Anda di halaman 1dari 15

Inisiasi Tuton ke – 7

Mata Kuliah : Tindak Pidana Korupsi


Program Studi : Ilmu Hukum
Fakultas : HISIP
Penulis : Elizabeth Ghozali
Email : ibethghoz@gmail.com
Penelaah : Dewi Mutiara
Emai : Dewim@ecampus.ut.ac.id
KEBIJAKAN PENGEMBALIAN ASET HASIL KORUPSI
DALAM UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI

 salah satu unsur dalam tindak pidana korupsi ialah adanya kerugian keuangan
negara.
 Terhadap kerugian keuangan negara ini membuat UU Korupsi baik yang lama
yaitu UU No. 3 tahun 1971 maupun yang baru yaitu UU No. 31 Tahun 1999 jo
UU No. 20 tahun 2001, menetapkan kebijakan bahwa kerugian keuangan negara
itu harus dikembalikan atau diganti oleh pelaku korupsi (Asset Recovery).
SISTEM PEMIDANAAN DALAM TINDAK PIDANA
KORUPSI

 Sejarah kebijakan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi telah dikenal di
Indonesia melalui:
o Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM-08/1957 tentang Pemilikan
Terhadap harta Benda.
o Peraturan Militer Nomor Prt/PM-011/1957 tertanggal 1 Juli 1957.
o Peraturan Penguasa Perang Angkatan Darat No, Prt/Perpu/013/1958
tertanggal 16 April 1958 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan
Tindakan Korupsi Pidana dan Pemilikan Harta Benda.
o Pasal 14 UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
 Kini, isi pengembalian aset hasil korupsi sebagai isu strategis dan terobosan baru, namun akan
menghadapi masalah hukum tersendiri, baik secara konsepsional maupun operasional, karena:
Istilah “pengembalian aset” tidak diatur secara eksplisit dalam UU No. 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara dan UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
maupun dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001.
 Pengembalian aset merupakan nomenklatur baru dan tersendiri, terpisah dari istilah “keuangan
negara”.
 Menurut UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001, pengembalian kerugian keuangan
negara dapat dilakukan melalui 2 instrumen, yakni: instrumen pidana dan instrumen perdata.
 Pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi melalui instrumen pidana adalah adanya pidana
denda yang diformulasikan ke dalam pasal-pasal UU PTPK (Pasal 3, 5 – 14) dan pengenaan
pidana tambahan (Pasal 18 UU PTPK).
 Ketentuan pengenai proses pengembalian aset melalui hukum pidana umumnya terdiri dari 4
tahap:
o Pelacakan aset untuk melacak aset
o Tindakan-tindakan pencegahan untuk menghentikan perpindahan aset-aset melalui
mekanisme pembekuan atau penyitaan.
o Penyitaan aset.
o Pengembalian dan penyerahan aset dari negara penerima kepada negara korban tempat
aset diperoleh secara tidak sah.
 Pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi melalui instrumen perdata diatur
dalam Pasal 32 – 34 dan Pasal 38 UU PTPK.
 Dalam proses perdata, beban pembuktian merupakan kewajiban penggugat, yaitu oleh
Jaksa Pengacara Negara atau instansi yang dirugikan. Dalam hubungan ini,
penggugat berkewajiban membuktikan antara lain :
o Bahwa secara nyata telah ada kerugian keuangan negara;
o Kerugian keuangan negara sebagai akibat atau berkaitan dengan perbuatan
tersangka, terdakwa, atau terpidana
o Adanya harta benda milik tersangka, terdakwa atau terpidana yang dapat
digunakan untuk pengembalian kerugian keuangan negara.
KERJASAMA INTERNASIONAL PENGEMBALIAN ASET
HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI
1. Kerjasama Timbal Balik (Mutual legal Assistance)
2. Kerjasama Ekstradisi

Mutual Legal Assistance (MLA)


• MLA ini sangat dianjurkan dalam berbagai pertemuan internasional dan Konvensi PBB,
misalnya, dalam United Nations Convention Against Corruption (UNCAC). Negara
penandatangan dianjurkan untuk memiliki kerja sama internasional; antara lain, dalam bentuk
MLA guna memberantas korupsi.
• Indonesia sudah mempunyai undang-undang yang merupakan payung dari MLA, yaitu UU No
1 tahun 2006 yang berlaku sejak 3 Maret 2006.
• UU No 1 Tahun 2006 ini mengatur ruang lingkup MLA, prosedur Mutual Assistance Request
(MAR) dan pembagian hasil tindak pidana yang disita kepada negara yang membantu.
• MLA pada intinya dapat dibuat secara bilateral atau multilateral.
• MLA bilateral ini dapat didasarkan pada perjanjian MLA atau atas dasar hubungan baik timbal
balik (resiprositas) dua negara.
• Indonesia sudah memiliki beberapa perjanjian kerja sama MLA Bilateral, antara lain dengan
Australia, China, Korea, dan AS. Sementara itu, MLA Multilateral terangkum pada MLA
regional Asia Tenggara yang sudah ditandatangani hampir semua negara anggota ASEAN.
• Objek MLA, antara lain:
o pengambilan dan pemberian barang bukti. Ini termasuk pernyataan, dokumen, catatan,
identifikasi lokasi keberadaan seseorang,
o pelaksanaan permintaan untuk pencarian barang bukti dan penyitaan, pencarian,
pembekuan, dan penyitaan aset hasil kejahatan,
o mengusahakan persetujuan orang yang bersedia memberikan kesaksian atau
o membantu penyidikan di negara peminta bantuan MLA.
Pelaksanaan MLA:
• Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai otoritas sentral (central authority) dapat
meminta pejabat yang berwenang untuk melakukan tindakan kepolisian. Hal ini berupa
penggeledahan, pemblokiran, penyitaan, pemeriksaan surat , dan pengambilan keterangan.
• Sebaliknya, Menteri Hukum dan HAM dapat menolak permintaan kerja sama MLA dari
negara lain dalam hal tindakan yang diajukan itu dapat mengganggu kepentingan nasional
atau berkaitan dengan kasus politik atau penuntutan yang berkaitan dengan suku, agama, ras,
kebangsaan, atau sikap politik seseorang.
• Komunikasi dalam kerja sama MLA dapat dilakukan, baik melalui jalur diplomatik maupun
melalui jalur Central Authority. Ada juga negara yang melakukan kerja sama MLA hanya
melalui jalur diplomatik, seperti Malaysia.
KERJASAMA EKSTRADISI

Pengertian
• Extradition is the procedure followed in returning an accused from one
state or foreign country to the state where the crime was committed for
the purpose of prosecution.
• Penyerahan oleh suatu negara kepada negara yang meminta
penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan
suatu kejahatan diluar wilayah yang menyerahkan dan di wilayah
negara yang meminta penyerahan tersebut, karena berwenang untuk
mengadili dan memidananya (Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1979 Tentang
Ekstradisi).
• Proses ekstradisi mungkin antar internasional atau antar-negara bagian.
• Ekstradisi antar negara bagian disebut oleh beberapa penulis hukum
sebagai rendition.
SYARAT – SYARAT EKSTRADISI

 Syarat-syarat Ekstradisi:
• Harus ada negara peminta (requesting country) dan negara diminta
(requested country).
• Harus ada orang yang diekstradisi (tersangka, terdakwa, terpidana)
• Harus ada ada kejahatan yang diekstradisi
• Harus ada perjanjian ekstradisi.
 Asas-asas Ekstradisi:
• Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1979 Tentang Ekstradisi
• Ekstradisi dilakukan berdasarkan suatu perjanjian.
• Dalam hal belum ada perjanjian tersebut dalam ayat (1), maka ekstradisi dapat
dilakukan atas dasar hubungan baik dan jika kepentingan Negara Republik
Indonesia menghendakinya.
 Prinsip-prinsip Ekstradisi:
• Double criminality, yaitu kejahatan diakui oleh hukum di negara diminta dan hukum
di negara peminta (Pasal 5 ayat (1) KUHP).
• Principle of speciality, yaitu kejahatan tersebut harus ditentukan dalam perjanjian
(Pasal 2 ayat (1) UU Ekstradisi) dan kejahatan tersebut hanya boleh diproses atas
kejahatan yang dimintakan (Pasal 15 UU Ekstradisi).

 Larangan Ekstradisi:
• Non-extradition of poltical criminal, yaitu tidak akan menyerahkan tekait kejahatan
politik (Pasal 5 UU Ekstradisi) → penafsiran negatif.
• Nebis in idem, terhadap pelaku kejahatan yang diekstradisikan telah diputus dan
mempunyai kekuatan hukum tetap (Pasal 10 UU Ekstradisi).
• Daluarsa, terhadap kejahatan yang hak menuntut atau hak untuk melaksanakan putusan
pidana telah kadaluarsa (Pasal 12 UU Ekstradisi).
Alasan Penolakan Ekstradisi:

• Penolakan karena alasan Mandatory / Kewajiban


o Terkait kejahatan politik (Pasal 5).
o Tindak pidana militer yang bukan kejahatan menurut hukum pidana umum (Pasal 6).
o Subjek atas suatu tindakan karena didasarkan atas ras, agama, kebangsaan, etnis, politis dan
gender.
o Orang yang diekstradisi akan dijadikan objek penyiksaan.
o Terhadap kejahatan orang yang diekstradisi telah diputus dan mempunyai kekuatan hukum
tetap (Pasal 10).
o Karena ada alasan imunitas dan abolisi.
o Karena diputus secara in absentia.
Alasan Penolakan Ekstradisi:

• Penolakan karena alasan Optional / Pilihan:


o Pelaku adalah warga negara dari negara yang diminta.
o Negara diminta tidak akan memproses kejahatan tersebut.
o Mendapat ancaman hukuman mati di negara peminta (Pasal 13).
o Perbuatan dilakukan di luar wilayah negara peminta yang tidak mempunyai yurisdiksi.
o Kejahatan yang dilakukan sebagian atau seluruhnya di wilayah negara yang diminta (Pasal 8).
o Negara diminta beranggapan bahwa pelaku akan diadili oleh extraordinary court/ Ad Hoc.
o Alasan kemanusiaan.
Treaty - making practice in extradition law:
o Bilateral treaties and agreements
o Ad hoc regional conventions on extradition
o United Nations multilateral treaties containing specific provisions on extradition
o U.N. Convention against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances
(Vienna convention1988): article 6
o U.N. Convention against Transnational Organized Crime (UNTOC/Palermo Convention
2000): article 16
o U.N. Convention against Corruption (2003): article 44

Anda mungkin juga menyukai