Disusun Oleh :
Ardhika Daniswara 1102017036
Callista Adine Limarta 1102017054
Khafifah Puja Atmalia 1102017124
Nina Namira Putri A 1102017169
Rika Alivia Agustin 1102017196
Dibimbing Oleh :
dr. Farah P. Kaurow, Sp.FM
i
BAB 1
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kejahatan Susila
A. Definisi
Kejahatan seksual adalah setiap perbuatan yang dilakukan oleh seseorang
terhadap orang lain yang menimbulkan kepuasan seksual bagi dirinya dan
mengganggu kehormatan orang lain.3 Kejahatan seksual adalah sebuah bentuk
pelanggaran atas kesusilaan yang bukan saja menjadi masalah hukum nasional suatu
negara melainkan sudah menjadi masalah hukum semua negara di dunia atau masalah
global.4 Upaya pembuktian secara kedokteran forensik pada setiap kasus kejahatan
seksual sebenarnya terbatas di dalam upaya pembuktian ada tidaknya tanda-tanda
persetubuhan, ada tidaknya tanda-tanda kekerasan, perkiraan umur serta pembuktian
apakah seseorang itu memang sudah pantas atau sudah mampu untuk dikawini atau
tidak.5,6
B. Jenis-jenis kejahatan kesusilaan dalam KUHP
Kejahatan di bidang kesusilaan adalah kejahatan mengenai hal yang
berhubungan dengan masalah seksual. Di dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP) diatur dalam Bab XVI Buku II dengan titel ”Kejahatan Terhadap
Kesusilaan”.10
a. kejahatan dengan melanggar kesusilaan umum (Pasal 281);
b. kejahatan pornografi (Pasal 282);
c. kejahatan pornografi terhadap orang yang belum dewasa (Pasal 283);
d. kejahatan pornografi dalam menjalankan pencahariannya (Pasal 283 bis);
e. kejahatan perzinahan (Pasal 284);
f. kejahatan perkosaan untuk bersetubuh (Pasal 285);
g. kejahatan bersetubuh dengan perempuan di luar kawin yang dalam keadaan pingsan
atau tidak berdaya (Pasal 286);
h. kejahatan bersetubuh dengan perempuan di luar kawin yang umurnya belum 15
tahun (Pasal 287);
i. kejahatan bersetubuh dengan perempuan dalam perkawinan yang belum waktunya
dikawin dan menimbulkan akibat luka-luka (pasal 288);
j. kejahatan perkosaan berbuat cabul atau perbuatan yang menyerang kehormatan
kesusilaan (pasal 289);
2
k. kejahatan perbuatan cabul pada orang yang pingsan, pada orang yang umurnya
belum 15 tahun atau belum waktunya dikawin (Pasal 290);
l. kejahatan perbuatan cabul sesama kelamin, pada orang yang belum dewasa (Pasal
292);
m. kejahatan menggerakkan orang untuk berbuat cabul dengan orang yang belum
dewasa (pasal 293);
n. kejahatan berbuat cabul dengan anaknya, anak dibawah pengawasannya dan lain-
lain yang belum dewaasa (Pasal 294);
o. kejahatan pemudahan berbuat cabul bagi anaknya, anak tirinya dan lain-lain yang
belum dewasa (pasal 295);
p. kejahatan pemudahan berbuat cabul sebagai mata pencaharian atau kebiasaan
(pasal 296);
q. kejahatan memperdagangkan wanita dan anak laki-laki yang belum dewasa (Pasal
297);
r. kejahatan mengobati wanita dengan menimbulkan harapan bahwa hamilnya dapat
digugurkan (Pasal 299).
3
membuat wanita tersebut pingsan; hal tersebut menimbulkan konsekuensi bahwa pada
setiap kasus kejahatan seksual, pemeriksaan toksikologik menjadi prosedur yang rutin
dikerjakan.10
Dalam sistem peradilan yang dianut negara kita, seorang hakim tidak dapat
menjatuhkan hukuman kepada seseorang terdakwa kecuali dengan sekurangnya dua
alat bukti yang sah ia merasa yakin bahwa tindak pidana itu memang telah terjadi
(pasal 183 KUHAP). Sedang yang dimaksud dengan alat bukti yang sah adalah
keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa (pasal 184
KUHAP).10 Berdasarkan hal tersebut di atas, maka pada suatu kasus perkosaan dan
kejahatan seksual lainnya perlu diperjelas keterkaitan antara:
1. Bukti-bukti yang ditemukan di tempat kejadian perkara
2. Pada tubuh atau pakaian korban
3. Pada tubuh atau pakaian pelaku
4. Pada alat yang digunakan pada kejahatan ini (yaitu penis)
2.2 Pemeriksaan Tersangka Pelaku dan Korban Kasus Kejahatan Susila
4
9. Bila dipandang perlu maka korban dapat diisolasi dengan pengawasan ketat dan tidak
boleh ditemui seorang pun atau berhubungan dengan tamu/keluarga.
Untuk kepentingan penyidikan, alat bukti sangat penting. Pengumpulan alat bukti
dilakukan di tempat kejadian perkara, selanjutnya alat bukti tersebut dikirim ke
laboratorium forensik untuk dianalisis. Barang bukti/material kimia, biologik dan fisik
yang ditemukan ditempat kejadian perkara dapat berupa: 13
1. Material kimia: alkohol, obat-obatan, atau bahan kimia lain yang ditemukan di
tempat kejadian perkara
1. Harus ada permintaan tertulis untuk pemeriksaan kasus kekerasan seksual dari
penyidik atau yang berwenang.
2. Korban datang dengan didampingi polisi/penyidik.
3. Memperoleh persetujuan (inform consent) dari korban.
4. Pemeriksaan dilakukan sedini mungkin untuk mencegah hilangnya alat bukti
yang penting bagi pengadilan.
Pemeriksaan Korban
a. Pemeriksaan Tubuh
Pemeriksaan dilakukan pada selaput dara, apakah ada ruptur atau tidak. Bila
ada, tentukan ruptur baru atau lama dan catat lokasi ruptur tersebut, teliti apakah
sampai ke insertio atau tidak. Tentukan besar orifisium, sebesar ujung jari kelingking,
jari telunjuk, atau dua jari. Sebagai gantinya dapat juga ditentukan ukuran lingkaran
5
orifisium, dengan cara ujung kelingking atau telunjuk dimasukkan dengan hati-hati ke
dalam orifisium sampai terasa tepi selaput dara menjepit ujung jari, beri tanda pada
sarung tangan dan lingkaran pada titik itu diukur. Ukuran pada seorang perawan kira-
kira 2,5 cm. Lingkaran yang memungkinkan persetubuhan dapat terjadi menurut
Voight adalah minimal 9 cm.
Harus diingat bahwa tidak terdapatnya robekan pada selaput dara, tidak dapat
dipastikan bahwa pada wanita tidak terjadi penetrasi; sebaliknya adanya robekan pada
selaput dara hanya merupakan pertanda adanya suatu benda (penis atau benda lain
yang masuk ke dalam vagina.
Apabila pada persetubuhan tersebut disertai dengan ejakulasi dan ejakulat
tersebut mengandung sperma, maka adanya sperma di dalam liang vagina merupakan
tanda pasti adanya persetubuhan. Apabila ejakulat tidak mengandung sperma, maka
pembuktian adanya persetubuhan dapat diketahui dengan melakukan pemeriksaan
terhadap ejakulat tersebut.
Komponen yang terdapat di dalam ejakulat dan dapat diperiksa adalah: enzim
asam fosfatase, kolin dan spermin. Baik enzim asam fosfatase, kolin maapun spermin
bila dibandingkan dengan sperma nilai pembuktiannya lebih rendah oleh karena
ketiga komponen tersebut tidak spesifik. Walaupun demikian enzim fosfatase masih
dapat diandalkan, karena kadar asam fosfatase yang terdapat dalam vagina (berasal
dari wanita itu sendiri), kadarnya jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan asam
fosfatase yang berasal dari kelenjar fosfat.
Dengan demikian apabila pada kejahatan seksual yang disertai dengan
persetubuhan itu tidak sampai berakhir dengan ejakulasi, dengan sendirinya
pembuktian adanya persetubuhan secara kedokteran forensik tidak mungkin dapat
dilakukan secara pasti. Sebagai konsekuensinya, dokter tidak dapat secara pasti pula
menentukan bahwa pada seorang wanita tidak terjadi persetubuhan; maksimal dokter
harus mengatakan bahwa pada diri wanita yang diperiksanya itu tidak ditemukan
tanda-tanda persetubuhan, yang mencakup dua kemungkinan: pertama, memang tidak
ada persetubuhan dan yang kedua persetubuhan ada tapi tanda-tandanya tidak dapat
ditemukan.
Apabila persetubuhan telah dapat dibuktikan secara pasti maka perkiraan saat
terjadinya persetubuhan harus ditentukan; hal ini menyangkut masalah alibi yang
sangat penting di dalam proses penyidikan. Dalam waktu 4-5 jam postkoital sperma di
dalam liang vagina masih dapat bergerak; sperma masih dapat ditemukan namun tidak
6
bergerak sampai sekitar 24-36 jam postkoital, dan masih dapat ditemukan sampai 7-8
hari bila wanita yang menjadi korban meninggal. Perkiraan saat terjadinya
persetubuhan juga dapat ditentukan dari proses penyembuhan selaput dara yang
robek. Pada umumnya penyembuhan tersebut dicapai dalam waktu 7-10 hari
postkoital.10
b. Pemeriksaan Pakaian
Dalam hal pembuktian adanya persetubuhan, pemeriksaan dapat dilakukan
pada pakaian korban untuk menentukan adanya bercak ejakulat. Dari bercak tersebut
dapat dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk memastikan bahwa bercak yang telah
ditemukan adalah air mani serta dapat menentukan adanya sperma.10
Pemeriksaan Pelaku
a. Pemeriksaan Tubuh
Untuk mengetahui apakah seorang pria baru melakukan persetubuhan, dapat
dilakukan pemeriksaan ada tidaknya sel epitel vagina pada glans penis. Perlu juga
dilakukan pemeriksaan sekret uretra untuk menentukan adanya penyakit kelamin.10
b. Pemeriksaan Pakaian
Pada pemeriksaan pakaian, catat adanya bercak semen, darah, dan sebagainya.
Bercak semen tidak mempunyai arti dalam pembuktian sehingga tidak perlu
ditentukan. Darah mempunyai nilai karena kemungkinan berasal dari darah
deflorasi. Di sini penentuan golongan darah penting untuk dilakukan. Trace
evidence pada pakaian yang dipakai ketika terjadi persetubuhan harus diperiksa.
Bila fasilitas untuk pemeriksaan tidak ada, kirim ke laboratorium forensik di
kepolisian atau bagian Ilmu Kedokteran Forensik, dibungkus, segel, serta dibuat
berita acara pembungkusan dan penyegelan.10
7
digunakan penerjemah. Bahasa dan nama penerjemah yang digunakan dapat dicatat
dalam laporan. Pada kasus remaja, mereka diizinkan untuk didampingi oleh orang tua
bila mereka mau. Mereka juga diperlakukan dengan cara yang sama seperti orang
dewasa. 13
Pada korban kekerasan seksual, anamnesis harus dilakukan dengan bahasa
awam yang mudah dimengerti oleh korban. Gunakan bahasa dan istilah-istilah yang
sesuai tingkat pendidikan dan sosio-ekonomi korban, sekalipun mungkin terdengar
vulgar. Anamnesis dapat dibagi menjadi anamnesis umum dan khusus. Hal-hal yang
harus ditanyakan pada anamnesis umum mencakup, antara lain:10
- Umur atau tanggal lahir
- Status Pernikahan
- Riwayat paritas dan/atau abortus
- Riwayat haid (menarche, hari pertama haid terakhir, siklus haid)
- Riwayat koitus (sudah pernah atau belum, riwayat koitus sebelum dan/atau
setelah kejadian kekerasan seksual, dengan siapa, penggunaan kondom atau
alat kontrasepsi lainnya),
- Penggunaan obat-obatan (termasuk NAPZA),
- Riwayat penyakit (sekarang dan dahulu), serta
- Keluhan atau gejala yang dirasakan pada saat pemeriksaan.
8
- adanya perdarahan dari daerah kemaluan,
- adanya ejakulasi dan apakah terjadi di luar atau di dalam vagina,
- penggunaan kondom, dan
- tindakan yang dilakukan korban setelah kejadian, misalnya apakah korban
sudah buang air,
tindakan membasuh/douching, mandi, ganti baju, dan sebagainya.
• When:
- tanggal dan jam kejadian, bandingkan dengan tanggal dan jam melapor, dan
- apakah tindakan tersebut baru satu kali terjadi atau sudah berulang.
• Where:
- Tempat kejadian,
- Jenis tempat kejadian (untuk mencari kemungkinan trace evidence dari tempat
kejadian yang melekat pada tubuh dan/atau pakaian korban).
• Who:
- Aapakah pelaku dikenaloleh korban atau tidak,
- Jumlah pelaku
- Usia pelaku dan hubungan antara pelaku dengan korban
9
- Penampilan (rapih atau tidak, dandan, dan lain-lain)
- Afek (keadaan emosi, apakah tampak sedih, takut, dan sebagainya),
- Pakaian (apakah ada kotoran, robekan, atau kancing yang terlepas),
- Status generalis
- Tinggi badan dan berat badan
- Rambut (tercabut/rontok)
- Gigi dan mulut terutama pertumbuhan gigi molar kedua dan ketiga),
- Kuku (apakah ada kotoran atau darah di bawahnya, apakah ada kuku yang
tercabut atau patah)
- Tanda-tanda perkembangan seksual sekunder,
- Tanda-tanda intoksikasi NAPZA, serta
- Status lokalis dari luka-luka yang terdapat pada bagian tubuh selain daerah
kemaluan.
Untuk mempermudah pencatatan luka-luka, dapat digunakan diagram tubuh
seperti pada gambar berikut : 10
- Daerah pubis (kemaluan bagian luar), yaitu adanya perlukaan pada jaringan
lunak atau bercak cairan mani;
10
- Penyisiran rambut pubis (rambut kemaluan), yaitu apakah adanya rambut
pubis yang terlepas yang mungkin berasal dari pelaku, penggumpalan atau
perlengketan rambut pubis akibat cairan mani;
- Daerah vulva dan kulit sekitar vulva/paha bagian dalam (adanya perlukaan
pada jaringan lunak, bercak cairan mani);
- Labia mayora dan minora (bibir kemaluan besar dan kecil), apakah ada
perlukaan pada jaringan lunak atau bercak cairan mani;
- Vagina (liang senggama), cari perlukaan dan adanya cairan atau lendir
- Serviks dan porsio (mulut leher rahim), cari tanda-tanda pernah melahirkan
dan adanya cairan atau lendir;
- Anus (lubang dubur) dan daerah perianal, apabila ada indikasi berdasarkan
anamnesis. Bila terjadi hubungan seksual secara anal kemungkinan akan
menyebabkan luka pada anal berupa robekan, iregularitas, keadaan fissura;
11
(Gambar 2). Pada jenis-jenis selaput dara tertentu, adanya lipatan-lipatan dapat
menyerupai robekan. Karena itu, pemeriksaan selaput dara dilakukan dengan
traksi lateral dari labia minora secara perlahan, yang diikuti dengan penelusuran
tepi selaput dara dengan lidi kapas yang kecil untuk membedakan lipatan dengan
robekan. Pada penelusuran tersebut, umumnya lipatan akan menghilang,
sedangkan robekan tetap tampak dengan tepi yang tajam.
12
Tanda Langsung
- Adanya robekan selaput dara
- Ditemukan sperma
- Kehamilan
a. Pemeriksaan darah
b. Pemeriksaan cairan mani (semen)
c. Tes kehamilan
d. Pemeriksaan lain seperti hepatitis, gonorrhea, HIV.
e. Pemeriksaan cairan tubuh, mani, liur, atau rambut yang dianggap pelaku.
Peneliti forensik harus banyak mengetahui tentang pola trauma yang terjadi
karena kekerasan seksual, untuk dapat menanyakan pertanyaan yang tepat dan
lokasi trauma berdasarkan cerita korban. Tempat yang paling sering mengalami
trauma pada korban kekerasan seksual, termasuk:
13
• Memar pada leher karena cekikan
• Memar pukulan pada lengan atas
• Memar karena postur bertahan pada sisi lengan luar
Istilah "trauma terpola" berbeda dari istilah yang sama, "pola trauma" yang
disebutkan diatas. Keduanya penting dalam istilah forensik, akan tetapi, "trauma
terpola" adalah trauma dari objek yang digunakan untuk menimbulkan trauma,
yang mudah diidentifikasi melalui pola yang ada pada korban. 13
14
● labia majora (7%)
● anus (15%)
● rektum (4%)
● servix (13%)
15
2.3. Peraturan Hukum Kejahatan Susila
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita
bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan
dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahui
bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana
penjara paling lama sembilan tahun.
(1) Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal
diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umumnya belum lima belas
tahun, atau kalau umurnya tidak jelas, bawa belum waktunya untuk dikawin, diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umur wanita belum
sampai dua belas tahun atau jika ada salah satu hal berdasarkan pasal 291 dan pasal
294.
(1) Barang siapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang wanita yang
diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa yang bersangkutan belum
waktunya untuk dikawin, apabila perbuatan mengakibatkan luka-luka diancam
dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
16
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling
lama delapan tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk
melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan
perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling
lama sembilan tahun.
2. barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal diketahuinya atau
sepatutnya harus diduganya, bahwa umumnya belum lima belas tahun atau kalau
umumnya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin
(1) Jika salah satu kejahatan berdasarkan pasal 286, 287, 289, dan 290 mengakibatkan
luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas tahun;
(2) Jika salah satu kejahatan berdasarkan pasal 285, 286, 287, 289 dan 290
mengakibatkan kematian dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
17
Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin,
yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun.7
Bentuk kekerasan terhadap anak tidak hanya berupa kekerasan fisik saja, seperti
pembunuhan, penganiayaan, maupun seksual, tetapi juga kekerasan non fisik, seperti
kekerasan ekonomi, psikis, maupun kekerasan religi. Secara tegas dalam Pasal 15
Undang Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa8 :
f. Kejahatan seksual.
18
Pasal 54 Ayat (1) berbunyi: Anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib
mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan
kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta
pendidik, dan/atau pihak lain.
Pasal 54 Ayat (2) berbunyi: Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, aparat pemerintah, dan/atau masyarakat.
Mengenai kekerasan seksual terhadap anak juga diatur dalam Undang-undang Nomor
35 tahun 2014.
● Pasal 76 C
● Pasal 76 D
Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak
melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
● Pasal 76 E
● Pasal 80
(1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76C,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau
denda paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
19
(2) Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka pelaku dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut Orang Tuanya.
● Pasal 81
(1) Setiap orang yang melangggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15
(lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi Setiap
Orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau
membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka
pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
● Pasal 82
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15
(lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka
pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
20
Perlindungan Hukum bagi Korban Kejahatan Seksual dalam Rumah Tangga
a. kekerasan fisik;
b. kekerasan psikis;
c. kekerasan seksual; atau
d. penelantaran rumah tangga.
Jenis tindak pidana kekerasan dalam Rumah Tangga yang ketiga adalah
kekerasan seksual, yang diatur dalam Pasal 5 huruf c UUPKDRT, dan dijelaskan
kembali dalam Pasal 8 :
21
a. pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap
dalam lingkup rumah tangga tersebut;
b. pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah
tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
Sanksi terhadap pelaku kejahatan seksual dalam rumah tangga, diatur dalam
pasal 48 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga, menyatakan bahwa :
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47
mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh
sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurangkurangnya
selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur
atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat
reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana
penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp 25.000.000,00
(dua puluh lima juta rupiah) dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah).
22
Lakukan pemeriksaan perkembangan seks sekunder seperti mammae, rambut
axial, rambut pubis. Periksa seluruh tubuh apakah ada luka-luka atau tidak. Bila
ditemukan luka, maka deskripsikan luka tersebut dengan baik, lengkap dan jelas.
Apabila ada riwayat kehilangan kesadaran, carilah tanda bekas hilang kesadaran/
pemberian obat bius atau obat tidur, kalau ada bekas suntikan periksa darah dan urin.
3. Pemeriksaan status ginekologis
a. Posisi litotomi
o besarnya orifisium
o ada tidaknya robekan.
o bila ada tentukan apakah robekan baru atau lama
o apakah robekan sampai dasar lianga vagina atau tidak sampai dasar
o lokasi robekan, gunakan arah jam sebagai petunjuk lokasi robekan.
o Jika ada bercak, kerok dengan scapel dan masukkan ke dalam amplop.
o lakukan swab dengan lidi kapas steril pada daerah vestibulum, forniks
posterior (jika memungkinkan) dan buat sediaan apus.
o darah dan urin jika ada riwayat kehilangan kesadaran.
f. Pada persetubuhan dubur, periksa colok dubur dan lakukan swab, bila perlu
proktoskopi¹⁴
23
BAB III
KESIMPULAN
24
kesusilaan, seperti perkosaan, sebenarnya terbatas di dalam upaya pembuktian ada
tidaknya tanda-tanda persetubuhan, tanda-tanda kekerasan, perkiraan umur, serta
pembuktian apakah seseorang itu memang sudah pantas atau sudah mampu untuk
dikawini atau tidak. Proses pemeriksaan tersebut harus dilakukan dengan teliti dan
sewaspada mungkin, pemeriksa juga harus yakin akan semua bukti yang
ditemukannya karena tidak lagi mempunyai kesempatan untuk melakukan
pemeriksaan ulang guna memperoleh lebih banyak bukti, karena semuanya
berhubungan dengan bukti-bukti yang akan menjadi dasar untuk membebaskan atau
menuntut tersangka pelaku perkosaan tersebut. Penatalaksanaan kedokteran forensik pada
kasus kekerasan seksual meliputi: persiapan ditempat kejadian perkara; Pengumpulan alat
bukti di tempat kejadian perkara; pemeriksaan korban dan tersangka/dugaan tersangka; dan
penilaian dugaan kasus kekerasan seksual.
DAFTAR PUSTAKA
25
6. Narejo NB, Avais MA. Examining the role of forensic science for the investigative
solution of crimes. Sindh Univ. Res Jour (Sci. Ser). 2012; 44(2):251-4.
7. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
8. Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 perubahan atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
9. Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga
10. Dewi R, Irianto G, dkk. Pemeriksaan Fisik dan Aspek Medikolegal Kekerasan
Seksual Pada Anak dan Remaja. Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung, 2017.
11. Noviana, Ivo. Kekerasan Seksual Terhadap Anak: Dampak dan Penanganannya Child
Sexual Abuse: Impact and Handling”. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kesejahteraan Sosial, Kementerian Sosial RI. 2015.
12. Kekerasan Seksual di Indonesia: Data, Fakta, & Realita. 2016
13. Kalangit A, Mallo J, Tomuka D. Peran Ilmu Kedokteran Forensik Dalam Pembuktian
Tindak Pidana Pemerkosaan Sebagai Kejahatan Kekerasan Seksual. Bagian Forensik
Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado. 2013; Vol I No (1).
14. Dedi Afandi, Visum Et Repertum, Tatalaksana dan Teknik Pembuatan. Eds
2.Pekanbaru:FKU Riau, 2017
26