Anda di halaman 1dari 16

BUKU JAWABAN UJIAN (BJU) UAS

TAKE HOME EXAM (THE)


SEMESTER 2021/22.1 (2021.2)

Nama Mahasiswa : EVAN FARAMBOS SIMANJUNTAK

Nomor Induk Mahasiswa/NIM : 041105838

Tanggal Lahir : 05 JULI 2021

Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM4404 / TEORI PERUNDANG - UNDANGAN

Kode/Nama Program Studi : 311 / ILMU HUKUM

Kode/Nama UPBJJ : 17 / JAMBI

Hari/Tanggal UAS THE : SENIN / 20 DESEMBER 2021

Tanda Tangan Peserta Ujian

Petunjuk

1. Anda wajib mengisi secara lengkap dan benar identitas pada cover BJU pada halaman ini.
2. Anda wajib mengisi dan menandatangani surat pernyataan kejujuran akademik.
3. Jawaban bisa dikerjakan dengan diketik atau tulis tangan.
4. Jawaban diunggah disertai dengan cover BJU dan surat pernyataan kejujuran akademik.

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS TERBUKA
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

Surat Pernyataan Mahasiswa


Kejujuran Akademik

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama Mahasiswa : EVAN FARAMBOS SIMANJUNTAK


NIM : 041105838
Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM4404 / TEORI PERUNDANG - UNDANGAN
Fakultas : FAKULTAS ILMU HUKUM, SOSIAL DAN POLITIK (FHSIP)
Program Studi : ILMU HUKUM
UPBJJ-UT : 17 / JAMBI

1) Saya tidak menerima naskah UAS THE dari siapapun selain mengunduh dari aplikasi THE pada laman
https://the.ut.ac.id.
2) Saya tidak memberikan naskah UAS THE kepada siapapun.
3) Saya tidak menerima dan atau memberikan bantuan dalam bentuk apapun dalam pengerjaan soal ujian UAS THE.
4) Saya tidak melakukan plagiasi atas pekerjaan orang lain (menyalin dan mengakuinya sebagai pekerjaan saya).
5) Saya memahami bahwa segala tindakan kecurangan akan mendapatkan hukuman sesuai dengan aturan akademik
yang berlaku di Universitas Terbuka.
6) Saya bersedia menjunjung tinggi ketertiban, kedisiplinan, dan integritas akademik dengan tidak melakukan
kecurangan, joki, menyebarluaskan soal dan jawaban UAS THE melalui media apapun, serta tindakan tidak terpuji
lainnya yang bertentangan dengan peraturan akademik Universitas Terbuka.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari terdapat pelanggaran atas pernyataan
di atas, saya bersedia bertanggung jawab dan menanggung sanksi akademik yang ditetapkan oleh Universitas Terbuka.
Jambi, 20 Desember 2021

Yang Membuat Pernyataan

Evan Farambos Simanjuntak


BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

1. 1. a. Sistem rekrutmen Hakim Agung dan Hakim Konstitusi ?


Jawab :
Mahkamah Agung (“MA”) dan Mahkamah Konstitusi (“MK”) keduanya merupakan lembaga negara yang dibentuk
berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”) sebagaimana yang terdapat dalam bunyi Pasal 24 ayat (2)
“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya
dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan
tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.” Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada
DPR untuk mendapat persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh presiden. (Pasal 24A ayat
[3] UUD 1945) MA memiliki cabang kekuasaan yang terdiri dari badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata
usaha negara. (Pasal 24 ayat [2] UUD 1945 dan Pasal 65 UU 14/1985). MK mempunyai sembilan orang anggota
hakim konstitusi yang ditetapkan oleh presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung,
tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh presiden. (Pasal 24C ayat [3] UUD 1945) Dalam
menjalankan kekuasaan kehakiman, MK tidak memiliki cabang kekuasaan kehakiman. MK hanya ada satu dan
berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia. (Pasal 3 UU MK)

Referensi : Hukumonline.com, O.C. Kaligis. 2005. Mahkamah Konstitusi Praktik Beracara & Permasalahannya. O.C.
Kaligis & Associates: Jakarta., Mahkamah Agung Republik Indonesia, Laporan Tahunan 2010, Februari 2011.

1.1.b. Lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap Hakim Agung, dan Hakim Konstitusi
Jawab
Lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap Hakim Agung, dan Hakim Konstritusi adalah Komisi
Yudisial.Bahwa UUD 1945 telah memberikan landasan hukum yang kuat bagi reformasi dibidang peradilan yaitu
dengan lebih mengefektifkan fungsi pengawasan baik pengawasan internal maupun eksternal kepada Hakim Agung
pada MA, Hakim Konstitusi pada MK, dan para Hakim pada semua lingkungan badan peradilan di Indonesia.
Pengawasan internal dilaksanakan oleh organ/badan yang dibentuk oleh lembaga itu sendiri yang diberikan tugas
untuk melakukan pengawasan kepada Hakim. Misalnya pada MA terdapat Ketua Muda Bidang Pengawasan,
sedangkan pengawasan eksternal sesuai ketentuan UUD 1945 dilakukan oleh Komisi Yudisial (KY). Beberapa
ketentuan dalam UU No.22 Tahun 2004 Tentang KY Pasal 20: "Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 huruf b KY mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku Hakim dalam
rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim". Pasal 22 ayat (1) huruf e:
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

"Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, KY: membuat laporan hasil
pemeriksaan yang berupa rekomendasi dan disampaikan kepada MA dan/atau MK, serta tindasannya disampaikan
kepada Presden dan DPR". Pasal 34 ayat (3) UU No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman : "Dalam rangka
menjaga kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim agung dan hakim, pengawasan dilakukan oleh
Komisi Yudisial yang diatur dalam undang-undang"
Referensi : Komisi Yudisial, Bunga Rampai Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, Jakarta, Komisi Yudisial RI,
2007.

1.2. Analisis dan temukan perbedaan dari Konstitusi dan peraturan perundang-undangan dalam yudisial
review
Jawab
Secara garis besar, konstitusi sendiri memiliki fungsi mengatur kekuasaan suatu lembaga dan pertaturan
perundang-undangan memiliki fungsi sebagai norma hukum yang mengikat secara umum dan diperuntukan kepada
warga negara itu sendiri. Berdasarkan hasil amandemen ke 3 UUD 1945 politik hukum di bidang peradilan dan
kekuasaan kehakiman di Indonesia mengalami perubahan. Kalau dulu kekuasaan kehakiman hanya diletakan
berpuncak pada Mahkamah Agung, sekarang puncak kekuasaan kehakiman ada dua yaitu Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi. Sehubungan dengan hal di atas Mahfud MD6 mengatakan “secara sederhana dapat
dikatakan bahwa Mahkamah Agung memegang kekuasaan kehakiman dalam perkara konvensional, sedangkan
Mahkamah Konstitusi memegang kekuasaan kehakiman dalam perkara ketatanegaraan”.
Dalam Pasal 24A ayat 1 UUD 1945 diatur secara eksplisit bahwa “Mahkamah Agung berwenang mengadili
pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang,
dan kewenangan lainnya yang diberikan oleh undang-undang”. Selanjutnya dalam Pasal 24 ayat 2 UUD 1945
ditentukan bahwa “kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada
di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Mengenai kewenangan
Mahkamah Agung ini diatur lagi dalam Pasal 31 ayat 1 Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yaitu “Mahkamah Agung mempunyai wewenang
menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang”.
Selanjutnya, dalam Pasal 24C ayat 1 UUD 1945 mengatur pula secara eksplisit bahwa “Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
undang-undang terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum”. Kewenangan Mahkamah Konstitusi ini diatur lagi dalam Pasal 10 ayat
1 a Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yaitu “menguji undang-unndang terhadap
UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945”
Berdasarkan ketentuan di atas, dapat dilihat bahwa dalam Pasal 24A ayat 1 poin 1 Mahkamah agung
berwenang menguji konflik peraturan yaitu peraturan perundangundangan di bawah undang-undang terhadap
undang-undang. Sedangkan dalam Pasal 24C ayat 1 Mahkamah Konstitusi juga berwenang menguji konflik
peraturan yaitu berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar. Ini menunjukan terjadi dualisme lembaga yang berwenang
menguji konflik peraturan perundang-undangan.
Sementara di sisi lain, menurut ketentuan Pasal 24 ayat 2 UUD 1945 “kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi”. Jika disandingkan dengan kewenangan lain yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi menurut
Pasal 24C ayat 1 yaitu “memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
undang-undang dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan
umum” tampak terjadi juga dualisme kelembagaan yang berwenang memutus sengketa antar orang/lembaga.
Mengenai dualisme yang terjadi terhadap lembaga yang berwenang melakukan judicial review terhadap
peraturan perundang-undangan di Indonesia dirasa kurang tepat karena penyusunan secara hirarkis itu bersifat
ketat menentukan derajat masingmasing peraturan perundang-undangan dan isi setiap peraturan perundang-
undangan yang secara hirarkis ada di bawahnya tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang secara hirarkis
ada di atasnya karena peraturan perundang-undangan itu harus memiliki suatu singkronisasi dan harmonisasi mulai
dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah.
Pendapat ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Mahfud MD7 yang mengatakan bahwa “peraturan
perundang-undangan itu tersusun secara hirarkis dan mempunyai proporsi materi muatan tertentu”. Mahfud MD8
juga mengatakan “idealnya, dua lembaga kekuasaan kehakiman mempunyai rumpun atau garis kompetensi yang
tegasyakni yang satu mengurus konflik atau perkara-perkara antar orang/lembaga, sedangkan yang lainnya
mengurusi konflik antar peraturan perundang-undangan”. Dalam kesempatan lain Mahfud MD9 mengatakan ada
dua catatan tentang persilangan kewenangan ini :
1. Idealnya Mahkamah Konstitusi berfungsi untuk menjamin konsistensi semua peraturan perundang-undangan
sehingga lembaga ini hanya memeriksa konflik peraturan perundang-undangan mulai dari yang paling tinggi
sampai yang paling rendah derajatnya. Oleh sebab itu, kewenangan uji materi peraturan perundangundangan
di bawah undang-undang terhadap undang-undang lebih ideal jika diberikan kepada Mahkamah Konstitusi
dengan ide ini maka konsistensi dan singkronisasi semua peraturan perundang-undangan secara linear ada di
satu lembaga yaitu Mahkamah Konstitusi.
2. Idealnya Mahkamah Agung berwenang menangani semua konflik peristiwa antar person dan/atau antar
rechtperson sehingga masalah hasil pemilu atau pembubaran parpol dan sebagainya dijadikan kewenangan
Mahkamah Agung, dan Mahkamah Agung dibebaskan dari kewenangan menguji materi peraturan
perundangundangan.
Di samping itu, Janpatar Simamora10 berpendapat “penyerahan kewenangan judicial review kepada
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi akan menyisakan kerumitan lain dalam perkara judicial review yang
tidak bertentangan secara langsung terhadap peraturan setingkat di atasnya, namun bertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi dengan peraturan di tingkat atasnya”.
Selain itu Anna Triningsih11 mengatakan “salah satu di antara prinsip turunan dari hierarki hukum terkait
dengan pengujian ini adalah bahwa peraturan yang lebih tinggi merupakan ukuran validitas bagi peraturan yang
lebih rendah.” Artinya, peraturan perundang-undangan merupakan satu kesatuan yang saling terintegrasi satu sama
lain. Oleh karena itu, harus diuji pula oleh satu lembaga agar terjaga konsistensinya.
Di sisi lain Achmad dan Mulyanto12 mengatakan “adanya dua lembaga pengujian peraturan perundang-
undangan yang berbeda akan menimbulkan problematika konseptual dalam pelaksanaannya. Hal ini disebabkan,
tidak ada lembaga tertinggi untuk mengawal dan menegakkan konstitusi. Teori hirarki norma dan asas
pembentukan peraturan perundang-undangan tidak sepenuhnya bisa dilakukan diimplementaskan secara integral.
Mekanisme pengujian peraturan perundangundangan di bawah undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar
belum ada pijakan hukumnya, sehingga menimbulkan kekosongan hukum.” Selanjutnya Ahmad dan Mulyanto13
juga mengatakan “adanya dualisme kewenangan judicial review oleh dua lembaga Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi secara empiris cepat atau lambat dapat menimbulkan konflik kelembagaan antara Mahkamah
Agung dan Mahkamah Konstitusi”.
Sejalan dengan hal tersebut benarlah yang dikatakan Ni’matul Huda 14 bahwa “pembagian tugas di bidang
pengujian peraturan (judicial review) atas peraturanperundang-undangan antara Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi sama sekali tidak ideal. Sebab dapat menimbulkan perbedaan atau putusan yang saling bertentangan
antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung”
Argumen ini semakin diperkuat oleh pendapat Maruarar Siahaan15 yang mengatakan “pembagian
kewenangan pengujian seperti yang ditentukan dalam UUD 1945 dalam praktek menimbulkan kesulitan dalam
upaya menjaga keutuhan sistem hukum yang berlaku, karena secara teoritik maupun empirik ada kemungkinan
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, tidak bertentangan dengan undangundang yang menjadi
sumber validitasnya, tetapi jikalau dilihat dan diuji kepada konstitusi peraturan tersebut tidak sesuai atau inkonsisten
dan bahkan bertentangan.”
Selain itu, pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang di
Mahkamah Agung justru menimbulkan permasalahan tersendiri. Jika merujuk pada Peraturan Mahkamah Agung No.
1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materil, bahwa Mahkamah Agung dalam memutus sebuah peraturan perudnang-
undangan yang sedang diujikan dinyatakan tidak sah atau tidak tidak berlaku untuk umum, dan memerintahkn
instansi yang bersangkutan untuk mencabutnya. Dari Peraturan Mahkamah Agung tersebut tentu saja berpotensi
untuk menimbulkan konflik antara putusan Mahkamah Agung dengan pemerintah daerah yang bersangkutan jika
pencabutan tidak dilaksanakan. Sehingga, putusan Mahkamah Agung dalam kewenangan uji materil justru
menjadikan proses hukum berjalan lambat, sebab melibatkan lembaga eksekutif yang bukan pihak berwenang
dalam bidang yustisial untuk turut mencabut peraturan hukum yang dinyatakan tidak sah atau tidak berlaku.
Masalah lain dari pengujian peraturan perundang-undangan di dua atap terlihat dari Pasal 55 Undang-
Undang No. 24 Tahun 2003 jo Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi pengujian
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang
dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampi ada putusan Mahkamah Konstitusi. Pasal ini justru menjadikan
kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan menjadi tumpang tindih antara Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi.
Dari uraian di atas dapat dicontohkan, bila suatu peraturan daerah atau peraturan pemerintah tidak
bertentangan dengan undang-undang, namun justru bertentangan langsung dengan UUD 1945, akan terjadi
kebingungan karena tidak jelas lembaga yang berwenang menyelesaikannya. Kalau persoalan demikian diajukan
ke Mahkamah Agung, maka sesuai dengan kewenangannya bahwa alat uji yang digunakan adalah undang-undang.
Sementara peraturan yang hendak diuji justru tidak bertententangan dengan undang-undang terkait.
Dengan demikian, maka dapat dipastikan bahwa Mahkamah Agung tidak akan mengabulkan permohonan
judicial review dimaksud. Kalaupun diajukan ke Mahkamah Agung dan kemudian Mahkamah Agung menerimanya
dengan mengambil alat uji undang-undang sebagai peraturan tingkat atasnya, maka dapat dipastikan Mahkamah
Agung akan memberikan pertimbangan sesuai dengan ketentuan undang-undang terkait. Padahal sudah jelas
bahwa perkara yang hendak dilakukan judicial review justru bukan bertentangan dengan undang-undang, namun
bertentangan dengan UUD 1945
Sementara bila diajukan ke Mahkamah Konstitusi maka dapat dipastikan bahwa Mahkamah Konstitusi juga
akan menolak permohonan yang dimaksud karena persoalan yang diajukan bukan bagian dari kewenangan
Mahkamah Konstitusi. Karena Mahkamah Konstitusi hanya berwenang menguji undang-undang terhadap undang-
undang dasar.
Dari sisi historis lahirnya mahkamah konstitusi, Jimly Assiddiqie mengatakan Mahkamah Agung diberikan
kewenangan untuk mengambil keputusan berkenaan dengan perkara-perkara yang menyangkut keadilan bagi
warga negara, sedangkan Mahkamah Konstitusi merupakan pengadilan yang menjaga tegaknya hukum, tertib
aturan mulai dari kontitusi sampai peraturan-peraturan di bawahnya.16 Artinya, sejak awal pemisahan ruang lingkup
kewenangan Mahkamah Konstitusi dari Mahkamah Agung diproyeksikan agar Mahkamah Konstitusi menjadi
lembaga negara yang khusus menangani masalah peraturan perundang-undangan mulai dari UUD sampai yang
terendah, hal ini dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum dan menjaga konsistensi dalam judicial review
peraturan perundang-undangan di Indonesia. Namun politik hukum finalnya masih menyisakan kejanggalan karena
di Mahkamah Agung masih ada kewenangan terkait uji materil peraturan perundang-undangan yaitu peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang yang seharusnya berdasarkan teori
hukum lebih pantas menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi.
Oleh karena itu, maka idealnya pengujian materi oleh lembaga yudikatif (judicial review) untuk semua
tingkatan hirarki dilakukan oleh satu lembaga saja agar konsistensi pemikiran dan isi dari semua peraturan
perundang-undangan tersebut lebih terjamin dan terwujud singkronisasi dan harmonisasi antar peraturan
perundang-undangan mulai yang paling tinggi sampai yang paling rendah. Karena menurut Mahfud MD17 “idealnya
Mahkamah Konstitusi menangani konflik peraturan dalam semua tingkatan, sedangkan Mahkamah Agung
menangani konflik orang/lembaga pada semua tingkatan”. Dengan kata lain, Mahkamah Konstitusi menangani
konflik pengaturan abstraknya, sedangkan Mahkamah Agung menangani kasus kongkritnya. Pendapat lain yang
juga mendukung argumentasi di atas yaitu Sutjipto18 yang mengatakan bahwa “hak uji di mana-mana
tersentralisasi di satu mahkamah, tidak di dua mahkamah.” Pendapat ini semakin diperkuat oleh pernyataan Frans
F.H. Matrutty 19 bahwa “hak uji materi ini haruslah menjadi kewenangan dari Mahkamah Konstitusi dengan tujuan
agar aturan hukum diuji konstitusionalismenya atau sebagai wujud penjagaan constitusional of law.”
Faktanya, UUD 1945 hasil amandemen menyebar kompetensi tersebut secara silang sehingga Mahkamah
Konstitusi dan Mahkamah Agung sama-sama menangani dan mempunyai kompetensi atas konflik pengaturan dan
konflik orang/lembaga meski dalam batas-batas yang sudah jelas yang mana pengaturan tersebut dapat dilihat
dalam Pasal 24A ayat 1 UUD 1945 dan Pasal 24C ayat 1 UUD 1945.
Terlepas berbagai pendapat baik itu setuju atau tidak setuju dengan pengaturan tersebut perlu dipahami
hukum tata negara adalah apa yang tertulis dalam konstitusi suatu negara yang harus diterima sebagai resultante
atau hasil kesepakatan pembuat kebijakan sesuai dengan situasi politik, ekonomi, sosial, dan budaya pada saat
dibuat. Karenanya, pengaturan seperti itu tidaklah salah, karena sebagai kesepakatan isi konstitusi itu adalah
pilihan dan kesepakatan politik tanpa harus mengikuti atau tidak mengikuti teori atau sistem yang berlaku di negara-
negara lain. Karena Mahfud MD20 mengatakan “isi konsitusi itu tidak terkait dengan soal ‘benar dan salah’ atau soal
‘baik dan jelek berdasarkan teori-teori atau hukum tata negara yang berlaku di negara lain, karena isi konstitusi
itulah yang berlaku sebagai landasan hukum tata negara yang harus dilaksanakan”.
Selama resultante tersebut dirumuskan dengan prosedur dan mekanisme yang benar sesuai aturan maka
itu semua harus dijalankan dengan baik sambil menunggu agendaagenda politik hukum untuk mengamandemen
lagi disesuaikan dengan situasi politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang berkembang di masyarakat. Oleh sebab
itu, dengan tetap teguh melaksanakan UUD 1945 yang berlaku sekarang, gagasan menyempurnakan wewenang
pengujian yudisial itu dapat ditawarkan lagi jika suatu saat ada lagi amandemen lanjutan atas UUD 1945 untuk
disempurnakan dan diisi dengan resultante baru.

2.1. Silahkan saudara analisis bagaimana kedudukan Masyarakat adat Cinangka dalam hal ini diwakili H.
Moch. Onin Alias H. Onin (75 Tahun) agar mempunyai hak gugat (legal standing) dalam pengujian
undang-undang kehutanan! Uraikan secara jelas.

Jawab

Hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih
ada dan diakui keberadaannya, H. Onin dan masyarakat setempat harus membuktikan kepada pemerintah jika
kenyataannya masyarakat adat yang bersangkutan masih ada. persyaratan bagi kesatuan masyarakat hukum adat
agar memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai Pemohon dalam pengujian Undang- Undang memang
cukup berat, selain harus membuktikan diri sebagai kesatuan masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud
Pasal 51 ayat (1) huruf b UU MK, juga harus memenuhi 5 (lima) syarat kerugian konstitusional sebagaimana
ditentukan Mahkamah Konstitusi dalam yurisprudensinya. Oleh karena beratnya syarat kedudukan hukum (legal
standing) bagi kesatuan masyarakat hukum adat, hingga saat ini belum ada Pemohon yang mengaku kesatuan
masyarakat hukum adat, memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam pengujian undang- undang. Tipologi
dan tolak ukur tentang siapa yang dikategorikan sebagai kesatuan masyarakat hukum adat masih belum jelas,
sehingga melalui putusan Nomor 31/PUU-V/2007, Mahkamah memberikan tipologi dan ukuran tentang kesatuan
masyarakat hukum adat dengan menafsirkan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. adapun kewajiban negara terhadap
masyarakat adat: a. Pemerintah (Kemenhut) menetapkan status hutan adat; b. Pemda membuat Perda pengukuhan
masyarakat adat c. Melakukan pemberdayaan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat adat.

2.2. Tentukan apa yang menjadi politik hukum nasional dalam pengujian undang-undang
sebelum dan setelah perubahan ketiga UUD Tahun 1945!

Jawab

MA telah melakukan pengujian undang-undang secara nyata meskipun putusannya tidak membatalkan undang-
undang tersebut. Lalu berubah menjadi MA berwenang untuk menyatakan suatu undang-undang bertentangan
dengan konstitusi dan dikenal sebagai Mahkamah Konstitusi. Hak-hak tradisional masyarakat hukum adat yang ada
dalam Undang- Undang sebagaimana diuraikan dan peraturan perundang-undangan berpotensi dilanggar. Oleh
karena itu, kesatuan masyarakat hukum adat dapat menjadi Pemohon sepanjang memenuhi syarat yang ditentukan
dalam UUD 1945 maupun undang-undang lain. Selanjutnya Mahkamah berpendapat bahwa suatu kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
apabila kesatuan masyarakat hukum adat tersebut tidak mengganggu eksistensi Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagai sebuah kesatuan politik dan kesatuan hukum, yaitu: a. Keberadaannya tidak mengancam
kedaulatan dan integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia; b. Substansi norma hukum adatnya sesuai dan
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan”. Hal ini penting ditegaskan oleh Mahkamah karena
secara historis, sebelum Indonesia merdeka, telah ada satuan pemerintahan yang bersifat istimewa seperti daerah
zelfbesturende landchappen (daerah swaparaja) dan volksgemeenschappen (daerah masyarakat hukum adat) yang
memiliki sistem pemerintahan sendiri. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, daerah swapraja sebagian
tetap menjadi daerah istimewa, sedangkan daerah masyarakat hukum adat yang semula dikategorikan sebagai
daerah istimewa, saat ini tidak lagi dikategorikan sebagai daerah yang bersifat khusus dan istimewa karena saat ini
banyak daerah volksgemeenschappen (daerah masyarakat hukum adat) yang sudah tidak ada lagi dan UUD 1945
telah mengeluarkan volksgemeenschappen dari rumpun daerah yang bersifat istimewa. Hal ini ditunjukan dengan
mengatur secara terpisah daerah swaparaja dan daerah kesatuan masyarakat hukum adat. Daerah swapraja diatur
dalam Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 dan eksistensi masyarakat hukum adat dan hak tradisonalnya yang salah
satunya meliputi hak atas tanah ulayat, diatur dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.

Referensi : https://www.mkri.id/public/content/infoumum/penelitian/pdf/Masyarakat%20Hukum%20Adat.pdf

3.1. Analisislah kedudukan DPR dan DPD dalam pembentukan UU berdasarkan sistem pemisahan
kekuasaan menurut UUD 1945!.

Jawab:
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berdasarkan UUD NRI 1945 memiliki peran besar dengan tiga fungsi utama.
Fungsi tersebut adalah sebagai lembaga pembentuk undang-undang, pelaksana pengawasan terhadap pemerintah
dan fungsi anggaran. substansi Pasal 5 ayat (1) juga menggambarkan kedudukan Presiden dan DPR dalam
pembentukan undang-undang. Kedudukan DPR, tidaklah di atas Presiden atau di bawah Presiden, tetapi sejajar
untuk bekerja sama dalam pembentukan undangundang.
Dewan Pewarkilan Daerah (DPD) dibidang legislasi yakni pengajuan RUU tertentu, ikut membahas bersama
DPR dan Pemerintah terhadap penyusunan RUU tertentu, pemberian pandangan dan pendapat terhadap RUU
tertentuu.Khusus mengenai rancangan undangundang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat
dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan
sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah; dapat
diajukan oleh DPD kepada DPR dan DPD juga memiliki kekuasaan untuk ikut membahas rancangan undang-
undang tersebut. Kemudian setelah rancangan undang-undang itu disahkan, DPD juga memiliki kekuasaan untuk
melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang tersebut. Kekuasaan untuk mengajukan, ikut membahas
dan mengawasi dimaksud tertuang dalam Pasal 22D ayat (1), (2) dan (3) UUD NRI Tahun 1945. Dalam pasal 22D
ayat (2) juga disebutkan bahwa DPD memiliki kekuasaan untuk memberikan pertimbangan kepada DPR atas
rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang
berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.

Referensi : https://jurnal.dpr.go.id/index.php/hukum/article/view/251

3.2 Buatlah permohonan pengujian undang-undang tersebut ke lembaga berwenang!

Jawab

MK berpendapat, Pasal 51 ayat (1) UU MK telah secara tegas dan jelas menyatakan, yang dapat mengajukan
permohonan uji materiil undang-undang terhadap UUD 1945 adalah perorangan atau kelompok WNI yang memiliki
hak konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945

Pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Pasal 1 angka 3
Bertentangan dengan Pasal 1 Ayat 3, Pasal 18 Ayat (2), Ayat (5), Ayat (6), Pasal 18A Ayat (2), Pasal 28D Ayat (1),
Pasal 28G Ayat (1), Pasal 28H Ayat (1) dan Ayat (4) UUD 1945 Bahwa pengertian kawasan hutan sebagaimana
diatur dalam Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan, Kementerian Kehutanan dalam menentukan kawasan hutan masih
mengacu pada Keputusan Menteri Pertanian No. 759/Kpts/Um/10/1982 yang hanya bersifat beschikking sementara.
Ketentuan pasal a quo harus ditafsirkan bahwa kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang dikukuhkan sebagai
kawasan hutan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya, bukan ditafsirkan sebagaimana ditafsirkan
secara harfiah dalam Pasal 1 angka 3. Ketentuan pasal a quo telah merugikan hak konstitusional para Pemohon
karena tidak ada kepastian hukum di wilayah administrasi para Pemohon, khususnya terkait status kawasan hutan
dan para Pemohon sewaktu-waktu dapat dipidana jika ketentuan Pasal 1 angka 3 tersebut masih menjadi rujukan
untuk menentukan wilayah kawasan hutan.
Referensi : https://www.dpr.go.id/jdih/perkara/id/442/id_perkara/662

4..a., Buatlah analisis yang dapat memberikan perbedaan antara pengujian secara formil dan
materil terhadap Undang-undang No. 11/2020 tentang Cipta Kerja?
Jawab
Pengujian secara formil dan materil terhadap Undang-undang No. 11/2020 tentang Cipta Kerja.
UU Cipta Kerja merupakan salah satu UU yang dalam proses pengesahannya banyak di protes. Berbagai
demonstrasi besar terjadi dalam rangka penolakan terhadap UU tersebut. Hal ini tidak terlepas dari UU Cipta
Kerja yang dengan konsep omnibus law-nya paling tidak sudah mengakomodasi lebih dari 70 Undang-
Undang multisektor.
Pengujian formil adalah pengujian terhadap proses pembentukan undang-undang yang tidak sejalan dengan
konstitusi. Pengujian formil UU umumnya diajukan apabila dalam proses pembentukan dinilai terdapat cacat
prosedural karena tidak sesuai dengan asas dan tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan. sejauh
ini, masih tersisa permasalahan dalam uji formil UU Cipta Kerja. Terdapat ketentuan dalam yang
mewajibkan peraturan pelaksana UU Cipta Kerja (Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, dll) harus selesai
paling lama 3 bulan sejak UU Cipta Kerja diundangkan.
Artinya, paling lambat bulan Februari, 3 bulan sejak UU Cipta Kerja disahkan, peraturan pelaksana harus
sudah selesai. Masalahnya saat ini, pengujian formil disatukan dengan dengan pengujian materiil yang pada
umumnya akan memakan waktu sangat lama. Sehingga terdapat pandangan yang menilai, Mahkamah
Konstitusi harusnya harusnya bisa memisahkan pengujian aspek formil dan materiil sekalipun ada dalam satu
perkara yang sama. Dalam uji materil, objek pengujian adalah materi muatan undang-undang. Bila hakim
memutuskan bahwa pasal-pasal yang diuji inkonstitusional, maka pasal-pasal tersebut batal. Sedangkan uji
formil menyoal proses pembentukan undang-undang. Bila hakim mengabulkan permohonan uji formil, maka
keseluruhan undang-undang menjadi batal.
Referensi ; https://heylawedu.id/blog/pengujian-formil-dan-materil-uu-cipta-kerja-di-mahkamah-konstitusi
4..b.. “Hal ihwal kegentingan yang memaksa” apakah yang dimaksud dalam Pasal 22 UUD
1945 yang dapat dijadikan sebagai dasar penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang Cipta Kerja?
Jawab
Perpu tertera dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Dalam hal ihwal kegentingan yang
memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.”
Hadirnya Perpu sendiri sebenarnya merupakan produk eksekutif, di mana munculnya Perpu akibat adanya
pertimbangan Presiden dalam memahami dan menafsirkan sebuah situasi tertentu, apakah dalam ihwal
kegentingan yang memaksa atau tidak.
Kedudukan Perpu dijelaskan secara langsung dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, pada Pasal 7 Ayat (1), hierarki Perpu memiliki kedudukan
yang disejajarkan dengan UU. Konsekuensinya, materi muatan Peraturan Pengganti Undang-Undang pun
sama dengan Materi muatan Undang-Undang.
Dengan Kedudukan Perpu yang setingkat dengan UU, maka fungsi Perpu adalah sama dengan fungsi
Undang-Undang, baik untuk menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam UUD 1945 yang
tegas-tegas menyebutnya, pengaturan lebih lanjut secara umum aturan dasar lainnya dalam Batang Tubuh
UUD 1945.
Referensi : https://kawanhukum.id/berlaku-dan-berakhirnya-peraturan-pemerintah-pengganti-undang-
undang-perpu/

4.c.. Kontrol normatif adalah memberikan kontrol penuh terhadap norma, aturan dan ketentuan-
ketentuan yang berlaku agar seseorang memiliki etika yang baik seperti kejujuran, disiplin dan
tanggung jawab. Lembaga yang berwenang adalah Mahkamah Konstitusi
Jawab

Pengujian Keberlakuan
bahwa pengujian terhadap aspek keberlakuan undang-undang itu merupakan bagian ari pengujian materiil
(berciri khusus), sebab yang dipermasalahkan adalah aspek keberlakuan dari substansi/materi undang-undang
yang dilahirkan sebelum UUD 1945 amandemen dan kemudian diuji terhadap UUD 1945 amandemen, tolok
ukurnya yang dapat digunakan adalah pasal-pasal yang mengatur materi undang-undang, misalnya tolok ukur
kepastian hukum yang terkandung dalam Pasal 28D ayat 1 “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
di hadapan hukum”. Selain itu, juga adanya benturan pengaturan substansi dari dua undang-undang yang baru
dengan undang-undang yang lama.
Ke depan, aspek keberlakuan dalam pengujian undang-undang yang lahir sebelum UUD 1945 amandemen
tidak dapat dilakukan dengan pengujian formil, karena adanya putusan MK yang telah menganulir
putusannya sendiri (Putusan MK No.066/PUU-II/2004) yang intinya menyebutkan bahwa “Pasal 50 UU MK
No.24/2003 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat".
Fungsi kontrol tersebut dilakukan Menurut Zainal Arifin Hoesein menyebutkan bahwa jika kontrol normatif
dilaksanakan oleh lembaga kekuasaan kehakiman yang berwibawa, maka dengan sendirinya proses
pembentukan peraturan perundang-undangan dilakukan secara hati-hati, konseptual, sejalan dengan asas dan
tujuan dibentuknya peraturan serta sesuai prosedur yang ditentukan konstitusi dan undang-undang. Kontrol
normatif yang dilakukan kekuasaan kehakiman berdampak pada konstitusi dan undang-undang. Kontrol
normatif yang dilakukan kekuasaan kehakiman berdampak pada konsistensi dan harmonisasi secara vertikal.

Referensi : http://repository.umy.ac.id
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

Anda mungkin juga menyukai