Anda di halaman 1dari 20

ANALISIS KASUS SENGKETA WILAYAH LAUT

DALAM HUKUM INTERNASIONAL

Nama : Muhammad Daffa Arisa

NIM : 14050118130089

Mata Kuliah : Hukum Internasional

DEPARTEMEN HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS DIPONEGORO

ANGKATAN 2018
Context of Study

Hukum Internasional dapat didefinisikan dalam berbagai pengertian yang dikemukakan


oleh para ahli. Terdapat banyak cara pandang mengenai definisi dari hukum internasioal itu
sendiri. Menurut F Sugeng Istanto seorang ahli hukum, definisi hukum internasional adalah
kumpulan ketentuan hukum yang berlakunya dipertahankan oleh masyarakat internasional.
Menurut F Sugeng Istanto menolak pandangan bahwa Hukum internasional hanyalah merupakan
moral internasional saja Sedangkan menurut salah seorang ahli hukum yang lain Jawahir
Tantowi hukum internasional terdiri dari prinsip-prinsip, peraturan-peraturan, dan kebiasaan
internasional tentang tingkah laku negara dalam hubugan internasional yang terikat untuk
mematuhinya dan juga melaksanakannya. Selain itu, hukum internasional juga mencakup
peraturan-peraturan hukum tertentu terkait antara individu-individu dengan subyek hukum non-
negara (non-state entities) dan aktor-aktor negara yang baru (new-state actors). Menurut bebrapa
uraian para ahli, bahwa hukum internasional merupakan seperangkat aturan yang ditujukan dan
dibuat oleh negara-negara berdaulat secara eksklusif yang dapat didefinisikan sebagai
sekumpulan peraturan hukum yang sebagian besar mengatur mengenai prinsip dan aturan yang
harus dipatuhi oleh negara-negara (subjek hukum internasional), dan hubungan negara satu
dengan yang lain. Sedangkan menurut Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R Agoes bahwa hukum
internasional merupakan seperangkat prinsip-prinsip dan norma hukum yang mengatur hubungan
antara subyek-subyek hukum internasional dan mengatur persoalan-persoalan hukum publik
yang bersifat lintas negara. Terdapat 3 unsur dari batasan tersebut yaitu antara lain terdapat
prinsip (asas) hukum dan norma (kaidah) hukum, berfungsi untuk melandasi hubungan antara
subyek-subyek hukum internasional, dan bersifat publik.

Pada dasarnya negara memiliki kedudukan tertinggi dalam hukum, karena negara
memiliki kekuasaan dan juga berhak untuk mengatur serta mengurusi negaranya sendiri tanpa
campur tangan pihak lain. Dengan adanya hal tersebut menimbulkan adanya kepentingan-
kepentingan pribadi sebuah negara yang sering kali melanggar hukum internasional. Hal tersebut
dilakukan oleh negara maju yang memiliki power atau kekuatan seperti Amerika Serikat. Pada
masa pemerintahan George Bush banyak sekali terjadi pelanggaran dan Amerika Serikat tidak
setuju dengan adanya hokum internasional karena dianggap sebagai penghalang dan ancaman
bagi kepentingan nasional Amerika Serikat. Tetapi karena adanya kepentingan untuk
mempromosikan nilai-nilai, Amerika Serikat kembali menggunakan hukum internasional sebagai
landasan kebijakan luar negerinya.

Dalam prakteknya negara-negara di dunia tidak bisa dipungkiri akan melakukan kerja
sama satu dengan yang lainnya. Telah disebutkan bahwa dalam melakukan kerja sama setiap
negara memiliki kepentingan nasional masing-masing. Suatu negara melakukan kerja sama
dengan nengara lain pasti sudah mengetahui untung dan rugi yang akan didapatkan oleh negara
tersebut. Dengan adanya kerja sama antar negara akan menimbulkan konflik seperti sengketa
yang terjadi melibatkan negara-negara yang bekerja sama. Konflik sengketa seringkali menjadi
masalah internasional yang biasanya terjadi ketika kedua negara yang bekerja sama berbeda
pandangan dalam pelaksanaan suatu perjanjian yang dibuat oleh kedua negara. Sengketa
bukanlah masalah yang mudah untuk diselesaikan karena menyangkut kepentingan nasional
kedua negara. Hal tersebut menjadi sebuah masalah internasional yang melibatkan hukum
internasional yang menjadi jembatan untuk menyelesaikan konflik tersebut.

Menurut John G. Merrills, sengketa atau dispute berarti sebuah pertikaian atau sengketa
dimana ia berpendapat bahwa suatu persengketaan atau pertikaian sebagai terjadinya perbedaan
pemahaman akan suatu keadaan atau obyek yang diikuti oleh pengklaim oleh satu pihak dan
penolakan di pihak lainnya. Karena itu, sengketa internasional dapat didefinisikan sebagai
sebuah perselisihan, yang tidak melibatkan negara, dan memiliki konsekuensi pada lingkup
internasional. Kemudian persoalan yang timbul adalah apa yang selanjutnya bisa dijadikan
sebagai subjek dari sebuah persengketaan. Menurut John G. Merrills subyek dari konflik
persengketaan dapat bermacam-macam, mulai dari sengketa tentang kebijakan suatu negara
sampai persoalan perbatasan dari suatu negara. Metode penyelesaian sengketa digolongkan ke
dalam dua kategori yaitu cara-cara penyelesaian sengketa secara damai dan cara-cara
penyelesaian sengketa secara paksa atau dengan kekerasan.

Menurut Adlof seorang pakar hukum di dalam tulisannya yaitu “Mahkamah Internasional
(Internasional Court of Justice) ia berpendapat bahwa pengertian sengketa internasional adalah
situasi atau kondisi di mana dua negara mempunyai pandangan yang bertentangan mengenai
dilaksakan atau tidak dilaksanakannya kewajiban-kewajiban yang terdapat dalam perjanjian.
Sengketa dalam konflik internasional dibagi menjadi 2 macam, yaitu sengketa hukum (legal or
judicial disputes) dan sengketa politik (political nonjusticiable dispute). Demi mempertahankan
kedaulatan (sovereignty) dan hak-hak berdaulat (sovereignty rights) antar negara serta
menyelesaikan semua persoalan yang berkaitan dengan hubungan international, negara perlu
menetapkan perbatasan wilayah baik dimensi perbatasan darat maupun perbatasan laut dan
udara. Penetapan perbatasan wilayah tersebut dapat dilakukan sesuai ketentuan hukum
international agar dapat memberikan kepastian hukum, kemanfaatan hukum dan keadilan bagi
masyarakat yang mendiami wilayah perbatasan dimaksud. Maksudnya setiap negara harus
memiliki batas-batas negara yang jelas agar sebuah negara dapat melindungi atau
mempertahankan kedaulatannya dan juga menjamin hak-hak berdaulat negara tersebut. Selain
itu, negara memiliki keharusan untuk memiliki batas-batas wilayah negaranya agar negara lain
tidak mudah untuk mengklaim atau mengakui wilayah dari suatu negara. Wilayah negara adalah
tempat bangsa atau rakyat negara yang bersangkutan bertempat tinggal dan secara yuridis
memiliki wilayah daratan, wilayah lautan, dan wilayah udara. Batas negara dapat dibedakan
menjadi 2 yaitu boundaries dan frontier. Definisi boundaries adalah suatu batas yang berfungsi
mengikat atau membatasi (bound or limit) suatu unit politik yaitu Negara. Dalam proses
terbentuknya boundaries dibedakan jadi 2 yaitu artificial boundaries (perbatasan yang tanda
batasnya dibuat oleh manusia atas dasar perundingan, persetujuan maupun perjanjian antarnegara
yang biasanya berupa patok, tugu, kanal, terusan dan lain-lain) dan natural boundaries
(perbatasan yang batasnya terbentuk karena proses alamiah).

Perbatasan antar negara merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi hubungan
anatara kedua negara. Batas wilayah suatu negara harus jelas karena menyangkut kedaulatan
sebuah negara. Dalam penentuan batas wilayah kedua negara membuat perjanjian perbatasan
yang harus dilandasi kepastian dalam penentuan, penetapan dan penegasan batas wilayah yang
selanjutnya dituangkan dalam bentuk perjanjian antar negara. Biasanya perjanjian antar negara
berbentuk treaty yang kemudian diratifikasi menjadi sebuah Undang-undang. Dalam
pelaksanaannya peta merupakan komponen yang terpenting saat menyusun dan menetapkan
perjanjian batas wilayah antar negara. Peta sebagai alat bantu dalam menentukan dan
menetapkan lokasi distribusi dari kawasan perbatasan. Biasanya peta selalu dilampirkan dalam
setiap penetapan dan penentuan perjanjian batas wilayah yang juga berfungsi untuk memperjelas
dan memudahkan kesepakatan letak dan juga lokasi dari masing-masing titik batas yang akan
disepakati antar negara yang berbatasan.
Lautan atau perairan teritorial merupakan bagian wilayah yang dimiliki oleh suatu
negara. Untuk menunjang keselamatan negara, setiap negara berhak atas bagian tertentu laut
yang berbatasan dengan wilayah daratan negaranya sebagai wilayah teritorialnya. Batas wilayah
laut tersebut telah diatur dan terdiri dari 2 yaitu batas laut territorial dan ZEE (Zona Ekonomi
Eksklusif). Pertama, dalam batas laut territorial suatu negara terdiri dari batas lebar laut
territorial dan batas luar laut territorial. Batas lebar laut territorial setiap negara telah diatur
dalam United Nations Convention on the Law of the Sea yaitu dalam Bab II pasal 2 sampai
dengan pasal 32, dan pada Bab II Konvensi Hukum Laut 1982 yang berjudul “Teritorial Sea and
Contigous Zone”. Di dalamnya disebutkan bahwa setiap negara berhak menetapkan lebar laut
teritorialnya hingga batas yang tidak melebihi 12 mil laut, dalam melakukan pengukuran dimulai
dari garis pangkal yang sudah ditentukan sesuai dengan konvensi tersebut. Sedangkan batas luar
laut adalah garis yang jarak setiap titiknya merupakan dari titik yang terdekat dari garis pangkal,
sama seperti penentuan mengenai lebar laut territorial. Tetapi jika ditentukan lain dalam
konvensi ini seperti garis pangkal biasa untuk mengukur lebar laut territorial adalah garis air
rendah sepanjang pantai sebagaimana terlihat pada peta skala besar yang diakui resmi oleh
negara pantai tersebut. Kedua, ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) adalah suatu daerah diluar dan
berdampingan dengan laut territorial yang tunduk pada suatu hukum khusus yang diterapkan
dalam United Nations Convention on Law of the Sea (UNCLOS). Pelaksanaan hak dan
kewajiban berdasarkan United Nations Convention on Law of the Sea (UNCLOS) dalam zona
ekonomi eksklusif oleh negara pantai, harus memperhatikan hak-hak dan kewajiban negara lain
yang bertindak dengan cara-cara sesuai dengan ketentuan konvensi ini dan peraturan hukum
internasional lainnya sepanjang ketentuan tersebut tidak bertentangan. Zona ekonomi eksklusif
tidak boleh melebihi 200 mil laut dari garis pangkal dari lebar laut territorial diukur. Di zona
ekonomi eksklusif semua negara baik negara berpantai atau tak berpantai dapat menikmati
dengan tunduk pada ketentuan yang telah ditetapkan pada Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
tentang Hukum Laut. Kebebasan-kebebasan pelayaran dan penerbangan, serta kebebasan
meletakkan kabel dan pipa bawah laut yang telah disebut pada Pasal 87 United Nations on Law
of the Sea dan penggunaan laut lain yang sah menurut hukum internasional yang berkaitan erat
dengan kebebasan-kebebasan dalam penggunaan laut, seperti penggunaan laut yang berkaitan
dengan pengoprasian kapal, pesawat udara, dan kabel serta pipa dibawah laut, dan sejalan
dengan ketentuan-ketentuan lain dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum
Laut ini.

Kasus sengketa wilayah laut menjadi sebuah isu yang sering kali terdengar dan dibahas
oleh para ahli hukum. Karena tidak bisa dipungkiri wilayah laut merupakan wilayah yang sangat
luas hampir dua banding tiga wilayah di bumi adalah perairan laut. Perairan laut juga memiliki
potensi-potensi yang besar dan juga merupakan sebuah asset yang dimiliki oleh suatu negara.
Sengketa ini biasanya melibatkan negara-negara pantai yang ingin memperluas daerah laut
teritorialnya. Hal tersebut membuat negara-negara pantai saling melakukan sengketa wilayah
laut karena melihat potensi dari wilayah perairan laut yang besar. Kasus sengketa wilayah
perairan laut yang dibahas di dalam paper ini adalah sengketa yang terjadi antara Peru-Chile dan
sengketa wilayah perairan laut Cina Selatan.

Questioned Raised

1. Apa saja metode dalam menyelesaikan sengketa?


2. Bagaimana Mahkamah Internasional berperan dalam menyelesaikan sengketa?
3. Bagaimana peran UNCLOS dalam penyelesaian sengketa wilayah laut?
4. Bagaimana sejarah dan proses sengketa wilayah antara Peru dan Chile?
5. Apakah upaya yang dilakukan Mahkamah Internasional dalam menyelesaikan kasus
sengketa antara Peru dan Chile?
6. Bagaimana sejarah dan proses sengketa di Laut Cina Selatan?
7. Apakah upaya yang dilakukan Mahkamah Internasional dalam menyelesaikan sengketa
Cina dan Filipina di Laut Cina Selatan?

Analysis

Penyelesaian dalam sebuah sengketa internasional bukanlah perkara yang mudah untuk
dilakukan. Banyak cara atau metode yang dapat dilakukan jika sebuah sengketa akan
diselesaikan. Penyelesaian sengketa dapat berasal dari dalam suatu negara yang bersengketa dan
juga ada faktor-faktor dari luar negara yang bersengketa. Menurut ketentuan hukum internasional
mengenai penyelesaian sengket internasional secara umum telah diatur dalam Piagam
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pasal 33 yang berisi penyelesaian sengketa internasional
secara damai dengan cara-cara diplomasi yaitu; negosisasi, mediasi, konsiliasi, arbitrase,
penyelesaian melalui pengadilan Mahkamah Internasional (MI), atau melalui agen-agen regional.
Dalam penyelesaian sebuah sengketa pada umumnya terdapat metode-metode yang digolongkan
ke dalam dua kategori yaitu penyelesaian perkara sengketa secara damai dan penyelesaian
perkara sengketa secara paksa atau dengan kata lain menggunakan kekerasan. Cara atau metode
paksaan digunakan jika dengan menggunakan cara atau metode damai tidak menemui titik
terang. Adapun metode atau cara damai menurut J.G Starke ada beberapa macam yaitu; arbitrase,
penyelesaian yudisial, negosiasi, jasa-jasa baik (good offices), mediasi, konsiliasi, penyelidikan,
dan penyelesaian dibawah naungan lembaga PBB. Sedangkan menurut seorang ahli hukum F.
Sugeng Istanto, metode atau cara dalam menyelesaikan perkara sengketa dapat dilakukan dengan
beberapa metode yaitu; rujuk, penyelesaian sengketa dibawah perlindungan PBB, arbitrasi, dan
peradilan.

Metode atau cara damai menurut J.G Starke yang Pertama yaitu Arbitrase. Arbitrase
merupakan cara alternatif yang sudah biasa dilakukan dalam hukum internasional. Sengketa
diajukan kepada para arbitrator yang dipilih secara bebas oleh kedua pihak yang sedang
bersengketa. Menurut F. Sugeng Istanto, arbitrasi adalah suatu cara penyelesaian sengketa
dengan mengajukan sengketa kepada pihak tertentu yang dipilih secara bebas oleh pihak-pihak
yang sedang bersengketa untuk membantu memutuskan sengketa yang terjadi tanpa harus
memperhatikan ketentuan hukum secara ketat atau dilakukan secara fleksibel tidak terpaku
dengan hukum yang digunakan. Lain halnya definisi aribtrasi menurut Konvensi Den Haag Pasal
37 Tahun 1907 dimana arbitrasi bertujuan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa internasional
oleh hakim-hakim pilihan mereka dan atas dasar ketentuan-ketentuan hukum internasional.
Dengan penyelesaian melalui jalur arbitrasi ini negara-negara harus melaksanakan atau
menerima keputusan dengan tindakan atau perbuatan yang baik. Pada dasarnya arbitrasi
merupakan prosedur penyelesaian sengketa konsensual dalam arti bahwa penyelesaian sengketa
melalui arbitrasi hanya dapat dilakukan dengan persetujuan negara-negara bersengketa yang
bersangkutan. Penyerahan suatu sengketa kepada arbitrasi dapat dilakukan dengan melakukan
suatu tindakan compromise, yaitu penyerahan kepada arbitrasi suatu sengketa yang sudah
muncul atau melalui pembuatan suatu klausul arbitrasi dalam suatu perjanjian sebelum sebuah
perkara sengketa muncul (clause compromissoire). Kedua, Penyelesaian Yudisial berarti suatu
penyelesaian perkara sengketa yang dihasilkan dari suatu pengadilan yudisial internasional yang
dibentuk sebagaimana mestinya dengan mengacu dari suatu kaidah hukum. Sedangkan menurut
F. Sugeng Istanto menganggap bahwa penyelesaian yudisial juga dapat disamakan dengan suatu
peradilan internasional. Ketiga, Negosiasi atau perundingan merupakan sebuah upaya yang
dilakukan untuk mencapai sebuah kesepakatan atau tujuan tertentu yang dapat diterima oleh
semua pihak yang bersengketa baik kesepakatan tersebut lebih banyak diterima oleh salah satu
pihak dibandingkan dengan yang lainnya. Negosiasi merupakan cara yang paling sederhana
karena kedua negara yang bersengketa hanya berdiskusi mengenai perbedaan persepesi yang
pada akhirnya menemukan jalan keluar untuk menyelesaikan masalah. Kedua belah pihak harus
bersifat universal dan harus memahami aturan-aturan mengenai niat baik, tidak hanya secara
formalitas. Keempat, Mediasi merupakan bentuk yang hamper sama dengan negosiasi. Namun,
yang membedakannya adalah dalam mediasi terdapat pihak ketiga sebagai penengah. Dalam hal
pihak ketiga yang hanya bertindak sebagai pelaku mediasi atau mediator komunikasi bagi pihak
ketiga untuk mencarikan negosiasi-negosiasi, maka peran dari pihak ketiga disebut sebagai good
office. Seorang yang disebut sebagai mediator merupakan pihak ketiga yang mempunyai peran
yang aktif agar terciptanya suatu solusi yang tepat untuk memunculkan terjadinya kesepakatan
antara pihak-pihak yang bertikai dan untuk menciptakan adanya suatu hubungan langsung di
antara para pihak yang bersengketa. Tujuannya adalah agar terciptanya adanya suatu kontak atau
hubungan langsung di antara para pihak yang bersengketa. Mediator bisa negara, individu, dan
organisasi internasional. Keberhasilan proses mediasi tergantung degan tingkat keseriusan atau
kemauan kedua negara yang bersengketa dalam menyelesaikan perkara tersebut (parties
willingness to solved issues) dan juga bagaimana negara yang bersengketa menanggapi
penyelesaian yang disarankan mediator (approval and implement dispute settlement). Mediasi
dikatakan berhasil jika saran atau penawaran dari mediator diterima oleh kedua negara yang
bersengketa, tapi saran dari mediator tidak bersifat mengikat (binding power). Keempat,
Konsiliasi menurut J.G Starke merupakan usaha untuk menyelesaikan sengketa secara damai
dengan bantua negara-negara lain atau badan penyidik dan komite-komite penasihat yang tidak
berpihak. Definisi yang lebih sederhana yaitu penyerahan suatu perkara sengketa kepada sebuah
komisi atau komite untuk membuat laporan beserta usulan-usulan kepada pihak yang
bersengketa.

Sedangkan penyelesaian sengketa secara paksa atau dengan kata lain menggunakan
kekerasan terdapat beberapa metode atau cara. Pertama, yaitu perang dan tindakan bersenjata
non perang. Menurut J.G Starke tujuan dari perang adalah untuk menaklukan negara lawan dan
untuk membebankan atau memaksakan syarat-syarat tertentu dimana negara yang ditaklukan
tidak dapat berbuat apa-apa kecuali mematuhinya. Menurut F. Sugeng Istanto perang adalah
sebuah pertentangan yang disertai dengan kekerasan menggunakan angkatan bersenjata masing-
masing pihak dengan tujuan menaklukan lawan dan menetapkan persyaratan perdamaian secara
sepihak. Kedua, Menurut J.G. Starke, Retorsi merupakan istilah teknis untuk pembalasan
dendam oleh suatu negara terhadap tindakan-tindakan yang tidak pantas atau tidak patut yang
dilakukan oleh negara lain, balas dendam tersebut dilakukan dalam bentuk tindakan-tindakan sah
yang tidak bersahabat, misalnya merenggangnya hubungan-hubungan diplomatik, pencabutan
privilege-privilege diplomatik, atau penarikan diri dari konsensi-konsensi fiskal dan bea. Ketiga,
yaitu Reprisal menurut pandangan Richard B. Lilich merupakan sebuah upaya untuk
memperoleh ganti rugi dari negara-negara lain dengan melakukan tindakan-tindakan yang
bersifat pembalasan. Reprisal dan retorsi merupuakan dua hal yang berbeda karena perbuatan
retorsi pada dasarnya merupakan tindakan yang tidak melanggar hukum sedangkan reprisal pada
dasarnya merupakan tindakan yang melanggar hukum. Keempat, Intervensi merupakan tindakan
campur tangan suatu negara ke negara yang lain. Menurut J. L. Brierly campur tangan harus
berbentuk suatu perintah yang bersifat memaksa dan mengancam dengan tindakan kekerasan.

Dalam menyelesaikan kasus sengketa secara hukum atau juridicial settlement dalam
hukum internasional salah satu caranya yaitu melalui badan peradilan internasional (world court
atau international court) atau yang biasa disebut dengan Mahkamah Internasional. Istilah ini
sebenarnya ditujukan bagi Permanent Court of International Justice yang mulai beroperasi pada
tahun 1992 berdasarkan pasal 14 dari Konvensi Liga Bangsa Bangsa. Dalam menyelesaikan
sebuah kasus Mahkamah Internasional menggunakan Statuta Mahkamah Internasional (Statute
of the International Court of Justice) dengan tegas menyatakan sumber-sumber hukum
internasional yang akan mahkamah terapkan dalam menyelesaikan sengketa-sengketa yang
diserahkan kepadanya. Menurut Mochtar Kusumaatmaja, sumber-sumber hukum digolongkan
dalam hukum utama atau primer, dan menggunakan sumber hukum tambahan atau hukum
subsider yaitu keputusan-keputusan pengadilan dan ajaran dari para ahli hukum dari berbagai
negara. Adanya dua penggolongan tersebut secara teori menunjukkan bahwa Mahkamah
Internasional pertama-tama akan menggunakan sumber hukum utama terlebih dahulu (perjanjian
internasional) baru jika sudah diperiksa kembali sengketa tersebut dengan mengguanakan
kaidah-kaidah hukum kebiasaan internasional. Selanjutnya, jika sumber hukum tersebut kurang
memberikan gambaran maka kasus sengketa tersebut akan dianalisa menggunakan sumber
hukum subsidier, yaitu prinsip-prinsip hukum umum dan putusan pengadilan terdahulu serta
pendapat para ahli hukum (doktrin).

Dalam Statuta Mahkamah Internasional Bab III tentang Proceedings In Contentiou Cases
dalam point Proceedings Before The Court menjelaskan proses dalam penyelesaian sengketa di
Mahkamah Internasional. Pertama, Perjanjian Khusus (Notification of Special Agreement).
Bagian ini merupakan bagian awal dari proses acara antara kedua belah pihak dengan
menyerahkan perjanjian khusus (bilateral) untuk menerima jurisdiksi ICJ. Perjanjian ini berisi
inti sengketa dan identitas masing-masing pihak. ICJ membedakan para pihak dengan memakai
stroke oblique atau garis miring pembeda karena tidak diketahui mana yang sebagai respondent
dan applicant, misalnya Peru/Chile. Selain itu ada bentuk yang lain juga yaitu dengan melakukan
penyerahan aplikasi (unilateral) yang berisikan identitas negara yang mengajukan aplikasi
disebut applicant dan negara pihak lawan disebut respondent. Kedua, setelah aplikasi untuk
beracara diterima oleh ICJ kemudian masuk ke tahap Pembelaan Tertulis (written pleadings).
Pada tahap ini meyerahkan Memorial dan Tanggapan Memorial (Counter Memorial). Sebuah
Memorial berisikan pernyataan fakta, hukum yang relevan, dan submission yang diminta,
sedangkan Tanggapan Memorial berisikan argument pendukung, penolakan atas fakta yang telah
disebutkan dalam fakta memorial, dan jawaban atas pernyataan hukum memorial. Ketiga, setelah
penyerahan Memorial dan tanggapannya proses selanjutnya adalah Presentasi Pembelaan (Oral
Pleadings). Pada tahap ini ICJ menentukan kapan hearing dari kasus yang diajukan dengan
persetujuan para pihak. Pada tahap ini bersifat terbuka dan open for public. Para pihak diberikan
dua kesempatan dalam memberikan presentasi biasanya berlangsung dua sampai tiga minggu.
Keempat, selain dari proses normal beracara di ICJ yang sudah disebutkan diatas terdapat juga
Perihal Khusus. Pada proses ini juga dapat mempengaruhi jalannya proses acara di ICJ. Perihal
Khusus tersebut berisi Keberatan Awal (Preliminary Objection), Ketidakhadiran Salah Satu
Pihak (Non-Appearance), Keputusan Sementara (Provisional Measures), Beracara Bersama
(Joinder Proceedings) dan Intervensi (Intervention). Tahap terakhir yaitu Keputusan
(Jugement), pada tahap ini dibagi menjadi tiga klasifikasi sebuah kasus telah dianggap tuntas
yaitu; para pihak telah mencapai kesepakatan sebelum proses beracara berakhir, pihak applicant
atau kedua belah pihak yang bersengketa telah sepakat menarik diri dari proses beracara yang
membuat kasus tersebut dianggap selesai, dan ketika ICJ memutus kasus tersebut dengan
keputusan yang dibuat atas pertimbangan yang dilakukan oleh ICJ atas kasus yang diajukan.
Hakim dalam ICJ memiliki tiga pendapat mengenai keputusan kasus tersebut, yaitu menolak atau
dissenting opinion, setuju tetapi berbeda dalam beberapa hal tertentu atau separate opinion dan
pendapat setuju atau declaration. Tetapi suatu sengketa yang diajukan kepada Mahkamah
Internasional dapat berakhir karena beberapa hal, yaitu adanya kesepakatan yang dilakukan dari
para pihak yang bersengketa (Agreement), tidak dilanjutkannya proses persidangan oleh para
pihak yang bersengketa (Discontinuance), dan adanya keputusan yang dikeluarkan oleh para
hakim Mahkamah Internasional (Judgement). Keputusan yang dikeluarkan oleh para hakim di
Mahkamah Internasional bersifat final (tidak dapat diganggu gugat) dan juga keputusan
Mahkamah Internasional tidak dapat disbanding dan hanya mengikat para pihak yang
bersengketa.

United Nation Convention on Law of the Sea (UNCLOS) atau terjemahannya yaitu
Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa mengenai Hukum Laut tahun 1982 adalah sebuah statuta
yang berisi 307 artikel dan sebelas lampiran dan dinegosiasikan selama kurang lebih delapan
tahun. Dengan instrumen panjang dan kompleksitas seperti itu, berurusan dengan masalah di
mana hampir semua negara memiliki kepentingan semacam, masalah tertentu secara alami
terbukti lebih sulit daripada yang lain. Tidak mengherankan, penyelesaian sengketa adalah salah
satu isu yang paling kontroversial dan ketentuan yang sekarang terdiri dari bagian XV Konvensi
pergi melalui beberapa versi sebelum teks akhirnya disetujui.

Secara spesifik penyelesaian sengketa internasional mengenai batas wilayah laut telah
diatur didalam United Nations Convention on Law of the Sea (UNCLOS) pada tahun 1982 BAB
V mengenai penyelesaian sengketa-sengketa. Negara-negara yang menandatangani konvensi
tersebut memiliki empat pilihan prosedur wajib yang harus dilaksanakan dalam menyeselesaikan
sengketa menurut Pasal 287 ayat (1) dapat memilih Mahkamah Internasional, ITLOS Tribunal,
Arbitrase dibawah annex VII UNCLOS, atau Arbitrase Khusus dibawah annex VII.

Persengketaan antara Negara Peru dan Chile di mulai pada tahun 1947, sengeketa ini
berawal pada saat adanya pengklaiman hak maritim 200 mill sepanjang pantai kedua Negara,
karena hal tersebut dipicu oleh Proklamasi Presiden Amerika Serikat, Truman, pada 28
September 1945, yang mengeluarkan pernyataan klaim atas landas kontinen bahwa negara
menguasai sumber daya dari lapisan tanah dan dasar laut dibawahnya. Namun perikanan dan
sumber daya air tetap tunduk hanya pada peraturan yurisdiksi. Akhirnya, Presiden Chile
mengeluarkan Deklarasi tentang klaim batas wilayah laut negaranya pada 23 Juni 1947,
sedangkan Peru mengeluarkan Keputusan Agung Nomor 781 pada 1 Agustus 1947. Kedua
negara yang memiliki wilayah yang saling berbatasan, menyadari akan perlunya sebuah aturan.
Akhirnya Negara Peru dan Chile menandatangani berbagai perjanjian mengenai norma kebijakan
maritim internasional mereka. Pada tahun 1952 Peru dan Chile, bersama-sama dengan Ekuador
mengeluarkan kesepakatan tentang zona perbatasan maritim khusus tambahan 10 mill. Zona
dimulai dari 12 mill dari pantai masing-masing negara, tujuannya yaitu untuk menghindari
pelanggaran yang tidak disengaja melewati batas-batas maritim oleh nelayan nasional.

Pada bulan Maret 1966, terjadi insiden di wilayah laut perbatasan Negara Peru dan Chile,
yaitu Kapal perang angkatan laut Peru, merespon pelanggaran yang terjadi di batas laut Chile-
Peru oleh dua kapal penangkap ikan Chile dengan menembakkan 16 tembakan peringatan. Pada
awal tahun 1968, dalam pertemuan sub regional dalam kaitan dengan Kesepakatan Pasifik
Selatan di Lima, pejabat Peru mengadakan pertemuan dengan pejabat departemen luar negeri
Chile untuk diskusi informal berkaitan dengan gesekan yang timbul dari kegiatan kapal nelayan
di pesisir. Setelah pertemuan itu Peru menulis kepada Chile pada tanggal 6 Februari 1968,
menyatakan bahwa baik untuk negara membangun pos pengawasan bersama di laut perbatasan.

Pada tanggal 8 Maret 1968, Chile menerima proposal ini dan ini adalah kesepakatan yang
dicapai oleh para pihak. Tujuannya adalah untuk mengatasi masalah tentang operasi kapal
nelayan Peru dan Chile ke pantai. Namun pada tanggal 23 Juli 1968, kapal penangkap ikan Chile
yang lain (Martin Pescador), diserang oleh kapal patroli Peru, di daerah sebelah utara perbatasan.
Pemilik kapal terluka oleh tembakan senjata api. Atico sebagai kapal patrol telah memberikan
peringatan kepada 20 kapal Chile yang melakukan kegiatan diwilayah itu, pemberitahuan
dipatuhi oleh semua kapal kecuali Martin Pescador. Sehingga kapal patroli menembak tanpa
tujuan untuk peringatan yang mengakibatkan pemilik kapal terluka tanpa disengaja. Praktek yang
dilakukan oleh Peru, Chile juga telah memberlakukan batas maritime dengan menangkap kapal
ilegal nelayan Peru yang terlibat dalam penangkapan ikan diperairan selatan batas politik
internasional. Selama bertahun tahun, pemerintah dan angkatan laut Chile telah menangkap
banyak kapal Peru dan dalam beberapa kasus dituntut melakukan penangkapan ikan ilegal di
perairan Chile. Kesepakatan tentang peraturan izin untuk eksploitasi sumber daya Pasifik Selatan
dibawah naungan CPPS (Komisi Tetap Pasifik Selatan), Chile mengatur penerbitan izin untuk
kapal-kapal asing yang menangkap ikan diwilayah perairan Chile dan ketentuan bahwa kapal
asing penangkap ikan yang tanpa izin akan dituntut. Dibawah rezim ini, kegiatan penangkapan
ikan di laut territorial dan ZEE.

Chile memerlukan izin, dan bagi yang melanggar akan dikenakan sanksi denda. Tindak
pidana bukan hanya melanggar aturan lalu lintas di laut, melainkan juga kegiatan ilegal di laut
territorial Chile. Data yang tersedia pada tahun 1984 dan 1994-2009, menunjukkan banyak kapal
yang ditemukan di perairan Chile. Pada tanggal 28 Juli 2007 Presiden Peru menyatakan bahwa
zona maritim antara Peru dan Chile tidak pernah dibatasi oleh kesepakatan atau perjanjian atau
dalam instrument hukum lainnya, atas dasar itu Peru menyatakan bahwa permasalahan batas
akan ditentukan oleh pengadilan sesuai dengan hukum kebiasaan internasional. Namun Chile
berpendapat lain, Chile berpendapat bahwa kedua negara telah menyepakati batas dari zona
maritime yang dimulai dari pantai dan kemudian berlanjut sepanjang lintang parallel, selain itu
Chile telah menolak untuk mengakui hak-hak berdaulat yang dimilki oleh Peru di daerah
maritime yang terletak di dalam batas 200 mill laut dari ujung pantai terluar. Pemerintah Peru
secara resmi mengajukan penyelesaian sengketa ke Mahkamah Internasional pada tanggal 16
januari 2008 sebagai akibat tidak pernah tercapainya kata sepakat dalam negosiasi yang dimulai
pada tahun 1980 dan berujung pada sikap Chile yang diwakilli oleh Menteri Luar Negeri Chile
yang menutup pintu negosiasi pada tanggal 10 September 2004. Sampai akhirnya kasus ini
selesai dengan bantuan dari Mahkamah Internasional. Dalam proses penyelesaian kasus sengketa
antara Peru dan Chile tersebut Mahkamah Internasional hanya mengambil empat dari sepuluh
tahap mekanisme penyelesaian kasus melalui bantuan Mahkamah Internasional yang sudah
disebutkan diatas. Kemudian tindakan yang diambil oleh Mahkamah Internasional dalam
penyelesaian kasus sengketa tersebut adalah dengan mengeluarkan Keputusan ICJ No, 137
Tahun 2014 yang berisikan bahwa sengketa antara Peru dan Chile telah selesai, dengan
keputusan pembagian batas wilayah laut. Pembagian dimulai di persimpangan pararel lintang
lewat melalui Boundary Marker No. 1 dengan garis air rendah, dan wilayah tersebut meluas
untuk 80 mil laut sepanjang pararel lintang ke Point A. Dari titik ini batasan maritime berjalan
sepanjang garis equidistance ke Point B, dan sepanjang batas 200 mil laut diukur dari garis
pangkal Chili ke Point C.

Laut Cina Selatan merupakan kawasan perairan laut yang strategis dan memiliki potensi
sumber daya alam yang melimpah dan potensi geografis yang sangat luas. Dengan perpanjangan
3.630.000 kilometer persegi, Laut Cina Selatan sangat penting karena ada beberapa alasan kuat.
Di satu sisi, Sumber Daya Alam yang dimiliki laut Cina Selatan terdiri dari kurang lebih
11.000.000.000 barel minyak serta 190.000.000.000.000 kubik gas alam. Tapi, di sisi lain, Laut
Cina Selatan menjadi rute penting di mana sekitar sepertiga dari pengiriman dalam perdagangan
dunia dengan total sekitar US $5,3 triliun setiap tahunnya. Potensi Sumber Daya Alam yang ada
di daerah Laut Cina Selatan contohnya adalah minyak bumi dan gas alam yang besar. Sedangkan
potensi geografis yang dimiliki Laut Cina Selatan sangat strategis karena merupakan jalur
pelayaran internasional dan jalur perdagangan lintas laut internasional. Laut Cina Selatan juga
merupakan jalur yang sering dilalui oleh Angkatan Laut negara-negara besar seperti Amerika
Serikat, Jepang, Australia, dan Korea. Tidak bisa dipungkiri dengan keadaan yang dimiliki oleh
Laut Cina Selatan membuat kawasan ini berpotensi munculnya konflik dan juga muncul
berpotensi memunculkan kerjasama antar negara. Terhitung sejak tahun 1947 sampai tahun 2013
sendiri banyak terdapat konflik antar negara yang saling mengklaim batas wilayah laut atau
perairan yang ada di Laut Cina Selatan. Negara seperti Republik Rakyat Cina (RRC), Vietnam,
Filipina, Malaysia, Taiwan, dan Brunei Darussalam sering terlibat sengketa mengenai batas
wilayah laut yang ada di Laut Cina Selatan. Tidak hanya dari negara yang berada disekitar
perairan Laut Cina Selatan saja yang terlibat, tetapi negara-negara besar seperti Amerika Serikat,
Rusia, negara maju di Eropa Barat, dan Korea juga memiliki kepentingannya masing-masing
dalam melihat potensi yang ada di Laut Cina Selatan.

Kawasan Laut Cina Selatan yang berbentuk pulau-pulau membuat batas wilayah yang
ada sering menjadi sengketa antar negara disekitar kawasan tersebut. Dalam pemberian
namanya, Republik Rakyat Cina (RRC) menyebut kawasan tersebut dengan nama Laut Cina
Selatan, sedangkan Vietnam menyebutnya dengan Laut Timur, Filipina menyebut kawasan
tersebut dengan Laut Luzon (Laut Filipina Barat) karena tidak terima dengan penyebutan Laut
Cina Selatan yang seakan-akan kawasan perairan laut tersebut hanya milik Cina saja. Vietnam
dan Cina merupakan negara yang sering bersengketa dalam memperebutkan kawasan ini.
Dengan kondisi geografis dari Laut Cina Selatan yang berbentuk kepulauan negara disekitarnya
saling bersengketa memperebutkan dua Pulau yaitu Pulau Spartly dan Pulau Paracel yang
merupakan pulau yang strategis dan merupakan daerah yang sering terjadi sengketa. Kedua
pulau ini yang menjadi fokus perebutan antara negara-negara pengklaim kawasan tersebut
(claimantans).

Pada Desember 1947 Pemerintah Republik Rakyat Cina (RRC) mengklaim hampir
seluruh wilayah Laut Cina Selatan dengan menerbitkan peta yang tidak hanya memuat
kepulauan-kepulauan utama di wilayah Laut Cina Selatan, tetapi juga memberi tanda sebelas
garis putus-putus (yang juga di sebut garis-garis berbentuk huruf U) di seputar wilayah perairan
Laut Cina Selatan. Pihak Republik Rakyat Cina (RRC) mengklaim saat peta tersebut diterbitkan
pertama kali tidak ada satupun negara yang menyampaikan protes diplomatik, sehingga terus
digunakan pemerintah Republik Rakyat Cina (RRC), sejak setelah kemenangan Partai Komunis
1949. Meski demikian, Republik Rakyat Cina (RRC) tidak pernah secara terbuka menyatakan
detail klaimnya tersebut. Pada tahun 1976 pemerintah Republik Rakyat Cina (RRC) secara paksa
mengambil alih dan menguasai kepulauan Paracel dari Vietnam. Kepulauan itu berada di sebelah
Utara kepulauan Spartly. Keduanya sama-sama di yakini kaya akan sumber daya alam gas dan
minyak bumi.

Dalam perkembangannya, Vietnam tidak mengakui wilayah kedaulatan Republik Rakyat


Cina (RRC) di kawasan tersebut, sehingga pada saat perang dunia II berakhir Vietnam Selatan
menduduki kepulauan Paracel, termasuk beberapa gugus di kepulauan Spartly. Selain Vietnam
Selatan kepulauan Spartly juga diduduki oleh Taiwan sejak perang dunia II dan Filiphina tahun
1971, alasan Filipina menduduki kepulauan tersebut karena kawasan itu merupakan tanah yang
sedang tidak dimiliki oleh negara manapun. Filipina juga menunjuk perjanjian San-Fransisco
1951, yang antara lain menyatakan, Jepang telah melepas haknya terhadap kepulauan Spartly.
Malaysia juga menduduki beberapa wilayah dalam gugus kepulauan Spartly yang diberi nama
yaitu terumbu layang. Menurut pembelaan dari Malaysia, langkah ini di ambil berdasarkan
peta batas landasan kontinen Malaysia yang dibuat pada tahun 1979, yang mencakup sebagian
dari kepulauan Spartly. Sementara Brunei yang memperoleh kemerdekaan secara penuh dari
Ingris juga 1  januari 1984 kemudian juga ikut mengklaim, namun Brunei hanya mengklaim
perairan dan  bukan gugus pulau. Sampai saat ini negara yang aktif menduduki di sekitar
kawasan ini adalah Taiwan, Vietnam, Filiphina dan Malaysia. Dengan kondisi seperti ini,
masalah penyelesaian sengketa teritorial di Laut China Selatan tampaknya akan menjadi semakin
rumit dan membutuhkan mekanisme pengolaan yang lebih teliti lagi.
Pada dasarnya masing-masing negara mempunyai pandangan yang berbeda-beda tentang
klaim mereka di Laut Cina Selatan. Sebagai contoh Cina sebagai negara yang paling penting
dalam konflik Laut China Selatan karena klaimnya terhadap kawasan ini sangat luas sehingga
memicu konflik dengan negara-negara disekitarnya. Klaim China yaitu “nine-dash line”
merupakan sebuah kawasan yang sangat luas sampai memasuki juga ke wilayah klaim dari
Taiwan. Isu klaim antara China dan Taiwan tersebut membuat hubungan kedua negara semakin
tegang. Dengan alasan historis kedua negara mengklaim kawasan Laut China Selatan tersebut.
Selain itu, China melakukan eksplorasi sumber daya alam melalui tiga perusahaan minyak yang
beroperasi di Laut China Selatan yaitu China National Offshore Oil Corporation (CNOOC),
China Petroleum & Chemical Corporation (Sinopec) dan China National Petroleum
Corporation (CNPC). Lain halnya dengan Filipina yang merupakan negara yang penting dalam
konflik sengketa Laut China Selatan ini karena Filipina termasuk negara yang paling awal dalam
mengeksplorasi di kawasan Kepulauan Spartly. Pada tahun 2013, Filipina melayangkan gugatan
atas klaim China di LCS ke Mahkamah Internasional (ICJ) di Belanda melalui peradilan
UNCLOS. Namun sekali lagi Beijing mengingatkan Manila untuk tidak terlalu agresif dalam
permasalahan LCS yang melibatkan kedua negara. Karena bagi China hal tersebut bisa merusak
persahabatan yang selama ini sudah terjalin dengan baik. Bagi Filipina, kebijakan China di LCS
sangat mengancam Filipina. Sebaliknya, Filipina tidak terlalu mempermasalahkan Vietnam yang
juga melakukan aktivitas strategis di LCS. Filipina beralasan bahwa aktivitas Vietnam tidak
mengancam karena dilakukan dalam skala kecil dibandingkan China yang melakukan
pembangunan dengan skala besar. Namun, tidak dipungkiri bahwa sikap Filipina terhadap
Vietnam tersebut didasari karena adanya kerjasama yang dilakukan oleh kedua negara pada
bidang keamanan antara Manila dan Hanoi.
Upaya untuk menyelesaikan sengketa dan konflik antara negara-negara yang terlibat di
Laut China Selatan sudah sering dilakukan. Sebagai contohnya penyelesaian sengketa antara
Filipina dengan Cina mengenai koflik Laut Cina Selatan, dimana Filipina memilih mengajukan
Permanent Court of Arbitration pada tanggal 22 Januari 2013 dalam menyelesaikan masalahnya
dan memperjuangkan hak-hak yang dimiliki Filipina. Filipina mengajukan tiga gugatan yang
menyangkut hak-haknya dan upaya untuk menyelesaikan konflik antara kedua negara. Pada
tanggal 22 Juli 2016 Permanent Court of Arbitration mengeluarkan putusan, yaitu Cina tidak
memiliki hak historis terhadap LCS dan berdasarkan Konvensi Hukum Laut tahun 1982 konsep
Nine Dash Line Cina tidak memiliki landasan hukum, tidak ada keputusan apa pun mengenai
Pulau Spartly yang memberikan Cina hak ZEE, eksplorasi Cina pada lokasi dekat Reed Bank
melanggar kedaulatan Filipina, Cina telah mencampuri hak tradisional warga Filipina untuk
menangkap ikan, terutama di Scarborough Shoal, Cina merusak ekosistem di Kepulauan Spartly
dengan penangkapan ikan berlebihan dan membuat pulau buatan. Tindakan Cina memperburuk
konflik dengan Filipina. Tetapi dengan dikeluarkannya putusan tersebut Cina tetap menolak dan
juga menghiraukan keputusan tersebut. Menurut seorang ahli hukum internasioal bernama
Hikahanto Juwana bahwa keputusan Cina tersebut tidak salah, Cina tidak dapat dipaksa untuk
mematuhi keputusan tersebut namun putusan tersebut relevan untuk menekan Cina agar
mengikuti norma dalam UNCLOS di LCS. Walaupun putusan yang dikeluarkan Arbitrase
sifatnya mengikat, namunpada kenyataanya PBB belum memiliki cara bagaimana untuk
menjalankan keputusan tersebut. Pada dasarnya jika melihat asas persamaan derajat, seharusnya
dengan dikeluarkannya keputusan Mahkamah Internasional ini membuat hubungan antara Cina
dan Filipina harusnya saling menghormati saling menguntungkan bukan dengan menolak
mengikuti putusan dan tetap menghiraukan putusan tersebut.

Concluding Remarks

Kesimpulan yang bisa diambil adalah hukum hukum internasional merupakan


seperangkat aturan yang ditujukan dan dibuat oleh negara-negara berdaulat secara eksklusif yang
dapat didefinisikan sebagai sekumpulan peraturan hukum yang sebagian besar mengatur
mengenai prinsip dan aturan yang harus dipatuhi oleh negara-negara (subjek hukum
internasional), dan hubungan negara satu dengan yang lain. Hukum internasional menjadi sebuah
aturan yang mau tidak mau harus ditaati oleh seluruh negara yang berdaulat di dunia terlepas dari
kepentingan-kepentingan sebuah negara. Dalam kehidupan internasional setiap negara memiliki
kepentingan nasionalnya masing-masing, dengan adanya hal tersebut membuat negara-negara
dapat melakukan kerjasama antar negara baik bilateral, multirateral, maupun regional dalam
upaya untuk mencapai kepentingan nasional suatu negara melalui perjanjian-perjanjian yang
disepakati. Hal tersebut memicu konflik sengketa antar negara karena adanya perbedaan
kepentingan tersebut.

Definisi sengketa atau dispute adalah suatu persengketaan atau pertikaian sebagai
terjadinya perbedaan pemahaman akan suatu keadaan atau obyek yang diikuti oleh pengklaim
oleh satu pihak dan penolakan di pihak lainnya. . Karena itu, sengketa internasional dapat
didefinisikan sebagai sebuah perselisihan, yang tidak melibatkan negara, dan memiliki
konsekuensi pada lingkup internasional. Konflik sengketa ini bukan merupakan masalah yang
mudah untuk diselesaikan karena melibatkan kepentingan nasional suatu negara yang berbeda-
beda. Subyek dari persengketaan dapat bermacam-macam, mulai dari sengketa mengenai
kebijakan suatu negara sampai persoalan perbatasan. Dalam sebuah konflik sengketa antar
negara terdapat cara atau metode yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan kasus tersebut. Ada
dua macam cara yaitu pemyelesaian sengketa secara damai, misalnya dengan melakukan
arbitrase, penyelesaian yudisial, negosiasi, jasa-jasa baik (good offices), mediasi, konsiliasi,
penyelidikan, dan penyelesaian dibawah naungan lembaga PBB. Sedangkan cara yang terakhir
adalah dengan menyelesaikan sengketa dengan cara paksa atau kekerasan, misalnya dengan
perang, retorsi, reprisal, dan intervensi. Penyelesaian kasus sengketa batas wilayah laut ini telah
diatur dalam sebuah perjanjian yang bernama United Nations Convention on the Law of the Sea
dimana negara yang bersengketa diberikan pilihan dalam menyelesaikan kasus sengketa tersebut.
Menurut Pasal 287 ayat (1) dapat memilih Mahkamah Internasional, ITLOS Tribunal, Arbitrase
dibawah annex VII UNCLOS, atau Arbitrase Khusus dibawah annex VII.

Pada contoh kasus sengketa batas wilayah laut antara Peru dan Chile diawali dengan
kedua negara saling membuat perjanjian untuk mengatur batas laut wilayahnya, tetapi dalam
pelaksanaanya terdapat banyak insiden yang membuat kedua negara sering berkonflik.
Sementara itu, penyelesaian kasus tersebut dibawa ke Mahkamah Internasional, dimana dalam
proses penyelesaiannya Mahkamah Internasional mengeluarkan Keputusan ICJ No, 137 Tahun
2014 yang berisikan bahwa sengketa antara Peru dan Chile telah selesai, dengan keputusan
pembagian batas wilayah laut.

Sedangkan dalam contoh kasus sengketa Laut Cina Selatan masalah yang dihadapi sangat
beragam karena yang bersengketa dalam kasus tersebut tidak terjadi antara dua negara, tetapi ada
enam negara yaitu Cina, Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Taiwan. Tidak
hanya negara yang berada disekitar Laut Cina Selatan saja yang memiliki kepentingan dalam
sengketa tersebut, negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Korea, Rusia, Australia, dan
Jepang ikut andil dalam kasus sengketa tersebut. Ada dua pulau yang paling sering diperebutkan
yaitu Pulau Spartly dan Pulau Paracel yang memiliki sumber daya alam yang melimpah seperti
gas bumi dan minyak bumi. Para negara yang ada disekitar Laut Cina Selatan tersebut
mengklaim wilayah tersebut rata-rata dengan melihat alasan historis atau alasan sejarah mereka.

Dalam penyelesaiannya konflik antara Cina dan Filipina belum menemui titik terang.
Filipina sudah membawa kasus ini ke PCA dan Mahkamah Internasional telah mengeluarkan
putusan mengenai sengketa antara kedua negara. Tetapi Cina menolak juga menghiraukan
keputusan tersebut dan masih melakukan aktifitas yang sudah dilarang di Laut Cina Selatan.
Seharusnya dengan adanya keputusan dari Mahkamah Internasional, Cina menghormati hak
yang dimiliki oleh Filipina sebagai negara berdaulat. Dalam kasus ini harusnya Cina sudah tidak
memiliki lagi hak intervensi pada Filipina dalam bentuk apapun karena sudah adanya putusan
yang dikeluarkan oleh Mahkamah Internasional.

Referensi:

1. Made PI, Diantha P, Ida P, et al. BUKU AJAR HUKUM INTERNASIONAL


Oleh : FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA. 2017.
2. Hathaway OA. Why we need international law. Nation. 2007;285(16):35-37.
3. Huala Adolf, 2004. Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Jakarta: Sinar
Grafika, hlm. 3
4. Huala Adolf, 2004. Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Jakarta: Sinar
Grafika, hlm. 89-90
5. Klein N. Dispute Settlement in the UN Convention on Law of the Sea; 2004.
6. J.G Starke, Pengantar Hukum Internasional, terjemahan dari Introduction to
International Law, Sinar Grafika, Jakarta, 2008 hlm. 351
7. Merrills J. International Dispute Settlement; 2011.
8. Kalalo, JJJ, Penyelesaian Kasus Imunitas Negara Melalui ICJ. Jurisprudentie,
2016; 3:98-109
9. Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, Pasal 94
10. Statuta ICJ 1945, Pasal 62 dan 63, Aturan Mahkamah 1978 Pasal 81 – 86
11. U.S. Energy Information Administration, 2013
12. Weatherbee, 2009:148
13. Voice of America, 8/5/2015
14. Sengketa AP. Sengketa. 2013; 2(November).

Anda mungkin juga menyukai