Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

Istilah hukum identik dengan istilah law dalam bahasa Inggris, droit dalam bahasa
Perancis, Recht dalam bahasa Jerman, recht dalam bahasa Belanda, atau dirito dalam bahasa
Italia. Hukum dalam arti luas dapat disamakan dengan aturan, kaidah, norma, baik yang
tertulis maupun yang tidak tertulis, yang pada dasarnya berlaku dan diakui orang sebagai
peraturan yang harus ditaati dalam kehidupan bermasyarakat dan apa bila dilanggar akan
dikenakan sanksi. Sedangkan menurut Ensiklopedi Indonesia, Hukum merupakan rangkaian
kaidah, peraturan-peraturan, tata aturan baik tertulis maupun yang tidak tertulis, yang
menetukan atau mengatur hubungan-hubungan antara para anggota masyarakat. Hukum tanpa
kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman. Slogan ini timbul
akibat adanya hubungan yang erat antara hukum dan kekuasaan dimana hukum memerlukan
kekuasaan bagi pelaksanaanya sedangkan kekuasaan itu sendiri ditentukan batas batasnya
oleh hukum. Di dalam negara hukum semua orang dipandang sama di hadapan hukum
(equality before the law).1,2
Hampir setiap dokter disamping kewajiban utamanya mengobati pasien, pernah
diminta oleh penegak hukum untuk membuat Visum et Repertum. Sedangkan nama Visum et
Repertum sebenarnya tidak pernah disebut di dalam KUHAP maupun hukum acara pidana
sebelumnya (RIB=Reglemen Indonesia yang diBaharui).3,4,5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Visum et Repertum adalah keterangan yang dibuat oleh dokter atas permintaan
penyidik yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medik terhadap manusia, baik hidup
atau mati ataupun bagian atau diduga bagian dari tubuh manusia, berdasarkan keilmuwannya
dan di bawah sumpah, untuk kepentingan peradilan.3
Sedangkan menurut Prof. Subekti SH dalam kamus hukum tahun 1972, Visum et
Repertum adalah suatu surat keterangan seorang dokter yang memuat kesimpulan suatu
pemeriksaan yang telah dilakukannya, misalnya atas mayat seorang untuk menetukan sebab
kematian dan lain sebagainya, keterangan mana diperlukan oleh hakim dalam suatu perkara.5
2.2 Jenis dan Bentuk Visum et Repertum3,5,6,7,8
Sesuai definisinya Visum et Repertum, berlaku baik untuk manusia yang hidup
ataupun yang sudah meninggal, sehingga dikenal beberapa jenis Visum et Repertum, antara
lain :
1. Visum et Repertum Perlukaan (termasuk keracunan).
Di dalam bagian pemberitaan Visum et Repertum biasanya disebutkan keadaan umum
korban sewaktu datang, luka luka atau cedera atau penyakit yang ditemukan pada
pemeriksaan fisik berikut uraian tentang letak, jenis dan sifat luka serta ukurannya,
pemeriksaan khusus/penunjang, tindakan medik yang dilakukan, riwayat perjalanan
penyakit selama perawatan, dan keadaan akhir saat pengobatan/perawatan selesai.
Gejala/keluhan yang dapat dibuktikan secara obyektif dapat dimasukkan ke dalam bagian
pemberitaan, misalnya sesak nafas, nyeri tekan, nyeri lepas, nyeri sumbu dan sebagainya.
Sedangkan keluhan subyektif yang tidak dapat dibuktikan tidak dimasukkan dalam Visum
et Repertum, misalnya keluhan sakit kepala, pusing, mual dan sebagainya.

2. Visum et Repertum Kejahatan Susila


Bantuan ilmu kedokteran dalam kejahatan seksual dalam kaitannya dengan fungsi
penyelidikan ditujukan kepada :
a. Menentukan adanya tanda tanda persetubuhan. Di mana kesimpulan yang nanti
persetubuhan akan tetapi bila tidak didapatkan sperma hal ini tidak oleh diartikan
bahwa tidak terjadi persetubuhan pada korban.
b. Menentukan adanya tanda tanda kekerasan. Kekerasan tidak selamanya
meninggalkan bekas/luka tergantung antara lain dari penampang benda, daerah
yang terkena kekerasan serta kekuatan dari kekerasan itu sendiri. Termasuk faktor
waktu yang amat berperan penting, karena dengan berlalunya waktu, tanda tanda
kekerasan bisa tidak ditemukan lagi.
c. Memperkirakan umur. Perkiraaan umur diperlukan antara lain untuk kasus kasus
dimana pasal 287 KUHP dapat dikenakan pada pelaku kejahatan.
d. Menentukan pantas tidaknya korban untuk dikawin
Nantinya dalam membuat kesimpulan Visum et Repertum, dokter tidak akan dan tidak
boleh mencantumkan kata pemerkosaan oleh karena kata tersebut mempunyai arti yuridis
dalam hal paksaan, hal mana di luar jangkauan ilmu kedokteran.
3. Visum et Repertum Jenazah
Di dalam Visum et Repertum terkandung beberapa informasi penting mengenai jenazah
penting jenazah yang diperiksa serta peristiwa yang terjadi meliputi :
a. Identifikasi jenazah berdasarkan administrasi, kebendaan, biologi
b. Saat kematian berdasarkan suhu jenazah, bercak jenazah, kaku jenazah,
pembusukan, larva.
c. Perubahan sikap jenazah berdasarkan bercak jenazah, kaku jenazah.
d. Kelainan tubuh akibat penyakit, bawaan atau peristiwa perkara.
e. Benda/alat penyebab kelainan peristiwa perkara: kekerasan tumpl, tajam, senjata
api, bahan kimia, gas, panas racun.
f. Petunjuk ke arah sebab kematian : kelainan fatal.
g. Sebab kematian : berdasarkan ditemukannya kelainan tubuh bagian luar, kelainan
organ dan jaringan (makroskopis/mikroskopis), ada tidaknya racun.
h. Mati terjadi secara wajar/tidak.
i. Pembuktian tanda intravital pada trauma yang ada.
j. Cara kematian : sedapat mungkin memperkirakan karena kecelakaan, bunuh diri
atau pembunuhan.

k. Rekonstruksi peristiwa : menganalisis terjadinya kelainan yang ada dengan


laporan TKP.
4. Visum et Repertum Psikiatrik.
Adanya pasal 44 (1) KUHP yang berbunyi Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak
dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau
terganggu karena penyakit, tidak dipidana, membuat Visum et Repertum Psikiatrik perlu
untuk dibuat.
2.3 Dasar Hukum Visum et Repertum3,4,5,9,10
Nama Visum et Repertum sendiri hanya disebut di dalam Statsblad/Lembaran Negara
Tahun 1937 Nomor 350 yang menyatakan :
Visa Reperta adalah laporan tertulis untuk yustisi yang dibuat oleh dokter berdasarkan
sumpah, tentang segala hal yang dilihat dan ditemukan pada benda yang diperiksa menurut
pengetahuan sebaik-baiknya. Bunyi sumpah yang dimaksud adalah lafal sumpah pada
Statsblad 1882 No 97, pasal 38 yang berbunyi :
Saya bersumpah (berjanji) bahwa saya akan melakukan pekerjaan ilmu kedokteran, bedah
dan kebidanan menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh undang-undang sebaikbaiknya menurut kemampuan saya dan bahwa saya tidak akan mengumumkan kepada
siapapun juga, segala sesuatu yang dipercayakan kepada saya, atau yang saya ketahui karena
pekerjaan saya, kecuali kalau saya dituntut untuk memberikan keterangan sebagai saksi atau
ahli di muka pengadilan atau selain itu saya berdasarkan undang-undang diwajibkan untuk
memberikan keterangan.
Peraturan perundang-undangan dari jaman Hindia Belanda tersebut, yang oleh karena
Peraturan Peralihan pasal II Undang-Undang Dasar 1945 hingga kini masih berlaku, istilah
Visa Reperta dikenal dalam ayat 1 dan 2 pasal 382 Reglement op de Strafvordering (Peraturan
tentang Tuntutan Hukuman).
Dari Statsblad 350 tahun 1937 terlihat bahwa

1. Nilai daya bukti visum et repertum hanya sebatas mengenai hal yang dilihat atau
ditemukannya saja pada korban. Dalam hal demikian, dokter hanya dianggap
memberikan kesaksian (mata) saja.
2. Visum et repertum hanya sah bila dibuat oleh dokter yang sudah mengucapkan
sumpah sewaktu mulai menjabat sebagai dokter, dengan lafal sumpah dokter seperti
yang disebutkan dihalaman sebelumnya. Lafal sumpah dokter tersebut memang tepat
bila digunakan sebagai landasan pijak pembuatan visum et repertum.
Di dalam KUHAP terdapat pasal-pasal yang berkaitan dengan kewajiban dokter, untuk
membantu peradilan, yaitu dalam bentuk, keterangan ahli, pendapat orang ahli, ahli
kedokteran kehakiman, dokter dan surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat
berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara
resmi dari padanya.
Pasal 133 KUHAP menyebutkan
1. Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka,
keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana,
ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran
kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.
2. Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan secara
tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau
pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.

Penjelasan terhadap pasal 133 KUHAP

Keterangan yang diberikan oleh ahli kedokteran kehakiman disebut keterangan ahli,
sedangkan keterangan yang diberikan oleh dokter bukan ahli kedokteran kehakiman disebut
keterangan.
Pasal 186 KUHAP : Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatatakan di sidang
pengadilan.
Penjelasan pasal 186 KUHAP : Keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu
pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan
dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan.
Pasal 187 KUHAP : (c) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat
berdasarkan keahliannya mengenai mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta
secara resmi dari padanya.
Pasal 184 KUHAP : (1) Alat bukti yang sah adalah :
a.
b.
c.
d.
e.

Keterangan saksi
Keterangan ahli
Surat
Petunjuk
Keterangan terdakwa
Pasal 120 KUHAP : (1) Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat meminta pendapat
orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus.
(2) Ahli tersebut mengangkat sumpah atau mengucapkan janji di muka penyidik
bahwa ia akan memberikan keterangan menurut pengetahuannya yang sebaik baiknya
kecuali bila disebabkan karena harkat serta martabat, pekerjaan atau jabatannya yang
mewajibkan ia menyimpan rahasia dapat menolak untuk memberikan keterangan yang
diminta.
Pasal 179 KUHAP (1) Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran
kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan.

(2) Semua keterangan tersebut di atas untuk saksi berlaku juga bagi saksi
yang memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka mengucapkan sumpah
atau janji akan memberikan keterangan yang sebaik - baiknya dan yang sebenar benarnya
menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya.
Pasal 180 KUHAP (1) Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang
timbul di sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat meminta keterangan ahli dan dapat
pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan.
(2) Dalam hal timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau
penasihat hukum terhadap hasil keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hakim
memerintahkan agar hal itu dilakukan penelitian ulang.
(3) Hakim karena jabatannya dapat memerintahkan untuk dilakukan
penelitian ulang sebagaimana tersebut pada ayat (2).
(4) Penelitian ulang sebagaimana tersebut pada ayat (2) dan ayat (3)
dilakukan oleh instansi semula dengan komposisi personil yang berbeda dan instansi lain
yang mempunyai wewenang untuk itu.
Pasal 168 KUHAP : Kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini, maka tidak dapat
didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi :
a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat
ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa;
b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau
saudara bapak, juga mereka mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak
saudara terdakwa sampai derajat ketiga;
c. Suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai
terdakwa.

Pasal 65 KUHAP : Tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan
saksi dan atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang
menguntungkan bagi dirinya.
Pasal 229 KUHAP : (1) Saksi atau ahli yang telah hadir memenuhi panggilan dalam rangka
memberikan keterangan di semua tingkat pemeriksaan, berhak mendapatkan penggantian
biaya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pejabat yang melakukan pemanggilan wajib memberitahukan
kepada saksi atau ahli tentang haknya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 44 KUHP (1) Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan
kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak
dipidana.
Instruksi Kapolri No. Pol. INS/E/20/IX/75 tanggal 19 September 1975 yang mengatakan
bahwa : dengan Visum et Repertum atas mayat, berarti mayat harus dibedah. Sama sekali
tidak dibenarkan mengajukan permintaan Visum et Repertum atas mayat berdasarkan
pemeriksaan luar saja.

BAB III
8

KESIMPULAN

1. Visum et Repertum adalah keterangan yang dibuat oleh dokter atas permintaan
penyidik yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medik terhadap manusia, baik
hidup atau mati ataupun bagian atau diduga bagian dari tubuh manusia, berdasarkan
keilmuwannya dan di bawah sumpah, untuk kepentingan peradilan.
2. Berdasarkan jenis dan bentuknya, Visum et repertum dapat dibagi atas, VeR
Perlukaan, VeR Kejahatan Susila, VeR Jenazah dan VeR Psikiatrik
3. Dasar hukum VeR berasal dari hukum zaman Hindia Belanda yang masih berlaku
sampai sekarang, yaitu Statsblad/Lembaran Negara Tahun 1937 Nomor 350, yang
kemudian dilengkapi dengan beberapa pasal KUHAP seperti pasal 133, 186, 187, 184,
120, 179 dan 180, 168, 65, 229 serta Instruksi Kapolri No. Pol. INS/E/20/IX/75.
4. Pasal 44 KUHP digunakan karena adanya Visum et Repertum Psikiatrik yang
diperuntukkan bagi tersangka atau pelaku tindak pidana.

DAFTAR PUSTAKA

1. Machmudin DD, Pengantar Ilmu Hukum (Sebuah Sketsa), edisi pertama, cetakan
pertama, Refika Aditama, 2001, hal 7
2. Winarta FH, Pencapaian Supremasi Hukum yang Beretika dan Bermoral, J Hukum
Pro Justitia. 2003 Jan;(1): 3-8.
3. Budianto A, dkk, Ilmu Kedokteran Forensik, edisi pertama, cetakan kedua, Jakarta :
Bagian Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: 1997. Hal 3-16
4. Hadi HM, Pengadaan Visum et Repertum Harus Sesuai dengan Pasal Pasal dalam
KUHAP, J Hukum Pro Justitia. 2003 Jan;(1): 26-35.
5. Idries AM, Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik, edisi pertama, cetakan pertama,
Binarupa Aksara, 1997, hal 3
6. Tim Kedokteran Forensik dan Medikolegal, Pedoman Penyusunan Visum et
Repertum, edisi pertama, cetakan kedua, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta, 2010, hal 22
7. Idries AM, Tjiptomartono AL, Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik dalam Proses
Penyidikan, edisi revisi cetakan kedua, Sagung Seto, 2011, hal 113-116
8. Sugandhi R, KUHP dan Penjelasannya, edisi pertama, cetakan pertama, Usaha
Nasional, Surabaya, 1981, hal 50.
9. Soerodibroto S, KUHP & KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan
Hoge Raad, edisi keempat, cetakan ketujuh, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002, hal
406
10. Ranoemihardja RA, Ilmu Kedokteran Kehakiman (Forensic Science), edisi ketiga,
Tarsito, Bandung, 1991, hal 14-35

10

Anda mungkin juga menyukai