Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINDAK PIDANA PENCURIAN


MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM

A. Pengertian Tindak Pidana Pencurian


1. Definisi tindak pidana
Tindak pidana berasal dari kata tindak dan pidana, tindak berarti
langkah, perbuatan, kelakuan, dan sebagainya. Sedangkan pidana adalah
kejahatan kriminal hukum mengenai perbuatan jahat dan pelanggaran
terhadap penguasa.1
Dalam hukum Islam, tindak pidana sering diistilahkan dengan kata
jarimah dan jinayah. dimaksud dengan jarimah ialah:


Artinya: Larangan-larangan syara yang diancam oleh Allah swt dengan
hukuman h}add atau tazir.2
Larangan-larangan itu adakalanya berupa mengerjakan perbuatan yang
dilarang atau meninggalkan perbuatan yang diperintahkan. Dengan kata lain,
melakukan (commission) atau tidak melakukan (ommision) suatu perbuatan
yang membawa kepada hukum'an yang ditentukan oleh syariat adalah

1
2

Pusat Bahasa Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, h. 871 dan 1195
A. Djazuli, Fiqh Jinayah, h. 11

15

16

kejahatan. Definisi tersebut mengandung arti bahwa tiada suatu perbuatan


baik secara aktif maupun pasif dihitung sebagai suatu kejahatan atau
pelanggaran kecuali hukuman yang khusus untuk perbuatan atau tidak berbuat
itu telah ditentukan oleh syariat.3
Jarimah sendiri dibagi beberapa kelompok yaitu: h}udu>d, qisas{, dan
tazir. Jarimah h}udu>d ialah jarimah yang diancamkan dengan hukuman
h}add, yaitu hukuman yang telah ditentukan macam dan jumlahnya dan
menjadi hak tuhan. Dengan demikian maka hukuman tersebut tidak
mempunyai batas terendah atau batas tertinggi.4 Pengertian hak tuhan ialah
karena hukuman tersebut tidak bisa dihapuskan baik oleh yang bersangkutan
(korban) ataupun oleh pemerintah (ulil amri).5
Jarimah h}udu>d ada tujuh macam yaitu:
1. Pencurian.
2. Menuduh orang lain berbuat zina (qaz||#af).
3. Minum-minuman keras.
4. Perampokan atau pembegalan (hirabah).
5. Pemberontakan. (al-bagyu)
6. Murtad.
7. Zina.

Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam-Penegakan Syariat Dalam Wacana dan
Agenda, h. 20
4
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, h. 7
5
Ibid, h. 7

17

Kemudian jarimah qis}as{ adalah jarimah yang diancam dengan


hukuman qis}as} atau diyat, hukuman tersebut sudah ditentukan batasnya.
Oleh karenanya tidak mempunyai batas terendah atau tertinggi akan tetapi
menjadi hak perseorangan artinya bahwa korban bisa memaafkan pelaku
tindakan tersebut, apabila sudah dimaafkan maka hukuman tersebut menjadi
terhapus. Sedangkan jarimah tazir adalah hukuman yang ditentukan oleh
hakim. syara tidak menentukan macam dan bentuk-bentuk hukumannya
namun hanya menyebutkan sekumpulan hukuman. Dalam hal ini hakim diberi
kebebasan untuk memilih hukuman-hukuman yang sesuai dengan macam
jarimah tazir serta keadaan si korban.6
Jinayah menurut bahasa adalah


Artinya: Sebutan bagi hasil suatu perbuatan jelek seseorang.
Sedangkan Jinayah menurut istilah adalah


Artinya: Sebutan bagi perbuatan yang diharamkan oleh syara' baik
perbuatan itu merugikan jiwa, harta atau lainya.
Pada dasarnya Pengertian dari istilah jinayah mengacu pada hasil
perbuatan seseorang. Biasanya, pengertian tersebut terbatas pada perbuatanperbuatan yang dilarang menurut syara yang mengenai atau merugikan

Ibid, h. 8

18

keselamatan jiwa atau harta benda seperti pemukulan, pembunuhan, pencurian


dan sebagainya.7
Menurut istilah, jinayah adalah pelanggaran yang dilakukan oleh
seseorang terhadap hak Allah swt atau larangan Allah swt hak-hak manusia
dan binatang dimana orang yang melakukan wajib mendapat atau diberi
hukuman yang sesuai baik di dunia maupun di akhirat berdasarkan ketentuan
syara.8
Kata jinayah mempunyai arti lebih luas, yaitu ditujukan bagi segala
sesuatu yang ada sangkut pautnya dengan kejahatan manusia dan tidak
ditujukan bagi satuan perbuatan dosa tertentu. Oleh karena itu pembahasan
fiqh yang memuat masalah kejahatan dan hukuman atas kejahatan itu disebut
fiqh jinayah dan bukan istilah fiqh jarimah. Sedangkan jarimah adalah satuan
atau sifat dari satuan pelanggaran hukum yang disebut dalam hukum positif
sebagai tindak pidana atau pelanggaran. Misalnya: jarimah pencurian,
jarimah pembunuhan, dan sebagainya.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
tindak pidana adalah suatu tindakan pada waktu, tempat dan keadaan tertentu
yang dilarang atau diwajibkan oleh undang-undang serta diancam dengan
ketentuan pidana.

7
8

A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, h. 1


Sudarsono, Pokok-pokok Hukum Islam, h. 527

19

2. Definisi pencurian
Menurut bahasa, pencurian berarti mengambil sesuatu yang bersifat
harta atau lainya secara sembunyi-sembunyi dan dengan suatu taktik.
Sedangkan menurut istilah atau syara' pencurian adalah seseorang yang sadar
dan sudah dewasa mengambil harta orang lain dalam jumlah tertentu secara
sembunyi-sembunyi dari tempat penyimpanannya yang sudah maklum (biasa)
dengan cara yang tidak dibenarkan oleh hukum dan tidak karena s}yubhat.9
Berdasarkan definisi tersebut di atas tindak pidana pencurian adalah
mengambil suatu barang atau harta orang lain dari tempat penyimpanannya.
Jadi, apabila pengambilannya tersebut tidak dengan cara sembunyi-sembunyi
melainkan dengan cara terang-terangan bahkan di tempat yang ramai, maka
hal ini bukan termasuk pencurian. Misalnya mencopet, merampas, dsb.

B. Dasar Hukum Tindak Pidana Pencurian


Allah swt telah menetapkan hukuman bagi pelaku tindak pidana pencurian
dalam surat Al-Ma>idah ayat 38:

Ali as}-S}abuni, Tafsir Ayat Ahkam As-S}abuni, Jilid 1, Terj Muammal Hamidi dan A.
Manan, h. 499

20

Artinya: Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan hendaknya dipotong tangan


keduanya sebagai balasan atas perbuatan keduanya dan sebagai
siksaan dari Allah swt. Allah swt Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.10
Mengenai batas yang menyebabkan dijatuhkannya hukuman potong
tangan terjadi perbedaan pendapat diantara para ulama berdasarkan keumuman
surat Al-Ma>idah ayat 38. Imam Syafii dan Imam Malik berpendapat bahwa
nis}ab barang curian yang mewajibkan hukuman potong tangan minimal senilai
seperempat dinar atau tiga dirham sebagaimana h}adis| Nabi Muhammad saw
yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Ibn Umar:


( )
Artinya: Diriwayatkan dari ibn Umar r.a ia berkata : Nabi Muhammad saw
memotong tangan pencuri dalam pencurian tameng yang harganya tiga
dirham. (H.R Bukhari)11
Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa nisab barang curian
yang dapat dikenai hukum potong tangan adalah 10 dirham atau 1 dinar.
Berdasarkan h}adis| Nabi saw yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abu
Hurairah :

,
( )

10
11

Depag RI, al-Quran dan Terjemahnya, h. 165


S}ah}i<h} Bukhari, Juz IV, h. 141

21

Artinya:

Tidak ada hukuman potong tangan, kecuali pada pencurian sebesar 1


dinar atau 10 dirham. (HR. Bukhari) 12

Ali Z}ahir berpendapat bahwa tidak ada batasan mengenai barang yang
dicuri tersebut sedikit maupun banyak, harus dilakukan hukuman potong tangan
sesuai pendapat Qadhi'iyat dari Hasan Al-Basri dan Khawarij, berdasarkan ayat
38 surat Al-Ma>idah tidak dinyatakan berapa banyak (nis}ab) barang curian.
Oleh sebab itu, sedikit maupun banyak nilai barang yang dicuri harus dilakukan
hukuman potong tangan. Dan juga berdasarkan h}adis| Nabi saw:


( )
Artinya: Abu Hurairah menceritakan bahwa Rasulullah saw bersabda Allah swt
mengutuk mencuri dalam pencurian sebuah telur, maka potonglah
tangannya dan pencuri sehelai tali maka dipotong tangannya (HR.
Muslim).13

C. Unsur- Unsur Tindak Pidana Pencurian


Unsur-unsur tindak pidana pencurian menurut hukum pidana Islam sesuai
dengan definisinya yaitu mengambil harta orang lain secara diam-diam atau
sembunyi yang diambil berupa harta benda dan harta yang diambil merupakan
milik sah orang lain yang hartanya dicuri dan ada itikad tidak baik. Unsur-unsur
tindak pidana pencurian meliputi:

12
13

Ibid, h. 143
S}ah}i<h} Muslim, juz III, h. 134

22

1. Harta diambil secara sembunyi.


Yang dimaksud mengambil harta secara sembunyi-sembunyi adalah
mengambil barang tanpa sepengetahuan pemiliknya dan tanpa kerelaan.
Pengambilan harta dianggap sempurna apabila:
a. Pencuri mengeluarkan harta dari tempatnya.
b. Barang yang dicuri itu telah berpindah tangan dari pemiliknya.
c. Barang yang dicuri itu telah berpindah tangan ke tangan si pencuri.
Bila salah satu syarat di atas tidak terpenuhi, maka pengambilan
tersebut tidak sempurna. Dengan demikian, hukumannya bukan h}add
melainkan tazir. Misalnya seorang pencuri baru masuk ke rumah dan belum
berhasil mengambil harta di dalam rumah itu, tiba-tiba tertangkap, atau
barang-barang yang sudah dikumpulkan oleh pencuri namun belum berhasil
dibawa pergi. Hanya Mazab Z}ahiri yang berpendapat bahwa percobaan
pencurian diancam dengan sanksi yang sama dengan sanksi pencurian karena
Z}ahiri berpendapat tidak mensyaratkan pengambilan harta dari tempat
penyimpanannya dan dianggap cukup bila si pencuri telah mempunyai niat
untuk mencuri.14
2. Barang yang dicuri berupa harta.
Disyaratkan yang dicuri itu berupa harta:
a. Yang bergerak.
b. Berharga.
14

Ibid, h. 499

23

c. Memiliki tempat penyimpanannya yang layak.


d. Sampai nis{ab.
Harta yang dicuri itu disyaratkan harus harta bergerak karena
pencurian mempunyai makna perpindahan harta yang dicuri dari pemilik
kepada pencuri. Harta dianggap sebagai benda bergerak jika harta itu dapat
dipindahkan. Disyaratkan pula harta mempunyai materi konkrit atau bendabenda yang bersifat material yang mungkin dimiliki dan diperjualbelikan.
Yang dimaksud dengan barang berharga adalah bahwa barang tersebut
berharga bagi pemiliknya bukan dalam pandangan pencurinya. 15
Adapun yang dimaksud memiliki tempat penyimpanannya adalah
suatu tempat yang dimaksudkan untuk menjaga harta agar tidak mudah untuk
diambil orang lain seperti tempat-tempat yang terkunci dan sebagainya.16
Harta yang dicuri sudah mencapai nishab sehingga dapat dikenai hukuman
potong tangan. Imam Malik mengukur nisab pencurian dengan emas atau
perak, Imam Syafi'i mengukurnya sebesar setengah dinar sedangkan Imam
Abu Hanifah berpendapat nis{ab harta yang dicuri sebesar sepuluh dirham
atau satu dinar.17

15

A. Djazuli, Fiqh Jinayah, h. 75


Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, juz III, Terj Abdurrahman dan Haris Abdullah, h. 654
17
A. Djazuli, Fiqh Jinayah, h. 77
16

24

3. Harta yang dicuri itu milik orang lain


Yang dimaksud dengan milik orang lain adalah bahwa harta itu
ketika terjadi pencurian adalah milik orang lain bukan milik pribadinya, atau
milik ayahnya. Dalam hal ini Allah swt berfirman dalam al-Quran surat alBaqarah ayat 188 yang berbunyi:



Artinya: "Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang
lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu
membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat
memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan
(jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui."18
Barang- barang yang tidak ada pemiliknya boleh diambil akan tetapi
jika sudah ada dalam penguasaan seseorang atau Ulil Amri, maka dianggap
telah ada pemiliknya.
4. Ada itikad tidak baik atau sengaja untuk memiliki barang tersebut. 19
Adanya itikad tidak baik seorang pencuri terbukti bila ia mengetahui bahwa
hukum mencuri itu adalah haram dan dengan perbuatan itu ia sengaja
bermaksud memiliki barang yang dicurinya tanpa sepengetahuan dan kerelaan
pemiliknnya.

18
19

Depag RI, al-Quran dan terjemahnya, h. 46


Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Terj. Nabhan Husein, Jilid IX, h. 214

25

5. Barang yang dicuri itu sudah diambil kepemilikannya dari yang punya.
Maksudnya barang tersebut telah berpindah ketangan pencuri dan pencuri
tersebut bermaksud untuk memilikinya.

D. Macam-macam Tindak Pidana Pencurian


Pencurian ditinjau dari segi hukumannya ada dua macam, yaitu:
1. Pencurian yang dikenai sanksi (tazir)
Pencurian yang dikenai sanksi adalah pencurian yang apabila syaratsyarat untuk dikenai hukuman potong tangan (h}add) belum lengkap. Karena
syarat-syarat hukuman tersebut belum lengkap, maka pencuri tersebut tidak
dikenakan hukuman potong tangan namun dikenai sanksi (tazir).20
Mengenai hal tersebut di atas Rasulullah saw pernah memberi putusan
dengan melipat gandakan tanggungan kepada orang yang mencuri barang
dimana pencurinya tersebut tidak dihukum potong tangan, karena mereka
mencuri buah-buahan dan kambing. Karena kedua pencurian tersebut dalam
melaksanakan pencuriannya tidak mengambil dari tempat penyimpanan buahbuahan dan juga tidak mengambil dari kandang (tempat kambing), sehingga
pencurian tersebut tidak bisa dijatuhi hukuman potong tangan disebabkan
karena salah satu syarat dijatuhkannya hukuman potong tangan adalah
mengambil barang curian dari tempat penyimpanannya. tetapi dalam kasus

20

Ibid, h. 214

26

tersebut barangnya masih bergantung di pohon dan ditempat gembala


kambing.21
Demikian pula dengan penipu, pencopet, dan perampas Mereka ini
tidak bisa dikatakan sebagai pencuri, sehingga mereka tidak bisa dihukumi
dengan potong tangan tetapi meskipun demikian mereka wajib dikenai
hukuman yaitu dijatuhkannya hukuman sanksi seperti dalam h}adis| Nabi
saw.


( )
Artinya: penipu, perampas, dan pencopet tidaklah dikenai hukuman potong
tangan.22 (HR Abu Dawud)
Mengenai pencurian yang dilakukan oleh keluarga dekat, Imam Syafi'i
berpendapat bahwa apabila yang mencuri tersebut adalah keluarga garis lurus
ke atas (ayah, kakek, dan seterusnya) tidak dihukumi potong tangan.
Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa seorang ayah tidak dipotong
tangannya karena mencuri harta anaknya. Hal ini berdasarkan pada h}adis|
Nabi saw:


( )
21
22

Ibid, h. 215
Sunan Abu Dawud, Juz III, hal. 141-142

27

Artinya: "engkau dan hartamu adalah milik ayahmu".23


Sedangkan apabila yang mencuri tersebut adalah suami atau istri maka
mereka tidak dihukum potong tangan karena harta tersebut masih terdapat
faktor syubhat, yaitu percampuran ini menyebabkan harta tersebut tidak
terjaga dari pencuri (suami atau istri) pada tempat penyimpanannya. hal ini
merupakan pendapat mazab Hanafi dan salah satu pendapat Imam Syafii
serta salah satu riwayat dari Imam Ahmad.24
Begitu pula orang yang mencuri harta ganimah (rampasan perang),
harta Bait al-Ma<l

dimana ia mempunyai hak syubhat terhadap harta

tersebut. Oleh karena itu hukuman potong tangan (h}add) tidak boleh
dilakukan.
Dari uraian tersebut di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa
pencurian yang harus dikenai sanksi (tazir) adalah pencurian yang apabila
dalam pencurian tersebut syarat-syarat penjatuhan h}add nya tidak lengkap,
sehingga tidak dapat dijatuhi hukuman h}add. Akan tetapi sebagai gantinya
mereka tetap mendapat hukuman yaitu tazir.
2. Pencurian yang harus dikenai potong tangan (h}add)
Pencurian yang dikenai hukuman potong tangan (h}add) yaitu
pencurian dimana pencurinya hanya wajib dikenai hukuman potong tangan.
Dalam hal ini fuqaha' telah sependapat bahwa diantara syarat-syaratnya
adalah pencuri tersebut haruslah seorang mukallaf, baik orang merdeka atau
23
24

S{ah}ih} Muslim, Juz III, h. 135


Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid IX, h. 202

28

hamba, laki-laki atau perempuan, muslim atau z|immi, dan juga harus ada dua
orang saksi lelaki muslim yang dapat dipercaya dan baik. Mereka disyaratkan
menyaksikan perbuatan sitertuduh atau ia sendiri (pencuri tersebut) mengakui
kejahatannya. Walaupun ia juga berhak menolak tuduhan yang ditujukan
kepadannya.
Hukuman potong tangan ini ditetapkan setelah syarat-syarat berikut
terpenuhi. Syarat-syarat tersebut ialah:
a. Orang yang telah melakukan pencurian tersebut harus sehat akalnya.
b. Dewasa.
c. Tidak dipaksa.
d. Tidak dalam keadaan lapar pada saat melakukan perbuatan itu.
Barang yang dicuri itupun harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut sebelum dipotong tangan dijalankan. Persyaratannya meliputi:
a. Barang-barang tersebut harus memenuhi nis}ab pencurian.
b. Berharga.
c. Tersimpan rapi.
d. Dimiliki oleh seseorang.25
Jika memang sudah jelas perbuatan mencuri tersebut telah
dilaksanakan oleh seseorang, maka

pencuri tersebut harus dipotong

tangannya karena firman Allah swt dalam surat al-Ma<idah ayat 38 yang
berbunyi:
25

Abdurrahman. I Doi, Tindak Pidana Dalam Syariat Islam, h. 62

29

Artinya: "Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah


tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka
kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah swt. dan Allah swt Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana".26
Dari sini jelaslah bahwa seorang pencuri tidak dibedakan apakah ia
laki-laki atau perempuan sama sekali tidak ada pengecualian mengenai
hukumannya yaitu sama-sama dihukumi potong tangan.
Hukuman potong tangan ini harus dilaksanakan bagi siapa saja yang
nyata-nyata memang telah mencuri, sekalipun ia adalah anak seorang kepala
Negara (penguasa) atau anak orang biasa. Sebagaimana pernah ada sebuah
kejadian pada zaman sebelum Nabi saw jika pencuri itu dari kalangan
bangsawan, maka tidak ditegakkan hukumannya. Namun apabila yang
mencuri dari kalangan orang biasa, maka baru dijalankan hukuman potong
tangan (h}add) dalam menghadapi hal tersebut Rasulullah saw bersabda:

26

Depag RI, al-Quran dan Terjemahnya, h. 165

30


() .
Artinya: "Bangsa Quraisy prihatin terhadap urusan wanita dari suku
makhzum yang telah mencuri, sehingga mereka berkata "siapakah
yang berani memintakan maaf kepada Rasulullah saw? Akhirnya
mereka berkata: "tiada yang berani kecuali Usamah kesayangan
Rasulullah saw", maka Usamah yang berbicara kepada Rasulullah
SAW untuk memintakan maaf bagi pencuri wanita tersebut tiba-tiba
Nabi saw berkata kepada Usamah: "apakah anda akan membela
dalam suatu hukum Allah swt (yakni hukum Allah swt yang telah
diputuskan tidak boleh ditawar)" kemudian nabi berdiri berkhutbah
dan berkata sesungguhnya yang membinasakan umat yang sebelum
kamu bahwasannya jika pencuri itu seorang bangsawan dibiarkan
dan jika seorang pencuri itu seorang rendahan ditegakkan hukum
atas mereka, demi Allah swt andaikan Fatimah putri Muhammad
mencuri pasti akan aku potong tangannya.27
Hukuman potong tangan tersebut tidak boleh diganti dengan hukuman
lain yang lebih ringan, begitu pula hukuman tersebut tidak boleh ditunda.
Adapun dalam pelaksanaan hukuman yang harus dipotong tangan adalah pada
pencurian pertama berdasarkan kesepakatan dari para fuqaha yang dipotong
tangan adalah tangannya yang kanan dari batas pergelangan kaki kirinya.28
Selanjutnya bila ia mencuri untuk yang kedua kalinya maka hukumannya
adalah dipotong pergelangan kaki kirinya. Kemudian bila ia mencuri lagi
untuk yang ketiga kalinya, dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Abu
Hanifah mengatakan bahwa ia harus dipenjara dan diberi sanksi.29

27

S}ah}ih} Bukhari, Juz IV, h. 241


Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Terj Nabhan Husein, h.236
29
Ibid, h. 237
28

31

Sedangkan Imam Syafii berpendapat ia dikenai hukuman potong


tangan kirinya, kemudian jika ia mencuri lagi maka hukumannya adalah
dipotong kaki kanannya bila ia masih mencuri lagi maka ia harus dipenjara
dan diberi sanksi.30
Setelah hukuman potong tangan dilaksanakan, maka dianjurkan untuk
menggantungkan potongan tangan tersebut di lehernya sebagai pelajaran bagi
yang lainnya. Sebagaimana h}adis| yang diriwayatkan dari Abdurrahman
Muharrie ia berkata:



() .
Artinya: Aku bertanya kepada Fadhlalah bin Ubaid tentang pengalungan
potongan tangan pencuri pada lehernya "adakah itu termasuk
sunnah nabi"? fadhlalah menjawab "pernah seorang pencuri
dibawa kepada Rasulullah saw lalu beliau menjatuhkan hukuman
potong tangan kepada pencuri tersebut, setelah itu nabi Muhammad
saw menyuruh agar potongan tangan pencuri tersebut dikalungkan
pada pencuri tersebut."31
Jika barang yang dicuri masih ada pada pencuri tersebut maka barang
itu harus dikembalikan kepada pemiliknya akan tetapi jika barang curian
tersebut rusak di tangan pencurinya, maka pencuri tersebut harus mengganti
barang tersebut dan itu pun dikenai hukuman potong tangan, karena

30
31

Ibid, h. 220
Sunan Abu Dawud, Juz 3, h. 146-147

32

tanggungan ganti rugi barang merupakan hak manusia, sedangkan hukuman


potong tangan adalah hak Allah swt. Oleh sebab itu kedua-duanya harus
dituntut atas diri pencuri.32 Semua pendapat tersebut adalah dari Imam Syafii
dan Imam Ahmad.
Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah, bila barang curian tersebut
rusak di tangan pencurinya maka pencuri tersebut tidak wajib untuk
menanggung ganti rugi atas barang tersebut. Karena tanggungan ganti rugi
barang dan hukuman potong tangan tidak bisa dibebankan semuanya kepada
pencuri, karena Allah swt hanya memutuskan hukuman potong tangan seperti
dalam Surat al-Ma<idah ayat 38 tersebut tidak memutuskan tanggungan ganti
rugi barang yang dirusakkan pencuri.33
Sedangkan Imam Malik mengatakan, bila barang yang dicuri tersebut
telah rusak di tangan pencuri maka pencurinya wajib menanggung ganti rugi
barang tersebut. bila ia mampu menggantinya. Namun bila pencuri tersebut
miskin, maka ia tidak wajib menanggung ganti rugi atas barang tersebut.
Hukuman bagi pencuri (potong tangan) itu bisa saja gugur apabila pencuri itu
dimaafkan dan pemilik barang tersebut menghibahkan barang curian tersebut
kepada si pencuri. Tetapi sebelum perkaranya diajukan kepada penguasa (Ulil
Amri). Namun apabila perkaranya tersebut tetap dijalankan walaupun sudah

32
33

A. Djazuli, Fiqh Jinayah, h. 81


Ibid, h. 81

33

mendapat maaf dan penghibahan dari korban pencurian maka hukuman


tersebut tidak bisa digugurkan.34 Hal ini sesuai dengan h}adis| Nabi saw:




( )
Artinya: Aku tidur di masjid yang didekatku (kuletakkan) bajuku seharga
tiga puluh dirham lalu datanglah seorang laki-laki menyeret
pakaian itu dariku lalu kutangkap laki-laki itu dan kubawa ia
ketempat Nabi saw kemudian Nabi memerintahkan agar dipotong
tangannya maka aku bertanya "apakah akan engkau potong
tangannya hanya karena mencuri barang seharga tiga puluh
dirham? Kalau begitu akan kujual barangku itu kepadanya dengan
pembayaran menyusul. "Nabi menjawab" mengapa ini tidak
sebelum engkau serahkan kepadaku? (HR Dawud)35

34
35

Ibid, h. 82
Sunan Abu Dawud, Juz III, h. 142

Anda mungkin juga menyukai