PENDAHULUAN
1
tetap menyerupai keadaan sewaktu hidup diperlukan proses embalming. Proses embalming yang
dilakukan disesuaikan dengan kebutuhan atau kewajiban keluarga terhadap jenazah, seperti tetap
mempertahankan kesegaran jenazah, jenazah tidak berbau busuk, lentur dan tidak kaku. 4 Untuk
memenuhi kebutuhan tesebut diperlukan suatu proses embalming dengan metode tertentu yang
menghilangkan hal-hal yang tidak diinginkan dan memberikan keadaan jenazah yang
menyerupai keadaannya sewaktu hidup, metode tersebut dapat diperoleh dari embalming
modern, untuk itu perlu dipahami tentang embalming modern.4,5
Alasan seseorang juga melakukan embalming adalah untuk menjaga keutuhan jasad
mayat secara sementara dan mencegah terjadinya pembusukan sehingga membuat jasad tersebut
dapat terlihat secara utuh seperti sewaktu hidup pada acara proses pemakaman jenazah tersebut.
Embalming juga dilakukan demi keperluan studi anatomi dan penelitian.5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Gambar 1 : Urutan munculnya tanda kematian pasti pada suhu ruangan, dengan catatan
suhu tubuh tidak menurun dalam satu jam pertama.6
II.2. Autolisis
Penghancuran jaringan adalah hasil dari proses enzim endogenous yang dikenal sebagai
proses autolisis. Autolisis adalah pelunakan dan pencairan jaringan yang terjadi dalam keadaan
steril. Autolisis timbul akibat kerja digestif oleh enzim yang dilepaskan sel postmortem dan
hanya dapat dicegah dengan pembekuan jaringan. 1,2
Pada autolisis terjadi pelepasan enzim yang berasal dari pankreas dan asam lambung
yang berasal dari lambung. Pankreas menghasilkan banyak enzim pencernaan diantaranya adalah
amilase, lipase, dan tripsinogen. Pada kematian, enzim ini dilepaskan oleh sel eksokrin dari
pancreas dan enzim ini akan menyebabkan pankreas mencerna dirinya sendiri (terjadi
autodigesti). 1,6
Lambung terdiri dari banyak sel yang menghasilkan enzim dan asam hidroklorida yang
berperan penting dalam pencernaan. Ketika meninggal, pepsinogen dan asam hidroklorida
dilepaskan dari sel lambung dan memberikan autodigesti dari mukosa lambung itu sendiri
(gastromalasia). Jika hal ini berlangsung terus menerus, maka akan menyebabkan perforasi dari
lambung. Proses yang sama juga terjadi pada esophagus akibat dari relaksasi sphincter
esophagus sehingga cairan dari lambung masuk ke esophagus (esofagomalasia). Akibat
gastromalasia dan esofagomalasia, akan menyebabkan perembesan isi cairan lambung ke cavum
abdomen sehingga menyebabkan penghancuran struktur organ sekitar.2,7
Ketika sel tubuh mencapai fase akhir dari proses autolisis, suasana lingkungan sekitar
menjadi anaerobik . Pada saat ini, bakteri normal pada tubuh akan mulai berkembang dan
mengancurkan jaringan tubuh dengan memproduksi asam, gas dan bahan-bahan organic (fase
putrefactive). 2,7,8
Salah satu tanda dari autolisis yang dapat dilihat dari luar tubuh adalah skin slippage.
Selama proses autolisis, pertautan antara epidermis dan dermis melemah akbat adanya aktivitas
enzim hidrolitik. Skin slippage mencakup lapisan pigmen dan sudah mulai tampak dalam
beberapa jam setelah kematian apabila mayat berada dalam lingkungan hangat. Skin slippage
tidak terjadi secara spontan dan diperlukan penekanan. Oleh karena itu, akan sangat membantu
apabila dilakukan pemijatan pada lapisan superfisial pada mayat. Skin slippage dapat dibedakan
dari abrasi kulit melalui dermis yang berwarna kuning-oranye. Abrasi biasanya akan berwarna
merah hingga merah kehitaman. Skin slippage dapat mencakup seluruh tangan atau kaki
sehingga akan tampak deskuamasi seperti sarung tangan atau kaos kaki. Hal ini banyak terjadi
pada mayat yang ditemukan tenggelam di air. 2,9,10
Gambar 2: Skin Slippage pada daerah plantar pedis, Skin slippage diasosiasikan dengan
dekomposisi tahap awal. Fenomena ini terjadi akibat melemahnya pertautan antara epidermis
dengan dermis.11
Gambar 3: Gambaran abrasi kulit dengan dermis yang berwarna kuning-oranye harus
dapat dibedakan dengan Skin Slippage.7
Gambar 4: Gambaran Skin slippage pada mayat yang ditemukan tenggelam mencakup
seluruh kaki sehingga akan tampak deskuamasi seperti sarung tangan atau kaos kaki.7
II.3. Dekomposisi Putrefactive
Dekomposisi putrefactive adalah proses penghancuran jaringan lunak yang disebabkan
oleh aktivitas mikroorganisme (bakteri, fungi dan protozoa). Bakteri merupakan mikroorganisme
yang paling berperan dalam putrefactive terutama jenis bakteri anaerobik yang memproduksi
spora, bakteri yang berbentuk coliform, mikrokokus, dan golongan proteus. Salah satu spesies
yang paling sering dikaitkan dalam proses putrefactive adalah klostridium welchii. 1,2,6
Setelah seseorang meninggal, bakteri yang normal hidup dalam tubuh segera masuk ke
jaringan. Darah merupakan media terbaik bagi bakteri tersebut untuk bertumbuh. Sebagian besar
bakteri berasal dari usus dan traktus respiratorius. Peningkatan kadar organisme anaerobik
disebabkan karena penurunan kadar oksigen yang disertai peningkatan kadar ion hidrogen dalam
jaringan. Akibat aktivitas bakteri terbentuk berbagai produk diantaranya hidrogen sulfida (H 2S),
karbon dioksida, methana, amonia, sulfur oksida, dan hidrogen, HCN, asam amino, dan asam
lemak. 1,6,9
Tanda awal dari proses putrefactive yang terjadi adalah munculnya pewarnaan kehijauan
pada kulit yang sering ditemukan pada kuadran bawah abdomen, lebih sering pada fossa iliaka
kanan karena isinya lebih cair, lebih banyak mengandung bakteri dan letaknya yang lebih
superfisial. Pewarnaan kehijauan mulai terlihat di kuadran bawah abdomen kira-kira 24 jam post
mortem dan memenuhi seluruh abdomen setelah 48 jam post mortem. Pewarnaan kehijauan
kemudian menyebar ke daerah dada, bahu, leher lalu wajah.1,6,9
II.4. Pengertian Embalming
Embalming (pengawetan jenazah) adalah suatu proses dimana dilakukan pemberian
bermacam-macam bahan kimia tertentu pada interior dan eksterior jaringan orang mati
(menghambat dekomposisi jaringan) dan membuat serta menjaganya tetap mirip dengan kondisi
sewaktu hidup sesuai dengan waktu yang diperlukan.3 dengan kata lain embalming adalah
proses kimiawi yang melindungi jasad atau tubuh secara sementara.12
Orang yang melakukan tindakan embalming disebut embalmer. Embalmer adalah
seorang individu yang memenuhi syarat untuk disinfeksi atau memelihara jenazah dengan
suntikan atau aplikasi eksternal antiseptik, desinfektan atau cairan pengawet, mempersiapkan
jenazah untuk transportasi dalam kasus dimana kematian disebabkan oleh penyakit menular atau
infeksi.13
B. Cavity embalming
Hisap cairan rongga tubuh mayat dan injeksi bahan kimia ke dalam rongga tubuh,
menggunakan aspirator dan trocar. Embalmer membuat sayatan kecil tepat di atas pusar dan
mendorong trocar di rongga dada dan perut untuk menusuk organ berongga dan aspirasi
cairannya. Kemudian rongga tubuh diisi dengan bahan kimia yang mengandung formaldehid
terkonsentrasi.5
C. Hypodermic embalming
Hypodermic embalming merupakan metode tambahan dimana injeksi bahan kimia
pengawet ke dalam jaringan dengan menggunakan jarum dan suntik hipodermik yang biasanya
digunakan pada kasus dimana area yang tidak memiliki aliran arterial yang baik setelah
dilakukan injeksi arteri.5
D. Surface embalming
Surface embalming merupakan metode tambahan yang menggunakan bahan kimia
pengawet untuk mengawetkan area langsung pada permukaan kulit dan area superfisial lainnya
dan juga area yang rusak, seperti pada kecelakaan lalu lintas, penbusukan, pertumbuhan kanker,
atau donor kulit.5
III.1. Simpulan
Embalming adalah proses pengawetan mayat untuk mempertahankan penampilan mayat
dalam waktu yang singkat, tetap dalam kondisi yang baik untuk jangka waktu lama. Teknik
embalming modern adalah hasil dari akumulasi berabad-abad penelitian, penemuan, trial and
error. Metode embalming modern terdiri dari arterial embalming, cavity embalming, hypodermic
embalming, dan surface embalming. Bahan kimia yang dapat digunakan dalam proses
embalming, antara lain formaldehid, etil alkohol dan polietilen glikol (kryofix), dan
glutaraldehid.
Pada prinsipnya embalming hanya boleh dilakukan oleh dokter pada mayat yang
meninggal secara wajar (natural death), sedangkan pada mayat yang meninggal tidak wajar
(akibat pembunuhan, bunuh diri, serta kecelakaan) embalming baru boleh dilakukan setelah
proses pemeriksaan forensik selesai dilakukan.
III.2. Saran
Di Indonesia, sampai saat ini tidak ada institusi pendidikan yang khusus mendidik
seseorang untuk menjadi embalmer. Dalam pendidikan S2, spesialisasi kedokteran forensik
adalah satu-satunya program pendidikan yang mencantumkan pelajaran mengenai embalming
dalam kurikulumnya. Atas dasar itulah, maka dalam konteks hukum di Indonesia, embalming
sebaiknya dilakukan oleh orang yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu, yaitu
dokter spesialis forensik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Shkrum MJ, Ramsay DA. Forensic Pathology of Trauma Common Problems for the
Pathologist. USA: Humana Press. 2007;p40-53
2. Dix J, Graham M. Causes of Death Atlas Series Time of Death, Decomposition, and
Identification An Atlas. USA: CRC Press. 2000
3. Rivers RL. Embalming Artifacts. J Forensic Sci, 1978;23:531-5.
4. Atmadja SD. Tatacara dan Pelayanan Pemeriksaan Serta Pengawetan Jenazah Pada
Kematian Wajar. Cited On 2012. Available from: http://tatacaraembalming.blogspot.com/
5. Bajracharya S, Magar A. Embalming: An art of preserving human body. Kathmandu
University Medical Journal, 2006;4(16):554-7.
6. Shepherd R. Chapter 6: Changes after Death. In: Simpson’s Forensic Medicine Twelfth
Edition. London: 2003;p44-7
7. Dolinak D, Matshes EW, Lew EO. Forensic Pathology Principles and Practice. USA:
Elsevier. 2005; p534-43
8. DiMaio D, DiMaio VJ.M. Chapter 2: Time of Death. In: Forensic Pathology. USA: CRC
Press,Inc. 1993
9. Atmadja DS. Ilmu Kedokteran Forensik Edisi Pertama . Jakarta: Bagian Kedokteran
Forensik FKUI. 1997
10. Vass AA, Barshick SA, Sega G, Caton J, Skeen JT, Love JC, Synstelien JA.
Decomposition Chemistry of Human Remains : A New Methodology for Determining the
Postmortem Interval. J Forensic Sci 2002;47(3):542–553
11. Marks MK, Tersigni MA. Decomposition, Patterns and Rates. In: Encyclopedia Of
Forensic And Legal Medicine Book 2, First Edition. USA: Academic Press. 2005; p148-52
12. Embalming Process. Cited On 2012. Available from: http:// www.amsocembalmers.org
13. Australian Funeral Direction Association. So You Want To Be Embalmers. Cited On 2012.
Available from: http:// www.afda.org.au.
14. Bedino HJ. Embalming Chemistry: Glutaraldehyde versus Formaldehyde. Champion:
Expanding Encyclopedia Of Mortuary Practices, 2003;649:2614-32.
15. Scott TJ. What is Embalming. Cited On 2012. Available from:
http://www.tjscottandson.com.au/files/6embalming.pdf.
16. Atmadja DS. Pengawetan jenazah dan aspek medikolegal. Cited On 2012. Available from:
http://isjd.pdii.lipi.go.id/index.php.
17. Kitab Undang-undang Hukum Pidana Buku Kedua. Cited On 2012. Available from:
http://id.wikisource.org/wiki/Kitab_Undang-Undang_Hukum_Pidana/Buku_Kedua.
18. Erman. Perbuatan Melawan Hukum. Cited On 2012. Available from:
http://www.ermanhukum.com.