BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kejahatan asusila adalah suatu perbuatan atau tingkah laku yang
menyimpang dari norma-norma atau kaidah kesopanan yang saat ini cenderung
banyak terjadi kalangan masyarakat, teruatama remaja. Menurut pandangan
pancasila pada sila ketiga tindakan asusila merupakan tindakan pelanggaran dan
menyimpang dari nilai-nilai moral manusia.1
Menurut KUHP bahwa tindak pidana perkosaan termasuk dalam kejahatan
terhadap kesopanan BAB XIV yang dimulai dari pasal 281-303 KUHP. Tindak
pidana kesopanan dibentuk untuk melindungi kepentingan hukum (rechtsbelang)
terhadap rasa kesopanan masyarakat (rasa kesusilaan di dalamnya). Norma-norma
kesopanan berpijak pada tujuan menjaga keseimbangan batin dalam hal rasa
kesopanan bagi setiap manusia dalam pergaulan hidup masyarakat.1
Tindak pidana kesopanan merupakan salah satu hal dari sekian kejahatan
dalam KUHP. Dalam pengaturannya itu sendiri perkosaan terhadap anak di bawah
umur dalam hal hubungan keluarga atau ayah dengan anak di atur secara khusus
dalam undang-undang no. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, yang
merupakan pembaharuan dari sekian banyak pasal kejahatan terhadap kesopanan
telah di atur dalam undang-undang no.23 tahun 2002.1
Sesungguhnya semua perbuatan asusila adalah hukumnya haram. Sebab
segala perbuatan asusila yang dilakukan dilakukan diluar pernikahan adalah
perbuatan zina.dalam hal ini asusila yang ber kategori cabul, perkosaan, pelecehan
seksual. Adapun tindak pidana yang terkait dengan tindakan asusila, seperti
pelaku lesbian dan homoseks, kebanyakan ahli hukum menyatakan bahwa si
pelaku tidak dihukum hadd melainkan dengan tazir.1
Delik perzinahan diatur dalam Pasal 284 KUHP yang dapat dikategorikan
sebagai salah satu kejahatan terhadap kesusilaan. Delik-delik kesusilaan dalam
2
KUHP terdapat dalam dua bab, yaitu Bab XIV Buku II yang merupakan kejahatan
dan Bab VI Buku III yang termasuk jenis pelanggaran. Yang termasuk dalam
kelompok kejahatan kesusilaan meliputi perbuatan-perbuatan1:
a. Yang berhubungan dengan minuman, yang berhubungan dengan kesusilaan
di muka umum dan yang berhubungan dengan benda- benda dan sebagainya
yang melanggar kesusilaan atau bersifat porno (Pasal 281 283);
b. Zina dan sebagainya yang berhubungan dengan perbuatan cabul dan
hubungan seksual (Pasal 284-296);
c. Perdagangan wanita dan anak laki-laki di bawah umur (Pasal 297);
d. Yang berhubungan dengan pengobatan untuk menggugurkan kandungan
(Pasal 299);
e. Memabukkan (Pasal 300);
f. Menyerahkan anak untuk pengemisan dan sebagainya (Pasal 301);
g. Penganiayaan hewan (Pasal 302);
h. Perjudian (Pasal 303 dan 303 bis).
Adapun yang termasuk pelanggaran kesusilaan dalam KUHP meliputi
perbuatan-perbuatan sebagai berikut1:
a. Mengungkapkan atau mempertunjukkan sesuatu yang bersifat porno (Pasal
532-535);
b. Yang berhubungan dengan mabuk dan minuman keras (Pasal 536-539);
c. Yang berhubungan dengan perbuatan tindak susila terhadap hewan (Pasal
540, 541 dan 544);
d. Meramal nasib atau mimpi (Pasal 545);
e. Menjual dan sebagainya jimat-jimat, benda berkekuatan gaib dan memberi
ilmu kesaktian (Pasal 546);
f. Memakai jimat sebagai saksi dalam persidangan (Pasal547).
Pelanggaran tindakan asusila tidak ada untungnya, bahkan mencoreng
nama baik keluarga, merendahkan harga diri, menyiksa diri sendiri dan menjadi
tontonan orang lain, timbulnya rasa malu, dan dijauhi oleh banyak teman serta
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kejahatan Seksual
1. Definisi kejahatan seksual
Kejahatan seksual (sexual offences), sebagai salah satu bentuk kejahatan
yang menyangkut tubuh, kesehatan dan nyawa manusia, mempunyai kaitan yang
erat dengan Ilmu Kedokteran khususnya Ilmu Kedokteran Forensik yaitu di dalam
upaya pembuktian bahwasanya kejahatan tersebut memang telah terjadi. Adanya
kaitan antara Ilmu Kedokteran dengan kejahatan seksual dapat dipandang sebagai
konsekuensi dari pasal-pasal di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP), yang memuat ancaman hukuman serta tata cara pembuktian
pada setiap kasus yang termasuk di dalam pengertian kasus kejahatan seksual.2
Di dalam upaya pembuktian secara kedokteran forensik, faktor
keterbatasan di dalam ilmu kedokteran itu sendiri sangat berperan, demikian
halnya dengan faktor waktu serta faktor keaslian dari barang bukti (korban),
maupun faktor-faktor dari si pelaku kejahatan seksual itu sendiri.2
Dengan demikian upaya pembuktian secara kedokteran forensik pada
setiap kasus kejahatan seksual sebenarnya terbatas di dalam pembuktian ada
tidaknya tanda-tanda persetubuhan, ada tidaknya tanda-tanda kekerasan, perkiraan
umur serta pembuktian apakah seseorang itu memang sudah pantas atau sudah
mampu untuk dikawini atau tidak.2
Kekerasan seksual merupakan kejahatan yang universal. Kejahatan ini
dapat ditemukan di seluruh dunia, pada tiap tingkatan masyarakat, tidak
memandang usia maupun jenis kelamin. Besarnya insiden yang dilaporkan di
setiap negara berbeda-beda. Sebuah penelitian di Amerika Serikat pada tahun 2006
(National Violence against Women Survey/NVAWS) melaporkan bahwa 17,6%
dari responden wanita dan 3% dari responden pria pernah mengalami kekerasan
5
seksual, beberapa di antaranya bahkan lebih dari satu kali sepanjang hidup mereka.
Dari jumlah tersebut hanya sekitar 25% yang pernah membuat laporan polisi.3
Di Indonesia, menurut Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap
Perempuan (Komnas Perempuan) sejak tahun 1998 sampai 2011 tercatat 93.960
kasus kekerasan seksual terhadap perempuan di seluruh Indonesia. Dengan
demikian rata-rata ada 20 perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual tiap
harinya. Hal yang lebih mengejutkan adalah bahwa lebih dari dari jumlah kasus
tersebut (70,11%) dilakukan oleh orang yang masih memiliki hubungan dengan
korban. Terdapat dugaan kuat bahwa angka-angka tersebut merupakan fenomena
gunung es, yaitu jumlah kasus yang dilaporkan jauh lebih sedikit daripada jumlah
kejadian sebenarnya di masyarakat. Banyak korban enggan melapor, mungkin
karena malu, takut disalahkan, mengalami trauma psikis, atau karena tahu harus
melapor kemana. Seiring dengan meningkatnya kesadaran hukum di Indonesia,
jumlah kasus kekerasan seksual yang dilaporkan pun mengalami peningkatan.3
2. Jenis-jenis kejahatan seksual
a. Pekosaan
Beberapa definisi dari perkosaan yaitu :
i. Umumnya negara-negara maju mendefinisikan perkosaan sebagai
perbuatan bersenggama yang dilakukan dengan kekerasan (force),
menciptakan ketakutan (fear), atau memperdaya (fraud).4
ii. Perkosaan adalah melakukan hubungan seksual dengan seorang
perempuan diluar keinginannya dan persetujuan wanita tersebut, baik
keinginannya dilawan dengan kekuatan atau rasa takut akibat ancaman
kekuatan, maupun oleh obat atau racun, atau karena gangguan jiwa, ia tidak
mampu melakukan penilaian yang rasional, atau ketika dibawah usia
dewasa. Kejahatan perkosaan mensyaratkan penetrasi hanya sedikit di
vulva bagian luar korban, ereksi penuh dan ejakulasi.5
iii. Pemerkosaan adalah hubungan seksual dengan perempuan tanpa
persetujuannya dengan menakuti, memaksa, atau menipunya.6
6
b. Pencabulan
Definisi pencabulan adalah semua perbuatan yang dilakukan untuk
mendapatkan kenikmatan seksual sekaligus mengganggu kehormatan
kesusilaan. Perbuatan cabul di dalam KUHP yaitu segala perbuatan yang
melanggar kesusilaan ( kesopanan ) atau perbuatan yang keji, semuanya itu
dalam lingkungan nafsu birahi kelamin.3,7
c. Sodomi
i. Sodomi: sanggama antarmanusia secara oral atau anal, biasanya antar-pria;
pencabulan dengan sesama jenis kelamin.3
ii. Sodomi juga dikenal sebagai seks anal, adalah penyisipan penis ke dalam
anus pasangan, dengan atau tanpa paksaan.6
iii. Seks anal atau juga bsa di katakana sodomi adalah hubungan seksual di
mana penis yang ereksi dimasukkan ke rectum melalui anus. Anal sex
dapat dilakukan oleh orang heterosexual maupun homosexual.5
3. Aspek hukum yang mengatur tentang kejahatan seksual
Agar kesaksian seorang dokter pada perkara pidana mencapai sasarannya
yaitu membantu yaitu membantu pengadilan dengan sebaik-baiknya, dia harus
mengenal undang-undang yang bersangkutan dengan tindakan pidana itu,
seharusnya ia mengetahui unsur-unsur mana yang dibuktikan secara medis atau
yang memerlukan pendapat medis.7
Pasal-pasal yang berkaitan dengan tindakan pemerkosaan yaitu sebagai
berikut2,7:
Pasal 284 KUHP
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan:
1. a. seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel),
padahal diketahui bahwa pasal 27 BW (Burgerlyk Wetboek) berlaku
baginya.
7
Pasal 286
Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan padahal
diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam
dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun.
Di dalam kejahatan seksual yang disebut perkosaan, maka tindakan membuat
pingssanatau tidak berdaya termasuk didalam proses untuk melakukan kejahatan;
sedangkan kejahatan seksual menurut pasal 286 KUHP, disini sipelaku tidak
melakukan upaya apapun; pingsan dan tidak berdayanya bwanita bukan
diakibatkan oleh perbuatan sipelaku kejahatan.
Pasal 287 KUHP
(1) Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal
diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima
belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas bahwa belum waktunya untuk
dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umur wanita belum
sampai dua belas tahun atau jika ada salah satu hal berdasarkan pasal 291 dan
pasal 294.
Visum et repertum dapat memberikan kejelasan perihal perkiraan umur dari
wanita, apakah umurnya di bawah 12 tahun atau di bawah 15 tahun, perihal mampu
tidaknya dapat kawin serta ada tidaknya tanda-tanda persetubuhan (Pasal 287
KUHP). Demikian pula kejelasan apakah umur wanita di atas 15 tahun serta ada
tidaknya tanda-tanda persetubuhan. (Pasal 284 KUHP).2
Pada kasus persetubuhandi luar perkawinan yang merupakan kejahatan
dimana persetubuhan tersebut terjadi tanpa persetubuhan wanita, seperti yang
dimaksud dengan oleh pasal 285 dan 286 KUHP ; maka untuk kasus-kasus
tersebut VR harus dapat membuktikan bahwa pada wanita telah terjadi kekerasan
dan persetubuhan. Kejahatan seksual seperti yang dimaksud oleh pasal 285 KUHP
disebut PERKOSAAN, dan perlu dibedakan dari pasal 286 KUHP.2
9
didapat saat anamnesis. Pemeriksaan fisik yang dilakukan dapat dibagi menjadi
pemeriksaan umum dan khusus. Pemeriksaan fisik umum mencakup3:
Tingkat kesadaran,
Keadaan umum,
Tanda vital,
Penampilan (rapih atau tidak, dandan, dan lain-lain),
Afek (keadaan emosi, apakah tampak sedih, takut, dan sebagainya),
Pakaian (apakah ada kotoran, robekan, atau kancing yang terlepas),
Status generalis,
Tinggi badan dan berat badan,
Rambut (tercabut/rontok)
Gigi dan mulut (terutama pertumbuhan gigi molar kedua dan ketiga),
Kuku (apakah ada kotoran atau darah di bawahnya, apakah ada kuku yang
tercabut atau patah),
Tanda-tanda perkembangan seksual sekunder,
Tanda-tanda intoksikasi napza, serta
Status lokalis dari luka-luka yang terdapat pada bagian tubuh selain daerah
kemaluan.
Pemeriksaan fisik khusus bertujuan mencari bukti-bukti fisik yang terkait
dengan tindakan kekerasan seksual yang diakui korban dan mencakup
pemeriksaan:
Daerah pubis (kemaluan bagian luar), yaitu adanya perlukaan pada jaringan
lunak atau bercak cairan mani;
Penyisiran rambut pubis (rambut kemaluan), yaitu apakah adanya rambut
pubis yang terlepas yang mungkin berasal dari pelaku, penggumpalan atau
perlengketan rambut pubis akibat cairan mani;
Daerah vulva dan kulit sekitar vulva/paha bagian dalam (adanya perlukaan
pada jaringan lunak, bercak cairan mani);
16
Labia mayora dan minora (bibir kemaluan besar dan kecil), apakah ada
perlukaan pada jaringan lunak atau bercak cairan mani;
Vestibulum dan fourchette posterior (pertemuan bibir kemaluan bagian
bawah), apakah ada perlukaan;
Hymen (selaput dara), catat bentuk, diameter ostium, elastisitas atau
ketebalan, adanya perlukaan seperti robekan, memar, lecet, atau hiperemi).
Apabila ditemukan robekan hymen, catat jumlah robekan, lokasi dan arah
robekan (sesuai arah pada jarum jam, dengan korban dalam posisi litotomi),
apakah robekan mencapai dasar (insersio) atau tidak, dan adanya perdarahan
atau tanda penyembuhan pada tepi robekan;
Vagina (liang senggama), cari perlukaan dan adanya cairan atau lendir;
Serviks dan porsio (mulut leher rahim), cari tanda-tanda pernah melahirkan
dan adanya cairan atau lendir;
Uterus (rahim), periksa apakah ada tanda kehamilan;
Anus (lubang dubur) dan daerah perianal, apabila ada indikasi sodomi
berdasarkan anamnesis;
Mulut, apabila ada indikasi berdasarkan anamnesis,
Daerah-daerah erogen (leher, payudara, paha, dan lain-lain), untuk mencari
bercak mani atau air liur dari pelaku; serta
Tanda-tanda kehamilan pada payudara dan perut.
Kesulitan utama yang umumnya dihadapi oleh dokter pemeriksa adalah
pemeriksaan selaput dara. Bentuk dan karakteristik selaput dara sangat
bervariasi Pada jenisjenis selaput dara tertentu, adanya lipatan-lipatan dapat
menyerupai robekan. Karena itu, pemeriksaan selaput dara dilakukan dengan
traksi lateral dari labia minora secara perlahan, yang diikuti dengan penelusuran
tepi selaput dara dengan lidi kapas yang kecil untuk membedakan lipatan
dengan robekan. Pada penelusuran tersebut, umunya lipatan akan menghilang,
sedangkan robekan tetap tampak dengan tepi yang tajam.
17
5. Pembuktian Persetubuhan
Persetubuhan adalah suatu peristiwa dimana terjadi penetrasi penis ke
dalam vagina, penetrasi tersebut dapat lengkap atau tidak lengkap dan dengan atau
tanpa disertai ejakulasi.2
18
dapat ditentukan dari proses penyembuhan selaput dara yang robek. Pada
umumnya penyembuhan tersebut dicapai dalam waktu 7-10 hari postkoital.2
ii. Pemeriksaan pakaian
Dalam hal pembuktian adanya persetubuhan, pemeriksaan dapat dilakukan
pada pakaian korban untuk menentukan adanya bercak ejakulat. Dari bercak
tersebut dapat dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk memastikan bahwa
bercak yang telah ditemukan adalah air mani serta dapat menentukan adanya
sperma.
b. Pemeriksaan Pelaku
i. Pemeriksaan tubuh
Untuk mengetahui apakah seorang pria baru melakukan persetubuhan,
dapat dilakukan pemeriksaan ada tidaknya sel epitel vagina pada glans penis.
Perlu juga dilakukan pemeriksaan sekret uretra untuk menentukan adanya
penyakit kelamin.7
ii. Pemeriksaan pakaian
Pada pemeriksaan pakaian, catat adanya bercak semen, darah, dan
sebagainya. Bercak semen tidak mempunyai arti dalam pembuktian sehingga
tidak perlu ditentukan. Darah mempunyai nilai karena kemungkinan berasal
dari darah deflorasi. Di sini penentuan golongan darah penting untuk dilakukan.
Trace evidence pada pakaian yang dipakai ketika terjadi persetubuhan harus
diperiksa. Bila fasilitas untuk pemeriksaan tidak ada, kirim ke laboratorium
forensik di kepolisian atau bagian Ilmu Kedokteran Forensik, dibungkus, segel,
serta dibuat berita acara pembungkusan dan penyegelan.7
6. Pembuktian Kekerasan
Tidak sulit untuk membuktikan adanya kekerasan pada tubuh wanita yang
menjadi korban. Dalam hal ini perlu diketahui lokasi luka-luka yang sering
ditemukan, yaitu di daerah mulut dan bibir, leher, puting susu, pergelangan tangan,
pangkal paha serta di sekitar dan pada alat genital.2
21
Ditentukan apakah gigi geraham belakang ke-2 (molar ke-2) sudah tumbuh (terjadi
pada umur kira-kira 12 tahun, sedangkan molar ke-3 akan muncul pada usia 17-21
tahun atau lebih). Juga harus ditanyakan apakah korban sudah pernah menstruasi
bila umur korban tidak diketahui.2
Hal-hal tersebut di atas perlu diketahui sehubungan dengan bunyi pasal
287 KUHP untuk menentukan apakah penuntutan harus dilakukan.2
8. Penentuan Pantas Dikawin
Apabila suatu perkawinan dimaksudkan sebagai suatu perbuatan yang suci
dan baik, dimana tujuan utamanya adalah untuk dapat menghasilkan keturunan,
maka penentuan apakah seorag wanita itu sudah waktunya untuk dikawin atau
belum, semata-mata hanya berdasarkan atas kesiapan biologis (yang dapat
dibuktikan oleh ilmu kedokteran), dalam hal ini: menstruasi. Bila wanita itu sudah
mengalami menstruasi, maka ia sudah waktunya untuk dikawin. Untuk itu, yaitu
untuk mengetahui apakah wanita tersebut sudah pernah menstruasi dokter
pemeriksa tidak jarang harus merawat dan mengisolir wanita tersebut, yang
maksudnya agar ia dapat mengetahui dan mendapatkan bukti secara pasti bahwa
telah terjadi menstruasi. Menurut Muller, untuk mengetahui ada atau tidaknya
ovulasi perlu dilakukan observasi selama 8 minggu di rumah sakit, sehingga dapat
ditentukan adakah selama itu ia mendapat menstruasi. Sekarang ini untuk
menentukan apakah seorang wanita sudah pernah mengalami ovulasi atau belum
dapat dilakukan pemeriksaan vaginal smear.2
Akan tetapi bila kita mengacu pada Undang-undang perkawinan, yang
mengatakan bahwa wanita boleh kawin bila ia telah berumur 16 tahun, maka
masalahnya kembali kepada masalah perkiraan umur.2
B. Aborsi
1. Definisi
Abortus menurut pengertian medis ialah gugur kandungan atau keguguran
dan keguguran itu sendiri berarti berakhirnya kehamilan, sebelum fetus dapat
23
hidup sendiri di luar kandungan. Batasan umur kandungan 28 minggu dan berat
badan fetus yang keluar kurang dari 1000 gram.2
Pengertian pengguguran kandungan menurutr hukum ialah tindakan
menghentikan kehamilan atau mematikan janin sebelum waktu kelahiran, tanpa
melihat usia kandungannya dan tidak dipersoalkan, apakah dengan
pengguguran tersebut lahir bayi mati atau hidup. Perbedaan antara pengguguran
kandungan secara medis dan secara hukum yaitu adanya faktor kesengajaan dan
tidak adanya faktor usia kehamilan.7
Abortus terdiri atas 2,4,7:
a. Abortus spontan
Diperkirakan 10-20% dari kehamilan akan berakhir dengan abortus, dan
secra yuridis tidak membawa implikasi apa-apa.
b. Abortus provokatus, yang terbagi lagi ke dalam abortus provokatus
medisinalis (terapeutikus) dan abortus provokatus kriminalis.
Abortus provokatus medisinalis atau abortus therapeuticus dilakukan
semata-mata atas dasar pertimbangan medis yang tepat, tidak ada cara lain
untuk menyelamatkan nyawa si-ibu kecuali jika kandungannya
digugurkan, misalnya pada penderita kanker ganas.
Abortus provokatus kriminalis sangat jelas bahwa tindakan pengguguran
kandungan disini semata-mata untuk tujuan yang tidak baik dan melawan
hukum. Tindakan abortus yang tidak dapat dipertanggung jawabkan secara
medis, dilakukan hanya untuk kepentingan si pelaku, walaupun ada
kepentingan juga dari si-ibu yang malu akan kehamilannya. Kejahatan
jenis ini sulit untuk melacaknya oleh karena kedua belah pihak
menginginkan agar abortus dapat terlaksana dengan baik ( crime without
victim, walaupun sebenarnya korbannya ada yaitu bayi yang dikandung).
Abortus provokatus kriminalis sajalah yang termasuk ke dalam lingkup
pengguguran kandungan menurut hukum.2,4,7
2. Aspek hukum yang berkaitan dengan abortus
24
paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat puluh lima
ribu rupiah.
2) Jika yang bersalah berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau
menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan, atau jika dia
seorang tabib, bidan atau juru obat, pidananya dapat ditambah sepertiga.
3 Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan
pencarian, maka dapat dicabut haknya untuk melakukan pencarian itu.
Dari Pasal 346, 347 dan 348 KHUP, jelas bahwa undang-undang tidak
mempersoalkan masalah umur kehamilan atau berat badan dari fetus yang keluar.
Sedangkan pasal 349 dan 299 KUHP memuat ancaman hukuman untuk orang-
orang tertentu yang mempunyai profesi atau pekerjaan tertentu bila mereka turut
membantu atau melakukan kejahatan seperti yang dimaksud ke tiga pasal
tersebut.2
Yang dapat dikenakan hukuman adalah tindakan menggugurkan atau
mematikan kandungan yang termasuk tindakan pidana sesuai dengan pasal-pasal
pada KUHP (aborsi kriminalis). Sedangkan tindakan yang serupa demi
keselamatn ibu yang dapat dipertanggungjwabkan secara medis (aborsi
medicinalis atau aborsi therapeuticus), tidaklah dapat dihukum walaupun pada
kenyataan dokter dapat melakukan aborsi medicinalis, itu diperiksa oleh penyidik
dan dilanjutkan dengan pemeriksaan di pengadilan. Pemeriksaan oleh penyidik
atau hakim di pengadilan bertujuan untuk mencari bukti-bukti akan kebenaran
bahwa pada kasus tersebut memang murni tidak ada unsur kriminalnya, semata-
mata untuk keselamatan jiwa Si ibu. Perlu diingat bahwa hanya Hakimlah yang
berhak memutuskan apakah seseorang itu (dokter) bersalah atau tidak bersalah.2
3. Teknik abortus kriminalis
Aborsi kriminal dapat dilakukan sendiri oleh yang bersangkutan atau
dibantu oleh orang lai, yaitu4:
26
d. Inhibisi vagus, hampir selalu terjadi pada tindakan abortus yang dilakukan
tanpa anestesi pada ibu dalam keadaan stress, gelisah dan panik. Hal ini dapat
terjadi akibat alat yang digunakan atau alat suntik secara mendadak dengan
cairan yang terlalu panas atau terlalu dingin.
e. Keracunan zat abortivum, termasuk karena anestesia, antiseptik lokal seperti
KmnO4 pekat, AgNO3, jodium dapat mengakibatkan cedera yang hebat atau
kematian. Demikian pula obat seperti kina atau logam berat. Pemeriksaan
histologi dan toksikologi sangat diperlukan untuk menegakkan diagnosis.
f. Infeksi dan sepsis. Komplikasi ini tidak timbul segera, tapi memerlukan waktu.
5. Pemeriksaan korban abortus
a. Korban Hidup
Pada korban hidup perlu diperhatikan7:
1) Tanda kehamilan, misalnya perubahan pada payudara, pigmentasi,
hormonal, mikroskopik, dan sebagainya.
2) Usaha penghentian kehamilan, misalnya tanda kekerasan pada genitalia,
perut bawah
3) Pemeriksaan toksikologi, untuk mengetahui adanya obat/zat yang dapat
mengakibatkan abortus
4) Hasil dari usaha penghentian kehamilan dapat berupa :
IUFD (Intra Uterine Fetal Death)
Sisa-sisa jaringan dengan pemeriksaan mikroskopis/ PA
b. Korban Mati
Pemeriksaan dilakukan secepat mungkin, sebaiknya (12-16 jam), pemeriksaan
luar dilakukan seperti biasa. Temuan autopsi pada korban yang meninggal
tergantung pada cara melakukan aborsi serta interval waktu antara tindakan
aborsi dan kematian.7
28
C. Infanticide
1. Definisi
Infanticide adalah merupakan sebutan yang bersifat khusus bagi tindakan
merampas nyawa bayi yang belum berumur sartu tahun oleh ibu kandungnya
sendiri4.
30
diancam karena membunuh anak sendiri dengan pidana penjara paling lama tujuh
tahun.
Pasal 342 KUHP
Seorang ibu yang untuk melaksanakan niat yang ditentukan karena takut akan
ketahuan bahwa ia akan melahirkan anak, pada saat anak dilahirkan atau tidak
lama kemudian merampas nyawa anak sendiri dengan rencana, dengan pidana
penjara paling lama sembilan tahun.
Pasal 343
Bagi orang lain yang turut serta melakukan kejahatan yang diterangkan dalam
pasal 342 KUHP diartikan sebagai pembunuhan atau pembunuhan berencana.
Berdasarkan undang-undang tersebut kita dapat melihat adanya tiga faktor
penting yaitu7:
Ibu yaitu hanya ibu kandung yang dapat dihukum karena melakukan
pembunuhan anak sendiri. Tidak dipersoalkan apakah ibu telah menikah atau
tidak, sedangkan bagi orang lain yang melakukan atau turut membunuh anak
tersebut dihukum karena pembunuhan atau pembunuhan berencana, dengan
hukuman yang lebih berat yaitu 15 tahun penjara (pasal 338 pembunuhan tanpa
rencana), atau 20 tahun, seumur hidup/hukuman mati ( pasal 339 dan 340,
pembunuhan dengan rencana).
Waktu yaitu dalam undang-undang tidak disebutkan batasan waktu yang tepat,
tetapi hanya dinyatakan pada saat dilahirkan atau tidak lama kemudian .
Sehingga boleh dianggap pada saat belum timbul rasa kasih sayang seorang ibu
terhadap anaknya. Bila rasa kasih sayang sudah timbul maka ibu tersebut akan
merawat dan bukan membunuh anaknya.
Psikis yaitu ibu membunuh anaknya karena terdorong oleh rasa ketakutan akan
diketahui orang lain telah melahirkan anak itu, biasanya anak yang dilahirkan
tersebut didapatkan dari hubungan tidak sah.
32
Bila ditemukan mayat bayi di tempat yang tidak semestinya, misalnya tempat
sampah, got, sungai dan sebagainya, maka bayi tersebut mungkin adalah korban
pembunuhan anak sendiri (pasal 341, 342) pembunuhan (pasal 338, 339, 340, 343),
lahir mati kemudian dibuang (pasal 181) atau bayi yang ditelantarkan sampai mati.
3. Pemeriksaan kedokteran forensik pada infanticide
Pemeriksaan kedokteran forensik pada kasus pembunuhan anak atau yang
diduga kasus pembunuhan anak ditujukan untuk memperoleh kejelasan di dalam hal
sebagai berikut2:
Apakah anak tersebut dilahirkan hidup atau lahir mati?
Apakah terdapat tanda-tanda perawatan?
Apakah ada luka-luka yang dapat dikaitkan dengan penyebab kematian?
Oleh karena Visum et Repertum itu juga mengandung makna sebagai pengganti
barang bukti, maka segala apa yang terdapat dalam barang bukti dalam hal ini
yaitu tubuh anak, harus dicatat dan dilaporkan. Dengan demikian selain ketiga
kejelasan tersebut di atas, masih ada dua hal lagi yang harus diutarakan dalam
VR yaitu:
Apakah anak yang dilahirkan itu cukup bulan dalam kandungan?
Apakah pada anak tersebut didapatkan kelainan bawaan yang dapat
mempengaruhi kelangsungan hidup bagi si anak?
Sehingga lebih jelas bahwa permasalahan tentang maturitas seperti cukup
bulan atau prematur merupakan hal yang penting, sama halnya dengan kemampuan
anak untuk hidup dengan wajar (viabilitas) tanpa kelainan bawaan yang diderita oleh
anak.2
Sebelum melangkah lebih jauh, perlu ditinjau lebih dahulu pengertian lahir
hidup dan lahir mati. Perlu diketahui bahwa seorang dokter tidak dibenarkan
membuat kesimpulan lahir hidup atau lahir mati dari hasil pemeriksaan terhadap
korban kasus yang diduga akibat pembunuhan anak.2
4. Lahir hidup atau lahir mati
33
Lahir hidup (live birth) adalah keluar atau dikeluarkannya hasil konsepsi
yang lengkap, yang setelah pemisahan, bernapas atau menunjukkan tanda
kehidupan lain tanpa mempersoalkan usia gestasi, sudah atau belumnya tali pusat
dipotong dan uri dilahirkan.2,7
Lahir mati (still birth) adalah kematian hasil konsepsi sebelum keluar atau
dikeluarkan oleh ibunya, tanpa mempersoalkan usia kehamilan (baik sebelum
ataupun setelah kehamilan berumur 28 minggu dalam kandungan). Kematian
ditandai oleh janin yang tidak bernapas atau tidak menunjukkan tanda kehidupan
lain seperti denyut jantung, denyut nadi tali pusat atau gerakan otot rangka.2,7
Adapun tanda-tanda kehidupan pada bayi yang baru dilahirkan yaitu2,47:
Pernapasan
o Paru mengembang
o Udara dalam lambung atau usus
Menangis
Pergerakan otot
Sirkulasi darah dan denyut jantung serta perubahan hemoglobin
Isi usus
Keadaan tali pusat
a. Pernapasan
Pernapasan spontan terjadi akibat rangsangan atmosfer dan adanya gangguan
sirkulasi plasenta, dan ini menimbulkan perubahan penting yang permanen pada
paru.
1) Uji Apung Paru
34
Uji apung paru dilakukan dengan teknik tanpa sentuh (no touch technique),
paru-paru tidak disentuh untuk menghindari kemungkinan timbulnya artefak
pada sediaan histopatologik jaringan paru akibat manipulasi berlebihan.7
Lidah dikeluarkan seperti biasa di bawah rahang bawah, ujung lidah dijepit
dengan pinset atau klem, kemudian ditarik ke arah ventrokaudal sehingga tampak
palatum mole. Dengan scalpel yang tajam, palatum mole disayat sepanjang
perbatasannya dengan palatum durum. Faring, laring, esophagus bersama dengan
trakea dilepaskan dari tulang belakang. Esofagus bersama dengan trakea diikat
di bawah kartilago krikoid dengan benang. Pengikatan ini dimaksudkan agar
pada manipulasi berikutnya cairan ketuban, mekonium atau benda asing lain
tidak mengalir ke luar melalui trakea; bukan untuk mencegah masuknya udara ke
dalam paru.7
Pengeluaran organ dari lidah sampai paru dilakukan dengan forsep atau
pinset bedah dan scalpel, tidak boleh dipegang dengan tangan. Kemudian
esophagus diikat di atas diafragma dan dipotong di atas ikatan. Pengikatan ini
dimaksudkan agar udara tidak masuk ke dalam lambung dan uji apung lambung-
usus (uji Breslau) tidak memberikan hasil meragukan.7
Setelah semua organ leher dan dada dikeluarkan dari tubuh, lalu
dimasukkan ke dalam air dan dilihat apakah mengapung atau tenggelam.
Kemudian paru-paru kiri dan kanan dilepaskan dan dimasukkan kembali ke
dalam air, dilihat apakah mengapung atau tenggelam. Setelah itu tiap lobus
dipisahkan dan dimasukkan ke dalam air, dan dilihat apakah mengapung atau
tenggelam. Lima potong kecil dari bagian perifer tiap lobus dimasukkan ke dalam
air, diperhatikan apakah mengapung atau tenggelam.7
Hingga tahap ini, paru bayi yang lahir mati masih dapat mengapung oleh
karena kemungkinan adanya pembusukan. Bila potongan kecil itu mengapung,
letakkan di antara dua karton dan ditekan dengan arah penekanan tegak lurus
jangan digeser untuk mengeluarkan gas pembusukan yang terdapat pada jaringan
interstisial paru, lalu masukkan kembali ke dalam air dan diamati apakah masih
35
mengapung atau tenggelam. Bila masih mengapung berarti paru terisi udara
residu yang tidak akan keluar. Namun, terkadang dengan penekanan, dinding
alveoli pada mayat bayi yang telah membusuk lanjut akan pecah dan udara residu
keluar dan memperlihatkan hasil uji apung paru negatif.7
Uji apung paru harus dilakukan menyeluruh sampai potongan kecil paru
mengingat kemungkinan adanya pernapasan sebagian (parsial respiration) yang
dapat bersifat buatan atau alamiah (vagitus uternus atau vagitus vaginalis) yaitu
bayi sudah bernapas walaupun kepala masih dalam uterus atau dalam vagina).7
Hasil negatif belum berarti pasti lahir mati karena adanya kemungkinan
bayi dilahirkan hidup tapi kemudian berhenti bernapas meskipun jantung masih
berdenyut, sehingga udara dalam alveoli diresorpsi. Pada hasil uji negatif ini,
pemeriksaan histopatologik paru harus dilakukan untuk memastikan bayi lahir
mati atau lahir hidup.7
Bila sudah jelas terjadi pembusukan, maka uji apung paru kurang dapat
dipercaya, sehingga tidak dianjurkan untuk dilakukan.7
2) Mikroskopik paru-paru
Setelah paru-paru dikeluarkan dengan teknik tanpa sentuh, dilakukan
fiksasi dengan larutan formalin 10 %. Sesudah 12 jam, dibuat irisan melintang
untuk memungkinkan cairan fiksatif meresap dengan baik ke dalam paru. Setelah
difiksasi selama 48 jam, kemudian dibuat sediaan histopatologik. Biasanya
digunakan perwarnaan HE dan bila paru telah membusuk digunakan pewarnaan
Gomori atau Ladewig.7
Struktur seperti kelenjar bukan merupakan ciri paru bayi yang belum
bernapas, tetapi merupakan ciri paru janin yang belum mencapai usia gestasi 26
minggu. Tanda khas untuk paru janin belum bernapas adalah adanya tonjolan
(projection) yang berbentuk seperti bantal (cushion-like) yang kemudian akan
bertambah tinggi dengan dasar menipis sehingga akan tampak seperti gada (club
like). Pada permukaan ujung bebas projection tampak kapiler yang berisi banyak
darah. Pada paru bayi belum bernapas yang sudah membusuk dengan perwarnaan
36
in utero beberapa hari (8-10 hari). Hal ini harus dibedakan dengan proses
pembusukan yaitu pada maserasi tidak terbentuk gas karena terjadi secara steril.
Kematian pada bayi dapat terjadi waktu dilahirkan, sebelum dilahirkan atau setelah
terpisah sama sekali dari ibu.8
Bukti kematian dalam kandungan7:
Ante partum rigor mortis yang sering menimbulkan kesulitan waktu melahirkan
Meceration, yaitu perlunakan janin dalam air ketuban dengan ciri-ciri:
o Warna merah kecoklatan (pada pembusukan warnanya hijau)
o Kutikula putih, sering membentuk bula berisi cairan kemerahan
o Tulang-tulang lentur dan lepas dari jaringan lunak
o Tidak ada gas, baunya khas
o Maserasi ini terjadi bila bayi sudah mati 8-10 hari dalam kandungan
5. Tanda Perawatan
Penentuan ada tidaknya tanda perawatan sangat penting artinya dalam
kasus pembunuhan anak, oleh karena dapat diduga apakah kasus yang dihadapi
memang benar kasus pembunuhan anak seperti dimaksud dalam undang-undang,
atau menjadi kasus lain yang ancaman hukumannya berbeda.2
Adapun anak yang baru dilahirkan dan belum mengalami perawatan dapat
diketahui dari tanda-tanda sebagai berikut2:
tubuh masih berlumuran darah
ari-ari (plasenta) masih melekat dengan tali pusat dan masih berhubungan
dengan pusat (umbilicus)
bila ari-ari tidak ada, maka ujung talli pusat tampak tidak beraturan, hal ini
dapat diketahui dengan meletakkan ujung tali pusat tersebut ke permukaan air
adanya lemak bayi (vernix caseosa), pada daerah dahi serta di daerah yang
mengandung lipatan-lipatan kulit, seperti daerah lipat ketiak, lipat paha dan
bagian belakang bokong.
6. Pemeriksaan Kasus Pembunuhan Anak Sendiri (Infanticide)
40
e. Pemeriksaan histopatologi yaitu sisa plasenta dalam darah yang berasa dari rahim
Pemeriksaan terhadap Korban8
1. Viabilitas
Syaratnya yaitu:
Umur 28 minggu dalam kandungan
Panjang badan 35 cm
Berat badan 2500 gram
Tidak ada cacat bawaan yang berat
Lingkaran frontoocipital 32 cm
2. Penentuan umur bayi
berdasarkan panjang badan (rumus Haase)
berdasarkan ciri-ciri pertumbuhan
berdasarkan inti penulangan
o Calcaneus = 5-6 bulan
o Talus = 7 bulan
o Femur = 8-9 bulan
o Tibia = 9-10 bulan
3. Pernah atau tidak pernah bernapas. Hal ini dibuktikan dengan percobaan apung
paru. Hasil percobaan apung paru yang menyimpulkan belum pernah bernapas,
belum dapat menyingkirkan kemungkinan tindakan pembunuhan anak, karena
ada keadaan dimana bayi lahir hidup tetapi belum/tidak sempat bernapas dan
dibunuh ibunya pada saat itu (bernapas hanya salah satu bukti/tanda kehidupan)
4. Berapa lama bayi hidup8
Lamanya bayi hidup (bila hidup lebih dari 24 jam) dapat dilihat pada: perubahan
tali pusat, perubahan pada pembuluh darah. Kalau bayi hidup kurang dari 24 jam,
hal ini tidak dapat ditentukan dengan pasti. Penutupan duktus arteriosus dan
foramen ovale tidak dapat dipakai sebagai pegangan, karena waktu penutupannya
bervariasi (tidak tepat).
42
5. Sebab kematian8
a. Kelalaian
Pada peristiwa kelahiran sering dijumpai kelalaian, baik itu disengaja atau tidak
disengaja.
Inhalasi cairan ketuban/darah atau terbenam di dalam WC mati akibat
asfiksia
Terjerat tali pusat, mati akibat asfiksia. Jeratan tali pusat yang dilakukan
setelah bayi mati dapat dibedakan dengan jeratan tali pusat intrauterine
yaitu bayi yang mati intrauterine menunjukkan paru yang belum pernah
bernapas.
Perdarahan dari tali pusat, karena setelah bayi lahir, tali pusat tidak
diikat dengan baik.
Suffocation, misalnya terjadi kelahiran dibawah selimut
Lalai membuat hangat (tidak dapat dibuktikan post mortem) atau tidak
memberi ASI. Sehingga kematian bayi secara pasif (kedinginan dan
starvasi)
b. Kekerasan
Kekerasan dalam uterus
o Dinding perut tertumbuk sesuatu (jatuh/ditendang)
o Pemasukkan alat ke vagina
Kekerasan selama proses kelahiran
o Kemungkinan terjadi trauma kelahiran yang wajar harus
dipikirkan sebelum menduga adanya tindak kekerasan
o Retak tulang tengkorak karena trauma kelahiran (biasanya pada
os temporal) pada umumnya hanya sedikit dan tidak disertai
luka lecet
43
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Kejahatan asusila adalah perbuatan atau tingkah laku yang menyimpang dari
norma-norma atau kaidah kesopanan.
44
2. Tindak pidana kesopanan merupakan salah satu hal dari sekian kejahatan dalam
KUHP.
3. Yang termasuk dalam kelompok kejahatan kesusilaan meliputi perbuatan-
perbuatan: yang berhubungan dengan minuman, yang berhubungan dengan
kesusilaan di muka umum dan yang berhubungan dengan benda- benda dan
sebagainya yang melanggar kesusilaan atau bersifat porno, zina dan sebagainya
yang berhubungan dengan perbuatan cabul dan hubungan seksual, perdagangan
wanita dan anak laki-laki di bawah umur, yang berhubungan dengan pengobatan
untuk menggugurkan kandungan, memabukkan, menyerahkan anak untuk
pengemisan dan sebagainya, penganiayaan hewan, perjudian.
4. Kejahatan seksual (sexual offences), sebagai salah satu bentuk kejahatan yang
menyangkut tubuh, kesehatan dan nyawa manusia.
5. Perkosaan adalah melakukan hubungan seksual dengan seorang perempuan diluar
keinginannya dan persetujuan wanita tersebut, baik keinginannya dilawan dengan
kekuatan atau rasa takut akibat ancama kekuatan, maupun oleh obat atau racun,
atau karena gangguan jiwa, ia tidak mampu melakukan penilaian yang rasional,
atau ketika dibawah usia dewasa.
6. Pencabulan adalah semua perbuatan yang dilakukan untuk mendapatkan
kenikmatan seksual sekaligus mengganggu kehormatan kesusilaan. Perbuatan
cabul di dalam KUHP yaitu segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (
kesopanan ) atau perbuatan yang keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi
kelamin.
7. Ujmcm
8. Aspek hukum yang mengatur tentang kejahatan seksual yaitu pasal 284, 285,
286,287 KUHP.
9. Pengguguran kandungan menurutr hukum ialah tindakan menghentikan kehamilan
atau mematikan janin sebelum waktu kelahiran, tanpa melihat usia kandungannya
dan tidak dipersoalkan, apakah dengan pengguguran tersebut lahir bayi mati atau
hidup.
45
DAFTAR PUSTAKA