Anda di halaman 1dari 14

BUKU JAWABAN UJIAN (BJU)

UAS TAKE HOME EXAM (THE)


SEMESTER 2021/22.2 (2022.1)

Nama Mahasiswa : FRENGKY LENDU

Nomor Induk Mahasiswa/NIM : 041332718

Tanggal Lahir : 01 JANUARI 1987

Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM 4404 / TEORI PERUNDANG-UNDANGAN

Kode/Nama Program Studi : ILMU HUKUM S1

Kode/Nama UPBJJ : KUPANG

Hari/Tanggal UAS THE : MINGGU, 19 JUNI 2022

Tanda Tangan Peserta Ujian

Petunjuk

1. Anda wajib mengisi secara lengkap dan benar identitas pada cover BJU pada halaman ini.
2. Anda wajib mengisi dan menandatangani surat pernyataan kejujuran akademik.
3. Jawaban bisa dikerjakan dengan diketik atau tulis tangan.
4. Jawaban diunggah disertai dengan cover BJU dan surat pernyataan kejujuran akademik.

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN


TEKNOLOGI
UNIVERSITAS TERBUKA
HKUM4404

BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS


TERBUKA

Surat Pernyataan
Mahasiswa Kejujuran
Akademik

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama Mahasiswa : FRENGKY LENDU


NIM : 041332718
Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM 4404 / TEORI PERUNDANG-UNDANGAN

Fakultas : FISHIP
Program Studi : S1 HUKUM
UPBJJ-UT : KUPANG

1. Saya tidak menerima naskah UAS THE dari siapapun selain mengunduh dari aplikasi THE
pada laman https://the.ut.ac.id.
2. Saya tidak memberikan naskah UAS THE kepada siapapun.
3. Saya tidak menerima dan atau memberikan bantuan dalam bentuk apapun dalam
pengerjaan soal ujian UAS THE.
4. Saya tidak melakukan plagiasi atas pekerjaan orang lain (menyalin dan mengakuinya
sebagai pekerjaan saya).
5. Saya memahami bahwa segala tindakan kecurangan akan mendapatkan hukuman sesuai
dengan aturan akademik yang berlaku di Universitas Terbuka.
6. Saya bersedia menjunjung tinggi ketertiban, kedisiplinan, dan integritas akademik dengan
tidak melakukan kecurangan, joki, menyebarluaskan soal dan jawaban UAS THE melalui
media apapun, serta tindakan tidak terpuji lainnya yang bertentangan dengan peraturan
akademik Universitas Terbuka.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari terdapat
pelanggaran atas pernyataan di atas, saya bersedia bertanggung jawab dan menanggung sanksi akademik
yang ditetapkan oleh Universitas Terbuka.
Elopada,19 Juni 2022

Yang Membuat Pernyataan

FRENGKY LENDU

1 dari 3
HKUM4404

NASKAH UAS-THE
UJIAN AKHIR SEMESTER-TAKE HOME EXAM (THE)
UNIVERSITAS TERBUKA
SEMESTER: 2021/22.2 (2022.1)

Teori Perundang-Undangan
HKUM4404

No. Soal
1 Rekruitmen dan pengawasan merupakan dua hal yang saling terkait dalam menentukan hasil akhir
yang baik. Untuk memperoleh putusan yang mencerminkan pemenuhan keadilan (substansial)
dipengaruhi hakim berkualitas dan berintegritas yang diperoleh melalui rekrutmen dan proses
pengawasan yang baik. Konstitusi dan peraturan perundang-undangan telah memberikan
kewenangan atribusi dalam pelaksanaan rekrutmen calon hakim serta kelembagaan yang
berwenang melakukan pengawasan.
Pertanyaan :
1. Bagaimana kedudukan MA dan MK dalam struktur kekuasaan kehakiman dilihat dari :
a. Sistem rekruitmen Hakim Agung dan Hakim Konstitusi,
b. Lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap Hakim Agung, dan Hakim
Konstitusi!
2. Analisis dan temukan perbedaan dari Konstitusi dan peraturan perundang-undangan dalam
yudisial review!

2 Perhatikan
H. Moch. Onin Alias H. Onin (75 Tahun) Adalah Ketua Adat Kesatuan Masyarakat Hukum
AdatKasepuhan Cinangka, Banten. Beralamat di Kp adat Cinangka, Kec. Cinangka Kab. Serang
Banten, NIK. 198882004567890 Agama Islam, Pekerjaan Ketua Adat Cinangka
Hutan adat menurut Pasal 1 angka 6 dan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 41/1999 tentang
Kehutanan adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.
Pasal 5 UU Kehutanan
(1) hutan berdasarkan statusnya terdiri dari :
a. hutan Negara, dan;
b. hutan hak;
(2) hutan Negara sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a, dapat berupa hutan adat.
(3) pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2); dan
hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang
bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya
(4) apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi,
maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada Pemerintah.
Menurut H. Onin, hutan adat bukanlah hutan negara, tetapi hutan adat yang berada di wilayah
masyarakat hukum adat.
Hutan adat Cinangka berdasarkan Pasal 1angka 6 danPasal 5 ayat (1) dan(2) UU Kehutanan
merupakan bagian dari hutan negara, maka negara berhak memberikan hak guna usaha kepada
perusahaan untuk melaksanakan kegiatan industri perhutanan baik dalam bentuk usaha
perkebunan ataupun pertambangan. Dampak dari pemberian hak usaha tersebut, masyarakat adat
Cinangka yang sehari-hari menggantungkan hidupnya dari memetik hasil hutan adat tidak lagi
dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarga dan masyarakat adat Cinangka.
Menurut H. Onin, Pasal 1 angka 6 UU No. 41/1999 bertentangan dengan Pasal 18B ayat (2) dan
Pasal 18I ayat (3) UUD Tahun 1945.

1 dari 3
HKUM4404

Pertanyaan :
Dikaitkan dengan pengertian dan subjek hukum yang mempunyai Hak gugat (legal standing) dalam
pengujian undang-undang,
1. Silakan saudara analisis bagaimana kedudukan Masyarakat adat Cinangka dalam hal ini
diwakili H. Moch. Onin Alias H. Onin (75 Tahun) agar mempunyai hak gugat (legal
standing) dalam pengujian undang-undang kehutanan? Uraikan secara jelas.
2. Tentukan apa yang menjadi politik hukum nasional dalam pengujian undang-undang
sebelum dan setelah perubahan ketiga UUD Tahun 1945?

3 Bacalah kasus di bawah ini kemudian tulis dan jelaskan pertanyaan yang menyertainya.(catatan :
meskipun sangat mungkin terjadi dalam kenyataannya, tetapi alur cerita berikut dibuat hanya
sebagai ilustrasi untuk kepentingan studi, bukan menyatakan peristiwa hukum yang sebenarnya)
H. Moch. Onin Alias H. Onin (75 Tahun) Adalah Ketua Adat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat
Kasepuhan Cinangka, Banten. Beralamat di Kp adat Cinangka, Kec. Cinangka Kab. Serang
Banten, NIK. 198882004567890 Agama Islam, Pekerjaan Ketua Adat Cinangka
Hutan adat menurut Pasal 1 angka 6 UU No. 41/1999 tentang Kehutanan adalah hutan negara
yang berada dalam wilayah masyarakat hukumadat.
Pasal 5 UU Kehutanan
(1) hutan berdasarkan statusnya terdiri dari;
a. hutan Negara, dan;
b. hutan hak;
(2) hutan Negara sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a, dapat berupa hutan adat.
(3) pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2); dan
hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang
bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya
(4) apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi,
maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada Pemerintah.
Menurut H. Onin, hutan adat bukanlah hutan negara, tetapi hutan adat yang berada di wilayah
masyarakat hukum adat.
Menurut H. Onin, Pasal 1 angka 6 UU No. 41/1999 bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1), Pasal
28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.
Hutan adat Cinangka berdasarkan Pasal 1angka 6 danPasal 5 ayat (1) dan(2) UU Kehutanan
merupakan bagian dari hutan negara, maka negara berhak memberikan hak guna usaha kepada
perusahaan untuk melaksanakan kegiatan industri perhutanan baik dalam bentuk usaha
perkebunan ataupun pertambangan. Dampak dari pemberian hak usaha tersebut, masyarakat adat
Cinangka yang sehari-hari menggantungkan hidupnya dari memetik hasil hutan adat tidak lagi
dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarga dan masyarakat adat Cinangka.
Berdasarkankasus di atas, saudara merupakan advokat dan menjadi kuasa hukum dalam perkara
tersebut :
1. Analisislah kedudukan DPR dan DPD dalam pembentukan UU berdasarkan sistem
pemisahan kekuasaan menurut UUD 1945!.
2. Buatlah permohonan pengujian undang-undang tersebut ke lembaga berwenang!

2 dari 3
HKUM4404
4 UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja sejak dalam pembahasan oleh DPR dan pemerintah telah
dianggap tidak transparan, tidak ada keterlibatan publik sehingga mendapatkan protes meluas,
tidak saja oleh pekerja tetapi juga berbagai elemen masyarakat lain, termasuk mahasiswa dan guru
besar berbagai perguruan tinggi.
Dalam kondisi normal, UU No. 11/2020 berlaku setelah diundangkan dan ditempatkan dalam
lembaran negara, namun demikian, dengan meluasnya penolakan publik terhadap undang-undang
tersebut dapat menimbulkan kondisi yang oleh Pasal 22 UUD 1945 disebut sebagai
“halihwalkegentingan yang memaksa” Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai
pengganti Undang-Undang.
Pertanyaan :
a. Buatlah analisis yang dapat memberikan perbedaan antara pengujian secara formil dan
materil terhadap Undang-undang No. 11/2020 tentang Cipta Kerja?
b. “Hal ihwal kegentingan yang memaksa” apakah yang dimaksud dalam Pasal 22 UUD 1945
yang dapat dijadikan sebagai dasar penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
undang Cipta Kerja?
c. Analisislah control normatif dan kedudukan lembaga yang berwenang melakukannya dalam
pengujian peraturan perundang-undangan serta mengapa fungsi kontrol tersebut
dilaksanakan!

Skor Total
JAWABAN :

1. Jawaban
a). Amandemen UUD 1945 merupakan reformasi konstitusi yang telah mengubah struktur
ketatanegaraan
Indonesia, salah satu tujuan utama amandemen UUD 1945 adalah untuk menata cheeks and
balances antar lembaga negara. Setiap lembaga negara baik legislatif, eksekutif dan yudikatif
mengalami perubahan yang signifikan. Khusus perubahan terhadap cabang kekuasaan
yudikatif (judicial power) dimaksudkan demi menciptakan kekuasaan kehakiman yang
merdeka. Tuntutan reformasi terhadap kekuasaan yudikatif muncul, karena ditenggarai
kegalauan terhadap kondisi peradilan Indonesia yang masih mencari tatanan terbaik dalam
sistem ketatanegaraan, lahir pemikiran untuk mengembalikan kekuasan kehakiman dalam satu
atap (one roof system) yang pada akhirnya menjadi komitmen bersama. Namun kehadiran
kekuasaaan tersebut dikhawatirkan dapat memicu monopoli antara kekuasaan kehakiman,
sehingga perlu di bentuk sebuah lembaga pengawas ekternal yang dapat menjadi cheeks and
balances dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Ide tersebut kemudian direspon oleh MPR,
sehingga pada Sidang Tahunan MPR Tahun 2001 yang membahas Perubahan Ketiga UUD 1945
telah menyepakati beberapa perubahan dan penambahan Pasal yang berkaitan dengan
kekuasaan kehakiman. Pada akhirnya, Perubahan Ketiga UUD 1945 melahirkan lembaga
negara yaitu salah satunya Komisi Yudisial yang keberadaannya dijamin oleh Pasal 24B UUD
1945 dan kemudian diatur dalam UU No. 22 Tahun 2004 sebagaimana diubah dengan UU No.
18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial. Undang-Undang tentang Komisi Yudisial dibuat agar
operasionalisasi lembaga Komisi Yudisial dapat terlaksana dan terdapat kepastian hukum
dalam menjalankan fungsi, tugas dan wewenangnya.
Secara konstitusional, Pasal 24B ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945 meletakkan Komisi
Yudisial sebagai lembaga negara yang bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan
pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Sebagai negara hukum,
masalah kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim merupakan suatu hal yang
sangat strategis untuk mendukung upaya mewujudkan peradilan yang bersih, hal itu didasari
HKUM4404
pemikiran bahwa para hakim merupakan figur yang sangat menentukan dalam menegakkan
hukum dan keadilan. Dengan fungsi sepenting itu, maka hakim diharapkan dapat menjadi
benteng terakhir (the last resort) bagi para pencari keadilan (justiciable). Meskipun konstitusi
hanya memberikan kewenangan terhadap Komisi Yudisial untuk melakukan seleksi hakim
agung saja, namun berdasarkan ketentuan tiga undang-undang bidang peradilan tahun 2009,
Komisi Yudisial juga diberikan wewenang yang lebih luas lagi, yaitu Komisi Yudisial bersama
Mahkamah Agung memiliki kewenangan untuk melakukan seleksi pengangkatan hakim pada
Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, dan Pengadilan Tata Usaha Negara.
Perluasan kewenangan Komisi Yudisial untuk melakukan seleksi dan pengusulan hakim pada
dasarnya merupakan penjabaran kewenangan Komisi Yudisial dalam konstitusi yang
kemudian diatur dalam undang-undang bidang peradilan tahun 2009 untuk menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Sehingga dengan adanya perluasan
wewenang Komisi Yudisial tersebut, maka kemudian dirumuskan suatu peraturan bersama
antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial tentang tata cara seleksi hakim.
Oleh sebab itu, terdapat hal penting yang perlu diperhatikan terkait perluasan kewenangan
Komisi Yudisial dalam melakukan seleksi hakim, yaitu dibutuhkan sebuah sistem rekrutmen
yang baik dan ideal guna menghasilkan para hakim yang mempunyai kriteria-kriteria ideal,
misalnya kepribadian yang tidak tercela, adil, berintegritas, profesional, dan berpengalaman di
bidang hukum. Proses rekrutmen merupakan fase yang krusial, apabila sistem rekrutmen
hakim yang dilakukan buruk akibatnya juga akan menghasilkan hakim yang tidak berkualitas,
begitu juga sebaliknya. Pernyataan tersebut tidak terlepas dari kenyataan bahwa hakim
mempunyai peran yang sangat besar dalam hal memutuskan perkara-perkara yang dihadapi.
Hakim yang memiliki kriteria-kriteria ideal tidak akan hadir dalam suatu sistem perekrutan
yang buruk. Tidak salah apabila dikatakan bahwa good judges are not born but made. Hal ini
bisa dicapai apabila sistem rekrutmen, seleksi dan pelatihan hakim tersedia secara baik dan
memadai.
Kewenangan Komisi Yudisial dalam Rekrutmen Hakim
Amandemen UUD 1945 telah menetapkan suatu sistem bagi akuntabilitas penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman melalui lembaga Komisi Yudisial. Pasal 24B Perubahan Ketiga UUD
1945 secara tegas mengatur keberadaan Komisi Yudisial adalah lembaga negara yang bersifat
mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang
lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim. Apabila dilihat dari wewenang Komisi Yudisial yang diatur dalam Pasal 24B ayat (1)
UUD 1945, maka dapat disimpulkan bahwa selama ini ada dua persoalan mendasar yang
mengakibatkan kekuasaan kehakiman yang merdeka tidak terealisasikan dengan baik, yaitu
buruknya perekrutan hakim agung dan kurang atau tidak efektifnya lembaga yang mempunyai
tugas menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.Dalam
hal rekrutmen hakim, meskipun konstitusi hanya memberikan kewenangan terhadap Komisi
Yudisial untuk melakukan seleksi hakim agung saja, namun berdasarkan ketentuan tiga
undang-undang bidang peradilan tahun 2009, Komisi Yudisial juga diberikan wewenang yang
lebih luas lagi, yaitu Komisi Yudisial bersama Mahkamah Agung memiliki kewenangan untuk
melakukan seleksi pengangkatan hakim pada Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, dan
Pengadilan Tata Usaha Negara. Hal itu dijelasakan dalam Pasal 14A ayat (2) UU No. 49 Tahun
2009 tentang Peradilan Umum menyebutkan, “Proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan
negeri dilakukan bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial”, kemudian pada ayat
(3) menyebutkan, “ketentuan lebih lanjut mengenai proses seleksi diatur bersama oleh
Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial”. Selain itu, tertuang juga dalam Pasal 13A ayat (2) UU
No 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, “Proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan
agama dilakukan bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial”, kemudian ayat (3),
“Ketentuan lebih lanjut mengenai proses seleksi diatur oleh Mahkamah Agung dan Komisi
Yudisial”. Ketentuan yang sama juga terdapat dalam Pasal 14A ayat (2) UU No. 51 Tahun 2009
tentang PTUN, “Proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan tata usaha negara dilakukan
HKUM4404
bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial”, kemudian ayat (3), “Ketentuan lebih
lanjut mengenai proses seleksi diatur bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial”.
Kedudukan pengadilan (baik di lingkungan peradilan umum, peradilan tata usaha negara,
maupun peradilan agama), dalam sebuah sistem peradilan terpadu (integrated judiciary
system) merupakan “pusat” proses predilan. Hakim sebagai pilar utama mempunyai peran
penting didalamnya. Dalam hal ini, hakim sebagai tempat terakhir bagi para pencari keadilan
(justiciable) diharapkan mampu menghasilkan putusan yang mencerminkan rasa keadilan. Hal
ini tidaklah mudah karena dibutuhkan hakim yang mempunyai kualitas dan integritas yang
tinggi. Untuk mendapatkan para hakim yang demikian dibutuhkan sebuah sistem rekrutmen
yang ideal. Berdasarkan tiga undang-undang bidang peradilan tahun 2009 telah memberikan
perluasan kewenangan kepada Komisi Yudisial untuk melakukan rekrutmen hakim (baik di
lingkungan peradilan umum, peradilan tata usaha negara, maupun peradilan agama). Maka
menjadi kewajiban bagi Komisi Yudisial untuk melaksanakan kewenangan itu dengan sebaik-
baiknya. Dalam rangka melaksanakan proses seleksi hakim, maka dibutuhkan sebuah sistem
rekrutmen yang baik guna menghasilkan para hakim yang mempunyai kriteria-kriteria ideal,
misalnya kepribadian yang tidak tercela, adil, berintegritas, profesional, dan berpengalaman di
bidang hukum. Baik tidaknya seorang hakim salah satunya adalah ditentukan oleh sistem
rekrutmen. Rekrutmen menjadi pintu pertama untuk mengetahui kualitas dan integritas hakim
yang nantinya akan melaksanakan tugas kehakiman yaitu menegakkan hukum dan keadilan.
Sistem Ideal Rekrutmen Hakim untuk Peradilan yang Bersih
Sistem rekrutmen hakim di Indonesia banyak dipengaruhi oleh sistem rekrutmen di negara-
negara eropa continental (civil law system), dalam sistem ini, calon hakim diambil dari sarjana
hukum (freshgraduate). Sistem demikian berbeda dengan sistem yang ada di negara-negara
anglo saxon (common law system), dimana hakim direkrut dari sarjana hukum yang sudah
berpengalaman. Di Amerika Serikat, rekrutmen calon hakim dilakukan secara terbuka.
Dikenal empat bentuk sistem rekrutmen, (1) Partisan election system, hakim yang dipilih harus
mendapat dukungan dari partai politik, proses pemilihan ini dilakukan mulai tahap pertama,
yaitu konvensi, kemudian masuk dalam tahap pemilihan umum antar nominasi. Sistem ini
diterapkan di 13 negara bagian. (2) Nonpartisan election system, dalam sistem ini partai politik
tidak terlalu berpengaruh, para kandidat mengikuti tahapan pemilihan sendiri. Sistem ini
diterapkan di 16 negara bagian. (3) Gubernatorial appointment system, dalam sistem ini
kedekatan antara calon dengan partai politik masih ada, tetapi loyalitas, kontribusi dan
dedikasi calon yang menjadi penentu. Sistem ini diterapkan di 8 negara bagian. (4) Merit
selection system, sistem ini dibawah komisi khusus gabungan antara partai politik dan
masyarakat yang memilih beberapa daftar nama calon untuk diajukan ke pemerintah negara
bagian untuk dipilih dan ditetapkan. Kemudian di Jepang, proses rekrutmen hakim di Jepang
secara formal ditunjuk oleh Perdana Menteri dan kabinet. Namun dalam prakteknya,
rekrutmen hakim di semua tingkatan peradilan dilakukan oleh dan atas rekomendasi Chief of
Justice (Ketua Mahkamah Agung) dan Sekretaris Jenderal Legal Training and Research
Institute. Setiap tahunnya lulusan dari fakultas hukum ternama di Jepang mengikuti ujian
nasional untuk menjadi hakim. Bentuk ujiannya adalah soal pilihan ganda dan wawancara.
Peserta yang lulus ujian selanjutnya mengikuti pelatihan pada Legal Training and Research
Institute di bawah bimbingan Ketua Mahkamah Agung dan Sekretaris Jenderal lembaga
tersebut selama 2 tahun yang per 4 bulan melakukan tour of duty di 4 tempat. Pertama
ditempatkan di kantor pengacara, setelah itu di kantor kejaksaan selanjutnya di pengadilan
pidana dan pengadilan perdata masing-masing selama 4 bulan. Sebelum lulus dari pelatihan
tersebut, para peserta boleh mengajukan lamaran untuk jabatan hakim. Selanjutnya barulah
seseorang menempuh karirnya sebagai hakim yang dimulai dengan magang sebagai asisten
hakim selama 10 tahun. Namun dalam kenyataannya setelah 5 tahun magang sebagai asisten
hakim, mereka dapat menjadi anggota pada majelis hakim di distric court atau memimpin
sidang dalam family court atau sumarry court yang menggunakan hakim tunggal (junus judex).
Setelah 10 tahun magang, mereka akan diangkat kembali sebagai hakim penuh pada distric
HKUM4404
court. 16 Sedangkan di Turki, proses seleksi calon hakim dilaksanakan melalui lulusan sekolah
hukum. Calon hakim juga diharuskan lulus ujian calon hakim dan jaksa yang diselenggarakan
oleh Kementerian Kehakiman Turki. Selama dua tahun sebagai calon hakim mereka mengikuti
pendidikan dan latihan di Akademi Kehakiman Turki. Setalah itu bagi calon hakim yang dinilai
layak berdasarkan hasil seleksi, barulah ia diangkat sebagai hakim oleh The High Council of
Judges and Prosecutors (HCJP). Sementara di Indonesia, proses seleksi hakim yang
dilaksanakan di Indonesia berbeda dengan dengan di Amerika, Jepang, dan Turki.
Berdasarkan tiga undang-undang bidang peradilan tahun 2009 lembaga yang memiliki
kewenangan untuk melaksanakan rekrutmen hakim (baik di lingkungan peradilan umum,
peradilan tata usaha negara, maupun peradilan agama) adalah Komisi Yudisial bersama
Mahkamah Agung. Kehadiran Komisi Yudisial disini menjadi sangat penting, karena
merupakan instrumen untuk menjauhkan proses rekrutmen hakim dari kepentingan-
kepentingan politik yang seringkali terjadi. Oleh karena itu, dalam melaksanakan kewenangan
tersebut kemudian dirumuskan suatu peraturan bersama antara Mahkamah Agung dan Komisi
Yudisial tentang tata cara seleksi hakim. Berkaitan dengan sistem rekrutmen, apabila merujuk
pada salah satu ketentuan hukum internasional yang menentukan persyaratan perekrutan
hakim adalah Pasal 10 Basic Principles on the Independence of the Judiciary (Prinsip-prinsip
Dasar tentang Kemerdekaan Kehakiman) yang memberikan beberapa ketentuan yang
meskipun tidak terlalu komprehensif, tetapi cukup memberikan gambaran umum yang cukup
jelas mengenai persyaratan perekrutan hakim yang harus diperhatikan, yaitu:
1. Adanya integritas, kecakapan, dan kualifikasi calon hakim;
2. Metode seleksi hakim harus memberikan perlindungan bagi pengangkatan hakim dari
motivasi-motivasi yang tidak layak;
3. Tidak boleh ada diskriminasi terhadap para calon hakim.
Sistem rekrutmen hakim yang ideal adalah sistem rekrutmen yang dilakukan secara transparan
dan adanya pengawasan secara efektif, hal itu merupakan bagian dari upaya menegakkan
independensi dan objektivitas penilaian. Selain itu, dalam rekrutmen hakim faktor penting yang
harus dipertimbangkan adalah intelektualitas dan integritas para calon hakim. Intelektualitas
berkaitan dengan kemampuan penguasaan hukum materiil dan formal, serta kemampuan
melakukan penemuan hukum. Sehingga proses seleksi bukan mengejar kuantitas jumlah
hakim, bukan pula mengejar jumlah putusan yang berhasil diselesaikan setiap tahun. Kualitas
putusan jauh lebih penting, dan karenanya kualitas hakim yang dihasilkan dari seleksi juga
harus berkualitas. Sementara integritas menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia yang
luhur dan berbudi, kejujuran serta ketulusan terhadap sesama dan Tuhan YME. Oleh karena
itu, faktor intelektual dan integrias merupakan syarat mutlak yang harus dimiliki hakim dalam
menegakkan hukum dan keadilan. Lebih dari itu, para calon hakim harus memahami penuh
prinsip dasar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang terdapat dalam Peraturan
Bersama No. 047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) yang di implementasikan dalam 10 (sepuluh) aturan
perilaku, yaitu berperilaku adil, berperilaku jujur, berperilaku arif dan bijaksana, bersikap
mandiri, berintegritas tinggi, bertanggung jawab, menjunjung tinggi harga diri, berdisiplin
tinggi, berperilaku rendah hati, dan bersikap professional. Dengan harapan apabila telah resmi
terpilih menjadi hakim prinsip dasar KEPPH tersebut benar-benar dipatuhi diimplementasikan
secara konkrit dan konsisten baik dalam menjalankan tugas yudisialnya maupun di luar tugas
yudisialnya.
b). Komisi Yudisial (KY) adalah lembaga Negara yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berwenang mengusulkan
pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
2. = Konstitusi adalah seperangkat aturan dasar dan berbagai ketentuan untuk mengatur fungsi
serta struktur lembaga pemerintah, termasuk dasar hubungan kerja sama antara negara dan
rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konstitusi Negara Republik Indonesia
HKUM4404
adalah Undang-Undang Dasar atau UUD 1945
= Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang
mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang
berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan
= Judicial Review bidang Konstitusi, adalah peninjauan kembali dan atau pengujian oleh suatu
badan kekuasaan negara untuk dapat membatalkan putusan badan pembuat undang-undang
(legislasi) dan atau badan Pemerintahan (eksekutif). Judicial Review bidang ini di Indonesia
menjadi kompetensi dari Mahkamah Konstitusi.
Judicial Review bidang Konstitusi, adalah peninjauan kembali dan atau pengujian oleh suatu
badan kekuasaan negara untuk dapat membatalkan putusan badan pembuat undang-undang
(legislasi) dan atau badan Pemerintahan (eksekutif). Judicial Review bidang ini di Indonesia
menjadi kompetensi dari Mahkamah Konstitusi.
Ide pengujian undang-undang (judicial review) sebagai mekanisme peradilan konstitusional
untuk membanding, menilai, atau menguji hasil kerja mekanisme demokrasi politik sudah ada
sejaksebelum kemerdekaan, yaitu dalam sidang-sidang BPUPKI ketika merumuskan naskah
UUDNRI Tahun 1945.
1. Pada Tahun 2000, dasar hukum kewenangan MA ini ditingkatkan dari undang-undang ke TAP
MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-
Undangan dan Gagasan Mohammad Yamin tentang Pengujian undang-undang Terhadap
UUDNRI Tahun 1945. 17 Pada 2001 melaui perubahan ketiga UUDNRI Tahun 1945, dibentuklah
Mahkamah Konstitusi (MK) yang berdiri mandiri dan terpisah dari MA sebagai pelaku
kekuasaan kehakiman. MK berwenang melakukan pengujian undang-undang terhadap UUDNRI
Tahun 1945, namun MA tetap diberi kewenangan untuk menguji peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Selain itu, MK juga memiliki
kewenangan lain selain Menguji Undang-Undang terhadap UndangUndang Dasar, sebagaimana
yang terdapat di dalam Pasal 24C UUDNRI Tahun 1945, yaitu Memutus sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang; Memutus pembubaran
partai politik; Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; Memutus pendapat DPR
bahwa Presiden dan/atau Wapres telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela;
Memutus Pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wapres telah tidak lagi memenuhi
persyaratan sebagai Presiden dan/atau wakil presiden
2. Jawaban
Pengujian undang-undang kehutanan pada masyarakat adat Cinangka adalah sebagai
berikut:
a. Pada masalah kehutanan terdapat Undang-Undang yang berlaku yaitu Undang-
Undang 41 Tahun 1999 yang mengatur tentang hal-hal kehutanan.
b. Pada masalah masyarakat ada Cinangka itulah mempunyai hak gugat karena jika
hutan tersebut merupakan turun-temurun serta tidak ditujukan sebagai tujuan
komersil dan untuk bertahan hidup maka Undang-undang di atas tidak mengikat.
Penjelasan:
Pada uji Mahkamah Konstitusi terkatit dengan peraturan kehutanan pada Undang-
Undang 41 tahun 1999 menyatakan bahwa :
"Pasal 50 ayat (3) huruf e dan huruf i Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa ketentuan dimaksud dikecualikan
terhadap masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan tidak
ditujukan untuk kepentingan komersial.

3. Jawaban
I. Tuntutan reformasi melalui perubahan Undang-Undang Dasar 1945 telah mengakibatkan
HKUM4404
terjadinya perubahan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Salah satu perubahan
tersebut terjadi dalam kelembagaan negara dengan bertambahnya lembaga Dewan
Perwakilan Daerah (selanjutnya disebut DPD). Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar
1945 yang dilaksanakan pada tahun 2001 dalam Sidang Tahunan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, secara yuridis sebagai dasar kehadiran
lembaga baru dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia yaitu Dewan Perwakilan Daerah
Republik Indonesia yang diatur dalam Pasal 22C dan Pasal 22D. Sebagai tindaklanjut dari
Pasal 22C dan Pasal 22D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
pengaturan dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan DPD diatur
dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah. Kehadiran DPD sebagai lembaga baru hasil perubahan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) merupakan
konsekuensi dari perubahan Pasal 1 ayat (2) sebagai upaya untuk mengoptimalkan dan
meneguhkan paham kedaulatan rakyat. Hal ini terjadi karena paham kedaulatan rakyat
selama ini melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat (selanjutnya disebut MPR) sebagai
pemegang kedaulatan rakyat telah disalahgunakan.1 Perubahan Pasal 1 ayat (2) UUD
1945 ini pun dengan sendirinya menegaskan bahwa MPR bukan satu-satunya yang
melaksanakan kedaulatan rakyat.2 Rumusan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan
bahwa: “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan menurut Undang-Undang
Dasar”. Rumusan tersebut di atas dimaksudkan bahwa kedaulatan rakyat yang
pelaksanaannya diserahkan kepada badan/lembaga yang keberadaan, wewenang, tugas
dan fungsinya ditentukan oleh UUD 1945 itu serta

bagian mana yang langsung dilaksanakan oleh Rakyat. Dengan kata lain, pelaksanaan
kedaulatan rakyat tidak diserahkan kepada badan/lembaga mana pun, tetapi langsung
dilaksanakan oleh rakyat itu sendiri melalui pemilu.3 Implementasi dari prinsip kedaulatan
rakyat di atas, maka dilakukan dalam bentuk pemilihan langsung bagi anggota DPD. DPD
sebagai salah satu lembaga perwakilan selain Dewan Perwakilan Rakyat (selanjutnya disebut
DPR) tidak dapat dilepaskan dan merupakan tuntutan dari terselenggaranya sistem
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih mengedepankan asas otonomi dan tugas
pembantuan. Hal ini dapat dilihat dalam Perubahan Kedua UUD 1945 pada Pasal 18, Pasal
18A, dan Pasal 18B yang memberikan penekanan penyelenggaraan pemerintahan daerah
dan hubungan pusat dan daerah dilaksanakan dengan sistem otonomi luas. Untuk menjaga
dan menindaklanjuti kepentingan daerah dalam pengambilan kebijakan di pusat, maka
diperlukan lembaga yang memiliki eksistensi dan kedudukan serta fungsi yang dapat
menjembatani kepentingan daerah. Dengan didasarkan pada pengalaman dalam perjalanan
sistem ketatanegaraan Indonesia, dapat dilihat bahwa utusan daerah sebagai perwakilan
daerah di MPR pun tidak dapat melakukan fungsi tersebut, dan melalui tuntutan adanya
restrukturisasi kelembagaan MPR, maka diperlukan lembaga perwakilan yang berkaitan
denga kepentingan daerah yang dirumuskan sebagai DPD. Adanya DPD sebagai lembaga
legislatif tersendiri selain DPR, maka susunan MPR mengalami perubahan dari susunan
sebelum perubahan Undang-Undang Dasar 1945 yang terdiri dari anggota DPR ditambah
utusan daerah dan golongan-golongan. Oleh Philipus M. Hadjon, dikatakan bahwa perubahan
ketiga dan keempat membawa konsekuensi fundamental terhadap kedudukan dan fungsi
MPR. Dalam perubahan ketiga, dilakukan perubahan terhadap ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan
Pasal 3 UUD 1945. Perubahan terhadap Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 telah menggusur doktrin
supremasi MPR yang telah menjadikan MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara secara
inskonstitusional. Dalam perubahan keempat, dilakukan perubahan terhadap ketentuan Pasal
2 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Perubahan tersebut merubah secara mendasar
susunan MPR. MPR yang semula terdiri atas anggota
HKUM4404
DPR, ditambah utusan-utusan dari daerah dan golongan-golongan, menjadi MPR yang terdiri
atas anggota DPR dan anggota DPD.4 Secara umum, perubahan UUD 1945 dengan
kehadiran DPD telah mewujudkan sistem perwakilan dua kamar (bikameral) dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia. Terhadap hal tersebut, maka menimbulkan ketidakpastian secara
yuridis berkaitan dengan sistem perwakilan dua kamar (bikameral). Padahal gagasan
pembentukan DPD sebagai upaya restrukturisasi parlemen di Indonesia dengan sistem
bikameral. Hal ini pula yang menimbulkan pertanyaan secara berkaitan dengan kedudukan
DPD dalam sistem ketatanegaraan Indonesia berdasarkan UUD 1945. Dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia saat ini, DPD memiliki kedudukan yang tidak jelas. Apalagi
pengaturan dalam UUD 1945 yang berkaitan dengan DPD tidak diatur secara komprehensif
dan sangat sumir sebagaimana tertuang dalam Pasal 22C, Pasal 22D, Pasal 23E ayat (1),
dan Pasal 22F ayat (2) ataupun berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009. DPD
sama sekali tidak memiliki kekuasaan apapun, selain hanya memberikan pertimbangan, usul,
ataupun saran kepada DPR sebagai lembaga yang memutuskan, baik dalam bidang legislatif
maupun pengawasan. Kewenangan DPD berkaitan dengan penyelenggaraan otonomi daerah
yang sebatas memberikan pertimbangan pun menampakkan kelemahan fungsi DPD karena
tidak dapat memperjuangkan kepentingan daerah dan sebagai lembaga bargaining terhadap
kemungkinan pertimbangan DPD yang tidak dilanjuti oleh DPR. Apalagi rancangan undang-
undang yang tidak sesuai dengan kepentingan daerah tidak dapat dibatalkan oleh DPD
dengan menggunakan hak veto, sebagaimana dipraktikkan dalam sistem perwakilan
bikameral. Hal inilah yang mengakibatkan DPD tidak memiliki kekuasaan sama sekali dalam
sistem ketatanegaraan saat ini yang membuat kedudukan DPD sangat lemah bahkan hanya
sebagai lembaga yang hanya memberikan pertimbangan kepada DPR.
II.
Kepada Yang Terhormat,
KETUA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
di –
Jalan Banten Merdeka Barat No. 6 Jakarta Pusat 10110 Indonesia

Perihal: Permohonan Pengujian Undang-undang Repubik Indonesia Nomor 41 Tahun


1999 tentang Kehutanan Terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.

Dengan hormat,

Perkenankanlah Kami SULISTIONO, SH., IKI DULAGIN, SH,.MH., SUSILANINGTYAS,


SH., ANDI MUTTAQIEN, SH., ABDUL HARIS, SH., JUDIANTO SIMANJUTAK, SH.,
ERASMUS CAHYADI, SH., Semuanya adalah Advokat dan Pengabdi Bantuan Hukum,
yang tergabung dalam TIM ADVOKAT MASARAKAT ADAT NUSANTARA, dalam hal ini
memilih domisili hukum di Jalan Kasepuhan Cinangka, Banten. Beralamat di Kp adat
Cinangka, Kec. Cinangka Kab. Serang, bertindak bersamasama dan/atau sendiri-sendiri
untuk dan atas nama :

1. ALIANSI MASYARAKAT ADAT NUSANTARA (AMAN), dalam hal ini berdasarkan


Pasal 18 ayat (1) Anggaran Dasar (AD), diwaikili oleh:
Nama : H. Moch. Onin Alias H. Onin
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tempat, Tanggal Lahir : Banten, 2 April 1964
Kewarganegaran : Indonesia
Jabatan : Ketua Adat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat
Kasepuhan Cinangka, Banten
HKUM4404

Untuk selanjutnya disebut sebagai ……………………….………...……. PEMOHON I

Permohonan Pengujian Pasal 1 angka (6) sepanjang frasa “negara”, jo. Pasal 4 ayat (3)
sepanjang frasa “dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional”, jo. Pasal 5 ayat (1) sepanjang frasa “hutan berdasarkan statusnya
terdiri dari; (a) Hutan Negara, dan; (b) Hutan hak”, Ayat (2), Ayat (3) sepanjang frasa
“pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2);
dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat
yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya”, dan ayat (4) , serta Pasal 67
UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan terhadap UUD 1945

Untuk selanjutnya secara keseluruhan PEMOHON tersebut disebut PARA PEMOHON,


dengan ini mengajukan permohonan Pengujian Pasal 1 angka (6) sepanjang frasa
“negara”, jo. Pasal 4 ayat (3) sepanjang frasa “dan diakui keberadaannya, serta tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional”, jo. Pasal 5 ayat (1) sepanjang frasa “hutan
berdasarkan statusnya terdiri dari; (a) Hutan Negara, dan; (b) Hutan hak”, Ayat (2), Ayat
(3) sepanjang frasa “pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya
masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya”, dan
ayat (4) , serta Pasal 67 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan terhadap UUD 1945;

4. Jawaban
a. Dalam pengujian undang-undang (judicial review), Jimly Asshiddiqie berdasarkan
paham Hans Kelsen membagi dua jenis judicial review yaitu: (1) concreate norm
review dan (2) abstract norm review. Selanjutnya berdasarkan objek yang diuji,
pengujian produk hukum secara umum (toetsingrecht) yaitu (a) formele
toetsingrecht dan materiele toetsingrecht sehingga dalam judicial review terdapat
pula jenis formal judicial review dan materiil judicial review5. Terhadap hak
menguji materiil, Sri Soemantri memberikan garis bawah bahwa pengujian
tersebut adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai apakah
suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi derajatnya serta apakah suatu kekuasaan tertentu
(verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Sementara
hak menguji formal menurut Sri Soemantri adalah wewenang untuk menilai
apakah suatu produk legislatif seperti undangundang misalnya terbentuk melalui
cara-cara (prosedure) sebagaimana telah ditentukan/ diatur dalam pengaturan
perundang-undangan yang berlaku ataukah tidak. Jadi dalam bahasa yang
ringkas, review terhadap formalitas suatu produk perundang-undangan adalah
pengujian suatu prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan.
Demikian Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dibacakan dalam sidang putusan yang
digelar pada Kamis (25/11/2021) siang. Dalam Amar Putusan yang dibacakan oleh
Ketua MK Anwar Usman, Mahkamah mengabulkan untuk sebagian permohonan yang
diajukan oleh Migrant CARE, Badan Koordinasi Kerapatan Adat Nagari Sumatera Barat,
Mahkamah Adat Minangkabau, serta Muchtar Said.
“Menyatakan pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai „tidak
HKUM4404

dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan'.
Menyatakan UU Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan
pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam
putusan ini,” ucap Anwar yang dalam kesempatan itu didampingi oleh delapan hakim
konstitusi lainnya.
Dalam putusan yang berjumlah 448 halaman tersebut, Mahkamah juga memerintahkan
kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu
paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan diucapkan. Apabila dalam tenggang waktu
tersebut tidak dilakukan perbaikan, maka UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional
secara permanen.
b. Pasal 22 UUD 1945 sebelum amandemen mengatur tentang wewenang presiden untuk
membuat peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Dalam pasal 22 sebelum
amandemen, presiden berwenang membuat peraturan pemerintah pengganti undang-
undang dengan syarat mendapat persetujuan DPR. Berikut adalah bunyi pasal 22 UUD
1945 sebelum amandemen:

Pasal 22
(1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan
peraturan
pemerintah pengganti undang-undang.
(2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
dalam
persidangan yang berikut.
(3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.

c. Salah satu poin mendasar dari amandemen Undang-Undang Dasar Tahun 1945 adalah
diaturnya kewenangan judicial review yang dijalankan oleh lembaga pemengang
kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah
Agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
terhadap undang-undang, sedangkan Mahkamah Konstitusi menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Namun ternyata model pengujian undang-
undang yang berada di dua lembaga peradilan seperti ini rentan menghadirkan
persoalan hukum, sehingga perlu dilakukan penataan ulang. Kewenangan judicial
review lebih baik bila sepenuhnya berada di Mahkamah Konstitusi, sementara
Mahkamah Agung hanya fokus mengadili perkara yang berkaitan dengan keadilan
individu dan/atau badan hukum.

sebagai sumber hukum membuat kedudukan UUD 1945 memiliki tiga fungsi, yaitu sebagai
alat kontrol, pengatur, dan penentu semua peraturan.

1. Sebagai Alat Kontrol

Salah satu fungsi UUD 1945 sebagai alat kontrol.

UUD 1945 sebagai alat kontrol untuk mengecek atau menguji apakah perundang-
undangan di bawahnya sudah sesuai dengan konstitusi Republik Indonesia atau
bertentangan.

2. Sebagai Pengatur
HKUM4404
Fungsi UUD 1945 yang kedua adalah sebagai alat pengatur. UUD 1945 berfungsi
mengatur kekuasaan negara.

Hal tersebut meliputi cara menyusun, membagi, dan dilaksanakan. Semua lembaga negara
termasuk presiden harus selaras dan sesuai dengan ketentuan dalam UUD 1045, Kids.

3. Sebagai Penentu

Salah satu cara fungsi dari UUD 1945 adalah sebagai alat penentu.

Hal ini dimaksudkan bawah UUD 1945 berperan sebagai penentu hak dan kewajiban
negara, warga negara, dan pemerintah.

UUD 1945 menjadi pedoman dalam menentukan hak dan kewajiban pemerintah, lembaga
negara, dan warga negara.

Anda mungkin juga menyukai