Anda di halaman 1dari 2

Apa itu kekerasan seksual?

Menurut Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi : Kekerasan Seksual adalah setiap
perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi
reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat
berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi
seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan dengan aman dan optimal. Sedangkan
menurut Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan seksual yang disebutkan dalam Pasal 1 Ayat (1)
berbunyi “Tindak Pidana Kekerasan Seksual adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur tindak
pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini dan perbuatan kekerasan seksual lainnya
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang sepanjang ditentukan dalam Undang-Undang ini.”

Jenis-jenis kekerasan seksual yang diatur pidananya di dalam UU TPKS tertuang dalam Pasal 4 Ayat
(1), yaitu: 1. pelecehan seksual nonfisik; 2. pelecehan seksual fisik; 3. pemaksaan kontrasepsi; 4.
pemaksaan setrilisasi; 5. pemaksaan perkawinan; 6. penyiksaan seksual; 7. eksploitasi seksual; 8.
perbudakan seksual; 9. kekerasan seksual berbasis elektronik.

Sebenarnya apa yang mempengaruhi terjadinya kekerasan seksual?

Berdasarkan catatan tahunan Komnas Perempuan pada tahun 2022, jumlah data kekerasan berbasis
gender terhadap perempuan di tahun 2021 sebanyak 338.496 kasus. Jumlah ini meningkat 50% jika
dibandingkan tahun 2020. Kasus kekerasan seksual termasuk yang relatif masih tinggi. Bahkan
menurut ibu Yamini Soedjai, S.H. direktur LBH Jentera Perempuan Jember yang mengutip
pernyataan komnas perempuan bahwa tiap 2 jam, sekitar 2-3 perempuan Indonesia bisa mengalami
kekerasan seksual.

Hal tersebut tentu saja menjadi perhatian kita sebagai masyarakat Indonesia khususnya perempuan
Indonesia yang merasa selalu tidak aman dimanapun dan kapanpun karena bisa saja kekerasan
seksual itu menimpa kita kapan saja. Banyak faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan
seksual diantaranya adalah kurangnya tingkat kepedulian masyarakat dan lingkungan sekitar
mengenai kasus kekerasan seksual. Tidak sedikit disekitar kita menjadi saksi kasus kekerasan seksual
tapi lebih memilih bungkam daripada membantu korban untuk menyelamatkan diri dengan alasan
klise yaitu kita sebagai orang luar tidak perlu ikut campur. Sebagai perempuan pasti kita melihat hal
ini dengan begitu miris. Saudara kita sesama perempuan mengalami kasus kekerasan tetapi justru
orang disekitarnya tidak peduli akan hal itu. Memang korban kekerasan seksual tidak hanya kaum
perempuan saja melainkan juga kaum laki-laki juga bisa menjadi korban kekerasan seksual namun
pada kenyataannya perempuang kebih banyak menjadi korban atas kasus kekerasan seksual
dibanding dengan laki-laki. Selain kurangnya kepedulian masyarakat mengenai kasus kekerasan
seksual bahkan banyak kita temui pula korban kekerasan seksual tidak mendapatkan dukungan dari
keluarga dikarenakan pelaku masih memiliki hubungan keluarga dengan korban.

Selain itu faktor lainnya adalah Penegakan hukum yang tidak efektif dan tidak memberikan efek jera
bagi pelaku. Banyak kasus pelecehan dan kekerasan seksual baik umum terjadi pada perempuan
maupun pada anak – anak khususnya, sering kali proses hukumnya tidak berujung dan tidak ada
kejelasan. Dalam UU TPKS Pasal 2 telah diatur mengenai asas yang mendasari pengaturan tindak
pidana kekerasan seksual yaitu asas a. penghargaan atas harkat dan martabat manusia; b.
nondiskriminasi; c. kepentingan terbaik bagi Korban; d. keadilan; e. kemanfaatan; dan f. kepastian
hukum. Dalam Pasal tersebut sudah jelas poin-poin yang dimaksud khususnya poin b yaitu
nondiskriminasi, namun dalam kenyataannya penegakan hukum dalam kasus tindak pidana
kekerasan seksual masih kita temukan penegak yang baik secara langsung ataupun tidak langsung
telah mendiskriminasi korban. Hal tersebut justru bukan menyelesaikan masalah dan mengurangi
trauma korban justru karena hal tersebut banyak korban akhirnya takut untuk melapor pada
penegak hukum dan lebih memilih menyembunyikan luka traumanya karena merasa malu akan
diskriminasi yang dilakukan oleh penegak hukum dan juga adanya stigma buruk masyarakat
terhadap korban kekerasan seksual. Oleh karena itu seharusnya penegak hukum yang menangani
tindak pidana kekerasan seksual harus benar-benar mengedepankan asas-asas yang telah tercantum
dalam UU TPKS. Adanya UU TPKS ini sangat berguna dan memberikan harapan bagi masa depan
para korban kekerasan seksual.

Dengan adanya kajian mengenai Refleksi efektivitas: Hal yang Mempengaruhi Kekerasan Seksual
Marak Terjadi di Indonesia diharapkan kita bisa meningkatkan kepedulian kita dan lebih aware
terhadap kasus kekerasan yang terjadi di sekitar kita dengan banyak cara salah satunya menjadi
konselor atau paralegal yang membantu para korban kekerasan seksual serta ikut mengawal proses
advokasi yang diajalni oleh korban dan menuntut pelaku dengan seadil mungkin. Mari kita sama-
sama bergandengan tangan untuk menghapus kekerasan seksual di Indonesia karena sejatinya tidak
ada yang tidak mungkin di dunia ini, dan jika ada kemauan pasti ada jalan.

Anda mungkin juga menyukai