Anda di halaman 1dari 12

Analisis Terkait Urgensi dan Mekanisme Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana

Korupsi

Oleh:
Sapto Handoyo DP
Fakultas Hukum Universitas Pakuan
Jl. Pakuan RT.02/RW.06, Tegallega, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor, Jawa Barat 16129
email: sapto.handoyo@unpak.ac.id

Abstrak

Penegakan hukum melalui pengungkapan tindak pidana, menemukan pelaku, serta

memasukkan pelakunya ke dalam penjara (follow the suspect) semata belum efektif menekan

terjadinya tindak pidana korupsi jika tidak dibarengi dengan upaya menyita dan merampas

hasil dan instrumen kejahatannya. Selain itu, penanganan tindak pidana korupsi tidak semata

untuk memidana pelaku namun juga harus memulihkan keuangan negara. Upaya yang telah

termuat dalam peraturan perundang-undangan untuk menjamin terpulihkannya kerugian

negara antara lain melalui: 1) perampasan aset hasil tindak pidana korupsi; 2) pembuktian

terbalik dalam rangka optimalisasi pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi 3)

pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi melalui gugatan perdata serta 4) pidana

pembayaran uang pengganti dalam rangka pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi.

A. Pendahuluan
Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang merebak selama ini tidak hanya
merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara saja, tetapi juga merupakan
pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, menghambat
pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional untuk mewujudkan
masyarakat adil dan makmur. Salah satu akibat dalam praktik penyelenggaraan negara
adalah hilangnya integritas dan moral oleh materialisme, dan gosektoral /
departemental yang sangat besar. Tipikor tidak lagi dapat digolongkan sebagai
kejahatan biasa, melainkan telah menjadi kejahatan luar biasa. Metode konvensional
yang selama ini digunakan terbukti tidak bisa menyelesaikan persoalan korupsi yang
ada di masyarakat, maka penanganannya pun juga harus menggunakan cara-cara luar
biasa. 1 Ketidakmaksimalan upaya pemberantasan korupsi selama ini juga tidak lepas
dari kurangnya dukungan yang kuat serta kesungguhan aparat penyelenggara negara
umum dan aparat penegak hukum khususnya serta peran aktif masyarakat dalam
melakukan pengawasan sehingga upaya memberantas korupsi akan sulit dilakukan.
Dalam perkembangan saat ini, pemberantasan korupsi difokuskan kepada tiga
isu pokok, yakni: pencegahan, pemberantasan, dan pengembalian aset hasil korupsi
(asset recovery). Perkembangan ini bermakna bahwa pemberantasan korupsi tidak
hanya terletak pada upaya pencegahan maupun pemindanaan para koruptor saja,
tetapi juga meliputi tindakan yang dapat mengembalikan keuangan negara saja.
Upaya pengembalian aset negara yang diambil melalui hasil tindak pidana
korupsi cenderung tidak mudah untuk dilakukan. Karna biasanya para pelaku tindak
pidana korupsi memiliki akses yang luas dan sulit dijangkau dalam menyembunyikan
maupun melakukan pencucian uang hasil tindak pidana korupsinya. Hal ini,
menjadikan semakin sulitnya upaya recovery dikarenakan tempat penyembunyian
hasil tindakan tersebut dapat melampaui batas wilayah negara dimana tindak pidana
korupsi tersebut dilakukan. 2
Pada dasarnya pengembalian aset merupakan sistem penegakan hukum yang
dilakukan oleh negara guna mencabut, merampas, menghilangkan hak atas aset hasil
Tipikor dari pelaku Tipikor melalui rangkaian proses dan mekanisme baik secara
pidana dan perdata. Aset hasil Tipikor baik yang ada di dalam maupun di Luar
Negeri, dilacak, dibekukan, dirampas, disita, diserahkan dan dikembalikan kepada
negara yang diakibatkan oleh Tipikor dan untuk mencegah pelaku Tipikor
menggunakan aset hasil Tipikor sebagai alat atau sarana tindak pidana lainnya dan
memberikan efek jera bagi pelaku/calon pelaku.3
Dalam undang-undang Tindak Pidana Korupsi, pengembalian kerugian
keuangan negara dapat dilakukan melalui dua intrumen hukum yakni instrument
pidana dan instrument perdata. Instrumen Pidana dilakukan oleh jaksa dengan
menyita harta benda milik perlaku yang sebelumnya telah diputus dengan putusan
pidana tambahan berupa uang pengganti kerugian negara. Upaya pengembalian
1
Basrief Arief, Korupsi dan Upaya Penegakan Hukum (Kapita Selekta), (Jakarta: Adika Remaja
Indonesia, 2006), hlm. 87.
2
Saldi Isra, Asset Recovery Tindak Pidana Korupsi Melalui Kerjasama Internasional, Diakses dari
www.saldiisra.web.id tanggal 16 Juni 2022.
3
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Korupsi Berdasarkan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003
Dalam Sistem Hukum Indonesia (Bandung: Alumni, 2007). hlm. 104.
kerugian keuangan negara yang menggunakan instrument perdata, sepenuhnya tunduk
pada dispilin hukum perdata materil maupun formil. Proses pidana menganut system
pembuktian materiil. Pada tindak pidana korupsi, disamping penuntut umum,
terdakwa jugua memiliki beban pembuktian, yaitu terdakwa wajib membuktikan
bahwa harta benda miliknya diperoleh bukan dari korupsi. Beban pembuktian pada
terdakwa ini dikenal dengan asas Pembalikan Beban Pembuktian.
Aparat penegak mengalami kesulitan hukum dalam melakukan perampasan
aset hasil tindak pidana korupsi yang telah dikuasai oleh pelaku tindak pidana.
Kesulitan yang ditemui dalam upaya perampasan aset hasil tindak pidana sangat
banyak, seperti kurangnya instrumen dalam upaya perampasan aset hasil tindak
pidana. Sistem dan mekanisme yang ada mengenai perampasan aset tindak pidana
pada saat ini belum mampu mendukung upaya penegakan hukum yang berkeadilan
dan meningkatkan kesejahteraan rakyat sebagaimana diamanatkan oleh UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.4 Selain itu juga, yang menjadi penyebabnya adalah
kurangnya pemahaman terhadap mekanisme perampasan aset hasil tindak pidana oleh
aparat penegak hukum, serta lamanya waktu yang dibutuhkan sampai dengan aset
hasil tindak pidana dapat disita oleh negara, yaitu setelah mendapatkan putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

B. Tindak Pidana Korupsi


Pengertian korupsi dapat diperluas dengan perbuatan pegawai negeri atau
penyelenggara Negara yang karena jabatannya menerima sesuatu (gratifikasi) dari pihak
ketiga, sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf B ayat (1) UU Tipikor dan Pasal 16 Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Definisi secara lengkap, telah dijelaskan dalam 13 buah pasal dalam UU Tipikor. Berdasarkan
pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan ke dalam tiga puluh bentuk atau jenis tindak pidana
korupsi. Pasal-pasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa
dikenakan pidana penjara karena korupsi. Ketiga puluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi
tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi: Kerugian keuangan Negara; Suap
menyuap; Penggelapan dalam jabatan; Pemerasan; Perbuatan curang; Benturan kepentingan
dalam pengadaan; dan Gratifikasi5

4
Konsideran Rancangan Undang-Undang tentang Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana.
5
Ibid
C. Teori Kebijakan Hukum Pidana
Tidaklah sah dan bertentangan dengan esensi negara hukum, bilamana terdapat suatu
kejahatan yang tidak ditentukan dalam peraturan perundang-undangan pengaturannya
(khususnya pemidanaannya) tetapi dilakukan penghukuman terhadapnya. Pada asasnya,
menjatuhkan pidana secara sewenang-wenang atau berlebihan merupakan suatu kekejian
terhadap hak asasi manusia38 dan sangat bertentangan dengan nilai negara hukum.
Ditentukan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yaitu tiada suatu perbuatan boleh dihukum,
melainkan atas kekuatan pidana dalam undang-undang yang ada terdahulu daripada perbuatan
itu.6 Olehnya diperlukan terlebih dahulu penetapan proses kriminalisasi yang mengandung
pertimbangan politik hukum berupa kebijakan hukum pidana.

D. Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi


Pada dasarnya lingkup pengertian aset diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUHPer) pasal 499 yang dinamakan kebendaan, yaitu tiap-tiap barang dan tiap-tiap
hak, yang dapat dikuasai oleh hak milik. Kebendaan menurut bentuknya, dibedakan menjadi
benda bertubuh dan tak bertubuh. Sedangkan menurut sifatnya, benda dibedakan menjadi
benda bergerak yaitu yang dihabiskan dan tidak dapat dihabiskan, serta benda tidak bergerak.
Hal ini sesuai dengan pengertian harta kekayaan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8
tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yaitu
"Harta kekayaan adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud
maupun yang tidak berwujud, yang diperoleh baik secara langsung maupun tidak langsung. 7
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang menggunakan istilah “hasil tindak pidana” untuk
mendeskripsikan aset yang diperoleh dari tindak pidana maupun aset yang terkait dengan
tindak pidana, meskipun istilah yang lebih tepat adalah “aset tindak pidana”. Penggunaan
istilah “hasil tindak pidana” sebenarnya terkesan membatasi ruang lingkup dari “aset yang
terkait dengan tindak pidana“, karena sebenarnya aset yang terkait dengan tindak pidana itu
mempunyai makna yang lebih luas dari sekedar hasil tindak pidana. Dalam konteks yang
sama, juga dapat diberlakukan pengertian yang demikian terhadap aset hasil tindak pidana
korupsi.

E. Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi

6
H.R. Abdussalam and Andri Desasfuryanto, Sistem Peradilan Pidana (Jakarta: PTIK, 2012). Hlm.389
7
KPK, “Aset Koruptor, Mengapa Harus Disita?,” terakhir diubah tahun 2016,
https://acch.kpk.go.id/id/ragam/fokus/aset-koruptor-mengapa-harus-disita.
Pengembalian aset yang diperoleh dari tindak pidana korupsi menurut Purwaning
juga dilandaskan atas prinsip-prinsip keadilan sosial sehingga institusi negara dan institusi
hukum mendapat tugas dan tanggung jawab menjamin terwujudnya kesejahteraan bagi setiap
individu-individu atau masyarakat. Atas dasar itu, dalam konteks tindak pidana korupsi yang
menghilangkan kemampuan negara untuk menjalankan tugas dan tanggung jawabnya maka
negara wajib menuntut pemulihan atas kekayaan yang diambil secara melawan hak.
Peraturan Jaksa Agung Nomor: PER-013/A/JA/06/2014 menggunakan nomenklatur
istilah Pemulihan Aset yang berarti yaitu proses yang meliputi penelusuran, pengamanan,
pemeliharaan, perampasan, pengembalian, dan pelepasan aset tindak pidana atau barang milik
Negara yang dikuasai pihak lain kepada korban atau yang berhak pada setiap tahap penegakan
hukum. Pemulihan aset yang dimaksudkan dalam Peraturan Jaksa Agung ini dilakukan
terhadap:
1. Aset yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari tindak pidana termasuk
yang telah dihibahkan atau dikonversikan menjadi harta kekayaan pribadi, orang lain,
atau korporasi baik berupa modal, pendapatan maupun keuntungan ekonomi lainnya
yang diperoleh dari kekayaan tersebut atau aset yang diduga kuat digunakan atau
telah digunakan untuk melakukan tindak pidana;
2. Barang temuan;
3. Aset Negara yang dikuasai pihak yang tidak berhak;
4. Aset-Aset lain sesuai ketentuan peraturan perundangundangan termasuk yang pada
hakikatnya merupakan kompensasi kepada korban dan/atau kepada yang berhak.
Sangat disadari bahwa dalam strategi pemberantasan korupsi, upaya pemidanaan
bukan merupakan satu-satunya jalan efektif, tetapi perlu disusun strategi yang lebih
progresif.
Pidana penjara yang merupakan jenis pidana pokok yang paling popular di antara
pidana pokok lainnya (berdasarkan Pasal 10 KUHP) memang dapat memberi pembalasan
kepada para terpidana atas tindak pidana korupsi yang terbukti dilakukannya. Akan tetapi,
pidana penjara tidak selalu menyelesaikan masalah, malah dapat menimbulkan masalah
seperti over capacity, ketidakjeraan koruptor, dan kerugian negara tidak kunjung
terselesaikan. Konsep tujuan pemidanaan yang berkembang selama ini dianggap memiliki
berbagai kelemahan terutama karena dianggap sama sekali tidak memberikan keuntungan
apapun bagi korban dan masyarakat.8

8
Dave Akbarshah Fikarno Laksono, “Hari Antikorupsi dan Etos Pengembalian Aset Korupsi,”
Okezone.com, terakhir diubah tahun 2016, https://news.okezone.com/read/2016/12/06/337/1559716/opini-hari-
antikorupsidan-etos-pengembalian-aset-korupsi.
F. Pidana Pembayaran Uang Pengganti Dalam Rangka Pengembalian Aset Hasil Tindak
Pidana Korupsi
Selain mengatur pidana denda sebagai bagian dari upaya penghukuman dan menjerakan
pelaku tindak pidana korupsi, UU Tipikor mengatur pula pidana tambahan berupa
pembayaran uang pengganti yang memiliki tujuan untuk memulihkan kerugian keuangan
Negara yang diakibatkan oleh adanya tindak pidana korupsi. Pasal 17 UU Tipikor
menyatakan bahwa “selain dapat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, 3, 5
s/d Pasal 14. Terdakwa dapat dijatuhi pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
18”. Selanjutnya Pasal 18, menyebutkan bahwa : (1). Selain pidana tambahan sebagaimana
dimaksud dalam KUHP, sebagai pidana tambahan adalah : (a). Perampasan barang bergerak
yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk
atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana
tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula harga dari barang yang menggantikan
barangbarang tersebut. (b). Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya
sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. (c). Penutup seluruh atau
sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun. Pencabutan seluruh atau
sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang
telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana. (2). Jika terpidana tidak
membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam
waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang
pengganti tersebut. (3). Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi
untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka
dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana
pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini lamanya pidana tersebut sudah
ditentukan dalam putusan pengadilan.
Apabila pengadilan menjatuhkan pidana tambahan pembayaran uang pengganti, sekaligus
ditetapkan juga maksimum penjara pengganti yang harus dijalani terpidana jika tidak
melunasi uang pengganti tersebut. Tidak ada pengaturan yang jelas mengenai penentuan
besaran penjara pengganti dari uang pengganti tersebut sehingga terjadi disparitas penentuan
maksimum penjara pengganti. Berdasarkan hal tersebut maka Mahkamah Agung menerbitkan
Peraturan Mahkamah Agung 81 Ibid. Hlm.9-10 54 Nomor 5 Tahun 2014 tentang Pidana
Tambahan Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi. Perma ini mengatur bahwa dalam
hal menentukan jumlah pembayaran uang pengganti dalam tindak pidana korupsi, adalah
sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi dan
bukan semata-mata sejumlah kerugian keuangan Negara yang diakibatkan. Dalam hal harta
benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi tidak dinikmati oleh Terdakwa dan telah
dialihkan kepada pihak lain, uang pengganti tetap dapat dijatuhkan kepada terdakwa
sepanjang terhadap pihak lain tersebut tidak dilakukan penuntutan, baik dalam tindak pidana
korupsi maupun tindak pidana lainnya, seperti tindak pidana pencucian uang. Adapun lama
penjara pengganti yang dapat dijatuhkan adalah setinggitingginya ancaman pidana pokok atas
pasal yang dinyatakan terbukti. Lebih lanjut Perma mengatur bahwa apabila dalam jangka
waktu 1 (satu) bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, terpidana tidak melunasi
pembayaran uang pengganti maka Jaksa wajib melakukan penyitaan terhadap harta benda
yang dimiliki terpidana. Jika setelah dilakukan penyitaan, terpidana tak kunjung melunasi
pembayaran uang pengganti maka Jaksa wajib melelang harta benda tersebut dengan
berpedoman pada Pasal 273 ayat (3) KUHAP. Penjara pengganti yang harus dijalankan
terpidana ditetapkan oleh Jaksa setelah memperhitungkan uang pengganti yang telah
dibayarkan sebelum pidana penjara pokoknya selesai dijalani. Terpidana dapat melakukan
pelunasan sisa uang pengganti yang telah dibayarkan setelah selesai menjalankan pidana
penjara pokok maupun pada saat menjalankan penjara pengganti. Adapun pelunasan tersebut
mengurangi sisa penjara pengganti sesuai dengan bagian yang dibayarnya.

G. Urgensi dan Mekanisme Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi Dalam Ius
Constituendum.
Adanya tindak pidana korupsi menyebabkan kerugian pada sektor keuangan/kekayaan
Negara yang berimplikasi terhadap program-program pemerintah untuk menyejahterakan
rakyat menjadi terhambat. Penegakan korupsi yang sekarang diterapkan oleh penegak hukum
di Indonesia hanya menekankan kepada menjebloskan pelaku ke dalam penjara, tidak
menekankan kepada pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi. Ketiadaan aturan
mengenai pemiskinan koruptor menyebabkan lambatnya pengembalian aset dan turunannya
yang sudah dikuasai oleh para pelaku tindak pidana korupsi. Melihat dampak dari perilaku
serakah para pelaku tindak pidana korupsi seharusnya yang menjadi fokus utama dari adanya
penegak hukum pemberantasan korupsi adalah pengembalian aset korupsi dan juga
turunannya karena banyak pelaku tindak pidana korupsi meskipun sudah mendekam akan
tetapi bisnis yang berasal dari hasil tindak pidana korupsi semakin berkembang seakan tidak
ada efek jera.9
Selain penting untuk dilakukan upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi
melalui penjeratan tindak pidana pencucian uang, tak kalah penting juga mengambil langkah
teknis untuk mengatasi persoalan kemandekan eksekusi pembayaran uang pengganti.

9
A.F. Triwijaya, “Pengembalian Asset Hasil Tindak Pidana Korupsi Sebagai Solusi Pemberantasan
Korupsi,” diubah terakhir tahun 2017, https://aftriwijaya. wordpress.com/2017/02/13/pengembalian-asset-hasil-
tindak-pidana-korupsisebagai-solusi-pemberantasan-korupsi/.
Mandeknya eksekusi pembayaran uang pengganti pada kenyataannya disebabkan oleh faktor
kebijakan selain karena faktor komitmen penegak hukum. Untuk mengoptimalkan
pembayaran uang pengganti tersebut diperlukan perubahan dan/atau penyempurnaan
kebijakan dalam penanganan perkara korupsi yaitu dengan menyeragamkan tujuan
pembayaran uang pengganti dan acuan dalam menetapkan uang pengganti.

H. Contoh Kasus
Jaksa Agung Sebut Koruptor Di Bawah Rp 50 Juta Cukup Balikin Kerugian Negara
Jaksa Agung ST Burhanuddin menyampaikan mekanisme penindakan terhadap pelaku
tindak pidana korupsi (tipikor) dengan kerugian keuangan negara di bawah Rp 50 juta.
Dia menyebut kasus korupsi dengan kerugian keuangan negara di bawah Rp 50 juta dapat
diselesaikan dengan pengembalian kerugian negara. "Sedangkan untuk perkara tindak
pidana korupsi yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara, Kejaksaan Agung telah
memberikan imbauan kepada jajaran untuk tindak pidana korupsi dengan kerugian
keuangan negara di bawah Rp 50 juta untuk bisa diselesaikan cara pengembalian kerugian
keuangan," kata Burhanuddin dalam rapat kerja bersama Komisi III DPR RI, Kamis
(27/1/2022).
Hal itu disampaikan Burhanuddin saat menjawab pertanyaan anggota DPR dalam
rapat bersama Komisi III DPR. Burhanuddin mengatakan penyelesaian proses hukum
kasus korupsi dengan kerugian di bawah Rp 50 juta dengan mekanisme tersebut dinilai
cepat dan sederhana.
Sebagai upaya pelaksanaan proses hukum secara cepat, sederhana, dan biaya ringan,"
lanjutnya. Selain itu, Burhanuddin menjelaskan kasus pidana terkait dana desa yang
kerugian keuangan negaranya tidak terlalu besar dan tidak dilakukan terus-menerus dapat
dilakukan secara administratif. Adapun salah satu caranya dengan mengembalikan
kerugian keuangan negara dan tidak mengulangi lagi perbuatannya.
"Terhadap perkara Dana Desa yang kerugiannya tidak terlalu besar dan perbuatan
tersebut tidak dilakukan secara terus-menerus, maka diimbau untuk diselesaikan secara
administratif dengan cara pengembalian kerugian tersebut terhadap pelaku dilakukan
pembinaan oleh inspektorat agar tidak mengulangi lagi perbuatannya," ujar Burhanuddin.
Namun Burhanuddin tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai kebijakan bagi koruptor
dengan kerugian negara di bawah Rp 50 juta. Sementara itu, pihak Kapuspenkum
Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezer Simanjuntak telah dihubungi terkait pernyataan
Burhanuddin. Namun Leonard belum memberi respons hingga berita ini ditayangkan.
Sebelumnya, wacana agar koruptor dengan kerugian keuangan negara kecil tidak
ditindaklanjuti atau berlaku asas restorative justice sempat menjadi polemik. Hal itu
tertuang dalam Surat Edaran Jaksa Agung nomor B-113/F/Fd.1/05/2010.
Surat tertanggal 18 Mei 2010 itu terbit ketika posisi jaksa agung diduduki Basrief
Arief. Surat yang ditujukan kepada seluruh kejaksaan tinggi di Indonesia itu berisi
imbauan agar dalam kasus dugaan korupsi, masyarakat yang dengan kesadarannya telah
mengembalikan kerugian negara yang nilainya kecil perlu dipertimbangkan untuk tidak
ditindaklanjuti atau berlaku asas restorative justice.
Saat itu pernyataan Basrief tentang surat edaran tersebut yaitu kalau uang yang dikorupsi
sekitar Rp 10 juta, lebih baik dikembalikan kepada negara dan perkaranya dihentikan.
Apabila kasus ditindaklanjuti, mulai penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga proses
persidangan akan menghabiskan uang negara lebih dari Rp 50 juta.
Menanggapi hal tersebut, Jaksa Agung HM Prasetyo--pada masa ia menjabat--sempat
menjawab terkait surat edaran itu. Apakah surat itu masih berlaku?
"Itu sangat tidak bisa digeneralisir. Setiap kasus beda-beda, ada mens rea-nya. Itu pun
masih restorative justice, belum menjadi undang-undang," kata Jaksa Agung Prasetyo
ketika berbincang, Jumat (26/2/2016).
Selain itu, Prasetyo menyebut surat edaran itu masih bersifat kasuistis saja, belum
mengikat. Tentang surat edaran itu sendiri sempat menjadi polemik lantaran dianggap
tidak mengandung semangat pemberantasan korupsi.

I. Analisis Kasus
Imbauan Kejagung tersebut bisa menjadi seperti insentif untuk melakukan korupsi.
Korupsi sudah jelas berdampak buruk pada hilangnya hak ekonomi dan sosial
masyarakat. Karena, tanpa imbauan itu saja, korupsi bansos, dana desa, hingga bantuan
operasional sekolah untuk warga miskin sudah terjadi diberbagai tempat. Jika memang
Kejagung ingin pelaku korupsi kecil tidak dipidana, bisa mengusulkan perubahan UU
Tindak Pidana Korupsi. Pasal pidana pencucian uang jg bisa lebih sering diterapkan.
Tanpa mengurangi hukuman badan, pengembalian kerugian negara bisa jauh lebih
optimal.
Gagasan koruptor di bawah Rp 50 juta cukup balikin kerugian negara tidak adil
karena setiap perkara pidana mesti diproses berapa pun kerugiannya. Pidana itu mengadili
perbuatannya, bukan ganti rugi. Pernyataan Jaksa Agung justru bisa memicu para pelaku
semakin melancarkan praktik korupsi. Logika sederhananya, jika korupsi di bawah 50
juta dimaafkan, bagaimana jika dilakukan secara bersama (berkomplot)? satu grup berisi
20 orang masing-masing 50 juta? Koruptor bukan sekadar jumlah. Mentalnya lah yang
harus diberantas.
J. Penutup
1. Kesimpulan
a) Pengertian aset diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) pasal
499 yang dinamakan kebendaan, yaitu tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak, yang dapat
dikuasai oleh hak milik. Jika dikelompokkan berdasarkan sifatnya, aset dibagi
menjadi benda bergerak (yang dapat dihabiskan dan tidak dapat dihabiskan) dan
benda tidak bergerak. Pernyataan tersebut ekuivalen dengan dengan pengertian harta
kekayaan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yaitu "Harta
kekayaan adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang
berwujud maupun yang tidak berwujud, yang diperoleh baik secara langsung maupun
tidak langsung"
b) Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menggunakan istilah “hasil tindak
pidana” untuk mendeskripsikan aset yang diperoleh dari tindak pidana maupun aset
yang terkait dengan tindak pidana, meskipun istilah yang lebih tepat adalah “aset
tindak pidana”. Dapat dikatakan demikian, karena penggunaan istilah “hasil tindak
pidana” sebenarnya terkesan membatasi ruang lingkup dari “aset yang terkait dengan
tindak pidana“, aset yang terkait dengan tindak pidana pada hakikatnya memiliki
makna yang lebih luas dari sekedar hasil tindak pidana.
c) Peraturan Jaksa Agung Nomor: PER-013/A/JA/06/2014 menggunakan istilah
Pemulihan Aset yang berarti yaitu proses yang meliputi penelusuran, pengamanan,
pemeliharaan, perampasan, pengembalian, dan pelepasan aset tindak pidana atau
barang milik Negara yang dikuasai pihak lain kepada korban atau yang berhak pada
setiap tahap penegakan hukum. Pidana penjara yang merupakan jenis pidana pokok
yang paling popular di antara pidana pokok lainnya (berdasarkan Pasal 10 KUHP)
memang dapat memberi pembalasan kepada para terpidana atas tindak pidana korupsi
yang terbukti dilakukannya. Namun, konsep tujuan pemidanaan penjara lambat laun
dianggap memiliki berbagai kelemahan terutama karena sama sekali tidak
memberikan keuntungan apapun bagi korban dan masyarakat. Oleh karena itu diatur
lah pidana denda dan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti yang
memiliki tujuan untuk memulihkan kerugian keuangan Negara yang diakibatkan oleh
adanya tindak pidana korupsi (Pasal 17 dan 18 KUHP). Dalam hal terdakwa tidak
mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka ia
akan dipidana dengan pidana penjara pengganti. Lama penjara pengganti yang dapat
dijatuhkan adalah setinggitingginya ancaman pidana pokok atas pasal yang
dinyatakan terbukti.
2. Saran
Penekanan pada pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi sebagai bentuk
memulihkan kerugian negara sudah seharusnya dimaksimalkan. Pengembalian aset hasil
tindak pidana korupsi dapat melalui beberapa cara yaitu perampasan aset hasil tipikor,
beban pembuktian terbalik, melalui gugatan perdata, dan optimalisasi pembayaran uang
pengganti serta upaya penjeratan melalui ketentuan tindak pidana pencucian uang.
Selain itu yang tak kalah penting juga mengatasi persoalan kemandekan eksekusi
pembayaran uang pengganti dengan pembaruan kebijakan dan penguatan komitmen
penegak hukum untuk mengoptimalkan pengembalian akibat kerugian negara dari tindak
pidana korupsi.
Daftar Pustaka
Basrief Arief, Korupsi dan Upaya Penegakan Hukum (Kapita Selekta), (Jakarta: Adika
Remaja Indonesia, 2006), hlm. 87.

Saldi Isra, Asset Recovery Tindak Pidana Korupsi Melalui Kerjasama Internasional,
Diakses dari www.saldiisra.web.id tanggal 16 Juni 2022.

Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Korupsi Berdasarkan Konvensi PBB Anti


Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia (Bandung: Alumni, 2007). hlm. 104.

Konsideran Rancangan Undang-Undang tentang Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana.

H.R. Abdussalam and Andri Desasfuryanto, Sistem Peradilan Pidana (Jakarta: PTIK,
2012). Hlm.389

KPK, “Aset Koruptor, Mengapa Harus Disita?,” terakhir diubah tahun 2016,
https://acch.kpk.go.id/id/ragam/fokus/aset-koruptor-mengapa-harus-disita.

Dave Akbarshah Fikarno Laksono, “Hari Antikorupsi dan Etos Pengembalian Aset
Korupsi,” Okezone.com, terakhir diubah tahun 2016,
https://news.okezone.com/read/2016/12/06/337/1559716/opini-hari-antikorupsidan-etos-
pengembalian-aset-korupsi.

A.F. Triwijaya, “Pengembalian Asset Hasil Tindak Pidana Korupsi Sebagai Solusi
Pemberantasan Korupsi,” diubah terakhir tahun 2017, https://aftriwijaya.
wordpress.com/2017/02/13/pengembalian-asset-hasil-tindak-pidana-korupsisebagai-
solusi-pemberantasan-korupsi/.

Anda mungkin juga menyukai