Anda di halaman 1dari 44

1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kejahatan asusila adalah suatu perbuatan atau tingkah laku yang
menyimpang dari norma-norma atau kaidah kesopanan yang saat ini cenderung
banyak terjadi kalangan masyarakat, teruatama remaja. Menurut pandangan
pancasila pada sila ketiga tindakan asusila merupakan tindakan pelanggaran dan
menyimpang dari nilai-nilai moral manusia.1
Menurut KUHP bahwa tindak pidana perkosaan termasuk dalam kejahatan
terhadap kesopanan BAB XIV yang dimulai dari pasal 281-303 KUHP. Tindak
pidana kesopanan dibentuk untuk melindungi kepentingan hukum (rechtsbelang)
terhadap rasa kesopanan masyarakat (rasa kesusilaan di dalamnya). Normanorma kesopanan berpijak pada tujuan menjaga keseimbangan batin dalam hal
rasa kesopanan bagi setiap manusia dalam pergaulan hidup masyarakat.1
Tindak pidana kesopanan merupakan salah satu hal dari sekian kejahatan
dalam KUHP. Dalam pengaturannya itu sendiri perkosaan terhadap anak di
bawah umur dalam hal hubungan keluarga atau ayah dengan anak di atur secara
khusus dalam undang-undang no. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak,
yang merupakan pembaharuan dari sekian banyak pasal kejahatan terhadap
kesopanan telah di atur dalam undang-undang no.23 tahun 2002.1
Sesungguhnya semua perbuatan asusila adalah hukumnya haram. Sebab
segala perbuatan asusila yang dilakukan dilakukan diluar pernikahan adalah
perbuatan zina.dalam hal ini asusila yang ber kategori cabul, perkosaan,
pelecehan seksual. Adapun tindak pidana yang terkait dengan tindakan asusila,
seperti

pelaku lesbian dan homoseks, kebanyakan ahli hukum menyatakan

bahwa si pelaku tidak dihukum hadd melainkan dengan tazir.1


Delik perzinahan diatur dalam Pasal 284 KUHP yang dapat dikategorikan
sebagai salah satu kejahatan terhadap kesusilaan. Delik-delik kesusilaan dalam

KUHP terdapat dalam dua bab, yaitu Bab XIV Buku II yang merupakan
kejahatan dan Bab VI Buku III yang termasuk jenis pelanggaran. Yang termasuk
dalam kelompok kejahatan kesusilaan meliputi perbuatan-perbuatan1:
a.

Yang berhubungan dengan minuman, yang berhubungan dengan kesusilaan


di muka umum dan yang berhubungan dengan benda- benda dan sebagainya

b.

yang melanggar kesusilaan atau bersifat porno (Pasal 281 283);


Zina dan sebagainya yang berhubungan dengan perbuatan cabul dan

hubungan seksual (Pasal 284-296);


c. Perdagangan wanita dan anak laki-laki di bawah umur (Pasal 297);
d. Yang berhubungan dengan pengobatan untuk menggugurkan kandungan
e.
f.
g.
h.

(Pasal 299);
Memabukkan (Pasal 300);
Menyerahkan anak untuk pengemisan dan sebagainya (Pasal 301);
Penganiayaan hewan (Pasal 302);
Perjudian (Pasal 303 dan 303 bis).
Adapun yang termasuk pelanggaran kesusilaan dalam KUHP meliputi

perbuatan-perbuatan sebagai berikut1:


a.

Mengungkapkan atau mempertunjukkan sesuatu yang bersifat porno (Pasal

532-535);
b. Yang berhubungan dengan mabuk dan minuman keras (Pasal 536-539);
c. Yang berhubungan dengan perbuatan tindak susila terhadap hewan (Pasal
540, 541 dan 544);
d. Meramal nasib atau mimpi (Pasal 545);
e. Menjual dan sebagainya jimat-jimat, benda berkekuatan gaib dan memberi
f.

ilmu kesaktian (Pasal 546);


Memakai jimat sebagai saksi dalam persidangan (Pasal547).
Pelanggaran tindakan asusila tidak ada untungnya, bahkan mencoreng

nama baik keluarga, merendahkan harga diri, menyiksa diri sendiri dan menjadi
tontonan orang lain, timbulnya rasa malu, dan dijauhi oleh banyak teman serta
sahabat. Pelanggaran tindakan asusila tejadi di tempat tersembunyi dan
waktunya tidak diketahui kapan akan terjadi, datang secara tiba-tiba atau
terpaksa.1

Berdasarkan hal tersebut diatas maka melalui referat ini penulis akan
membahas beberapa kejahatan asusila yang berkaitan dengan ilmu forensik
seperti kejahatan seksual (perkosaan, pencabulan dan sodomi), aborsi dan
infanticide (pembunuhan anak sendiri).
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari referat yaitu sebagai berkut :
1. Apa yang dimaksud dengan kejahatan seksual ?
2. Sebutkan jenis-jenis kejahatan seksual ?
3. Sebutkan aspek hokum yang mengatur tentang kejahatan seksual ?
4. Sebutkan pemeriksaan yang dilakukan terhadap korban kejahatan seksual ?
5. Jelaskan cara pembuktian adanya persetubuhan ?
6. Jelaskan pembuktian terjadinya kekerasan seksual ?
7. Jelaskan perkiraan umur pada korban pemerkosaan ?
8. Jelaskan cara penentuan pantas dikawin pada korban pemerkosaan?
9. Apa yang dimaksud dengan abortus ?
10. Sebutkan aspek hukum yang berkaitan dengan abortus?
11. Sebutkan teknik yang dilakukan pada abortus kriminalis?
12. Sebutkan komplikasi dari abortus kriminalis?
13. Jelaskan cara pemeriksaan korban abortus ?
14. Jelaskan pembuktian yang dapat dilakukan pada kasus abortus?
15. Apa yang dimaksud dengan infanticide?
16. Sebutkan aspek hokum yang menyangkut infanticide?
17. Sebutkan pemeriksaan kedokteran forensic pada infanticide?
18. Bagaimana menentukan lahir hidup atau lahir mati pada korban infanticide?
19. Sebutkan tanda-tanda perawatan pada korban infanticide?
20. Jelaskan pemeriksaan yang dilakukan untun menentukan terjadinya
infanticide?
C. Tujuan
Penulisan referat ini bertujuan untuk memenuhi Tugas Ujian Kepanitraan
Klinik Bagian Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran
Universitas HaluoleoRumah Sakit Bhayangkara, dan juga sebagai bahan
pembelajaran bagi mahasiswa/mahasiswi yang sedang menjalani kepaniteraan
klinik di bagian Forensik dan Medikolegal.
D. Manfaat
Penulisan referat ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan
pemahaman kepada mahasiswa/mahasiswi yang sedang menjalani kepaniteraan

klinik di bagian Forensik dan Medikolegal khusunya yang berhubungan dengan


Kejahatan Asusila (Kejahatan Seksual, Abortus, dan Infanticide).

BAB II
PEMBAHASAN
A. Kejahatan Seksual
1. Definisi kejahatan seksual
Kejahatan seksual (sexual offences), sebagai salah satu bentuk kejahatan
yang menyangkut tubuh, kesehatan dan nyawa manusia, mempunyai kaitan yang
erat dengan Ilmu Kedokteran khususnya Ilmu Kedokteran Forensik yaitu di
dalam upaya pembuktian bahwasanya kejahatan tersebut memang telah terjadi.
Adanya kaitan antara Ilmu Kedokteran dengan kejahatan seksual dapat
dipandang sebagai konsekuensi dari pasal-pasal di dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang memuat ancaman hukuman serta tata cara
pembuktian pada setiap kasus yang termasuk di dalam pengertian kasus
kejahatan seksual.2
Di dalam upaya pembuktian secara kedokteran forensik, faktor
keterbatasan di dalam ilmu kedokteran itu sendiri sangat berperan, demikian

halnya dengan faktor waktu serta faktor keaslian dari barang bukti (korban),
maupun faktor-faktor dari si pelaku kejahatan seksual itu sendiri.2
Dengan demikian upaya pembuktian secara kedokteran forensik pada
setiap kasus kejahatan seksual sebenarnya terbatas di dalam pembuktian ada
tidaknya tanda-tanda persetubuhan, ada tidaknya tanda-tanda kekerasan,
perkiraan umur serta pembuktian apakah seseorang itu memang sudah pantas
atau sudah mampu untuk dikawini atau tidak.2
Kekerasan seksual merupakan kejahatan yang universal. Kejahatan ini
dapat ditemukan di seluruh dunia, pada tiap tingkatan masyarakat, tidak
memandang usia maupun jenis kelamin. Besarnya insiden yang dilaporkan di
setiap negara berbeda-beda. Sebuah penelitian di Amerika Serikat pada tahun
2006 (National Violence against Women Survey/NVAWS) melaporkan bahwa
17,6% dari responden wanita dan 3% dari responden pria pernah mengalami
kekerasan seksual, beberapa di antaranya bahkan lebih dari satu kali sepanjang
hidup mereka. Dari jumlah tersebut hanya sekitar 25% yang pernah membuat
laporan polisi.3
Di Indonesia, menurut Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap
Perempuan (Komnas Perempuan) sejak tahun 1998 sampai 2011 tercatat 93.960
kasus kekerasan seksual terhadap perempuan di seluruh Indonesia. Dengan
demikian rata-rata ada 20 perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual
tiap harinya. Hal yang lebih mengejutkan adalah bahwa lebih dari dari jumlah
kasus tersebut (70,11%) dilakukan oleh orang yang masih memiliki hubungan
dengan korban. Terdapat dugaan kuat bahwa angka-angka tersebut merupakan
fenomena gunung es, yaitu jumlah kasus yang dilaporkan jauh lebih sedikit
daripada jumlah kejadian sebenarnya di masyarakat. Banyak korban enggan
melapor, mungkin karena malu, takut disalahkan, mengalami trauma psikis, atau
karena tahu harus melapor kemana. Seiring dengan meningkatnya kesadaran
hukum di Indonesia, jumlah kasus kekerasan seksual yang dilaporkan pun
mengalami peningkatan.3

2. Jenis-jenis kejahatan seksual


a. Pekosaan
Beberapa definisi dari perkosaan yaitu :
i. Umumnya negara-negara maju mendefinisikan perkosaan sebagai
perbuatan bersenggama yang dilakukan dengan kekerasan (force),
ii.

menciptakan ketakutan (fear), atau memperdaya (fraud).4


Perkosaan adalah melakukan hubungan seksual dengan seorang
perempuan diluar keinginannya dan persetujuan wanita tersebut, baik
keinginannya dilawan dengan kekuatan atau rasa takut akibat ancaman
kekuatan, maupun oleh obat atau racun, atau karena gangguan jiwa, ia
tidak mampu melakukan penilaian yang rasional, atau ketika dibawah
usia dewasa. Kejahatan perkosaan mensyaratkan penetrasi hanya sedikit

iii.

di vulva bagian luar korban, ereksi penuh dan ejakulasi.5


Pemerkosaan adalah hubungan seksual dengan perempuan tanpa

persetujuannya dengan menakuti, memaksa, atau menipunya.6


b. Pencabulan
Definisi pencabulan adalah semua perbuatan yang dilakukan untuk
mendapatkan kenikmatan seksual sekaligus mengganggu kehormatan
kesusilaan. Perbuatan cabul di dalam KUHP yaitu segala perbuatan yang
melanggar kesusilaan ( kesopanan ) atau perbuatan yang keji, semuanya itu
dalam lingkungan nafsu birahi kelamin.3,7
c. Sodomi
i.
Sodomi: sanggama antarmanusia secara oral atau anal, biasanya antarii.

pria; pencabulan dengan sesama jenis kelamin.3


Sodomi juga dikenal sebagai seks anal, adalah penyisipan penis ke dalam

iii.

anus pasangan, dengan atau tanpa paksaan.6


Seks anal atau juga bsa di katakana sodomi adalah hubungan seksual di
mana penis yang ereksi dimasukkan ke rectum melalui anus. Anal sex

dapat dilakukan oleh orang heterosexual maupun homosexual.5


3. Aspek hukum yang mengatur tentang kejahatan seksual
Agar kesaksian seorang dokter pada perkara pidana mencapai sasarannya
yaitu membantu yaitu membantu pengadilan dengan sebaik-baiknya, dia harus
mengenal undang-undang yang bersangkutan dengan tindakan pidana itu,

seharusnya ia mengetahui unsur-unsur mana yang dibuktikan secara medis atau


yang memerlukan pendapat medis.7
Pasal-pasal yang berkaitan dengan tindakan pemerkosaan yaitu sebagai
berikut2,7:
Pasal 284 KUHP
(1)

Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan:


1.

a.

seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak

(overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW (Burgerlyk Wetboek)


berlaku baginya.
b. seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel),
padahal diketahui bahwa pasal 27 BW (Burgerlyk Wetboek) berlaku
baginya.
2. a. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal
diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin.
b. seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan
itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan
pasal 27 BW (Burgerlyk Wetboek) berlaku baginya.
(2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/isteri yang
tercemar,dan bila bagi mereka berlaku pasal 27 BW (Burgerlyk Wetboek),
dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau
pisah meja da pisah ranjang karena alasan itu juga.
(3) Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, 73, dan 75.
(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang peradilan
belum dimulai.
(5) Jika bagi suami-isteri berlaku pasal 27 BW (Burgerlyk Wetboek), pengaduan
tidak diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau
sebelum putusan yang menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap.
Pasal 27 BW

Dalam waktu yang sama seorang laki hanya diperbolehkan mempunyai satu
orang perempuan sebagai istrinya, seorang perempuan hanya satu laki sebagai
suaminya
Pasal 285
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang
wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan
perkosaan dengan pidana penjara paling lama 12 tahun

Pasal 286
Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan padahal
diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam
dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun.
Di dalam kejahatan seksual yang disebut perkosaan, maka tindakan
membuat pingssanatau tidak berdaya termasuk didalam proses untuk melakukan
kejahatan; sedangkan kejahatan seksual menurut pasal 286 KUHP, disini sipelaku
tidak melakukan upaya apapun; pingsan dan tidak berdayanya bwanita bukan
diakibatkan oleh perbuatan sipelaku kejahatan.
Pasal 287 KUHP
(1) Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal
diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima
belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas bahwa belum waktunya untuk
dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umur wanita
belum sampai dua belas tahun atau jika ada salah satu hal berdasarkan pasal
291 dan pasal 294.
Visum et repertum dapat memberikan kejelasan perihal perkiraan umur dari
wanita, apakah umurnya di bawah 12 tahun atau di bawah 15 tahun, perihal

mampu tidaknya dapat kawin serta ada tidaknya tanda-tanda persetubuhan (Pasal
287 KUHP). Demikian pula kejelasan apakah umur wanita di atas 15 tahun serta
ada tidaknya tanda-tanda persetubuhan. (Pasal 284 KUHP).2
Pada kasus persetubuhandi luar perkawinan yang merupakan kejahatan
dimana persetubuhan tersebut terjadi tanpa persetubuhan wanita, seperti yang
dimaksud dengan oleh pasal 285 dan 286 KUHP ; maka untuk kasus-kasus
tersebut VR harus dapat membuktikan bahwa pada wanita telah terjadi kekerasan
dan persetubuhan. Kejahatan seksual seperti yang dimaksud oleh pasal 285
KUHP disebut PERKOSAAN, dan perlu dibedakan dari pasal 286 KUHP.2
Pasal-pasal yang mengatur tentang kejahatan pencabulan baik dalam
KUHP maupun Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan
anak yaitu, KUHP di jelaskan dalam Pasal 289, Pasal 290, Pasal 292, Pasal
293,Pasal 294, Pasal 295, dan Pasal 296. Sedangkan Undang-undang no.23
tahun 2002 tentang perlindungan anak di jelaskan dalam Pasal 82.
Adapun isi dari pasal-pasal yang mengatur tentang delik pencabulan
sebagai berikut2,7:
Pasal 289 KUHP
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa
seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan
cabul, dihukum karena merusakkan kesopanan dengan hukuman penjara
selama-lamanya sembilan tahun.
Pasal 290 KUHP
1e. Barang siapa yang melakukan perbuatan cabul dengan seseorang, sedang
diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya .
2e. Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang, sedang
diketahuinya atau patut harus disangkanya, bahwa umur orang itu belum
cukup 15 tahun atau kalau tidak nyata berapa umurnya,bahwa orang itu
belum belum masanya buat dikawin.

10

3e. Barang siapa membujuk (menggoda) seseorang yang diketahuinya atau


patut harus disangkanya, bahwa umur orang itu belum cukup 15 tahun
atau kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa ia belum masanya buat
kawin, akan melakukan atau atau membiarkan dilakukan pada dirinya
perbuatan cabul, atau akan bersetubuh dengan orang lain dengan tiada
kawin.
Pasal 292 KUHP
Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang
belum dewasa dari jenis kelamin yang sama, sedang diketahuinya atau patut
harus disangkanya hal belum dewasa itu, dihukum penjara selama-lamanya
lima tahun.
Pasal 293 (1) KUHP
Barang siapa dengan mempergunakan hadiah atau perjanjian akan
memberikan uang atau barang, dengan salah mempergunakan pengaruh yang
berkelebih-lebihan

yang

ada

disebabkan

oleh

perhubungan

yang

sesungguhnya ada atau dengan tipu, sengaja membujuk orang yang belum
dewasa yang tidak bercacat kelakuannya, yang diketahuinya atau patut harus
disangkanya belum dewasa, akan melakukan perbuatan cabul dengan dia atau
membiarkan dilakukan perbuatan yang demikian pada dirinya, dihukum
penjara selama-lamanya lima tahun.
Pasal 294 KUHP
Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya yang belum
dewasa, anak tiri atau anak pungutnya,anak peliharaannya, atau dengan
seorang yang belum dewasa yang di percajakan padanya untuk ditanggung,
dididik atau dijaga, atau dengan bujang atau orang sebawahnyayang belum
dewasa, dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun .
Pasal 295 KUHP
1e. Dengan hukuman penjara selama-lamanyalima tahun, berang siapa yang
dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul yang

11

dikerjakan oleh anaknya, anak tirinya atau anak angkatnya yang belum
dewasa, oleh anak yang dibawah pengawasannya, orang yang belum
dewasa yang diserahkan kepadanya, supaya dipeliharanya, dididiknya
atau dijaganya atau bujangnya yang dibawah umur atau orang yang
dibawahnyadengan orang lain.
2e. Dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun, barang siapa
yang dengan sengaja, diluar hal-hal yang tersebut pada 1e, menyebabkan
atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain yang dikerjakan
oleh orang belum dewasa yang diketahuinya atau patut disangkanya,
bahwa ia ada belum dewasa.
Pasal 296 KUHP
Barang siapa yang pencahariannya atau kebiasaannya yaitu dengan
sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain
dihukum penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda
sebanyak-banyaknya Rp.15.000 ( lima belas ribu rupiah).
Pasal 82 Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan
menegaskan bahwa :
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan,memaksa melakukan tipu muslihat serangkaian kebohongan, atau
membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan
cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan
paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,00
(tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta
rupiah).
Dalam hukum pidana di Indonesia, istilah sodomi belum dikenal. Pasalpasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun
peraturan perundang-undangan lainnya belum mengatur tentang sodomi
secara tersendiri. Hukum pidana Indonesia sampai saat ini hanya mengenal

12

istilah pencabulan dan persetubuhan. Namun, walaupun belum diatur secara


khusus, perbuatan sodomi dapat dikategorikan sebagai pencabulan, sehingga
dalam praktiknya, kasus sodomi dikenakan dengan pasal-pasal tentang
pencabulan yang diatur dalam KUHP maupun peraturan perundang-undangan
di luar KUHP.

4. Pemeriksaan kasus kejahatan seksual


Secara umum tujuan pemeriksaan korban kejahatan seksual adalah
untuk3:

Melakukan identifikasi, termasuk memperkirakan usia korban;


Menentukan adanya tanda-tanda persetubuhan, dan waktu terjadinya, bila

mungkin;
Menentukan adanya tanda-tanda kekerasan, termasuk tanda intoksikasi

narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (NAPZA);


Menentukan pantas/tidaknya korban untuk dikawin, termasuk tingkat

perkembangan seksual; dan


Membantu identifikasi pelaku.
Beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan korban

kejahatan seksual3:

Lakukan pemeriksaan sedini mungkin setelah kejadian, jangan dibiarkan


menunggu terlalu lama. Hal ini penting untuk mencegah rusak atau berubah
atau hilangnya barang bukti yang terdapat di tubuh korban, serta untuk

13

menenangkan korban dan mencegah terjadinya trauma psikis yang lebih

berat.
Pada saat pemeriksaan, dokter harus didampingi perawat yang sama jenis
kelaminnya dengan korban (biasanya wanita) atau bidan. Tujuannya adalah
untuk mengurangi rasa malu korban dan sebagai saksi terhadap prosedur

pemeriksaan dan pengambilan sampel.


Selain itu, hal ini juga perlu demi menjaga keamanan dokter pemeriksa
terhadap tuduhan palsu bahwa dokter melakukan perbuatan tidak senonoh

terhadap korban saat pemeriksaan.


Pemeriksaan harus dilakukan secara sistematis dan menyeluruh terhadap

seluruh bagian tubuh korban, tidak hanya terhadap daerah kelamin saja.
Catat dan dokumentasikan semua temuan, termasuk temuan negatif.
Langkah-langkah pemeriksaan adalah sebagai berikut:
a. Anamnesis
Pada korban kejahatan seksual, anamnesis harus dilakukan dengan bahasa
awam yang mudah dimengerti oleh korban. Gunakan bahasa dan istilah-istilah
yang sesuai tingkat pendidikan dan sosio-ekonomi korban, sekalipun mungkin
terdengar vulgar. Anamnesis dapat dibagi menjadi anamnesis umum dan
khusus. Hal-hal yang harus ditanyakan pada anamnesis umum mencakup,
antara lain3,7:
a.
b.
c.
d.
e.

Umur atau tanggal lahir,


Status pernikahan,
Riwayat paritas dan/atau abortus,
Riwayat haid (menarche, hari pertama haid terakhir, siklus haid),
Riwayat koitus (sudah pernah atau belum, riwayat koitus sebelum
dan/atau setelah kejadian kekerasan seksual, dengan siapa, penggunaan

kondom atau alat kontrasepsi lainnya),


f. Penggunaan obat-obatan (termasuk NAPZA),
g. Riwayat penyakit (sekarang dan dahulu), serta
h. Keluhan atau gejala yang dirasakan pada saat pemeriksaan.

14

Sedangkan anamnesis khusus mencakup keterangan yang terkait kejadian


kekerasan seksual yang dilaporkan dan dapat menuntun pemeriksaan fisik,
seperti3:
a. What & How:
Jenis tindakan (pemerkosaan, persetubuhan, pencabulan, sodomi dan

sebagainya),
Adanya kekerasan dan/atau ancaman kekerasan, serta jenisnya,
Adanya upaya perlawanan,
Apakah korban sadar atau tidak pada saat atau setelah kejadian,
Adanya pemberian minuman, makanan, atau obat oleh pelaku sebelum

atau setelah kejadian,


Adanya penetrasi dan sampai mana (parsial atau komplit),
Apakah ada nyeri di daerah kemaluan,
Apakah ada nyeri saat buang air kecil/besar,
Adanya perdarahan dari daerah kemaluan,
Adanya ejakulasi dan apakah terjadi di luar atau di dalam vagina,
Penggunaan kondom, dan
Tindakan yang dilakukan korban setelah kejadian, misalnya apakah
korban sudah buang air, tindakan membasuh/douching, mandi, ganti

b.

baju, dan sebagainya.


When:
Tanggal dan jam kejadian, bandingkan dengan tanggal dan jam melapor,

dan
Apakah tindakan tersebut baru satu kali terjadi atau sudah berulang.
c. Where:
Tempat kejadian, dan
Jenis tempat kejadian (untuk mencari kemungkinan trace evidence dari
tempat kejadian yang melekat pada tubuh dan/atau pakaian korban).
Who:
Apakah pelaku dikenal oleh korban atau tidak,
Jumlah pelaku,
Usia pelaku, dan
Hubungan antara pelaku dengan korban.
Pemeriksaan fisik

d.

b.

15

Saat melakukan pemeriksaan fisik, gunakan prinsip top-to-toe.


Artinya, pemeriksaan fisik harus dilakukan secara sistematis dari ujung kepala
sampai ke ujung kaki. Pelaksanaan pemeriksaan fisik juga harus
memperhatikan keadaan umum korban. Apabila korban tidak sadar atau
keadaan umumnya buruk, maka pemeriksaan untuk pembuatan visum dapat
ditunda dan dokter fokus untuk life-saving terlebih dahulu. Selain itu, dalam
melakukan pemeriksaan fisik, perhatikan kesesuaian dengan keterangan
korban yang didapat saat anamnesis. Pemeriksaan fisik yang dilakukan dapat
dibagi menjadi pemeriksaan umum dan khusus. Pemeriksaan fisik umum
mencakup3:

Tingkat kesadaran,
Keadaan umum,
Tanda vital,
Penampilan (rapih atau tidak, dandan, dan lain-lain),
Afek (keadaan emosi, apakah tampak sedih, takut, dan sebagainya),
Pakaian (apakah ada kotoran, robekan, atau kancing yang terlepas),
Status generalis,
Tinggi badan dan berat badan,
Rambut (tercabut/rontok)
Gigi dan mulut (terutama pertumbuhan gigi molar kedua dan ketiga),
Kuku (apakah ada kotoran atau darah di bawahnya, apakah ada kuku yang

tercabut atau patah),


Tanda-tanda perkembangan seksual sekunder,
Tanda-tanda intoksikasi napza, serta
Status lokalis dari luka-luka yang terdapat pada bagian tubuh selain daerah
kemaluan.
Pemeriksaan fisik khusus bertujuan mencari bukti-bukti fisik yang

terkait dengan tindakan kekerasan seksual yang diakui korban dan mencakup
pemeriksaan:

Daerah pubis (kemaluan bagian luar), yaitu adanya perlukaan pada jaringan
lunak atau bercak cairan mani;

16

Penyisiran rambut pubis (rambut kemaluan), yaitu apakah adanya rambut


pubis yang terlepas yang mungkin berasal dari pelaku, penggumpalan atau

perlengketan rambut pubis akibat cairan mani;


Daerah vulva dan kulit sekitar vulva/paha bagian dalam (adanya perlukaan

pada jaringan lunak, bercak cairan mani);


Labia mayora dan minora (bibir kemaluan besar dan kecil), apakah ada

perlukaan pada jaringan lunak atau bercak cairan mani;


Vestibulum dan fourchette posterior (pertemuan bibir kemaluan bagian

bawah), apakah ada perlukaan;


Hymen (selaput dara), catat bentuk, diameter ostium, elastisitas atau
ketebalan, adanya perlukaan seperti robekan, memar, lecet, atau hiperemi).
Apabila ditemukan robekan hymen, catat jumlah robekan, lokasi dan arah
robekan (sesuai arah pada jarum jam, dengan korban dalam posisi
litotomi), apakah robekan mencapai dasar (insersio) atau tidak, dan adanya

perdarahan atau tanda penyembuhan pada tepi robekan;


Vagina (liang senggama), cari perlukaan dan adanya cairan atau lendir;
Serviks dan porsio (mulut leher rahim), cari tanda-tanda pernah melahirkan

dan adanya cairan atau lendir;


Uterus (rahim), periksa apakah ada tanda kehamilan;
Anus (lubang dubur) dan daerah perianal, apabila ada indikasi sodomi

berdasarkan anamnesis;
Mulut, apabila ada indikasi berdasarkan anamnesis,
Daerah-daerah erogen (leher, payudara, paha, dan lain-lain), untuk mencari

bercak mani atau air liur dari pelaku; serta


Tanda-tanda kehamilan pada payudara dan perut.
Kesulitan utama yang umumnya dihadapi oleh dokter pemeriksa adalah

pemeriksaan selaput dara. Bentuk dan karakteristik selaput dara sangat


bervariasi Pada jenisjenis selaput dara tertentu, adanya lipatan-lipatan dapat
menyerupai robekan. Karena itu, pemeriksaan selaput dara dilakukan dengan
traksi lateral dari labia minora secara perlahan, yang diikuti dengan
penelusuran tepi selaput dara dengan lidi kapas yang kecil untuk membedakan

17

lipatan dengan robekan. Pada penelusuran tersebut, umunya lipatan akan


menghilang, sedangkan robekan tetap tampak dengan tepi yang tajam.

Gambar 1. Beragam jenis selaput dara


5. Pembuktian Persetubuhan

18

Persetubuhan adalah suatu peristiwa dimana terjadi penetrasi penis ke


dalam vagina, penetrasi tersebut dapat lengkap atau tidak lengkap dan dengan
atau tanpa disertai ejakulasi.2
Dengan demikian hasil dari upaya pembuktian adanya persetubuhan
dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain2:

Besarnya penis dan derajat penetrasinya

Bentuk dan elastisitas selaput dara (hymen)

Ada tidaknya ejakulasi dan keadaan ejakulat itu sendiri

Posisi persetubuhan

Keaslian barang bukti serta waktu pemeriksaan


Pemeriksaan

harus

dilakukan

sesegera

mungkin,

sebab

dengan

berlangsungnya waktu tanda-tanda persetubuhan akan menghilang dengan


sendirinya. Sebelum dilakukan pemeriksaan, dokter hendaknya mendapat izin
tertulis dari pihak-pihak yang diperiksa. Jika korban adalah seorang anak izin
dapat diminta dari orang tua atau walinya.2
a. Pemeriksaan Korban
i.
Pemeriksaan tubuh
Pemeriksaan dilakukan pada selaput dara, apakah ada ruptur atau tidak.
Bila ada, tentukan ruptur baru atau lama dan catat lokasi ruptur tersebut, teliti
apakah sampai ke insertio atau tidak. Tentukan besar orifisium, sebesar ujung
jari kelingking, jari telunjuk, atau dua jari. Sebagai gantinya dapat juga
ditentukan ukuran lingkaran orifisium, dengan cara ujung kelingking atau
telunjuk dimasukkan dengan hati-hati ke dalam orifisium sampai terasa tepi
selaput dara menjepit ujung jari, beri tanda pada sarung tangan dan lingkaran
pada titik itu diukur. Ukuran pada seorang perawan kira-kira 2,5 cm.
Lingkaran yang memungkinkan persetubuhan dapat terjadi menurut Voight
adalah minimal 9 cm.7

19

Harus diingat bahwa tidak terdapatnya robekan pada selaput dara, tidak
dapat dipastikan bahwa pada wanita tidak terjadi penetrasi; sebaliknya adanya
robekan pada selaput dara hanya merupakan pertanda adanya suatu benda
(penis atau benda lain yang masuk ke dalam vagina.7
Apabila pada persetubuhan tersebut disertai dengan ejakulasi dan ejakulat
tersebut mengandung sperma, maka adanya sperma di dalam liang vagina
merupakan tanda pasti adanya persetubuhan. Apabila ejakulat tidak
mengandung sperma, maka pembuktian adanya persetubuhan dapat diketahui
dengan melakukan pemeriksaan terhadap ejakulat tersebut.2
Komponen yang terdapat di dalam ejakulat dan dapat diperiksa adalah:
enzim asam fosfatase, kolin dan spermin. Baik enzim asam fosfatase, kolin
maapun spermin bila dibandingkan dengan sperma nilai pembuktiannya lebih
rendah oleh karena ketiga komponen tersebut tidak spesifik. Walaupun
demikian enzim fosfatase masih dapat diandalkan, karena kadar asam
fosfatase yang terdapat dalam vagina (berasal dari wanita itu sendiri),
kadarnya jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan asam fosfatase yang
berasal dari kelenjar fosfat.2
Dengan demikian apabila pada kejahatan seksual yang disertai dengan
persetubuhan itu tidak sampai berakhir dengan ejakulasi, dengan sendirinya
pembuktian adanya persetubuhan secara kedokteran forensik tidak mungkin
dapat dilakukan secara pasti. Sebagai konsekuensinya, dokter tidak dapat
secara pasti pula menentukan bahwa pada seorang wanita tidak terjadi
persetubuhan; maksimal dokter harus mengatakan bahwa pada diri wanita
yang diperiksanya itu tidak ditemukan tanda-tanda persetubuhan, yang
mencakup dua kemungkinan: pertama, memang tidak ada persetubuhan dan
yang kedua persetubuhan ada tapi tanda-tandanya tidak dapat ditemukan.2
Apabila persetubuhan telah dapat dibuktikan secara pasti maka perkiraan
saat terjadinya persetubuhan harus ditentukan; hal ini menyangkut masalah
alibi yang sangat penting di dalam proses penyidikan.2

20

Dalam waktu 4-5 jam postkoital sperma di dalam liang vagina masih
dapat bergerak; sperma masih dapat ditemukan namun tidak bergerak sampai
sekitar 24-36 jam postkoital, dan masih dapat ditemukan sampai 7-8 hari bila
wanita

yang

menjadi

korban

meninggal.

Perkiraan

saat

terjadinya

persetubuhan juga dapat ditentukan dari proses penyembuhan selaput dara


yang robek. Pada umumnya penyembuhan tersebut dicapai dalam waktu 7-10
hari postkoital.2
ii.

Pemeriksaan pakaian
Dalam hal pembuktian adanya persetubuhan, pemeriksaan dapat
dilakukan pada pakaian korban untuk menentukan adanya bercak ejakulat.
Dari bercak tersebut dapat dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk
memastikan bahwa bercak yang telah ditemukan adalah air mani serta dapat
menentukan adanya sperma.

b. Pemeriksaan Pelaku
i.
Pemeriksaan tubuh
Untuk mengetahui apakah seorang pria baru melakukan persetubuhan,
dapat dilakukan pemeriksaan ada tidaknya sel epitel vagina pada glans penis.
Perlu juga dilakukan pemeriksaan sekret uretra untuk menentukan adanya
penyakit kelamin.7
ii.

Pemeriksaan pakaian
Pada pemeriksaan pakaian, catat adanya bercak semen, darah, dan
sebagainya. Bercak semen tidak mempunyai arti dalam pembuktian sehingga
tidak perlu ditentukan. Darah mempunyai nilai karena kemungkinan berasal
dari darah deflorasi. Di sini penentuan golongan darah penting untuk
dilakukan. Trace evidence pada pakaian yang dipakai ketika terjadi
persetubuhan harus diperiksa. Bila fasilitas untuk pemeriksaan tidak ada,
kirim ke laboratorium forensik di kepolisian atau bagian Ilmu Kedokteran
Forensik, dibungkus, segel, serta dibuat berita acara pembungkusan dan
penyegelan.7

21

6. Pembuktian Kekerasan
Tidak sulit untuk membuktikan adanya kekerasan pada tubuh wanita yang
menjadi korban. Dalam hal ini perlu diketahui lokasi luka-luka yang sering
ditemukan, yaitu di daerah mulut dan bibir, leher, puting susu, pergelangan
tangan, pangkal paha serta di sekitar dan pada alat genital.2
Luka-luka akibat kekerasan seksual biasanya berbentuk luka lecet bekas
kuku, gigitan (bite marks) serta luka-luka memar.2
Sepatutnya diingat bahwa tidak semua kekerasan meninggalkan bekas
atau jejak berbentuk luka. Dengan demikian, tidak ditemukannya luka tidak
berarti bahwa pada wanita korban tidak terjadi kekerasan itulah alasan mengapa
dokter harus menggunakan kalimat tanda-tanda kekerasan di dalam setiap Visum
et Repertum yang dibuat, oleh karena tidak ditemukannya tanda-tanda kekerasan
mencakup dua pengertian: pertama, memang tidak ada kekerasan, dan yang
kedua kekerasan terjadi namun tidak meninggalkan bekas (luka) atau bekas
tersebut sudah hilang.2
Tindakan pembiusan serta tindakan lainnya yang menyebabkan korban
tidak berdaya merupakan salah satu bentuk kekerasan. Dalam hal ini perlu
dilakukan pemeriksaan untuk menentukan adanya racun atau obat-obatan yang
kiranya dapat membuat wanita tersebut pingsan; hal tersebut menimbulkan
konsekuensi bahwa pada setiap kasus kejahatan seksual, pemeriksaan
toksikologik menjadi prosedur yang rutin dikerjakan.2
7. Perkiraan Umur
Penentuan umur bagi wanita yang menjadi korban kejahatan seksual
seperti yang dikehendaki oleh pasal 284 dan 287 KUHP adalah hal yang tidak
mungkin dapat dilakukan (kecuali didapatkan informasi dari akte keahiran).
Dengan teknologi kedokteran yang canggih pun maksimal hanya sampai pada
perkiraan umur saja.2
Perkiraan umur dapat diketahui dengan melakukan serangkaian
pemeriksaan yang meliputi pemeriksaan fisik, ciri-ciri seks sekunder,

22

pertumbuhan gigi, fusi atau penyatuan dari tulang-tulang khususnya tengkorak


serta pemeriksaan radiologi lainnya.2
Dalam menilai perkiraan umur, dokter perlu menyimpulkan apakah wajah
dan bentuk badan korban sesuai dengan yang dikatakannya. Keadaan
perkembangan payudara dan pertumbuhan rambut kemaluan perlu dikemukakan.
Ditentukan apakah gigi geraham belakang ke-2 (molar ke-2) sudah tumbuh
(terjadi pada umur kira-kira 12 tahun, sedangkan molar ke-3 akan muncul pada
usia 17-21 tahun atau lebih). Juga harus ditanyakan apakah korban sudah pernah
menstruasi bila umur korban tidak diketahui.2
Hal-hal tersebut di atas perlu diketahui sehubungan dengan bunyi pasal
287 KUHP untuk menentukan apakah penuntutan harus dilakukan.2
8. Penentuan Pantas Dikawin
Apabila suatu perkawinan dimaksudkan sebagai suatu perbuatan yang
suci dan baik, dimana tujuan utamanya adalah untuk dapat menghasilkan
keturunan, maka penentuan apakah seorag wanita itu sudah waktunya untuk
dikawin atau belum, semata-mata hanya berdasarkan atas kesiapan biologis
(yang dapat dibuktikan oleh ilmu kedokteran), dalam hal ini: menstruasi. Bila
wanita itu sudah mengalami menstruasi, maka ia sudah waktunya untuk dikawin.
Untuk itu, yaitu untuk mengetahui apakah wanita tersebut sudah pernah
menstruasi dokter pemeriksa tidak jarang harus merawat dan mengisolir wanita
tersebut, yang maksudnya agar ia dapat mengetahui dan mendapatkan bukti
secara pasti bahwa telah terjadi menstruasi. Menurut Muller, untuk mengetahui
ada atau tidaknya ovulasi perlu dilakukan observasi selama 8 minggu di rumah
sakit, sehingga dapat ditentukan adakah selama itu ia mendapat menstruasi.
Sekarang ini untuk menentukan apakah seorang wanita sudah pernah mengalami
ovulasi atau belum dapat dilakukan pemeriksaan vaginal smear.2
Akan tetapi bila kita mengacu pada Undang-undang perkawinan, yang
mengatakan bahwa wanita boleh kawin bila ia telah berumur 16 tahun, maka
masalahnya kembali kepada masalah perkiraan umur.2

23

B. Aborsi
1. Definisi
Abortus menurut pengertian medis ialah gugur kandungan atau keguguran
dan keguguran itu sendiri berarti berakhirnya kehamilan, sebelum fetus dapat
hidup sendiri di luar kandungan. Batasan umur kandungan 28 minggu dan
berat badan fetus yang keluar kurang dari 1000 gram.2
Pengertian pengguguran kandungan menurutr hukum ialah tindakan
menghentikan kehamilan atau mematikan janin sebelum waktu kelahiran,
tanpa melihat usia kandungannya dan tidak dipersoalkan, apakah dengan
pengguguran tersebut lahir bayi mati atau hidup. Perbedaan antara
pengguguran kandungan secara medis dan secara hukum yaitu adanya faktor
kesengajaan dan tidak adanya faktor usia kehamilan.7
Abortus terdiri atas 2,4,7:
a. Abortus spontan
Diperkirakan 10-20% dari kehamilan akan berakhir dengan abortus, dan
secra yuridis tidak membawa implikasi apa-apa.
b. Abortus provokatus, yang terbagi lagi ke dalam abortus provokatus
medisinalis (terapeutikus) dan abortus provokatus kriminalis.
Abortus provokatus medisinalis atau abortus therapeuticus dilakukan
semata-mata atas dasar pertimbangan medis yang tepat, tidak ada cara
lain untuk menyelamatkan nyawa si-ibu kecuali jika kandungannya
digugurkan, misalnya pada penderita kanker ganas.
Abortus provokatus kriminalis sangat jelas bahwa tindakan pengguguran
kandungan disini semata-mata untuk tujuan yang tidak baik dan melawan
hukum. Tindakan abortus yang tidak dapat dipertanggung jawabkan
secara medis, dilakukan hanya untuk kepentingan si pelaku, walaupun ada
kepentingan juga dari si-ibu yang malu akan kehamilannya. Kejahatan
jenis ini sulit untuk melacaknya oleh karena kedua belah pihak
menginginkan agar abortus dapat terlaksana dengan baik ( crime without
victim, walaupun sebenarnya korbannya ada yaitu bayi yang dikandung).
Abortus provokatus kriminalis sajalah yang termasuk ke dalam lingkup
pengguguran kandungan menurut hukum.2,4,7

24

2. Aspek hukum yang berkaitan dengan abortus


Dalam KUHP terdapat pasal-pasal yang berkaitan dengan abortus, yaitu
pasal 346, 347, 348, 349, dan pasal 299 KUHP.2,7
Pasal 346 KUHP
Seorang

wanita

dengan

sengaja

menggugurkan

atau

mematikan

kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana
penjara paling lama empat tahun.
Pasal 347 KUHP
1) Barang siapa dngan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan
seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara
paling lama empat tahun.
2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Pasal 348 KUHP
1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan
seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun enam bulan.
2) Jika perbuatan itu menyebabkan matinya wanita tersebut, diancam dengan
pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Pasal 349 KUHP
Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan
berdasarkan pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah
satu kejahatan yang diterapkan dalam Pasal 347 dan 348, maka pidana yang
ditentukan dalam pasal itu dapat dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat
dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan.
Pasal 299 KUHP
1) Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruh
supaya diobati dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan bahwa karena

25

pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan pidana penjara


paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat puluh lima
ribu rupiah.
2) Jika yang bersalah berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau
menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan, atau jika dia
seorang tabib, bidan atau juru obat, pidananya dapat ditambah sepertiga.
3 Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan
pencarian, maka dapat dicabut haknya untuk melakukan pencarian itu.
Dari Pasal 346, 347 dan 348 KHUP, jelas bahwa undang-undang tidak
mempersoalkan masalah umur kehamilan atau berat badan dari fetus yang
keluar. Sedangkan pasal 349 dan 299 KUHP memuat ancaman hukuman untuk
orang-orang tertentu yang mempunyai profesi atau pekerjaan tertentu bila
mereka turut membantu atau melakukan kejahatan seperti yang dimaksud ke
tiga pasal tersebut.2
Yang dapat dikenakan hukuman adalah tindakan menggugurkan atau
mematikan kandungan yang termasuk tindakan pidana sesuai dengan pasalpasal pada KUHP (aborsi kriminalis). Sedangkan tindakan yang serupa demi
keselamatn ibu yang dapat dipertanggungjwabkan secara medis (aborsi
medicinalis atau aborsi therapeuticus), tidaklah dapat dihukum walaupun pada
kenyataan dokter dapat melakukan aborsi medicinalis, itu diperiksa oleh
penyidik dan dilanjutkan dengan pemeriksaan di pengadilan. Pemeriksaan oleh
penyidik atau hakim di pengadilan bertujuan untuk mencari bukti-bukti akan
kebenaran bahwa pada kasus tersebut memang murni tidak ada unsur
kriminalnya, semata-mata untuk keselamatan jiwa Si ibu. Perlu diingat bahwa
hanya Hakimlah yang berhak memutuskan apakah seseorang itu (dokter)
bersalah atau tidak bersalah.2
3. Teknik abortus kriminalis
Aborsi kriminal dapat dilakukan sendiri oleh yang bersangkutan atau
dibantu oleh orang lai, yaitu4:

26

a. Dengan menggunakan kekerasan umum (general violence) atau melakukan


kegiatan fisik yan berlebihan seperti menunggang kuda, lari-lari dan loncatloncat.
b. Dengan menggunakan kekerasan local (local violence) :
i.
Tanpa menggunakan alat (instrumen), antara lain : memijat perut bagian
ii.
iii.

bawah, menginjak perut bagian bawah, meninjau perut bagian bawah.


Dengan menggunakan alat-alat medis berupa : sonde, kateter, tang kuret.
Dengan menggunakan alat-alat non medis, misalnya : kawat, tongkat,

iv.

batang kayu.
Dengan menggunakan zat-zat kimia, antara lain : air hangat, air dicampur

kreolin atau Lysol atau carbol, air sabun, larutan zink chloride
c. Menggunakan obat-obatan abortifisien :
i.
Obat emetika
ii.
Obat purgative atau laxantia : Castrol oli
iii.
Obat emenagoga atau obat pelancar haid, misalnya apiol, minyak pale,
oleum rutae.
iv.
Ecbolica atau obat perangsang otot rahim : ergotamin, pituitrin, kinina.
4. Komplikasi abortus
Tindakan abortus yang dilakuakan bukan oleh tangan yang terampil dapat
menimbulkan gangguan pada si ibu. Beberapa komplikasi yang timbul adalah7:
a. Perdarahan akibat luka jalan lahir, diatesa hemorargik dan lain-lain.
Perdarahan dapat timbul segera pasca tindakan, dapat pula timbul lama
setelah tindakan.
b. Syok (renjatan) akibat refleks vasovagal atau neurogenik. Komplikasi ini
dapat menimbulkan kematian yang mendadak.
c. Emboli udara, dapat terjadi pada teknik penyemprotan cairan ke dalam
uterus. Hal ini terjadi karena pada waktu penyemprotan, selain cairan juga
gelembung udara masuk ke dalam uterus, sedangkan di saat yang sama
sistem vena di endometrium dalam keadaan terbuka.
d. Inhibisi vagus, hampir selalu terjadi pada tindakan abortus yang dilakukan
tanpa anestesi pada ibu dalam keadaan stress, gelisah dan panik. Hal ini
dapat terjadi akibat alat yang digunakan atau alat suntik secara mendadak
dengan cairan yang terlalu panas atau terlalu dingin.

27

e. Keracunan zat abortivum, termasuk karena anestesia, antiseptik lokal seperti


KmnO4 pekat, AgNO3, jodium dapat mengakibatkan cedera yang hebat atau
kematian. Demikian pula obat seperti kina atau logam berat. Pemeriksaan
histologi dan toksikologi sangat diperlukan untuk menegakkan diagnosis.
f. Infeksi dan sepsis. Komplikasi ini tidak timbul segera, tapi memerlukan
waktu.
5. Pemeriksaan korban abortus
a. Korban Hidup
Pada korban hidup perlu diperhatikan7:
1) Tanda kehamilan, misalnya perubahan pada payudara, pigmentasi,
hormonal, mikroskopik, dan sebagainya.
2) Usaha penghentian kehamilan, misalnya tanda kekerasan pada genitalia,
perut bawah
3) Pemeriksaan toksikologi, untuk mengetahui adanya obat/zat yang dapat
mengakibatkan abortus
4) Hasil dari usaha penghentian kehamilan dapat berupa :

IUFD (Intra Uterine Fetal Death)


Sisa-sisa jaringan dengan pemeriksaan mikroskopis/ PA

b. Korban Mati
Pemeriksaan dilakukan secepat mungkin, sebaiknya (12-16 jam), pemeriksaan
luar dilakukan seperti biasa. Temuan autopsi pada korban yang meninggal
tergantung pada cara melakukan aborsi serta interval waktu antara tindakan
aborsi dan kematian.7
Pada pemeriksaan jenazah, Teare (1964) menganjurkan pembukaan abdomen
sebagai langkah pertama dalam autopsi bila ada kecurigaan akan abortus
kriminalis sebagai penyebab kematian korban. Pemeriksaan luar dilakukan
seperti biasa sedangkan pada pembedahan jenazah, bila didapatkan cairn dalam
rongga perut, atau kecurigaan lain, lakukan pemeriksaan toksikologik.7

28

Pemeriksaan post mortem meliputi4 :

Tentukan apakah hamil/ baru saja hamil


Tanda baru saja aborsi
Tanda kekerasan
Tentukan sebab kematian.

c. Tanda-Tanda Post Mortem pada Aborsi


Pada ibu, sewaktu hidup : adanya tanda-tanda baru melahirkan, tergantung dari
usia saat aborsi, pemeriksaan dalam dan lamanya kehamilan.
Tanda-tanda aborsi yang baru terjadi adalah : bercak darah pada vagina,
ditemukan cairan, vagina yang longgar, laserasi dan luka yang terdapat pada
vagina. Serviks membuka, bisa terdapat dan bisa juga tidak terdapat robekan.
Uterus membesar dan payudara juga membesar.
Setelah kematian, lakukan pemeriksaan terhadap :
-

Tanda-tanda kehamilan.

Cedera, terutama akibat kekerasan

Periksa alat-alat genitalia interna, apakah pucat, mengalami kongesti, atau


adanya memar.

Laserasi, inflamasi pada vagina

Cedera pada serviks

Uterus dan jaringan sekitarnya, diambil contoh jaringan untuk


pemeriksaan. Apakah ada pembesaran, krepitasi, luka, atau perforasi.

Uterus diiris mendatar dengan jarak antar irisan 1 cm untuk mendeteksi


perdarahan yang berasal dari bawah

Letak plasenta yang akan terlihat jika uterus dibuka.


Tes emboli udara dilakukan pada vena kava inferior dan jantung.

Pemeriksaan toksikologik dilakukan segera setelah tes emboli dengan


mengambil darah dari jantung. Pemeriksaan kehamilan/toksikologik juga dapat
dilakukan dengan mengambil urin. Pemeriksaan organ-organ lain dilakukan
seperti biasa.7

29

6. Pembuktian pada kasus abortus


Untuk dapat membuktikan apakah kematian seorang wanita itu
merupakan akibat dari tindakan abortus yang dilakukan atas dirinya, diperlukan
petunjuk-petunjuk2:
a. Adanya kehamilan
b. Umur kehamilan bila dipakai pengertian aborsi menurut pengertian medis.
c. Adanya hubungan sebab akibat antara aborsi dengan kematian.
d. Adanya hubungan antara saat dilakukannya tindakan aborsi dengan saat
kematian.
e. Adanya barang bukti yang dipergunakan untuk melakukan aborsi sesuai
dengan metode yang dipergunakan.

C. Infanticide
1. Definisi
Infanticide adalah merupakan sebutan yang bersifat khusus bagi tindakan
merampas nyawa bayi yang belum berumur sartu tahun oleh ibu kandungnya
sendiri4.
Menurut undang-undang di Indonesia pembunuhan anak sendiri adalah
pembunuhan oleh seorang ibu atsa anaknya pada ketika dilahirkan atau tidak
berapa lama stelah dilahirkan, karena takut ketahuan bahwa ia melahirkan
anak.7
Pembunuhan anak adalah merupakan suatu bentuk kejahatan terhadap
nyawa yang unik sifatnya. Unik dalam arti si-pelaku pembunuhan haruslah
ibu kandungnya sendiri, dan alasan atau motivasi untuk melakukan kejahatan
terswebut adalah karena si-ibu takut ketahuan bahwa ia telah melahirkan
anak oleh karena anak sebagai hasil hubungan gelap. Selain kedua hal

30

tersebut keunikan lainnya adalah saat dilakukannya tindakan menghilangkan


nyawa si anak, yaitu pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian
yang dalam hal ini patokannya adalah sudah ada atau belum adan tanda-tanda
perawatan, dibersihkan, dipotong tali pusatnya atau diberi pakaian. Saat
dilakukannya kejahatan tersebut dikaitkan dengan keadaaan mental
emosional dari si-ibu, dimana selain rasa malu, takut, benci serta rasa nyeri
bercmpur aduk menjadi satu, sehingga perbuatannya itu dianggap dilakukan
tidak dalam keadaan mental yang tenang, sadar serta dengan perhitungan
yang matang. Inilah yang menjelaskan mengapa ancaman hukuman pada
kasus pembunuhan anak lebih ringan bila dibandingkan dengan kasus-kasus
pembunuhan lainnya.2
2. Dasar hukum menyangkut pembunuhan anak sendiri
Dalam KUHP, pembunuhan anak sendiri tercantum di dalam bab
kejahatan terhadap nyawa orang. Adapun bunyi pasalnya yaitu2,7:
Pasal 341 KUHP
Seorang ibu yang karena takut akan ketahuan melahirkan anak pada saat anak
dilahirkan atau tidak lama kemudian, dengan sengaja merampas nyawa
anaknya, diancam karena membunuh anak sendiri dengan pidana penjara paling
lama tujuh tahun.
Pasal 342 KUHP
Seorang ibu yang untuk melaksanakan niat yang ditentukan karena takut akan
ketahuan bahwa ia akan melahirkan anak, pada saat anak dilahirkan atau tidak
lama kemudian merampas nyawa anak sendiri dengan rencana, dengan pidana
penjara paling lama sembilan tahun.
Pasal 343
Bagi orang lain yang turut serta melakukan kejahatan yang diterangkan dalam
pasal 342 KUHP diartikan sebagai pembunuhan atau pembunuhan berencana.
Berdasarkan undang-undang tersebut kita dapat melihat adanya tiga faktor
penting yaitu7:

31

Ibu yaitu hanya ibu kandung yang dapat dihukum karena melakukan
pembunuhan anak sendiri. Tidak dipersoalkan apakah ibu telah menikah atau
tidak, sedangkan bagi orang lain yang melakukan atau turut membunuh anak
tersebut dihukum karena pembunuhan atau pembunuhan berencana, dengan
hukuman yang lebih berat yaitu 15 tahun penjara (pasal 338 pembunuhan
tanpa rencana), atau 20 tahun, seumur hidup/hukuman mati ( pasal 339 dan

340, pembunuhan dengan rencana).


Waktu yaitu dalam undang-undang tidak disebutkan batasan waktu yang tepat,
tetapi hanya dinyatakan pada saat dilahirkan atau tidak lama kemudian .
Sehingga boleh dianggap pada saat belum timbul rasa kasih sayang seorang
ibu terhadap anaknya. Bila rasa kasih sayang sudah timbul maka ibu tersebut

akan merawat dan bukan membunuh anaknya.


Psikis yaitu ibu membunuh anaknya karena terdorong oleh rasa ketakutan
akan diketahui orang lain telah melahirkan anak itu, biasanya anak yang
dilahirkan tersebut didapatkan dari hubungan tidak sah.
Bila ditemukan mayat bayi di tempat yang tidak semestinya, misalnya tempat

sampah, got, sungai dan sebagainya, maka bayi tersebut mungkin adalah korban
pembunuhan anak sendiri (pasal 341, 342) pembunuhan (pasal 338, 339, 340, 343),
lahir mati kemudian dibuang (pasal 181) atau bayi yang ditelantarkan sampai mati.
3. Pemeriksaan kedokteran forensik pada infanticide
Pemeriksaan kedokteran forensik pada kasus pembunuhan anak atau yang
diduga kasus pembunuhan anak ditujukan untuk memperoleh kejelasan di dalam
hal sebagai berikut2:

Apakah anak tersebut dilahirkan hidup atau lahir mati?


Apakah terdapat tanda-tanda perawatan?
Apakah ada luka-luka yang dapat dikaitkan dengan penyebab kematian?
Oleh karena Visum et Repertum itu juga mengandung makna sebagai
pengganti barang bukti, maka segala apa yang terdapat dalam barang bukti
dalam hal ini yaitu tubuh anak, harus dicatat dan dilaporkan. Dengan

32

demikian selain ketiga kejelasan tersebut di atas, masih ada dua hal lagi yang
harus diutarakan dalam VR yaitu:

Apakah anak yang dilahirkan itu cukup bulan dalam kandungan?


Apakah pada anak tersebut didapatkan kelainan bawaan yang dapat
mempengaruhi kelangsungan hidup bagi si anak?
Sehingga lebih jelas bahwa permasalahan tentang maturitas seperti cukup

bulan atau prematur merupakan hal yang penting, sama halnya dengan
kemampuan anak untuk hidup dengan wajar (viabilitas) tanpa kelainan bawaan
yang diderita oleh anak.2
Sebelum melangkah lebih jauh, perlu ditinjau lebih dahulu pengertian
lahir hidup dan lahir mati. Perlu diketahui bahwa seorang dokter tidak dibenarkan
membuat kesimpulan lahir hidup atau lahir mati dari hasil pemeriksaan terhadap
korban kasus yang diduga akibat pembunuhan anak.2
4. Lahir hidup atau lahir mati
Lahir hidup (live birth) adalah keluar atau dikeluarkannya hasil konsepsi
yang lengkap, yang setelah pemisahan, bernapas atau menunjukkan tanda
kehidupan lain tanpa mempersoalkan usia gestasi, sudah atau belumnya tali pusat
dipotong dan uri dilahirkan.2,7
Lahir mati (still birth) adalah kematian hasil konsepsi sebelum keluar atau
dikeluarkan oleh ibunya, tanpa mempersoalkan usia kehamilan (baik sebelum
ataupun setelah kehamilan berumur 28 minggu dalam kandungan). Kematian
ditandai oleh janin yang tidak bernapas atau tidak menunjukkan tanda kehidupan
lain seperti denyut jantung, denyut nadi tali pusat atau gerakan otot rangka.2,7
Adapun tanda-tanda kehidupan pada bayi yang baru dilahirkan yaitu2,47:

Pernapasan
o Paru mengembang
o Udara dalam lambung atau usus
Menangis
Pergerakan otot
Sirkulasi darah dan denyut jantung serta perubahan hemoglobin
Isi usus

33

Keadaan tali pusat

a. Pernapasan
Pernapasan spontan terjadi akibat rangsangan atmosfer dan adanya gangguan
sirkulasi plasenta, dan ini menimbulkan perubahan penting yang permanen pada
paru.
1) Uji Apung Paru
Uji apung paru dilakukan dengan teknik tanpa sentuh (no touch
technique), paru-paru tidak disentuh untuk menghindari kemungkinan
timbulnya artefak pada sediaan histopatologik jaringan paru akibat manipulasi
berlebihan.7
Lidah dikeluarkan seperti biasa di bawah rahang bawah, ujung lidah
dijepit dengan pinset atau klem, kemudian ditarik ke arah ventrokaudal
sehingga tampak palatum mole. Dengan scalpel yang tajam, palatum mole
disayat sepanjang perbatasannya dengan palatum durum. Faring, laring,
esophagus bersama dengan trakea dilepaskan dari tulang belakang. Esofagus
bersama dengan trakea diikat di bawah kartilago krikoid dengan benang.
Pengikatan ini dimaksudkan agar pada manipulasi berikutnya cairan ketuban,
mekonium atau benda asing lain tidak mengalir ke luar melalui trakea; bukan
untuk mencegah masuknya udara ke dalam paru.7
Pengeluaran organ dari lidah sampai paru dilakukan dengan forsep atau
pinset bedah dan scalpel, tidak boleh dipegang dengan tangan. Kemudian
esophagus diikat di atas diafragma dan dipotong di atas ikatan. Pengikatan ini
dimaksudkan agar udara tidak masuk ke dalam lambung dan uji apung
lambung-usus (uji Breslau) tidak memberikan hasil meragukan.7

34

Setelah semua organ leher dan dada dikeluarkan dari tubuh, lalu
dimasukkan ke dalam air dan dilihat apakah mengapung atau tenggelam.
Kemudian paru-paru kiri dan kanan dilepaskan dan dimasukkan kembali ke
dalam air, dilihat apakah mengapung atau tenggelam. Setelah itu tiap lobus
dipisahkan dan dimasukkan ke dalam air, dan dilihat apakah mengapung atau
tenggelam. Lima potong kecil dari bagian perifer tiap lobus dimasukkan ke
dalam air, diperhatikan apakah mengapung atau tenggelam.7
Hingga tahap ini, paru bayi yang lahir mati masih dapat mengapung oleh
karena kemungkinan adanya pembusukan. Bila potongan kecil itu mengapung,
letakkan di antara dua karton dan ditekan dengan arah penekanan tegak lurus
jangan digeser untuk mengeluarkan gas pembusukan yang terdapat pada
jaringan interstisial paru, lalu masukkan kembali ke dalam air dan diamati
apakah masih mengapung atau tenggelam. Bila masih mengapung berarti paru
terisi udara residu yang tidak akan keluar. Namun, terkadang dengan
penekanan, dinding alveoli pada mayat bayi yang telah membusuk lanjut akan
pecah dan udara residu keluar dan memperlihatkan hasil uji apung paru
negatif.7
Uji apung paru harus dilakukan menyeluruh sampai potongan kecil paru
mengingat kemungkinan adanya pernapasan sebagian (parsial respiration) yang
dapat bersifat buatan atau alamiah (vagitus uternus atau vagitus vaginalis) yaitu
bayi sudah bernapas walaupun kepala masih dalam uterus atau dalam vagina).7
Hasil negatif belum berarti pasti lahir mati karena adanya kemungkinan
bayi dilahirkan hidup tapi kemudian berhenti bernapas meskipun jantung masih
berdenyut, sehingga udara dalam alveoli diresorpsi. Pada hasil uji negatif ini,
pemeriksaan histopatologik paru harus dilakukan untuk memastikan bayi lahir
mati atau lahir hidup.7
Bila sudah jelas terjadi pembusukan, maka uji apung paru kurang dapat
dipercaya, sehingga tidak dianjurkan untuk dilakukan.7
2) Mikroskopik paru-paru

35

Setelah paru-paru dikeluarkan dengan teknik tanpa sentuh, dilakukan


fiksasi dengan larutan formalin 10 %. Sesudah 12 jam, dibuat irisan melintang
untuk memungkinkan cairan fiksatif meresap dengan baik ke dalam paru.
Setelah difiksasi selama 48 jam, kemudian dibuat sediaan histopatologik.
Biasanya digunakan perwarnaan HE dan bila paru telah membusuk digunakan
pewarnaan Gomori atau Ladewig.7
Struktur seperti kelenjar bukan merupakan ciri paru bayi yang belum
bernapas, tetapi merupakan ciri paru janin yang belum mencapai usia gestasi 26
minggu. Tanda khas untuk paru janin belum bernapas adalah adanya tonjolan
(projection) yang berbentuk seperti bantal (cushion-like) yang kemudian akan
bertambah tinggi dengan dasar menipis sehingga akan tampak seperti gada
(club like). Pada permukaan ujung bebas projection tampak kapiler yang berisi
banyak darah. Pada paru bayi belum bernapas yang sudah membusuk dengan
perwarnaan Gomori atau Ladewig, tampak serabut-serabut retikulin pada
permukaan dinding alveoli berkelok-kelok seperti rambut yang keriting,
sedangkan pada projection berjalan di bawah kapiler sejajar dengan permukaan
projection dan membentuk gelung-gelung terbuka (open loops).7
Pada paru bayi yang lahir mati mungkin pula ditemukan tanda inhalasi
cairan amnion yang luas karena asfiksia intrauterin, misalnya akibat tertekannya
tali pusat atau solusio plasenta sehingga terjadi pernapasan janin prematur
(intrauterine submersion). Tampak sel-sel verniks akibat deskuamasi sel-sel
permukaan kulit, berbentuk persegi panjang dengan inti piknotik berbentuk
huruf S, bila dilihat dari atas samping terlihat seperti bawang. Juga tampak
sel-sel amnion bersifat asidofilik dengan batas tidak jelas dan inti terletak
eksentrik dengan batas yang juga tidak jelas.7
Mekonium yang berbentuk bulat berwarna jernih sampai hijau tua
mungkin terlihat dalam bronkioli dan alveoli. kadang-kadang ditemukan
deskuamasi sel-sel epitel bronkus yang merupakan tanda maserasi dini, atau
fagositosis mekonium oleh sel-sel dinding alveoli.7

36

Lahir mati ditandai pula oleh keadaan yang tidak memungkinkan


terjadinya kehidupaan seperti trauma persalinan yang hebat, perdarahan otak
yang hebat, dengan atau tanpa robekan tentorium serebeli, pneumonia
intrauterin, kelainan kongenitasl yang fatal seperti anensefalus.7
Adapun ringkasan perbedaan dari pemeriksaan paru yaitu 8:
N
Paru belum bernapas
Paru sudah bernapas
1 Volume kecil, kolaps, menempel Volume 4-6x lebih besar, sebagian
1.

pada vertebra, konsistensi padat, menutupi jantung, konsistensi seperti


tidak ada krepitasi
2
Tepi paru tajam

karet busa (ada krepitasi)


Tepi paru tumpul

2.
3 Warna
3.
4.

homogen,

kebiruan/ungu
5 Kalau
diperas
permukaan

air

di
tidak

merah

Warna merah muda

bawah Gelembung gas yang keluar halus dan


keluar rata ukurannya.

gelembung gas atau bila sudah


ada pembusukan gelembungnya
besar dan tidak rata.
6 Tidak tampak alveoli
5.
6.

yang Tampak

kadang-kadang

berkembang pada permukaan


terpisah sendiri
6 Kalau diperas hanya keluar Bila diperas keluar banyak darah
darah sedikit dan tidak berbuih berbuih
(kecuali

bila

sudah

walaupun

belum

ada

ada pembusukan (volume darah dua kali

pembusukan)
8 Berat paru kurang lebih 1/70 BB
7.

alveoli,

volume sebelum napas.


Berat paru kurang lebih 1/35

BB
8 Seluruh bagian paru tenggelam Bagian-bagian paru yang mengembang

8.
dalam air
terapung dalam air.
b. Menangis
Bernapas dapat terjadi tanpa menangis, tetapi menangis tidak dapat terjadi
tanpa bernapas. Suara tangis yang terdengar belum berarti bayi tersebut lahir hidup

37

karena suara tangisan dapat terjadi dalam uterus atau dalam vagina. Yang
merangsang bayi menangis dalam uterus adalah masuknya udara dalam uterus dan
kadar oksigen dalam darah menurun dan atau kadar CO2 dalam darah meningkat.8
c. Pergerakan Otot
Keadaan ini harus disaksikan oleh saksi mata, karena post mortem tidak
dapat dibuktikan. Kaku mayat dapat terjadi pada bayi yang lahir hidup kemudian
mati maupun yang lahir mati.8
d. Peredaran Darah, Denyut Jantung, dan Perubahan pada Hemoglobin
Meliputi bukti fungsional yaitu denyut tali pusat dan detak jantung (harus
ada saksi mata) dan bukti anatomis yaitu perubahan-perubahan pada Hb serta
perubahan dalam duktus arteriosus, foramen ovale dan dalam duktus venosus
(cabang vena umbilicalis yang langsung masuk vena cava inferior).8
Bila ada yang menyaksikan denyut nadi tali pusat/detak jantung pada bayi
yang sudah terlahir lengkap, maka ini merupakan bukti suatu kelahiran hidup.
Foramen ovale tertutup bila telah terjadi pernapasan dan sirkulasi (satu hari sampai
beberapa minggu). Duktus arteriosus perlahan-lahan menjadi jaringan ikat (paling
cepat dalam 24 jam) Duktus venosus menutup dalam 2-3 hari sampai beberapa
minggu.8
e. Isi Usus dan Lambung
Bila dalam lambung bayi ditemukan benda asing yang hanya dapat masuk
akibat reflek menelan, maka ini merupakan bukti kehidupan (lahir hidup). Udara
dalam lambung dan usus dapat terjadi akibat pernapasan wajar, pernapasan buatan,
atau tertelan. Keadaan-keadaan tersebut tidak dapat dibedakan. Cara pemeriksaan
yaitu esophagus diikat, dikeluarkan bersama lambung yang diikat pada jejunum
lekuk pertama, kemudian dimasukkan ke dalam air. makin jauh udara usus masuk
dalam usus, makin kuat dugaan adanya pernapasan 24-48 jam post mortem,
mekonium sudah keluar semua seluruhnya dari usus besar.8
f. Keadaan Tali Pusat
Yang harus diperhatikan pada tali pusat adalah pertama ada atau tidaknya
denyut tali pusat setelah kelahiran. Ini hanya dapat dibuktikan dengan saksi mata.
Kedua, pengeringan tali pusat, letak dan sifat ikatan, bagaimana tali pusat itu di
putus (secara tajam atau tumpul).8

38

g. Keadaan Kulit
Tidak satupun keadaan kulit yang dapat membuktikan adanya kehidupan
setelah bayi lahir, sebaliknya ada satu keadaan yang dapat memastikan bahwa bayi
tersebut tidak lahir hidup yaitu maceration, yang dapat terjadi bila bayi sudah mati
in utero beberapa hari (8-10 hari). Hal ini harus dibedakan dengan proses
pembusukan yaitu pada maserasi tidak terbentuk gas karena terjadi secara steril.
Kematian pada bayi dapat terjadi waktu dilahirkan, sebelum dilahirkan atau
setelah terpisah sama sekali dari ibu.8
Bukti kematian dalam kandungan7:
Ante partum rigor mortis yang sering menimbulkan kesulitan waktu melahirkan
Meceration, yaitu perlunakan janin dalam air ketuban dengan ciri-ciri:
o Warna merah kecoklatan (pada pembusukan warnanya hijau)
o Kutikula putih, sering membentuk bula berisi cairan kemerahan
o Tulang-tulang lentur dan lepas dari jaringan lunak
o Tidak ada gas, baunya khas
o Maserasi ini terjadi bila bayi sudah mati 8-10 hari dalam kandungan
5. Tanda Perawatan
Penentuan ada tidaknya tanda perawatan sangat penting artinya dalam
kasus pembunuhan anak, oleh karena dapat diduga apakah kasus yang dihadapi
memang benar kasus pembunuhan anak seperti dimaksud dalam undang-undang,
atau menjadi kasus lain yang ancaman hukumannya berbeda.2
Adapun anak yang baru dilahirkan dan belum mengalami perawatan dapat
diketahui dari tanda-tanda sebagai berikut2:
tubuh masih berlumuran darah
ari-ari (plasenta) masih melekat dengan tali pusat dan masih berhubungan

dengan pusat (umbilicus)


bila ari-ari tidak ada, maka ujung talli pusat tampak tidak beraturan, hal ini

dapat diketahui dengan meletakkan ujung tali pusat tersebut ke permukaan air
adanya lemak bayi (vernix caseosa), pada daerah dahi serta di daerah yang
mengandung lipatan-lipatan kulit, seperti daerah lipat ketiak, lipat paha dan

bagian belakang bokong.


6. Pemeriksaan Kasus Pembunuhan Anak Sendiri (Infanticide)

39

Pemeriksaan dilakukan terhadap pelaku/tertuduh (ibu kandung yang baru


melahirkan) dan korban (bayi yang baru dilahirkan).8
Pemeriksaan terhadap Ibu
a. Tanda telah melahirkan anak
Robekan baru pada alat kelamin
ostium uteri dapat dilewati ujung jari
keluar darah dari rahim
ukuran rahim saat post partum setinggi pusat,
6-7 hari post partum setinggi tulang kemaluan
payudara mengeluarkan air susu
hiperpigmentasi aerola mamma
striae gravidarum dari warna merah menjadi putih
b. Berapa lama telah melahirkan

ukuran rahim kembali ke ukuran semula 2-3 minggu


getah nifas : 1-3 hari post partum berwarna merah
4-9 hari post partum berwarna putih
10-14 hari post partum getah nifas habis
robekan alat kelamin sembuh dalam 8-10 hari

c. Mencari tanda-tanda partus precipitates

robekan pada alat kelamin


inversio uteri (rahim terbalik) yaitu bagian dalam rahim menjadi keluar,

lebih-lebih bila tali pusat pendek


robekan tali pusat anak yang biasanya terdapat pada anak atau pada tempat
lekat tali pusat. Robekan ini harus tumpul dibuktikan dengan pemeriksaan

histopatologis
luka pada kepala bayi menyebabkan perdarahan di bawah kulit kepala,

perdarahan di dalam tengkorak


d. Pemeriksaan golongan darah
e. Pemeriksaan histopatologi yaitu sisa plasenta dalam darah yang berasa dari
rahim
Pemeriksaan terhadap Korban8
1. Viabilitas
Syaratnya yaitu:
Umur 28 minggu dalam kandungan

40

Panjang badan 35 cm
Berat badan 2500 gram
Tidak ada cacat bawaan yang berat
Lingkaran frontoocipital 32 cm
2. Penentuan umur bayi
berdasarkan panjang badan (rumus Haase)
berdasarkan ciri-ciri pertumbuhan
berdasarkan inti penulangan
o Calcaneus = 5-6 bulan
o Talus = 7 bulan
o Femur = 8-9 bulan
o Tibia = 9-10 bulan
3. Pernah atau tidak pernah bernapas. Hal ini dibuktikan dengan percobaan apung
paru. Hasil percobaan apung paru yang menyimpulkan belum pernah bernapas,
belum dapat menyingkirkan kemungkinan tindakan pembunuhan anak, karena
ada keadaan dimana bayi lahir hidup tetapi belum/tidak sempat bernapas dan
dibunuh ibunya pada saat itu (bernapas hanya salah satu bukti/tanda kehidupan)
4. Berapa lama bayi hidup8
Lamanya bayi hidup (bila hidup lebih dari 24 jam) dapat dilihat pada: perubahan
tali pusat, perubahan pada pembuluh darah. Kalau bayi hidup kurang dari 24 jam,
hal ini tidak dapat ditentukan dengan pasti. Penutupan duktus arteriosus dan
foramen ovale tidak dapat dipakai sebagai pegangan, karena waktu penutupannya
bervariasi (tidak tepat).
5. Sebab kematian8
a. Kelalaian
Pada peristiwa kelahiran sering dijumpai kelalaian, baik itu disengaja atau
tidak disengaja.
Inhalasi cairan ketuban/darah atau terbenam di dalam WC mati akibat

asfiksia
Terjerat tali pusat, mati akibat asfiksia. Jeratan tali pusat yang
dilakukan setelah bayi mati dapat dibedakan dengan jeratan tali pusat
intrauterine yaitu bayi yang mati intrauterine menunjukkan paru yang
belum pernah bernapas.

41

Perdarahan dari tali pusat, karena setelah bayi lahir, tali pusat tidak

diikat dengan baik.


Suffocation, misalnya terjadi kelahiran dibawah selimut
Lalai membuat hangat (tidak dapat dibuktikan post mortem) atau tidak
memberi ASI. Sehingga kematian bayi secara pasif (kedinginan dan

starvasi)
b. Kekerasan
Kekerasan dalam uterus
o Dinding perut tertumbuk sesuatu (jatuh/ditendang)
o Pemasukkan alat ke vagina
Kekerasan selama proses kelahiran
o Kemungkinan terjadi trauma kelahiran yang wajar harus
dipikirkan sebelum menduga adanya tindak kekerasan
o Retak tulang tengkorak karena trauma kelahiran (biasanya pada
os temporal) pada umumnya hanya sedikit dan tidak disertai
luka lecet
o kekerasan pada kepala yang disengaja menimbulkan retak yang
besar, ada luka lecet, mungkin ditemukan kontusio/laserasi
cerebri
Kekerasan yang terjadi setelah kelahiran lengkap
o Kekerasan benda tumpul
o Suffocation dan gagging
o Jeratan atau cekikan
o Luka iris atau luka tusuk
o Tenggelam
6. Periksa golongan darah
7. Tanda-tanda perawatan

42

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Kejahatan asusila adalah perbuatan atau tingkah laku yang menyimpang dari
norma-norma atau kaidah kesopanan.
2. Tindak pidana kesopanan merupakan salah satu hal dari sekian kejahatan dalam
KUHP.
3. Yang termasuk dalam kelompok kejahatan kesusilaan meliputi perbuatanperbuatan: yang berhubungan dengan minuman, yang berhubungan dengan
kesusilaan di muka umum dan yang berhubungan dengan benda- benda dan
sebagainya yang melanggar kesusilaan atau bersifat porno, zina dan sebagainya
yang berhubungan dengan perbuatan cabul dan hubungan seksual, perdagangan
wanita dan anak laki-laki di bawah umur, yang berhubungan dengan pengobatan
untuk menggugurkan kandungan, memabukkan, menyerahkan anak untuk
pengemisan dan sebagainya, penganiayaan hewan, perjudian.
4. Kejahatan seksual (sexual offences), sebagai salah satu bentuk kejahatan yang
menyangkut tubuh, kesehatan dan nyawa manusia.
5. Perkosaan adalah melakukan hubungan seksual dengan seorang perempuan
diluar keinginannya dan persetujuan wanita tersebut, baik keinginannya dilawan
dengan kekuatan atau rasa takut akibat ancama kekuatan, maupun oleh obat atau
racun, atau karena gangguan jiwa, ia tidak mampu melakukan penilaian yang
rasional, atau ketika dibawah usia dewasa.
6. Pencabulan adalah semua perbuatan yang dilakukan untuk mendapatkan
kenikmatan seksual sekaligus mengganggu kehormatan kesusilaan. Perbuatan
cabul di dalam KUHP yaitu segala perbuatan yang melanggar kesusilaan
( kesopanan ) atau perbuatan yang keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu
birahi kelamin.
7. Ujmcm

43

8. Aspek hukum yang mengatur tentang kejahatan seksual yaitu pasal 284, 285,
286,287 KUHP.
9. Pengguguran kandungan menurutr hukum ialah tindakan menghentikan
kehamilan atau mematikan janin sebelum waktu kelahiran, tanpa melihat usia
kandungannya dan tidak dipersoalkan, apakah dengan pengguguran tersebut lahir
bayi mati atau hidup.
10. Abortus provokatus kriminalis sajalah yang termasuk ke dalam lingkup
pengguguran kandungan menurut hukum.
11. Dalam KUHP terdapat pasal-pasal yang berkaitan dengan abortus, yaitu pasal
346, 347, 348, 349, dan pasal 299 KUHP
12. Menurut undang-undang di Indonesia pembunuhan anak sendiri adalah
pembunuhan oleh seorang ibu atsa anaknya pada ketika dilahirkan atau tidak
berapa lama stelah dilahirkan, karena takut ketahuan bahwa ia melahirkan anak.
13. Dalam KUHP, pembunuhan anak sendiri tercantum dalam pasal 341, 342, 343
KUHP

DAFTAR PUSTAKA

44

1. Arief, Barda Nawawi. Kebijakan Penanggulangan Cyber Crime Cyber Sex,


Makalah Seminar : Kejahatan Kesusilaan Melalui Cyber Crime Dalam
Perspektif Agama, Hukum, dan Perlindungan Korban, F.H. UNSWAGATI, C.
2005.
2. Idries AM. Pedoman ilmu kedokteran forensik.Edisi pertama. Jakarta: Binarupa
aksara.2004
3. Meilia, PDI. Prinsip Pemeriksaan dan Penatalaksanan KOrban Kekerasan
Seksual.

[cited

29

September

2014]

available

at

http://www.kalbemed.com/Portals/6/07_196Prinsip%20Pemeriksaan%20dan
%20Penatalaksanaan%20Korban%20Kekerasan%20Seksual.pdf. 2012
4. Dahlan, Sofwan. Ilmu Kedokteran Forensik. Badan Penerbit Universitas
Diponegoro. Semarang. 2003.
5. Sadock BJ dan Sadock VA. Buku Ajar Psikiatri Klinis. Jakarta : EGC. 2010.
6. Puri, B.K., Laking, P.J., dan Treasaden, I.H. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta : EGC.
2010.
7. Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta :
Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1997.
8. Apuranto, H. dan Hoediyanto. Buku Ajar Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal. Surabaya: Bagian Ilmu Kedokteran Forensik & Medikolegal
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. 2007.

Anda mungkin juga menyukai