Anda di halaman 1dari 28

REFERAT

PERAN DOKTER UMUM TERHADAP KEJAHATAN SUSILA

Disusun Oleh :
Ardhika Daniswara 1102017036
Callista Adine Limarta 1102017054
Khafifah Puja Atmalia 1102017124
Nina Namira Putri A 1102017169
Rika Alivia Agustin 1102017196

Dibimbing Oleh :
dr. Farah P. Kaurow, Sp.FM

PEMBELAJARAN JARAK JAUH

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN FORENSIK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

PERIODE 4 Oktober – 15 Oktober 2021


DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Diagram tubuh manusia untuk pencatatan luka…………………………

Gambar 2 Beragam jenis selaput dara……………………………………………….

i
BAB 1
PENDAHULUAN

Di Indonesia kasus kekerasan seksual setiap tahun mengalami peningkatan,


korbannya bukan hanya dari kalangan dewasa saja sekarang sudah merambah ke remaja,
anak- anak bahkan balita. Fenomena kekerasan seksual terhadap anak semakin sering
terjadi dan menjadi global hampir di berbagai negara. Kasus kekerasan seksual terhadap
anak terus meningkat dari waktu ke waktu. Peningkatan tersebut tidak hanya dari segi
kuantitas atau jumlah kasus yang terjadi, bahkan juga dari kualitas. Dan yang lebih tragis
lagi pelakunya adalah kebanyakan dari lingkungan keluarga atau lingkungan sekitar anak
itu berada, antara lain di dalam rumahnya sendiri, sekolah, lembaga pendidikan, dan
lingkungan sosial anak¹¹

Berdasarkan data 2016, 93% kasus pemerkosaan tidak pernah melaporkan ke


aparat hukum. hanya 1% yang memilih melalui aparat hukum¹². Berdasarkan Catatan
Tahun Komnas Perempuan 2012-2015, kasus kekerasan seksual mengalami peningkatan
dari 8.315 kasus yang dilaporkan menjadi 11.207 kasus. Kekerasan seksual adalah salah
satu bentuk pelanggaran HAM, sehingga sangat penting bagi seorang dokter untuk
mengidentifikasi korban dan pelaku sebaik mungkin untuk menurunkan angka kekerasan
seksual di Indonesia.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kejahatan Susila
A. Definisi
Kejahatan seksual adalah setiap perbuatan yang dilakukan oleh seseorang
terhadap orang lain yang menimbulkan kepuasan seksual bagi dirinya dan
mengganggu kehormatan orang lain.3 Kejahatan seksual adalah sebuah bentuk
pelanggaran atas kesusilaan yang bukan saja menjadi masalah hukum nasional suatu
negara melainkan sudah menjadi masalah hukum semua negara di dunia atau masalah
global.4 Upaya pembuktian secara kedokteran forensik pada setiap kasus kejahatan
seksual sebenarnya terbatas di dalam upaya pembuktian ada tidaknya tanda-tanda
persetubuhan, ada tidaknya tanda-tanda kekerasan, perkiraan umur serta pembuktian
apakah seseorang itu memang sudah pantas atau sudah mampu untuk dikawini atau
tidak.5,6
B. Jenis-jenis kejahatan kesusilaan dalam KUHP
Kejahatan di bidang kesusilaan adalah kejahatan mengenai hal yang
berhubungan dengan masalah seksual. Di dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP) diatur dalam Bab XVI Buku II dengan titel ”Kejahatan Terhadap
Kesusilaan”.10
a. kejahatan dengan melanggar kesusilaan umum (Pasal 281);
b. kejahatan pornografi (Pasal 282);
c. kejahatan pornografi terhadap orang yang belum dewasa (Pasal 283);
d. kejahatan pornografi dalam menjalankan pencahariannya (Pasal 283 bis);
e. kejahatan perzinahan (Pasal 284);
f. kejahatan perkosaan untuk bersetubuh (Pasal 285);
g. kejahatan bersetubuh dengan perempuan di luar kawin yang dalam keadaan pingsan
atau tidak berdaya (Pasal 286);
h. kejahatan bersetubuh dengan perempuan di luar kawin yang umurnya belum 15
tahun (Pasal 287);
i. kejahatan bersetubuh dengan perempuan dalam perkawinan yang belum waktunya
dikawin dan menimbulkan akibat luka-luka (pasal 288);
j. kejahatan perkosaan berbuat cabul atau perbuatan yang menyerang kehormatan
kesusilaan (pasal 289);

2
k. kejahatan perbuatan cabul pada orang yang pingsan, pada orang yang umurnya
belum 15 tahun atau belum waktunya dikawin (Pasal 290);
l. kejahatan perbuatan cabul sesama kelamin, pada orang yang belum dewasa (Pasal
292);
m. kejahatan menggerakkan orang untuk berbuat cabul dengan orang yang belum
dewasa (pasal 293);
n. kejahatan berbuat cabul dengan anaknya, anak dibawah pengawasannya dan lain-
lain yang belum dewaasa (Pasal 294);
o. kejahatan pemudahan berbuat cabul bagi anaknya, anak tirinya dan lain-lain yang
belum dewasa (pasal 295);
p. kejahatan pemudahan berbuat cabul sebagai mata pencaharian atau kebiasaan
(pasal 296);
q. kejahatan memperdagangkan wanita dan anak laki-laki yang belum dewasa (Pasal
297);
r. kejahatan mengobati wanita dengan menimbulkan harapan bahwa hamilnya dapat
digugurkan (Pasal 299).

C. Pembuktian kasus perkosaan


Tidak sulit untuk membuktikan adanya kekerasan pada tubuh wanita yang
menjadi korban. Dalam hal ini perlu diketahui lokasi luka-luka yang sering
ditemukan, yaitu di daerah mulut dan bibir, leher, puting susu, pergelangan tangan,
pangkal paha serta di sekitar dan pada alat genital. Luka-luka akibat kekerasan
seksual biasanya berbentuk luka lecet bekas kuku, gigitan (bite marks) serta luka-luka
memar.
Sepatutnya diingat bahwa tidak semua kekerasan meninggalkan bekas atau
jejak berbentuk luka. Dengan demikian, tidak ditemukannya luka tidak berarti bahwa
pada wanita korban tidak terjadi kekerasan itulah alasan mengapa dokter harus
menggunakan kalimat tanda-tanda kekerasan di dalam setiap Visum et Repertum yang
dibuat, oleh karena tidak ditemukannya tanda-tanda kekerasan mencakup dua
pengertian: pertama, memang tidak ada kekerasan, dan yang kedua kekerasan terjadi
namun tidak meninggalkan bekas (luka) atau bekas tersebut sudah hilang.
Tindakan pembiusan serta tindakan lainnya yang menyebabkan korban tidak
berdaya merupakan salah satu bentuk kekerasan. Dalam hal ini perlu dilakukan
pemeriksaan untuk menentukan adanya racun atau obat-obatan yang kiranya dapat

3
membuat wanita tersebut pingsan; hal tersebut menimbulkan konsekuensi bahwa pada
setiap kasus kejahatan seksual, pemeriksaan toksikologik menjadi prosedur yang rutin
dikerjakan.10
Dalam sistem peradilan yang dianut negara kita, seorang hakim tidak dapat
menjatuhkan hukuman kepada seseorang terdakwa kecuali dengan sekurangnya dua
alat bukti yang sah ia merasa yakin bahwa tindak pidana itu memang telah terjadi
(pasal 183 KUHAP). Sedang yang dimaksud dengan alat bukti yang sah adalah
keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa (pasal 184
KUHAP).10 Berdasarkan hal tersebut di atas, maka pada suatu kasus perkosaan dan
kejahatan seksual lainnya perlu diperjelas keterkaitan antara:
1. Bukti-bukti yang ditemukan di tempat kejadian perkara
2. Pada tubuh atau pakaian korban
3. Pada tubuh atau pakaian pelaku
4. Pada alat yang digunakan pada kejahatan ini (yaitu penis)
2.2 Pemeriksaan Tersangka Pelaku dan Korban Kasus Kejahatan Susila

A. Persiapan di Tempat Kejadian Perkara

Tindakan pada kasus/disangka kasus perkosaan atau perzinahan: 13

1. Perhatikan apakah korban memerlukan pertolongan pertama akibat kekerasan yang


dideritanya. Perhatikan juga apakah korban telah cukup umur atau belum selanjutnya
lihat skema persetubuhan;

2. Perhatikan apakah pada tubuh korban terdapat tanda-tanda kekerasan


3. Amankan tempat kejadian dan barang bukti
4. Kumpulkan barang bukti sebaik- baiknya seperti noda darah, bercak pada kain,
celana, sprei, dan lain-lain
5. Perhatikan sikap korban, apakah takut, gelisah, malu atau tenang-tenang saja.
6. Perhatikan caranya berpakaian dan berhias, adalah berlebihan atau mengandung
gairah
7. Kirimkan korban/tersangka korban ke rumah sakit pemerintah dengan formulir visum
et repertum model IV tanpa diperkenankan membersihkan badan dahulu. Korban
diantar oleh petugas polisi
8. Jelaskan kepada ahli kebidanan/dokter yang bertugas tentang maksud pemeriksaan
ini.

4
9. Bila dipandang perlu maka korban dapat diisolasi dengan pengawasan ketat dan tidak
boleh ditemui seorang pun atau berhubungan dengan tamu/keluarga.

B. Pengumpulan Alat Bukti di Tempat Kejadian Perkara

Untuk kepentingan penyidikan, alat bukti sangat penting. Pengumpulan alat bukti
dilakukan di tempat kejadian perkara, selanjutnya alat bukti tersebut dikirim ke
laboratorium forensik untuk dianalisis. Barang bukti/material kimia, biologik dan fisik
yang ditemukan ditempat kejadian perkara dapat berupa: 13

1. Material kimia: alkohol, obat-obatan, atau bahan kimia lain yang ditemukan di
tempat kejadian perkara

2. Material fisik: serat pakaian, selimut, kain penyekap korban dll.


3. Materi biologik : cairan tubuh, air liur, semen/sperma, darah, rambut, dll

C. Persiapan Sebelum Pemeriksaan Korban

Sebelum korban dikirim ke rumah sakit/fasilitas kesehatan untuk dilakukan


pemeriksaan dokter, perlu dijelaskan dengan hati-hati proses pemeriksaan forensik
dengan memaparkan langkah- langkah penyelidikan. 13 Sebelum pemeriksaan forensik
syarat yang harus dipenuhi adalah: 13

1. Harus ada permintaan tertulis untuk pemeriksaan kasus kekerasan seksual dari
penyidik atau yang berwenang.
2. Korban datang dengan didampingi polisi/penyidik.
3. Memperoleh persetujuan (inform consent) dari korban.
4. Pemeriksaan dilakukan sedini mungkin untuk mencegah hilangnya alat bukti
yang penting bagi pengadilan.

D. Pemeriksaan Korban dan Pelaku Kekerasan Seksual

Pemeriksaan Korban
a. Pemeriksaan Tubuh
Pemeriksaan dilakukan pada selaput dara, apakah ada ruptur atau tidak. Bila
ada, tentukan ruptur baru atau lama dan catat lokasi ruptur tersebut, teliti apakah
sampai ke insertio atau tidak. Tentukan besar orifisium, sebesar ujung jari kelingking,
jari telunjuk, atau dua jari. Sebagai gantinya dapat juga ditentukan ukuran lingkaran

5
orifisium, dengan cara ujung kelingking atau telunjuk dimasukkan dengan hati-hati ke
dalam orifisium sampai terasa tepi selaput dara menjepit ujung jari, beri tanda pada
sarung tangan dan lingkaran pada titik itu diukur. Ukuran pada seorang perawan kira-
kira 2,5 cm. Lingkaran yang memungkinkan persetubuhan dapat terjadi menurut
Voight adalah minimal 9 cm.
Harus diingat bahwa tidak terdapatnya robekan pada selaput dara, tidak dapat
dipastikan bahwa pada wanita tidak terjadi penetrasi; sebaliknya adanya robekan pada
selaput dara hanya merupakan pertanda adanya suatu benda (penis atau benda lain
yang masuk ke dalam vagina.
Apabila pada persetubuhan tersebut disertai dengan ejakulasi dan ejakulat
tersebut mengandung sperma, maka adanya sperma di dalam liang vagina merupakan
tanda pasti adanya persetubuhan. Apabila ejakulat tidak mengandung sperma, maka
pembuktian adanya persetubuhan dapat diketahui dengan melakukan pemeriksaan
terhadap ejakulat tersebut.
Komponen yang terdapat di dalam ejakulat dan dapat diperiksa adalah: enzim
asam fosfatase, kolin dan spermin. Baik enzim asam fosfatase, kolin maapun spermin
bila dibandingkan dengan sperma nilai pembuktiannya lebih rendah oleh karena
ketiga komponen tersebut tidak spesifik. Walaupun demikian enzim fosfatase masih
dapat diandalkan, karena kadar asam fosfatase yang terdapat dalam vagina (berasal
dari wanita itu sendiri), kadarnya jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan asam
fosfatase yang berasal dari kelenjar fosfat.
Dengan demikian apabila pada kejahatan seksual yang disertai dengan
persetubuhan itu tidak sampai berakhir dengan ejakulasi, dengan sendirinya
pembuktian adanya persetubuhan secara kedokteran forensik tidak mungkin dapat
dilakukan secara pasti. Sebagai konsekuensinya, dokter tidak dapat secara pasti pula
menentukan bahwa pada seorang wanita tidak terjadi persetubuhan; maksimal dokter
harus mengatakan bahwa pada diri wanita yang diperiksanya itu tidak ditemukan
tanda-tanda persetubuhan, yang mencakup dua kemungkinan: pertama, memang tidak
ada persetubuhan dan yang kedua persetubuhan ada tapi tanda-tandanya tidak dapat
ditemukan.
Apabila persetubuhan telah dapat dibuktikan secara pasti maka perkiraan saat
terjadinya persetubuhan harus ditentukan; hal ini menyangkut masalah alibi yang
sangat penting di dalam proses penyidikan. Dalam waktu 4-5 jam postkoital sperma di
dalam liang vagina masih dapat bergerak; sperma masih dapat ditemukan namun tidak

6
bergerak sampai sekitar 24-36 jam postkoital, dan masih dapat ditemukan sampai 7-8
hari bila wanita yang menjadi korban meninggal. Perkiraan saat terjadinya
persetubuhan juga dapat ditentukan dari proses penyembuhan selaput dara yang
robek. Pada umumnya penyembuhan tersebut dicapai dalam waktu 7-10 hari
postkoital.10
b. Pemeriksaan Pakaian
Dalam hal pembuktian adanya persetubuhan, pemeriksaan dapat dilakukan
pada pakaian korban untuk menentukan adanya bercak ejakulat. Dari bercak tersebut
dapat dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk memastikan bahwa bercak yang telah
ditemukan adalah air mani serta dapat menentukan adanya sperma.10
Pemeriksaan Pelaku
a. Pemeriksaan Tubuh
Untuk mengetahui apakah seorang pria baru melakukan persetubuhan, dapat
dilakukan pemeriksaan ada tidaknya sel epitel vagina pada glans penis. Perlu juga
dilakukan pemeriksaan sekret uretra untuk menentukan adanya penyakit kelamin.10
b. Pemeriksaan Pakaian
Pada pemeriksaan pakaian, catat adanya bercak semen, darah, dan sebagainya.
Bercak semen tidak mempunyai arti dalam pembuktian sehingga tidak perlu
ditentukan. Darah mempunyai nilai karena kemungkinan berasal dari darah
deflorasi. Di sini penentuan golongan darah penting untuk dilakukan. Trace
evidence pada pakaian yang dipakai ketika terjadi persetubuhan harus diperiksa.
Bila fasilitas untuk pemeriksaan tidak ada, kirim ke laboratorium forensik di
kepolisian atau bagian Ilmu Kedokteran Forensik, dibungkus, segel, serta dibuat
berita acara pembungkusan dan penyegelan.10

E. Wawancara/Anamnesis Korban Kekerasan Seksual


Wawancara dengan korban meliputi empat elemen: Wawancara teraupetik,
wawancara investigasi, wawancara medis dan wawancara medico-legal. Walaupun isi
dari masing - masing wawancara bisa saling tumpang tindih dan perbedaan
wawancara dalam beberapa hal dapat dilakukan oleh orang yang sama, dengan tujuan
dan fungsi masing-masing berbeda. Wawancara dapat dilakukan tersendiri, bersahabat
dan lingkungan yang mendukung. Penginterview akan membangun suatu hubungan
dengan korban dan mulai dengan pertanyaan umum yang tidak berhubungan dengan
kekerasan seksual yang dialami, seperti riwayat medis. Jika diperlukan dapat

7
digunakan penerjemah. Bahasa dan nama penerjemah yang digunakan dapat dicatat
dalam laporan. Pada kasus remaja, mereka diizinkan untuk didampingi oleh orang tua
bila mereka mau. Mereka juga diperlakukan dengan cara yang sama seperti orang
dewasa. 13
Pada korban kekerasan seksual, anamnesis harus dilakukan dengan bahasa
awam yang mudah dimengerti oleh korban. Gunakan bahasa dan istilah-istilah yang
sesuai tingkat pendidikan dan sosio-ekonomi korban, sekalipun mungkin terdengar
vulgar. Anamnesis dapat dibagi menjadi anamnesis umum dan khusus. Hal-hal yang
harus ditanyakan pada anamnesis umum mencakup, antara lain:10
- Umur atau tanggal lahir
- Status Pernikahan
- Riwayat paritas dan/atau abortus
- Riwayat haid (menarche, hari pertama haid terakhir, siklus haid)
- Riwayat koitus (sudah pernah atau belum, riwayat koitus sebelum dan/atau
setelah kejadian kekerasan seksual, dengan siapa, penggunaan kondom atau
alat kontrasepsi lainnya),
- Penggunaan obat-obatan (termasuk NAPZA),
- Riwayat penyakit (sekarang dan dahulu), serta
- Keluhan atau gejala yang dirasakan pada saat pemeriksaan.

Sedangkan anamnesis khusus mencakup keterangan yang terkait kejadian


kekerasan seksual yang dilaporkan dan dapat menuntun pemeriksaan fisik, seperti:
10

• What & How:


- jenis tindakan (pemerkosaan, persetubuhan, pencabulan, dan sebagainya),
- adanya kekerasan dan/atau ancaman kekerasan, serta jenisnya,
- adanya upaya perlawanan,
- apakah korban sadar atau tidak pada saat atau setelah kejadian,
- adanya pemberian minuman, makanan, atau obat oleh pelaku sebelum atau
setelah kejadian,
- adanya penetrasi dan sampai mana (parsial atau komplit),
- apakah ada nyeri di daerah kemaluan,
- apakah ada nyeri saat buang air kecil/besar,

8
- adanya perdarahan dari daerah kemaluan,
- adanya ejakulasi dan apakah terjadi di luar atau di dalam vagina,
- penggunaan kondom, dan
- tindakan yang dilakukan korban setelah kejadian, misalnya apakah korban
sudah buang air,
tindakan membasuh/douching, mandi, ganti baju, dan sebagainya.
• When:
- tanggal dan jam kejadian, bandingkan dengan tanggal dan jam melapor, dan
- apakah tindakan tersebut baru satu kali terjadi atau sudah berulang.
• Where:
- Tempat kejadian,
- Jenis tempat kejadian (untuk mencari kemungkinan trace evidence dari tempat
kejadian yang melekat pada tubuh dan/atau pakaian korban).
• Who:
- Aapakah pelaku dikenaloleh korban atau tidak,
- Jumlah pelaku
- Usia pelaku dan hubungan antara pelaku dengan korban

F. Pemeriksaan Fisik Korban Kekerasan Seksual


Pemeriksaan pasien dibagi dalam beberapa kategori yaitu; keadaan umum dan
tingkah laku pasien; keadaan tubuh secara keseluruhan, genitalia eksterna, vagina dan
serviks, dan anus serta rektum. Saat melakukan pemeriksaan fisik, gunakan prinsip
“head to toe”. Artinya, pemeriksaan fisik harus dilakukan secara sistematis dari ujung
kepala sampai ke ujung kaki. Pelaksanaan pemeriksaan fisik juga harus
memperhatikan keadaan umum korban. Apabila korban tidak sadar atau keadaan
umumnya buruk, maka pemeriksaan untuk pembuatan visum dapat ditunda dan dokter
fokus untuk ”life saving” terlebih dahulu. Selain itu, dalam melakukan pemeriksaan
fisik, perhatikan kesesuaian dengan keterangan korban yang didapat saat anamnesis.
Pemeriksaan fisik yang dilakukan dapat dibagi menjadi pemeriksaan umum dan
khusus.
Pemeriksaan fisik umum mencakup: 10
- Tingkat Kesadaran
- Keadaan umum
- Tanda vital

9
- Penampilan (rapih atau tidak, dandan, dan lain-lain)
- Afek (keadaan emosi, apakah tampak sedih, takut, dan sebagainya),
- Pakaian (apakah ada kotoran, robekan, atau kancing yang terlepas),
- Status generalis
- Tinggi badan dan berat badan
- Rambut (tercabut/rontok)
- Gigi dan mulut terutama pertumbuhan gigi molar kedua dan ketiga),
- Kuku (apakah ada kotoran atau darah di bawahnya, apakah ada kuku yang
tercabut atau patah)
- Tanda-tanda perkembangan seksual sekunder,
- Tanda-tanda intoksikasi NAPZA, serta
- Status lokalis dari luka-luka yang terdapat pada bagian tubuh selain daerah
kemaluan.
Untuk mempermudah pencatatan luka-luka, dapat digunakan diagram tubuh
seperti pada gambar berikut : 10

Gambar 3 Diagram tubuh manusia untuk pencatatan luka


Pemeriksaan fisik khusus bertujuan mencari bukti-bukti fisik yang terkait
dengan tindakan kekerasan seksual yang diakui korban dan mencakup pemeriksaan:

- Daerah pubis (kemaluan bagian luar), yaitu adanya perlukaan pada jaringan
lunak atau bercak cairan mani;

10
- Penyisiran rambut pubis (rambut kemaluan), yaitu apakah adanya rambut
pubis yang terlepas yang mungkin berasal dari pelaku, penggumpalan atau
perlengketan rambut pubis akibat cairan mani;

- Daerah vulva dan kulit sekitar vulva/paha bagian dalam (adanya perlukaan
pada jaringan lunak, bercak cairan mani);

- Labia mayora dan minora (bibir kemaluan besar dan kecil), apakah ada
perlukaan pada jaringan lunak atau bercak cairan mani;

- Vestibulum dan fourchette posterior (pertemuan bibir kemaluan bagian


bawah), apakah ada perlukaan;

- Hymen (selaput dara), catat bentuk, diameter ostium, elastisitas atau


ketebalan, adanya perlukaan seperti robekan, memar, lecet, atau hiperemi).
Apabila ditemukan robekan hymen, catat jumlah robekan, lokasi dan arah
robekan (sesuai arah pada jarum jam, dengan korban dalam posisi litotomi),
apakah robekan mencapai dasar (insersio) atau tidak, dan adanya perdarahan
atau tanda penyembuhan pada tepi robekan;

- Vagina (liang senggama), cari perlukaan dan adanya cairan atau lendir

- Serviks dan porsio (mulut leher rahim), cari tanda-tanda pernah melahirkan
dan adanya cairan atau lendir;

- Uterus (rahim), periksa apakah ada tanda kehamilan;

- Anus (lubang dubur) dan daerah perianal, apabila ada indikasi berdasarkan
anamnesis. Bila terjadi hubungan seksual secara anal kemungkinan akan
menyebabkan luka pada anal berupa robekan, iregularitas, keadaan fissura;

- Mulut, apabila ada indikasi berdasarkan anamnesis,

- Daerah-daerah erogen (leher, payudara, paha, dan lain-lain), untuk mencari


bercak mani atau air liur dari pelaku; serta

- Tanda-tanda kehamilan pada payudara dan perut.

Kesulitan utama yang umumnya dihadapi oleh dokter pemeriksa adalah


pemeriksaan selaput dara. Bentuk dan karakteristik selaput dara sangat bervariasi

11
(Gambar 2). Pada jenis-jenis selaput dara tertentu, adanya lipatan-lipatan dapat
menyerupai robekan. Karena itu, pemeriksaan selaput dara dilakukan dengan
traksi lateral dari labia minora secara perlahan, yang diikuti dengan penelusuran
tepi selaput dara dengan lidi kapas yang kecil untuk membedakan lipatan dengan
robekan. Pada penelusuran tersebut, umumnya lipatan akan menghilang,
sedangkan robekan tetap tampak dengan tepi yang tajam.

Gambar 4 Beragam jenis selaput dara


Penetrasi penis ke dalam vagina dapat mengakibatkan robekan selaput dara
atau bila dilakukan dengan kasar dapat merusak selaput lendir daerah vulva dan
vagina ataupun laserasi, terutama daerah posterior fourchette. Robekan selaput dara
akan bermakna jika masih baru, masih menunjukan adanya tanda kemerahan disekitar
robekan. Pada beberapa korban ada yang memiliki selaput dara yang elastis sehingga
tidak mudah robek. Pembuktian persetubuhan akan menghadapi kendala jika : korban
dengan selaput dara yang sebelumnya telah robek lama, korban diperiksa sudah lama,
korban yang memiliki selaput dara elastis, penetrasi yang tidak lengkap.10

Saat melakukan pemeriksaan fisik, dokumentasi yang baik sangat penting.


Selain melakukan pencatatan dalam rekam medis, perlu dilakukan pemotretan bukti-
bukti fisik yang ditemukan. Foto-foto dapat membantu dokter membuat visum et
repertum. Dengan pemotretan, korban juga tidak perlu diperiksa terlalu lama karena
foto-foto tersebut dapat membantu dokter mendeskripsi temuan secara detil setelah
pemeriksaan selesai. Menentukan ada tidaknya persetubuhan:10

12
Tanda Langsung
- Adanya robekan selaput dara

- Luka lecet atau memar di liang senggama

- Ditemukan sperma

Tanda Tidak Langsung

- Kehamilan

- Penyakit hubungan seksual

Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan: 13

a. Pemeriksaan darah
b. Pemeriksaan cairan mani (semen)
c. Tes kehamilan
d. Pemeriksaan lain seperti hepatitis, gonorrhea, HIV.
e. Pemeriksaan cairan tubuh, mani, liur, atau rambut yang dianggap pelaku.

G. Penilaian Dugaan Kekerasan Seksual

Berikut ini detail penilaian kekerasan seksual yang dapat menguatkan


terjadinya kekerasan seksual pada korban.

1. Trauma non genital (kekerasan, bukti menguatkan)


Trauma fisik adalah pembuktian terbaik adanya kekerasan dan harus
selalu didokumentasikan melalui foto, dideskripsikan melalui gambar dan
dalam bentuk laporan tertulis. Bukti trauma dapat juga menguatkan pernyataan
korban akan kejadian tersebut.

a. Pola trauma non genitalia

Peneliti forensik harus banyak mengetahui tentang pola trauma yang terjadi
karena kekerasan seksual, untuk dapat menanyakan pertanyaan yang tepat dan
lokasi trauma berdasarkan cerita korban. Tempat yang paling sering mengalami
trauma pada korban kekerasan seksual, termasuk:

• Memar pada tungkai atas dan paha

13
• Memar pada leher karena cekikan
• Memar pukulan pada lengan atas
• Memar karena postur bertahan pada sisi lengan luar

Juga yang sering adalah:


● Trauma menyerupai cambuk atau tali pada punggung korban
● Trauma pukulan atau gigitan pada payudara dan puting susu
● Trauma pukulan pada abdomen
● Trauma pukulan dan tendangan pada paha
● Memar, lecet, dan laserasi pada wajah.

b. Trauma non genital yang terpola

Istilah "trauma terpola" berbeda dari istilah yang sama, "pola trauma" yang
disebutkan diatas. Keduanya penting dalam istilah forensik, akan tetapi, "trauma
terpola" adalah trauma dari objek yang digunakan untuk menimbulkan trauma,
yang mudah diidentifikasi melalui pola yang ada pada korban. 13

2. Bukti trauma genital (kontak seksual, kekerasan)


Trauma genital menunjukkan adanya kontak seksual dan kekerasan. Trauma
genital paling banyak terlihat setelah kekerasan seksual. Akan tetapi, pada kasus
kekerasan seksual seringkali tidak ditemukan bukti trauma genital. Dengan demikian,
tidak adanya trauma genital tidak dapat diinterpretasikan bahwa hubungan seks yang
terjadi atas persetujuan. Dengan kata lain, peneliti forensik seringkali tidak
menemukan bukti trauma genital, dan alasan mengapa ini harus dijelaskan di
pengadilan.

a. Pola trauma genital

● posterior fourchette (70%)


● vagina (11%)
● labia minora (53%)
● perineum (11%)
● hymen (29%)
● area periuretral (9%)
● fossa navicularis (25%)

14
● labia majora (7%)
● anus (15%)
● rektum (4%)
● servix (13%)

b. Hubungan antara trauma non-genital dan trauma genital


● Korban trauma non-genital juga mengalami trauma genital.
● Pada studi lain dari 304 korban kekerasan seksual, 79% mereka dengan trauma
non-genital juga memperlihatkan bukti adanya trauma genital.

c. Bukti dari kolposkopi


Diduga bahwa pemeriksaan kolposkopi untuk memperjelas jaringan genital
adalah aset penting untuk identifikasi trauma genital.
d. Toluidine blue
Toluidine blue adalah nuclear stain yang biasa digunakan dalam pemeriksaan
kekerasan seksual untuk mendeteksi adanya mikrotrauma.
e. Deskripsi trauma genital
Trauma biasanya ditemukan dalam pemerkosaan yang disebabkan oleh tidak
adanya respon human, yaitu: 13
● Tidak adanya kemiringan pelvik untuk mempersiapkan penetrasi
● Tidak adanya bantuan pasangan dengan memasukkan penis atau objek lain.
● Tidak adanya lubrikasi
● Tidak adanya relaksasi
● Peningkatan kekuatan dari penetrasi
● Disfungsi seksual pria
● Tidak adanya komunikasi

H. Evaluasi, Penanganan dan Konseling Korban Perkosaan

● Evaluasi dan penanganan infeksi akibat transmisi seksual

● Evaluasi dan Pencegahan Resiko Kehamilan


● Konseling intervensi krisis dan follow up
● Penanganan korban pada pusat layanan primer
● Penanganan korban di rumah sakit provinsi/daerah

15
2.3. Peraturan Hukum Kejahatan Susila

Persetubuhan yang merupakan kejahatan seperti yang dimaksudkan oleh undang-


undang, dapat dilihat pada pasal-pasal yang tertera pada BAB XIV KUHP, yaitu bab
tentang kejahatan terhadap kesusilaan, yang meliputi baik persetubuhan di dalam
perkawinan maupun persetubuhan di luar perkawinan.1

● KUHP pasal 285

Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita
bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan
dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

● KUHP pasal 286

Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahui
bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana
penjara paling lama sembilan tahun.

● KUHP pasal 287

(1) Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal
diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umumnya belum lima belas
tahun, atau kalau umurnya tidak jelas, bawa belum waktunya untuk dikawin, diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umur wanita belum
sampai dua belas tahun atau jika ada salah satu hal berdasarkan pasal 291 dan pasal
294.

● KUHP pasal 288

(1) Barang siapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang wanita yang
diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa yang bersangkutan belum
waktunya untuk dikawin, apabila perbuatan mengakibatkan luka-luka diancam
dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

16
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling
lama delapan tahun.

(3) Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

● KUHP pasal 289

Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk
melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan
perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling
lama sembilan tahun.

● KUHP pasal 290

Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun:

1. barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang, padahal diketahuinya


bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya;

2. barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal diketahuinya atau
sepatutnya harus diduganya, bahwa umumnya belum lima belas tahun atau kalau
umumnya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin

3. barang siapa membujuk seseorang yang diketahuinya atau sepatutnya harus


diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umumnya tidak jelas
yang bersangkutan atau kutan belum waktunya untuk dikawin, untuk melakukan atau
membiarkan dilakukan perbuatan cabul, atau bersetubuh di luar perkawinan dengan
orang lain.

● KUHP pasal 291

(1) Jika salah satu kejahatan berdasarkan pasal 286, 287, 289, dan 290 mengakibatkan
luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas tahun;

(2) Jika salah satu kejahatan berdasarkan pasal 285, 286, 287, 289 dan 290
mengakibatkan kematian dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

● KUHP pasal 292

17
Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin,
yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun.7

Perlindungan Hukum bagi Anak yang Mengalami Kejahatan Seksual

Menurut pasal 1 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 yang mengatur tentang


perlindungan anak, pengertian anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan
belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sedangkan, pengertian
perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi Anak dan
hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi.8

Bentuk kekerasan terhadap anak tidak hanya berupa kekerasan fisik saja, seperti
pembunuhan, penganiayaan, maupun seksual, tetapi juga kekerasan non fisik, seperti
kekerasan ekonomi, psikis, maupun kekerasan religi. Secara tegas dalam Pasal 15
Undang Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa8 :

Setiap Anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari:

a. Penyalahgunaan dalam kegiatan politik;

b. Pelibatan dalam sengketa bersenjata;

c. Pelibatan dalam kerusuhan sosial;

d. Pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan;

e. Pelibatan dalam peperangan; dan

f. Kejahatan seksual.

Dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas


Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjelaskan
bahwa:2

18
Pasal 54 Ayat (1) berbunyi: Anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib
mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan
kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta
pendidik, dan/atau pihak lain.

Pasal 54 Ayat (2) berbunyi: Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, aparat pemerintah, dan/atau masyarakat.

Mengenai kekerasan seksual terhadap anak juga diatur dalam Undang-undang Nomor
35 tahun 2014.

● Pasal 76 C

Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan,


atau turut serta melakukan Kekerasan terhadap Anak.

● Pasal 76 D

Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak
melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

● Pasal 76 E

Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa,


melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak
untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.

Sanksi Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak

Ketentuan mengenai sanksi dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun


2014 :

● Pasal 80

(1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76C,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau
denda paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).

19
(2) Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(3) Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka pelaku dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

(4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut Orang Tuanya.

● Pasal 81

(1) Setiap orang yang melangggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15
(lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi Setiap
Orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau
membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka
pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).

● Pasal 82

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15
(lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka
pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).

20
Perlindungan Hukum bagi Korban Kejahatan Seksual dalam Rumah Tangga

Pada pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan


Kekerasan dalam Rumah Tangga (UUPKDRT), menyebutkan bahwa9:

Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang


terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara
fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman
untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara
melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Sementara itu, lingkup rumah tangga dijelaskan pada pasal 2 Undang-Undang


Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga,
menyebutkan bahwa :

(1) Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi :


a. suami, istri, dan anak;
b. orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana
dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan,
pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau
c. orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga
tersebut.

Menurut pasal 5 UUPKDRT, setiap orang dilarang melakukan kekerasan


dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara :

a. kekerasan fisik;
b. kekerasan psikis;
c. kekerasan seksual; atau
d. penelantaran rumah tangga.

Jenis tindak pidana kekerasan dalam Rumah Tangga yang ketiga adalah
kekerasan seksual, yang diatur dalam Pasal 5 huruf c UUPKDRT, dan dijelaskan
kembali dalam Pasal 8 :

Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi :

21
a. pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap
dalam lingkup rumah tangga tersebut;
b. pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah
tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

Sanksi terhadap pelaku kejahatan seksual dalam rumah tangga, diatur dalam
pasal 48 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga, menyatakan bahwa :
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47
mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh
sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurangkurangnya
selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur
atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat
reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana
penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp 25.000.000,00
(dua puluh lima juta rupiah) dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah).

2.4 Tatalaksana Ilmu Kedokteran Forensik pada Kasus Susila


1. Anamnesis
Pada anamnesis dicatat identitas pasien (terutama umur dan tanggal lahir),
riwayat menstruasi (usia menarche, siklus haid, haid terakhir), status perkawinan,
riwayat aktifitas seksual. Anamnesis mengenai kejadian yaitu waktu dan lokasi,
kekerasan sebelum kejadian , rincian kejadian, terjadi penetrasi atau tidak, dan apa
yang dilakukan setelah terjadinya kekerasan seksual.
2. Pemeriksaan fisik status generalis
Status generalis seperti keadaan umum, kesadaran, tanda-tanda vital,
penampilan secara keseluruhan, keadaan emosional (tenang, sedih, gelisah), pakaian,
kooperatif atau tidak. Gigi geligi juga perlu diperiksa terutama pertumbuhan gigi ke
VII dan gigi ke VIII., gigi ke VII tumbuh mulai usia 12 tahun dan gigi ke VIII mulai
tumbuh pada usia 17 tahun. Keadaan dalam rongga mulut juga harus diperiksa
apakah terdapat lecet, ptekiae, maupun kemerahan untuk menilai ada atau tudak
akibat aktifitas seksual secara oral.

22
Lakukan pemeriksaan perkembangan seks sekunder seperti mammae, rambut
axial, rambut pubis. Periksa seluruh tubuh apakah ada luka-luka atau tidak. Bila
ditemukan luka, maka deskripsikan luka tersebut dengan baik, lengkap dan jelas.
Apabila ada riwayat kehilangan kesadaran, carilah tanda bekas hilang kesadaran/
pemberian obat bius atau obat tidur, kalau ada bekas suntikan periksa darah dan urin.
3. Pemeriksaan status ginekologis

a. Posisi litotomi

b. Periksa luka-luka sekitar vulva, perineum, paha

c. Lakukan pemeriksaan alat kemaluan berturut-turut mulai dari labia mayora,


minora, vestibulum, selaput dara, vagina, leher rahim, dan besar uterus.

d. Pemeriksaan selaput dara meliputi :

o besarnya orifisium
o ada tidaknya robekan.
o bila ada tentukan apakah robekan baru atau lama
o apakah robekan sampai dasar lianga vagina atau tidak sampai dasar
o lokasi robekan, gunakan arah jam sebagai petunjuk lokasi robekan.

e. Pengambilan sampel harus dilakukan apabila kejadian kurang dari 72 jam.


Pengambilan sampel dapat berupa :

o Jika ada bercak, kerok dengan scapel dan masukkan ke dalam amplop.
o lakukan swab dengan lidi kapas steril pada daerah vestibulum, forniks
posterior (jika memungkinkan) dan buat sediaan apus.
o darah dan urin jika ada riwayat kehilangan kesadaran.

d. urin untuk mengetahui tanda kehamilan

f. Pada persetubuhan dubur, periksa colok dubur dan lakukan swab, bila perlu
proktoskopi¹⁴

23
BAB III
KESIMPULAN

Kejahatan seksual adalah setiap perbuatan yang dilakukan oleh seseorang


terhadap orang lain yang menimbulkan kepuasan seksual bagi dirinya dan
mengganggu kehormatan orang lain.3 Kejahatan di bidang kesusilaan adalah kejahatan
mengenai hal yang berhubungan dengan masalah seksual. Di dalam Kitab Undang-
undang Hukum Pidana (KUHP) diatur dalam Bab XVI. Dalam sistem peradilan yang
dianut negara kita, seorang hakim tidak dapat menjatuhkan hukuman kepada
seseorang terdakwa kecuali dengan sekurangnya dua alat bukti yang sah ia merasa
yakin bahwa tindak pidana itu memang telah terjadi (pasal 183 KUHAP). Sedang
yang dimaksud dengan alat bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli,
surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa (pasal 184 KUHAP).10
Forensik merupakan alat bukti sah dalam memberikan keyakinan hakim untuk
memutuskan tersangka/terdakwa bersalah dan/atau tidak bersalah. Ilmu forensik
menjelaskan identitas (siapa) tersangka yang melakukan kejahatan; tipe (apa)
kejahatan yang dilakukan; waktu (kapan) insiden terjadi; lokasi (dimana/tempat
kejadian perkara); modus operandi (bagaimana) pelanggaran terjadi; serta motif
dibalik kejahatan. Pembuktian secara kedokteran pada setiap kasus kejahatan

24
kesusilaan, seperti perkosaan, sebenarnya terbatas di dalam upaya pembuktian ada
tidaknya tanda-tanda persetubuhan, tanda-tanda kekerasan, perkiraan umur, serta
pembuktian apakah seseorang itu memang sudah pantas atau sudah mampu untuk
dikawini atau tidak. Proses pemeriksaan tersebut harus dilakukan dengan teliti dan
sewaspada mungkin, pemeriksa juga harus yakin akan semua bukti yang
ditemukannya karena tidak lagi mempunyai kesempatan untuk melakukan
pemeriksaan ulang guna memperoleh lebih banyak bukti, karena semuanya
berhubungan dengan bukti-bukti yang akan menjadi dasar untuk membebaskan atau
menuntut tersangka pelaku perkosaan tersebut. Penatalaksanaan kedokteran forensik pada
kasus kekerasan seksual meliputi: persiapan ditempat kejadian perkara; Pengumpulan alat
bukti di tempat kejadian perkara; pemeriksaan korban dan tersangka/dugaan tersangka; dan
penilaian dugaan kasus kekerasan seksual.

DAFTAR PUSTAKA

1. Dan R, Fakultas W, Universitas H, Palembang S, Sultan J, Mansyur M, et al. UPAYA


PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN DENGAN SARANA
PENAL DALAM RANGKA MELINDUNGI PEREMPUAN. Legislasi Indonesia.
2018;15(4).

2. Anastasia O, Sitompul H. KAJIAN HUKUM TENTANG TINDAK KEKERASAN


SEKSUAL TERHADAP ANAK DI INDONESIA. Lex Crimen [Internet]. 2015 [cited
2021 Aug 11];4(1):46–56.
3. Triwijati NKE. Pelecehan Seksual : Tinjauan Psikologis. 2007;
4. Sumera M. Perbuatan Kekerasan atau Pelecehan Seksual terhadap Perempuan.
Perbuatan Kekerasan atau Pelecehan Seksual terhadap Perempuan. 2013; Vol. I/No.
(3):39–49.
5. Soekry EK, Ahmad Y. Kejahatan seksual. Dalam: Hoediyanto, Hariadi A, editor.
Buku ajar ilmu kedokteran forensik dan medikolegal. Edisi ke-7. Surabaya: FKUA;
2010. hlm. 271–290.

25
6. Narejo NB, Avais MA. Examining the role of forensic science for the investigative
solution of crimes. Sindh Univ. Res Jour (Sci. Ser). 2012; 44(2):251-4.
7. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
8. Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 perubahan atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
9. Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga
10. Dewi R, Irianto G, dkk. Pemeriksaan Fisik dan Aspek Medikolegal Kekerasan
Seksual Pada Anak dan Remaja. Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung, 2017.
11. Noviana, Ivo. Kekerasan Seksual Terhadap Anak: Dampak dan Penanganannya Child
Sexual Abuse: Impact and Handling”. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kesejahteraan Sosial, Kementerian Sosial RI. 2015.
12. Kekerasan Seksual di Indonesia: Data, Fakta, & Realita. 2016
13. Kalangit A, Mallo J, Tomuka D. Peran Ilmu Kedokteran Forensik Dalam Pembuktian
Tindak Pidana Pemerkosaan Sebagai Kejahatan Kekerasan Seksual. Bagian Forensik
Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado. 2013; Vol I No (1).
14. Dedi Afandi, Visum Et Repertum, Tatalaksana dan Teknik Pembuatan. Eds
2.Pekanbaru:FKU Riau, 2017

26

Anda mungkin juga menyukai