Anda di halaman 1dari 32

BAB I

Pendahuluan

Tindak kekerasan seksual merupakan kejahatan yang cukup sering dijumpai saat ini dan
mendapat perhatian khusus di masyarakat. Banyak pemberitaan di media massa baik cetak
maupun elektronik memberitakan perihal kejadian kekerasan seksual. Tindak kekerasan seksual
sebenarnya merupakan tindak kejahatan klasik karena dalam sejarah perkembangannya, tindak
kejahatan seksual memang telah ada sejak dahulu, namun bentuk-bentuknya berkembang
mengikuti perkembangan zaman yang ada dan kebudayaan manusia.

Bentuk kejahatan/kekerasan seksual yang sering diberitakan contohnya adalah pemerkosaan


yang sejak dahulu telah ada dan akan selalu ada dan berkembang setiap saat walaupun mungkin
tidak terlalu berbeda jauh dengan sebelumnya. Kekerasan seksual tidak hanya terjadi di kota-
kota besar yang penduduknya dianggap relatif lebih maju dalam hal kebudayaan dan kesadaran
atau pengetahuan akan hukum, tapi juga terjadi di pedesaan dimana penduduknya masih lebih
memegang nilai-nilai tradisi dan adat istiadat.(1,2,3) Maka dari itu, pengertian dan pembedaan
antara bentuk-bentuk kekerasan seksual seyogyanya perlu untuk dikenali bahkan dipahami.

Perlakuan kejahatan/kekerasan seksual ini dalam perjalanannya dapat dan perlu dibuktikan
secara hukum sebagai suatu tindak pidana yang mampu menjerat pelakunya. Di dalam upaya
membuktikan tindak kejahatan seksual tersebut, maka salah satunya dibutuhkan pembuktian
secara ilmiah melalui kedokteran forensik. Namun demikian, adapun beberapa hal yang bisa saja
menjadi penghambat proses pembuktian ini contohnya; faktor keterbatasan di dalam ilmu
kedokteran, faktor waktu, faktor keaslian dari barang bukti (korban), maupun faktor-faktor dari
pelaku kejahatan seksual itu sendiri.

Pemeriksaan kasus-kasus persetubuhan / perlakuan kekerasan seksual lainnya yang


merupakan tindak pidana ini, hendaknya dilakukan dengan teliti dan waspada. Visum et
Repertum yang dihasilkan mungkin menjadi dasar untuk membebaskan terdakwa dari
penuntutan atau sebaliknya untuk menjatuhkan hukuman. Di Indonesia, pemeriksaan korban
persetubuhan yang diduga merupakan tindak kejahatan seksual umumnya dilakukan oleh dokter
ahli Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan, kecuali di tempat yang tidak ada dokter ahli
tersebut, maka pemeriksaan harus dilakukan oleh dokter umum.(2,3)

1
BAB II

Pembahasan

A. Definisi

Menurut Kamus Besar Indonesia (1990) pengertian pelecehan seksual adalah pelecehan
yang merupakan pembendaaan dari kata kerja melecehkan yang berarti menghinakan,
memandang rendah, mengabaikan. Sedangkan seksual memiliki arti hal yang berkenaan dengan
seks atau jenis kelamin, hal yang berkenan perkara persetubuhan antara laki-laki dan perempuan.
Berdasarkan pengertian tersebut maka pelecehan seksual berarti suatu bentuk penghinaan atau
memandang rendah seseorang karena hal-hal yang berkenaan dengan seks, jenis kelamin, atau
aktifitas seksual antara laki-laki dan perempuan. Kekerasan adalah hal yang bersifat atau berciri
keras yaitu perbuatan seseorang yang menyebabkan cedera atau menyebabkan kerusakan fisik
atau barang orang lain atau paksaan. Secara spesifik yang dimaksud kekerasan seksual adalah
suatu prilaku seksual deviatif atau menyimpang, merugikan korban dan merusak kedamaian di
masyarakat.(2,3)

Bentuk dan jenis kekerasan seksual bisa ditemukan dalam bentuk perkataan maupun
perbuatan. Bentuk paling umum dijumpai adalah pelecehan seksual dimana si pelaku
memberikan perhatian bersifat seksual yang tidak diinginkan seseorang (kebanyakan para
wanita) yang dialami dimana saja. Ini dapat meliputi ekspresi dan gerakan, seperti kerlingan
mata, kontak fisik yang meliputi cubitan, rabaan, komentar verbal, tekanan halus untuk
melakukan aktivitas seksual, sampai pada serangan seksual dan pemerkosaan.(2,3)

Komisi nasional (komnas) perempuan menyimpulkan bahwa kekerasan seksual terhadap


perempuan dimaknai sebagai sebuah pelanggaran hak asasi manusia yang berakar pada
diskriminasi berbasis gender yang disertai oleh tindakan seksual, atau percobaan untuk
mendapatkan tindakan seksual, atau ucapan yang menyasar seksual, atau tindakan untuk
memperdagangkan atau tindakan yang menyasar seksualitas seseorang yang dilakukan dengan
paksaan, intimidasi, ancaman, penahanan, tekanan psikologis atau penyalahgunaan kekuasaan,
atau dengan mengambil kesempatan dari lingkungan yang koersif, atau atas seseorang yang tidak
mampu memberikan persetujuan yang sesungguhnya tindakan yang bersifat seksual itu tidak

2
terbatas pada serangan fisik kepada tubuh seseorang dan dapat termasuk tindakan-tindakan yang
tidak melibatkan penetrasi ataupun kontak fisik.(4)

B. Epidemiologi

Di Amerika Serikat angka perkosaan pada tahun 2001 (1,7%) dan tahun 2002 (2,1%) dari
tindak kejahatan yang ada.(11) Di Indonesia kasus kekerasan seksual setiap tahun mengalami
peningkatan, korbanya bukan hanya dari kalangan dewasa saja sekarang sudah merambah ke
remaja, anak-anak bahkan balita. Dan yang lebih tragis lagi pelakunya adalah kebanyakan dari
lingkungan keluarga sendiri.

Gambar 1. Diambil dari Kepustakaan 4

Di Jakarta, angka perkosaan pada tahun 2002 naik 20,22% (tahun 2001: 89 kasus dan
tahun 2002: 107 kasus), Surabaya pada tahun 2002 sebanyak 165 kasus (naik 15,5%) dan korban
meninggal akibat kejahatan seksual di Instalasi Kedokteran Forensik RSU Dr. Soetomo tahun
1998-2002 sebanyak 3 kasus.(4,5,6,10)

Dokumentasi Komnas Perempuan memperlihatkan bahwa dari total kasus kekerasan


seksual di Indonesia yaitu 93.960 kasus, kurang dari 10 persen saja kasus kekerasan seksual yang
berdiri sendiri, yaitu 8.784 kasus. Sisanya sebanyak 85.176 kasus adalah gabungan dari kasus
perkosaan, pelecehan seksual dan eksploitasi seksual. Sementara tiga jenis kekerasan seksual
meliputi prostitusi paksa, pemaksaan kehamilan, praktik tradisi bernuansa seksual yang
membahayakan atau mendiskriminasi perempuan seperti halnya sunat perempuan,meski

3
ditemukan di dalam berbagai dokumentasi Komnas Perempuan namun tidak memiliki angka
yang pasti.(4,5,12)

Gambar 2. Diambil dari Kepustakaan 4

Pada periode Januari-April 2012 menurut Program Sistem Pemantauan Kekerasan


Nasional / National Violence Monitoring System (NVMS) di Jabodetabek tercatat 249 korban
pemerkosaan, 205 diantaranya adalah perempuan sedangkan sisanya adalah anak-anak.
Database juga menunjukkan 187 kasus KDRT, yang mengakibatkan 52 tewas dan 121
cedera. Dari jumlah tersebut, 40% korban tewas dan 70% korban cedera adalah perempuan.
Program NVMS mencatat data KDRT dan kekerasan seksual tersebut karena keduanya penting
dalam perumusan kebijakan untuk menangani kekerasan sosial. .(4,5,6,11,12,15)

C. Jenis-Jenis Kekerasan Seksual

Bedasarkan data dari Komnas Perempuan ada 3 ranah yang menyebabkan terjadinya
kekerasan seksual, yaitu personal, public, dan Negara. Ranah personal artinya kekerasan seksual
dilakukan oleh oleh orang yang memiliki hubungan darah, kekerabatan, perkawinan maupun
relasi intim dengan korban. Jumlah kedua adalah kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di
ranah publik, yaitu 22.284 kasus. Di ranah publik berarti kasus dimana korban dan pelaku tidak
memiliki hubungan kekerabatan, darah ataupun perkawinan yang dapat disebabkan oleh orang-
orang sekitar atau orang yang tidak dikenali oleh korban. Dalam berbagai dokumentasi,

4
ditemukan pula bahwa pelaku kekerasan adalah aparatur negara dalam kapasitas tugas.
Jumlahnya mencapai 1.561 kasus. Dalam konteks pelaku adalah aparat negara dalam kapasitas
tugasnya inilah yang dimaksudkan sebagai ranah negara. Termasuk di dalam kasus di ranah
negara adalah ketika pada peristiwa kekerasan, aparat negara berada di lokasi kejadian namun
tidak berupaya untuk menghentikan atau justru membiarkan tindak kekerasan tersebut berlanjut.
.(4,5,12)

Gambar 3. Diambil dari Kepustakaan 4

Jenis-jenis kekerasan seksual [4]

1. Perdagangan perempuan

Untuk tujuan seksual adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman,


pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan,
penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalah gunaankekuasaan atau posisi rentan,
penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari
orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara
maupun antar negara, untuk tujuan prostitusi ataupun eksploitasi seksual lainnya.

5
2. Pelecehan seksual

Merujuk pada tindakan bernuansa seksual yang disampaikan melalui kontak fisik maupun non
fisik yang menyasar pada bagian tubuh seksual atau seksualitas seseorang, termasuk dengan
menggunakan siulan, main mata, komentar atau ucapan bernuansa seksual, mempertunjukan
materi-materi pornografi dan keinginan seksual, colekan atau sentuhan di bagian tubuh, gerakan
atau isyarat yang bersifat seksual sehingga mengakibatkan rasa tidak nyaman, tersinggung
merasa direndahkan martabatnya, dan mungkin sampai menyebabkan masalah kesehatan dan
keselamatan.

3. Penyiksaan seksual

Adalah perbuatan yang secara khusus menyerang organ dan seksualitas perempuan yang
dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik
jasmani, rohani maupun seksual, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan
darinya, atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah atau
diduga telah dilakukan olehnya ataupun oleh orang ketiga, untuk mengancam atau memaksanya
atau orang ketiga, dan untuk suatu alasan yang didasarkan pada diskriminasi atas alasan apapun,
apabila rasa sakit dan penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan
persetujuan, atau sepengetahuan pejabat publik.

4. Eksploitasi Seksual

Merujuk pada aksi atau percoban penyalahgunaan kekuatan yang berbeda atau kepercayaan,
untuk tujuan seksual termasuk tapi tidak terbatas pada memperoleh keuntungan dalam bentuk
uang, sosial maupun politik dari eksploitasi seksual terhadap orang lain.

5. Perbudakan Seksual

Sebuah tindakan penggunaan sebagian atau segenap kekuasaan yang melekat pada hak
kepemilikan terhadap seseorang, termasuk akses seksual melalui pemerkosaan atau bentuk-
bentuk lain kekerasan seksual. Perbudakan seksual juga mencakup situasi-situasi dimana
perempuan dewasa dan anak-anak dipaksa untuk menikah, menjadi pelayan rumah tangga, atau
bentuk kerja paksa lainnya yang pada akhirnya memaksa korban untuk melakuakan kegiatan
seksual termasuk di dalamnya perkosaan oleh pemilik.

6
6. Intimidasi/serangan bernuansa seksual, termasuk ancaman/percobaan perkosaan

Tindakan yang menyerang seksualitas untuk menimbulkan rasa takut atau penderitaan psikis
pada perempuan. Serangan dan intimidasi seksual disampaikan secara langsung maupun tidak
langsung melalui surat, sms, email, media sosial, dan lain-lain.

7. Kontrol seksual, termasuk pemaksaan busana dan kriminalisasi perempuan lewat aturan
diskriminatif beralasan moralitas dan agama

Mencakup berbagai tindak kekerasan secara langsung maupun tidak langsung, dan tidak hanya
melalui kontak fisik, yang dilakukan untuk mengancam atau memaksakan perempuan
mengenakan busana tertentu atau dinyatakan melanggar hukum karena cara ia berbusana atau
berelasi sosial dengan lawan jenisnya. Termasuk di dalamnya adalah kekerasan yang timbul
akibat aturan tentang pornografi yang melandaskan diri lebih pada persoalan moralitas daripada
kekerasan seksual.

8. Pemaksaan Aborsi

Adalah pengguguran kandungan yang dilakukan karena adanya tekanan, ancaman, maupun
paksaan dari pihak lain.

Gambar 4(7). Seorang wanita yang tewas akibar emboli udara setelah percobaan menginduksi aborsi

9. Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual

Cara menghukum yang menyebabkan penderitaan, kesakitan, ketakutan, atau rasa malu yang luar
biasa yang tidak bisa tidak termasuk dalam penyiksaan. Termasuk dalam penghukuman tidak

7
manusiawi adalah hukuman cambuk dan hukuman-hukuman yang merendahkan martabat
manusia yang ditujukan bagi mereka yang dituduh melanggar norma-norma kesusilaan.

10. Pemaksaan perkawinan

Kawin paksa dan kawin gantung adalah situasi dimana perempuan terikat perkawinan di luar
kehendaknya sendiri, termasuk di dalamnya situasi dimana perempuan merasa tidak memiliki
pilihan lain kecuali mengikuti kehendak orang tuanya agar ia menikah, sekalipun bukan dengan
orang yang ia inginkan atau dengan orang yang tidak ia kenali, untuk tujuan mengurangi beban
ekonomi keluarga maupun tujuan lainnya.

11. Prostitusi Paksa

Adalah situasi dimana perempuan dikondisikan dengan tipu daya, ancaman maupun kekerasan
untuk menjadi pekerja seks. Pengondisian ini dapat terjadi pada masa rekrutmen maupun untuk
membuat perempuan tersebut tidak berdaya untuk dapat melepaskan dirinya dari prostitusi,
misalnya dengan penyekapan, penjeratan hutang, atau ancaman kekerasan.

12. Pemaksaan kehamilan

Ketika perempuan melanjutkan kehamilan yang tidak ia kehendaki akibat adanya tekanan,
ancaman, maupun paksaan dari pihak lain. Kondisi ini misalnya dialami oleh perempuan korban
perkosaan yang tidak diberikan pilihan lain kecuali melanjutkan kehamilannya akibat perkosaan
tersebut.

13. Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan

Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan merujuk
pada kebiasaan berdimensi seksual yang dilakukan masyarakat , kadang ditopang dengan alasan
agama dan/atau budaya, yang dapat menimbulkan cidera secara fisik, psikologis maupun seksual
pada perempuan atau dilakukan untuk mengontrol seksualitas perempuan dalam perspektif yang
merendahkan perempuan.

8
14. Pemaksaan kontrasepsi/sterilisasi,

Pemaksaan penggunaan alat-alat kontrasepsi bagi perempuan untuk mencegah reproduksi, atau
pemaksaan penuh organ seksual perempuan untuk berhenti bereproduksi sama sekali, sehingga
merebut hak seksualitas perempuan serta reproduksinya.

15. Pemerkosaan

Pemerkosaan adalah kekerasan seksual yang serius, hal ini hanya dapat dilakukan oleh laki-laki,
namun tidak menutup kemungkinan bisa dilakukan oleh perempaun. Pemerkosaan didefinisikan
oleh Criminal Justice and Public Order Act 1994 sebagai, penetrasi penis ke vagina atau anus
tanpa persetujuan. (7,15) Dalam ulasannya, komnas perempuan juga mendefinisikan permerkosaan
sebagai serangan yang diarahkan pada bagian seksual dan seksualitas seseorang dengan
menggunakan organ seksual (penis) ke organ seksual (vagina), anus atau mulut, atau dengan
menggunakan bagian tubuh lainnya yang bukan organ seksual atau pun benda-benda lainnya.
Serangan itu dilakukan dengan kekerasan, dengan ancaman kekerasan ataupun dengan
pemaksaan sehingga mengakibatkan rasa takut akan kekerasan, di bawah paksaan, penahanan,
tekanan psikologis atau penyalahgunaan kekuasaan atau dengan mengambil kesempatan dari
lingkungan yang koersif, atau serangan atas seseorang yang tidak mampu memberikan
persetujuan yang sesungguhnya.
Maka, dalam kasus pemerkosaan dapat dikatakan bahwa persetujuan adalah hal yang paling
penting dan dalam pelaksanaann, si pelaku mengetahui kalau korbannya tidak menyetujui
penetrasi yang dilakukan.

D. Pembuktian Kekerasan Seksual

Secara umum, pembuktian terjadinya kekerasan seksual meliputi pemeriksaan tubuh dan pakaian
korban serta pelaku, perkiraan umur, bekas-bekas kekerasan pada tubuh korban ataupun pelaku,
dan hasil dari pemeriksaan laboratorium.

Pemeriksaan Korban

a. Pemeriksaan tubuh

9
Pada korban wanita, pemeriksaan dilakukan pada selaput dara, apakah ada ruptur atau
tidak. Bila ada, tentukan ruptur baru atau lama dan catat lokasi ruptur tersebut, teliti apakah
sampai ke insertio atau tidak. Tentukan besar orifisium, Harus diingat bahwa tidak terdapatnya
robekan pada selaput dara, tidak dapat dipastikan bahwa pada wanita tidak terjadi penetrasi.
Apabila pada persetubuhan tersebut disertai dengan ejakulasi dan ejakulat tersebut mengandung
sperma, maka adanya sperma di dalam liang vagina merupakan tanda pasti adanya persetubuhan.
(2,3,9)

Bila pada kejahatan seksual yang disertai dengan persetubuhan itu tidak sampai berakhir
dengan ejakulasi, dengan sendirinya pembuktian adanya persetubuhan secara kedokteran
forensik tidak mungkin dapat dilakukan secara pasti. Maka, dokter tidak dapat secara pasti pula
menentukan bahwa pada seorang wanita tidak terjadi persetubuhan; maksimal dokter harus
mengatakan bahwa pada diri wanita yang diperiksanya itu tidak ditemukan tanda-tanda
persetubuhan, yang mencakup dua kemungkinan: pertama, memang tidak ada persetubuhan dan
yang kedua persetubuhan ada tapi tanda-tandanya tidak dapat ditemukan. (2,3,9)

Dalam waktu 4-5 jam postkoital sperma di dalam liang vagina masih dapat bergerak;
sperma masih dapat ditemukan namun tidak bergerak sampai sekitar 24-36 jam postkoital, dan
masih dapat ditemukan sampai 7-8 hari bila wanita yang menjadi korban meninggal. Perkiraan
saat terjadinya persetubuhan juga dapat ditentukan dari proses penyembuhan selaput dara yang
robek. Pada umumnya penyembuhan tersebut dicapai dalam waktu 7-10 hari postkoital. (2,3,9)

Gambar 2[7]. Bentuk vagina pada korban pemerkosaan anak-anak

10
b. Pemeriksaan pakaian

Dalam hal pembuktian adanya persetubuhan, pemeriksaan dapat dilakukan pada pakaian
korban untuk menentukan adanya bercak ejakulat. Dari bercak tersebut dapat dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut untuk memastikan bahwa bercak yang telah ditemukan adalah air mani
serta dapat menentukan adanya sperma. (2,3,9)

Pemeriksaan Pelaku

a.Pemeriksaan tubuh

Untuk mengetahui apakah seorang pria baru melakukan persetubuhan, dapat dilakukan
pemeriksaan ada tidaknya sel epitel vagina pada glans penis. Perlu juga dilakukan pemeriksaan
sekret uretra untuk menentukan adanya penyakit kelamin(2,3,9)

b. Pemeriksaan pakaian

Pada pemeriksaan pakaian, catat adanya bercak semen, darah, dan sebagainya. Bercak
semen tidak mempunyai arti dalam pembuktian sehingga tidak perlu ditentukan. Darah
mempunyai nilai karena kemungkinan berasal dari darah deflorasi. Di sini penentuan golongan
darah penting untuk dilakukan. Trace evidence pada pakaian yang dipakai ketika terjadi
persetubuhan harus diperiksa. Bila fasilitas untuk pemeriksaan tidak ada, kirim ke laboratorium
forensik di kepolisian atau bagian Ilmu Kedokteran Forensik, dibungkus, segel, serta dibuat
berita acara pembungkusan dan penyegelan(2,3,9)

Pembuktian Kekerasan

Luka-luka akibat kekerasan seksual biasanya berbentuk luka lecet bekas kuku, gigitan
(bite marks) serta luka-luka memar. lokasi luka-luka yang sering ditemukan, yaitu di daerah
mulut dan bibir, leher, puting susu, pergelangan tangan, pangkal paha serta di sekitar dan pada
alat genital. Harus diingat bahwa tidak semua kekerasan meninggalkan bekas atau jejak
berbentuk luka. Maka, tidak ditemukannya luka tidak berarti bahwa pada wanita korban tidak
terjadi kekerasan itulah alasan mengapa dokter harus menggunakan kalimat tanda-tanda
kekerasan di dalam setiap Visum et Repertum yang dibuat, oleh karena tidak ditemukannya
tanda-tanda kekerasan mencakup dua pengertian: pertama, memang tidak ada kekerasan, dan

11
yang kedua kekerasan terjadi namun tidak meninggalkan bekas (luka) atau bekas tersebut sudah
hilang. (2,3,9)

Perkiraan Umur

Penentuan umur bagi wanita yang menjadi korban kejahatan seksual seperti yang
dikehendaki oleh pasal 284 dan 287 KUHP adalah hal yang tidak mungkin dapat dilakukan
(kecuali didapatkan informasi dari akte keahiran). Dengan teknologi kedokteran yang canggih
pun maksimal hanya sampai pada perkiraan umur saja(2,3,9)

Perkiraan umur dapat diketahui dengan melakukan serangkaian pemeriksaan yang


meliputi pemeriksaan fisik, ciri-ciri seks sekunder, pertumbuhan gigi, fusi atau penyatuan dari
tulang-tulang khususnya tengkorak serta pemeriksaan radiologi lainnya. (2,3,9)

Pemeriksaan Laboratorium

Adanya cairan mani atau bercak yang dihasilkan bisa menjadi petunjuk adanya
pemerkosaan atau upaya pemerkosaan, pembunuhan seksual pada wanita dan biasa juga terjadi
pada bestiality. bercak pada pakaian, di kulit perineum, paha, labium minor, rambut pubis,
vagina dan lubang anus. Ini tidak pasti membuktikan bahwa cairan semen masuk ke vagina, ini
cukup sering ditemukan pada labium minor atau rambut pubis sejak adanya penetrasi penis
meskipun bukan penetrasi komplit. Cairan semen yang telah kering pada perineum atau labia
minor paling baik dikumpulkan menggunakan swab. Sampel rambut pubis, yang mungkin juga
dibutuhkan untuk perbandingan dengan rambut yang ada pada pakaian terdakwa, harus diambil
secara hati-hati dan dipindahkan ke kemasan kecil dari gelas. Rambut yang dipotong tidak akan
disertai akarnya sehingga menjadi tidak memuaskan. (2,3,9)

Pemeriksaan lebih detail terhadap organ-organ tubuh beserta cairan tubuhnya, bagaimana
metodenya, dan apa implikasi medisnya; diperlukan untuk dipahami agar pemeriksaan
berlangsung secara sistematis.

Berikut adalah deskripsinya[9]

12
Kulit

Semua area kulit yang belum dibersihkan yang terkena jilatan/ciuman/digigit/cairan ejakulasi
baik pada korban ataupun pelaku harus diambil sampel nya. Seluruh kepala harus diinspeksi
dengan seksama untuk menemukan ada tidaknya noda (cth; kotoran dan darah), luka, penyakit
kulit, dan skar. Beberapa penelitian melaporkan bahwa payudara wanita digigit pada 7-19%
kasus kekerasan seksual. Cara satu-satunya yang dipakai untuk mengetahui adanya cairan liur
adalah dengan terdeteksinya enzyme amylase. Namun, pada prakteknya, enzyme ini sulit
ditemukan dalam kadar konsentrasi yang cukup pada sampling kulit, tetapi dimungkinkan untuk

13
mendapatkan profil DNA dari bekas cairan liur yang didapat pada bekas gigitan pada kulit
cadaver jika cairan liur terdeposit 48 jam sebelumnya; maka, sangatlah penting untuk
mengambil sampel pada area tubuh yang relevan sesegera mungkin. Permukaan tubuh juga perlu
di palpasi untuk mengidentifikasi area dan ukuran bagian yang sakit.

Rambut : Kepala dan Pubis


Rambut paling sering diambil unutk sampel untuk mendeteksi cairan tubuh atau mengambil
rambut asing (rambut yang bukan milik orang yang diambil sampel nya) atau partikel asing.
Telah diketahui selama beberapa decade bahwa banyak obat-obatan yang terdeposit di rambut
(cth; barbiturat, amfetamin, opiat, kokain, benzodiazepi, - hidroksi butirat, dan ganja). Hal ini
sangat penting karena korban kekerasan seksual yang kemungkinan dibawah pengaruh obat-
obatan, sering tidak melaporkan kejadian tersebut secepatnya karena amnesia dan / atau ragu
tentang apa yang mungkin terjadi, dan obat-obatan memiliki akses untuk dianalisis lebih lama
pada rambut dibandingkan dengan darah atau urine. Selain itu, dapat digunakan sebagai sampel
acuan untuk analisis DNA. Metode Yang digunakan untuk mengambil sampel rambut adalah
pemotongan (cutting) dan menyisir (combing).
a. Cutting Tempat yang ideal untuk pengambilan sampel adalah mahkota kepala,
meskipun ini mungkin tidak dapat diterima oleh pelapor. Rambut harus diluruskan,
dengan ujung dipotong dibatasi oleh karet gelang. Sampel rambut kemudian dibungkus
dalam aluminium foil. Untuk analisis obat, kira-kira 50 rambut harus dipotong dekat
dengan kulit kepala setidaknya 7 hari setelah kekerasan seksual terjadi. Jika pasien tidak
menyetujui untuk rambut yang terkontaminasi dipotong atau jika tidak praktis untuk
memotong karena tingkat kontaminasi bahan asing, maka bidang yang relevan dapat
dilakukan swab.
b. Combing Setiap partikel asing atau rambut teridentifikasi pada kepala atau rambut
kemaluan harus dikumpulkan dengan forceps dan diajukan untuk analisis. Beberapa studi
tentang materi kasus pelanggaran seksual telah menunjukkan tingkat yang lebih rendah
dalam hal transfer rambut kemaluan antara korban dan pelaku. Transfer rambut kemaluan
ke laki-laki (23,6 %) lebih umum daripada transfer ke perempuan (10,9 %) . Oleh karena
itu penulis menganjurkan bahwa rambut kemaluan korban / tersangka harus disisir dan
ditaruh pada selembar kertas yang tidak terkontaminasi (ukuran A4), dengan korban

14
dalam posisi semilithotomy saat diambil sampel nya; kertas yang melampirkan sisir harus
dilipat ke dalam dan diajukan untuk analisis. Namun, jika balaclava atau artikel lainnya
yang dikenakan di kepala selama serangan itu, rambut harus disampel dengan pita
perekat rendah, yang kemudian melekat pada asetat.
Kadang-kadang, rambut kepala atau kemaluan mungkin telah dengan sengaja atau tidak ditarik
keluar saat terjadinya tindakan kekerasan seksual; identifikasi perdarahan folikel rambut dan /
atau rambut rusak akan mendukung keluhan ini sebagai bukti medis.

Kuku

Penetrasi vagina dengan menggunakan jari diduga telah terjadi di hampir satu dari lima (18 %)
dari kasus kekerasan seksual. Oleh karena itu, sampel kuku harus diperoleh dari korban jika
keadaan pelanggaran menunjukkan bahwa jejak bahan mungkin ada; misalnya, jika telah ada
perlawanan atau jika rincian serangan tidak pasti dan praktisi forensik, dalam mengamati tangan
korban, meemukan bahan yang menarik di bawah atau di permukaan kuku. Mereka juga harus
dipertimbangkan jika kuku pecah selama pelanggaran dan bagian yang rusak dapat ditemukan
dari tempat kejadian. Sampel harus diperoleh dari tersangka jika dituduh bahwa tangan nya
memiliki kontak langsung dengan alat kelamin perempuan atau jika ia tergores korban. Metode
optimal sampling adalah kliping dari seluruh kuku Namun, dalam beberapa kasus, kuku mungkin
terlalu pendek untuk dipotong atau pengadu dapat tidak memberikan persetujuannya untuk
kukunya disampling; misalnya pengadu sangat menghargai kuku yang terawat mereka. Dalam
kasus tersebut, kerokan bahan di bawah kuku harus diambil dengan menggunakan tongkat
runcing atau kedua sisi kuku sebaiknya diswab menggunakan teknik double-swab. Ketika
mendapatkan kerokan kuku, praktisi forensik harus mencoba untuk tidak mengganggu bantalan
kuku. Masing-masing tangan harus sampel dan spesimen dikemas secara terpisah melampirkan
tongkat (diselimuti selembar kertas dilipat), jika digunakan. Pada kesempatan langka ketika paku
telah rusak dalam insiden itu dan fragmen patah kuku ditemukan, sisa pada jari yang relevan
harus dipotong dalam waktu 24 jam untuk memungkinkan perbandingan striasi kuku, karena
striasi kuku adalah unik untuk jari tertentu. Panjang dan kerusakan pada kuku harus dicatat.

15
Rongga mulut

Tindakan seksual tertentu yang dapat memberikan bukti forensik atau medis fellatio,
cunnilingus, dan anilingus.
a. Fellatio (irrumation) merupakan aktivitas seksual di mana penis dimasukkan ke
dalam mulut ; rangsangan seksual dicapai dengan mengisap penis saat bergerak masuk
dan keluar dari rongga mulut . Ejakulasi mungkin atau tidak terjadi. Setelah kontak oral -
penis, rongga mulut harus disampling saat fellatio dilakukan selama serangan seksual
atau dalam keadaan di mana rincian kejadian tidak diketahui. Tidak ada konsensus di
seluruh dunia saat ini untuk menetukan metode terbaik sampling. Praktek yang umum
adalah untuk mendapatkan 10 mL air liur sebagai sampel pertama. Kemudian dua
penyeka secara berurutan yang digosok atas margin gusi dalam dan luar (dengan
perhatian khusus pada margin sekitar gigi) ; atas dan , jika dapat ditoleransi , langit-langit
lunak keras ; di bagian dalam pipi dan bibir ; dan lebih dari kedua permukaan lidah.
Mulut kemudian dibilas dengan 10 ml air steril, yang disimpan dalam botol sebagai
sampel akhir. Sampel dapat diperoleh oleh seorang polisi atau professional lain sebelum
kedatangan praktisi forensik, hal ini untuk meminimalkan penundaan sampling. Beberapa
laporan kasus telah mendokumentasikan lesi palatal setelah fellatio. Area perdarahan
petekie dan konfluen memar telah dijelaskan pada langit-langit lunak dan di
persimpangan antara selera keras dan lunak. Daerah memar ini bervariasi dari lesi diskrit
tunggal atau bilateral 1,0-1,5 cm , terletak pada atau kedua sisi garis tengah , sampai pada
memar yang berukuran lebih besar yang melintasi garis tengah. Memar ini tidak
menyakitkan dan sembuh dalam 7-10 hari, meskipun mungkin muncul lagi karena fellatio
berulang. Seorang praktisi forensik dapat diminta untuk menjelaskan kepada pengadilan
mengapa memar ini terjadi. Meskipun mekanisme yang tepat tidak diketahui, hipotesis
berikut telah disodorkan : kontraksi berulang otot palatum, mengisap , trauma tumpul.
Dalam suatu kasus, mucositis bisa saja pada akhirnya didiagnosis sebagai kandidiasis oral
didapat dari kontak langsung dengan penis yang terinfeksi. Setiap kali memar palatal ,
eritema , atau erosi yang teridentifikasi selama pemeriksaan korban yang mungkin telah
mengalami fellatio; penjelasan alternatif harus disertakan dengan mengambil riwayat
medis , gigi , dan sosial secara rinci, melakukan pemeriksaan umum komprehensif ; dan ,
jika perlu , melakukan penyelidikan khusus yang relevan . Setiap kali keluhan dari

16
fellatio nonconsensual dibuat, kepala dan wajah harus dicermati karena mungkin ada luka
lain di sekitar rongga mulut yang mendukung tuduhan itu , seperti memar di wajah dan
leher atau laserasi dari frenula tersebut.
b. Cunnilingus and Anilingus Cunnilingus (cunnilinctus) adalah aktivitas seksual di
mana alat kelamin perempuan dijila, dihisap, atau digosok dengan bibir dan / atau lidah.
Anilingus (analingus atau " rimming ") adalah aktivitas seksual di mana anus dijilat,
dihisap, atau digosok dengan bibir dan / atau lidah. Secara tradisional, deteksi enzim
amilase pada penyeka vulva dan vagina dianggap bukti konfirmasi kehadiran air liur.
Penyodoran berulang lidah atas tepi gigi seri rahang bawah selama cunnilingus atau
anilingus dapat menyebabkan ulserasi pada frenulum lingual, yang dapat sembuh
sempurna dalam waktu 7 hari. Lesi tersebut harus dicari secara spesifik selama
pemeriksaan rongga mulut tersangka ketika tindakan seperti itu telah dijelaskan oleh
korban atau ketika rincian tepat dari serangan tidak diketahui.

Genital

Pemeriksaan area genital dari perempuan dan laki-laki korban / tersangka adalah langkah yang
pasti yang harus dilakukan untuk mengungkap terjadinya kekerasan seksual.
a. Female Meskipun secara hukum tidak perlu memiliki bukti ejakulasi untuk
membuktikan bahwa hubungan intercourse telah terjadi , laboratorium ilmu forensic
sering diminta untuk menentukan apakah air mani hadir pada swab diambil dari alat
kelamin perempuan karena bukti air mani dapat memainkan peran sentral dalam
identifikasi pelaku. Hal ini juga penting untuk mendapatkan sampel vagina , vulva , dan
perineum secara terpisah ketika diduga hanya terjadi hubungan seks anal yang
kemungkinannya terjadi kebocoran dari vagina untuk menjelaskan cairan semen di
lubang anus . Hal yang diperiksa dari sampel yang spermatozoa , cairan mani ,darah , dan
pelumas. Praktisi forensik harus memeriksa mons pubis dan perhatikan warna, kekasaran,
dan distribusi dari setiap rambut kemaluan, serta pemeriksaan hymen. Daerah vulva harus
hati-hati diperiksa sebelum penyisipan spekulum, karena bahkan traksi lembut pada
fourchette posterior atau fossa navicularis selama pemeriksaan medis dapat menyebabkan
laserasi superficial di situs tersebut. Bila mungkin, vagina dan serviks harus diperiksa
melalui spekulum transparan setelah sampel vagina tinggi telah diperoleh. Kolposkopi

17
dan penerapan toluidin pewarna biru dua spesialis teknik yang digunakan oleh beberapa
praktisi forensik selama pemeriksaan alat kelamin perempuan.
b. Male Selama pemeriksaan alat kelamin laki-laki, praktisi forensic diharapkan untuk
mendokumentasikan setiap fitur yang bisa membantu identifikasi selanjutnya dari pelaku,
perlu diperhatikan kondisi yang diperoleh atau bawaan yang bisa membuat tindakan
seksual yang diduga tidak mungkin dilakukan, untuk menjelaskan secara rinci cedera
yang bisa berhubungan dengan tindakan seksual, dan untuk mengambil bukti forensik.
Setelah tuduhan fellatio, penyeka dari penis bisa diperiksa untuk air liur; namun,
kemungkinan identifikasi definitif air liur dengan estimasi amilase rendah. Meskipun
demikian, dapat diperoleh bahan yang cukup untuk analisis DNA. Ketika dugaan
hubungan seks vaginal atau anal dibuat, penyeka penis dari tersangka dapat diperiksa
untuk sel, kotoran, rambut, serat, darah, dan pelumas. Perlu dicatat bahwa cairan vagina
dari hubungan seksual yang terbaru sebelum kejadian yang tidak terkait dengan tuduhan
tersebut, dapat dideteksi dengan analisis DNA dari penyeka yang diambil dari penis yang
belum dicuci. Profil DNA perempuan telah diperoleh pada penyeka penis hingga 24 jam
postcoitus. Darah dan kotoran telah pulih dari penis penyeka diambil 15 dan 18 jam,
masing-masing, setelah kejadian itu. Ketika mendapatkan sampel forensik yang relevan,
praktisi forensic harus memeriksa alat kelamin pria dengan poin pemeriksaan adalah:
rambut kemaluan, kelainan bawaan dan diperoleh, tanda PMS, benda asing, penilaian
cedera.

Perianal dan Anal

Buggery adalah istilah awam yang digunakan untuk merujuk pada penetrasi penis ke dalam
lubang anus (anal intercourse) seorang pria , seorang wanita , atau binatang (juga dikenal sebagai
bestiality) . Sodomi adalah hubungan seks anal antara manusia saja. Dua sampel pertama harus
diperoleh dari daerah perianal. Sama seperti ketika sampling kulit di tempat lain, jika kulit
perianal lembab, noda harus diambil pada swab kering. Jika tidak ada pewarnaan terlihat atau
noda kering, teknik double-swab harus digunakan. Dalam keadaan normal, maksimum interval
antara melakukan hubungan anal dan identifikasi spermatozoa pada usap dubur adalah 65 jam.
Namun, dalam satu kasus yang luar biasa di mana seorang wanita tetap berada di rumah sakit
selama beberapa hari karena luka yang diderita selama penyerangan seksual, air mani terdeteksi

18
pada penyeka dubur diambil 113 jam setelah melakukan hubungan anal. Penyekaan harus tetap
dilakukan bahkan jika korban telah buang air besar sejak serangan itu. Bukti medis yang harus
diperiksa adalah: fisura anal , air mata , dan laserasi ; tonus spchinter anal ; dan laserasi rektum.

Lubricants

Jejak pelumas yang ditemukan di penyeka dubur vagina atau internal anal dapat memberikan
bukti konfirmasi penetrasi baru terjadi ini dari lubang tubuh. Ini memiliki relevansi tertentu jika
kondom dipakai selama tindakan penetratif. Dalam hal analisis pelumas, permintaan yang paling
sering diterima oleh layanan ilmu forensik adalah untuk memeriksa swab vagina untuk kehadiran
pelumas kondom. Konstituen pelumas kondom (misalnya , silikon dan polietilen glikol) juga
ditemukan dalam berbagai produk perawatan kulit lainnya dan supositoria. Oleh karena itu, jika
relevan, praktisi forensik harus menanyakan apakah korban telah mengoleskan sesuatu ke daerah
genital / anal dalam 2 hari sebelum kejadian. Untuk memaksimalkan kemungkinan deteksi
pelumas, sampel penyeka yang diperlukan harus diperoleh sesegera mungkin setelah kejadian.
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi lamanya waktu yang pelumas akan bertahan pada kulit
atau dalam lubang tubuh. Pelumas kondom dapat terdeteksi pada swab yang diambil dari penis
yang belum dibersihkan 50 jam setelah hubungan seksual, dan dalam kasus yang berbeda, pada
swab vagina (juga saat korban tidak mencucuci) diambil 24 jam setelah hubungan seksual , tapi
deteksi lebih dari periode yang berkepanjangan tersebut akan menjadi pengecualian; pelumas
berbahan dasar air (misalnya , yang mengandung polyethylene glycol) hanya telah terdeteksi
dalam waktu 8 jam dari tindakan seksual.

Darah dan urin

Ketika obat-obatan atau alkohol telah dikonsumsi atau mungkin diberikan sebelum atau selama
serangan seksual, pertimbangan harus diberikan kepada kebutuhan untuk mendapatkan sampel
darah dan urin untuk analisis toksikologi. Lamanya waktu bahwa obat atau metabolitnya tetap
terdeteksi dalam darah atau urin tergantung pada beberapa faktor, termasuk jumlah yang diambil,
metabolisme individu, dan sensitivitas dan spesifisitas metode analisis yang digunakan oleh
laboratorium.
a. Darah Merupakan praktik yang baik untuk meminta sampel darah untuk analisis obat /
alkohol ketika insiden itu terjadi tidak lebih dari 4 hari. Sampel tunggal 10 mL darah
vena harus ditempatkan dalam sebuah wadah dengan antikoagulan (misalnya, kalium

19
oksalat) dan pengawet yang mencegah dekomposisi dan fermentasi (misalnya, natrium
fluoride) untuk analisis obat dan alkohol. Jika volatil dicurigai, sebagian darah harus
dikumpulkan ke dalam sebuah wadah dengan karet bung intrinsik untuk mengaktifkan
ruang mati di atas darah yang akan dianalisis.
b. Urin Merupakan praktik yang baik untuk meminta sampel urin untuk analisis obat /
alkohol ketika insiden itu terjadi tidak lebih dari 4 hari. Idealnya, 20 mL urin harus
ditempatkan dalam wadah dengan pengawet yang mencegah dekomposisi dan fermentasi
(misalnya, natrium fluoride), meskipun sampel dalam botol biasa pun dapat dianalisis.
Urine harus dikumpulkan sesegera dan sepraktis mungkin. Sampel dari korban tidak
perlu disaksikan. Korban harus disarankan untuk tidak membuang handuk, panty line,
atau tampon pada tahap ini.
Informasi tertentu diperlukan untuk membantu ilmuwan forensik dengan interpretasi
dari hasil toksikologi; yaitu :
Jenis kelamin, berat badan, dan bentuk tubuh individu.
Waktu yang obat-obatan / alkohol dikonsumsi atau diyakini telah diberikan. Apakah dosis
tunggal atau lebih ?
Waktu yang tepat saat sampel darah dan urin diambil.
Rincian dari setiap obat yang diresepkan atau zat lain yang biasanya dikonsumsi oleh individu,
termasuk kuantitas dan tanggal dan waktu penggunaan terbaru.

20
E. Aspek Hukum Kekerasan Seksual

Pasal 288 KUHP


(1) Barang siapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang wanita yang diketahuinya
atau sepatutnya harus diduganya bahwa yang bersangkutan belum waktunya untuk
dikawin, apabila perbuatan mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana penjara
paling lama empat tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama
delapan tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

Dengan demikian dari Visum et Repertum yang dibuat oleh dokter diharapkan dapat
membuktikan bahwa korban memang belum pantas dikawin, memang terdapat tanda-tanda
persetubuhan, tanda-tanda kekerasan dan dapat menjelaskan perihal sebab kematiannya.(2)

Di dalam upaya menentukan bahwa seseorang belum mampu dikawin dapat timbul
permasalahan bagi dokter karena penentuan tersebut mencakup dua pengertian, yaitu pengertian
secara biologis dan pengertian menurut undang-undang. Secara biologis seorang perempuan
dikatakan mampu untuk dikawin bila ia telah siap untuk dapat memberikan keturunan, dimana
hal ini dapat diketahui dari menstruasi, apakah ia belum pernah mendapat menstruasi atau sudah
pernah. Sedangkan menurut undang-undang perkawinan, maka batas umur termuda bagi seorang
perempuan yang diperkenankan untuk melangsungkan perkawinan adalah 16 tahun. Dengan
demikian dokter diharapkan dapat menentukan berapa umur dari perempuan yang diduga
merupakan korban seperti yang dimaksud dalam pasal 288 KUHP. .(2)

Dalam kasus-kasus persetubuhan di luar perkawinan yang merupakan kejahatan, dimana


persetubuhan tersebut memang disetujui oleh si perempuan maka dalam hal ini pasal-pasal dalam
KUHP yang dimaksud adalah pasal 284 dan 287. .(2)

Pasal 284 KUHP

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan:

21
1. a. seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak padahal diketahui bahwa
pasal 27 BW ,berlaku baginya.
b. seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak padahal diketahui
bahwa pasal 27 BW berlaku baginya.

2. a. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya
bahwa yang turut bersalah telah kawin.

b. seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu,
padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW
berlaku baginya.

(2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/isteri yang tercemar,dan
bila bagi mereka berlaku pasal 27 BW dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan
permintaan bercerai atau pisah meja da pisah ranjang karena alasan itu juga.
(3) Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, 73, dan 75.
(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang peradilan belum
dimulai.
(5) Jika bagi suami-isteri berlaku pasal 27 BW pengaduan tidak diindahkan selama
perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan yang menyatakan
pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap.

Pasal 27 BW

Dalam waktu yang sama seorang laki hanya diperbolehkan mempunyai satu orang
perempuan sebagai isterinya, seorang perempuan hanya satu orang laki sebagai suaminya. .(2)

Pasal 287 KUHP

(1) Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahuinya
atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau kalau
umurnya tidak jelas bahwa belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana
penjara paling lama sembilan tahun.
(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umur wanita belum sampai dua
belas tahun atau jika ada salah satu hal berdasarkan pasal 291 dan pasal 294.

22
Tindak pidana ini merupakan persetubuhan dengan wanita yang menurut undang-undang
belum cukup umur. Jika umur korban belum cukup 15 tahun tetapi sudah di atas 12 tahun,
penuntutan baru dilakukan bila ada pengaduan dari yang bersangkutan. Jadi dengan keadaan itu
persetubuhan tersebut merupakan delik aduan, bila tidak ada pengaduan, tidak ada penuntutan. .(2)

Tetapi keadaan akan berbeda jika:

a. Umur korban belum sampai 12 tahun

b. Korban yang belum cukup 15 tahun itu menderita luka berat atau mati akibat perbuatan
itu (KUHP pasal 291); atau

c. Korban yang belum cukup 15 tahun itu dalah anaknya, anak tirinya, muridnya, anak yang
berada di bawah pengawasannya, bujangnya atau bawahannya (KUHP pasal 294).

Dalam keadaan di atas, penuntutan dapat dilakukan walaupun tidak ada pengaduan karena
bukan lagi merupakan delik aduan.

Pada pemeriksaan akan diketahui umur korban. Jika tidak ada akte kelahiran maka umur
korban yang pasti tidak diketahui. Dokter perlu memperkirakan umur korban baik dengan
menyimpulkan apakah wajah dan bentuk tubuh korban sesuai dengan umur yang dikatakannya,
melihat perkembangan payudara dan pertumbuhan rambut kemaluan, melalui pertumbuhan gigi
(molar ke-2 dan molar ke-3), serta dengan mengetahui apakah menstruasi telah terjadi. .(2)

Hal di atas perlu diperhatikan mengingat bunyi kalimat: padahal diketahuinya atau
sepatutnya harus diduganya bahwa wanita itu umurnya belum lima belas tahun atau kalau
umurnya tidak jelas bahwa belum waktunya untuk dikawin. Perempuan yang belum pernah
mengalami menstruasi dianggap belum patut untuk dikawin. .(2)

Pasal 291 KUHP

(1) Kalau salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 286, 287, 288 dan 290 itu
berakibat luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
(2) Kalau salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 285, 286, 287, 289 dan 290 itu
berakibat matinya orang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

23
Pasal 294 KUHP

Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya atau anak piaraannya,
anak yang di bawah pengawasannya, orang di bawah umur yang diserahkan kepadanya untuk
dipelihara, dididiknya atau dijaganya, atau bujangnya atau orang yang di bawah umur, diancam
dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Dengan itu maka dihukum juga:

1. Pegawai negeri yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang di bawahnya/orang
yang dipercayakan/diserahkan kepadanya untuk dijaga.

2. Pengurus, dokter, guru, pejabat, pengurus atau bujang di penjara, di tempat bekerja
kepunyaan negeri, tempat pendidikan, rumah piatu, RS jiwa atau lembaga semua yang
melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dimaksudkan di situ.

Pada kasus persetubuhan di luar perkawinan yang merupakan kejahatan dimana persetubuhan
tersebut terjadi tanpa persetujuan wanita, seperti yang dimaksud oleh pasal 285 dan 286 KUHP;
maka untuk kasus-kasus tersebut Visum et Repertum harus dapat membuktikan bahwa pada
wanita tersebut telah terjadi kekerasan dan persetubuhan. Kejahatan seksual seperti yang
dimaksud oleh pasal 285 KUHP disebut perkosaan, dan perlu dibedakan dari pasal 286 KUHP.
.(2)

Pasal 285 KUHP

Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh
dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara
paling lama dua belas tahun.

Pada tindak pidana di atas perlu dibuktikan telah terjadi persetubuhan dan telah terjadi paksaan
dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Dokter dapat menentukan apakah persetubuhan telah
terjadi atau tidak, apakah terdapat tanda-tanda kekerasan. Tetapi ini tidak dapat menentukan
apakah terdapat unsur paksaan pada tindak pidana ini.

Ditemukannya tanda kekerasan pada tubuh korban tidak selalu merupakan akibat paksaan,
mungkin juga disebabkan oleh hal-hal lain yang tak ada hubungannya dengan paksaan.

24
Demikian pula bila tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan, maka hal itu belum merupakan bukti
bahwa paksaan tidak terjadi. Pada hakekatnya dokter tak dapat menentukan unsur paksaan yang
terdapat pada tindak pidana perkosaan; sehingga ia juga tidak mungkin menentukan apakah
perkosaan telah terjadi.

Yang berwenang untuk menentukan hal tersebut adalah hakim, karena perkosaan adalah
pengertian hukum bukan istilah medis sehingga dokter jangan menggunakan istilah perkosaan
dalam Visum et Repertum. .(2)

Pasal 286 KUHP

Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan padahal diketahuinya


bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana penjara
paling lama sembilan tahun. .(2)

Pada tindak pidana di atas harus terbukti bahwa korban berada dalam keadaan pingsan atau
tidak berdaya. Dokter perlu mencari tahu apakah korban sadar waktu persetubuhan terjadi,
adakah penyakit yang diderita korban yang sewaktu-waktu dapat mengakibatkan korban pingsan
atau tidak berdaya. Jika korban mengatakan ia menjadi pingsan, maka perlu diketahui bagaimana
terjadinya pingsan itu, apakah terjadi setelah korban diberi minuman atau makanan. Pada
pemeriksaan perlu diperhatikan apakah korban menunjukkan tanda-tanda bekas kehilangan
kesadaran, atau tanda-tanda telah berada di bawah pengaruh obat-obatan. .(2)

Jika terbukti bahwa si pelaku telah telah sengaja membuat korban pingsan atau tidak berdaya,
ia dapat dituntut telah melakukan tindak pidana perkosaan, karena dengan membuat korban
pingsan atau tidak berdaya ia telah melakukan kekerasan. .(2)

Pasal 89 KUHP

Membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan.

Kejahatan seksual yang dimaksud dalam KUHP pasal 286 adalah pelaku tidak melakukan
upaya apapun; pingsan atau tidak berdayanya korban bukan diakibatkan oleh perbuatan si pelaku
kejahatan seksual. .(2)

25
F. Pencegahan terjadinya kekerasan seksual

1. Promosi Dan Edukasi


Mempromosikan kesadaran akan kekerasan seksual merupakan hal yang paling penting
dalam sebuah kebijakan. Semakin baik programnya maka semakin kecil kemungkinan
munculnya aduan mengenai pelecehan seksual. Upaya promosi dalam rangka mencegah
(preventif) dan menangani (kuratif) pelecahan seksual di tempat kerja, harus dilakukan secara
efektif karena akan memberikan pemahaman pada pekerja maupun manajemen tentang apa itu
pelecehan seksual?, dan apa yang harus mereka lakukan jika mereka mengalaminya?, Menjadi
dasar pengembangan standart dan mekanisme/prosedur yang tepat dan dapat diterima semua
pihak serta memberikan peringatan akan tindakan/sanksi yang diberikan jika terjadi tindakan
pelecehan seksual.(4,14)
Peringatan ini dimungkinkan berdampak adanya perubahan sikap dan perilaku
dikalangan pekerja dan manajemen. Upaya pencegahan bisa dilakukan melalui komunikasi,
edukasi, dan pelatihan. Ada pun informasi yang disebarluaskan diantaranya mencakup
Penjelasan tentang kebijakan dan prosedur/mekanisme perusahaan definisi dan contoh pelecehan
seksual, motivasi atau alasan pelaku tindak pelecehan termasuk relasi kekuasaan yang melatari
tindakan yang terjadi, serta factor social budaya, pihak-pihak yang bisa dihubungi apabil ada
pertanyaan/informasi lanjutan maupun bantuan jika aduan itu akan dibuat dan juga dapat
menjamin bahwa semua penyelidikan dan aduan akan ditangani secara pribadi dan rahasia. .(4,14)

2. Pendidikan Seks Dini


Menurut dr. Archibald D. Hart, Dekan Graduate School of Psychology di Fuller
Theological Seminary Pasadena California,menjelaskan bahwa naluri seks dikendalikan oleh
bagian paling atas dari otak kita, yaitu korteks. Korteks merupakan bagian otak yang membuat
manusia dapat mempelajari segala hal. Ekspresi seksual dari manusia hanya mengandung sedikit
naluri. Alam memberi kita dorongan seks, tetapi kita belajar sendiri cara menyalurkannya. Pada
manusia, hal ini berhubungan dengan perasaan, indera, kehendak, gagasan-gagasan, imajinasi,
dan pemikiran. Tidak seperti hewan, manusia tidak perlu mencium bau-bau yang unik agar
terangsang. Hanya manusia yang sanggup melakukan seks setiap waktu. Organ pemicu seks pada
manusia adalah otak, bukan system reproduksi.Oleh itu, otak perlu di program dengan cara yang

26
benar. Pikiran-pikiran bukan hanya dapat merangsang timbulnya dorongan seksual, melainkan
juga mencegahnya. Tidak semua pemograman itu sehat dan alami. Sebagian di antaranya
justru dapat mendistorsi respon seksual, yang menyebabkan individu menjadi responsive
terhadap objek-objek yang salah. .(4,14)

G. Rehabilitasi Untuk Korban Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual dan perkosaan dapat menimbulkan efek trauma yang mendalam pada
korban. Korban pelecehan seksual dan perkosaan dapat mengalami stres akibat pengalaman
traumatis yang telah dialaminya. Gangguan stres yang dialami korban pelecehan seksual dan
perkosaan seringkali disebut Gangguan Stres Pasca Trauma (Post Traumatic Stress Disorder atau
PTSD).

PTSD merupakan sindrom kecemasan, labilitas autonomic, ketidakrentanan emosional,


dan kilas balik daripengalaman yang amat pedih itu setelah stress fisik maupun emosi yang
melampaui batas ketahanan orang biasa. Korban kekerasan seksual melewati tahap emosi seperti
tahap penyangkalan, tahap kemarahan, dan tahap depresi sebelum akhirnya mencapai tahap
penerimaan. Dalam proses pemulihan dirinya, korban kekerasan seksual mengalami pengalaman
traumatis seperti perasaan takut mencemarkan nama keluarga, perasaan aib, dan perasaan kotor.
Mereka juga mengalami gangguan tidur, sikap yang mudah curiga, emosi yang tidak adekuat,
dan sebagainya. Sebagai usaha memulihkan diri, korban harus berkonsultasi ke psikolog,
psikiater, latihan meditasi dan yoga, bercerita kepada teman, dan mengikuti kegiatan spiritual.
Faktor yang mendukung mereka adalah dukungan lingkungan, keyakinan agama, dan
karakteristik kepribadian.(6,7,14,16)

Pedoman perawatan terhadap korban-korban kekerasan seksual dapat di jabarkan di


dalam beberapa poin penting di bawah ini;(9)

Medical Treatment
Fasilitas medis harus diisi dengan ketentuan yang diperlukan untuk memungkinkan luka ringan
untuk dibersihkan dan dibalut. Analgesia mungkin diperlukan. Pada kesempatan yang ada,
booster tetanus bisa saja dianjurkan.

27
Practical
Fasilitas pemeriksaan harus memberikan fasilitas membersihkan badan untuk pengadu setelah
pemeriksaan medis selesai, dan pakaian ganti harus tersedia (sebaiknya pakaian pasien sendiri).
Pengadu harus memiliki akses ke telepon sehingga mereka dapat menghubungi teman atau
kerabat dan harus didorong untuk menghabiskan waktu beberapa hari ke depan bersama
seseorang yang mereka percaya. Pada kesempatan yang lain, akomodasi alternatif darurat bisa
diaturkan.

Pregnancy

Pertimbangan harus diberikan kepada pasien yang beresiko hamil. Setiap kali resiko apapun
diidentifikasi, pasien harus diberi konseling mengenai ketersediaan metode hormonal dan
intrauterin kontrasepsi darurat; metode yang paling cocok akan tergantung pada profil pasien dan
waktu sejak serangan. Ketika pasien memilih untuk pemasangan kontrasepsi intrauterine, mereka
harus diberikan antibiotik profilaksis baik sebelum atau pada saat pemasangan. Follow up harus
dilakukan di tempat yang nyaman di mana tes kehamilan yang tersedia. Jika ternyata pasien
hamil karena tindak kejahatan asusila, korban harus diberikan konseling simpatik. Jika
kehamilan dihentikan, sangat relevan untuk meminta izin dari pasien terlebih dahulu untuk hasil
konsepsi yang di terminasi dipakai untuk analisis DNA.

Sexually Transmitted Infections


Pengadu perempuan dewasa kekerasan seksual beresiko tertular infeksi menular seksual (IMS)
akibat serangan. Beberapa pengadu laki-laki juga melaporkan tertular IMS setelah kekerasan
seksual. Pada anak-anak yang mungkin telah mengalami pelecehan seksual, prevalensi kejadian
infeksi yang ditularkan secara seksual adalah rendah, meskipun organisme lain yang mungkin
terkait dengan aktivitas seksual dapat diidentifikasi. Oleh karena itu, pengujian IMS harus
ditawarkan ketika ada riwayat dan / atau temuan fisik menunjukkan kemungkinan adanya kontak
oral , genital , atau dubur. Beberapa pusat kesehatan memberikan antibiotik profilaksis untuk
semua pengadu serangan seksual penetratif penis pada saat mereka memeriksakan / melaporkan
diri. Penggunaan antibiotik profilaksis mengurangi kebutuhan untuk pemeriksaan berulang,
menghindari kecemasan yang terjadi dalam menunggu hasil, dan dapat diterima oleh sebagian
besar perempuan korban tindak kekerasan seksual. Profilaksis antibiotik harus mencakup

28
spectrum luas organisme yang dapat diobati pada populasi lokal, dan saran harus dicari dari
pusat pengendalian penyakit local mengenai rejimen yang sesuai.

Psychological

Pengadu kekerasan seksual harus ditawarkan konseling segera dan berkelanjutan untuk
membantu mereka mengatasi gejala sisa psikologis saat ini dan jangka panjang yang didapat
sebagai akibat tindak kekerasan seksual. Beberapa fasilitas pemeriksaan memiliki akses 24 jam
untuk konselor terlatih.

29
BAB III
Penutup

Kejahatan seksual (sexual offences), sebagai salah satu bentuk dari kejahatan yang
menyangkut tubuh, kesehatan, dan nyawa manusia, mempunyai kaitan yang erat dengan Ilmu
Kedokteran Forensik, yaitu di dalam upaya pembuktian bahwasanya kejahatan tersebut memang
telah terjadi.(2,3)

Dalam angka data statistic, kasus kekerasan seksual di Indonesia mengalami peningkatan
setiap tahunnya. Korban perilaku tidak terpuji ini bukan hanya dari kalangan dewasa saja atau
remaja, bahkan anak-anak dan balita pun telah dilaporkan menjadi sasaran dan korban.
Kebanyakan kasus yang terjadi ternyata beasal dari lingkungan keluarga sendiri.

Terdapat 15 jenis perbuatan-perbuatan yang digolongkan sebagai bentuk kekerasan


seksual, antara lain : (1) perkosaan; (2) pelecehan seksual; (3) eksploitasi seksual; (4) penyiksaan
seksual; (5) perbudakan seksual; (6) intimidasi/serangan bernuansa seksual termasuk ancaman
atau percobaan perkosaan; (7) prostitusi paksa; (8) pemaksaan kehamilan; (9) pemaksaan aborsi;
(10) pemaksaan perkawinan; (11) perdagangan perempuan untuk tujuan seksual; (12) kontrol
seksual termasuk pemaksaan busana dan kriminalisasi perempuan lewat aturan diskriminatif
beralasan moralitas dan agama; (13) penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual; (14)
praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan. (15)
pemaksaan kontrasepsi/sterilisasi.(4)

Persetubuhan yang merupakan kejahatan seperti yang dimaksudkan oleh undang-undang ,


tertera pada pasal-pasal yang terdapat pada Bab XIV KUHP, tentang Kejahatan Terhadap
Kesusilaan, meliputi persetubuhan di dalam perkawinan (pasal 288 KUHP) maupun di luar
perkawinan yang mencakup persetubuhan dengan persetujuan (pasal 284 dan 287 KUHP) serta
persetubuhan tanpa persetujuan (pasal 285 dan 286). Homoseksual juga termasuk bentuk
kejahatan seksual bila dilakukan pada orang dengan jenis kelamin sama namun belum dewasa
seperti yang tertera dalam pasal 292 KUHP. .(2,3)

Upaya pembuktian secara kedokteran forensik pada setiap kasus kejahatan seksual
sebenarnya terbatas di dalam pembuktian ada tidaknya tanda-tanda persetubuhan, ada tidaknya

30
tanda-tanda kekerasan, perkiraan umur serta pembuktian apakah seseorang itu memang sudah
(2,3)
pantas atau sudah mampu untuk dikawin atau tidak. Pemeriksaan detail pada organ-organ
tubuh korban dan pelaku sangat perlu dilakukan untuk membuat pembuktian semakin sistematis;
pemeriksaan yang dilakukan antara lain terhadap kuku, rongga mulut, rambut, genitalia,
lubricant, darah dan urin, perianal dan anal.(9)

Berbagai pemeriksaan dapat dilakukan untuk mendukung adanya persetubuhan baik


terhadap korban maupun terhadap pelaku. Perlunya dukungan dari banyak pihak untuk
mencegah terjadinya kekerasan seksual juga dalam melakukan terapi kekerasan seksual terhadap
(2,3)
korban. Dalam kesempatan yang ada, rehabilitasi terhadap korban kekerasan seksual
sepatutnya mencakup aspek-aspek medical treatment, practical, perhatian terhadap kemungkinan
korban hamil, kemungkinan penularan infeksi menular seksual, dan sisi psychology korban.(9)

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Brenner JC. Forensic Science An Illustrated Dictionary. USA: CRC Press; 2004. p411.
2. Idries AM. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. 1st ed. Jakarta: Binarupa Aksara; 1997. p215-41.
3. Abdul Mun'im Idries ALT. Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik Dalam Proses Penyidikan.
Jakarta: Sagung Seto; 2011. p113-32.
4. Kekerasan Seksual : Kenali dan Tangani [database on the Internet]. Komnas Perempuan. 2013
[cited on 17-12-2014]. Available from: http://www.komnasperempuan.or.id/wp
content/uploads/2013/12/Kekerasan-Seksual-Kenali-dan-Tangani.pdf.
5. Sexual Violence [database on the Internet]. WHO. 2002 [cited on 17-12-2014]. Available from:
http://www.who.int/violence_injury_prevention/violence/world_report/en/.
6. Petrak J. The Trauma of Sexual Assault. Jenny Petrak BH, editor. USA: John Wiley & Sons, Ltd;
2002. p1-15.
7. Shepherd R. Simpson's Forensic Medicine. 12th ed. London: Arnold; 2003. p128-33.
8. Vincent J Dimaio DD. Forensic Pathology 2nd ed. USA: CRC Publisher; 2001. p449-66.
9. Deborah Rogers and Mary Newton. Clinical Forensic Medicine : A Physician's Guide. 3rd ed.
Stark MM, editor. USA: Humana Press; 2011. P61-115.
10. Hertinjung WS. The Dinamic of Causes of Chiled Sexual Abuse Based on Availability of
Personal Space and Piracy.
11. Michael Planty LL, Christopher Krebs, MArcus Berzosky, Hope Smiley. Female Victims of
Sexual Violence, 1994-2010. BJS. 2013.
12. Fuadi MA. Dianmika Psikologis Kekerasan Seksual : Sebuah Studi Fenomologi. Jurnal Psikologi
Islam. 2011;Volume 8:191-2018.
13. Diana M Elliot DSM. Adult Sexual Assault: Prevalence, Symptomatology, and Sex Differences
in the General Population. Journal of Traumatic Stress, Vol. 17, No. 3, June 2004, pp. 203-211.
14. Barnyard VL. Sexual Violence Prevention Through Bystandar education : An Experimental
Evaluation. JOURNAL OF COMMUNITY PSYCHOLOGY, Vol. 35, No. 4. p463481.
15. Dumond RW. Inmate Sexual Assault : The Plague That Persist. THE PRISON JOURNAL, Vol.
80 No. 4, December 2000. p407-414.
16. Linden JA. Care of the Adult Patient after Sexual Assault. N Engl J Med 2011;365:834-41.

32

Anda mungkin juga menyukai