Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH HUKUM PERLINDUNGAN ANAK DAN PEREMPUAN

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Orang Tua Menikahkan Anak


Dibawah Umur Menurut Undang Undang TPKS

Disusun oleh :

Nama : Rudy Sastra

NIM : 22109149

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIAH KENDARI

2023
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Banyak sekali kasus-kasus dalam masyarakat khususnya dalam rumah tangga mengenai
rusaknya atau hancurnya bahtera rumah tangga karena di latar belakangi oleh kesalahan dalam
memilih atau menentukan pasangan hidupnya, akibatnya hidup berkeluarga secara normal gagal.
Gejala mengenai kegagalan dalam melangsungkan perkawinan antara lain disebabkan oleh
perbedaan calon pasangan yang hendak melangsungkan perkawinan dan pihak-pihak keluarga
seperti orang tua yang menilai kalau kedua mempelai tidak seimbang atau status sosialnya tidak
sama atau salah satu pihak sebelumnya dalam kondisi terpaksa untuk melakukan sebuah ikatan
pernikahan yang dikenal dengan “Kawin paksa”.

Perkawinan dalam Hukum Islam yang dilakukan secara paksa terjadi perbedaan
pendapat. Pendapat ini dilihat dari status perempuannya itu sendiri. Perkawinan secara paksa
terhadap perempuan janda semua ulama‟ sepakat bahwa perkawinan tersebut adalah batal,
sedangkan perkawinan secara paksa terhadap perempuan perawan dewasa dan perawan yang
masih belia di kalangan ulama terjadi perbedaan mengenai hukumnya.Dalam hal ini, di daerah-
daerah tertentu masih banyak budaya yang berkaitan dengan nikah paksa, di mana lazim terjadi
pernikahan dengan pengantin wanita di bawah usia 16 tahun, karena tradisi budaya yang masih
sangat kental. Bahkan di Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan
Sulawesi Tenggara, komposisi perempuan menikah di usia anak mencapai 40%.

Perkawinan anak usia dini identik dengan perjodohan yang dilakukan oleh orang tua.
Faktor yang yang turut serta mendongkrak terjadinya perkawinan diusia dini menurut Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat, fenomena ini terjadi karena di latar belakangi
oleh faktor agama dan budaya juga menjadi sebab anak-anak yang belum cukup umur harus naik
pelaminan untuk melangsungkan perkawinan.

Perkawinan anak merupakan salah satu bentuk dari kekerasan seksual, karena pada usia
itu anak belum siap untuk melakukan hubungan seksual. Komnas Perempuan mencatat, selama
12 tahun (2001- 2012), sedikitnya ada 35 perempuan menjadi korban kekerasan seksual setiap
hari. Pada tahun 2012, setidaknya telah tercatat 4,336 kasus kekerasan seksual, dimana 2,920
kasus diantaranya terjadi di ranah publik/komunitas, dengan mayoritas bentuknya adalah
perkosaan dan pencabulan (1.620). Sedangkan pada tahun 2013, kasus kekerasan seksual
bertambah menjadi 5.629 kasus. Ini artinya dalam 3 jam setidaknya ada 2 perempuan mengalami
kekerasan seksual. Usia korban yang ditemukan antara 13-18 tahun dan 25-40 tahun.

Perkawinan anak diusia dini menimbulkan banyak pro dan kontra, dengan adanya
makalah yang dibuat ini akan menjelaskan mengenai hukum pidana yang akan diterima oleh
orang tua yang menikahkan anak diusia dini berdasarkan Undang-undang TPKS.
BAB II

PEMBAHASAN

Keluarga merupakan salah satu institusi sosial yang memiliki peran penting dalam
masyarakat. Lingkungan masyarakat akan dikenal baik, jika sebagian besar Keluarga yang ada di
dalamnya baik pula. Begitu juga sebaliknya, apabila mayoritas kehidupan keluarga di dalam
masyarakat buruk, maka lingkungan masyarakat tersebut akan dikenal sebagai lingkungan yang
buruk pula. Dengan demikian, potret baik dan buruknya sebuah masyarakat, salah satunya
ditentukan pula oleh baik dan buruknya perilaku dari keluarga yang ada di dalamnya. Bahkan
ada suatu pendapat yang mengatakan bahwa kebahagiaan dan kemakmuran akan tetap ada di
dalam masyarakat, apabila semua orang bertindak benar sebagai anggota keluarga dan menyadari
bahwa orang harus mentaati kewajibannya sebagai anggota masyarakat

Dengan demikian, untuk mewujudkan kebahagian dan kemakmuran di tengah-tengah


masyarakat, tidak bisa dipungkiri harus diawali dengan mewujudkan kebahagiaan dan
kemakmuran dari struktur terkecil dalam masyarakat yakni keluarga. Agar sebuah keluarga dapat
hidup bahagia, maka proses awal yang membentuk terjadinya keluarga tersebut harus pula
dilakukan dengan baik yakni dengan melalui perkawinan yang baik pula. Perkawinan yang baik
ialah sebuah perkawinan yang tidak hanya dicatatkan di Kantor Urusan Agama maupun Kantor
Pencatatan Sipil yang kemudian dibuktikan dengan akta nikah, tetapi juga harus dilandasi
dengan rasa saling cinta, saling suka dan rela di antara kedua belah pihak, serta tidak ada paksaan
maupun keterpaksaan antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, praktik kawin paksa
sedapat mungkin harus dihindari. Karena sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip dan nilai-
nilai hak Asasi manusia yang diakui, baik dalam sistem hukum nasional maupun internasional.
 Pemaksaan Perkawinan dalam Pasal 10 TPKS

Kekerasan seksual terhadap perempuan adalah setiap perbuatan berdasarkan pembedaan


kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan dan penderitaan perempuan secara
fisik, seksual, atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan
kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum maupun dalam
kehidupan pribadi.1 Kekerasan seksual terjadi secara berulang dan terus menerus, namun tidak
banyak masyarakat yang memahami dan peka tentang persoalan kekerasan seksual.

Melihat angka kekerasan yang semakin mengkhawatirkan, kalangan masyarakat,


penyintas kekerasan seksual dan Komnas Perempuan menggagas RUU ini yang telah dihimpun
berdasarkan pengaduan dan data tahunan yang dimiliki Komnas Perempuan, dalam hal ini RUU
Penghapusan Kekerasan Seksual diperlukan untuk mengatur hal–hal yang belum diatur dalam
Undang–Undang

Perlindungan Anak dan peraturan perundang-undangan lainnya, agar semua korban


kekerasan seksual baik anak–anak maupun orang dewasa dapat terpenuhi haknya atas kebenaran,
keadilan, pemulihan, pemenuhan rasa keadilan dan jaminan ketidakberulangan. RUU
Penghapusan Kekerasan Seksual akan mengisi kekosongan hukum dari Undang-Undang
Perlindungan Anak dan sekaligus memperbarui bentuk pemidanaan dalam Undang-Undang
Perlindungan Anak, yang belum diatur secara Spesifik oleh Undang-Undang Perlindungan Anak
Nomor 35 Tahun 2014.

Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) disahkan


DPR jadi UU.

Berdasarkan draf RUU yang disahkan DPR menjadi UU yang didapat detikcom, Rabu
(13/04), ancaman di atas tertuang dalam Pasal 10. Pasal itu berbunyi:

Pasal 10

(1) Setiap orang secara melawan hukum memaksa, menempatkan seseorang di bawah
kekuasaannya atau orang lain, atau menyalahgunakan kekuasaannya untuk
melakukan atau membiarkan dilakukan perkawinan dengannya atau dengan orang
lain, dipidana karena pemaksaan perkawinan, dengan pidana penjara paling lama 9
(sembilan) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus
juta rupiah).
(2) Termasuk pemaksaan perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
a. Perkawinan anak;
b. Pemaksaan perkawinan dengan mengatasnamakan praktik budaya; atau
c. Pemaksaan perkawinan korban dengan pelaku perkosaan.

Usulan Pasal 10 di atas adalah usulan Pemerintah. Dan disetujui Panja 29/03/2022 pukul
14.51. Setuju usulan Pemerintah DIM 82- DIM 86.

Kekerasan terhadap perempuan tidak terlepas dari faktor budaya yang memberi legitimasi
atas tindak kekerasan tersebut. Budaya patriarki yang dominan telah menimbulkan penilaian
bahwa kekerasan terhadap perempuan bukan merupakan sebuah kekerasan, akan tetapi adalah
sesuatu yang wajar diterima perempuan. Dalam tataran kontruksi sosial masyarakat Indonesia
yang sebagian besar masih menggunakan paradigma patriarki, perempuan ditempatkan sebagai
warga kelas dua. Imbasnya, sering kali tutur perempuan tidak didengar. Implikasi lebih lanjut
bagi perempuan kekerasan korban kekerasan seksual justru direviktimisasi oleh masyarakat,
dianggap sebagai pihak yang menyebabkan terjadinya kekerasan.

Melihat luasnya definisi tentang kekerasan terhadap perempuan, maka sebenarnya tindak
kekerasan seksual pada perempuan bisa terjadi pada berbagai kelompok, umur, status sosial,
tempat dan waktu, di mana hal ini tak terlepas dari budaya. Kekerasan seksual bisa terjadi pada
lingkungan keluarga, hubungan orangtua denngan anak-anaknya, anak dengan anak dan antar
anggota keluarga, lingkungan masyarakat (dengan orang di sekitarnya, lingkungan kerja, tradisi
dan adat yang melanggengkan kekerasan) dan bisa juga lingkungan negara (UndangUndang dan
Peraturan yang melanggengkan sub-ordinasi perempuan)

UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual berbasis pada kekerasan, dalam hal ini konteks
“kekerasan” tidak dapat disandingkan dengan konteks norma dan nilai. Pengertian “kekerasan”
adalah diambil dari kata “Violance” yang maknanya lebih pada tindakan (pemaksaan, intimidasi,
kekuatan emosi yang tidak menyenangkan dan merusak sesorang, contoh: tindakan untuk
mengintimidasi orang lain melalui kekuatan, kewenangan, dan kekuasaan yang dimiliki
seseorang pada orang lain). Kata “tindakan” secara linguistik lebih relevan dalam konteks
hukum. Contoh: hukum berlaku atas sebuah “tindakan” seseorang yang melanggar hukum,
karenanya perlu adanya tindakan hukum. Sementara kata “perilaku” lebih relevan dalam aspek
norma atau nilai-nilai masyarakat, dan biasanya lebih pada wilayah atau aspek pendidikan atau
aspek himbauan moral melalui ruang-ruang sosial dan budaya. Dalam hal ini menurut Fraksi
Penghapusan Kekerasan Seksual mempersoalkan definisi dan cakupan kekerasan seksual,
menurut Fraksi PKS, definisi kekerasan seksual hingga cakupan tindak pidana kekerasan seksual
dominan berperspektif liberal yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, agama, dan budaya
ketimuran.

 Ketentuan Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 tentang


Perlindungan Anak

Anak adalah generasi penerus bangsa dan penerus pembangunan yang harus dijaga dan
dilindungi, khususnya dari aspek hukum. Perlindungan hukum dapat diberikan dan diberlakukan
terhadap anak demi menjaga dan melindungi kesejahteraan anak dimasa pertumbuhannya.
Perlindungan di sini dapat diberikan dengan cara memberlakukan Undang-Undang Perlindungan
anak, yang di dalamnya memuat suatu peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang
perlindungan hukum yang diberikan terhadap seorang anak, baik tindak pidana yang dilakukan
anak sendiri, maupun perlindungan hukum yang diberikan terhadap anak dari perlakuan tindak
pidana.

Perlindungan anak harus memiliki dua aspek. Aspek Pertama berkaitan dengan peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai hak-hak anak, pidana anak, serta menyangkut
pelaksanaan kebijakan peraturan tersebut. Aspek kedua, peran serta masyarakat dan orang tua
dalam melindungi anak dari pengaruh tindak pidana atau korban dari tindak pidana. Secara
universal anak mempunyai hak asasi manusia yang dilindungi hukum, bahkan berlaku sejak
dalam kandungannya karena itu anak juga berhak mendapat perlindungan hukum atas segala
kegiatan yang mengarah pada pertumbuhan maupun perkembangan di masa mendatang.
Perlindungan anak terkait erat dengan lima pilar yakni, orang tua, keluarga, masyarakat,
pemerintah, pemerintah daerah dan negara. Kelimanya memiliki keterkaitan satu sama lain
sebagai penyelenggara perlindungan anak.

Perlindungan terdekat yang didapatkan oleh anak adalah perlindungan dari orang tua dan
keluarganya. Pasal 13 Ayat (1) menyatakan bahwa setiap anak selama dalam pengasuhan orang
tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan berhak mendapat
perlindungan dari perlakuan deskriminasi, ekploitasi ekonomi maupun seksual, penelantaran,
kekejaman, kekerasan, penganiayaan, ketidakadilan, dan perlakuan salah lainnya.

Perlindungan hukum terhadap anak juga merupakan peran penting dari pemerintah dan
negara di mana dalam Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak Nomor 11 Tahun 2011 tentang Kebijakan Pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak
telah menyebutkan urusan pemerintah dibidang perlindungan anak merupakan kebijakan,
program, dan kegiatan untuk menjamin terpenuhinya hak anak agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,
serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, merupakan urusan wajib
pemerintahan daerah kabupaten/kota.

Negara Republik Indonesia telah meratifikasi konvensi hak anak melalui Keppres No. 36
tahun 1990. Peratifikasian ini sebagai upaya negara untuk memberikan perlindungan terhadap
anak di Indonesia. Dalam hukum nasional perlindungan khusus anak yang berhadapan dengan
hukum juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak.
Namun dalam pelaksanaannya masih banyak persoalan-persoalan yang timbul khususnya dalam
hal anak yang menjadi korban kekerasan seksual.

Salah satu persoalan perlindungan anak yang banyak dihadapi adalah tentang perkawinan
di bawah umur. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, menyatakan
secara tegas bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan dan keluarga atau orang tua yang berkewajiban
untuk mencegah terjadinya perkawinan di usia anak-anak. Terhadap pemaksaan perkawinan
kebanyakan dari mereka korbannya adalah anak yang masih di bawah umur, sering orang tua
yang telah menghilangkan hak perlindungan yang seharusnnya didapatkan oleh seorang anak.
Seorang anak sering merasa harus mematuhi apa yang dikatakan oleh orang tuanya, demi
mendarmabaktikan diri kepada orang tuanya.

Implikasi praktis dari perkawinan di bawah umur berdampak negatif terhadap tumbuh
kembangnya anak secara wajar. Orangtua wajib mencegah terjadinya perkawinan apabila dirasa
perkawinan tersebut justru akan mengakibatkan hal-hal negatif bagi calon mempelai. Orangtua
memikul tanggung jawab sepenuhnya atas segala akibat negatif dari perkawinan anak-anaknya.

Kewajiban orangtua ini sesuai dengan ketentuan Pasal 26 ayat (1) huruf (c) Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

Sesuai dengan amanah Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014


(UUPA), setiap anak memiliki hak tumbuh dan berkembang dengan baik agar mampu menjadi
orang dewasa yang tangguh dan kompeten. Apabila perkawinan terjadi pada seseorang anak
yang masih di bawah usia 18 tahun maka dapat dikatakan sebagai perkawinan dini atau
perkawinan di bawah umur. Di dalam masyarakat Indonesia, fenomena pernikahan anak dibawah
umur bukanlah hal yang baru, baik di kota besar maupun di daerah pedesaan. Kajian terdahulu
menemukan beberapa penyebab atau alasan terjadinya pernikahan pada usia anak: (1)
ketidakkonsistenan dalam hal regulasi; (2) faktor kemiskinan; (3) tingkat pendidikan orang tua
dan keluarga rendah; (4) tradisi dan perilaku menikahkan anak perempuan sejak dini; (5)
perubahan tata nilai dan sosial di dalam masyarakat; dan (6) faktor agama dan pemahaman
agama di masyarakat yang seolah-olah “melegalkan” pernikahan pada usia anak.

Dalam pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 dinyatakan


bahwa tujuan perlindungan anak adalah untuk mewujudkan anak Indonesia yang berkualitas,
berakhlak mulia, dan sejahtera. Dengan kata lain bahwa disusunnya Undang-Undang
Perlindungan Anak adalah untuk menjamin kehidupan yang ideal bagi anak dan bukan
melegitimasi kehendak orangtua yang tidak wajar. Dalam konvensi Hak Anak dapat
dikelompokkan dan melakukan pembinaan yang dapat dilaksanakan dalam rangka perlindungan
anak bertumpu pada strategi sebagai berikut:

1) Survival, diarahkan pada upaya pemenuhan kebutuhan dasar bagi kelangsungan hidup
anak.
2) Developmental, diarahkan pada upaya pengembangan potensi, daya cipta, kreativitas,
inisiatif dan pembentukan anak.
3) Protection, diarahkan dalam upaya pemberian perlindungan bagi anak dari berbagai
akibat gangguan seperti: keterlantaran, eksploitasi, dan perlakuan salah.
4) Participation, diarahkan dalam upaya pemberian kesempatan kepada anak untuk aktif
melaksanakan hak dan kewajibannya, melalui keterlibatan dalam berbagai kegiatan yang
dilaksanakan dalam rangka pembinaan kesejahteraan sosial anak.

Pada dasarnnya perlindungan anak bertujuan untuk menjamin dua hal, yaitu hak-hak anak
dan kesejahteraan anak. Apapun perbuatan yang dilakukan oleh orangtua atau para pihak yang
terlibat dengan anak harus memperhatikan dua tujuan tersebut. Kepentingan terbaik bagi anak
harus didahulukan, dan harus memperhatikan strategi survival, developmental, protection, dan
perticipationdalam pemenuhan perlindungan anak.

Hak anak merupakan kebutuhan dasar yang seharusnya diperoleh oleh anak untuk
menjamin kelangsungan hidup, tumbuh kembang dan perlindungan dari segala bentuk perlakuan
salah, baik yang mencakup hak sipil, ekonomi, dan budaya. Hak-hak anak sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, meliputi:

a) Hak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan
dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia,
dan sejahtera (Pasal 4)
b) Hak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangkapengembangan pribadinya dan
tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. (Pasal 9 ayat 1)
c) Hak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang
sebaya, bermain, berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi
pengembangan diri. (Pasal 11)
d) Setiap anak selama dalam pengasuhan orangtua, wali, atau pihak lain manapun yang
bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan
diskriminasi, kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan, ketidakadilan, dan perlakuan
salah lainnya. (Pasal 13 ayat 1)31

Dalam penjelasan atas Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan


Anak secara umum dikatakan “Anak adalah amanah sekaligus Karunia Tuhan Yang Maha Esa,
yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak
sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi
manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan
BangsaBangsa tengtang Hak-hak Anak”.32 Meskipun Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia telah mencantumkan tentang hak anak, pelaksanaan kewajiban dan
tanggung jawab orangtua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara untuk memberikan
perlindungan terhadap anak masih memerlukan suatu Undang-Undang mengenai Perlindungan
Anak sebagai landasan yuridis bagi pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab tersebut.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan dari uraian di atas, penulis dapat menarik kesimpulan, sebagai bberikut
Pemaksaan perkawinan dalam UU TPKS pasal 10 maka Bagi orang yang menikahi anak akan
diancam 9 tahun penjara, ketentuan ini berdasarkan undang-undang perlindungan anak nomor 35
tahun 2014 pasal 13 ayat (1) yang dijadikan rujukan dalam penyusunan undang-undang
penghapusan kekerasan seksual untuk memberikan payung perlindungan bagi korban eksploitasi
seksual yang bukan berusia anak-anak.
Berdasarkan UU Perkawinan, yang bisa menikah adalah yang sudah berusia 19 tahun.
Sedangkan yang dimaksud anak menurut UU Perlindungan Anak adalah yang belum berusia 18
tahun. Bila ada yang ingin menikahkan anaknya, meski belum 19 tahun, si orang tua bisa
meminta izin/dispensasi nikah ke Pengadilan Agama. Bila disetujui hakim, perkawinan bisa
dilangsungkan.

Anda mungkin juga menyukai