Anda di halaman 1dari 5

PENDAHULUAN

Indonesia negara yang dikenal dengan keragaman budaya. Indonesia merupakan


negara yang kaya akan adat istiadat dan kebudayaan, terdapat beribu adat ataupun etnis yang
tersebar di seluruh Indonesia. Setiap adat yang ada di Indonesia memiliki tradisi yang telah
dilaksanakan secara terus menerus dan turun temurun. Tradisi yang dimiliki oleh setiap adat di
Indonesia memiliki warna tersendiri yang dapat mencari ciri khas dari adat tersebut.

Perlu diketahui bahwa kebudayaan adalah suatu keseluruhan dari pikiran, karya, dan
juga hasil karya manusia dimana hasil karya tersebut lahir setelah manusia (seseorang) telah
melakukan proses belajar. Kebudayaan tidak terlahir secara alami dari naluri manusia.
Sementara tradisi adalah bentuk kebiasaan dalam Masyarakat yang telah dilakukan sangat lama
dan secara terus menerus sehingga membentuk suatu unsur sosial budaya bagi Masyarakat dan
apabila menggalami perubahan akan sulit dilaksanakan

Atas beragamnya adat istiadat yang dimiliki bangsa Indonesia. Pada tahun 2022,
Indonesia melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi menetapkan
Warisan Budaya Takbenda (WBTb) berjumlah 1728 yang dibagi menjadi 5 domain, terdiri atas
491 warisan budaya dengan domain Adat Istiadat Masyarakat, Ritus dan bentuk perayaan-
peryaan, 440 warisan budaya dengan domain kemahiran dan kerajinan tradisional, 75 warisan
budaya dengan domain pengetahuan dan kebiasaan perlilaku mengenai alam dan semesta, 503
warisan budaya dengan domain seni pertunjukan dan 219 warisan budaya dengan domain
tradisi lisan dan ekspresi.

Banyaknya tradisi yang ada di Indonesia menimbulkan permasalahan hukum. Tradisi


yang ada di Indonesia memiliki kemungkinan bertentang dengan hukum karena tradisi telah
dilaksanakan dalam kurun waktu yang lama, sementara ketentuan hukum muncul setelah
adanya fenomena yang memerlukan suatau perlindungan. Permasalahan tradisi di Indonesia
banyak ditemukan bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Salah satu tradisi yang
bertentangan dengan Hukum dan Hak Asasi Manusia adalah tradisi Kawan Tangkap di Sumba,
Nusa Tenggara Timur.

Tradisi kawin tangkap telah dilakukan sejak zaman nenek moyang dan dilakukan secara
turun-temurun hingga saat ini. Pada awalnya, tradisi ini merupakan bentuk perkawinan tanpa
peminangan karena belum tercapainya kesepakata keluarga mengenai jumlah belis (mas
kawin). Namun dalam pelaksanaannya di masa saat ini, tradisi kawin tangkap dilakukan dengan
di bumbuhi bentuk kejahatan berupa kekerasan fisik, pelecehan seksual, kejahatan psikologis,
dan dapat berdampak pada status sosial. Dapat sosial tersebut di dapatkan apabila Wanita yang
berhasil kabur atas kawin tangkap dengan bantuan pihak berwajib dianggap sebagai Wanita
terbuang dan menciptakan suatu ketidakadilan bagi Wanita-wanita lainnya yang sudah menjadi
korban kawin tangkap. Kasus terakhir mengenai dugaan pelaksanaan tradisi kawin tangkap
yang didasarkan pada kekerasan dan kejahatan dilakukan pada bulan September.

PEMBAHASAN

Bahwa praktik tradisi kawin tangkap dilakukan dengan cara penculikan dan kekerasan
yang dilakukan pelaku (pihak laki-laki) terhadap korban (pihak Perempuan). Penculikan
merupakan suatu bentuk tindakan perampasan dan pemaksaan orang lain yang dilakukan
dengan kekerasan dan bukan merupakan kehendak dari orang yang dibawa (diculik).
Penculikan dapat terjadi karena bujukan, kekerasan ataupun penipuan. Pada praktik kawin
tangkap penculikan dilakukan dengan kekerasan. Perbuatan penculikan telah diatur dan
dilarang oleh Pasal 450 Undang-Undang No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana yang menyatakan bahwa “Setiap orang yang membawa seseorang dengan
maksud untuk menempatkan orang tersebut secara melawan hukum di bawah kekuasaannya
atau kekuasaan orang lain atau untuk menempatkan orang tersebut dalam keadaan tidak
berdaya, dipidana karena penculikan dengan pidana penjara paling lama 12 tahun.” Sehingga
praktek tradisi kawin tangkap terbukti telah melanggar ketentuan hukum. Penculikan adalah
salah satu faktor hukum yang dilanggar oleh tradisi kawin tangkap, masih terdapat faktor lain
dari praktik kawin tangkap yang bertentangan dengan hukum.

Selain melakukan penculikan, pelaku atau pihak laki-laki yang melakukan kawin tangkap
sering menggunakan kekerasan fisik saat hendak menculik korban. Kekerasan merupakan
tindakan melukai fisik yang dilakukan secara berlundang-ulang dengan tujuan korban jera akan
perbuatan yang dilakukan (Simatupang, Nursariani Abduh, 2020). Kekerasan tersebut
bertentangan dengan ketentuan hukum, dimana pada Pasal 262 Pasal (1) KUHP Baru
menyatakan bahwa “setiap orang dengan terang-terangan atau di muka umum dan dengan
tenaga bersama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak kategori (Rp 500.000.000)”
Selain kedua faktor tersebut, praktik tradisi kawin tangkap juga bertentangan dengan
hak asasi manusia yang dijamin oleh Konstitusi. Tradisi kawin tangkap merupakan bentuk
paksaan terhadap perkwainan sehingga pelaku yang memaksa melakukan perkawinan dengan
tradisi kawin tangkap telah melanggar hak yang dimiliki oleh korban yang diatur dalam Pasal
28B ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak membentuk keluarga
dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.” Atas adanya tradisi kawin tangkap
hak korban untuk membentuk keluarga sesuai dengan kehendaknya sudah hilang dan dilanggar
oleh pelaku. Selain itu tradisi kawin tangkap yang mana dilakukan secara paksa bertentangan
dengan tujuan perkawinan menurut UU perkawinan.

Atas banyaknya pelanggaran hukum yang terjadi akibat Tradisi Kawin Tangkap, maka
pemerintah perlu melakukan Upaya untuk melindungi korban dan memberikan Upaya terkait
permasalahan yang telah terjadi. Atas perilaku sosial di daerah Sumba masih menganut sistem
patriarki, sehingga terdapat diskriminasi bagi Perempuan sehingga tidak sejalan dengan
Konvensi CEDAW yang telah di ratifikasi oleh Indonesia. Karena telah melakukan ratifikasi
terhadap CEDAW, pemerintah memiliki kewenangan untuk membuat tindakan yang digunakan
untuk memajukan pola perilaku sosial dan budaya bagi laki-laki dan Perempuan agar tidak
terjadi diskriminasi. Ketentuan tersebut diatur melakui Pasal 5 Konvesi CEDAW yang pada
intinya negara wajib membuat peraturan untuk mengubah perilaku sosial budaya yang
menyebabkan adanya perilaku superioritas salah satu jenis kelamin.

Pada faktanya memang benar pemerintah telah mengatur mengenai kesetaraan gender
namun hanya berlaku di mata hukum, namun tidak berlaku secara sosial. Bentuk pembuatan
Undang-Undang tersebut memang perlu dilakukan oleh pemerintah, tidak hanya membuat
pemerintah juga perlu melakukan edukasi terkait persamaan gender agar tidak terjadi
diskriminasi bagi salah satu pihak. Diskriminasi terhadap gender adalah suatu bentuk
pembatasan atau pembatasan peran yang didasarkan pada gender. Urgensi dibentuknya suatu
peraturan perundang-undangan mengenai persamaan gender karena selalu adanya ketidak
adilan gender yang menimbulkan korban.

Bahwa memang atas tradisi kawin tangkap yang didasari pada kekerasan ataupun
pelecehan seksual, pelaku yang melakukan hal tersebut telah di usut dan dapat terjerat
hukuman pidana. Namun hal tersebut melalui proses yang Panjang, dimana harus ada
seseorang yang melaporkan adanya tindakan tersebut, baik dalam bentuk video kemudian viral
lalu pelaku di usut seperti pada kasus bulan September kemaren, adanya juga yang korban
melakukan laporan terhadap pihak yang berwajib. Namun, bagaimana dengan korban-korban
lainnya yang tidak berani melakukan pembelaan diri karena beberapa faktor yang salah satunya
adalah pandangan sosial dan konsisi lemah si korban.

Atas adanya fenomena tersebut, dan banyaknya korban dari praktik kawin tangkap yang
tidak berani memberikan perlawanan, maka diperlukan peran pemerintihan dalam membuat
kebijakan untuk melindungi para korban. Karena kawin tangkap hanya berlaku di daerah Sumba
Nusa Tenggara Timur, maka pemerintah daerah memiliki peran untuk melarang adanya praktik
tradisi kawin tangkap di Sumba. Hal tersebut di dasarkan dengan adanya Otonomi Daerah yang
telah di tuangkan dalam UU No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah, yang menyatakan
bahwa suatu daerah mengharuskan memiliki kemampuan untuk potensi daerah dan sosial
budaya daerahnya.

Atas adanya kewenang tersebut, pemerintah daerah dapat membuat kebijakan yang
melarang adanya praktik tradisi kawin tangkap, karena telah bertentangan dengan ketentuan
hukum dan juga Hak Asasi Manusia. Selain itu, tradisi tersebut tidak memberikan dampak
positif bagi Masyarakat dan menimbulkan dampak negative berupa adanya pelanggaran
ketentuan hukum. Memang benar, tradisi asal daerah perlu di kembangkan dan dilestarikan
sebagai bentuk warisan budaya. Namun tradisi yang dilestarikan tersebut seharusnya memiliki
manfaat dan memunculkan keunikan bagi daerah tersebut. Apabila tradisi tersebut
membahayakan warga dan telah melanggar beberapa ketentuan hukum, maka tradisi tersebut
harus di hapuskan dan dilarang untuk dilaksanakan di daerah tersebut.

PENUTUP

Bahwa tradisi kawing tangkap merupakan tradisi yang dilaksanakan dengan cara yang
berbeda dengan cara yang dahulu, bahwa telah terjadi penyelewengan tujuan dari tradisi
tersebut sehingga sudah tidak sesuai dengan kondisi Masyarakat sekitar dan malah
menimbulkan korban. Tradisi tersebut dilaksanakan dengan cara penculikan, kekerasan dan
pelecehan seksual. Pelaksanaan tradisi tersebut sangat bertentangan dengan ketentuan hukum
dan juga hak asasi manusia. Atas menyelewengnya tradisi tersebut dan telah menimbulkan
korban maka penulis setuju apabila tradisi tersebut di hilangkan dan dilarang untuk
dilaksanakan. Hal tersebut dikarenakan sudah tidak adanya urgensi adat dari tradisi tersebut
yang malah di manfaatkan untuk melakukan kejahatan. Tradisi tersebut sudah tidak sejalan
dengan kondisi Masyarakat dan pelaksanaannya bertentangan dengan hukum. Maka atas tidak
adanya urgentsi dilakukannya tradisi ini, maka pemerintah harus menghapuskan tradisi ini dan
di buat menjadi suatu tradisi yang dilarang. Tidak hanya tradisi ini, bagi tradisi-tradisi lain yang
sudah tidak memiliki manfaat bagi Masyarakat setempat dan bertentangan dengan hukum,
maka pemerintah harus menghapuskan tradisi tersebut.

Anda mungkin juga menyukai