salah satu unsur dalam tindak pidana korupsi ialah adanya kerugian keuangan
negara.
Terhadap kerugian keuangan negara ini membuat UU Korupsi baik yang lama
yaitu UU No. 3 tahun 1971 maupun yang baru yaitu UU No. 31 Tahun 1999 jo
UU No. 20 tahun 2001, menetapkan kebijakan bahwa kerugian keuangan negara
itu harus dikembalikan atau diganti oleh pelaku korupsi (Asset Recovery).
SISTEM PEMIDANAAN DALAM TINDAK PIDANA
KORUPSI
Sejarah kebijakan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi telah dikenal di
Indonesia melalui:
o Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM-08/1957 tentang Pemilikan
Terhadap harta Benda.
o Peraturan Militer Nomor Prt/PM-011/1957 tertanggal 1 Juli 1957.
o Peraturan Penguasa Perang Angkatan Darat No, Prt/Perpu/013/1958
tertanggal 16 April 1958 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan
Tindakan Korupsi Pidana dan Pemilikan Harta Benda.
o Pasal 14 UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Kini, isi pengembalian aset hasil korupsi sebagai isu strategis dan terobosan baru, namun akan
menghadapi masalah hukum tersendiri, baik secara konsepsional maupun operasional, karena:
Istilah “pengembalian aset” tidak diatur secara eksplisit dalam UU No. 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara dan UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
maupun dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001.
Pengembalian aset merupakan nomenklatur baru dan tersendiri, terpisah dari istilah “keuangan
negara”.
Menurut UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001, pengembalian kerugian keuangan
negara dapat dilakukan melalui 2 instrumen, yakni: instrumen pidana dan instrumen perdata.
Pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi melalui instrumen pidana adalah adanya pidana
denda yang diformulasikan ke dalam pasal-pasal UU PTPK (Pasal 3, 5 – 14) dan pengenaan
pidana tambahan (Pasal 18 UU PTPK).
Ketentuan pengenai proses pengembalian aset melalui hukum pidana umumnya terdiri dari 4
tahap:
o Pelacakan aset untuk melacak aset
o Tindakan-tindakan pencegahan untuk menghentikan perpindahan aset-aset melalui
mekanisme pembekuan atau penyitaan.
o Penyitaan aset.
o Pengembalian dan penyerahan aset dari negara penerima kepada negara korban tempat
aset diperoleh secara tidak sah.
Pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi melalui instrumen perdata diatur
dalam Pasal 32 – 34 dan Pasal 38 UU PTPK.
Dalam proses perdata, beban pembuktian merupakan kewajiban penggugat, yaitu oleh
Jaksa Pengacara Negara atau instansi yang dirugikan. Dalam hubungan ini,
penggugat berkewajiban membuktikan antara lain :
o Bahwa secara nyata telah ada kerugian keuangan negara;
o Kerugian keuangan negara sebagai akibat atau berkaitan dengan perbuatan
tersangka, terdakwa, atau terpidana
o Adanya harta benda milik tersangka, terdakwa atau terpidana yang dapat
digunakan untuk pengembalian kerugian keuangan negara.
KERJASAMA INTERNASIONAL PENGEMBALIAN ASET
HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI
1. Kerjasama Timbal Balik (Mutual legal Assistance)
2. Kerjasama Ekstradisi
Pengertian
• Extradition is the procedure followed in returning an accused from one
state or foreign country to the state where the crime was committed for
the purpose of prosecution.
• Penyerahan oleh suatu negara kepada negara yang meminta
penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan
suatu kejahatan diluar wilayah yang menyerahkan dan di wilayah
negara yang meminta penyerahan tersebut, karena berwenang untuk
mengadili dan memidananya (Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1979 Tentang
Ekstradisi).
• Proses ekstradisi mungkin antar internasional atau antar-negara bagian.
• Ekstradisi antar negara bagian disebut oleh beberapa penulis hukum
sebagai rendition.
SYARAT – SYARAT EKSTRADISI
Syarat-syarat Ekstradisi:
• Harus ada negara peminta (requesting country) dan negara diminta
(requested country).
• Harus ada orang yang diekstradisi (tersangka, terdakwa, terpidana)
• Harus ada ada kejahatan yang diekstradisi
• Harus ada perjanjian ekstradisi.
Asas-asas Ekstradisi:
• Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1979 Tentang Ekstradisi
• Ekstradisi dilakukan berdasarkan suatu perjanjian.
• Dalam hal belum ada perjanjian tersebut dalam ayat (1), maka ekstradisi dapat
dilakukan atas dasar hubungan baik dan jika kepentingan Negara Republik
Indonesia menghendakinya.
Prinsip-prinsip Ekstradisi:
• Double criminality, yaitu kejahatan diakui oleh hukum di negara diminta dan hukum
di negara peminta (Pasal 5 ayat (1) KUHP).
• Principle of speciality, yaitu kejahatan tersebut harus ditentukan dalam perjanjian
(Pasal 2 ayat (1) UU Ekstradisi) dan kejahatan tersebut hanya boleh diproses atas
kejahatan yang dimintakan (Pasal 15 UU Ekstradisi).
Larangan Ekstradisi:
• Non-extradition of poltical criminal, yaitu tidak akan menyerahkan tekait kejahatan
politik (Pasal 5 UU Ekstradisi) → penafsiran negatif.
• Nebis in idem, terhadap pelaku kejahatan yang diekstradisikan telah diputus dan
mempunyai kekuatan hukum tetap (Pasal 10 UU Ekstradisi).
• Daluarsa, terhadap kejahatan yang hak menuntut atau hak untuk melaksanakan putusan
pidana telah kadaluarsa (Pasal 12 UU Ekstradisi).
Alasan Penolakan Ekstradisi: