Anda di halaman 1dari 46

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kejahatan asusila adalah suatu perbuatan atau tingkah laku yang
menyimpang dari norma-norma atau kaidah kesopanan yang saat ini cenderung
banyak terjadi kalangan masyarakat, teruatama remaja. Menurut pandangan
pancasila pada sila ketiga tindakan asusila merupakan tindakan pelanggaran dan
menyimpang dari nilai-nilai moral manusia.1
Menurut KUHP bahwa tindak pidana perkosaan termasuk dalam kejahatan
terhadap kesopanan BAB XIV yang dimulai dari pasal 281-303 KUHP. Tindak
pidana kesopanan dibentuk untuk melindungi kepentingan hukum (rechtsbelang)
terhadap rasa kesopanan masyarakat (rasa kesusilaan di dalamnya). Norma-norma
kesopanan berpijak pada tujuan menjaga keseimbangan batin dalam hal rasa
kesopanan bagi setiap manusia dalam pergaulan hidup masyarakat.1
Tindak pidana kesopanan merupakan salah satu hal dari sekian kejahatan
dalam KUHP. Dalam pengaturannya itu sendiri perkosaan terhadap anak di bawah
umur dalam hal hubungan keluarga atau ayah dengan anak di atur secara khusus
dalam undang-undang no. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, yang
merupakan pembaharuan dari sekian banyak pasal kejahatan terhadap kesopanan
telah di atur dalam undang-undang no.23 tahun 2002.1
Sesungguhnya semua perbuatan asusila adalah hukumnya haram. Sebab
segala perbuatan asusila yang dilakukan dilakukan diluar pernikahan adalah
perbuatan zina.dalam hal ini asusila yang ber kategori cabul, perkosaan, pelecehan
seksual. Adapun tindak pidana yang terkait dengan tindakan asusila, seperti
pelaku lesbian dan homoseks, kebanyakan ahli hukum menyatakan bahwa si
pelaku tidak dihukum hadd melainkan dengan tazir.1
Delik perzinahan diatur dalam Pasal 284 KUHP yang dapat dikategorikan
sebagai salah satu kejahatan terhadap kesusilaan. Delik-delik kesusilaan dalam
2

KUHP terdapat dalam dua bab, yaitu Bab XIV Buku II yang merupakan kejahatan
dan Bab VI Buku III yang termasuk jenis pelanggaran. Yang termasuk dalam
kelompok kejahatan kesusilaan meliputi perbuatan-perbuatan1:
a. Yang berhubungan dengan minuman, yang berhubungan dengan kesusilaan
di muka umum dan yang berhubungan dengan benda- benda dan sebagainya
yang melanggar kesusilaan atau bersifat porno (Pasal 281 283);
b. Zina dan sebagainya yang berhubungan dengan perbuatan cabul dan
hubungan seksual (Pasal 284-296);
c. Perdagangan wanita dan anak laki-laki di bawah umur (Pasal 297);
d. Yang berhubungan dengan pengobatan untuk menggugurkan kandungan
(Pasal 299);
e. Memabukkan (Pasal 300);
f. Menyerahkan anak untuk pengemisan dan sebagainya (Pasal 301);
g. Penganiayaan hewan (Pasal 302);
h. Perjudian (Pasal 303 dan 303 bis).
Adapun yang termasuk pelanggaran kesusilaan dalam KUHP meliputi
perbuatan-perbuatan sebagai berikut1:
a. Mengungkapkan atau mempertunjukkan sesuatu yang bersifat porno (Pasal
532-535);
b. Yang berhubungan dengan mabuk dan minuman keras (Pasal 536-539);
c. Yang berhubungan dengan perbuatan tindak susila terhadap hewan (Pasal
540, 541 dan 544);
d. Meramal nasib atau mimpi (Pasal 545);
e. Menjual dan sebagainya jimat-jimat, benda berkekuatan gaib dan memberi
ilmu kesaktian (Pasal 546);
f. Memakai jimat sebagai saksi dalam persidangan (Pasal547).
Pelanggaran tindakan asusila tidak ada untungnya, bahkan mencoreng
nama baik keluarga, merendahkan harga diri, menyiksa diri sendiri dan menjadi
tontonan orang lain, timbulnya rasa malu, dan dijauhi oleh banyak teman serta
3

sahabat. Pelanggaran tindakan asusila tejadi di tempat tersembunyi dan waktunya


tidak diketahui kapan akan terjadi, datang secara tiba-tiba atau terpaksa.1
Berdasarkan hal tersebut diatas maka melalui referat ini penulis akan
membahas beberapa kejahatan asusila yang berkaitan dengan ilmu forensik
seperti kejahatan seksual (perkosaan, pencabulan dan sodomi), aborsi dan
infanticide (pembunuhan anak sendiri).
4

BAB II
PEMBAHASAN

A. Kejahatan Seksual
1. Definisi kejahatan seksual
Kejahatan seksual (sexual offences), sebagai salah satu bentuk kejahatan
yang menyangkut tubuh, kesehatan dan nyawa manusia, mempunyai kaitan yang
erat dengan Ilmu Kedokteran khususnya Ilmu Kedokteran Forensik yaitu di dalam
upaya pembuktian bahwasanya kejahatan tersebut memang telah terjadi. Adanya
kaitan antara Ilmu Kedokteran dengan kejahatan seksual dapat dipandang sebagai
konsekuensi dari pasal-pasal di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP), yang memuat ancaman hukuman serta tata cara pembuktian
pada setiap kasus yang termasuk di dalam pengertian kasus kejahatan seksual.2
Di dalam upaya pembuktian secara kedokteran forensik, faktor
keterbatasan di dalam ilmu kedokteran itu sendiri sangat berperan, demikian
halnya dengan faktor waktu serta faktor keaslian dari barang bukti (korban),
maupun faktor-faktor dari si pelaku kejahatan seksual itu sendiri.2
Dengan demikian upaya pembuktian secara kedokteran forensik pada
setiap kasus kejahatan seksual sebenarnya terbatas di dalam pembuktian ada
tidaknya tanda-tanda persetubuhan, ada tidaknya tanda-tanda kekerasan, perkiraan
umur serta pembuktian apakah seseorang itu memang sudah pantas atau sudah
mampu untuk dikawini atau tidak.2
Kekerasan seksual merupakan kejahatan yang universal. Kejahatan ini
dapat ditemukan di seluruh dunia, pada tiap tingkatan masyarakat, tidak
memandang usia maupun jenis kelamin. Besarnya insiden yang dilaporkan di
setiap negara berbeda-beda. Sebuah penelitian di Amerika Serikat pada tahun 2006
(National Violence against Women Survey/NVAWS) melaporkan bahwa 17,6%
dari responden wanita dan 3% dari responden pria pernah mengalami kekerasan
5

seksual, beberapa di antaranya bahkan lebih dari satu kali sepanjang hidup mereka.
Dari jumlah tersebut hanya sekitar 25% yang pernah membuat laporan polisi.3
Di Indonesia, menurut Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap
Perempuan (Komnas Perempuan) sejak tahun 1998 sampai 2011 tercatat 93.960
kasus kekerasan seksual terhadap perempuan di seluruh Indonesia. Dengan
demikian rata-rata ada 20 perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual tiap
harinya. Hal yang lebih mengejutkan adalah bahwa lebih dari dari jumlah kasus
tersebut (70,11%) dilakukan oleh orang yang masih memiliki hubungan dengan
korban. Terdapat dugaan kuat bahwa angka-angka tersebut merupakan fenomena
gunung es, yaitu jumlah kasus yang dilaporkan jauh lebih sedikit daripada jumlah
kejadian sebenarnya di masyarakat. Banyak korban enggan melapor, mungkin
karena malu, takut disalahkan, mengalami trauma psikis, atau karena tahu harus
melapor kemana. Seiring dengan meningkatnya kesadaran hukum di Indonesia,
jumlah kasus kekerasan seksual yang dilaporkan pun mengalami peningkatan.3
2. Jenis-jenis kejahatan seksual
a. Pekosaan
Beberapa definisi dari perkosaan yaitu :
i. Umumnya negara-negara maju mendefinisikan perkosaan sebagai
perbuatan bersenggama yang dilakukan dengan kekerasan (force),
menciptakan ketakutan (fear), atau memperdaya (fraud).4
ii. Perkosaan adalah melakukan hubungan seksual dengan seorang
perempuan diluar keinginannya dan persetujuan wanita tersebut, baik
keinginannya dilawan dengan kekuatan atau rasa takut akibat ancaman
kekuatan, maupun oleh obat atau racun, atau karena gangguan jiwa, ia tidak
mampu melakukan penilaian yang rasional, atau ketika dibawah usia
dewasa. Kejahatan perkosaan mensyaratkan penetrasi hanya sedikit di
vulva bagian luar korban, ereksi penuh dan ejakulasi.5
iii. Pemerkosaan adalah hubungan seksual dengan perempuan tanpa
persetujuannya dengan menakuti, memaksa, atau menipunya.6
6

b. Pencabulan
Definisi pencabulan adalah semua perbuatan yang dilakukan untuk
mendapatkan kenikmatan seksual sekaligus mengganggu kehormatan
kesusilaan. Perbuatan cabul di dalam KUHP yaitu segala perbuatan yang
melanggar kesusilaan ( kesopanan ) atau perbuatan yang keji, semuanya itu
dalam lingkungan nafsu birahi kelamin.3,7
c. Sodomi
i. Sodomi: sanggama antarmanusia secara oral atau anal, biasanya antar-pria;
pencabulan dengan sesama jenis kelamin.3
ii. Sodomi juga dikenal sebagai seks anal, adalah penyisipan penis ke dalam
anus pasangan, dengan atau tanpa paksaan.6
iii. Seks anal atau juga bsa di katakana sodomi adalah hubungan seksual di
mana penis yang ereksi dimasukkan ke rectum melalui anus. Anal sex
dapat dilakukan oleh orang heterosexual maupun homosexual.5
3. Aspek hukum yang mengatur tentang kejahatan seksual
Agar kesaksian seorang dokter pada perkara pidana mencapai sasarannya
yaitu membantu yaitu membantu pengadilan dengan sebaik-baiknya, dia harus
mengenal undang-undang yang bersangkutan dengan tindakan pidana itu,
seharusnya ia mengetahui unsur-unsur mana yang dibuktikan secara medis atau
yang memerlukan pendapat medis.7
Pasal-pasal yang berkaitan dengan tindakan pemerkosaan yaitu sebagai
berikut2,7:
Pasal 284 KUHP
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan:
1. a. seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel),
padahal diketahui bahwa pasal 27 BW (Burgerlyk Wetboek) berlaku
baginya.
7

b. seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel),


padahal diketahui bahwa pasal 27 BW (Burgerlyk Wetboek) berlaku
baginya.
2. a. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal
diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin.
b. seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan
itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan
pasal 27 BW (Burgerlyk Wetboek) berlaku baginya.
(2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/isteri yang
tercemar,dan bila bagi mereka berlaku pasal 27 BW (Burgerlyk Wetboek),
dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah
meja da pisah ranjang karena alasan itu juga.
(3) Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, 73, dan 75.
(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang peradilan
belum dimulai.
(5) Jika bagi suami-isteri berlaku pasal 27 BW (Burgerlyk Wetboek), pengaduan
tidak diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau
sebelum putusan yang menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap.
Pasal 27 BW
Dalam waktu yang sama seorang laki hanya diperbolehkan mempunyai satu
orang perempuan sebagai istrinya, seorang perempuan hanya satu laki sebagai
suaminya
Pasal 285
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang
wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan
perkosaan dengan pidana penjara paling lama 12 tahun
8

Pasal 286
Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan padahal
diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam
dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun.
Di dalam kejahatan seksual yang disebut perkosaan, maka tindakan membuat
pingssanatau tidak berdaya termasuk didalam proses untuk melakukan kejahatan;
sedangkan kejahatan seksual menurut pasal 286 KUHP, disini sipelaku tidak
melakukan upaya apapun; pingsan dan tidak berdayanya bwanita bukan
diakibatkan oleh perbuatan sipelaku kejahatan.
Pasal 287 KUHP
(1) Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal
diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima
belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas bahwa belum waktunya untuk
dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umur wanita belum
sampai dua belas tahun atau jika ada salah satu hal berdasarkan pasal 291 dan
pasal 294.
Visum et repertum dapat memberikan kejelasan perihal perkiraan umur dari
wanita, apakah umurnya di bawah 12 tahun atau di bawah 15 tahun, perihal mampu
tidaknya dapat kawin serta ada tidaknya tanda-tanda persetubuhan (Pasal 287
KUHP). Demikian pula kejelasan apakah umur wanita di atas 15 tahun serta ada
tidaknya tanda-tanda persetubuhan. (Pasal 284 KUHP).2
Pada kasus persetubuhandi luar perkawinan yang merupakan kejahatan
dimana persetubuhan tersebut terjadi tanpa persetubuhan wanita, seperti yang
dimaksud dengan oleh pasal 285 dan 286 KUHP ; maka untuk kasus-kasus
tersebut VR harus dapat membuktikan bahwa pada wanita telah terjadi kekerasan
dan persetubuhan. Kejahatan seksual seperti yang dimaksud oleh pasal 285 KUHP
disebut PERKOSAAN, dan perlu dibedakan dari pasal 286 KUHP.2
9

Pasal-pasal yang mengatur tentang kejahatan pencabulan baik dalam


KUHP maupun Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan
anak yaitu, KUHP di jelaskan dalam Pasal 289, Pasal 290, Pasal 292, Pasal
293,Pasal 294, Pasal 295, dan Pasal 296. Sedangkan Undang-undang no.23
tahun 2002 tentang perlindungan anak di jelaskan dalam Pasal 82.
Adapun isi dari pasal-pasal yang mengatur tentang delik pencabulan
sebagai berikut2,7:
Pasal 289 KUHP
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa
seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan
cabul, dihukum karena merusakkan kesopanan dengan hukuman penjara
selama-lamanya sembilan tahun.
Pasal 290 KUHP
1e. Barang siapa yang melakukan perbuatan cabul dengan seseorang, sedang
diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya .
2e. Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang, sedang
diketahuinya atau patut harus disangkanya, bahwa umur orang itu belum
cukup 15 tahun atau kalau tidak nyata berapa umurnya,bahwa orang itu
belum belum masanya buat dikawin.
3e. Barang siapa membujuk (menggoda) seseorang yang diketahuinya atau
patut harus disangkanya, bahwa umur orang itu belum cukup 15 tahun atau
kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa ia belum masanya buat kawin,
akan melakukan atau atau membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan
cabul, atau akan bersetubuh dengan orang lain dengan tiada kawin.
Pasal 292 KUHP
Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang belum
dewasa dari jenis kelamin yang sama, sedang diketahuinya atau patut harus
disangkanya hal belum dewasa itu, dihukum penjara selama-lamanya lima
tahun.
10

Pasal 293 (1) KUHP


Barang siapa dengan mempergunakan hadiah atau perjanjian akan
memberikan uang atau barang, dengan salah mempergunakan pengaruh yang
berkelebih-lebihan yang ada disebabkan oleh perhubungan yang sesungguhnya
ada atau dengan tipu, sengaja membujuk orang yang belum dewasa yang tidak
bercacat kelakuannya, yang diketahuinya atau patut harus disangkanya belum
dewasa, akan melakukan perbuatan cabul dengan dia atau membiarkan
dilakukan perbuatan yang demikian pada dirinya, dihukum penjara selama-
lamanya lima tahun.
Pasal 294 KUHP
Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya yang belum
dewasa, anak tiri atau anak pungutnya,anak peliharaannya, atau dengan seorang
yang belum dewasa yang di percajakan padanya untuk ditanggung, dididik atau
dijaga, atau dengan bujang atau orang sebawahnyayang belum dewasa,
dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun .
Pasal 295 KUHP
1e. Dengan hukuman penjara selama-lamanyalima tahun, berang siapa yang
dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul yang
dikerjakan oleh anaknya, anak tirinya atau anak angkatnya yang belum
dewasa, oleh anak yang dibawah pengawasannya, orang yang belum
dewasa yang diserahkan kepadanya, supaya dipeliharanya, dididiknya atau
dijaganya atau bujangnya yang dibawah umur atau orang yang
dibawahnyadengan orang lain.
2e. Dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun, barang siapa yang
dengan sengaja, diluar hal-hal yang tersebut pada 1e, menyebabkan atau
memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain yang dikerjakan oleh
orang belum dewasa yang diketahuinya atau patut disangkanya, bahwa ia
ada belum dewasa.
Pasal 296 KUHP
11

Barang siapa yang pencahariannya atau kebiasaannya yaitu dengan


sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain
dihukum penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-
banyaknya Rp.15.000 ( lima belas ribu rupiah).
Pasal 82 Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan
menegaskan bahwa :
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan,memaksa melakukan tipu muslihat serangkaian kebohongan, atau
membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling
singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus
juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
Dalam hukum pidana di Indonesia, istilah sodomi belum dikenal. Pasal-
pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun
peraturan perundang-undangan lainnya belum mengatur tentang sodomi secara
tersendiri. Hukum pidana Indonesia sampai saat ini hanya mengenal istilah
pencabulan dan persetubuhan. Namun, walaupun belum diatur secara khusus,
perbuatan sodomi dapat dikategorikan sebagai pencabulan, sehingga dalam
praktiknya, kasus sodomi dikenakan dengan pasal-pasal tentang pencabulan
yang diatur dalam KUHP maupun peraturan perundang-undangan di luar
KUHP.

4. Pemeriksaan kasus kejahatan seksual


Secara umum tujuan pemeriksaan korban kejahatan seksual adalah
untuk3:
12

Melakukan identifikasi, termasuk memperkirakan usia korban;


Menentukan adanya tanda-tanda persetubuhan, dan waktu terjadinya, bila
mungkin;
Menentukan adanya tanda-tanda kekerasan, termasuk tanda intoksikasi
narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (NAPZA);
Menentukan pantas/tidaknya korban untuk dikawin, termasuk tingkat
perkembangan seksual; dan
Membantu identifikasi pelaku.
Beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan korban
kejahatan seksual3:
Lakukan pemeriksaan sedini mungkin setelah kejadian, jangan dibiarkan
menunggu terlalu lama. Hal ini penting untuk mencegah rusak atau berubah
atau hilangnya barang bukti yang terdapat di tubuh korban, serta untuk
menenangkan korban dan mencegah terjadinya trauma psikis yang lebih berat.
Pada saat pemeriksaan, dokter harus didampingi perawat yang sama jenis
kelaminnya dengan korban (biasanya wanita) atau bidan. Tujuannya adalah
untuk mengurangi rasa malu korban dan sebagai saksi terhadap prosedur
pemeriksaan dan pengambilan sampel.
Selain itu, hal ini juga perlu demi menjaga keamanan dokter pemeriksa
terhadap tuduhan palsu bahwa dokter melakukan perbuatan tidak senonoh
terhadap korban saat pemeriksaan.
Pemeriksaan harus dilakukan secara sistematis dan menyeluruh terhadap
seluruh bagian tubuh korban, tidak hanya terhadap daerah kelamin saja.
Catat dan dokumentasikan semua temuan, termasuk temuan negatif.
Langkah-langkah pemeriksaan adalah sebagai berikut:
a. Anamnesis
Pada korban kejahatan seksual, anamnesis harus dilakukan dengan bahasa
awam yang mudah dimengerti oleh korban. Gunakan bahasa dan istilah-istilah
13

yang sesuai tingkat pendidikan dan sosio-ekonomi korban, sekalipun mungkin


terdengar vulgar. Anamnesis dapat dibagi menjadi anamnesis umum dan
khusus. Hal-hal yang harus ditanyakan pada anamnesis umum mencakup,
antara lain3,7:
a. Umur atau tanggal lahir,
b. Status pernikahan,
c. Riwayat paritas dan/atau abortus,
d. Riwayat haid (menarche, hari pertama haid terakhir, siklus haid),
e. Riwayat koitus (sudah pernah atau belum, riwayat koitus sebelum dan/atau
setelah kejadian kekerasan seksual, dengan siapa, penggunaan kondom
atau alat kontrasepsi lainnya),
f. Penggunaan obat-obatan (termasuk NAPZA),
g. Riwayat penyakit (sekarang dan dahulu), serta
h. Keluhan atau gejala yang dirasakan pada saat pemeriksaan.
Sedangkan anamnesis khusus mencakup keterangan yang terkait kejadian
kekerasan seksual yang dilaporkan dan dapat menuntun pemeriksaan fisik,
seperti3:
a. What & How:
Jenis tindakan (pemerkosaan, persetubuhan, pencabulan, sodomi dan
sebagainya),
Adanya kekerasan dan/atau ancaman kekerasan, serta jenisnya,
Adanya upaya perlawanan,
Apakah korban sadar atau tidak pada saat atau setelah kejadian,
Adanya pemberian minuman, makanan, atau obat oleh pelaku sebelum
atau setelah kejadian,
Adanya penetrasi dan sampai mana (parsial atau komplit),
Apakah ada nyeri di daerah kemaluan,
Apakah ada nyeri saat buang air kecil/besar,
14

Adanya perdarahan dari daerah kemaluan,


Adanya ejakulasi dan apakah terjadi di luar atau di dalam vagina,
Penggunaan kondom, dan
Tindakan yang dilakukan korban setelah kejadian, misalnya apakah
korban sudah buang air, tindakan membasuh/douching, mandi, ganti baju,
dan sebagainya.
b. When:
Tanggal dan jam kejadian, bandingkan dengan tanggal dan jam melapor,
dan
Apakah tindakan tersebut baru satu kali terjadi atau sudah berulang.
c. Where:
Tempat kejadian, dan
Jenis tempat kejadian (untuk mencari kemungkinan trace evidence dari
tempat kejadian yang melekat pada tubuh dan/atau pakaian korban).
d. Who:
Apakah pelaku dikenal oleh korban atau tidak,
Jumlah pelaku,
Usia pelaku, dan
Hubungan antara pelaku dengan korban.
b. Pemeriksaan fisik
Saat melakukan pemeriksaan fisik, gunakan prinsip top-to-toe. Artinya,
pemeriksaan fisik harus dilakukan secara sistematis dari ujung kepala sampai
ke ujung kaki. Pelaksanaan pemeriksaan fisik juga harus memperhatikan
keadaan umum korban. Apabila korban tidak sadar atau keadaan umumnya
buruk, maka pemeriksaan untuk pembuatan visum dapat ditunda dan dokter
fokus untuk life-saving terlebih dahulu. Selain itu, dalam melakukan
pemeriksaan fisik, perhatikan kesesuaian dengan keterangan korban yang
15

didapat saat anamnesis. Pemeriksaan fisik yang dilakukan dapat dibagi menjadi
pemeriksaan umum dan khusus. Pemeriksaan fisik umum mencakup3:
Tingkat kesadaran,
Keadaan umum,
Tanda vital,
Penampilan (rapih atau tidak, dandan, dan lain-lain),
Afek (keadaan emosi, apakah tampak sedih, takut, dan sebagainya),
Pakaian (apakah ada kotoran, robekan, atau kancing yang terlepas),
Status generalis,
Tinggi badan dan berat badan,
Rambut (tercabut/rontok)
Gigi dan mulut (terutama pertumbuhan gigi molar kedua dan ketiga),
Kuku (apakah ada kotoran atau darah di bawahnya, apakah ada kuku yang
tercabut atau patah),
Tanda-tanda perkembangan seksual sekunder,
Tanda-tanda intoksikasi napza, serta
Status lokalis dari luka-luka yang terdapat pada bagian tubuh selain daerah
kemaluan.
Pemeriksaan fisik khusus bertujuan mencari bukti-bukti fisik yang terkait
dengan tindakan kekerasan seksual yang diakui korban dan mencakup
pemeriksaan:
Daerah pubis (kemaluan bagian luar), yaitu adanya perlukaan pada jaringan
lunak atau bercak cairan mani;
Penyisiran rambut pubis (rambut kemaluan), yaitu apakah adanya rambut
pubis yang terlepas yang mungkin berasal dari pelaku, penggumpalan atau
perlengketan rambut pubis akibat cairan mani;
Daerah vulva dan kulit sekitar vulva/paha bagian dalam (adanya perlukaan
pada jaringan lunak, bercak cairan mani);
16

Labia mayora dan minora (bibir kemaluan besar dan kecil), apakah ada
perlukaan pada jaringan lunak atau bercak cairan mani;
Vestibulum dan fourchette posterior (pertemuan bibir kemaluan bagian
bawah), apakah ada perlukaan;
Hymen (selaput dara), catat bentuk, diameter ostium, elastisitas atau
ketebalan, adanya perlukaan seperti robekan, memar, lecet, atau hiperemi).
Apabila ditemukan robekan hymen, catat jumlah robekan, lokasi dan arah
robekan (sesuai arah pada jarum jam, dengan korban dalam posisi litotomi),
apakah robekan mencapai dasar (insersio) atau tidak, dan adanya perdarahan
atau tanda penyembuhan pada tepi robekan;
Vagina (liang senggama), cari perlukaan dan adanya cairan atau lendir;
Serviks dan porsio (mulut leher rahim), cari tanda-tanda pernah melahirkan
dan adanya cairan atau lendir;
Uterus (rahim), periksa apakah ada tanda kehamilan;
Anus (lubang dubur) dan daerah perianal, apabila ada indikasi sodomi
berdasarkan anamnesis;
Mulut, apabila ada indikasi berdasarkan anamnesis,
Daerah-daerah erogen (leher, payudara, paha, dan lain-lain), untuk mencari
bercak mani atau air liur dari pelaku; serta
Tanda-tanda kehamilan pada payudara dan perut.
Kesulitan utama yang umumnya dihadapi oleh dokter pemeriksa adalah
pemeriksaan selaput dara. Bentuk dan karakteristik selaput dara sangat
bervariasi Pada jenisjenis selaput dara tertentu, adanya lipatan-lipatan dapat
menyerupai robekan. Karena itu, pemeriksaan selaput dara dilakukan dengan
traksi lateral dari labia minora secara perlahan, yang diikuti dengan penelusuran
tepi selaput dara dengan lidi kapas yang kecil untuk membedakan lipatan
dengan robekan. Pada penelusuran tersebut, umunya lipatan akan menghilang,
sedangkan robekan tetap tampak dengan tepi yang tajam.
17

Gambar 1. Beragam jenis selaput dara

5. Pembuktian Persetubuhan
Persetubuhan adalah suatu peristiwa dimana terjadi penetrasi penis ke
dalam vagina, penetrasi tersebut dapat lengkap atau tidak lengkap dan dengan atau
tanpa disertai ejakulasi.2
18

Dengan demikian hasil dari upaya pembuktian adanya persetubuhan


dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain2:
Besarnya penis dan derajat penetrasinya
Bentuk dan elastisitas selaput dara (hymen)
Ada tidaknya ejakulasi dan keadaan ejakulat itu sendiri
Posisi persetubuhan
Keaslian barang bukti serta waktu pemeriksaan
Pemeriksaan harus dilakukan sesegera mungkin, sebab dengan
berlangsungnya waktu tanda-tanda persetubuhan akan menghilang dengan
sendirinya. Sebelum dilakukan pemeriksaan, dokter hendaknya mendapat izin
tertulis dari pihak-pihak yang diperiksa. Jika korban adalah seorang anak izin dapat
diminta dari orang tua atau walinya.2
a. Pemeriksaan Korban
i. Pemeriksaan tubuh
Pemeriksaan dilakukan pada selaput dara, apakah ada ruptur atau tidak.
Bila ada, tentukan ruptur baru atau lama dan catat lokasi ruptur tersebut, teliti
apakah sampai ke insertio atau tidak. Tentukan besar orifisium, sebesar ujung
jari kelingking, jari telunjuk, atau dua jari. Sebagai gantinya dapat juga
ditentukan ukuran lingkaran orifisium, dengan cara ujung kelingking atau
telunjuk dimasukkan dengan hati-hati ke dalam orifisium sampai terasa tepi
selaput dara menjepit ujung jari, beri tanda pada sarung tangan dan lingkaran
pada titik itu diukur. Ukuran pada seorang perawan kira-kira 2,5 cm. Lingkaran
yang memungkinkan persetubuhan dapat terjadi menurut Voight adalah
minimal 9 cm.7
Harus diingat bahwa tidak terdapatnya robekan pada selaput dara, tidak
dapat dipastikan bahwa pada wanita tidak terjadi penetrasi; sebaliknya adanya
robekan pada selaput dara hanya merupakan pertanda adanya suatu benda
(penis atau benda lain yang masuk ke dalam vagina.7
19

Apabila pada persetubuhan tersebut disertai dengan ejakulasi dan ejakulat


tersebut mengandung sperma, maka adanya sperma di dalam liang vagina
merupakan tanda pasti adanya persetubuhan. Apabila ejakulat tidak
mengandung sperma, maka pembuktian adanya persetubuhan dapat diketahui
dengan melakukan pemeriksaan terhadap ejakulat tersebut.2
Komponen yang terdapat di dalam ejakulat dan dapat diperiksa adalah:
enzim asam fosfatase, kolin dan spermin. Baik enzim asam fosfatase, kolin
maapun spermin bila dibandingkan dengan sperma nilai pembuktiannya lebih
rendah oleh karena ketiga komponen tersebut tidak spesifik. Walaupun
demikian enzim fosfatase masih dapat diandalkan, karena kadar asam fosfatase
yang terdapat dalam vagina (berasal dari wanita itu sendiri), kadarnya jauh lebih
rendah bila dibandingkan dengan asam fosfatase yang berasal dari kelenjar
fosfat.2
Dengan demikian apabila pada kejahatan seksual yang disertai dengan
persetubuhan itu tidak sampai berakhir dengan ejakulasi, dengan sendirinya
pembuktian adanya persetubuhan secara kedokteran forensik tidak mungkin
dapat dilakukan secara pasti. Sebagai konsekuensinya, dokter tidak dapat secara
pasti pula menentukan bahwa pada seorang wanita tidak terjadi persetubuhan;
maksimal dokter harus mengatakan bahwa pada diri wanita yang diperiksanya
itu tidak ditemukan tanda-tanda persetubuhan, yang mencakup dua
kemungkinan: pertama, memang tidak ada persetubuhan dan yang kedua
persetubuhan ada tapi tanda-tandanya tidak dapat ditemukan.2
Apabila persetubuhan telah dapat dibuktikan secara pasti maka perkiraan
saat terjadinya persetubuhan harus ditentukan; hal ini menyangkut masalah
alibi yang sangat penting di dalam proses penyidikan.2
Dalam waktu 4-5 jam postkoital sperma di dalam liang vagina masih dapat
bergerak; sperma masih dapat ditemukan namun tidak bergerak sampai sekitar
24-36 jam postkoital, dan masih dapat ditemukan sampai 7-8 hari bila wanita
yang menjadi korban meninggal. Perkiraan saat terjadinya persetubuhan juga
20

dapat ditentukan dari proses penyembuhan selaput dara yang robek. Pada
umumnya penyembuhan tersebut dicapai dalam waktu 7-10 hari postkoital.2
ii. Pemeriksaan pakaian
Dalam hal pembuktian adanya persetubuhan, pemeriksaan dapat dilakukan
pada pakaian korban untuk menentukan adanya bercak ejakulat. Dari bercak
tersebut dapat dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk memastikan bahwa
bercak yang telah ditemukan adalah air mani serta dapat menentukan adanya
sperma.
b. Pemeriksaan Pelaku
i. Pemeriksaan tubuh
Untuk mengetahui apakah seorang pria baru melakukan persetubuhan,
dapat dilakukan pemeriksaan ada tidaknya sel epitel vagina pada glans penis.
Perlu juga dilakukan pemeriksaan sekret uretra untuk menentukan adanya
penyakit kelamin.7
ii. Pemeriksaan pakaian
Pada pemeriksaan pakaian, catat adanya bercak semen, darah, dan
sebagainya. Bercak semen tidak mempunyai arti dalam pembuktian sehingga
tidak perlu ditentukan. Darah mempunyai nilai karena kemungkinan berasal
dari darah deflorasi. Di sini penentuan golongan darah penting untuk dilakukan.
Trace evidence pada pakaian yang dipakai ketika terjadi persetubuhan harus
diperiksa. Bila fasilitas untuk pemeriksaan tidak ada, kirim ke laboratorium
forensik di kepolisian atau bagian Ilmu Kedokteran Forensik, dibungkus, segel,
serta dibuat berita acara pembungkusan dan penyegelan.7
6. Pembuktian Kekerasan
Tidak sulit untuk membuktikan adanya kekerasan pada tubuh wanita yang
menjadi korban. Dalam hal ini perlu diketahui lokasi luka-luka yang sering
ditemukan, yaitu di daerah mulut dan bibir, leher, puting susu, pergelangan tangan,
pangkal paha serta di sekitar dan pada alat genital.2
21

Luka-luka akibat kekerasan seksual biasanya berbentuk luka lecet bekas


kuku, gigitan (bite marks) serta luka-luka memar.2
Sepatutnya diingat bahwa tidak semua kekerasan meninggalkan bekas atau
jejak berbentuk luka. Dengan demikian, tidak ditemukannya luka tidak berarti
bahwa pada wanita korban tidak terjadi kekerasan itulah alasan mengapa dokter
harus menggunakan kalimat tanda-tanda kekerasan di dalam setiap Visum et
Repertum yang dibuat, oleh karena tidak ditemukannya tanda-tanda kekerasan
mencakup dua pengertian: pertama, memang tidak ada kekerasan, dan yang kedua
kekerasan terjadi namun tidak meninggalkan bekas (luka) atau bekas tersebut
sudah hilang.2
Tindakan pembiusan serta tindakan lainnya yang menyebabkan korban
tidak berdaya merupakan salah satu bentuk kekerasan. Dalam hal ini perlu
dilakukan pemeriksaan untuk menentukan adanya racun atau obat-obatan yang
kiranya dapat membuat wanita tersebut pingsan; hal tersebut menimbulkan
konsekuensi bahwa pada setiap kasus kejahatan seksual, pemeriksaan toksikologik
menjadi prosedur yang rutin dikerjakan.2
7. Perkiraan Umur
Penentuan umur bagi wanita yang menjadi korban kejahatan seksual seperti
yang dikehendaki oleh pasal 284 dan 287 KUHP adalah hal yang tidak mungkin
dapat dilakukan (kecuali didapatkan informasi dari akte keahiran). Dengan
teknologi kedokteran yang canggih pun maksimal hanya sampai pada perkiraan
umur saja.2
Perkiraan umur dapat diketahui dengan melakukan serangkaian
pemeriksaan yang meliputi pemeriksaan fisik, ciri-ciri seks sekunder,
pertumbuhan gigi, fusi atau penyatuan dari tulang-tulang khususnya tengkorak
serta pemeriksaan radiologi lainnya.2
Dalam menilai perkiraan umur, dokter perlu menyimpulkan apakah wajah
dan bentuk badan korban sesuai dengan yang dikatakannya. Keadaan
perkembangan payudara dan pertumbuhan rambut kemaluan perlu dikemukakan.
22

Ditentukan apakah gigi geraham belakang ke-2 (molar ke-2) sudah tumbuh (terjadi
pada umur kira-kira 12 tahun, sedangkan molar ke-3 akan muncul pada usia 17-21
tahun atau lebih). Juga harus ditanyakan apakah korban sudah pernah menstruasi
bila umur korban tidak diketahui.2
Hal-hal tersebut di atas perlu diketahui sehubungan dengan bunyi pasal
287 KUHP untuk menentukan apakah penuntutan harus dilakukan.2
8. Penentuan Pantas Dikawin
Apabila suatu perkawinan dimaksudkan sebagai suatu perbuatan yang suci
dan baik, dimana tujuan utamanya adalah untuk dapat menghasilkan keturunan,
maka penentuan apakah seorag wanita itu sudah waktunya untuk dikawin atau
belum, semata-mata hanya berdasarkan atas kesiapan biologis (yang dapat
dibuktikan oleh ilmu kedokteran), dalam hal ini: menstruasi. Bila wanita itu sudah
mengalami menstruasi, maka ia sudah waktunya untuk dikawin. Untuk itu, yaitu
untuk mengetahui apakah wanita tersebut sudah pernah menstruasi dokter
pemeriksa tidak jarang harus merawat dan mengisolir wanita tersebut, yang
maksudnya agar ia dapat mengetahui dan mendapatkan bukti secara pasti bahwa
telah terjadi menstruasi. Menurut Muller, untuk mengetahui ada atau tidaknya
ovulasi perlu dilakukan observasi selama 8 minggu di rumah sakit, sehingga dapat
ditentukan adakah selama itu ia mendapat menstruasi. Sekarang ini untuk
menentukan apakah seorang wanita sudah pernah mengalami ovulasi atau belum
dapat dilakukan pemeriksaan vaginal smear.2
Akan tetapi bila kita mengacu pada Undang-undang perkawinan, yang
mengatakan bahwa wanita boleh kawin bila ia telah berumur 16 tahun, maka
masalahnya kembali kepada masalah perkiraan umur.2

B. Aborsi
1. Definisi
Abortus menurut pengertian medis ialah gugur kandungan atau keguguran
dan keguguran itu sendiri berarti berakhirnya kehamilan, sebelum fetus dapat
23

hidup sendiri di luar kandungan. Batasan umur kandungan 28 minggu dan berat
badan fetus yang keluar kurang dari 1000 gram.2
Pengertian pengguguran kandungan menurutr hukum ialah tindakan
menghentikan kehamilan atau mematikan janin sebelum waktu kelahiran, tanpa
melihat usia kandungannya dan tidak dipersoalkan, apakah dengan
pengguguran tersebut lahir bayi mati atau hidup. Perbedaan antara pengguguran
kandungan secara medis dan secara hukum yaitu adanya faktor kesengajaan dan
tidak adanya faktor usia kehamilan.7
Abortus terdiri atas 2,4,7:
a. Abortus spontan
Diperkirakan 10-20% dari kehamilan akan berakhir dengan abortus, dan
secra yuridis tidak membawa implikasi apa-apa.
b. Abortus provokatus, yang terbagi lagi ke dalam abortus provokatus
medisinalis (terapeutikus) dan abortus provokatus kriminalis.
Abortus provokatus medisinalis atau abortus therapeuticus dilakukan
semata-mata atas dasar pertimbangan medis yang tepat, tidak ada cara lain
untuk menyelamatkan nyawa si-ibu kecuali jika kandungannya
digugurkan, misalnya pada penderita kanker ganas.
Abortus provokatus kriminalis sangat jelas bahwa tindakan pengguguran
kandungan disini semata-mata untuk tujuan yang tidak baik dan melawan
hukum. Tindakan abortus yang tidak dapat dipertanggung jawabkan secara
medis, dilakukan hanya untuk kepentingan si pelaku, walaupun ada
kepentingan juga dari si-ibu yang malu akan kehamilannya. Kejahatan
jenis ini sulit untuk melacaknya oleh karena kedua belah pihak
menginginkan agar abortus dapat terlaksana dengan baik ( crime without
victim, walaupun sebenarnya korbannya ada yaitu bayi yang dikandung).
Abortus provokatus kriminalis sajalah yang termasuk ke dalam lingkup
pengguguran kandungan menurut hukum.2,4,7
2. Aspek hukum yang berkaitan dengan abortus
24

Dalam KUHP terdapat pasal-pasal yang berkaitan dengan abortus, yaitu


pasal 346, 347, 348, 349, dan pasal 299 KUHP.2,7
Pasal 346 KUHP
Seorang wanita dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya
atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama
empat tahun.
Pasal 347 KUHP
1) Barang siapa dngan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan
seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling
lama empat tahun.
2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Pasal 348 KUHP
1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan
seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun enam bulan.
2) Jika perbuatan itu menyebabkan matinya wanita tersebut, diancam dengan
pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Pasal 349 KUHP
Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan
berdasarkan pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah
satu kejahatan yang diterapkan dalam Pasal 347 dan 348, maka pidana yang
ditentukan dalam pasal itu dapat dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat
dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan.

Pasal 299 KUHP


1) Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruh
supaya diobati dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan bahwa karena
pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan pidana penjara
25

paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat puluh lima
ribu rupiah.
2) Jika yang bersalah berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau
menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan, atau jika dia
seorang tabib, bidan atau juru obat, pidananya dapat ditambah sepertiga.
3 Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan
pencarian, maka dapat dicabut haknya untuk melakukan pencarian itu.
Dari Pasal 346, 347 dan 348 KHUP, jelas bahwa undang-undang tidak
mempersoalkan masalah umur kehamilan atau berat badan dari fetus yang keluar.
Sedangkan pasal 349 dan 299 KUHP memuat ancaman hukuman untuk orang-
orang tertentu yang mempunyai profesi atau pekerjaan tertentu bila mereka turut
membantu atau melakukan kejahatan seperti yang dimaksud ke tiga pasal
tersebut.2
Yang dapat dikenakan hukuman adalah tindakan menggugurkan atau
mematikan kandungan yang termasuk tindakan pidana sesuai dengan pasal-pasal
pada KUHP (aborsi kriminalis). Sedangkan tindakan yang serupa demi
keselamatn ibu yang dapat dipertanggungjwabkan secara medis (aborsi
medicinalis atau aborsi therapeuticus), tidaklah dapat dihukum walaupun pada
kenyataan dokter dapat melakukan aborsi medicinalis, itu diperiksa oleh penyidik
dan dilanjutkan dengan pemeriksaan di pengadilan. Pemeriksaan oleh penyidik
atau hakim di pengadilan bertujuan untuk mencari bukti-bukti akan kebenaran
bahwa pada kasus tersebut memang murni tidak ada unsur kriminalnya, semata-
mata untuk keselamatan jiwa Si ibu. Perlu diingat bahwa hanya Hakimlah yang
berhak memutuskan apakah seseorang itu (dokter) bersalah atau tidak bersalah.2
3. Teknik abortus kriminalis
Aborsi kriminal dapat dilakukan sendiri oleh yang bersangkutan atau
dibantu oleh orang lai, yaitu4:
26

a. Dengan menggunakan kekerasan umum (general violence) atau melakukan


kegiatan fisik yan berlebihan seperti menunggang kuda, lari-lari dan loncat-
loncat.
b. Dengan menggunakan kekerasan local (local violence) :
i. Tanpa menggunakan alat (instrumen), antara lain : memijat perut bagian
bawah, menginjak perut bagian bawah, meninjau perut bagian bawah.
ii. Dengan menggunakan alat-alat medis berupa : sonde, kateter, tang kuret.
iii. Dengan menggunakan alat-alat non medis, misalnya : kawat, tongkat,
batang kayu.
iv. Dengan menggunakan zat-zat kimia, antara lain : air hangat, air
dicampur kreolin atau Lysol atau carbol, air sabun, larutan zink chloride
c. Menggunakan obat-obatan abortifisien :
i. Obat emetika
ii. Obat purgative atau laxantia : Castrol oli
iii. Obat emenagoga atau obat pelancar haid, misalnya apiol, minyak pale,
oleum rutae.
iv. Ecbolica atau obat perangsang otot rahim : ergotamin, pituitrin, kinina.
4. Komplikasi abortus
Tindakan abortus yang dilakuakan bukan oleh tangan yang terampil dapat
menimbulkan gangguan pada si ibu. Beberapa komplikasi yang timbul adalah7:
a. Perdarahan akibat luka jalan lahir, diatesa hemorargik dan lain-lain. Perdarahan
dapat timbul segera pasca tindakan, dapat pula timbul lama setelah tindakan.
b. Syok (renjatan) akibat refleks vasovagal atau neurogenik. Komplikasi ini dapat
menimbulkan kematian yang mendadak.
c. Emboli udara, dapat terjadi pada teknik penyemprotan cairan ke dalam uterus.
Hal ini terjadi karena pada waktu penyemprotan, selain cairan juga gelembung
udara masuk ke dalam uterus, sedangkan di saat yang sama sistem vena di
endometrium dalam keadaan terbuka.
27

d. Inhibisi vagus, hampir selalu terjadi pada tindakan abortus yang dilakukan
tanpa anestesi pada ibu dalam keadaan stress, gelisah dan panik. Hal ini dapat
terjadi akibat alat yang digunakan atau alat suntik secara mendadak dengan
cairan yang terlalu panas atau terlalu dingin.
e. Keracunan zat abortivum, termasuk karena anestesia, antiseptik lokal seperti
KmnO4 pekat, AgNO3, jodium dapat mengakibatkan cedera yang hebat atau
kematian. Demikian pula obat seperti kina atau logam berat. Pemeriksaan
histologi dan toksikologi sangat diperlukan untuk menegakkan diagnosis.
f. Infeksi dan sepsis. Komplikasi ini tidak timbul segera, tapi memerlukan waktu.
5. Pemeriksaan korban abortus
a. Korban Hidup
Pada korban hidup perlu diperhatikan7:
1) Tanda kehamilan, misalnya perubahan pada payudara, pigmentasi,
hormonal, mikroskopik, dan sebagainya.
2) Usaha penghentian kehamilan, misalnya tanda kekerasan pada genitalia,
perut bawah
3) Pemeriksaan toksikologi, untuk mengetahui adanya obat/zat yang dapat
mengakibatkan abortus
4) Hasil dari usaha penghentian kehamilan dapat berupa :
IUFD (Intra Uterine Fetal Death)
Sisa-sisa jaringan dengan pemeriksaan mikroskopis/ PA

b. Korban Mati
Pemeriksaan dilakukan secepat mungkin, sebaiknya (12-16 jam), pemeriksaan
luar dilakukan seperti biasa. Temuan autopsi pada korban yang meninggal
tergantung pada cara melakukan aborsi serta interval waktu antara tindakan
aborsi dan kematian.7
28

Pada pemeriksaan jenazah, Teare (1964) menganjurkan pembukaan abdomen


sebagai langkah pertama dalam autopsi bila ada kecurigaan akan abortus
kriminalis sebagai penyebab kematian korban. Pemeriksaan luar dilakukan
seperti biasa sedangkan pada pembedahan jenazah, bila didapatkan cairn dalam
rongga perut, atau kecurigaan lain, lakukan pemeriksaan toksikologik.7
Pemeriksaan post mortem meliputi4 :
Tentukan apakah hamil/ baru saja hamil
Tanda baru saja aborsi
Tanda kekerasan
Tentukan sebab kematian.
c. Tanda-Tanda Post Mortem pada Aborsi
Pada ibu, sewaktu hidup : adanya tanda-tanda baru melahirkan, tergantung dari
usia saat aborsi, pemeriksaan dalam dan lamanya kehamilan.
Tanda-tanda aborsi yang baru terjadi adalah : bercak darah pada vagina,
ditemukan cairan, vagina yang longgar, laserasi dan luka yang terdapat pada
vagina. Serviks membuka, bisa terdapat dan bisa juga tidak terdapat robekan.
Uterus membesar dan payudara juga membesar.
Setelah kematian, lakukan pemeriksaan terhadap :
- Tanda-tanda kehamilan.
- Cedera, terutama akibat kekerasan
- Periksa alat-alat genitalia interna, apakah pucat, mengalami kongesti, atau
adanya memar.
- Laserasi, inflamasi pada vagina
- Cedera pada serviks
- Uterus dan jaringan sekitarnya, diambil contoh jaringan untuk pemeriksaan.
Apakah ada pembesaran, krepitasi, luka, atau perforasi.
- Uterus diiris mendatar dengan jarak antar irisan 1 cm untuk mendeteksi
perdarahan yang berasal dari bawah
29

- Letak plasenta yang akan terlihat jika uterus dibuka.


Tes emboli udara dilakukan pada vena kava inferior dan jantung.
Pemeriksaan toksikologik dilakukan segera setelah tes emboli dengan
mengambil darah dari jantung. Pemeriksaan kehamilan/toksikologik juga dapat
dilakukan dengan mengambil urin. Pemeriksaan organ-organ lain dilakukan
seperti biasa.7
6. Pembuktian pada kasus abortus
Untuk dapat membuktikan apakah kematian seorang wanita itu merupakan
akibat dari tindakan abortus yang dilakukan atas dirinya, diperlukan petunjuk-
petunjuk2:
a. Adanya kehamilan
b. Umur kehamilan bila dipakai pengertian aborsi menurut pengertian medis.
c. Adanya hubungan sebab akibat antara aborsi dengan kematian.
d. Adanya hubungan antara saat dilakukannya tindakan aborsi dengan saat
kematian.
e. Adanya barang bukti yang dipergunakan untuk melakukan aborsi sesuai
dengan metode yang dipergunakan.

C. Infanticide
1. Definisi
Infanticide adalah merupakan sebutan yang bersifat khusus bagi tindakan
merampas nyawa bayi yang belum berumur sartu tahun oleh ibu kandungnya
sendiri4.
30

Menurut undang-undang di Indonesia pembunuhan anak sendiri adalah


pembunuhan oleh seorang ibu atsa anaknya pada ketika dilahirkan atau tidak
berapa lama stelah dilahirkan, karena takut ketahuan bahwa ia melahirkan
anak.7
Pembunuhan anak adalah merupakan suatu bentuk kejahatan terhadap
nyawa yang unik sifatnya. Unik dalam arti si-pelaku pembunuhan haruslah ibu
kandungnya sendiri, dan alasan atau motivasi untuk melakukan kejahatan
terswebut adalah karena si-ibu takut ketahuan bahwa ia telah melahirkan anak
oleh karena anak sebagai hasil hubungan gelap. Selain kedua hal tersebut
keunikan lainnya adalah saat dilakukannya tindakan menghilangkan nyawa si
anak, yaitu pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian yang dalam hal
ini patokannya adalah sudah ada atau belum adan tanda-tanda perawatan,
dibersihkan, dipotong tali pusatnya atau diberi pakaian. Saat dilakukannya
kejahatan tersebut dikaitkan dengan keadaaan mental emosional dari si-ibu,
dimana selain rasa malu, takut, benci serta rasa nyeri bercmpur aduk menjadi
satu, sehingga perbuatannya itu dianggap dilakukan tidak dalam keadaan
mental yang tenang, sadar serta dengan perhitungan yang matang. Inilah yang
menjelaskan mengapa ancaman hukuman pada kasus pembunuhan anak lebih
ringan bila dibandingkan dengan kasus-kasus pembunuhan lainnya.2

2. Dasar hukum menyangkut pembunuhan anak sendiri


Dalam KUHP, pembunuhan anak sendiri tercantum di dalam bab kejahatan
terhadap nyawa orang. Adapun bunyi pasalnya yaitu2,7:
Pasal 341 KUHP
Seorang ibu yang karena takut akan ketahuan melahirkan anak pada saat anak
dilahirkan atau tidak lama kemudian, dengan sengaja merampas nyawa anaknya,
31

diancam karena membunuh anak sendiri dengan pidana penjara paling lama tujuh
tahun.
Pasal 342 KUHP
Seorang ibu yang untuk melaksanakan niat yang ditentukan karena takut akan
ketahuan bahwa ia akan melahirkan anak, pada saat anak dilahirkan atau tidak
lama kemudian merampas nyawa anak sendiri dengan rencana, dengan pidana
penjara paling lama sembilan tahun.
Pasal 343
Bagi orang lain yang turut serta melakukan kejahatan yang diterangkan dalam
pasal 342 KUHP diartikan sebagai pembunuhan atau pembunuhan berencana.
Berdasarkan undang-undang tersebut kita dapat melihat adanya tiga faktor
penting yaitu7:
Ibu yaitu hanya ibu kandung yang dapat dihukum karena melakukan
pembunuhan anak sendiri. Tidak dipersoalkan apakah ibu telah menikah atau
tidak, sedangkan bagi orang lain yang melakukan atau turut membunuh anak
tersebut dihukum karena pembunuhan atau pembunuhan berencana, dengan
hukuman yang lebih berat yaitu 15 tahun penjara (pasal 338 pembunuhan tanpa
rencana), atau 20 tahun, seumur hidup/hukuman mati ( pasal 339 dan 340,
pembunuhan dengan rencana).
Waktu yaitu dalam undang-undang tidak disebutkan batasan waktu yang tepat,
tetapi hanya dinyatakan pada saat dilahirkan atau tidak lama kemudian .
Sehingga boleh dianggap pada saat belum timbul rasa kasih sayang seorang ibu
terhadap anaknya. Bila rasa kasih sayang sudah timbul maka ibu tersebut akan
merawat dan bukan membunuh anaknya.
Psikis yaitu ibu membunuh anaknya karena terdorong oleh rasa ketakutan akan
diketahui orang lain telah melahirkan anak itu, biasanya anak yang dilahirkan
tersebut didapatkan dari hubungan tidak sah.
32

Bila ditemukan mayat bayi di tempat yang tidak semestinya, misalnya tempat
sampah, got, sungai dan sebagainya, maka bayi tersebut mungkin adalah korban
pembunuhan anak sendiri (pasal 341, 342) pembunuhan (pasal 338, 339, 340, 343),
lahir mati kemudian dibuang (pasal 181) atau bayi yang ditelantarkan sampai mati.
3. Pemeriksaan kedokteran forensik pada infanticide
Pemeriksaan kedokteran forensik pada kasus pembunuhan anak atau yang
diduga kasus pembunuhan anak ditujukan untuk memperoleh kejelasan di dalam hal
sebagai berikut2:
Apakah anak tersebut dilahirkan hidup atau lahir mati?
Apakah terdapat tanda-tanda perawatan?
Apakah ada luka-luka yang dapat dikaitkan dengan penyebab kematian?
Oleh karena Visum et Repertum itu juga mengandung makna sebagai pengganti
barang bukti, maka segala apa yang terdapat dalam barang bukti dalam hal ini
yaitu tubuh anak, harus dicatat dan dilaporkan. Dengan demikian selain ketiga
kejelasan tersebut di atas, masih ada dua hal lagi yang harus diutarakan dalam
VR yaitu:
Apakah anak yang dilahirkan itu cukup bulan dalam kandungan?
Apakah pada anak tersebut didapatkan kelainan bawaan yang dapat
mempengaruhi kelangsungan hidup bagi si anak?
Sehingga lebih jelas bahwa permasalahan tentang maturitas seperti cukup
bulan atau prematur merupakan hal yang penting, sama halnya dengan kemampuan
anak untuk hidup dengan wajar (viabilitas) tanpa kelainan bawaan yang diderita oleh
anak.2
Sebelum melangkah lebih jauh, perlu ditinjau lebih dahulu pengertian lahir
hidup dan lahir mati. Perlu diketahui bahwa seorang dokter tidak dibenarkan
membuat kesimpulan lahir hidup atau lahir mati dari hasil pemeriksaan terhadap
korban kasus yang diduga akibat pembunuhan anak.2
4. Lahir hidup atau lahir mati
33

Lahir hidup (live birth) adalah keluar atau dikeluarkannya hasil konsepsi
yang lengkap, yang setelah pemisahan, bernapas atau menunjukkan tanda
kehidupan lain tanpa mempersoalkan usia gestasi, sudah atau belumnya tali pusat
dipotong dan uri dilahirkan.2,7
Lahir mati (still birth) adalah kematian hasil konsepsi sebelum keluar atau
dikeluarkan oleh ibunya, tanpa mempersoalkan usia kehamilan (baik sebelum
ataupun setelah kehamilan berumur 28 minggu dalam kandungan). Kematian
ditandai oleh janin yang tidak bernapas atau tidak menunjukkan tanda kehidupan
lain seperti denyut jantung, denyut nadi tali pusat atau gerakan otot rangka.2,7
Adapun tanda-tanda kehidupan pada bayi yang baru dilahirkan yaitu2,47:
Pernapasan
o Paru mengembang
o Udara dalam lambung atau usus
Menangis
Pergerakan otot
Sirkulasi darah dan denyut jantung serta perubahan hemoglobin
Isi usus
Keadaan tali pusat

a. Pernapasan
Pernapasan spontan terjadi akibat rangsangan atmosfer dan adanya gangguan
sirkulasi plasenta, dan ini menimbulkan perubahan penting yang permanen pada
paru.
1) Uji Apung Paru
34

Uji apung paru dilakukan dengan teknik tanpa sentuh (no touch technique),
paru-paru tidak disentuh untuk menghindari kemungkinan timbulnya artefak
pada sediaan histopatologik jaringan paru akibat manipulasi berlebihan.7
Lidah dikeluarkan seperti biasa di bawah rahang bawah, ujung lidah dijepit
dengan pinset atau klem, kemudian ditarik ke arah ventrokaudal sehingga tampak
palatum mole. Dengan scalpel yang tajam, palatum mole disayat sepanjang
perbatasannya dengan palatum durum. Faring, laring, esophagus bersama dengan
trakea dilepaskan dari tulang belakang. Esofagus bersama dengan trakea diikat
di bawah kartilago krikoid dengan benang. Pengikatan ini dimaksudkan agar
pada manipulasi berikutnya cairan ketuban, mekonium atau benda asing lain
tidak mengalir ke luar melalui trakea; bukan untuk mencegah masuknya udara ke
dalam paru.7
Pengeluaran organ dari lidah sampai paru dilakukan dengan forsep atau
pinset bedah dan scalpel, tidak boleh dipegang dengan tangan. Kemudian
esophagus diikat di atas diafragma dan dipotong di atas ikatan. Pengikatan ini
dimaksudkan agar udara tidak masuk ke dalam lambung dan uji apung lambung-
usus (uji Breslau) tidak memberikan hasil meragukan.7
Setelah semua organ leher dan dada dikeluarkan dari tubuh, lalu
dimasukkan ke dalam air dan dilihat apakah mengapung atau tenggelam.
Kemudian paru-paru kiri dan kanan dilepaskan dan dimasukkan kembali ke
dalam air, dilihat apakah mengapung atau tenggelam. Setelah itu tiap lobus
dipisahkan dan dimasukkan ke dalam air, dan dilihat apakah mengapung atau
tenggelam. Lima potong kecil dari bagian perifer tiap lobus dimasukkan ke dalam
air, diperhatikan apakah mengapung atau tenggelam.7
Hingga tahap ini, paru bayi yang lahir mati masih dapat mengapung oleh
karena kemungkinan adanya pembusukan. Bila potongan kecil itu mengapung,
letakkan di antara dua karton dan ditekan dengan arah penekanan tegak lurus
jangan digeser untuk mengeluarkan gas pembusukan yang terdapat pada jaringan
interstisial paru, lalu masukkan kembali ke dalam air dan diamati apakah masih
35

mengapung atau tenggelam. Bila masih mengapung berarti paru terisi udara
residu yang tidak akan keluar. Namun, terkadang dengan penekanan, dinding
alveoli pada mayat bayi yang telah membusuk lanjut akan pecah dan udara residu
keluar dan memperlihatkan hasil uji apung paru negatif.7
Uji apung paru harus dilakukan menyeluruh sampai potongan kecil paru
mengingat kemungkinan adanya pernapasan sebagian (parsial respiration) yang
dapat bersifat buatan atau alamiah (vagitus uternus atau vagitus vaginalis) yaitu
bayi sudah bernapas walaupun kepala masih dalam uterus atau dalam vagina).7
Hasil negatif belum berarti pasti lahir mati karena adanya kemungkinan
bayi dilahirkan hidup tapi kemudian berhenti bernapas meskipun jantung masih
berdenyut, sehingga udara dalam alveoli diresorpsi. Pada hasil uji negatif ini,
pemeriksaan histopatologik paru harus dilakukan untuk memastikan bayi lahir
mati atau lahir hidup.7
Bila sudah jelas terjadi pembusukan, maka uji apung paru kurang dapat
dipercaya, sehingga tidak dianjurkan untuk dilakukan.7
2) Mikroskopik paru-paru
Setelah paru-paru dikeluarkan dengan teknik tanpa sentuh, dilakukan
fiksasi dengan larutan formalin 10 %. Sesudah 12 jam, dibuat irisan melintang
untuk memungkinkan cairan fiksatif meresap dengan baik ke dalam paru. Setelah
difiksasi selama 48 jam, kemudian dibuat sediaan histopatologik. Biasanya
digunakan perwarnaan HE dan bila paru telah membusuk digunakan pewarnaan
Gomori atau Ladewig.7
Struktur seperti kelenjar bukan merupakan ciri paru bayi yang belum
bernapas, tetapi merupakan ciri paru janin yang belum mencapai usia gestasi 26
minggu. Tanda khas untuk paru janin belum bernapas adalah adanya tonjolan
(projection) yang berbentuk seperti bantal (cushion-like) yang kemudian akan
bertambah tinggi dengan dasar menipis sehingga akan tampak seperti gada (club
like). Pada permukaan ujung bebas projection tampak kapiler yang berisi banyak
darah. Pada paru bayi belum bernapas yang sudah membusuk dengan perwarnaan
36

Gomori atau Ladewig, tampak serabut-serabut retikulin pada permukaan dinding


alveoli berkelok-kelok seperti rambut yang keriting, sedangkan pada projection
berjalan di bawah kapiler sejajar dengan permukaan projection dan membentuk
gelung-gelung terbuka (open loops).7
Pada paru bayi yang lahir mati mungkin pula ditemukan tanda inhalasi
cairan amnion yang luas karena asfiksia intrauterin, misalnya akibat tertekannya
tali pusat atau solusio plasenta sehingga terjadi pernapasan janin prematur
(intrauterine submersion). Tampak sel-sel verniks akibat deskuamasi sel-sel
permukaan kulit, berbentuk persegi panjang dengan inti piknotik berbentuk huruf
S, bila dilihat dari atas samping terlihat seperti bawang. Juga tampak sel-sel
amnion bersifat asidofilik dengan batas tidak jelas dan inti terletak eksentrik
dengan batas yang juga tidak jelas.7
Mekonium yang berbentuk bulat berwarna jernih sampai hijau tua mungkin
terlihat dalam bronkioli dan alveoli. kadang-kadang ditemukan deskuamasi sel-
sel epitel bronkus yang merupakan tanda maserasi dini, atau fagositosis
mekonium oleh sel-sel dinding alveoli.7
Lahir mati ditandai pula oleh keadaan yang tidak memungkinkan terjadinya
kehidupaan seperti trauma persalinan yang hebat, perdarahan otak yang hebat,
dengan atau tanpa robekan tentorium serebeli, pneumonia intrauterin, kelainan
kongenitasl yang fatal seperti anensefalus.7
Adapun ringkasan perbedaan dari pemeriksaan paru yaitu 8:
N Paru belum bernapas Paru sudah bernapas
11. Volume kecil, kolaps, Volume 4-6x lebih besar, sebagian
menempel pada vertebra, menutupi jantung, konsistensi
konsistensi padat, tidak ada seperti karet busa (ada krepitasi)
krepitasi
22. Tepi paru tajam Tepi paru tumpul
37

33. Warna homogen, merah Warna merah muda


kebiruan/ungu
54. Kalau diperas di bawah Gelembung gas yang keluar halus
permukaan air tidak keluar dan rata ukurannya.
gelembung gas atau bila sudah
ada pembusukan
gelembungnya besar dan tidak
rata.
65. Tidak tampak alveoli yang Tampak alveoli, kadang-kadang
berkembang pada permukaan terpisah sendiri
66. Kalau diperas hanya keluar Bila diperas keluar banyak darah
darah sedikit dan tidak berbuih berbuih walaupun belum ada
(kecuali bila sudah ada pembusukan (volume darah dua kali
pembusukan) volume sebelum napas.
87. Berat paru kurang lebih 1/70 Berat paru kurang lebih 1/35
BB BB
88. Seluruh bagian paru tenggelam Bagian-bagian paru yang
dalam air mengembang terapung dalam air.
b. Menangis
Bernapas dapat terjadi tanpa menangis, tetapi menangis tidak dapat terjadi
tanpa bernapas. Suara tangis yang terdengar belum berarti bayi tersebut lahir hidup
karena suara tangisan dapat terjadi dalam uterus atau dalam vagina. Yang
merangsang bayi menangis dalam uterus adalah masuknya udara dalam uterus dan
kadar oksigen dalam darah menurun dan atau kadar CO2 dalam darah meningkat.8
c. Pergerakan Otot
Keadaan ini harus disaksikan oleh saksi mata, karena post mortem tidak dapat
dibuktikan. Kaku mayat dapat terjadi pada bayi yang lahir hidup kemudian mati
maupun yang lahir mati.8
38

d. Peredaran Darah, Denyut Jantung, dan Perubahan pada Hemoglobin


Meliputi bukti fungsional yaitu denyut tali pusat dan detak jantung (harus ada
saksi mata) dan bukti anatomis yaitu perubahan-perubahan pada Hb serta perubahan
dalam duktus arteriosus, foramen ovale dan dalam duktus venosus (cabang vena
umbilicalis yang langsung masuk vena cava inferior).8
Bila ada yang menyaksikan denyut nadi tali pusat/detak jantung pada bayi
yang sudah terlahir lengkap, maka ini merupakan bukti suatu kelahiran hidup.
Foramen ovale tertutup bila telah terjadi pernapasan dan sirkulasi (satu hari sampai
beberapa minggu). Duktus arteriosus perlahan-lahan menjadi jaringan ikat (paling
cepat dalam 24 jam) Duktus venosus menutup dalam 2-3 hari sampai beberapa
minggu.8
e. Isi Usus dan Lambung
Bila dalam lambung bayi ditemukan benda asing yang hanya dapat masuk
akibat reflek menelan, maka ini merupakan bukti kehidupan (lahir hidup). Udara
dalam lambung dan usus dapat terjadi akibat pernapasan wajar, pernapasan buatan,
atau tertelan. Keadaan-keadaan tersebut tidak dapat dibedakan. Cara pemeriksaan
yaitu esophagus diikat, dikeluarkan bersama lambung yang diikat pada jejunum
lekuk pertama, kemudian dimasukkan ke dalam air. makin jauh udara usus masuk
dalam usus, makin kuat dugaan adanya pernapasan 24-48 jam post mortem,
mekonium sudah keluar semua seluruhnya dari usus besar.8
f. Keadaan Tali Pusat
Yang harus diperhatikan pada tali pusat adalah pertama ada atau tidaknya
denyut tali pusat setelah kelahiran. Ini hanya dapat dibuktikan dengan saksi mata.
Kedua, pengeringan tali pusat, letak dan sifat ikatan, bagaimana tali pusat itu di
putus (secara tajam atau tumpul).8
g. Keadaan Kulit
Tidak satupun keadaan kulit yang dapat membuktikan adanya kehidupan
setelah bayi lahir, sebaliknya ada satu keadaan yang dapat memastikan bahwa bayi
tersebut tidak lahir hidup yaitu maceration, yang dapat terjadi bila bayi sudah mati
39

in utero beberapa hari (8-10 hari). Hal ini harus dibedakan dengan proses
pembusukan yaitu pada maserasi tidak terbentuk gas karena terjadi secara steril.
Kematian pada bayi dapat terjadi waktu dilahirkan, sebelum dilahirkan atau setelah
terpisah sama sekali dari ibu.8
Bukti kematian dalam kandungan7:
Ante partum rigor mortis yang sering menimbulkan kesulitan waktu melahirkan
Meceration, yaitu perlunakan janin dalam air ketuban dengan ciri-ciri:
o Warna merah kecoklatan (pada pembusukan warnanya hijau)
o Kutikula putih, sering membentuk bula berisi cairan kemerahan
o Tulang-tulang lentur dan lepas dari jaringan lunak
o Tidak ada gas, baunya khas
o Maserasi ini terjadi bila bayi sudah mati 8-10 hari dalam kandungan
5. Tanda Perawatan
Penentuan ada tidaknya tanda perawatan sangat penting artinya dalam
kasus pembunuhan anak, oleh karena dapat diduga apakah kasus yang dihadapi
memang benar kasus pembunuhan anak seperti dimaksud dalam undang-undang,
atau menjadi kasus lain yang ancaman hukumannya berbeda.2
Adapun anak yang baru dilahirkan dan belum mengalami perawatan dapat
diketahui dari tanda-tanda sebagai berikut2:
tubuh masih berlumuran darah
ari-ari (plasenta) masih melekat dengan tali pusat dan masih berhubungan
dengan pusat (umbilicus)
bila ari-ari tidak ada, maka ujung talli pusat tampak tidak beraturan, hal ini
dapat diketahui dengan meletakkan ujung tali pusat tersebut ke permukaan air
adanya lemak bayi (vernix caseosa), pada daerah dahi serta di daerah yang
mengandung lipatan-lipatan kulit, seperti daerah lipat ketiak, lipat paha dan
bagian belakang bokong.
6. Pemeriksaan Kasus Pembunuhan Anak Sendiri (Infanticide)
40

Pemeriksaan dilakukan terhadap pelaku/tertuduh (ibu kandung yang baru


melahirkan) dan korban (bayi yang baru dilahirkan).8
Pemeriksaan terhadap Ibu
a. Tanda telah melahirkan anak
Robekan baru pada alat kelamin
ostium uteri dapat dilewati ujung jari
keluar darah dari rahim
ukuran rahim saat post partum setinggi pusat,
6-7 hari post partum setinggi tulang kemaluan
payudara mengeluarkan air susu
hiperpigmentasi aerola mamma
striae gravidarum dari warna merah menjadi putih
b. Berapa lama telah melahirkan
ukuran rahim kembali ke ukuran semula 2-3 minggu
getah nifas : 1-3 hari post partum berwarna merah
4-9 hari post partum berwarna putih
10-14 hari post partum getah nifas habis
robekan alat kelamin sembuh dalam 8-10 hari
c. Mencari tanda-tanda partus precipitates
robekan pada alat kelamin
inversio uteri (rahim terbalik) yaitu bagian dalam rahim menjadi keluar, lebih-
lebih bila tali pusat pendek
robekan tali pusat anak yang biasanya terdapat pada anak atau pada tempat
lekat tali pusat. Robekan ini harus tumpul dibuktikan dengan pemeriksaan
histopatologis
luka pada kepala bayi menyebabkan perdarahan di bawah kulit kepala,
perdarahan di dalam tengkorak
d. Pemeriksaan golongan darah
41

e. Pemeriksaan histopatologi yaitu sisa plasenta dalam darah yang berasa dari rahim
Pemeriksaan terhadap Korban8
1. Viabilitas
Syaratnya yaitu:
Umur 28 minggu dalam kandungan
Panjang badan 35 cm
Berat badan 2500 gram
Tidak ada cacat bawaan yang berat
Lingkaran frontoocipital 32 cm
2. Penentuan umur bayi
berdasarkan panjang badan (rumus Haase)
berdasarkan ciri-ciri pertumbuhan
berdasarkan inti penulangan
o Calcaneus = 5-6 bulan
o Talus = 7 bulan
o Femur = 8-9 bulan
o Tibia = 9-10 bulan
3. Pernah atau tidak pernah bernapas. Hal ini dibuktikan dengan percobaan apung
paru. Hasil percobaan apung paru yang menyimpulkan belum pernah bernapas,
belum dapat menyingkirkan kemungkinan tindakan pembunuhan anak, karena
ada keadaan dimana bayi lahir hidup tetapi belum/tidak sempat bernapas dan
dibunuh ibunya pada saat itu (bernapas hanya salah satu bukti/tanda kehidupan)
4. Berapa lama bayi hidup8
Lamanya bayi hidup (bila hidup lebih dari 24 jam) dapat dilihat pada: perubahan
tali pusat, perubahan pada pembuluh darah. Kalau bayi hidup kurang dari 24 jam,
hal ini tidak dapat ditentukan dengan pasti. Penutupan duktus arteriosus dan
foramen ovale tidak dapat dipakai sebagai pegangan, karena waktu penutupannya
bervariasi (tidak tepat).
42

5. Sebab kematian8
a. Kelalaian
Pada peristiwa kelahiran sering dijumpai kelalaian, baik itu disengaja atau tidak
disengaja.
Inhalasi cairan ketuban/darah atau terbenam di dalam WC mati akibat
asfiksia
Terjerat tali pusat, mati akibat asfiksia. Jeratan tali pusat yang dilakukan
setelah bayi mati dapat dibedakan dengan jeratan tali pusat intrauterine
yaitu bayi yang mati intrauterine menunjukkan paru yang belum pernah
bernapas.
Perdarahan dari tali pusat, karena setelah bayi lahir, tali pusat tidak
diikat dengan baik.
Suffocation, misalnya terjadi kelahiran dibawah selimut
Lalai membuat hangat (tidak dapat dibuktikan post mortem) atau tidak
memberi ASI. Sehingga kematian bayi secara pasif (kedinginan dan
starvasi)
b. Kekerasan
Kekerasan dalam uterus
o Dinding perut tertumbuk sesuatu (jatuh/ditendang)
o Pemasukkan alat ke vagina
Kekerasan selama proses kelahiran
o Kemungkinan terjadi trauma kelahiran yang wajar harus
dipikirkan sebelum menduga adanya tindak kekerasan
o Retak tulang tengkorak karena trauma kelahiran (biasanya pada
os temporal) pada umumnya hanya sedikit dan tidak disertai
luka lecet
43

o kekerasan pada kepala yang disengaja menimbulkan retak yang


besar, ada luka lecet, mungkin ditemukan kontusio/laserasi
cerebri
Kekerasan yang terjadi setelah kelahiran lengkap
o Kekerasan benda tumpul
o Suffocation dan gagging
o Jeratan atau cekikan
o Luka iris atau luka tusuk
o Tenggelam
6. Periksa golongan darah
7. Tanda-tanda perawatan

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
1. Kejahatan asusila adalah perbuatan atau tingkah laku yang menyimpang dari
norma-norma atau kaidah kesopanan.
44

2. Tindak pidana kesopanan merupakan salah satu hal dari sekian kejahatan dalam
KUHP.
3. Yang termasuk dalam kelompok kejahatan kesusilaan meliputi perbuatan-
perbuatan: yang berhubungan dengan minuman, yang berhubungan dengan
kesusilaan di muka umum dan yang berhubungan dengan benda- benda dan
sebagainya yang melanggar kesusilaan atau bersifat porno, zina dan sebagainya
yang berhubungan dengan perbuatan cabul dan hubungan seksual, perdagangan
wanita dan anak laki-laki di bawah umur, yang berhubungan dengan pengobatan
untuk menggugurkan kandungan, memabukkan, menyerahkan anak untuk
pengemisan dan sebagainya, penganiayaan hewan, perjudian.
4. Kejahatan seksual (sexual offences), sebagai salah satu bentuk kejahatan yang
menyangkut tubuh, kesehatan dan nyawa manusia.
5. Perkosaan adalah melakukan hubungan seksual dengan seorang perempuan diluar
keinginannya dan persetujuan wanita tersebut, baik keinginannya dilawan dengan
kekuatan atau rasa takut akibat ancama kekuatan, maupun oleh obat atau racun,
atau karena gangguan jiwa, ia tidak mampu melakukan penilaian yang rasional,
atau ketika dibawah usia dewasa.
6. Pencabulan adalah semua perbuatan yang dilakukan untuk mendapatkan
kenikmatan seksual sekaligus mengganggu kehormatan kesusilaan. Perbuatan
cabul di dalam KUHP yaitu segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (
kesopanan ) atau perbuatan yang keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi
kelamin.
7. Ujmcm
8. Aspek hukum yang mengatur tentang kejahatan seksual yaitu pasal 284, 285,
286,287 KUHP.
9. Pengguguran kandungan menurutr hukum ialah tindakan menghentikan kehamilan
atau mematikan janin sebelum waktu kelahiran, tanpa melihat usia kandungannya
dan tidak dipersoalkan, apakah dengan pengguguran tersebut lahir bayi mati atau
hidup.
45

10. Abortus provokatus kriminalis sajalah yang termasuk ke dalam lingkup


pengguguran kandungan menurut hukum.
11. Dalam KUHP terdapat pasal-pasal yang berkaitan dengan abortus, yaitu pasal 346,
347, 348, 349, dan pasal 299 KUHP
12. Menurut undang-undang di Indonesia pembunuhan anak sendiri adalah
pembunuhan oleh seorang ibu atsa anaknya pada ketika dilahirkan atau tidak
berapa lama stelah dilahirkan, karena takut ketahuan bahwa ia melahirkan anak.
13. Dalam KUHP, pembunuhan anak sendiri tercantum dalam pasal 341, 342, 343
KUHP

DAFTAR PUSTAKA

1. Arief, Barda Nawawi. Kebijakan Penanggulangan Cyber Crime Cyber Sex,


Makalah Seminar : Kejahatan Kesusilaan Melalui Cyber Crime Dalam Perspektif
Agama, Hukum, dan Perlindungan Korban, F.H. UNSWAGATI, C. 2005.
2. Idries AM. Pedoman ilmu kedokteran forensik.Edisi pertama. Jakarta: Binarupa
aksara.2004
46

3. Meilia, PDI. Prinsip Pemeriksaan dan Penatalaksanan KOrban Kekerasan


Seksual. [cited 29 September 2014] available at
http://www.kalbemed.com/Portals/6/07_196Prinsip%20Pemeriksaan%20dan%20
Penatalaksanaan%20Korban%20Kekerasan%20Seksual.pdf. 2012
4. Dahlan, Sofwan. Ilmu Kedokteran Forensik. Badan Penerbit Universitas
Diponegoro. Semarang. 2003.
5. Sadock BJ dan Sadock VA. Buku Ajar Psikiatri Klinis. Jakarta : EGC. 2010.
6. Puri, B.K., Laking, P.J., dan Treasaden, I.H. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta : EGC.
2010.
7. Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta :
Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1997.
8. Apuranto, H. dan Hoediyanto. Buku Ajar Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal. Surabaya: Bagian Ilmu Kedokteran Forensik & Medikolegal
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. 2007.

Anda mungkin juga menyukai