Anda di halaman 1dari 6

PENGANTAR

Kasus kawin tangkap merupakan sebuah masalah yang dihadapi oleh kaum perempuan sumba
dimana mereka ditangkap dan diperisterikan. Kasus ini menunjuk pada sebuah perkawinan
paksaan yang dilakukan terhadap seorang perempuan. Kawin tangkap ini merujuk pada sebuah
ketidakadilan yang dialakukan tehadap perempuan, sehingga perempuan tidak mempunayi
kebebasan dalam menentukan hak-hak mereka. Kasus kawin tangkap ini juga merujuk pada
sebuah tindakan kekerasan terhadap perempuan, karena mereka menjadi korban pemerkosaan,
hak-ak mereka dibatasi.

ANALISIS KASUS

NARASI PILU KORBAN KAWIN TANGKAP

saya sangat ingin mengenyam pendidikan tinggi, namun saya terkendala biaya kuliah yang tidak
sedikit. Saya tetap ingin melajutkan kuliah. Tekad saya sudah bulat, saya peregi bekerja di Bali
untuk sedikit demi sedikit mengumpulkan bekal kuliah. Tetapi mimpi itu harus mati, karena
ketika pulang untuk mengurus ijazah saya ditangkap, diculik, saya meronta-ronta dan berteriak
menangis ingin melepaskan diri. Saya tidak mau, tapi saya bisa apa? Saya tidak kuasa untuk
keluar dari perkawinan ini. (menarasikan suara dari perspektif korban, R. yang ditangkap pada
tanggal 16 juni 2020)

PEMBAHASAN

Dari keempat narasumber mereka membahas tentang kasus (dapat dilihat dibagian atas) dimana
perempuan di tangkap dan dipaksa untuk menikah. Dari pemateri menunjukkan bahwa
perempuan menjadi objek dan bukan subjek dari kekerasan. Perempuan sumba diperlakukan
secara tidak adil mengapa demikian karena mereka ditangkap dan dipaksa untuk menikah oleh
sebab itu mereka mengalami luka menjadi Korban dari perkawinan secara Fisik mereka ditarik,
digotong, diculik, dicengkram, dipukul, dan secara Psikis mereka ketakutan, hilangnya percaya
diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, tidak berdaya. Mereka menjadi korban pelecehan
seksual, pemerkosaan termasuk marital rape dan pemaksaan perkawinan. Sehingga muncul
Stigma bahwa jika melepaskan diri; tidak perawan, tidak akan memiliki anak. Bila digambarkan
sebagai sistem piramida yang kompleks, maka perempuan korban berada dalam piramida lapisan
paling bawah baik dari unsur seksualitas, pendidikan, status sosial. Relasi kuasa yang tidak
setara antara perempuan dan laki-laki begitu kuat Perempuan Dijadikan properti. Pemerkosaan
perempuan dianggap remeh karena jika sudah ada pemberian sejumlah harta maka persoalan pun
selesai. Artinya bahwa ketika yang menculik perempuan itu adalah saudaranya/dapat dikatakan
ada hubungan darah maka mereka akan mengurus secara keluarga maka persoalan itu akan
selesai. Sehingga ketika keluarga sudah mangambil langkah seperti demikian maka secara
hukum dalam hal ini kepolisian tidak punya kuasa untuk menindak lanjuti persoalan tersebut.
Sebenarnya kawin tanggkap ini merupakan suatu penyimpangan dari tradisi adat yang
sebenarnya dimana, laki-laki dan perempuan sama-sama suka atau di jodohkan oleh orang tua
dan keluarga yang kemudian dilanjutkan dengan acara adat secara bertahap seperti ketuk pintu,
masuk minta, peminangan, bayar belis, membawa perempuan ke rumah laki-laki sesuai dengan
adat dan tata cara istiadat Sumba yang berlaku dan pada akhirnya acara pernikahan, sesuai
dengan kepercayaan yang di anutnya. Kawin tangkap merupakan jalan pintas untuk menjadikan
perempuan yang di tangkap sebagai istri kalaupun pada akhirnya diselesaikan secara budaya dan
melakukan denda adat dan urusan adat, jika perempuan menerimah laki-laki. Namun tidak semua
perempuan mau menerimah kawin tangkap karena menurut adat istiadat dan tradisi perkawinan
yang sebenarnya harkat dan martabat seorang perempuan sangat di junjung tinggi. Karena mahal
atau belis yang di berikan kepada keluarga perempuan bukan berarti membeli seperti harga
sebuah barang, tetapi merupakan wujud cinta kasih seorang laki-laki terhadap seorang
perempuan yang di cintainya serta wujud tanggung jawab keluarga laki-laki terhadap keluarga
perempuan sekaligus juga merupakan wujud ikatan kelaurga kedua mempelai, kedua belapihak
orang tua. Dan kedua bela pihak keluarga besar marga atau suku. Secara hukum kawin tanggkap
merupakan hak asasi seoarang perempuan sebagai warga masyarakat dan warga Negara yang
berhak di lindungi dalam kehidupannya di tengah-tengah masyarakat bangsa dan Negara sesuai
dengan UUD 1945, Peraturan pemerintah dan UU perkawinan yang berlaku di NKRI. (Pemateri
ke-2). Jika kita lihat dan cermati bersama maka kasus ini bertentangan dengan UU HAM pasal
10 ayat 1 dimana setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan
melalui pernikahan yang sah. (2), Perkawinan yang sah hanya dapat berlansung atas kehendak
bebas calon suami dan calon isteri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan, dan UU Perkawinan pasal 6 (1), perkawinan harus didasarkan atas
persetujuan kedua calon mempelai. Pemaksaan perkawinan (Forced Marriage) yaitu praktek
perkawinan dimana salah satu pihak mengalami paksaan, biasanya terjadi kepada perempuan,
sebagai pihak yang dianggap melakukan pelanggaran adat atau alasan tertentu lainnya terkait
dengan hukum adat yang berlaku, di komunitas tempat pasangan tersebut tinggal (Komnas
perempuan, 2016). Perkawinan harus didasarkan pada keinginan antara laki-laki dan perempuan
atas dasar cinta. Dalam UU Perkawinan pasal 1 menjelaskan bahwa “perkawinan ialah ikatan
lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa (Pemateri ke-3). Dengan demikian kawin Tangkap ini juga merupakan suatu tindakan
yang melanggar HAM, dan UU perkawinan tetapi juga bertentangan dengan Pengajaran Iman
Kristen dan kehendak Allah sebagai pencipta manusia, laki-laki dan perempuan, dan menyatukan
dan memberkati hubungan seorang saj laki-laki dan seorang saja perempuan menjadi hubungan
suami-isteri yang saling mencntai, saling mengasihi, saling menghargai, saling menghormati,
saling melengkap dan saling membangun di dalam kasih kristus.

REFLEKSI TEOLOGI

Perkawinan merupakan suatu ikatan antara laki-laki dan perempuan yang berjanji untuk
menjalani kehidupan sebagai pasangan suami isteri yang telah dipersatukan oleh Allah dengan
baik, melalui pernikahan suci,tetapi juga sudah diikat/dikawinkan secara adat atau tardisi
setempat. Perkawin harus didasari atas hubungan/dasar cinta dan kasih sayang antara laki-laki
dan perempuan untuk selanjutnya mejalani kehidupan secara bersama.

Dalam ajaran Gereja, Perkawinan/pernikahan menurut iman Kristen adalah lembaga suci yang
dibentuk Allah untuk menyatukan suami dan isteri menjadi satu persekutuan hidup (Kej. 2:24).
Hubungan suami dan isteri dalam pernikahan harus merefleksikan hubungan Kristus dengan
jemaat. Karena itu di antara suami dan isteri harus ada cinta kasih, kesetiaan, saling menghormati
dan menerima satu sama lain apa adanya, kesediaan untuk berkorban satu terhadap yang lain.
Tuhan Yesus akan menyelamatkan dan memberkati setiap perkawinan/pernikahan seperti yang
dilakukan-Nya di Kana, di Galilea (Yoh. 2:1-11). Dalam ajaran Gereja Protestan, pemerintahlah
yang berkewenangan menentukan keabsahan setiap perkawinan/pernikahan Kristen. Karena itu
setiap perkawinan/pernikahan Kristen harus disahkan dan dicatat pada Kantor Kependudukan
dan Pencatatan Sipil setempat. Gereja berfungsi untuk meneguhkan dan memberkati setiap
perkawinan Kristen yang telah dicatat pada Kantor Kependudukan dan Pencatatan Sipil
setempat.1

Dalam UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menekankan dalam pasal 1 dan 2 bahwa
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Mahaesa. Pasal 2 mengatakan bahwa (1) Perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. (2) Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Melalui kasus yang telah di paparkan oleh keempat narasumber pada webinar kemarin bahwa
kasus kawin tangkap yang terjadi di sumba itu sangatlah tidak baik karena dengan sendirinya kita
sudah merusak ciptaan Tuhan, tetapi juga sebagai tindakan yang merendahkan derajat
perempuan, karena sebenarnya perempuan mempunyai hak untuk memillih tetapi juga
mempuanyai hak yang sama dengan laki-laki. Dalam kasus ini ditemukan/dapat dikatakan bahwa
perempuan menjadi objek dari kekuasaan laki-laki, tidak ada keadilan bagi perempuan. Secara
adat istiadat atau tradisi sumba, kasus ini merupakan tindakan yang menyimpang dari adat
istiadat yang sebenarnya. Kasus kawin tangkap ini merupakan pelanggaran hak asasi seorang
perempuan sebagai warga masyarakat dan warga Negara yang berhak dilindungi. Kawin tangkap
dapat di kategorikan sebagai tindakan yang tidak menyenangkan, melecehkan, merendahkan
harkat dan martabat perempuan sebagai seorang manusia dan merupakan suatu pelanggaran
terhadap hak-hak asasi perempun sehingga dapat di proses sesuai hukum dan UU.

Jika di lihat dari kasus kawin tangkap tersebut ini menunjukan bahwa adanya ketidakadilan dan
ketidak setaraan yang terjadi di masyarakat sumba pada kaum perempuan. Perkawinan itu tidak
bisa dipaksakan, seperti kasus Kawin tangkap di atas karena seorang perempuan mempuanyai
1
Ajaran gereja (GPM) no 441-442
hak dalam menentukan kehidupannya, berhak menentukan pilihannya dalam perkawinan dan
sebagainya. Dalam kasus ini juga dapat dikatakan atau dapat disebut sebagai bentuk
ketidakadilan Gender terhadap kaum feminis sumba, karena mereka ditangkap dan dipaksa untuk
menikah, sehingga mereka tidak mendapat kebebasan dalam hak mereka yaitu hak dalam
memilih pasangan.

Oleh sebab itu Kawin Tangkap ini harus dibatasi karena merupakan sebuah perlakuan/tindakan
yang tidak adil terhadap perempuan. Dimana mereka menjadi korban pelecehan seksual, tetapi
juga korban dari perkawinan paksa. Disini gereja juga mempunyai peran aktif dalam menyikapi
kasus kawin tangkap tersebut misalnya dengan memberikan pandangan bahwa kawin tangkap ini
merupakan sebuah tindakan yang melanggar atau bertentangan dengan Iman Kristen karena
Perkawinan yang diberkati adalah perkawinan atas dasar cinta kasih antara laki-laki dan
perempuan. Sama halnya juga dengan Pemerintah yang juga mempunyai peran aktif untuk
menyikapi hal tersebut misalnya dengan cara memberikan pandangan bahwa kawin tangkap ini
merupakan salah satu pelanggaran hak-hak asasi perempuan. Dalam hal ini pranata adat Sumba
juga mempunyai peran dalam melihat kasus kawin tangkap ini yang mana tidak sesuai dengan
adat istiadat orang sumba setempat. Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang didasari atas
dasar cinta antara laki-laki dan perempuan bukan karena atau atas dasar unsur paksaan apa lagi
diculik dan dipaksa untuk menikah. Dengan demikian dari kasus ini juga hendak dilihat bahwa
laki-laki dan perempuan itu sama karena diciptakan menurut gambar dan rupa Allah.

Dalam Alkitab Perjanjian Lama yaitu Kejadian 1:26-28, pada ketiga ayat itu sangat jelas bahwa
Allah menciptakan perempuan dan laki-laki sama dan serupa dengan gambar-Nya, serta dari ayat
ini juga menunjukan bahwa laki-laki dan perempuan itu mempunyai hak yang sama seperti
pendidikan dan pekerjaan lainnya termasuk dalam hak untuk memilih. Oleh karena itu laki-laki
dan perempuan itu sama dan setara dihadapan Tuhan dan mempunyai kebebasan dalam memilih
pasangan mereka, sehingga perempuan tidak boleh diperlakukan secara tidak adil dan sebaliknya
perempuan itu harus dihargai dan dihormati.
WEBINAR PERUATI SUMBA:
”PEREMPUAN SUMBA MENGGUGAT PRAKTIK KAWIN
TANGKAP”

Oleh:

IMANUEL CORREIA
12175201180056
ADAM LAKARANG
12175201180099

FAKULTAS TEOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA MALUKU
TAHUN 2020

Anda mungkin juga menyukai