Fungsi dari suatu peraturan perundang - undangan adalah untuk mengatur. Jadi
fungsi mengatur ini yang harus diketahui di dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara --> Ini fungsi utamanya, yaitu mengatur.
Fungsi mengatur ini ditujukan agar di dalam penyelenggaraan negara agar bisa
berjalan dengan tertib. Segala sesuatunya di dasarkan pada suatu ketentuan yang
sifatnya formal, termasuk peraturan perundang - undangan. Ini yang kemudian di
dalam bahasa ketatanegaraan disebut dengan persoalan - persoalan
Konstitusionalitas --> Jadi sesuatu yang sifatnya sudah ditetapkan sebagai aturan
- aturan yang dibuat oleh badan yang berwenang.
MATERI
1
Kalau di dalam Pasal 33 UUD 1945 dikatakan bahwa "semua kekayaan alam itu
dikuasai negara" --> ini artinya penguasaan disini bukan berarti diartikan
penguasaan secara fisik, tapi penguasaan itu bisa dilakukan dengan berbagai
aturan - aturan yang dikeluarkan oleh negara (INI PENGUASAAN) --> dikuasai
negara.
Jadi negara tidak harus menguasai secara fisik, tapi bisa dilakukan dengan
membuat aturan - aturan yang sudah ditetapkan oleh negara, sehingga tidak bisa
dilakukan secara bebas pengelolaan / penggunaan dari SDA (misal SDA-->
Minyak, ini ada UU yang mengaturnya), makanya kemudian ada UU tentang
minyak dan gas bumi.
Dalam pengertian seperti ini juga dikategorikan sebagai penguasaan. Jadi otoritas
memang ada pada negara, jadi bagaimana bisa menguasai sehingga mengelola
tentu akan diperuntukan guna sebesar - besarnya kemakmuran rakyat.
Kalau kita bicara ilmu perundang - undangan, ini juga terkait dengan sesuatu
yang harus dilaksanakan. Jadi ada yang bersifat pemahaman, ada yang bersifat
normatif ( sesuatu yang harus dilakukan)
-Ini menekankan pada aspek teorinya. Jadi bicara tentang perundang - undangan
maka yang pertama adalah bicara tentang teori.
Di dalam teori perundang undangan itu yang disebut dengan
Gesetzgebungtheorie ini orientasinya pada mencari kejelasan dan kejernihan
makna / pengertian - pengertian, dan bersifat kognitif.
-Artinya dengan kita pelajari teori perundang - undangan, maka hakekat dari
perundang - undangan itu akan bisa kita ketahui, jadi pemahamam dari apa
sebetulnya hakekat dari suatu peraturan perundang - undangan itu. Jadi tidak
2
sekedar apa yang harus dilaksanakan, tapi sesungguhnya apa. --> Ini kalau bicara
teori perundang - undangan.
-Fungsi mengatur ini tidak bisa lepas dari otoritas yang dimiliki oleh suatu organ
yang disebut dengan negara, bahwa negara punya otoritas, punya kekuasaan
terhadap segala kekayaan yang ada di dalam wilayah teritorial RI --> ini kemudian
ditegaskan di dalam peraturan perundang - undangan, bahwa itu adalah menjadi
suatu kekuasaan yang dimiliki oleh negara dan itu diatur.
Pengaturan yang seperti itu (dalam bentuk UU) yang memang itu harus
mempunyai kekuatan mengikat, maka itu juga harus diperhatikan dan tidak
sembarang untuk bisa dilakukan.
Ex :
-UU No 12 Tahun 2011, jadi UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang -
Undangan / UU tentang P3 ini memang harus dilaksanakan sesuai dengan apa
yang telah ditentukan di dalam UU tentang P3. --> sesuatu yang normatif / harus
dilakukan.
Oleh karena itu kalau lihat di UU No 12 Tahun 2011 itu sudah diatur secara
menyeluruh tentang hal - hal apa saja yang harus dilakukan, diperbuat
sehubungan dengan pembentukan peraturan perundang - undangan.
Misalnya adanya naskah akademik. Naskah akademik ini memang sesuatu yang
mutlak harus ada, ini merupakan satu bentuk pertanggungjawaban apa
sesungguhnya di dalam membuat peraturan perundang - undangan itu reasoning
3
nya apa, tentu kalau kita bicara naskah akademik ada kaitannya dengan
akademisi, artinya untuk sebuah suatu pertanggungjawaban, bisa
dipertanggungjawabkan membuat suatu peraturan perundang - undangan yang
itu akan didahului dengan suatu rancangan.
Makanya UU No 12 Tahun 2011 tentang P3 sudah ditetapkan apa saja yang harus
dipenuhi, dan kalau kita bicara tentang naskah akademik itu sudah menyeluruh.
Di dalam UU sebelumnya tahun 2004 yang digantikan dengan tahun 2011 naskah
akademik itu hanya ditujukan untuk UU saja, tapi sekarang ditujukan untuk
semua.
Jadi memang ada suatu ketentuan yang harus dilaksanakan (Naskah Akademik)
Naskah akademik, merupakan suatu bentuk pertanggungjawaban. jadi reasoning
nya apa ada suatu rancangan seperti ini, dan apa maksudnya --> ini akan
didiskusikan. Jadi PEMKOT sering mengundang para stake holder, akademisi
untuk bicara bersama guna mengkritisi adanya rancangan yang sudah disiapkan
oleh pihak eksekutif --> ini belum dibawa ke legislatif, jadi rancangan yang dibuat
oleh pemkot (melalui bagian hukum, kalau di level Kota itu namanya bagian
hukum yang mengurusi peraturan perundang - undangan, tapi kalau di level
Provinsi itu namanya biro hukum yang mengurusi peraturan perundang -
undangan, di level pusat lain lagi)
-Jadi ini yang harus dilaksanakan sebagaimana yang sudah diatur dalam suatu
perundang - undangan, bicara dari UU (sesuatu yang sifatnya normatif)
4
Ada 3 hal yang harus diperhatikan : (ini di dalam UU No 11 Tahun 2012 sudah ada
semua, sudah ditentukan)
-Di dalam UU No 12 Tahun 2011, itu sudah ada penegasan bahwa hukum
tertinggi itu adalah UUD (dalam sistem hukum yang berlaku di Indonesia),
sedangkan Pancasila itu juga sudah ditegaskan di UU ini yaitu sebagai sumber
dari segala sumber hukum.
Kalau kita berangkat dari ketentuan yang sudah ditentukan di dalam UU, ini
berarti tidak bisa diabaikan.
5
1. Sebagai proses pembentukan / formil (tingkat pusat - daerah)
-Jadi kalau hasil ini melihat pada soal materi / substansi. Jadi materi ini (ini
biasanya yang biasanya paling rawan) juga harus melihat pada apa yang sudah
ditentukan dalam ilmu perundang - undangan sebagai suatu yang bersifat
normatif.
Misalnya, di dalam persoalan materi ini tidak boleh terjadi overlapping / tumpang
tindih. Kenapa demikian ? karena kita juga mengenal jenis - jenis peraturan
perundang - undangan. Di dalam jenis - jenis peraturan perundang - undangan
tentu berlaku hirarki tata urutan. Jadi dengan tata urutan itu maka materinya
pun harus diperhatikan, substansinya. Makanya ada istilah materi muatan.
Jadi kalau kita mengenal harus diberlakukan hirarki tata urutan maka materi
muatan tidak boleh tumpang tindih.
Apa yang menjadi materi muatan UU tidak boleh kemudian digunakan untuk
materi peraturan perundang undangan yang lain.
Ex :
-materi muatan Peraturan Presiden, tidak boleh menggunakan materi muatannya
UU. Karena materi muatan UU itu adalah merupakan amanat konstitusi / UUD.
Sehingga kalau kita bicara materi muatan itu terkait dengan persoalan jenis dari
peraturan perundang - undangan itu. Jadi kalau UU materi muatannya itu adalah
amanat dari UUD sebagai hukum yang tertinggi sedangkan Peraturan Presiden itu
6
materi muatannya tentunya tidak boleh menggunakan materi muatan amanat
dari UUD (konstitusi).
Konkritnya :
-Kalau materi UU adalah penjabaran dari amanat UUD / Konstitusi
-Kalau Peraturan Presiden itu penjabaran dari apa yang sudah ditentukan dalam
UU dan PP, ini yang boleh dimuat sebagai materi muatan Peraturan Presiden.
-Kalau mau diperjelas --> jangan membuat suatu Peraturan Presiden justru materi
muatannya adalah materi muatan UU. Ini diingatkan oleh UU No 12 Tahun 2011
sehingga tidak boleh asal membuat suatu aturan. Kalau terjadi maka ini bisa
dipermasalahkan.
Kemudian ada UU dibuat tapi tidak sesuai dengan amanat konstitusi, maka disini
dipermasalahkan.
-Ada Peraturan Presiden dibuat, kemudian tidak sesuai seperti yang diatur
di dalam UU maupun di dalam Peraturan Pemerintah, padahal di dalam
hierarkinya Peraturan Presiden itu dibawahnya UU dan dibawah Peraturan
Pemerintah, jadi ini bisa dipermasalahkan.
Ini akan diberlakukan di tingkat pusat maupun daerah, menjadi suatu yang sifatnya
wajib.
7
Pengertian Perundang - Undangan dalam Juridisch Woordenboek (referensi)
-Kalau kita bicara perundang - undangan, yang pertama itu berkaitan dengan
proses pembentukan / proses membentuk peraturan negara. Jadi memang
negara itu punya otoritas untuk buat aturan (ini kepentingannya untuk mengatur,
jadi fungsi mengaturnya akan diserahkan kedalam suatu peraturan perundang -
undangan, karena dengan peraturan perundang - undangan ini akan bisa
melaksanakan / mengawasi segala hal yang berkembang di dalam suatu negara)
-Jadi proses pembentukan peraturan negara ini juga berlaku di tingkat pusat
maupun daerah. Jadi ini menunjukan adanya satu kesatuan.
Jadi pengertian negara kesatuan itu tidak sebatas wilayah saja, tapi terhadap
pembentukan peraturan perundang - undangan pun juga harus diterapkan
prinsip kesatuan.
Dalam hal ini memang prinsip kesatuan harus diterapkan, bukan persoalan
keberagaman (bhineka tunggal ika) --> kalau bhineka tunggal ika ini tidak bisa
diterapkan. Bukan keberagaman tapi kesatuan.
Tapi kalau soal budaya, kehidupan maka justru harus melindungi ke bhinekaan
(keberagaman), selama itu tidak melanggar, kalau melanggar maka harus
disikapi, dasarnya adalah peraturan perundang - undangan.
Jadi tujuan dibuatnya peraturan perundang - undangan itu kita harus dalam
persepsi yang sama, harus tunduk terhadap apa yang sudah ditentukan di dalam
peraturan perundang - undangan itu.
-Jadi ini bisa dikaitkan dengan proses dengan hasil. Bahwa itu menyangkut
sebuah proses maupun sebagai suatu hasil.
-"Segala peraturan negara" --> tentu peraturan negara ini akan berlaku secara
mutandis
8
-Kalau di dalam UU No 12 Tahun 2011 apa yang dimaksud dengan Peraturan
perundang - undangan, yaitu
Pasal 1 angka 2 UU No 12 Tahun 2011
-Di Pasal 1 angka 2 UU 12 Tahun 2011 ada penegasan "peraturan tertulis yang
memuat norma hukum". Kalau di UU tahun 2004 tidak disertai dengan penegasan
norma hukum. Tapi disini lebih dipertegas bahwa yang dimaksud peraturan
perundang - undangan adalah "peraturan tertulis yang memuat norma hukum
yang mengikat secara umum dan dibentuk dst.... dalam peraturan perundang -
undangan"
Hakikatnya / prinsipnya sama saja, tidak beda. Jadi ada satu kewenangan / otoritas
yang diberikan pada suatu badan yang artinya harus dipahami. Ini kalau melihat
dari UU No 12 Tahun 2011.
Dibawah ini ada pengertian peraturan perundang - undangan dari Prof Bagir
Manan
-"Setiap keputusan tertulis" --> selalu ditekankan pada keputusan yang sifatnya
tertulis, jadi sifat tertulisnya itu tidak boleh tidak, maka harus ada karena ini
menyangkut suatu peraturan perundang - undangan.
-Jadi selalu menekankan juga soal kewenangan / soal otoritas. Tentu apa yang
sudah ditetapkan / diputuskan itu akan berlaku mengikat umum.
9
Sesuatu yang sifatnya mengatur = Dulu disebut keputusan.
Tapi di dalam UU P3 sesuatu yang sifatnya mengatur itu tidak lagi disebut dengan
keputusan, tapi disebut dengan PERATURAN.
Makanya dibedakan antara keputusan dengan peraturan
Kalau dulu di UU tahun 2004 yang dimaksud dengan keputusan itu bisa
penetapan bisa juga pengaturan.
Dulu antara KepPres dengan PerPres itu dianggap sama atau dengan kata lain
dulu yang dimaksud KepPres itu bersifat ketetapan dan juga bersifat mengatur.
Kalau sekarang yang sifatnya ketetapan itu dituangkan dalam bentuk KEPPRES,
yang sifatnya mengatur itu dituangkan dalam bentuk PERPRES.
Perubahan - perubahan tersebut kemudian dikaitkan dengan teori perundang -
undangan, berangkat dari disiplin ilmu misalnya hukum administrasi (kalau
hukum administrasi harus dibedakan, ada yang bersifat mengatur dan
ketetapan), kalau di perdata ada yang disebut dengan perikatan dan ada juga
yang disebut perjanjian (didudukan pada proporsi yang sebenarnya)
-Karena tertulis maka disini harus ada formalitas (tertulis), yang sifatnya tertulis
dan tertuang di dalam suatu naskah sehingga memberikan suatu akibat untuk
terikatnya terhadap keputusan yang sudah dibuat itu
10
Kalau kita bicara mana yang harus kita perhatikan ? maka kita kembalikan pada
aturan formalnya saja. Apa yang sudah diatur di dalam UU itu sifatnya objektif.
Pak Bagir mengatakan seperti itu bisa saja mengatakan seperti itu bisa saja
sifatnya subjektif. Kita kaitkan dengan apa itu istilah doktrin dan istilah apa itu
hukum.
-Kalau doktrin memang salah satu sumber hukum, tapi doktrin bukan hukum.
Doktrin itu diantaranya adalah pendapat para sarjana, jadi tidak mengikat.
KECUALI kalau doktrin sudah dikemas kedalam suatu keputusan / putusan yang
sifatnya formal maka ini sudah lain lagi, bukan lagi sebagai doktrin tapi berubah
menjadi hukum.
Seperti putusan hakim, vonis, yang juga mengutip pandangan / pendapat para
sarjana yang disebut doktrin, maka itu bukan lagi sebagai sumber hukum saja
tetapi itu sudah menjadi hukum.
- Jadi tidak perlu dipersoalkan, ini hanya pendapat pribadi dari Bagir Manan. Tapi
tetap saja harus mengacu terhadap apa yang sudah tertuang di dalam ilmu
perundang - undangan. --> yaitu yang ada pada Pasal 1 angka 2 UU No 12 Tahun
2011 (ini yang dijadikan patokan pengertiannya).
11
-Peraturan perundang - undangan itu bisa dibedakan menjadi 2, yaitu :
1. Kodifikasi --> Kitab UU
2. Modifikasi --> UU
Hal - hal yang terdapat di dalam Kitab UU yang merupakan warisan dari jaman dulu
(Belanda), itu dimaksudkan mengandung suatu pengendapan hukum, prinsip -
prinsip dasarnya ada disitu
Ex : KUHD, misalnya mengenai masalah PT dan Asuransi, sudah ada disitu semua,
memang dari situ pengertiannya, tapi apakah itu bisa dipertahankan ? seiring
dengan perkembangan jaman yang membutuhkan pengaturan - pengaturan yang
lebih lengkap, maka TIDAK MUNGKIN.
Makanya kalau kita bicara peraturan perundang - undangan disatu sisi tetap
dipertahankan yang namanya kodifikasi (dalam arti tidak melakukan pembaharuan
- pembaharuan), yang mungkin dilakukan pembaharuan - pembaharuan itu dengan
istilah penyesuaian - penyesuaian dengan kebutuhan hukum masyarakat itu
dengan yang disebut MODIFIKASI, cukup dengan pembuatan UU.
Misal : ketentuan yang ada di KUHD. Update nya bagaimana ? updatenya tidak
mungkin merubah kodifikasi KUHD, maka yang dilakukan membentuk, melengkapi,
menambahkan dengan membuat UU --> ini yang disebut dengan istilah modifikasi.
12
UU yang Bersifat Kodifikasi (Berlaku pada abad 19) :
-Memang pada masa - masa itu memang itu yang dibutuhkan, jadi sifatnya
kondisional.
-Jadi kodifikasi ini mulai berlaku pada abad 19, yaitu merupakan UU yang
membakukan pendapat hukum yang berlaku (INI PENGERTIAN KODIFIKASI).
Sesuatu yang sudah dibakukan itu ini akan menghalang - halangi terjadinya
perkembangan.
Ex : Hukum Dagang (KUHD), KUHD itu dulu dibuat untuk hukumnya kaum
pedagang, kemudian di dalam realisasinya, rumusan - rumusan di dalam KUHD
pada Pasal awal (Pasal 1 - 5) itu secara khusus ditujukan bagi kaum pedagang
tidak bisa menjangkau diluar kaum pedagang, tapi bagaimana dengan
perkembangan yang terjadi ? akhirnya itu justru malah menghambat. SOLUSINYA
akhirnya dihapus.
Jadi dengan pendapat hukum yang berlaku ini sangat sulit untuk dipertahankan,
justru akan menghambat. Padahal yang namanya kebutuhan bermasyarakat itu
tidak bisa berhenti, selalu berkembang. Ini juga akan membutuhkan ketentuan -
ketentuan hukumnya.
INILAH KODIFIKASI
13
Seiring dengan perkembangan jaman, perkembangan keadaan, kebutuhan
bermasyarakat maka itu tidak bisa dipertahankan, maka munculah di dalam abad
20 yang disebut dengan istilah MODIFIKASI, tapi kodifikasi tidak dihapus.
Kodifikasi tetap dipertahankan, hanya saja kodifikasi tidak bisa menampung
perkembangan - perkembangan yang ada karena sifatnya yang sudah dibakukan
tadi.
Ex : UU PT, ketika dibentuk UU PT untuk mengupdate apa yang ada di dalam KUHD
yang hanya 20 Pasal (Pasal 36 - Pasal 56). Seiring perkembangan jaman tidak
memungkinkan jika hanya bertahan pada 20 Pasal itu saja, sehingga dengan
modifikasi ini dibuatlah UU No 1 Tahun 1995. Ternyata UU No 1 Tahun 1995 pun
dirasakan masih kurang, maka dibuatlah lagi penyempurnaan dari UU PT yaitu UU
No 40 Tahun 2007.
Disini maka bermunculan UU, serta setiap saat sesuai dengan kebutuhan hukum
masyarakat bisa di perbarui.
14
Jadi di dalam Modifikasi itu :
Ex :
Mengenai PT, akhirnya dengan UU menetapkan peraturan yang baru, yaitu
dengan modifikasi peraturan yang baru dalam bentuk undang - undang. Ini bisa
secara terus menerus sesuai dengan apa yang dikehendaki.
15
Pembentukan Peraturan Perundang - Undangan Pak Heru
Ini beda dengan yang ada di UU tahun 2004, kalau pembentukan di dalam UU
tahun 2004 itu termasuk penyebarluasan, jadi penyebarluasan itu masuk. Tapi
kalau di dalam UU No 12 Tahun 2011 ini adalah tahapan - tahapan yang
dilakukan (perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan / penetapan,
pengundangan).
16
-"Melalui prosedur yang ditetapkan" --> jadi ada suatu mekanisme.
Jadi kalau Norma hukum ini sudah dipahami maka tentunya tidak akan menjadi
overlap (tumpang tindih), karena di dalam pengertian pokoknya juga akan
ditekankan bahwa Norma Hukum itu juga mengandung suatu lapisan, jadi Norma
Hukum itu berlapis dari norma yang paling tinggi sampai paling bawah. Ini
sebabnya kita harus taat asas.
-Kalau kita lihat Norma Hukum dalam negara ini sama dengan bagaimana politik
hukum kita di dalam perundang - undangan. Jadi politik hukum kita di dalam
perundang - undangan perlu ditetapkan supaya jadi suatu acuan bagi berlakunya
peraturan perundang - undangan.
-Kalau bicara norma hukum, hal pertama yang harus diperhatikan adalah
persoalan hierarki, yaitu hierarki norma hukum.
-Jadi kalau bicara hierarki norma hukum maka tentu kita akan berangkat dari
norma yang tertinggi / norma dasar (yaitu merupakan tempat bergantungnya
norma yang ada di bawahnya)
17
Jadi norma tertinggi di Indonesia apa ? kalau di dalam UU No 12 Tahun 2011 ini
ditegaskan bahwa hukum tertinggi adalah UUD 1945
Kalau Pancasila ada sumber dari segala sumber hukum (Staatsfundamentalnorm)
--> jadi norma fundamental negara.
Bahwa kalau bicara Norma Hukum maka yang pertama akan bicara mengenai
hierarki norma hukum, dan selalu dikaitkan dengan Stufen Theori (Hans Kelsen).
Jadi dengan tata urutan seperti itu (hierarki) maka yang atas itu merupakan
tempat bergantung norma yang ada di bawahnya.
Struktur norma dan struktur lembaga. Secara struktur norma (Norm Structure)
norma hukum publik berada di atas hukum privat, sedangkan apabila dilihat dari
struktur lembaga (Institutional Structure), maka Public Authorities itu berada di
atas Population.
-Ini konsekuensi logis kalau kita bicara norma hukum, ada 2 hal (berkaitan
dengan hierarki, dan berkaitan dengan struktur).
Jadi secara struktur maka norma hukum publik itu berada diatas norma hukum
privat --> secara struktur.
Secara lembaga --> public authorities diatas population. --> dengan pengertian
bahwa public authorities ini sifatnya untuk mengatur kepentingan - kepentingan
population, bukan untuk melakukan tindakan yang sewenang - wenang.
18
Tata susunan norma hukum negara (Hans Nawiasky), terdiri :
-Ini dipertegas oleh Hans Nawiasky. Jadi Hans Kelsen lalu lebih ditegaskan lagi
oleh Hans Nawiasky.
-Di dalam tata susunan norma hukum bisa dijabarkan / yang terdiri dari :
-Konsekuensi kalau aturan dasar / aturan pokok negara ini dilakukan perubahan
maka aturan - aturan / norma - norma hukum yang ada dibawahnya itu harus
menyesuaikan.
Di dalam amandemen UUD 1945 akhirnya semua UU disesuaikan dengan UUD
1945 yang sudah diamandemen. --> Ini konsekuensi logisnya.
Kalau tidak ada penyesuaian maka tidak akan bisa sinkron.
19
Jadi sudah semakin operasional apa yang menjadi aturan - aturan pokok /
aturan dasar negara itu sudah bisa dikonkritkan dalam UU.
Makanya kalau bicara hukum tertinggi adalah UUD 1945, sekaligus di dalam
hukum tertinggi itu kemudian merupakan konsensus yang tertinggi, baru di
lapis berikutnya ada konsensus yang dituangkan dalam UU.
Makanya hierarki tetap berlaku. Karena penjabaran dari aturan pokok, maka
yang tertuang di dalam UU sebagai UU Formal maka itu harus sesuai dengan
apa yang terdapat dalam aturan dasar / aturan pokok, kalau tidak maka bisa
dikatakan bertentangan / tidak sejiwa dengan aturan pokok / aturan dasar
negara.
Ini mengenai tata susunan norma hukum sebagaimana dikemukakan oleh Hans
Kelsen kemudian dipertegas oleh Hans Nawiasky, jadi pengelompokannya :
Kelompok I
Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara)
Kelompok II
Staatsgrundgesetz (Aturan dasar Negara, aturan pokok negara)
-Jadi memang di dalam lapis ke 2 ini baru aturan - aturan pokok. Makanya
kemudian di dalam UU itu diperjelas, dipertegas, dijabarkan sehingga menjadi
aturan - aturan yang sudah bersifat operasional.
Maka kemudian muncul aturan - aturan mengenai kelembagaan itu dituangkan
dalam bentuk UU. Ada UU tentang MK (walaupun sebelumnya MK sudah disebut
dalam UUD, tapi baru aturan pokok kalau ini), lalu ada UU tentang KY (di dalam
UUD belum disebut), ada UU tentang KPU (di dalam UUD tidak disebut).
20
Ini yang kemudian bisa membedakan antara lembaga - lembaga negara yang
ditentukan oleh UUD dan lembaga - lembaga negara yang diatur di dalam UU.
Lembaga Negara :
Jadi ada yang disebut Constitutional Organ
-Ini yang disebut dalam UUD 1945. Tapi untuk pengaturan lebih lanjut tetap
harus dituangkan ke dalam UU, ini secara operasiona, jabaran - jabaran dari apa
yang menjadi kehendak yang tertuang dalam UUD 1945 harus dituangkan di
dalam UU.
Kembali lagi pada kehendak rakyat.
Kelompok III
Formell Gesetz (UU "Formal")
-Ini baru UU.
Jadi ada KPU, KY, MK ini diatur di dalam UUD dan UU
-Diatur di UUD menunjukan itu lembaga yang sangat strategis (MK, KPU, KY).
Kalau KPK, dll ini juga lembaga negara tapi masuk pengaturannya di dalam UU
-Ada juga yang pengaturannya diluar UU dan UUD, tapi berdasarkan Keputusan
Presiden, yaitu KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha).
Kelompok IV
Verordnung and Autonome Satzung (Aturan pelaksana dan aturan otonom)
-Ini kalau dikaitkan dengan pengaturan yang ada di UU tentang pembentukan
peraturan perundang - undangan. Maka dengan adanya kelompok - kelompok ini
tentu juga harus terkait dengan apa yang disebut dengan "Materi Muatan".
Karena materi muatan terkait dengan persoalan jenis dari norma hukum itu. Jadi
materi muatan sebuah UU itu harus dituangkan dalam UU, materi muatan UU
21
tidak mungkin dituangkan dalam Peraturan yang ada dibawahnya (misal
perpres).
Oleh karena itu dengan adanya kelompok seperti ini maka yang bawah tidak
boleh bertentangan dengan yang diatasnya (dst) --> 4 tdk boleh tentangan
dengan 3, 3 tdk boleh tentangan dengan 2, dst.
Jadi itu ada konsekuensinya (pelanggaran terhadap tata susunan norma hukum
ini). Makanya ada "Judicial Review" yang dapat dilakukan, yang merupakan suatu
koreksi / bentuk komplain dari peraturan perundang - undangan yang
bersangkutan karena dinilai bertentangan dengan peraturan perundang -
undangan yang lebih tinggi.
Uraikan :
Dapat berarti : Pokok Kaidah Fundamental Negara (Notonagoro, dari UI), Norma
Pertama (Joeniarto, dari UGM), Norma Fundamental Negara (A. Hamid S.
Attamimi, dari UI. --> kemudian diteruskan oleh Prof Maria Farida).
Karena ini norma yang pertama, maka pembentukan norma fundamental ini
harus ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat (istilahnya pre - supposed).
-Kita lihat di dalam sejarah ketatanegaraan kita, Pancasila itu sudah jadi suatu
pilihan ideologi (sistem ideologi negara). Kalau dilihat dari waktunya ini 1 Juni
1945, baru kemudian 17, 18 Agustus 1945 --> ada 3 tanggal yang besejarah.
22
Kenapa 18 ? karena 18 Agustus 1945 kita baru mampu untuk memiliki UUD, jadi
pada saat proklamasi itu kita belum puna UUD, sehingga dipersoalkan.
Ada yang mengatakan tetap tgl 17, ada yang katakan tidak bisa karena kita baru
punya UUD tanggal 18 Agustus 1945 (ini mendasarkan pada keberadaan UUD).
Tapi akhirnya bukan semata - mata ada / tidak nya negara itu karena ditentukan
oleh UUD.
Jadi ada tidaknya sebuah negara itu tidak ditentukan dengan ada tidaknya UUD.
Kita baru punya UUD pada tanggal 18 Agustus 1945. Tapi ini tidak akan merubah,
tidak akan menghapuskan keberadaan kita, bahwa kita sudah menyatakan
tanggal 17 Agustus 1945 sebagai negara yang berdaulat / sudah merdeka.
Apa esensi yang terdapat dalam proklamasi itu ? walaupun kita belum punya
UUD ? Itu didasarkan pada suatu teori bahwa tanggal 17 Agustus 1945 ini (saat
proklamasi) sudah ada yang disebut dengan "National Legal Order"
-National Legal Order --> Tertib Hukum Nasional.
Tertib hukum nasional ini menggantikan tertib hukum kolonial --> ini teorinya.
Makanya dikatakan juga bahwa proklamasi itu juga merupakan sumber hukum,
tapi di dalam tata urutan tidak masuk.
-Jadi munculnya tertib hukum nasional itu otomatis menggantikan tertib hukum
kolonial. --> diantaranya yang berpendapat seperti ini adalah Prof Boedi
Soesetya.
Kalau ada yang berkata bahwa berdirinya Negara Indonesia pada tanggal 18
Agustus 1945 --> ini bisa dibantah argumentasi itu. Tidak semua negara di dunia
memiliki UUD tetapi juga disebut sebagai suatu negara.
Ex : Inggris
23
-Ciri yang melekat di dalam norma ini adalah " Biasanya diatur hal - hal mengenai
pembagian kekuasaan negara". Memang seperti ini, baik sebelum reformasi
maupun setelah reformasi.
Kalau setelah reformasi memang lebih lengkap karena berangkat dari
pengalaman yang terjadi sebelum reformasi.
-"di puncak pemerintahan" --> jadi pada level - level puncak pemerintahan
-Dulu ada istilah lembaga tinggi dan lembaga tertinggi.
Hilangnya istilah lembaga tertinggi ini setelah reformasi. Setelah reformasi,
setelah amandeman tidak ada istilah lembaga tertinggi (dulu MPR), lembaga
tinggi (dulu DPR, Presiden).
Sekarang istilah ini tidak ada, yang ada adalah Lembaga Negara. Karena memang
MPR sudah tidak berfungsi seperti yang sebelumnya.
Dengan reformasi maka yang terjadi adalah perubahan - perubahan sistem
ketatanegaraan
Ini kalau dilihat dari aspek demokrasi / di dalam pengertian negara hukum, lebih
bersifat legitimate (unsur legitimasi demokrasi lebih memenuhi / lebih terwujud,
daripada diserahkan kepada lembaga yang memiliki kewenangan untuk
melakukan pemilihan presiden)
Ini tidak mungkin kembali lagi, karena legitimasi demokrasi ini akan terus
dipertahankan.
24
Ini yang diatur. Tapi ini baru menyangkut hubungan kelompok yang sifatnya
pokok saja.
Ex : bagaimana kekuasaan yang diserahkan kepada MPR, kepada DPR, kepada
MA.
Tapi secara jabaran detail itu dituangkan di dalam UU, makanya setiap lembaga
negara kewenangannya itu harus dituangkan di dalam UU.
Kalau itu dituangkan di dalam UU maka itu menjadi kehendak dari rakyat.
Jadi setiap kewenangan yang tertuang dalam UU itu adalah merupakan kehendak
rakyat.
Ex : KPK punya kewenangan Superbody, berarti memang dikehendaki seperti itu,
ini kehendak dari rakyat.
Karena lembaga fungsional yang dulu (kejaksaan, kepolisian) dianggap kurang
bisa memenuhi harapan masyarakat, maka perlu dimunculkan lembaga yang
betul betul independen dan profesional.
Jadi termasuk disini pengaturan antara Negara dengan Warga Negara. Tapi
semuanya itu tetap harus dioperasionalkan, dijabarkan dalam bentuk UU.
Kalau kaitannya dengan Warga Negara maka muncul UU Kewarganegaraan. Ini
yang ada di dalam aturan dasar / aturan pokok.
-Jadi sebetulnya keberlakuan secara efektif di dalam masyarakat itu kalau sudah
tertuang di dalam UU. Kalau masih tertuang di UUD dan belum ada UU nya, maka
belum bisa berlaku secara konkrit dan operasional, dan sekalian di dalam UU
biasanya sudah dilengkapi dengan sanksi.
Karena tidak ada melanggar UUD dikenakan sanksi, karena ini masih merupakan
aturan dasar. Baru ketika sudah tertuang di UU baru ada sanksinya.
25
Ini dari segi peraturan perundang - undangan. Jadi sanksi baru dilekatkan pada
level UU (semua UU).
Semua yang berlaku di dalam masyarakat inilah yang biasanya berlakunya juga
mengacu pada UU, jadi yang berlaku secara operasional di dalam masyarakat itu
yang dijadikan acuannya adalah UU.
26
Peraturan otonom bersumber dari kewenangan ATRIBUSI
-Ini kewenangan yang bersifat atribusi / atributif.
-"Pemberian" --> kalau dikatakan pemberian berarti sesuatu yang sifatnya sudah
permanen, jadi akan berlaku selamanya, selama kewenangan itu masih melekat
pada peraturan perundang - undangan / hukum tertinggi.
Ini sumbernya dari UUD, yang memang berikan kewenangan di dalam
pembentukan UU oleh DPR
Perpu pada Presiden.
-Jadi kewenangan bisa dari UUD / UU.
Kalau kewenangan yang dari UUD --> misalnya diberikan kepada DPR, sehingga
nanti hasilnya adalah UU. Jadi kewenangan yang dari UUD bisa memberikan
kewenangan yang bersifat atribusi di dalam hal pembentukan UU. --> ini namanya
atribusi untuk level UUD. Yang bersifat atributif dalam kaitannya dengan
pembentukan UU.
Termasuk pembentukan Perpu --> ini juga atributif. Presiden itu mempunyai
kewenangan yang bersifat atributif sehingga Presiden bisa menerbitkan Perpu,
kalau DPR mempunyai kewenangan yang bersifat atributif, sehingga bisa
membentuk UU.
Hanya saja di dalam penerapannya berbeda. Kalau di dalam kondisi normal maka
yang harus diterapkan adalah UU, kalau kondisi darurat "bahasa UU adalah di
dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa" maka ini bisa diterbitkan Perpu oleh
Presiden. --> ini semuanya atribusi, sesuatu yang sifatnya bersifat permanen, yang
sudah diberikan oleh UUD.
Jadi UUD itu sudah memberikan kewenangan yang sifatnya atribusi kepada DPR
dalam hal normal. Kalau keadaan darurat maka diberikan kewenangan yang
sifatnya atribusi kepada Presiden.
27
Ini ada mekanismenya (satunya UU, satunya Perpu). Meskipun ini atribusi, tapi
satunya UU satunya Perpu, Perpu ini juga nantinya ada di bawah kontrol,
pengawasan, verifikasi oleh DPR, tidak boleh Perpu dibiarkan berlaku begitu saja.
Perpu hanya bisa diberlakukan sementara, di dalam kondisi darurat. Tapi untuk
berlaku seterusnya maka ini harus mendapat pernyataan dari DPR. Jadi boleh
Presiden mengeluarkan Perpu untuk mengatur persoalan yang dihadapi dan
sifatnya mendesak, tapi setelah Perpu diterbitkan maka di dalam masa
persidangan DPR berikutnya maka Perpu itu harus di bahas.
Harus dibahas oleh DPR, tidak boleh dinyatakan berlaku begitu saja. Sehingga DPR
pilihannya 2, yaitu menerima / menolak.
Kalau sudah diterima / disetujui maka ini jadi UU yang berasal dari Perpu.
Kalau tidak disetujui maka dicabut.
Jadi membentuk Perda adalah kewenangan yang diberikan oleh UU. Maka Perda
tidak mungkin akan bertentangan dengan UU (akan batal demi hukum kalau
bertentangan).
Bagaimana bisa bertentangan ? padahal kewenangannya diberikan oleh UU,
maka tidak mungkin substansi Perda bertentangan dengan UU.
Jadi Perda itu tidak boleh bertentangan dengan UU, karena justru atribusinya /
kewenangannya itu berasal dari UU.
28
Misalnya : pemberian kewenangan delegasi bagi PP untuk melaksanakan suatu
UU.
Ex : UU Guru dan Dosen (tahun 2005), di dalam UU ini menunjuk ada PP yang
harus diterbitkan, karena terkait dengan konsekuensi finansial yang akan
diberikan pada Guru dan Dosen (ini namanya sertifikasi).
Waktu itu tahun 2005 tidak langsung serta merta diberlakukan, karena PP nya
belum bisa diterbitkan, PP tidak bisa diterbitkan karena dananya belum ada.
Karena konsekuensi nya itu kalau PP dibuat maka dana harus sudah ada dan
dicairkan.
Makanya sertifikasi dosen baru pada tahun 2008. --> Ini dana sudah siap, maka
PP berani diterbitkan. (Kondisional).
Tanpa PP dibuat (berdasarkan kewenangan delegasi) maka yang dituangkan di
dalam UU guru dan dosen itu belum bisa berlaku secara efektif.
Tapi kalau UU tidak memerlukan PP, maka berlaku saja, apalagi kalau sudah jelas
UU nya.
29
Pembentukan Peraturan Perundang - Undangan Pak Heru
Jadi kewenangan untuk membentuk peraturan perundang - undangan itu ada yang
bersifat atribusi dan delegasi
1. Pasal 22 ayat (1) UUD 1945, memberikan kewenangan kepada presiden untuk
membentuk perpu
-Ini bersifat permanen. Jadi perpu itu bisa diterbitkan karena ada suatu
kewenangan yang bersifat atributif yang diberikan oleh UUD, hanya saja
kemudian di dalam penerbitannya itu hanya dalam kondisi yang darurat /
memaksa.
-UU nya sudah diganti, hanya saja kewenangan ini tetap diberikan oleh UU,
misalnya UU ini. Jadi ketika UU ini masih berlaku UU ini memberikan kewenangan
sebagaimana diatur di dalam Pasal 136 ini.
-Jadi perda itu bisa dibentuk karena ada suatu kewenangan yang diberikan oleh
UU tentang Pemerintahan Daerah. UU nya sudah ganti, namun kewenangannya
tetap melekat disitu, berarti ini dalam level UU.
Bahwa perda itu bisa dibentuk karena ada kewenangan yang diberikan oleh UU,
yaitu UU tentang Pemerintahan Daerah. Oleh karena itu tidak mungkin yang
namanya Perda itu bertentangan dengan UU, karena dasar kewenangannya
diberikan oleh UU, sehingga tidak mungkin perda bertentangan dengan UU.
30
1. Pasal 5 ayat (2) UUD 1945, presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk
menjalankan UU sebagaimana mestinya
2. Pasal 146 ayat (1) UU No 32 Tahun 2004, untuk melaksanakan perda dan atas
kuasa peraturan perundang - undangan kepala daerah menetapkan peraturan
kepala daerah dan atau keputusan kepala daerah
-UU melaksanakan Perda. Untuk melaksanakan perda, jadi setelah perda dibuat
(yang atribusi), kemudian untuk melaksanakan perda dan .....
-Jadi peraturan kepala daerah itu melaksanakan perda. Jadi perda itu
melaksanakan UU, sedangkan peraturan kepala daerah itu melaksanakan perda /
dengan kata lain pelaksana perda itu dituangkan dalam bentuk peraturan kepala
daerah.
Jadi tidak langsung kepada UU nya, jadi harus di perda kan dahulu baru akan
ditindak lanjuti oleh pihak eksekutif.
31
Tata Susunan Norma Hukum Republik Indonesia
-Di dalam Tata Susunan Norma Hukum RI itu bisa digambarkan ada suatu
penjelasan secara hirarkis.
Jadi tetap mengacu pada sumber teori.
-Ini sudah menjadi suatu sistem yang berlaku di Indonesia (hirarkis). Kalau TAP
MPR ini memang di dalam UU No 12 Tahun 2011 dimunculkan lagi yang di UU
tahun 2004 itu sudah tidak dicantumkan, kalau tidak dicantumkan tentu akan ada
pertanyaan, bagaimana nantinya.
Artinya masih ada TAP MPR yang menjadi payung hukum dari suatu peristiwa
dan akan menimbulkan kesulitan kalau tidak dicantumkan secara formal sebagai
tata urutan peraturan perundangan, maka di dalam UU No 12 Tahun 2011 TAP
MPR masuk.
Hanya saja kalau kita lihat TAP MPR ini beda dengan TAP MPR sebelum
reformasi. Jadi kalau TAP MPR sebelum reformasi itu merupakan perwujudan
langsung dari UUD, walaupun hanya garis besarnya saja, tapi sekarang ini sudah
tidak lagi karena waktu itu sebelum reformasi TAP MPR itu sebagai lembaga
tertinggi, kalau sekarang bukan sebagai lembaga tertinggi lagi, tetapi sebagai
lembaga negara, kewenangannya pun sudah dikurangi.
32
Kalau sekarang TAP MPR ini hanya dikeluarkan kaitannya dengan pelantikan
presiden hasil dari pemilu / pilpres. Jadi presiden terpilih legalitasnya adalah TAP
MPR ini.
Sedangkan GBHN itu sudah tidak ada lagi. Kalau GBHN diserahkan kepada MPR
bisa saja sebagai lembaga tertinggi lagi dengan kewenangan seperti sebelumnya.
Namun pencantuman itu hanya sekedar supaya kita nanti tidak kehilangan dasar
hukum, karena ada hal - hal yang dulu diatur dengan TAP MPR, lalu setelah itu
tidak ada lagi.
Kalau sekarang justru yang paling banyak adalah dengan kodifikasi dalam
pembentukan UU, jadi langsung dari UUD ke UU sebagai perwujudannya.
Jadi pertama harus menegaskan dahulu mengenai sistem norma hukum RI.
Jadi di dalam perundang - undangan juga harus mengacu pada norma ini / sistem
ini, jadi penegasannya ada di dalam UU No 12 Tahun 2011.
33
Sehingga yang tercantum di dalam pembukaan itu sudah tidak dapat dirubah
(yang ada di UUD). Jadi kalau mau menyesuaikan dengan perkembangan, maka
itu harus dilakukan pada batang tubuhnya.
Pokok - pokok pikiran yang terdapat di dalam pembukaan, itu mewujudkan cita -
cita hukum (Rechtsidee) yang menguasai hukum dasar negara, baik hukum yang
tertulis maupun hukum yang tidak tertulis
Kelima sila dari pancasila dalam kedudukannya sebagai cita hukum merupakan
dasar dan sumber serta pedoman bagi batang tubuh UUD 1945 serta peraturan
perundang - undangan lainnya --> sehingga secara hirarkis nanti akan diikuti oleh
peraturan perundangan - undangan yang ada dibawahnya
-Ini hubungannya antara Pancasila dan UUD 1945. Di dalam pembukaan itu
tercantum Pancasila sesungguhnya, baru kemudian turun kepada batang tubuh,
yang ada di batang tubuh ini yang bisa disesuaikan dengan perkembangan.
Amandemen itu ternyata juga tidak bergeser dari jumlah pasalnya, tetap 37
Pasal. Tapi 37 Pasal hasil dari amandemen ini ternyata juga menghasilkan
pengaturan yang lebih luas. Jadi Pasal nya tetap tapi isinya semakin "gemuk"
34
masalah karena di dalam Pasal 28 sudah tercakup semua ketentuan HAM, yaitu A
- J.
Jadi kalau dilihat dari aspek Negara Hukum, apakah UUD Indonesia sudah
bersumber pada HAM ? sudah, tapi sejarahnya masuknya pada waktu
amandemen. Tapi bukan berarti persoalan HAM itu hanya pada saat itu saja, tapi
sebelumnya sudah hanya saja belum terlalu rinci pengaturannya, baru setelah
UU No 39 Tahun 1999, dan ada amandemen maka dimasukan.
Norma hukum yang ada dalam aturan dasar negara dan dalam ketetapan MPR,
merupakan norma - norma hukum yang masih bersifat umum. Jadi belum dilekati
oleh sanksi pidana maupun pemaksa, tetapi kedudukan Verfassungsnorm UUD
1945 lebih tinggi daripada TAP MPR, walaupun keduanya dibentuk oleh lembaga
yang sama
-"Norma hukum - bersifat umum" --> Jadi TAP MPR itu masih bersifat umum
belum berlaku secara operasional, jadi belum dilekati dengan sanksi dan bahkan
tidak ada. TAP MPR tidak mengatur tentang sanksi pidana maupun pemaksa.
-MPR menghasilkan UUD disatu sisi MPR juga menghasilkan TAP MPR. Tapi
kedudukan UUD lebih tinggi dari TAP MPR.
35
Badan konstituante / dewan konstituante yang akhirnya tidak mampu
meneruskan tugasnya sehingga akhirnya keluar Dekrit Presiden. Jadi Dekrit
Presiden dikeluarkan semata - mata untuk melindungi situasi negara dalam
keadaan darurat.
Jadi ketika membentuk UUD itu posisi MPR itu sebagai badan konstituante, yaitu
yang menjalankan fungsi yang pertama, yaitu menetapkan UUD. Ini dibuat pada
saat sebelum amandemen / reformasi.
Waktu itu kewenangan MPR ada 3 :
-Menetapkan UUD
-GBHN
-Memilih dan mengangkat presiden dan wakil presiden.
Jadi harus dibedakan seperti itu, untuk membedakan bahwa sama - sama dibuat
oleh MPR, tapi MPR di dalam membentuk UUD itu mempunyai posisi sebagai
badan konstituante, tapi di pihak lain MPR juga bisa menetapkan TAP MPR.
Kalau TAP MPR sudah menetapkan TAP MPR maka kedudukannya ada di bawah
UUD, dengan mendasarkan pada teori pengikatan diri.
Meskipun MPR menetapkan tapi pada akhirnya MPR juga tunduk pada ketentuan
UUD. Jadi MPR akan mengikatkan diri dengan ketentuan yang ada di dalam UUD
setelah UUD terbentuk.
Jadi antara UUD dengan TAP MPR dibentuk oleh lembaga yang sama, tapi pada
akhirnya MPR harus tunduk pada UUD, karena yang memberikan wewenang
adalah UUD. Kalau dulu 3, tapi setelah amandemen tinggal 1, yaitu melantik /
mengangkat presiden dan wakil presiden
36
-"Sistem Norma Hukum" --> merupakan satu kesatuan dan dari sistem ini akan
dibedakan dengan sub sistem. Jadi sistem akan bisa dipecah menjadi sub sistem.
-"Norma Hukum Berikutnya" --> dalam hal ini adalah UUD.
-Jadi pancasila itu akan berpengaruh pada UUD, kemudian UUD akan
mempengaruhi UU, UU akan berpengaruh pada peraturan perundang - undangan
yang ada di bawahnya. Dengan demikian maka kita juga harus memahami
apabila ini sebagai suatu sistem maka tidak boleh bertentangan, ini merupakan
satu kesatuan.
Ini hakekat dari norma hukum yang berlaku di Indonesia itu sebagai satu sistem.
Ini secara hirarkhis memang harus diberlakukan seperti ini.
-"UUD hanya memuat aturan - aturan pokok" = belum bisa berlaku secara
operasional.
-Karena kita tidak lagi menganut pola kodifikasi, tetapi modifikasi. Karena tidak
mungkin kita bertahan dengan kodifikasi.
Oleh karena itu ketika UU itu diterbitkan juga harus dicermati, kemudian ada
mekanisme bagaimana menguji UU itu secara materiil.
37
Ex : KPU mengeluarkan peraturan KPU (PKPU), yang melarang mantan napi
korupsi untuk mencalonkan. Ini sebetulnya kalau diperhatikan bahwa peraturan
KPU ini sudah melampaui kewenangan, karena dia itu penyelenggara, tetapi
mengatur untuk membatasi, sehingga MA ketika menguji itu kemudian
membatalkan, jadi tidak memberlakukan apa yang diatur di dalam Peraturan KPU
itu.
Karena normanya bertentangan dengan norma yang lebih tinggi, yaitu UU
Pemilu.
Jadi jangan sampai uji materiil yang dilakukan oleh MA itu mengandung
kecacatan, yaitu melanggar UU.
Ini antara KPU dengan Bawaslu tidak sinkron.
-Jadi kalau tidak ada pengaturan secara tegas oleh UUD maka itu akan ditegasi
oleh UU, jadi melaksanakan / mengatur lebih lanjut hal - hal yang ditentukan
secara tegas oleh UUD maupun hal yang tidak secara tegas.
Hal yang tidak secara tegas ini nanti akan menimbulkan penafsiran. Kalau sampai
terjadi perbedaan penafsiran, maka penafsiran yang terakhir adalah MK.
Bisa saja diartikan UU itu hasil penafsiran dari ketentuan - ketentuan UUD yang
dirasakan masih belum tegas. Tapi kemarin melakukan amandemen itu
sebetulnya sudah memberikan suatu suasana bahwa UUD tidak lagi terjadi
multitafsir.
38
Salah satu alasan kenapa UUD diamandemen, bahwa di dalam ketetntuan UUD
itu banyak menimbulkan multitafsir, makanya kemudian di amandemen sampai 4
kali, dengan harapan sudah tidak ada lagi multitafsirnya, semuanya sudah jelas
dan tinggal dipertegas lagi di dalam UU.
Namun kalau masih ada yang memerlukan penafsiran maka dituangkan di dalam
UU, dan apabila nanti ternyata ada yang tidak sependapat maka bisa saja
diserahkan kepada MK sebagai penafsirnya.
UU juga merupakan sumber dan dasar bagi peraturan perundang - undangan lain
dibawahnya yang merupakan peraturan pelaksanaan / peraturan otonom
-Sisanya kita tinggal masuk pada sistem yang diatur di dalam UU nya, yaitu UU No
12 Tahun 2011.
-Kalau kita lihat bagaimana politik hukum perundangan kita, itu bisa dilihat dari
perkembangan di dalam berlakunya tentang hierarki peraturan perundang -
undangan / berlakunya sistem perundang - undangan kita.
Peraturan Menteri
39
TAP MPRS No XX / 1966 Sumber Tertib Hukum RI dan Tata Urutan Peraturan
Perundangan RI
Ini menunjukan adanya suatu hal yang harus tertib di dalam pembentukan
peraturan perundang - undangan.
UUD RI 1945
-Dimulai dari sini
TAP MPR
-TAP MPR dulu beda dengan TAP MPR sekarang.
UU dan Perpu
Peraturan Pemerintah
Keputusan Presiden
-Keputusan yang dimaksud dengan keputusan pada waktu itu adalah sekaligus
mempunyai fungsi mengatur, kalau sekarang tidak begitu. Dengan UU yang baru
ini.
Jadi harus dibedakan antara keputusan dengan peraturan.
Waktu ini belum terpikirkan mengenai daerah, Perda masih belum disentuh. Ini
hanya pada level nasional saja, daerah belum. Karena pada waktu itu Pemerintah
Daerah masih membutuhkan pembenahan. Mulai dari UU Tahun 1965, 1974,
2004 --> cukup panjang, lalu baru UU yang terbaru.
40
Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang - Undangan (TAP MPR III
Tahun 2000)
-Tahun ini masih dikeluarkan dalam bentuk TAP, belum UU, setelah ini baru UU,
karena TAP MPR sudah tidak lagi mempunyai kedudukan yang strategis.
UUD 1945, merupakan hukum dasar tertulis negara RI, memuat dasar dan garis
besar hukum dalam penyelenggaraan negara
-Ini diperjelas. Ada penegasan, bahwa apa yang terkandung di dalam UUD 1945
itu.
TAP MPR RI, merupakan putusan kebijakan MPR sebagai pengemban kedaulatan
rakyat
-"sebagai pengemban" --> kalau sebagai pengemban ini belum berubah, belum
kena reformasi. Baru setelah kedudukannya sebagai produk yang strategis maka
pengemban sudah tidak lagi. Kalau ini masih berkedudukan sebagai lembaga
tertinggi, karena mengemban
-Posisi perpu dibawah UU, tidak sederajat. Tapi di ketentuan sebelumnya itu
disejajarkan.
Keputusan Presiden yang bersifat mengatur, untuk menjalankan fungsi dan tugas
berupa pengaturan pelaksanaan administrasi negara dan administrasi
pemerintahan
-Keppres pada waktu ini masih bersifat mengatur.
-Kalau kita lihat ini, ini bersumber langsung dari Pasal 4 UUD 1945, tapi secara
hirarki tetap saja Keppres itu harus dibawah PP, tidak bisa langsung bersumber
pada UUD 1945.
41
Peraturan Daerah, untuk melaksanakan aturan hukum di atasnya dan
menampung kondisi khusus dari daerah yang bersangkutan
-Disini mulai ditata, bahwa nomenklatur dari suatu perundang - undangan sudah
ditempatkan pada posisi yang tepat.
Peraturan Presiden --> karena sifatnya mengatur
Peraturan Daerah
-Disini TAP MPR mulai dipikirkan lagi. Karena setelah dikaji ini perlu untuk
dimasukan. TAP MPR ini sekedar untung menampung saja. Ini istilahnya MPR ini
sudah tidak aktif
42
c. UU / Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu)
d. Peraturan Pemerintah
e. Peraturan Presiden
f. Peraturan Daerah Provinsi
g. Peraturan Daerah Kabupaten / Kota
Perhatian kepada daerah itu dibedakan, karena ada Perda Provinsi dan Perda Kab
/ Kota.
43
44
Pembentukan Peraturan Perundang - Undangan Pak Heru
45
2. Peraturan Perundang - Undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma
hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk / ditetapkan oleh lembaga
negara / pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam
Peraturan Perundang - Undangan
Bahwa di dalam suatu sistem hukum itu mengandung norma hukum, sehingga
norma hukum itu harus dipatuhi dan ditaati.
Jadi apakah itu menjadi materi muatan dari Peraturan Presiden, apakah itu
menjadi materi muatan UU, atau PP --> beda - beda.
Artinya dengan adanya materi muatan itu jangan sampai terjadi overlapping. Jadi
isinya itu harus diatur dengan UU, kemudian dituangkan diluar UU.
46
Biasanya kalau kita mengacu pada UU, materi muatan UU itu pasti amanat dari
konstitusi / hal lain yang sekiranya menjadi materi muatan dari UU, misalnya
yang menyangkut hal - hal yang menyangkut harkat hidup orang banyak -->
Misalnya masalah Pajak
Pajak ini tidak mungkin diatur diluar UU, kenapa pajak diatur oleh UU ? bahwa
UU itu juga mempertimbangkan terhadap persoalan - persoalan mengenai
pengenaan pembebanan terhadap rakyat / masyarakat, jadi harus melalui suatu
proses di dalam pembicaraan oleh wakil rakyat yang mewakili kepentingan rakyat
--> ini reasoningnya.
Kita bisa cek di dalam konstitusi ada berapa / apa saja yang harus diatur oleh UU,
inilah materi muatan UU --> ada 37 hal yang harus dituangkan dalam UU, ini
artinya tidak boleh tidak, harus dituangkan dalam bentuk UU.
c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan : harus benar - benar memperhatikan
materi muatan yang tepat dengan jenisnya
-Jadi jangan sampai tidak sesuai, harus benar - benar memperhatikan materi
muatan yang tepat sesuai dengan jenis peraturan perundang - undangan
tersebut.
47
d. Dapat dilaksanakan : artinya harus memperhitungkan efektivitas peraturan
perundang - undangan dalam masyarakat (filosofis, yuridis, dan sosiologis)
-Jadi ini menekankan pada adanya aspek 3 hal itu (filosofis, yuridis, sosiologis)
dan ini sudah mencakup aspek yang sempurn di dalam membentuk peraturan
perundang - undangan.
Jadi filosofisnya yang perlu dipertajam --> misal kenapa perlu dibuat suatu RUU ?
Ini tidak berlaku hanya untuk UU saja, tapi semua peraturan perundang -
undangan
Kita tidak membedakan antara UU dengan Non UU, jadi semua peraturan
perundang - undangan sebagaimana yang diatur di dalam UU No 12 Tahun 2011
itu juga betul - betul harus memenuhi 3 unsur ini, termasuk naskah akademik.
Jadi naskah akademik ini tidak hanya untuk pembentukan UU saja, tetapi setiap
peraturan perundang - undangan, dari tingkat yang paling bawah sampai UU
harus ada naskah akademiknya.
48
Ini beberapa asas di dalam pembentukan peraturan perundang - undangan,
sebagaimana yang sudah ditentukan dalam UU No 12 Tahun 2011 dan ini sifatnya
normatif (Ilmu perundang - undangan itu sifatnya normatif, tapi kalau teori
perundang - undangan sifatnya kognitif).
- Kita harus sadari bahwa masalah kebhinekaan itu selalu mewarnai, sehingga hal
ini tidak bisa diabaikan, maka harus bisa diakomodasikan.
-Artinya kalau UU itu cakupannya harus nasional, kalau perda itu cakupannya
regional / menyeluruh
Misal Perda Provinsi, kalau dikaitkan dengan asas ini maka cakupannya harus
wilayah regional provinsi tersebut.
Misal Perda Kabupaten / Kota , maka harus mencakup seluruh wilayah dalam
lingkup kabupaten / kota itu.
49
f. Bhineka Tunggal Ika : memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku,
golongan, kondisi khusus daerah dan budaya
-Ini juga tidak bisa dihindari, jadi faktor keragaman ini suatu kenyataan yang ada
dan tidak bisa dihindari, tetap harus diperhatikan, termasuk kondisi khusus
daerah.
Kondisi khusus daerah --> misalnya di Aceh, Papua.
Jadi yang dimaksud dalam UU itu seperti itu, jadi harus memperhatikan dan
mempertimbangkan kondisi khusus daerah dan budaya
-Kalau proporsional itu berkaitan dengan (yang dikatakan Aristoteles) --> keadilan
yang bersifat distributif.
Karena disini kita bicara aturan yang sifatnya umum, bukan khusus. Jadi semua
juga harus patuh, harus mentaati terhadap pemberlakuan dari peraturan
perundang - undangan itu.
Ini akan diperhatikan oleh pembentuk UU, jadi tentunya Legal Drafter kalau di
dalam pembuatan perundang - undangan itu (Legal Drafting) harus
memperhatikan ini. Sehingga di dalam pembentukannya bisa sesuai dengan apa
yang diharapkan di dalam UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang -
Undangan --> Ini yang kaitannya dengan materi muatan.
50
Jadi Pasal 5 dan Pasal 6 ini menjadi acuan di dalam Pembentukan Peraturan
Perundang - Undangan.
Jadi bukan hanya UU saja, tapi peraturan perundang - undangan, maka berarti
pengertiannya menyeluruh, bukan hanya untuk UU saja. Cuman di dalam
penerapannya untuk masing - masing tingkatan itu tidak sama (antara perda
tingkat 1 dan 2 ini pasti kondisinya tidak sama), jadi ada faktor - faktor yang
mempengaruhi.
Kalau UU tentu akan dipengaruhi faktor - faktor nasional, banyak hal yang harus
diperhatikan.
-Jadi Pasal 10 ini menegaskan tentang materi muatan UU. Artinya semua materi
muatan yang tertuang di dalam sebuah UU itu apa saja.
Artinya kalau tidak dimuat di dalam UU maka itu tidak sah, yaitu anatra lain :
-Ini kita melihat bahwa hal - hal yang terdapat di UUD / batang tubuh itu baru
merupakan aturan pokok / aturan dasar yang belum dilengkapi dengan sanksi
dan belum berlaku secara operasional, jadi perlu dijabarkan.
oleh karena itu disini dikatakan "pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan
UUD", karena mengingat ketentuan UUD itu berisikan aturan pokok / aturan
dasar, sehingga dikatakan sebagai hukum dasar.
Tapi di dalam UUD itu petunjuknya sudah ada, bahwa di dalam UUD disebutkan
"yang selanjutnya akan ditetapkan dengan UU", kalau secara eksplisit sudah
disebut seperti ini maka tidak boleh tidak harus dalam bentuk UU,
Konsekuensinya kalau harus diatur dengan UU, maka UU tidak boleh
bertentangan dengan UUD, karena UU pengaturan lebih lanjut dari ketentuan
UUD.
51
di dalam UU itu bertentangan dengan yang ada di dalam UUD ada antisipasi yang
sudah dibuat, ada suatu mekanisme, yaitu dilakukan uji materiil (Judicial Review).
Ex : di dalam UU tidak ada mantan napi tidak boleh jadi caleg --> karena di dalam
UUD tidak ada larangan seperti itu, karena hak politik itu diberikan kepada setiap
Warga Negara. Jadi walaupun mantan napi tetap namanya Warga Negara,
makanya UU tidak melarang. Tapi KPU ternyata mengatur itu, sehingga terjadilah
polemik dengan dikeluarkannya peraturan KPU itu
-Kalau di dalam suatu UU itu masih merupakan UU pokok (misalnya UUPA) --> ini
masih membutuhkan pengaturan lebih lanjut di dalam UU lain, makanya
dikatakan "perintah suatu UU untuk diatur dengan UU", karena kalau UU pokok
itu belum secara menyeluruh, banyak hal yang harus diatur dan tidak
memungkinkan dituangkan dalam satu ketentuan UU, maka itu pasti harus dirinci
lebih lanjut ke dalam UU yang berikutnya tetapi derajatnya sama dengan UU.
Jadi ini perintah UU. Tapi kalau itu sudah merupakan perintah UU maka nanti
standarnya sama, lalu kedudukannya bagaimana ? maka berlaku asas hukum,
yaitu bisa berlaku "Lex Specialis Derogat Lex Generalis", jadi yang pokoknya itu
sebagai suatu hukum yang sifatnya umum, sedangkan yang lebih rinci itu menjadi
hukum yang bersifat lebih khusus.
-Treaty = sesuatu yang penting. Jadi pengaturan - pengaturan yang penting yang
dituangkan dalam bentuk treaty, dan untuk berlaku secara lebih lanjut / nasional
maka itu harus diratifikasi oleh DPR. Jadi pengesahan perjanjian internasional.
Kalau sudah disahkan / diratifikasi maka sudah menjadi UU, jadi UU yang berasal
dari perjanjian.
Ex : yang berkaitan dengan HAM kita sudah banyak meratifikasi.
52
Kita tidak bedakan antara UU hasil dari ratifikasi dan UU yang Non ratifikasi.
Kalau suatu saat dipersoalkan maka harus di uji.
Pada saat pengesahan itu yang nantinya perlu dikaji lebih lanjut, yaitu apakah
perjanjian ini yang namanya "Treaty" sudah sesuai dengan UUD --> ini harus
dilakukan oleh DPR, kalau tidak maka kita sama saja memasukan sesuatu yang
asing ke dalam, yang bisa saja itu bertentangan --> ini tidak boleh. Jadi DPR harus
tanggap, jadi harus dilihat apakah bertentangan / tidak dengan konstitusi kita,
kalau tidak baru kemudian bisa dilakukan ratifikasi.
Jadi pengertian ratifikasi itu juga harus dipertimbangkan dengan hukum tertinggi
kita, jangan hanya diterima begitu saja, disahkan begitu saja. Kalau memang
konstitusi kita memang tidak bertentangan maka baru bisa di ratifikasi menjadi
UU. --> Ini mekanisme nya.
-Putusan MK ini juga harus ditindak lanjuti, MK ini bisa menganulir UU yang
dinilai bertentangan. Jadi yang sudah diputuskan oleh MK itu juga harus
dituangkan dalam bentuk UU, tapi di dalam praktek sering terlambat, Jadi sudah
ada putusan MK tetapi UU masih belum diadakan perubahan, tetapi secara
yuridis formal sebenarnya UU itu sudah tidak berlaku semenjak sudah dikatakan
tidak berlaku oleh MK itu.
Ketentuan yang ada di UU sudah tidak bisa digunakan sejak ditetapkan oleh MK,
sehingga bagaimana di dalam pengaturan lebih lanjut, sesuai dengan apa yang
sudah diputuskan oleh MK.
53
dengan cara modifikasi, dan perubahan yang dengan cara modifikasi ini tidak ada
batasnya, selalu bisa berkembang, karena kebutuhan hukum dalam masyarakat.
Hukum itu berkembang --> Ubi Societas Ibi Ius (dimana ada masyarakat, disitulah
dibutuhkan hukum). Masyarakat itu adalah gejala sosial dan tidak akan pernah
berhenti. Maka dengan demikian, hal - hal yang diperlukan dalam kehidupan
bermasyarakat selalu terus menyesuaikan.
Materi muatan yang dibuat, terkait dengan ayat, pasal, dan / atau bagian UU
yang secara tegas dinyatakan dalam Putusan MK bertentangan dengan UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Tindak lanjut atas Putusan MK
dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum.
Ini yang berkaitan dengan materi muatan UU, bisa dilihat di dalam konstitusi
(UUD).
a. Materi dari Undang - Undang Nomor 10 Tahun 2004 banyak yang menimbulkan
kerancuan / multitafsir sehingga tidak memberikan suatu kepastian hukum
54
-Ini merupakan penilaian terhadap UU No 10 Tahun 2004.
-Jadi termasuk yang menjadi alasan dan ini juga berarti mengandung kelemahan
dari UU sebelumnya. Jadi artinya UU No 10 Tahun 2004 perlu di update, dan itu
sudah ada alasannya, yaitu untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat,
seperti yang dikatakan di dalam materi muatan UU.
d. Penguraian materi sesuai dengan yang diatur dalam tiap bab sesuai dengan
sistematika
-Jadi "Penguraian materi sesuai dengan yang diatur dalam tiap bab" --> ini artinya
dilakukan suatu penyempurnaan, jadi ada suatu pengelompokan yang tepat. Jadi
ini soal teknis saja.
Jadi ini kelemahan - kelemahan yang terdapat di dalam UU No 10 Tahun 2004. Ini
artinya hal - hal yang dikemukakan ini tidak terdapat / sudah disempurnakan di
dalam UU No 12 Tahun 2011. Jadi UU No 12 Tahun 2011 ini lebih sempurna
dengan mengacu pada kelemahan - kelemahan di UU sebelumnya. Ini
maksudnya, namun demikian ada beberapa hal tentang UU No 12 Tahun 2011
yang memang itu merupakan suatu yang tidak dikenal sebelumnya, yaitu :
a. Penambahan TAP MPR sebagai salah satu jenis peraturan perundang - undangan
dan hierarki nya ditempatkan setelah UUD 1945
-Kalau kita bicara TAP MPR, ini juga terkait dengan TAP MPRS, dan sekarang ada
seminar mengenai penguatan dari TAP MPR. Kenapa ada penguatan ? karena
55
memang produk itu masih dinyatakan berlaku sebagai suatu dasar hukum, ada
TAP MPRS ada TAP MPR.
Kalau TAP MPRS --> TAP No 20 Tahun 1966, ini yang judulnya "tata urutan
peraturan perundangan dan sumber tertib hukum" --> Jadi ada suatu penegasan,
bahwa hukum juga perlu ditertibkan. Jadi sebelum menertibkan masyarakat /
Warga Negara, hukumnya juga harus ditertibkan.
Kalau Hukumnya belum tertib maka kita sulit untuk mengharapkan terjadinya
ketertiban di dalam masyarakat. Sebagai suatu instrumen pengatur maka harus
ditertibkan terlebih dahulu, makanya kita mengenal hierarki, lalu tidak boleh
saling bertentangan sehingga berlakulah materi muatan, baru kemudian
dibutuhkan pengaturan - pengaturan terhadap masyarakat.
Oleh karena itu yang sekarang sedang dilakukan oleh MPR adalah "penguatan",
jadi judulnya "penguatan TAP MPRS dan TAP MPR" --> itu artinya di dalam
ketatanegaraan kita, di dalam yang berlaku saat ini ada produk TAP MPRS dan
TAP MPR yang memang itu masih dijadikan sebagai dasar hukum.
Kalau itu tidak dimasukan di dalam tata urutan bagaimana ? kemudian nanti
hilang dari tata urutan.
Oleh karena itu dalam UU No 12 Tahun 2011 dimasukan di bawah UUD ada TAP
MPR. Tapi kembali pada persoalan yang ada, yaitu bagaimana sesungguhnya TAP
MPR itu --> TAP MPR ini mengandung arahan - arahan dari garis garis besar dari
apa yang ada di dalam UUD, jadi belum bisa berlaku secara operasional.
Dengan adanya seminar yang berkaitan dengan penguatan ini itu maksudnya apa
? apa nanti akan merubah susunan dari peraturan perundang - undangan atau
bagaimana ? sekarang ini yang berlaku itu apa yang tertuang di dalam UU No 12
Tahun 2011, bahwa TAP itu hanya untuk memberikan suatu garis - garis besar
dari apa yang tertuang di dalam UUD.
Kalau TAP MPR mau diberikan penguatan itu penguatannya seperti apa ?
Jadi sanksi tetap ada pada UU, bukan ada pada TAP MPR. Jadi di dalam UU No 12
Tahun 2011 ada penambahan TAP MPR sebagai salah satu jenis peraturan
perundang - undangan dan hierarkinya ditempatkan setelah UUD 1945.
Mengenai penempatan ini bagaimana kita menyikapi antara UUD dan TAP MPR --
> bahwa keduanya dibentuk oleh lembaga yang sama.
56
b. Terdapat perluasan cakupan perencanaan peraturan perundang - undangan yang
tidak hanya untuk prolegnas dan prolegda, melainkan juga perencanaan PP,
Perpres, dan Peraturan Perundang - Undangan lainnya.
Kalau Perpu dicabut berarti harus disiapkan juga RUU tentang pencabutan. Jadi di
dalam melakukan evaluasi / suatu proses penerimaan / penolakan itu RUU juga
harus disiapkan.
Persoalannya kalau harus disiapkan adalah berkaitan dengan akibat hukum dari
pencabutan itu. Perpu itu sebetulnya sudah berlaku, lalu tiba - tiba oleh DPR
tidak disetujui, dengan tidak disetujui itu maka Perpu harus dicabut, hal - hal
yang sudah dilaksanakan berdasarkan kekuatan Perpu itulah yang harus diatur,
maka pengaturannya ada di RUU tentang pencabutan, kalau tidak akan kacau
(bagaimana akibat hukumnya).
57
-Jadi tidak asal ditolak dan dicabut, tetapi perlu disiapkan bagaimana akibat dari
pencabutan itu --> ini yang perlu dituangkan dalam RUU tentang pencabutan.
-Ini hal - hal yang terdapat di dalam UU No 12 Tahun 2011 mengandung suatu
penegasan.
-Jadi Perda pun juga harus gunakan Naskah Akademik.
Ini beberapa hal yang bisa dicermati di dalam UU No 12 Tahun 2011 yang tentu
berbeda dengan UU No 10 Tahun 2004, karena ini lebih lengkap.
58
Pembentukan Peraturan Perundang - Undangan Pak Heru
-Jadi proses penyusunan UU itu melibatkan 3 pihak, yaitu Presiden, DPR, DPD.
Biasanya Presiden akan menugaskan Menteri yang bersangkutan terkait dengan
materi yang akan dibicarakan, jadi tidak pernah Presiden turun langsung ke DPR.
-DPD ini terlibatnya hanya sebatas keikutsertaan, jadi tidak secara langsung
sampai tuntas, jadi memang ada yang menjadi bagian dari DPD, sesuai dengan
namanya Dewan Perwakilan Daerah --> maka disini bagian dari DPD adalah hal -
hal yang berkaitan dengan kedaerahan. Tapi tetap DPD berada di dalam naungan
DPR, tidak bisa mempunyai kewenangan langsung. Jadi apa yang berasal dari
DPD itu harus juga dibawa ke DPR. --> Baru kemudian ada pembicaraan /
pembahasan, ini sebatas pada pembicaraan tingkat 1 saja.
-Penyusunan itu sebagaimana telah diatur dalam UU. Kalau bicara mengenai
penyusunan itu pasti diawali dengan RUU.
Tapi pada umumnya RUU itu disiapkan oleh eksekutif, yaitu Presiden.
-Jadi bisa dari DPD, bisa murni dari DPR. Kalau dari DPR itu memang ada
kewenangan - kewenangan yang diberikan pada DPD, dan itu memang jadi
kewenangan DPD.
Tapi tetap harus masuk ke DPR, DPR yang akan meneruskan lebih lanjut. Jadi DPD
itu hanya mengusulkan saja, keterlibatannya tidak terlalu optimal.
59
-Jumlah DPD itu 4 X 34 = , sedangkan DPR banyak sekali, sehingga DPD pasti
kalah.
RUU yang berasal dari DPR, Presiden / DPD harus disertai dengan Naskah
Akademik
-Ini menjadi keharusan. Naskah Akademik itu ada di dalam ketentuan umum
pengertiannya.
Naskah Akademik itu merupakan suatu hasil kajian yang mendalam, sehingga ini
menjadi layak untuk diajukan sebagai sebuah RUU.
-Di dalam UU itu cara membuah Naskah Akademik itu sudah dicantumkan juga,
sehingga UU No 12 Tahun 2011 itu sudah dapat dikatakan lengkap. Ini bedanya
dengan UU Tahun 2004.
Jadi Naskah Akademik tidak bisa ditinggalkan.
APBN
-Tidak perlu RUU APBN disertai Naskah Akademik.
"Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil
penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut
dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi,
atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap
permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat"
60
-Ini masuk akal. Tidak mungkin ada Naskah Akademik, karena Naskah Akademik
itu dibutuhkan karena sesuatu yang sudah direncakan, sehingga kalau Perpu itu
tidak mungkin, tidak perlu ada suatu Naskah Akademik.
Jadi ketika DPR itu bersidang pada sidang berikutnya langsung itu diajukan, dan
Presiden itu juga harus mempersiapkan mengenai RUU nya. bahkan ada 2 yaitu
RUU tentang penetapan dan RUU tentang pencabutan.
Karena nanti hasilnya, kalau sudah diawali dengan RUU berarti hasilnya tentu UU
--> apakah itu UU tentang penetepan Perpu menjadi UU / UU tentang
pencabutan Perpu. --> ini hasilnya juga UU, untuk bisa menghasilkan UU sudah
tentu harus diawali dengan menyiapkan RUU.
-Jadi sebagai ganti dari Naskah Akademik maka harus disertai dengan keterangan
yang memuat pokok pikiran dan materi muatan yang diatur, ini saja sebagai
gantinya. Tidak perlu ada hasil kajian.
Tapi paling tidak keterangannya itu memuat pokok pikiran. --> Jadi pokok pikiran
dari pengajuan tentang penetapan Perpu / pencabutan Perpu. Ini yang harus
diberikan. Jadi ada semacam argumentasi, paling tidak ada keterangan mengenai
pokok pikiran, kalau Naskah Akademik itu lebih dalam lagi, yaitu mengenai hasil
kajian, penelitian, dll. Kalau ini hanya pokok pikiran saja.
Tidak mungkin menyiapkan Naskah Akademik untuk Perpu, karena Perpu itu
harus diterbitkan dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, jadi tidak mungkin
mensyaratkan adanya Naskah Akademik.
RUU yang berasal dari DPR, Presiden dan DPD yang diajukan DPR, disusun
berdasarkan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) -->Pasal 45
61
-Jadi ada 1 sistem yang sudah tersistimatisasi secara terpadu, dan itu tergantung
bagaimana kalau sudah prolegnas maka pasti akan memperhitungkan skala
prioritas, bahwa mana yang didulukan.
Jadi kalau tidak masuk dalam prolegnas maka tidak akan bisa keluar sebagai UU.
Jadi yang bisa menghasilkan UU adalah kalau RUU itu sudah di daftarkan ke
dalam prolegnas.
Jadi ini yang harus dilakukan, ada mekanisme di dalam pembentukan UU itu
dengan UU pola prolegnas.
RUU yang diajukan oleh DPD adalah RUU yang berkaitan dengan
-Jadi DPD juga mempunyai kewenangan tersendiri mengenai apa materi muatan
yang berkaitan dengan kewenangan dari DPD, yaitu mengenai RUU yang
berkaitan dengan :
1. Otonomi daerah
-Jadi masalah otonomi daerah itu menjadi kewenangan DPD, ini bisa diusulkan
oleh DPD.
DPD juga punya kewajiban, yaitu hal - hal yang berkaitan dengan otonomi daerah
itu adalah kewenangannya, tapi tetap juga harus diserahkan kepada DPR, jadi
nantinya keluarannya itu adalah hasil dari DPR.
62
Ini yang menjadi kewenangan dari DPD. Jadi memang DPD sebagai Dewan
Perwakilan Daerah dia mempunyai suatu kewenangan untuk mengajukan RUU
yang berkaitan dengan 5 poin diatas.
DPD juga nantinya akan menyerahkan kepada DPR, jadi tidak bisa berdiri sendiri
DPD itu. Makanya kalau dikatakan DPD itu termasuk sebagai lembaga yang
sifatnya Wetgever (pembentuk UU), sehingga tidak boleh dikatakan sebagai
Wetgever (pembentuk UU penuh).
Jadi kalau mau dikatakan dengan kondisi yang seperti senyatanya seperti itu dia
adalah sebagai Mede Wetgever--> Jadi ikut serta saja, jadi tidak penuh sebagai
Wetgever. Wetgever-nya tetap DPR, tapi DPD dikatakan sebagai Mede Wetgever,
jadi dikatakan sebagai pembentuk UU serta.
RUU dari DPR diajukan oleh anggota DPR, Komisi, Gabungan Komisi, Alat
kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi / DPD
-"Komisi" --> artinya adalah pembidangan kerja. DPR itu ada beberapa komisi,
pembidangan terhadap kerja ini kaitannya dengan kemitraan dengan eksekutif.
e.g : Komisi 3, itu bidang hukum, jadi kalau persoalan hukum itu bagian dari
komisi 2.
-"Alat kelengakapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi / DPD" --> Jadi
kalau DPD itu memang bisa mengajukan RUU (yang menyangkut masalah -
masalah 5 poin diatas). Tapi kalau dari DPR sendiri anggota, komisi, gabungan
komisi, dsb bisa.
Setelah RUU diajukan itu tentu belum sempurna, maka tentu harus diadakan
upaya untuk pengharmonisan --> supaya menjadi sempurna sebagai suatu
produk yang namanya UU. (lihat dibawah ini)
-Jadi sebetulnya kalau lihat di DPR itu sama hal nya seperti apa yang terjadi di
pemerintahan, di eksekutif. Jadi ada bagian - bagian tersendiri yang berkaitan
63
dengan masalah legislasi. --> Ada Badan legislasi (BALEG), kemudian ada Badan
Anggaran (Banggar) yang juga ikut menentukan bagaimana kepentingan -
kepentingan dari eksekutif itu bisa berjalan dengan baik dan lancar. Makanya
selalu terkait dengan DPR, kadang - kadang Banggar juga dimanfaatkan sebagai
upaya untuk bisa memanfaatkan kewenangan yang dimilikinya.
e.g : APBN harus disetujui oleh Banggar --> kemudian disini sering terjadi
pemanfaatan, makanya DPR banyak yang terlibat kasus, karena memang
keuangan negara disalah gunakan.
Seperti di Malang --> ada perubahan APBN, maka supaya disetujui DPRD harus
ada "uang". Sehingga akhirnya semua terjaring oleh KPK.
-Ini kalau yang berada dalam lingkup internal DPR seperti ini mekanismenya. Jadi
disamping mengatur masalah - masalah internal dari DPR, tapi juga menjadi satu
acuan bagi pembentukan peraturan perundang - undangan secara umum.
Nanti ditingkat eksekutif juga ada sendiri, ini sudah ditentukan. Jadi prinsipnya
bahwa UU ini akan bisa menghasilkan suatu UU yang lebih baik, daripada yang
sebelumnya. Lebih baik itu tentunya dari prosesnya, mekanismenya itu juga
harus diatur, supaya bisa berikan hasil yang optimal terhadap produk legislasi.
RUU yang diajukan oleh Presiden disapkan oleh Menteri / Pimpinan Lembaga
Pemerintah non Kementerian sesuai dengan lingkup tugas dan tanggung
jawabnya
UU bukan saja produk hukum, tapi juga produk politik, karena banyak
kepentingan disitu yang punya pengaruh, yang ikut mewarnai, sehingga di dalam
64
pembentukan / pembicaraan tentang RUU oleh Presiden pun, juga pasti akan
banyak dipengaruhi.
Itulah mengapa di dalam lingkungan Kementerian Hukum dan HAM itu ada Dirjen
Peraturan Perundang - Undangan.
-Jadi kalau ditingkat DPR itu ada Peraturan DPR, kalau ditingkat Eksekutif itu bisa
melihat pada Peraturan Presiden (Perpres). Jadi itu mekanisme yang dilakukan.
Kalau kita lihat penyusunan ini kelihatannya hanya pengaturan - pengaturan, tapi
sebetulnya disini juga tersirat juga adanya logika - logika yang harus
dikembangkan.
65
Jadi harus ada logika yang dikembangkan, jangan hanya melihat uraian - uraian
itu begitu saja. Tapi juga harus kembangkan logika "kenapa kok seperti itu"
RUU dari DPD disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan
DPR dan disertai Naskah Akademik
Usul RUU sebagaimana dimaksud disampaikan oleh pimpinan DPR kepada alat
kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi untuk dilakukan
pengharmonisan, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU
-Sama saja, kondisi internal, mekanisme internal di DPR itu menghendaki sesuatu
yang baik, jadi sesuatu yang sempurna, jangan terkesan kalau itu adalah usulan
yang sifatnya tidak sempurna, makanya ada bidang- bidang yang berkaitan
dengan legislasi yang khusus menangani permasalahan bagaimana
mengharmonisasikan, pembulatan, dan pemantapan konsep.
Yang penting adalah pemantapan konsepnya, apakah konsep itu sudah dapat
dipertanggungjawabkan ? Jadi konsep itu harus benar - benar diperhatikan.
Jadi DPD itu punya Baleg, DPR juga punya Baleg. --> Baleg ini bisa mencermati
terhadap ketentuan RUU.
66
Alat kelengkapan sebagaimana dimaksud menyampaikan laporan tertulis
mengenai hasil pengharmonisan kepada pimpinan DPR untuk selanjutnya
diumumkan dalam rapat paripurna
-Jadi ada laporan secara tertulis mengenai hasilnya. Jadi hasilnya itu ada
-Mekanismenya seperti itu, jadi sebelum di paripurnakan memang itu harus juga
dicermati secara mendalam berdasarkan hasil kajian yang dilakukan oleh
perangkat - perangkat yang sudah ditetapkan sebagai Badan Legislasi di internal
DPR.
-Perpu ini selevel dengan UU, di dalam penerbitan Perpu ini terkait dengan
kondisi - kondisi yang khusus.
Di dalam Pasal 52 itu diatur mengenai Penyusunan Perpu.
-Perpu itu diterbitkan dalam kondisi DPR dalam masa reses, begitu masa
persidangan dibuka, maka :
-Ini ada suatu penjelasan yang memang harus diketahui dalam Pasal 52
"Yang dimaksud dengan "persidangan yang berikut" adalah masa sidang pertama
DPR setelah Peraturan Pemerintah Pengganti UU ditetapkan"
Jadi tidak boleh ditunda - tunda, yaitu masa sidang pertama DPR. Harus segera
dibawa ke persidangan yang pertama kali.
-Jadi sudah disiapkan RUU tentang penetapan Perpu, bahkan bisa 2, yaitu ada
RUU tentang penetapan Perpu juga RUU tentang pencabutan Perpu.
Keduanya ini hasilnya nanti adalah UU. Kalau Perpu itu diterima / disetujui maka
akan menjadi suatu UU (bukan Perpu lagi) --> di dalam teknis penulisannya ada
garis miring Perpu. Ini menandakan bahwa UU ini berasal dari Perpu.
67
Jadi itu yang harus disertakan.
Dalam hal Perpu mendapatkan persetujuan DPR dalam rapat paripurna. Perpu
tersebut ditetapkan menjadi UU
Dalam hal perpu tidak mendapatkan persetujuan DPR dalam rapat paripurna,
Perpu harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku
-Sekarang yang harus dicermati adalah kalau itu dinyatakan tidak berlaku,
memang itu menjadi suatu sikap dari DPR setelah mencermati hal - hal yang
diatur dalam Perpu, tapi yang lebih penting lagi itu bukan soal dicabut /
dinyatakan tidak berlaku, jadi nanti ada hal yang lebih penting lagi terkait akibat
hukum.
Dalam hal Perpu harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku, DPR /
Presiden mengajukan RUU tentang pencabutan
-Jadi makanya setiap masuk pada persidangan pertama itu idealnya harus
disiapkan 2, yaitu pertama yang berkaitan dengan penetapan Perpu menjadi UU,
yang kedua tentang Perpu yang harus dicabut. --> ini harus disiapkan RUU nya.
Kalau disini seolah - olah menunggu tidak disetujui / ditolak baru mengajukan
RUU tentang pencabutan. Jadi idealnya itu sejak awal, sejak dibicarakan di DPR
itu harus disediakan 2 RUU, yang berkaitan dengan penetapan dan pencabutan.
68
RUU tentang pencabutan Perpu sebagaimana dimaksud itu mengatur segala
akibat hukum dari pencabutan Perpu
-Jadi ini yang penting, tidak hanya sekedar dikatakan tidak berlaku, tapi yang
penting adalah akibat hukum, akibat hukum dari pencabutan itu terkait dengan
keberlakuan dari sebuah Perpu yang sudah berjalan, tapi kemudian tiba - tiba
dicabut karena tidak disetujui dengan segala argumentasi. Kemudian yang
penting sekarang adalah akibat hukumnya bagaimana.
Jadi segala akibat hukum dari pencabutan Perpu tersebut. Pasti akan berpikir
resiko yang muncul sebagai akibat munculnya suatu peraturan hukum itu
bagaimana, akan berpikir ke arah ini. Jadi nanti supaya masyarakat / stake holder
yang terkait dengan ini, bisa....
Resiko yang timbul sebagai akibat dari berlakunya suatu peraturan hukum
sebagai akibat dari dinyatakan tidak berlakunya peraturan hukum itu bagaimana
? Makanya di dalam RUU tentang pencabutan itu juga diberikan solusi bagaimana
- bagaimananya. --> itu harus dipikirkan, jangan hanya membentuk saja, tapi
akibat hukumnya juga harus ditentukan.
Berati UU tersebut melanggar konstitusi. Jadi itu memang harus dipikirkan secara
cermat.
DPR jangan hanya sekedar menyatakan tidak berlaku, tapi juga harus memikirkan
akibat hukumnya. Kalau itu memang layak untuk dinyatakan tidak berlaku maka
berikan solusinya di dalam akibat hukum yang akan ditimbulkan / yang akan
menjadi beban setelah berlakunya Perpu tersebut.
-Semua putusan itu nanti akan berakhir pada rapat paripurna. Biasanya kalau di
dalam rapat paripurna itu sifatnya hanya formalitas saja, sesungguhnya yang
menjadi pembicaraan yang khusuk itu ada pada tingkat fraksi.
69
Jadi fraksi - fraksi itu akan memberikan pandangan - pandangan tersendiri ,
sehingga akan menghasilkan suatu keputusan yang akhirnya keputusan itu akan
dibawa ke paripurna.
Jadi perdebatannya itu ada di dalam rapat fraksi - fraksi itu.
-"Fraksi" --> ini merupakan konstelasi politik yang ada di dalam lembaga
perwakilan, sehingga sangat diperlukan adanya soliditas hubungan antara
Presiden dengan berbagai macam parpol (istilahnya sekarng parpol pendukung)
untuk menghadapi hal - hal seperti itu, kalau tidak maka akan alami kesulitan.
-Kalau PP ini merupakan suatu tindak lanjut dari apa yang sudah ditentukan
dalam UU.
-Rancangan PP = RPP
-Jadi ini kaitannya dengan UU yang sudah ditetapkan, jadi ini berlaku dalam
jajaran eksekutif / Presiden.
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana hal tersebut di atas diatur dengan Peraturan
Presiden
70
Penyusunan Peraturan Presiden (Pasal 55)
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana hal tersebut di atas diatur dengan Keputusan
Presiden
71
c. Perubahan Perda Provinsi yang hanya terbatas mengubah beberapa meteri,
disertai dengan keterangan yang memuat pokok pikiran dan materi muatan
yang diatur
-Jadi bisa saja biro hukum nanti bisa melibatkan Kementerian Hukum dan HAM.
Kalau ditingkat Kabupaten ini istilahnya bukan Biro Hukum, tapi istilahnya adalah
Bagian Hukum.
-Tapi kalau kita lihat sekarang ini yang disebut sebagai Lembaga Legislatif adalah
DPR, kalau dulu bisa DPR bisa Presiden. Jadi fungsi legislasi yang utama itu
sekarang ada pada DPR.
Titik berat dari lembaga legislatif itu membentuk UU, disamping fungsi
pengawasan (Controlling) dan anggaran (budgetting). Secara berurutan
pembentuk per UU adalah :
72
-Fungsi membentuk UU itu adlaah fungsi yang utama, makanya kalau DPR itu
ditanyai apakah targetnya sudah terpenuhi di dalam pembentukan UU ? --> ini
yang harus / yang wajib.
Jadi fungsi legislasi itu menjadi fungsi yang utama, karena titik beratnya ada
disitu. Makanya kemudian target di dalam pembentukan UU tidak terpenuhi /
tercapai berarti merah raportnya.
Tetapi juga ada fungsi - fungsi lain yang tidak boleh diabaikan oleh DPR, yaitu
pengawasan dan fungsi anggaran. Jadi kondisinya seperti itu setelah
amandemen.
Oleh karena itu secara berurutan kalau kita bicara mengenai pembentuk
peraturan perundang - undangan adalah :
Harus dibedakan TAP pembentuk UUD / konstitusi dan TAP yang hanya
sekedar ketetapan MPR.
-Jadi kualifikasinya itu ikut serta, bukan yang primaire / yang utama.
Jadi setelah amandemen sudah ada penambahan seperti ini, sehingga sampai
sekarang.
73
DPD hanya mengajukan RUU yang berkaitan dengan persoalan - persoalan
otonomi daerah dan dibahas dengan DPR, selanjutnya pembahasannya dilakukan
oleh DPR bersama Presiden
-Jadi pada waktu pembahasan DPD sudah tidak dilibatkan. Ini menjadi kondisi
yang harus diketahui terkait dengan bagaimana keberadaan daripada DPD itu.
Kalau lihat pada Pasal 22 D ayat (2) UUD 1945, itu menyebutkan dengan tegas
DPD ikut membahas dst.
-Jadi ini persoalannya. Ini barangkali yang diperjuangkan oleh DPD supaya dapat
suatu kesetaraan dengan DPR. Kalau itu yang dimaksud maka memerlukan
amandemen. Ini yang tidak gampang.
Merubah UUD itu tidak semudah merubah UU.
74
Pembentukan Peraturan Perundang - Undangan Pak Heru
Pembahasan RUU dilakukan oleh DPR bersama presiden / menteri yang ditugasi
-Jadi secara de factonya itu menteri yang ditugasi, tidak mungkin Presiden turun
tangan langsung.
a. Otonomi daerah
b. Hubungan pusat dan daerah
c. Pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah
d. Perimbangan keuangan pusat dan daerah, dilakukan dengan mengikutsertakan
DPD
-Karena menyangkut masalah kewenangan DPD, beberapa item ini menyangkut
kewenangan DPD, makanya DPD diikutsertakan, tapi keikutsertaan DPD itu tidak
sampai tuntas, hanya sebatas pada pembahasan pada tingkat pertama.
Tapi kalau dilihat dari ketentuan UUD memang frasanya "Ikut serta / turut serta"
--> medegever.
75
Makanya DPD meminta UUD ini di amandemen. Tapi kembali lagi kalau fungsi
legislasinya ada pada DPR mestinya DPR yang paling dominan.
DPR = Dewan Perwakilan Rakyat (fungsi legislasinya ada disini)
DPD = Dewan Perwakilan Daerah --> bahwa DPD mempunyai beberapa
kewenangan yang berkaitan dengan masalah otonomi daerah / masalah daerah,
memang porsinya seperti ini, tapi pada waktu pembahasan sampai tuntas tidak
sampai, hanya tingkat I saja untuk DPD.
-" Keikutsertaan DPD sebagaimana dimaksud diwakili oleh alat kelengkapan" -->
Jadi nanti akan ada badan sendiri yang mewakili, yaitu alat kelengkapan yang
membidangi materi muatan RUU yang dibahas.
DPD memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU tentang APBN yang
berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama
-Jadi peran dari DPD dia sebatas memberikan pertimbangan kepada DPR.
-Kalau dikatakan pertimbangan, itu tergantung dari apa yang dipertimbangkan,
jadi putusan itu tetap ada pada yang dipertimbangkan. --> Mau diikuti / memang
itu dianggap layak untuk diperhatikan, seperti ini.
Jadi kata itu penting di dalam suatu RUU. Kalau pertimbangan yang
pertimbangan, sebatas memberikan pertimbangan saja, selebihnya itu
tergantung dari bagaimana yang dipertimbangkan, apakah ada yang punya
pendapat sendiri.
Jadi kalau DPD memberikan pertimbangan kepada DPR, putusan tetap ada pada
DPR. Jadi makanya mestinya DPD jangan terlalu berharap kalau pertimbangannya
bisa dipakai oleh DPR, karena pertimbangan itu sifatnya masih belum pasti.
a. Pembicaraan tingkat I dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat badan
legislasi, rapat badan anggaran, atau panitia khusus, dan
-"Komisi" itu merupakan pembidangan tugas. --> Kalau gabungan komisi itu
beberapa komisi bergabung sehingga membahas suatu RUU.
76
"Rapat Baleg" --> ini disisi DPR
"Rapat Banggar" --> ini menjadi penentu di dalam keuangan negara. Misal
disetujui / tidak, disetujui dengan syarat, dll
-Jadi ini mekanisme yang bisa dimunculkan di DPR dalam kaitannya dengan
pembahasan RUU --> bisa bentuk pansus, bisa rapat komisi, dll
1. Pengantar musyawarah
-Pengantar musyawarah atas RUU itu, jadi terkait apakah ..... berasal dari DPR,
Presiden. Ada pengantar musyawarahnya.
Yang paling penting / esensial itu pada rapat komisi --> keberatan, argumentasi
munculnya disini. Ini yang dijadikan suatu pemahaman tentang RUU.
77
-Jadi yang punya inisiatif / konsep akan memberikan penjelasan dulu, kemudian
ditanggapi oleh mitra kerjanya. --> menyampaikan pandangan.
Sebaliknya juga
-Ini ada sebuah RUU yang berasal dari kewenangan DPD, tapi DPD tidak diberikan
kesempatan tampil, jadi tidak bisa tampil secara mandiri.
Jadi sebelum dibawa ke forum ini memang DPD sudah memberi masukan kepada
DPR, sehingga ketika dibicarakan dengan Presiden / Eksekutif DPR yang tampil.
Jumlahnya DPD sama DPR banyak DPR --> Kalah suara, lebih banyak DPR
jumlahnya.
-Disini yang dihadapi adalah fraksi, jadi pengertian DPR ini kemudian diwujudkan
dalam bentuk fraksi
"Fraksi" --> konstelasi politik yang ada di DPR.
Fraksi ada yang pro pemerintah, ada yang oposisi. Kalau pro pemerintah pasti
pandangannya berupa dukungan - dukungan terhadap yang dijelaskan oleh
pemerintah / presiden. Bukan presiden dalam arti yang riil, tapi akan
menugaskan Menteri
UAS MUNGKIN INI
78
-Apa bedanya ini ? Ini berasal dari Presiden tapi ada kaitannya juga dengan DPD,
makanya penjelasannya beda.
Ketentuan yang seperti itu, itu harus bisa diambil reasoningnya, jangan hanya
secara tertulis saja dibaca, tapi bisa ambil reasoningnya juga.
Ini sudah menjadi suatu sistem mekanisme yang harus dijalankan.
b. DPR jika RUU berasal dari Presiden dengan mempertimbangkan usul dari DPD
sepanjang terkait dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal
65 ayat (2)
-Jadi kalau sebelumnya itu sudah dibicarakan dengan DPD, juga sudah koordinasi.
Jadi DIM itu dilakukan / diajukan oleh DPR jika RUU berasal dari Presiden dengan
mempertimbangkan usul dari DPD.
-"Sepanjang terkait dengan kewenangan DPD" --> jadi sepanjang itu menyangkut
kewenangan DPD yang diatur dalam Pasal 65 ayat (2). Jadi masalah - masalah
daerah itu, sehingga nanti pada saat memberikan DIM itu sinkron dan karena ini
merupakan kewenangan dari DPD supaya nanti betul - betul tepat sasaran, DIM
nya tepat sasaran.
Jadi dengan usul dari DPD itu artinya juga mengadakan koordinasi dengan DPD,
karena DIM yang dibuat itu terkait dengan persoalan yang menyangkut ke
daerahan yang itu menjadi kewenangan dari DPD.
79
a. Fraksi
-Fraksi di DPR itu ada 10, semuanya pasti akan memberikan pendapat mini.
-Partai - partai itu ada yang koalisi ada yang oposisi. Kalau yang mendukung
pemerintah dalam kaitannya dengan pengajuan RUU, pasti nanti pendapatnya
pasti sifatnya memberikan dukungan
Tapi kalau oposisi / diluar pemerintah, yang tidak terlibat dalam kabinet, maka
pendapatnya pasti akan berbeda.
-Inilah pentingnya bahwa harus ada suatu pendekatan dengan Parpol. Makanya
kita dikatakan tidak bisa full kabinet presidensiil, karena kenyataannya parpol itu
juga bisa menentukan juga. Karena sebetulnya kalau kabinet presidensiil yang
menentukan itu Presiden, tapi parpol disini juga bisa, sehingga ini membuat
kabinet presidensiil tidak bisa berlaku secara full, dalam arti menentukan.
Secara de facto seperti ini, tinggal bagaimana nanti dukungan dari parpol
terhadap pemerintah.
-Fraksi ini dalam pengertian sudah mewakili parpol, ini akan dilembagakan,
dimunculkan dalam bentuk penyampaian yang disampaikan oleh fraksi.
b. DPD, jika RUU berkaitan dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 65 ayat (2), dan
-Kalau menyangkut DPD itu berkaitan dengan kewenangan dari DPD.
c. Presiden
Jadi ini yang bisa dilakukan di dalam rangka membuat suatu DIM.
-Jadi artinya tetap ada forum itu walaupun tidak disertai dengan DPD, jadi tetap
dilaksanakan.
-Ini ada pengayaan - pengayaan yang bisa diharapkan, yaitu dapat mengundang
pimpinan lembaga negara / lembaga lain jika materi RUU berkaitan dengan
80
lembaga negara / lembaga lain. --> ini maksudnya untuk memberikan suatu
pengayaan.
Ini juga perlu, jadi ini sekaligus juga merupakan suatu prinsip keterbukaan, jadi
membuka kesempatan bagi pihak - pihak lain, sehingga RUU itu akan lebih
sempurna.
-Tapi kembali lagi ke persoalan kosa katanya, kalau disitu dikatakan " Dalam
pembicaraan tingkat I dapat" --> dapat itu bisa iya / tidak, jadi belum
mengandung kepastian. Sehingga kalau dianggap tidak perlu maka tidak usah,
jalan saja. Jadi kata - kata yang digunakan dalam rumusan ini harus dicermati.
a. Penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat mini fraksi, pendapat mini
DPD, dan hasil pembicaraan tingkat I
-Jadi ada suatu gambaran mengenai proses. Ini yang dilakukan
b. Pernyataan persetujuan / penolakan dari tiap - tiap fraksi dan anggota secara
lisan yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna ; dan
c. Penyampaian pendapat akhir Presiden yang dilakukan oleh menteri yang ditugasi
-Kemudian ditutup dengan ini yang terakhir. Jadi formal memang atas nama
Presiden, tapi secara riil itu pasti akan menugasi Menteri yang ditunjuk.
Kalau sampai disini sudah bisa dikatakan bahwa pembahasan itu sudah selesai,
jadi kalau sudah sampai pada paripurna maka sudah selesai, tinggal ke proses
berikutnya.
Jadi dalam pembahasan ini yang perlu dicermati, jadi esensinya ada disitu, intinya
ada disitu, sedangkan paripurna itu sifatnya hanya formalitas saja. Itu yang di
dalam pembicaraan tingkat II, kalau terjadi penolakan maka tidak bisa diteruskan
Sebetulnya itu sudah bisa diketahui pada pembicaraan tingkat I, yaitu bagaimana
kira - kira hasilnya nanti. Jadi terkait laporan yang berkaitan dengan pendapat
mini fraksi --> itulah nuansa politisnya ada disitu, di fraksi fraksi itu.
81
Makanya kalau dikatakan UU itu bukan semata - mata produk hukum, tidak
sepenuhnya produk hukum, maka dikatakan juga sebagai produk politis / politik.
UU tidak bisa lepas dari persoalan kepentingan.
Dalam hal persetujuan RUU tidak dapat dicapai secara musyawarah untuk
mufakat, pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara terbanyak
-Mekanisme ini tetap harus dibuka, kalau tidak nanti tidak ada keputusan,
makanya ini selalu dimunculkan. --> Voting. Jadi memang kalau diperhatikan,
cara ini mengacu pada UUD, jadi pengambilan keputusan itu diupayakan
musyawarah, tetapi kalau tidak bisa maka harus voting
Dalam hal RUU tidak mendapat persetujuan bersama antara DPR dan Presiden,
RUU tersebut tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan masa itu
-Jadi dalam hal RUU tidak mendapat persetujuan bersama --> kalau tidak ada
persetujuan maka yang terjadi adalah RUU tersebut tidak boleh diajukan lagi
dalam persidangan masa itu.
Ini mekanismenya, sebuah langkah, sistem. Jadi tidak boleh diajukan lagi dalam
persidangan DPR masa itu, jadi harus menunggu masa persidangan berikutnya.
Tapi ini juga harus dicermati, tidak dapat disetujuinya itu karena apa, sehingga
perlu ada suatu perbaikan / peningkatan yang lebih komunikatif, sehingga bisa
efektif dalam pengambilan suatu keputusan politis.
RUU dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama oleh DPR dan Presiden.
-Di dalam konsep perjanjian memang seperti ini, jadi yang belum disetujui /
dibahas memang dapat ditarik sewaktu - waktu. Tapi kalau sudah diputuskan itu
tergantung, yaitu tergantung kesepakatam para pihak, tidak bisa sepihak saja. -->
Prinsip / konsep perjanjian tetap dilakukan, jangan secara sepihak.
RUU yang sedang dibahas (proses) hanya dapat ditarik kembali berdasarkan
persetujuan bersama DPR dan Presiden
-Jadi kalau hanya 1 pihak berarti tidak bisa, sesuatu yang sudah masuk dalam
proses pembahasan itu sudah melalui pertimbangan yang mendalam. Sehingga
kalau ditarik maka harus dikembalikan ke persetujuan keduanya, tidak hanya asal
tarik saja.
82
Pembahasan RUU tentang penetapan Perpu (menjadi UU) dilaksanakan melalui
mekanisme yang sama dengan pembahasan RUU
-Kalau ini agak khusus. Jadi secara mutatis mutandis mengikuti mekanisme yang
sama dengan pembahasan RUU --> kalau Perpu.
Kenapa demikian ? karena memang Perpu itu diterima / tidak itu didasarkan
pada sebuah RUU, disiapkan --> ada 2 RUU.
Karena kalau kita perhatikan Perpu dan UU itu selevel, hanya beda nuansa saja.
Kalau UU dalam nuansa normal, kalau Perpu dalam nuansa yang abnormal,
artinya kondisi tertentu sehingga harus menerbitkan Perpu --> dalam hal ihwal
kegentingan yang memaksa.
-Jadi tidak sama dengan penetapan. Ada mekanisme khusus, jadi untuk
pencabutan ada pengecualian.
b. RUU sebagaimana dimaksud diajukan pada saat rapat paripurna DPR yang
menyatakan tidak memberikan persetujuan atas Perpu yang diajukan oleh
Presiden, dan
-Ini yang dilakukan seperti ini, jadi memang ini mekanismenya, ini yang harus
dijalankan sebagai suatu mekanisme. Ini untuk Perpu
Jadi RUU tentang pencabutan Perpu itu memang harus dilaksanakan dalam
forum paripurna, karena tidak ada mekanisme pembahasan khusus seperti
pembahasan RUU yang bukan Perpu.
83
Pengesahan RUU (Pasal 72)
-Pengesahan itu tahap akhir yang harus dilakukan dan harus disikapi, di
pengesahan itu ada penyikapan - penyikapan manakala tidak dapat memenuhi
formalitas tertentu.
RUU yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden disampaikan oleh
pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi UU
-Ada tenggang waktu yang telah ditetapkan. Ini dalam rangka supaya efektif dan
ada kepastian. Bahwa suatu yang sudah disetujui itu memerlukan adanya suatu
tahap berikutnya dan supaya itu betul - betul bisa dilaksanakan.
-Ini juga ada tenggang waktu. "Sejak disetujui" --> diberikan waktu 30 hari. Jadi
ini tahapannya, tapi kalau dalam jangka waktu tersebut tidak bisa terpenuhi
maka dilakukan penyikapan.
Dalam hal RUU sebagaimana dimaksud tidak ditandatangani oleh Presiden dalam
waktu paling lama 30 hari terhitung sejak RUU tersebut disetujui bersama, RUU
tersebut sah menjadi UU dan wajib diundangkan
84
formalitas, esensinya ada pada persetujuan itu, jadi kalau sudah disetujui maka
sudah jalan, sudah bisa diundangkan, diberlakukan, jadi bukan soal
penandatanganan, walaupun tanda tangan juga diharapkan, tetapi manakala di
UU menjadi suatu persoalan / hambatan maka tanda tangan itu dapat diabaikan.
Jadi intinya itu ada pada persetujuan, sedangkan kalau tidak terjadi tanda tangan
maka RUU itu sah menjadi UU dan wajib diundangkan. --> Ini perintah UU, jadi
Wajib diundangkan, walaupun belum di ttd oleh Presiden.
-Jadi mengacu pada ketentuan yang ada dalam UUD, dengan demikian maka
sudah selesai / sudah bisa dikatakan selesai proses itu. Ini mekanisme yang harus
dilakukan.
Ini menjadi mekanisme yang harus dijalankan dalam proses pembahasan RUU.
85
Pembentukan Peraturan Perundang - Undangan Pak Heru
-Dalam perubahan UUD akan membawa dampak pada beberapa peraturan yang
memang harus menyesuaikan terhadap apa yang sudah dirubah. Memang di
dalam sistem perundang - undangan, yang namanya UUD itu merupakan hukum
tertinggi. Kalau hukum tertingginya itu diadakan perubahan, maka mau tidak
mau perundang - undangan lainnya juga harus menyesuaikan.
86
-KY --> KY ini masuk sebagai bagian pengertian dari kekuasaan kehakiman, karena
diatur dalam Pasal 24 ayat (3). Artinya kalau mau dimasukan ke dalam Kekuasaan
Kehakiman, KY itu ada pada ayat (3) nya, yaitu badan - badan lain.
Jadi ayat (1) --> menegaskan mengenai kekuasaan kehakiman yang independen
Ayat (2) --> menyangkut kelembagaan kekuasaan kehakiman yang terdiri dari MA
dan MK
Ayat (3) --> Badan - badan lain, yaitu KY.
Ini landasan konstitusionalnya, tetapi kemudian di dalam pasal - pasal itu masih
memerintahkan, mengamanatkan yaitu untuk diatur lebih lanjut di dalam UU,
maka munculah UU MA, KY, MK --> Ini sesungguhnya kalau kita bicara sistem
peraturan perundang - undangan. Jadi apa yang sudah ditentukan dalam
konstitusi sebagai hukum tertinggi harus ditindak lanjuti oleh peraturan
perundang - undangan yang ada dibawahnya.
Jadi akan tergambarkan dalam UUD kalau kita bicara sistem, itulah sebabnya kita
harus pertahankan konstitusi sebagai suatu aturan main. Jangan sampai
melanggar konstitusi, karena itu sudah menjadi suatu kesepakatan, konsensus
tertinggi, yang memang sudah kita dikehendaki. Kalau tidak setuju maka ubah
dulu konstitusinya, mau diubah seperti apa. Ini gambaran - gambaran dari era
orde lama, orde baru dan orde reformasi.
87
Misalnya kita lihat, di dalam perubahan itu kita akan bisa lihat pada Pasal - Pasal
yang sebelumnya tidak ada, yaitu :
1. Pasal 1 ayat (3), Negara Indonesia adalah negara hukum --> ini merupakan suatu
penegasan bahwa kita menganut sistem konstitusi / hukum dasar
-Hukum dasar kita tetapkan dulu, buat dulu baru nanti dijabarkan,
dioperasionalkan ke dalam hukum yang lebih bersifat operasional / konkrit,
misalnya UU. Kalau kita lihat di dalam UUD itu tidak ada menyebut TAP MPR,
semua amanat dari UUD itu selalu menunjuk pada UU, padahal dibawah UUD itu
TAP MPR.
Itulah sebabnya dibuat UU No 12 Tahun 2011, menggantikan UU No 10 Tahun
2004 mengenai P3U, karena UU No 10 Tahun 2004 TAP MPR itu tidak tercantum
/ tidak masuk sebagai salah 1 jenis peraturan perundang - undangan. Ini
kemudian dirubah dengan UU No 12 Tahun 2011 dan memasukan TAP MPR.
Tinggal bagaimana memberdayakan TAP MPR itu. Tapi yang ingin dicapai itu
bukan sekedar itu, tapi juga bagaimana mengaktualisasikan yang namanya
Pancasila ke dalam pembentukan peraturan perundang undangan (ini yang paling
penting).
Karena Pancasila adalah sebagai sumber dari segala sumber hukum, ini kalau
mau dikonkritkan bagaimana ? Kita sudah mempunyai suatu sistem mekanisme,
yaitu kita punya pembukaan, pembukaan kemudian diturunkan kepada batang
tubuh, batang tubuh akan diturunkan pada peraturan perundang - undangan.
Ini yang harus dipahami. Yang terdapat dalam pembukaan itu pokok - pokok
pikiran, di dalam batang tubuh itu terdapat aturan dasar / pokok --> walaupun
yang ada di batang tubuh itu belum konkrit, di konkritkan yaitu kemudian
dituangkan dalam UU.
UUD dibuat oleh MPR, UU dibuat oleh DPR. Jadi kalau ini dipahami maka tidak
akan terjadi konflik / benturan. Sistem perundang - undangan kita juga harus
mengacu kepada pola yang seperti itu. Jadi yang sudah ditentukan UUD itu harus
dikonkritkan ke dalam UU.
Itulah amanat dalam Pasal - Pasal, jadi pada UU bukan pada TAP MPR. Karena
TAP itu belum bersifat konkrit, itu hanya kebijakan - kebijakan pokok saja, jadi
dasar yang belum bersifat konkrit, sebagai penegasan ulang dari apa yang
terdapat dalam UUD. Tapi penjabaran secara konkrit itu tertuang di dalam UU,
dan ketika menjabarkan dalam UU, ketika mengkonkritkan dalam UU itu juga
88
harus diwaspadai yaitu apakah itu sudah sesuai / tidak, kalau tidak sesuai maka
nanti akan menimbulkan Constitutional Review. Harus diwaspadai karena pada
hakekatnya jangan sampai ini merugikan warga negara.
Sesungguhnya apa yang ada di dalam konstitusi / UUD itu merupakan jaminan
tertinggi dari setiap warga negara. Bahwa kemudian di dalam UU kalau
menyimpang, maka bisa dilakukan Constitutional Review (MK). Kalau kita bicara
soal penataan ini memang tergantung dari political will / kemauan politik,
kemauan politik tidak bisa lepas dari partai - partai politik.
Memang seharusnya begini, tapi kalau mau berbuat itu tidak semudah yang
dibayangkan / yang direncakanan, karena yang dihadapi itu parpol, belum tentu
parpol dapat menerima / setuju. Jadi halangannya itu parpol, makanya yang
perlu ditindaklanjuti lagi adalah bagaimana menindaklanjuti parpol itu, karena
kita mau meninggalkan parpol itu tidak bisa juga, karena paprol itu merupakan
salah 1 pilar dari demokrasi. Masalahnya sampai berapa banyak parpol yang
harus kita butuhkan, apakah bertahan seperti yang sekarang ini, boleh dikatakan
multi partai / hanya dibatasi.
Ketika orde baru parpol hanya 3 saja, ini gampang mengendalikannya. Memang
figur pimpinan pada waktu itu sangat menentukan, jadi itu juga berpengaruh
terhadap bagaimana bisa mengendalikan, menerapkan sistem ketatanegaraan
yang stabil.
-" Negara Indonesia adalah negara hukum" --> ini sekarang sudah dipatok, tapi
bagaimana di dalam implementasinya, jangan hanya sekedar dicantumkan secara
formal di UUD, tapi harus betul bisa diimplementasikan, diwujudkan --> Ini
harapannya.
2. Pasal 1 ayat (2). Kedaulatan ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD
-Ini memberikan suatu peluang / kedaulatan kepada rakyat bahwa kita tidak lagi
mengenal adanya sistem mandat, sudah hilang. Kalau dulu MPR, rakyat diakui
sebagai pemilik kedaulatan rakyat, tetapi dilaksanakan oleh MPR, jadi ada sistem
mandat. Kalau sekarang rakyat tetapi juga ada koridornya, harus menurut UUD.
Jadi tetapi mendasarkan pada pengaturan yang ada dalam UUD.
3. MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilu
89
-Semua dipilih, walaupun MPR dulu itu ada utusan daerah, tapi sekarang tidak
ada, semua dilakukan berdasarkan pilihan, jadi ini menunjukan bahwa demokrasi
berjalan dengan yang sesungguhnya, tidak ada yang ditunjuk / diangkat, tapi
semua adalah dipilih melalui proses dan demokratis.
Ini perubahan setelah adanya perubahan UUD 1945.
MPR memiliki tugas memilih Wakil Presiden dalam hal terjadi kekosongan
-Bukan dalam arti keadaan yang normal, karena tidak lagi Presiden + Wakilnya
itu dipilih oleh MPR, tapi dipilih oleh rakyat. Tapi dalam hal terjadi kekosongan
itu baru MPR.
Memilih Presiden dan Wakil Presiden dalam hal terjadi kekosongan (Pasal 8
ayat (2) dan ayat (3)
-Jadi kalau misalnya Presiden terpilih + wakilnya ada halangan, tidak lagi
kemudian dilakukan Pemilu, tapi mekanismenya diserahkan kepada MPR --> ini
yang dimaksud terjadi kekosongan, ini sudah tertera dalam Pasal 8 ayat (2) dan
ayat (3).
Walaupun pada hakekatnya ada penegasan dalam Pasal 4 ayat (1), jadi membuat
Perpres tidak bisa langsung bersumber pada UUD, karena Perpres itu pada
dasarnya melaksanakan UU dan PP.
5. Pasal 5 ayat (1), Presiden berhak mengajukan RUU kepada DPR, dan berdasarkan
Pasal 20 ayat (1) DPR memegang kekuasaan membentuk UU
-" Presiden berhak mengajukan RUU kepada DPR" --> Sebatas hak saja.
-"Berdasarkan Pasal 20 ayat (1) DPR memegang kekuasaan membentuk UU" -->
Ini ditegaskan kembali, walaupun Presiden mempunyai hak untuk mengajukan
RUU, tapi di Pasal 20 ayat (1) sudah ditegaskan bahwa DPR memegang kekuasaan
membentuk UU.
90
sangat diperlukan, walaupun teori itu banyak yang katakan sudah tidak berlaku.
Tapi tidak bisa seperti itu, karena dasar berpijak kita itu dari teori, teori juga
banyak --> mana yang harus dijadikan dasar berpijak.
Tapi tetap teori ini masih diperlukan, karena pemikiran - pemikiran itu dari teori,
membuat UU pun itu juga berpijak pada teori - teori yang berlaku, Hakim pun
memutus suatu perkara itu juga akan mendasarkan pada doktrin.
"Doktrin" --> Doktrin adalah sumber hukum tapi bukan hukum.
Jadi ketika doktrin diadopsi, dipakai dalam suatu putusan hakim, maka itu
menjadi hukum bukan karena teorinya / doktrinnya, tapi menjadi hukum karena
sudah berubah menjadi putusan hukum. Jadi tidak berdiri sendiri sebagai hukum
doktrin itu, tetapi ketika dimasukan dalam suatu putusan hakim maka menjadi
hukum.
6. Pasal 17
(1) Presiden dibantu oleh Menteri - Menteri Negara
-
(2) Menteri - Menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden
-Makanya memang benar bahwa Menteri itu pembantunya Presiden, dia harus
loyal. Ini juga menjadi suatu ciri dari kabinet presidensiil, beda dengan kabinet
parlementer.
Jadi Presiden yang menentukan, yang memilih para pembantunya. Jadi boleh -
boleh saja dari parpol asal benar benar berkompeten, karena dengan melihat
pembidangan yang dibawahi oleh menteri itu, sesungguhnya itu yang harus
diperhatikan. --> misal dibidang perdagangan itu seperti ini, bidang pendidikan
itu seperti ini, dll.
91
Jadi semua itu dari Menteri, bukan semua diarahkan ke Presiden, justru Menteri
yang harus memiliki kompetensi. Makanya jangan hanya sekedar jatah politik
saja, tapi harus berkompeten. Kalau mau dibuat jatah boleh saja, tetapi tetap
saja menetapkan orang yang memang berkompeten.
7. Pasal 7C, Presiden tidak dapat membekukan dan / atau membubarkan DPR
-Memang ada perubahan. Ini di UUD sebelumnya tidak ada secara eksplisit
seperti ini. Karena semua itu belajar dari pengalaman, jadi jangan sampai
terulang, sehingga itu akan dimanfaatkan oleh pihak yang berkuasa.
Maka di dalam perubahan UUD ada dicantumkan secara eksplisit seperti ini.
Kalau sudah secara eksplisit ditegaskan seperti ini di dalam Pasal 7C, tentunya
tidak boleh dilakukan. Ini untuk mencegah supaya tidak terjadi kesewenang -
wenangan dari pihak Presiden. Tapi beda kalau memang sudah dalam kondisi -
kondisi yang sifatnya memang sudah darurat. --> Kalau menurut teori ada istilah
"Hukum Darurat Negara".
Kalau Negara sampai kacau pasti yang akan dilakukan persis seperti pada tanggal
5 Juli 1959, yaitu Dekrit Presiden. Jadi masih melekat kewenangan yang sifatnya
itu ekstra / dalam arti mengatasi kondisi yang betul - betul darurat, karena
Negara harus diselamatkan. Yang menyelamatkan ada Presiden sebagai Kepala
Negara.
Jadi pada waktu itu Presiden mengeluarkan Dekrit, yaitu bubarkan Dewan
Konstituante karena dianggap sudah tidak bisa berbuat apa - apa, dan
menimbulkan kondisi - kondisi yang tidak stabil pada waktu itu (1959).
Ini mungkin saja terulang kembali, kalau sudah seperti itu maka kewenangan
yang sifatnya dalam kondisi tertentu bisa saja, cuman dalam keadaan normal,
Pasal 7C menegaskan seperti itu.
92
-Jadi walaupun Perpres punya cantolan di dalam Pasal 4, tapi itu bukan berarti di
dalam menindaklanjuti dalam sistem peraturan perundang - undangan dia bisa
langsung bersumber pada UUD. Tetap Perpres dibentuk untuk
menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut, kalau yang namanya pengaturan
lebih lanjut itu berarti merupakan peraturan pelaksana --> Dari UU dan PP.
Peraturan Daerah - termasuk dalam jenis Perda Provinsi, Qanun untuk NAD,
Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) dan Peraturan Daerah Istimewa (Perdasi)
untuk Papua
-Ini juga harus diperhatikan, jadi kita tidak bisa membuat suatu terminiologi yang
seragam, hal - hal yang mengandung kekhususan dan keistimewaan tetap harus
diakui dan dihormati, dan betul - betul di terapkan.
-Jadi keragaman itu harus dihormati, inilah NKRI. Ini beberapa hal yang harus
diperhatikan dalam sistem peraturan perundang - undangan yang harus diakui
dan dihormati.
-Jadi kalau di dalam Prolegnas ini kita sudah memiliki sistem yang berkaitan
dengan pembentukan peraturan perundang - undangan. Artinya di dalam
Prolegnas itu dikenal istilah skala prioritas, dan semua itu juga harus
direncanakan namun juga harus ada yang diprioritaskan.
93
-Artinya tidak bisa kemudian membuat suatu aturan yang bertentangan dengan
sistem hukum nasional.
Ini juga terkait dengan prinsip NKRI, jadi NKRI ini juga harus bisa juga di
manifestasikan ke dalam suatu pembentukan peraturan perundang - undangan.
e.g : Perda --> walaupun ini terkait dengan masalah otonomi daerah tapi tidak
bisa daerah itu kemudian membuat aturan yang sembarangan kemudian tanpa
memperhatikan sistem hukum nasional.
Jadi prinisp Negara Kesatuan itu masih terjamin, melalui proses pembentukan
peraturan perundang - undangan.
-Jadi kalau UU materi muatannya itu apa yang menjadi amanat dari konstitusi,
kalau Perpres itu juga gitu jangan sampai melampaui materi muatan yang
memang jadi materi muatan dari Perpres (misal mengambil materi muatan UU,
ini tidak mungkin).
94