Anda di halaman 1dari 8

Analisa Kasus ANTROPOLOGI HUKUM

BAB I

1.      Latar Belakang Masalah

Permasalahan antropologi hukum tidak akan habis dibahas, kasus-kasus yang muncul
merupakan hal-hal yang tidak jauh dari sekitar hidup kita contoh saja kasus maling yang di
gebuki dan hampir meninggal. Manusia adalah jenis mahkluk yang hidup berkelompok, yang
mengharuskan interaksi satu dengan yang lainnya untuk memenuhi kodratnya sebagai mahkluk
sosial. Masyarakat adalah sekumpulan orang yang mendiami suatu wilayah dan hidup
berdampingan, saling berinteraksi serta terikat dengan aturan yang berlakundi komunitas
tersebut. Masyarakat khususnya Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang majemuk oleh
karena banyaknya etnis yang mendiami Indonesia, berbagai bahasa, suku, adat istiadat, ras,
agama dan sejarah yang berbeda-beda justru menjadi sebuah keunikan tersendiri dalam bangsa
indonesia. Dengan itu bersatunya masyarakat indonesia dengan adanya kesatuan Pancasila dan
Undang Undang Dasar 1945.
Perbedaan khusus tersebut, tidak menjadikan kehidupan masyarakat terbatas, ada kesamaan
tradisi umum yang terikat dalam hukum adat tak tertulis, yaitu gotong-royong dan lain
sebagainya. Untuk menyikapi hal tersebut metode yang dipakai adalah mengenai metode historis
dan juga deskripsi perilaku. Metode historis adalah metode yang mempelajari perilaku manusia
dan budaya melalui sejarah kebiasaan yang ada atau norma-norma adat yang berlaku, sedangkan,
metode deskriptif perilaku adalah metode yang cara mempelajari manusia dengan melukiskan
situasi hukumnya yang nyata serta menyampingkan norma ideal yang berlaku.

BAB II
ANALISA KASUS
Kebiasaan adalah suatu hal yang terus-menerus dilakukan atau sering kali dikerjakan,
sedangkan tradisi merupakan segala sesuatu seperti adat, kepercayaan, dan kebiasaan. Seperti
yang diungkapkan sebelumnya tentang kesamaan masyarakat Indonesia yang tradisinya adalah
gotong-royong. Asas-asas gotong royong merupakan salah satu nilai universal dalam hukum adat
Indonesia. Pada umumnya gotong royong merupakan adanya kebiasaan kerja yang sudah
diwarisi secara turun temurun. Gotong-royong bisa seperti membantu acara pernikahan, kegiatan
kampung, mengurus jenazah tetangga dan segala macam bentuk kebersamaan dimana
masyarakat berperan aktif baik secara materiil maupun non materiil. Jika dalam suatu kampung,
misalnya terdapat acara kerja bakti, salah satu penduduk tanpa alasan yang jelas tidak ikut serta,
maka akan menjadi cibiran yang merupakan sanksi sosial masyarakat. Karena usnur
kebersamaan merupakan hal yang penting.
Akan tetapi, gotong-royong pun tak seutuhnya tak lagi positif. Asumsi masyarakat telah
bergeser, bahwa salah satu bentuk pengeroyokan beramai-ramai pada pencuri disebut gotong-
royong. Dari sudut pandang kolektivitas sebagai struktur sosial utama dalam masyarakat,
Anderson menjelaskan bahwa kolektvitas itu adalah sejumlah orang yang bertingkah-laku secara
khusus, mengutup disekitar suatu pusat atraksi yang bersifat sementara. Dan salah satunya
kondisi yang mendorong timbulnya kolektivitas, yaitu melemahnya kontrol sosial. Bila kontrol
sosial melemah, sehingga tidak mampu mencegah pencurian, perampokan dengan kekerasan,
maka kolektivitas dengan norma dan cara-caranya sendiri timbul untuk mememcahkan masalah.
Pengeroyokan masal terhdap pencuri yang tertangkap merupakan contoh yang diketengahkan.
Padahal masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang sadar hukum dan berada pada negara
hukum yang kuat dengan landasan Undang-Undang. Semua tindakan yang bertentangan dengan
norma yang diatur dalam Undang-Undang oleh pembuat hukum, dan ditegakkan oleh para
penegak hukum. Fungsi hukum adalah menegakkan keadilan dan membuat kehidupan harmonis,
aman sejahtera bagi masyarakat. Selain itu, dalam buku Antropologi Hukum oleh Prof. Soerjono
Soekanto hal 23, menjelaskan, bahwa hukum juga mencakup aturan-aturan yang melindungi
hak-hak warga terhadap keganasan, kelobaan atau kedengkian pihak-pihak lain. Akan tetapi,
musibah-musibah dan keresahan sosial seperti kasus diatas merupakan sumber bagi kebanyakan
hukum. Dengan terjadinya perubahan-perubahan yang bersifat teknis dan moral, timbul situasi-
situasi baru yang harus diberi dasar hukum.
Tindakan mengadili sendiri oleh masyarakat Batu Aji tak beda dengan masyarakat lainnya di
pelosok negeri. Yang menjadi pokok utamanya adalah melemahnya kontrol sosial dan tradisi
yang menyimpang dalam diri masyarakat Indonesia. Kenapa bisa terjadi pencurian? Maka
keadaan tersebut tak perlu dijabarkan, karena bentuk pencurian zaman modern ini mempunyai
sebab-sebab tertentu. Lemahnya kontrol sosial terhadap warga memang sulit dijangkau, karena
ketika tindakan kejahatan terjadi, penegak hukum, khususnya polisi tidak berada ditempat
kejadian perkara. Saat itu hanya warga sekitar sebagai saksi serta pencegah pertama terjadinya
pencurian tersebut, akan tetapi, sikap warga sebagai bentuk perventif terjadinya pencurian,
seringkali kebiasaan dan tidak tahu aturan, seharusnya warga hanya berkewajiban menangkap
pencuri dan mengamankannya sampai pihak berwenang datang dan memproses hukum dan
akibat geram dan meresahkan tindakan pengeroyokan dijadikan pelampiasan amarah warga
tersebut. Sikap gotong-royong  warga dalam menangkap pencuri adalah tindakan yang menjadi
tradisi untuk saling membantu. Akan tetapi, rupanya tradisi menangkap saja tidak cukup, dan
kemudian menghajar sehingga pelaku babak belur sudah menjadi tradisi yang reflek berasal dari
kepuasan diri warga akibat pencurian tersebut. Kekesalan yang timbul secara serentak dalam hati
warga yang mengetahui tindakan kejahatan itu, menimbulkan kekerasan fisik yang sebenarnya
buka kewenangan warga dalam menghukum pelaku. Tradisi yang bukan merupakan dari norma
tersebut menjadi hal biasa dan kebiasaan masyarakat, seolah warga ingin mendahului
penghukuman terhadap seseorang tanpa adanya proses pengadilan, hal ini tentu saja salah,
ditinjau dari sisi hukum yang ada di Indonesia dan sudah ditetapkan.
Hukum diatur demi kemaslahatan umat manusia, dan keadilan seharusnya didapatkan oleh
pelaku kejahatan juga sebagai manusia, karena tindakan kejahatan sudah diatur dalam UU
dengan sanksi-sanksi lewar proses peradilan, bukannya tindakan pengeroyokan massal.
Masyarakat pastinya tahu akan budaya hukum, yaitu kesatuan pandangan nilai-nilai dan perilaku
hukum, masyarakat juga sadar bahwa tindakan pengeroyokan tidak dibenarkan karena bisa saja
mengakibatkan kehilangan nyawa si pelaku, akan tetapi masyarakat tak bisa memungkiri untuk
tidak sedikit saja melakukan kekerasan fisik terhadap pelaku kejahatan, sebagai bentuk luapan
emosi dan semacam pelajaran bagi pelaku dan tindakan kejahatan lainnya agar tidak terulang
lagi kasus seperti pencurian ini. Disini juga para penegak hukum membiarkan tindakan tersebut,
tanpa mengusut siapa saja yang melakukan pengeroyokan tersebut. Hal ini bisa dilihat antara
masyarakat pada umumnya dan penegak hukum sama-sama memiliki pemikiran yang sama,
yaitu memberi sanksi awal. Masyarakat tak mempunyai wewenang tersebut, tapi mereka
bersikap seolah memiliki kekuasaan dalam menghakimi pelaku. Mungkin saja pemikiran yang
sudah lama melekat  sejak kanak-kanak seperti dalam lagu ”kancil mencuri timun”, yang dalam
bagian akhir mengatakan jangan diberi ampun, sudah jelas menggambarkan keganasan tindakan
pengeroyokan yang terlihat. Dalam sudut pandang antropologi hukum, bahwa rupanya
kepribadian masyarakat Indonesia telah terkontaminasi dari presepsi lagu, bacaan, dan tontonan.
Sehingga seperti yang tertulis sebelumnya, bahwa tradisi luhur bisa mengalami pergeseran.
Segala hal yang terngiang secara terus menerus dan awalnya menjadi hiburan semesta pada
akhirnya bisa melekat dalam diri seseorang sehingga menjadikan pembentukan kepribadian yang
sama persis seperti dari apa yang dilihat dan didengar.
Seperti kasus diatas, akhirnya mengalami pergeseran hukum. Dari pelaku menjadi
korban. Maka masyarakatlah yang pada akhirnya menjadi tersangka. Namun, hal ini
jarang sekali diusut tuntas oleh penegak hukum akrena terlalu banyak pihak-pihak yang
ikut dalam aksi anarkis tersebut dan tak seorangpun yang akan mau bertanggung jawab,
sehingga yang ada korban pengeroyokan hampir saja tewas akibat tindakan yang dinilai
tidak adil sebagai obyek hukum. Kebiasaan pengeroyokan massal itu akan terus
berlangsung sampai pada generasi berikutnya dan menjadi hal yang biasa karena
dibiasakan. Dalam hal ini sekiranya pendidikan non formal dalam keluarga sangat penting
dibutuhkan agar terbentuk kepribadian yang bijaksana dan sesuai denga nilai-nilai dan
tradisi luhur masyarakat indonesia. Analisa Kasus ANTROPOLOGI
HUKUM
BAB I

1.      Latar Belakang Masalah

Permasalahan antropologi hukum tidak akan habis dibahas, kasus-kasus yang muncul
merupakan hal-hal yang tidak jauh dari sekitar hidup kita contoh saja kasus maling yang di
gebuki dan hampir meninggal. Manusia adalah jenis mahkluk yang hidup berkelompok, yang
mengharuskan interaksi satu dengan yang lainnya untuk memenuhi kodratnya sebagai mahkluk
sosial. Masyarakat adalah sekumpulan orang yang mendiami suatu wilayah dan hidup
berdampingan, saling berinteraksi serta terikat dengan aturan yang berlakundi komunitas
tersebut. Masyarakat khususnya Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang majemuk oleh
karena banyaknya etnis yang mendiami Indonesia, berbagai bahasa, suku, adat istiadat, ras,
agama dan sejarah yang berbeda-beda justru menjadi sebuah keunikan tersendiri dalam bangsa
indonesia. Dengan itu bersatunya masyarakat indonesia dengan adanya kesatuan Pancasila dan
Undang Undang Dasar 1945.
Perbedaan khusus tersebut, tidak menjadikan kehidupan masyarakat terbatas, ada kesamaan
tradisi umum yang terikat dalam hukum adat tak tertulis, yaitu gotong-royong dan lain
sebagainya. Untuk menyikapi hal tersebut metode yang dipakai adalah mengenai metode historis
dan juga deskripsi perilaku. Metode historis adalah metode yang mempelajari perilaku manusia
dan budaya melalui sejarah kebiasaan yang ada atau norma-norma adat yang berlaku, sedangkan,
metode deskriptif perilaku adalah metode yang cara mempelajari manusia dengan melukiskan
situasi hukumnya yang nyata serta menyampingkan norma ideal yang berlaku.

BAB II
ANALISA KASUS

Kebiasaan adalah suatu hal yang terus-menerus dilakukan atau sering kali dikerjakan,
sedangkan tradisi merupakan segala sesuatu seperti adat, kepercayaan, dan kebiasaan. Seperti
yang diungkapkan sebelumnya tentang kesamaan masyarakat Indonesia yang tradisinya adalah
gotong-royong. Asas-asas gotong royong merupakan salah satu nilai universal dalam hukum adat
Indonesia. Pada umumnya gotong royong merupakan adanya kebiasaan kerja yang sudah
diwarisi secara turun temurun. Gotong-royong bisa seperti membantu acara pernikahan, kegiatan
kampung, mengurus jenazah tetangga dan segala macam bentuk kebersamaan dimana
masyarakat berperan aktif baik secara materiil maupun non materiil. Jika dalam suatu kampung,
misalnya terdapat acara kerja bakti, salah satu penduduk tanpa alasan yang jelas tidak ikut serta,
maka akan menjadi cibiran yang merupakan sanksi sosial masyarakat. Karena usnur
kebersamaan merupakan hal yang penting.
Akan tetapi, gotong-royong pun tak seutuhnya tak lagi positif. Asumsi masyarakat telah
bergeser, bahwa salah satu bentuk pengeroyokan beramai-ramai pada pencuri disebut gotong-
royong. Dari sudut pandang kolektivitas sebagai struktur sosial utama dalam masyarakat,
Anderson menjelaskan bahwa kolektvitas itu adalah sejumlah orang yang bertingkah-laku secara
khusus, mengutup disekitar suatu pusat atraksi yang bersifat sementara. Dan salah satunya
kondisi yang mendorong timbulnya kolektivitas, yaitu melemahnya kontrol sosial. Bila kontrol
sosial melemah, sehingga tidak mampu mencegah pencurian, perampokan dengan kekerasan,
maka kolektivitas dengan norma dan cara-caranya sendiri timbul untuk mememcahkan masalah.
Pengeroyokan masal terhdap pencuri yang tertangkap merupakan contoh yang diketengahkan.
Padahal masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang sadar hukum dan berada pada negara
hukum yang kuat dengan landasan Undang-Undang. Semua tindakan yang bertentangan dengan
norma yang diatur dalam Undang-Undang oleh pembuat hukum, dan ditegakkan oleh para
penegak hukum. Fungsi hukum adalah menegakkan keadilan dan membuat kehidupan harmonis,
aman sejahtera bagi masyarakat. Selain itu, dalam buku Antropologi Hukum oleh Prof. Soerjono
Soekanto hal 23, menjelaskan, bahwa hukum juga mencakup aturan-aturan yang melindungi
hak-hak warga terhadap keganasan, kelobaan atau kedengkian pihak-pihak lain. Akan tetapi,
musibah-musibah dan keresahan sosial seperti kasus diatas merupakan sumber bagi kebanyakan
hukum. Dengan terjadinya perubahan-perubahan yang bersifat teknis dan moral, timbul situasi-
situasi baru yang harus diberi dasar hukum.
Tindakan mengadili sendiri oleh masyarakat Batu Aji tak beda dengan masyarakat lainnya di
pelosok negeri. Yang menjadi pokok utamanya adalah melemahnya kontrol sosial dan tradisi
yang menyimpang dalam diri masyarakat Indonesia. Kenapa bisa terjadi pencurian? Maka
keadaan tersebut tak perlu dijabarkan, karena bentuk pencurian zaman modern ini mempunyai
sebab-sebab tertentu. Lemahnya kontrol sosial terhadap warga memang sulit dijangkau, karena
ketika tindakan kejahatan terjadi, penegak hukum, khususnya polisi tidak berada ditempat
kejadian perkara. Saat itu hanya warga sekitar sebagai saksi serta pencegah pertama terjadinya
pencurian tersebut, akan tetapi, sikap warga sebagai bentuk perventif terjadinya pencurian,
seringkali kebiasaan dan tidak tahu aturan, seharusnya warga hanya berkewajiban menangkap
pencuri dan mengamankannya sampai pihak berwenang datang dan memproses hukum dan
akibat geram dan meresahkan tindakan pengeroyokan dijadikan pelampiasan amarah warga
tersebut. Sikap gotong-royong  warga dalam menangkap pencuri adalah tindakan yang menjadi
tradisi untuk saling membantu. Akan tetapi, rupanya tradisi menangkap saja tidak cukup, dan
kemudian menghajar sehingga pelaku babak belur sudah menjadi tradisi yang reflek berasal dari
kepuasan diri warga akibat pencurian tersebut. Kekesalan yang timbul secara serentak dalam hati
warga yang mengetahui tindakan kejahatan itu, menimbulkan kekerasan fisik yang sebenarnya
buka kewenangan warga dalam menghukum pelaku. Tradisi yang bukan merupakan dari norma
tersebut menjadi hal biasa dan kebiasaan masyarakat, seolah warga ingin mendahului
penghukuman terhadap seseorang tanpa adanya proses pengadilan, hal ini tentu saja salah,
ditinjau dari sisi hukum yang ada di Indonesia dan sudah ditetapkan.
Hukum diatur demi kemaslahatan umat manusia, dan keadilan seharusnya didapatkan oleh
pelaku kejahatan juga sebagai manusia, karena tindakan kejahatan sudah diatur dalam UU
dengan sanksi-sanksi lewar proses peradilan, bukannya tindakan pengeroyokan massal.
Masyarakat pastinya tahu akan budaya hukum, yaitu kesatuan pandangan nilai-nilai dan perilaku
hukum, masyarakat juga sadar bahwa tindakan pengeroyokan tidak dibenarkan karena bisa saja
mengakibatkan kehilangan nyawa si pelaku, akan tetapi masyarakat tak bisa memungkiri untuk
tidak sedikit saja melakukan kekerasan fisik terhadap pelaku kejahatan, sebagai bentuk luapan
emosi dan semacam pelajaran bagi pelaku dan tindakan kejahatan lainnya agar tidak terulang
lagi kasus seperti pencurian ini. Disini juga para penegak hukum membiarkan tindakan tersebut,
tanpa mengusut siapa saja yang melakukan pengeroyokan tersebut. Hal ini bisa dilihat antara
masyarakat pada umumnya dan penegak hukum sama-sama memiliki pemikiran yang sama,
yaitu memberi sanksi awal. Masyarakat tak mempunyai wewenang tersebut, tapi mereka
bersikap seolah memiliki kekuasaan dalam menghakimi pelaku. Mungkin saja pemikiran yang
sudah lama melekat  sejak kanak-kanak seperti dalam lagu ”kancil mencuri timun”, yang dalam
bagian akhir mengatakan jangan diberi ampun, sudah jelas menggambarkan keganasan tindakan
pengeroyokan yang terlihat. Dalam sudut pandang antropologi hukum, bahwa rupanya
kepribadian masyarakat Indonesia telah terkontaminasi dari presepsi lagu, bacaan, dan tontonan.
Sehingga seperti yang tertulis sebelumnya, bahwa tradisi luhur bisa mengalami pergeseran.
Segala hal yang terngiang secara terus menerus dan awalnya menjadi hiburan semesta pada
akhirnya bisa melekat dalam diri seseorang sehingga menjadikan pembentukan kepribadian yang
sama persis seperti dari apa yang dilihat dan didengar.
Seperti kasus diatas, akhirnya mengalami pergeseran hukum. Dari pelaku menjadi korban.
Maka masyarakatlah yang pada akhirnya menjadi tersangka. Namun, hal ini jarang sekali diusut
tuntas oleh penegak hukum akrena terlalu banyak pihak-pihak yang ikut dalam aksi anarkis
tersebut dan tak seorangpun yang akan mau bertanggung jawab, sehingga yang ada korban
pengeroyokan hampir saja tewas akibat tindakan yang dinilai tidak adil sebagai obyek hukum.
Kebiasaan pengeroyokan massal itu akan terus berlangsung sampai pada generasi berikutnya dan
menjadi hal yang biasa karena dibiasakan. Dalam hal ini sekiranya pendidikan non formal dalam
keluarga sangat penting dibutuhkan agar terbentuk kepribadian yang bijaksana dan sesuai denga
nilai-nilai dan tradisi luhur masyarakat indonesia.
BAB III
KESIMPULAN

            Dari analisa diatas, terdapat ditarik kesimpulan, bahwa tradisi masyrakat mengalami
pergeseran makna dan hukum adat tidak tertulis yang memuat nilai-nilai luhur  bukan berasal
dari jiwa masyarakat itu sendiri. Bahkan masyarakat Indonesia yang sadar hukum dan hidup
dalam negara hukum, mulai mengesampingkan kebijaksanaan, keadilan dan norma umum yang
telah termuat dalam pancasila dan undang-undang. Agar tidak menyimpang seperti gotong-
royong yang salah diartikan buruk yang dijadikan tradisi.

BAB III
KESIMPULAN

            Dari analisa diatas, terdapat ditarik kesimpulan, bahwa tradisi masyrakat mengalami
pergeseran makna dan hukum adat tidak tertulis yang memuat nilai-nilai luhur  bukan berasal
dari jiwa masyarakat itu sendiri. Bahkan masyarakat Indonesia yang sadar hukum dan hidup
dalam negara hukum, mulai mengesampingkan kebijaksanaan, keadilan dan norma umum yang
telah termuat dalam pancasila dan undang-undang. Agar tidak menyimpang seperti gotong-
royong yang salah diartikan buruk yang dijadikan tradisi.

Anda mungkin juga menyukai