnam ini. Sesuai dengan pasal 287 UNCLOS yang menyatakan bahwa lembaga-
lembaga yang dapat digunakan untuk menyelesaikan sengketa laut internasional yaitu Pengadilan
Internasional untuk Hukum Laut (International Tribunal for the Law of the Sea/ITLOS),
Pengadilan Internasional (International Court of Justice/ICJ), pengadilan arbitrase (An Arbitral
Tribunal), pengadilan arbitrase khusus (A Special Arbitral Tribunal).

Prinsip yang nampak dipegang teguh oleh Cina yaitu nine dash line atau 9 garis putus-
putus merupakan klaim historis yang dapat merugikan negara lain karena tidak sesuai dengan
ketentuan yang terdapat pada UNCLOS yang tentunya bertujuan untuk membagi wilayah laut
secara lebih merata dan adil dimana kita tahu pihak China sudah meratifikasi UNCLOS sendiri.

Putusan yang dihasilkan ITLOS dan Arbitrase Internasional bersifat final dan mengikat
(final and binding) yang bertujuan agar para pihak yang terlibat menjalankan putusan
sebagaimana mestinya. Dengan diajukannya kasus ini ke ITLOS dan/atau Arbitrase Internasional
maka apabila kemudian Vietnam dapat memenangkan sidang tersebut, posisi Cina dengan
prinsip nine dash line-nya merupakan hal yang tidak dapat diakui lagi dan dapat dijadikan acuan
oleh negara-negara lain yang selanjutnya di masa mendatang diharapkan berkurangnya atau
bahkan tidak ada lagi klaim-klaim serupa di wilayah yang sama ataupun wilayah yang lain.

3.2 Saran

Melihat dari sekian banyak kasus antara China dengan negara-negara disekitar Laut
China Selatan, tampaknya diperlukan suatu kerjasama antara negara-negara yang sudah atau
memungkinkan untuk dilakukannya klaim atas wilayah laut tertentu atas dasar nine dash line
agar di kemudian hari dapat saling membantu satu sama lain apabila hal yang sama terjadi
kembali. Sudah sepatutnya kita percaya pada organisasi internasional jika ada permasalahan
yang tidak bisa diselesaikan secara diplomatik. Organisasi Internasional seperti ITLOS,ICJ,dll
dibentuk untuk mengatur dalam segi apapun karena organisasi-organisasi tersebut dibentuk
dengan tujuan untuk perdamaian dan keamanan dunia.

DAFTAR PUSTAKA

1) Buku :
 P.P.Nainggolan, Konflik Laut China Selatan dan Implikasinya Terhadap Kawasan,
Jakarta: P3DI Setjen DPR Republik Indonesia, 2013.
 Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) Suatu
Pengantar, Jakarta: Fikahati Aneska, 2011.
 Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional Indonesia dan
Internasional, Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
 Gary B. Born, International Commercial Arbitration Commentary and Material, The
Hague: Kluwer Law International, 2001.
 Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Jakarta : Sinar Grafika, 2004.

2) Jurnal :
 Muhammad Rafi Darajati, Huala Adolf & Idris, “Putusan Sengketa Laut China Selatan
Serta Implikasi Hukumnya Terhadap Negara Disekitar Kawasan Tersebut”, Jurnal
Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.1 Januari-Maret 2018.
 Sudira, I Nyoman, “Konflik Laut China Selatan dan Politik Luar Negeri Indonesia ke
Amerika dan Eropa”, Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional Vol. 10 No. 2 Tahun 2014
 Ummi Yusnita, “Penyelesaian Sengketa Batas Laut Antara Indonesia dan Malaysia
Dalam Perspektif Hukum Internasional”, Jurnal Binamulia Hukum Vol 7 No. 1, 2018.
 Marsita Kantjai,”Kewenangan Tribunal Internasional Hukum Laut Dalam Penyelesaian
Sengketa Kelautan Menurut Konvensi Hukum Laut PBB Tahun 1982”, Jurnal Lex
Privantum, Vol. 7 No. 1, 2019.

3) Website :
 International Tribunal Law of The Sea , The Tribunal dilansir dari
https://www.itlos.org/en/the-tribunal/ pada tanggal 10 Juni 2020 pukul 10.13 WIB
 VOA Indonesia, “Filipina Protes Klaim China di Laut China Selatan”,
https://www.voaindonesia.com/a/filipina-protes-klaim-china-di-laut-china-selatan-/
5387064.html, diakses pada 10 Juni 2020 pukul 11.51 WIB.
 Anthony Kevin, “China Ngotot Klaim Natuna, Ada Harta Karun di Natuna?”,
https://www.cnbcindonesia.com/news/20200105172154-4-127775/china-ngotot-klaim-
natuna-ada-harta-karun-di-natuna, diakses pada 10 Juni 2020 pukul 12.02 WIB.
 Ni Putu Mona Cherry Hitomi, “Segi-Segi Hukum Laut Internasional Dalam Penyelesaian
Sengketa antara Jepang Dan Cina”,
https://ojs.unud.ac.id/index.php/Kerthanegara/article/view/38773/23497, diakses pada 10
Juni 2020 pukul 12.15 WIB.

Pernyataan non-Plagiarisme :

“ Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas ini dibuat oleh saya sendiri tanpa bekerja
sama dengan pihak lain. Jika pernyataan ini terbukti sebaliknya, saya bersedia
menerima sanksi akademik yang berlaku di Universitas Padjadjaran.”

Anda mungkin juga menyukai