I. IDENTITAS
Nama
: An. A / A173984
Umur
: 12 tahun
Alamat
Pekerjaan
: Pelajar SMP
Agama
: Islam
Suku
: Sunda
Tanggal MRS
: 9 6 2014
II. ANAMNESIS
Keluhan Utama
:
Nyeri menelan, sejak 1 minggu yang lalu
Anamnesa Khusus :
Os mengeluh nyeri menelan dirasakan 1 minggu. Nyeri dirasakan bertambah saat
makan dan minum. Pasien hanya dapat memakan bubur. Os juga merasakan nyeri
pada bagian leher kiri sejak 1 minggu yang lalu, nyeri dirasakan terus menerus
terutama saat menelan, membuka mulut, dan menoleh. Ibu Os mengatakan bahwa
pasien mendengkur saat tidur terutama apabila posisi terlentang dan melihat leher Os
bagian kiri membengkak. Demam dirasakan sejak 1 minggu yang lalu, namun suhu
tidak diukur selama 6 hari, pasien merasakan bengkak pada leher bagian kiri semakin
membesar hingga saat ini, nyeri semakin bertambah terutama saat menoleh, hari ini
pasien tidak mengeluhkan demam.Riwayat sakit gigi disangkal.
RR = 20x/mnt
S = 36,2 C afebris
IMT : 20 (normal)
STATUS GENERALIS
Kepala
-
Bentuk
: normocephal
Mata
-
Thoraks
Paru
-
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Jantung
-
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Abdomen
-
Inspeksi
: datar
Palpasi
Perkusi
: timpani
Auskultasi
Splen
-
Splenomegali (-)
Hepar
-
Hepatomegali (-)
Ekstremitas
-
Atas
Bawah
AS
Aurikula
tragus (-)
(-)
hiperemis(-), udem(-),sekret(-),
serumen(+)minimal, tanda
CAE
serumen(+)minimal, tanda
radang(-), massa(-)
intak (+), tenang, reflek cahaya
(+)
radang(-), massa(-)
Membran timpani
2. Hidung
Pemeriksaan
Kelainan
3
Dekstra
Sinistra
Rinoskopi Anterior
Edema
Hiperemis
Sekret
Massa
Laserasi
Eutrofi
Eutrofi
Konka Inferior
3. NPOP
Bagian
Pemeriksaan
Keterangan
NPOP
Faring
Tonsil
Mulut
Mukosa
hiperemis
Granula
sulit dinilai
sulit dinilai
Mukosa
tenang
Besar
T3T3 hiperemis
Kripta
Melebar +/+
Detritus
-/-
Perlengketan
-/-
Mukosa mulut
tenang
Lidah
bersih, basah
Palatum molle
Gigi geligi
caries (-)
Uvula
hiperemis, lateralisasi
kearah kanan
4. MF
: Simetris
5. Leher
Diagnosis Kerja :
Follow Up
S
Pemeriksaan
penunjang
10/6 /2014
Nyeri saat menelan Kesadaran :
Abses
berkurang,
Peritonsilar
keluhan
Komposmentis
sinistra
berkurang,
nyeri
tekan
IVFD RL 20 tpm
Terfasef 2x1 gr IV
TD : 110/80 mmHg N :
Tonsilitis
83x/mnt RR 18x/menit
kronik
pada S : 35,3 C
eksaserbasi
5
Triconazole 3x500 mg
IV
Rativol 2x30 mg
Lab : Hb:14,5
(14-18)
Leukosit
12.200 (40009000)
Trombosit :
547.000
daerah
submandibula
berkurang,
massa
submandibula
sinistra
akut
mengecil
11/06/ 2014
Nyeri saat menelan
Kesadaran :
Abses
hilang,
Komposmentis
keluhan bengkak
Keadaan Umum :
Peritonsilar
o IVFD RL 20 tpm
sinistra
o Ceftiaxone 3x1 IV
Os terlihat aktif
Tonsilitis
TD : 110/80 mmHg N :
80x/mnt RR 18x/menit
S : 36,5 C
hilang,
massa
submandibula
sinistra mengecil
pasien
mengungkapkan
sinistra berkurang,
Uvula : lateralisasi kea
6
kronik
o Metronidazole 3x1 IV
TINJAUAN PUSTAKA
PERITONSILLAR ABSES
Abses pertonsilar adalah infeksi profunda dari kepala dan leher yang paling sering
mengenai orang dewasa. Infeksi ini diawali oleh infeksi superfisial dan meluas hingga
selulitis tonsilar
Epidemiologi
Abses peritonsilar paling sering terjadi pada usia 20 40 tahun. Anak anak jarang
terkena penyakit ini kecuali mengalami gangguan kekebalan tubuh, tetapi infeksi ini
dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas pada anak anak. Infeksi ini mengenai pria dan
wanita sama banyaknya. Ada bukti yang menunjukkan bahwa tonsillitis kronik atau
pernah mengonsumsi beberapa jenis antibiotik untuk mengatasi tonsillitis akut dapat
menjadi faktor predisposisi untuk berkembang menjadi abses peritonsilar.
Anatomi
Dua pilar tonsil menbagi tonsil palatina menjadi dua, anterior dan posterior. Otot
glosopalatina dan faringopalatina adalah otot utama dari pilar anterior dan posterior.
Tonsil terletak tertekan diantara palatoglosal dan arkus palatofaringeal.
Selama masa embriologi, tonsil muncul dari kantung kedua faringeal yang merupakan
penonjolan dari sel endoderm. Tidak lama setelah lahir, tonsil tumbuh secara ireguler dan
mencapai ukuran dan bentuk akhirnya, tergantung dari jumlah jaringan limfoid.
Setiap tonsil memiliki beberapa permukaan epithelium yang tumbuh ke dalam disebut
dengan kripta tonsilar. Tonsil dikelilingi oleh kapsul, yang merupakan aponeurosis
intrafaringeal yang menutupi bagian tengah dari tonsil dan merupakan jalur pembuluh
darah dan saraf.
Abses peritonsilar muncul di antara tonsil palatine dan kapsulnya. Jika abses berkembang,
dapat juga mengenai anatomi disekitarnya, termasuk otot maseter dan otot pterigoid. Jika
berat, infeksi dapat menembus sarung carotid.
Etiologi
Streptococcus pyogenes (group A beta-hemolytic streptococcus) adalah organisme aerob
yang paling sering berhubungan dengan abses peritonsilar. Sedangkan organism anaerob
yang paling sering adalah Fusobacterium. Pada kebanyakan abses merupakan gabungan
dari organism aerob dan anaerob.
Anaerobic
Fusobacterium
Aerobic
Staphylococcus aureus
Haemophilus
Anaerobic
Peptostreptococcus
Prevotella
influenzae
Neisseria species
Bacteroides
Diagnosis
Informasi penting yang didapatkan selama anamnesa adalah lokasi nyeri tenggorokan,
yang dapat memperkirakan lokasi abses. Anamnesa lebih lanjut harus dilakukan jika
pasien disertai dengan demam, memiliki gangguan menelan atau memiliki kemungkinan
menelan benda asing. Selama pemeriksaan fisik, trismus ( ketidakmampuan atau kesulitan
untuk membuka mulut ) sering muncul disebabkan karena inflamasi dari ruang
faringomaksilaris dan otot pterigoid. Gambaran yang membedakan dari pemeriksaan fisik
adalah pergeseran inferior medial dari tonsil yang terinfeksi dengan deviasi kontralateral
dari uvula. Sebagai tambahan, kebanyak pasien memiliki muffled voice dan digambarkan
sebagai hot potato.
Common Symptoms and Physical Examination Findings in Patients with Peritonsillar
Abscess
Symptoms
Progressively worsening sore throat,
Physical examination
Erythematous,
swollen
Fever
Trismus
Dysphagia
Otalgia
Odynophagia
Drooling
Muffled, hot potato voice
Cervical lymphadenopathy
Cervical adenitis
Dental infections
Salivary gland infection
Mastoid infection
9
tonsil
with
NEEDLE ASPIRATION
Gold standard untuk diagnosis PTA adalah dengan ditemukannya pus dari abses dengan
needle aspiration. Untuk melakukan hal ini, area tersebut harus di anestesi dengan 0.5
percent benzalkonium (Cetacaine spray) diikuti dengan 2 percent lidocaine (Xylocaine)
dengan epinephrine. Jarum spinal 18-gauge dengan spuit 10 ml digunakan untuk
mengambil material dari benjolan dengan suspek abses. Cairan yang didapat kemudian
dikirim ke laboratorium untuk pewarnaan gram dan kultur untuk menentukan
pengoatannya.
Komplikasi dari tindakan ini adalah aspirasi dari pus dengan darah dan perdarahan. Jika
abses berlokasi di bagian distal tonsil, tusukan ke arteri carotis dapat terjadi.
Pengobatan
Pengobatan dari PTA memerlukan antibiotik dan pengangkatan materi abses. Pemilihan
antibiotik tergantung dari hasil pewarnaan gram dan kultur xairan yang didapatan dari
needle aspiration. Penicillin dulu digunakan sebagai antibiotik pilihan untuk mengobati
PTA, tetapi baru-baru ini dengan ditemukannya organisme yang memproduksi beta10
laktamase terjadi perubahan terapi. Dari hasil penelitian bahwa 500 mg clindamycin dua
kali perhari atau sefalosporin oral generasi kedua atau ketiga dapat digunakan
menggantikan penicillin.
Penelitian lain merekomendasikan penggunaan Penicillin sebagai agen lini pertama, dan
jika tidak ada respon dalam 24 jam, diberi tambahan 500 mg metronidazole dua kali
perhari.
Tiga prosedur operasi dapat digunakan untuk PTA : needle aspiration, incision and
drainage, and immediate tonsillectomy. Kebanyakan ahli menyatakan bahwa insisi dan
drainage adalah gold standard untuk pengobatan, dan immediate tonsillectomy tidak
dibutuhkan untuk pasien PTA. Tonsilektomi baru dilaukan 3-6 bulan setelah pasien
mengalami tonsilitin rekuren atau PTA.
DEFINISI
Tonsillitis adalah inflamasi pada tonsila palatine yang disebabkan oleh infeki virus
atau bakteri yang merupakan bagian dari cincin Waldeyer.
ANATOMI
a. Tonsil
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh
jaringan ikat dengan kriptus di dalamnya. Tonsil berfungsi membantu menyaring
bakteri dan mikroorganisme lainnya sebagai tindakan pencegahan terhadap infeksi.
Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam
rongga mulut yaitu : tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina (tonsil faucial), tonsil
lingual (tonsil pangkal lidah), tonsil tuba Eustachius (lateral band dinsing faring /
Gerlachs tonsil). Tonsil palatina, yang biasanya disebut tonsil saja, terletak di dalam
fossa tonsilaris. Pada kutub atas tonsil seringkali ditemukan celah intratonsil yang
merupakan sisa kantong faring yang kedua. Kutub bawah tonsil biasanya melekat
pada dasar lidah. Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan
mempunyai celah yang disebut kriptus. Epitel yang melapisi tonsil ialah epitel
skuamosa yang juga meliputi kriptus. Di dalam kriptus biasanya ditemukan leukosit,
limfosit, epitel yang terlepas, bakteri,dan sisa makanan. Permukaan lateral tonsil
melekat pada fasia faring yang sering juga disebut kapsul tonsil. Kapsul ini tidak
11
melekat erat pada otot faring, sehingga mudah dilakukan diseksi pada tonsilektomi.
Tonsil mendapat perdarahan dari a. palatina minor, a. palatina asendens, cabang tonsil
a. maksila eksterna, a. faring asendens, dan a. lingualis dorsal. Tonsil lingual terletak
di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum glosoepiglotika. Di garis
tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut
yang terbentuk oleh papila sirkumvalata. Tempat ini kadang-kadang menunjukkan
penjalaran duktus tiroglosus dan secara klinik merupakan tempat penting bila ada
massa tiroid lingual (lingual thyroid) atau kista duktus tiroglosus.
b. Fossa Tonsilaris
Fossa tonsilaris dibatasi oleh
2 arkus faring anterior dan posterior. Batas
lateralnya adalah m. konstriktor faring superior. Pada batas atas yang disebut kutub
atas terdapat suatu ruang kecil yang dinamakan fossa supra tonsil. Fossa ini berisi
jaringan ikat jarang dan biasanya merupakan tempat nanah memecah ke luar bila
terjadi abses.
Dalam beberapa kasus ditemukan 3 macam tonsillitis, yaitu tonsillitis akut, tonsillitis
membranosa, dan tonsillitis kronis.
1. Tonsilitis akut
a. Tonsilitis viral
Gejala tonsillitis viral lebih menyerupai commond cold yang disertai rasa
nyeri tenggorok. Penyebab yang paling sering adalah virus Epstein Barr. Hamofilus
influenza merupakan penyebab tonsillitis akut supuratif. Jika terjadi infeksi
coxchakie, maka pada pemeriksaan rongga mulut akan tampak luka kecil pada
palatum dan tonsil yang sangat nyeri dirasakan pasien.
Terapi
Istirahat, minum cukup, analgetika, dan antivirus diberika jika gejala berat.
b. Tonsilitis bakterial
Etiologi
Radang akut tonsil dapat disebabkan kuman grup A streptokokus
hemolitikus, pneumokokus, streptokokus viridan, dan streptokokus pyogenes.
Hemofilus influenzae merupakan penyebab tonsilitis akut supuratif.
Patofisiologi
Penularan penyakit ini terjadi melalui droplet. Kuman menginfiltrasi lapisan
epitel, kemudian bila kuman ini mengikis maka jaringan limfoid superficial
bereaksi, terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear
sehingga terbentuk detritus. Detritus ini merupakan kumpulan leukosit, bakteri
yang mati dan epitel yang terlepas. Secara klinis detritus ini mengisi kriptus tonsil
dan tampak sebagai bercak kuning.
Bentuk tonsilitis akut dengan detritus yang jelas disebut tonsilitis folikularis.
Bila bercak-bercak detritus ini menjadi satu, membentuk alur-alur maka akan
13
terjadi tonsilitis lakunaris. Bercak detritus ini dapat melebar sehingga terbentuk
membran semu (pseudomembrane) yang menutupi tonsil.
Manifestasi klinik
Gejala dan tanda-tanda yang ditemukan dalam tonsillitis akut ini meliputi
demam dengan suhu tubuh yang tinggi, nyeri tenggorok dan nyeri sewaktu
menelan, nafas yang berbau, rasa lesu, rasa nyeri di persendian, tidak nafsu makan,
dan rasa nyeri di telinga (otalgia). Rasa nyeri ditelinga ini karena nyeri alih
(referred pain) melalui saraf n.glosofaringius (n.IX). Pada pemeriksaan juga akan
nampak tonsil membengkak, hiperemis, dan terdapat detritus berbentuk folikel,
lacuna atau tertutup oleh membrane semu. Kelenjar submandibula membengkak
dan nyeri tekan.
Komplikasi
Otitis media akut (pada anak-anak), abses peritonsil, abses parafaring,
toksemia, septicemia, bronchitis, nefritis akut, miokarditis, dan arthritis.
Akibat hipertrofi tonsil akan menyebabkan pasien bernapas melalui mulut,
tidur mendengkur (ngorok), gangguan tidur karena terjadinya sleep apnea yang
dikenal sebagai Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS)
Pemeriksaan
Tes Laboratorium
Tes laboratorium ini digunakan untuk menentukan apakah bakteri yang ada dalam
tubuh pasien merupkan bakteri grup A, karena grup ini disertai dengan demam
reumatik, glomerulonefritis.
Pemeriksaan penunjang
Kultur dan uji resistensi bila diperlukan.
Terapi
14
Perawatan
Perawatan yang dilakukan pada penderita tonsillitis biasanya dengan perawatan
sendiri dan dengan menggunakan antibiotic. Tindakan operasi hanya dilakukan jika
sudah mencapai tonsillitis yang tidak dapat ditangani sendiri.
a. Perawatan sendiri
Apabila penderita tonsillitis diserang karena virus sebaiknya biarkan virus itu hilang
dengan sendirinya. Selama satu atau dua minggu sebaiknya penderita banyak
istirahat, minum minuman hangat.
b. Antibiotik
Jika tonsillitis disebabkan oleh bakteri maka antibiotic yang akan berperan dalam
proses penyembuhan. Antibiotic oral perlu dimakan selama setidaknya 10 hari.
c. Tindakan operasi
Tonsillectomy biasanya dilakukan jika pasien mengalami tonsillitis selama tujuh kali
atau lebih dalam setahun, pasien mengalami tonsillitis lima kali atau lebih dalam dua
tahun, tonsil membengkak dan berakibat sulit bernafas, adanya abses.
2. Tonsilitis membranosa
Ada beberapa macam penyakit yang termasuk dalam tonsillitis membranosa
beberapa diantaranya yaitu Tonsilitis difteri, Tonsilitis septic, serta Angina Plaut
Vincent, penyakit kelainan darah seperti leukemia akut, anemia pernisiosa,
neutropenia maligna serta infeksi mononucleosis, proses spesifik luas dan
tuberculosis, infeksi jamur moniliasis, aktinomikosis dan blastomikosis, serta infeksi
virus morbili, pertusis, dan skarlatina.
15
a. Tonsilitis difteri
Frekuensi penyakit ini sudah menurun berkat keberhasilan imunisasi pada bayi
dan anak.
Etiologi
Penyebab penyakit ini adalah kuman Corynebacterium diphteriae yaitu suatu
bakteri gram positif pleomorfik penghuni saluran pernapasan atas yang dapat
menimbulkan abnormalitas toksik yang dapat mematikan bila terinfeksi bakteriofag.
Patofisiologi
Bakteri masuk melalui mukosa lalu melekat serta berkembang biak pada
permukaan mukosa saluran pernapasan atas dan mulai memproduksi toksin yang
merembes ke sekeliling lalu selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalu
pembuluh darah dan limfe. Toksin ini merupakan suatu protein yang mempunyai 2
fragmen yaitu aminoterminal sebagai fragmen A dan fragmen B, carboxyterminal
yang disatukan melalui ikatan disulfide.
Manifestasi klinis
Tonsillitis difteri ini lebih sering terjadi pada anak-anak pada usia 2-5 tahun.
Penularan melalui udara, benda atau makanan, dan uang terkontaminasai dengan
masa inkubasi 2-7 hari. Gambaran klinik dibagi dalam 3 golongan yaitu:
1.
Gejala umum dari penyaki ini adalah terjadi kenaikan suhu subfebris, nyeri
menelan, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, dan nadi lambat.
2.
Gejala local berupa nyeri tenggorok, tonsil membengkak ditutupi bercak putih
Membran ini melekat erat pada dasar dan bila diangkat akan timbul pendarahan.
Jika menutupi laring akan menimbulkan serak dan stridor inspirasi, bila menghebat
akan terjadi sesak nafas. Bila infeksi tidak terbendung, kelenjar limfa leher akan
membengkak menyerupai leher sapi (bull neck).
3.
menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernapasan, dan pada ginjal
menimbulkan albuminoria.
Diagnosis
Diagnosis tonsillitis difteri harus dibuat berdasarkan pemeriksaan klinis karena
penundaan pengobatan akan membahayakan jiwa penderita. Pemeriksaan preparat
langsung diidentifikasi secara fluorescent antibody technique yang memerlukan
seorang ahli. Diagnosis pasti dengan isolasi C, diphteriae dengan pembiakan pada
media Loffler dilanjutkan tes toksinogenesitas secara vivo dan vitro. Cara PCR
(Polymerase Chain Reaction) dapat membantu menegakkan diagnosis tapi
pemeriksaan ini mahal dan masih memerlukan pengawasan lebih lanjut untuk
menggunakan secara luas.
Pemeriksaan
1. Tes Laboratorium
Dilakukan dengan cara preparat langsung kuman(dari permukaan bawah membrane
semu). Medium transport yang dapat dipakai adalah agar Mac conkey atauLoffler.
2. Tes Schick (tes kerentanan terhadap difteria)
Terapi
Anti difteri serum diberikan segera tanpa menunggu hasil kultur dengan dosis
20.000-100.000 unit tergantung dari umur dan beratnya penyakit.
Tujuan dari pengobatan penderita diphtheria adalah menginaktivasi toksin yang
belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi
minimal, mengeliminasi C.diphteria untuk mencegah penularan serta mengobati
infeksi penyerta dan penyulit diphtheria. Secara umum dapat dilakukan dengan cara
istirahat selama kurang lebih 2 minggu serta pemberian cairan.
Secara khusus dapat dilakukakan dengan pemberian :
17
Komplikasi
Laryngitis difteri dapat berlangsung cepat, membran semu menjalar ke laring
dan menyebabkan gejala sumbatan. Makin muda usia pasien makin cepat timbul
komplikasi ini.
Kelumpuhan otot palatum mole, kelumpuhan otot mata, otot faring laring
sehingga suara parau, kelumpuhan otot pernapasan.
Pencegahan
Untuk mencegah penyakit ini dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan
pada diri anak serta memberikan penyuluhan tentang penyakit ini pada anak-anak.
Selain itu juga diberikan imunisasi yang terdiri dari imunisasi DPT dan pengobatan
carrier.
Tes kekebalan
1. Kekebalan aktif diperoleh dengan cara inapparent infection dan imunisasi
dengan toksoid diphtheria.
18
2. Kekebalan pasif diperoleh secara transplasental dari ibu yang kebal terhadap
diphtheria (sampai 6 bulan) dan suntikan antitoksin (2-3 minggu).
b. Tonsillitis septic
Penyebab dari tonsillitis ini adalah Streptokokus hemolitikus yang terdapat
dalam susu sapi sehingga dapat timbul epidemi. Oleh karena itu perlu adanya
pasteurisasi sebelum mengkonsumsi susu sapi tersebut.
kadang terdapat perdarahan diselaput lendir mulut dan faring serta pembesaran
kelenjar submandibula.
Leukimia akut
Gejala pertama sering berupa epistaksis, perdarahan dimukosa mulut, gusi dan
dibawah kulit sehingga timbul bercak kebiruan. Tomsil membengkak ditutupi
membran semu tetapi tidak hiperemis dan rasa nyeri yang hebat ditenggorok.
Angina agranulositosis
Penyebabnya ialah akibat keracunan obat dari golongan amidopirin, sulfa dan
arsen. Pada pemeriksaan tampak ulkus di mukosa mulut dan faring serta disekitar
ulkus tampak gejala radang. Ulkus ini juga dapat ditemukan digenitalia dan
saluran cerna.
Infeksi mononukleosis
Pada penyakit ini terjadi tonsilo faringitis ulsero membranosa bilateral. Membran
semu yang menutupi ulkus mudah diangkat tanpa timbul perdarahan. Terdapat
pembesaran kelenjar limfa leher, ketiak, dan regioinguinal. Gambaran darah khas
yaitu terdapat leukosit mononukleus dalam jumlah besar. Tanda khas yang lain
adalah kesanggupan serum pasien untuk beraglutinasi terhadap sel darah merah
domba (reaksi Paul Bunnel).
3. Tonsilitis kronis
Etiologi
Bakteri penyebab tonsillitis kronis sama halnya dengan tonsillitis akut , namun
terkadang bakteri berubah menjadi bakteri golongan Gram negatif.
Faktor predisposisi
Hygiene mulut yang buruk, pengobatan tonsillitis akut yang tidak adekuat,
rangsangan kronik karena rokok maupun makanan.
Patofisiologi
20
Karena proses radang berulang maka epitel mukosa dan jarinagn limfoid
terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti dengan
jaringan parut. Jaringan ini akan mengerut sehingga ruang antara kelompok melebar
yang akan diisi oleh detritus, proses ini meluas hingga menembus kapsul dan
akhirnya timbul perlekatan dengan jaringan sekitar fosa tonsilaris.
Terapi
Terapi mulut (terapi lokal) ditujukan kepada hygiene mulut dengan berkumur
atau obat isap.
Pemeriksaan penunjang
Kultur dan uji resistensi kuman dari sedian apus tonsil.
Komplikasi
Radang kronik tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya
berupa rhinitis kronis, sinusitis atau otitis media secara perkontinuitatum,
endokarditis, arthritis, miositis, nefritis, uveitis, iridosiklitus, dermatitis, pruritus,
urtikaria, dan furunkulosis.
Tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi yang berulang atau kronik, gejala
sumbatan serta kecurigaan neoplasma.
INDIKASI TONSILEKTOMI
Indikasi absolute. Indikasi indikasi untuk tonsilektomi yang hampir absolute
adalah sebagai berikut :
1. Timbulnya kor pulmonale karena obstruksi jalan napas yang kronis
2. Hipertrofi tonsil atau adenoid dengan sindroma apnea waktu tidur
3. Hipertrofi berlebihan yang menyebabkan disfagia dengan penurunan berat badan
penyerta.
4. Biopsi eksisi yang dicurigai keganasan (limfoma)
21
5. Abses peritonsilaris berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan
sekitarnya.
Indikasi Relatif
a. Serangan tonsillitis lebih dari 3 kali per tahun walaupun telah mendapatkan
terapi yang adekuat.
b. Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan pemberian terapi
medis
c. Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptococcus hemoliticus yang
tidak membaik dengan pemberian antibiotik -laktamase resisten
Kontraindikasi
1. Infeksi pernapasan bagian atas yang berulang
2. Infeksi sistemik atau kronis
3. Demam yang tidak diketahui penyebabnya
4. Pembesaran tonsil tanpa gejala gejala obstruksi
5. Rinitis alergika
6. Asma
7. Diskarsia darah
8. Ketidakmampuan yang umum atau kegagalan untuk tumbuh
9. Tonus otot yang lemah
10. Sinusitis
22
Soepardi,E.A, Iskandar, H.N, Abses Peritonsiler, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga,
Hidung dan Tenggorokan, Jakarta: FKUl, 2000; 185-89
Mehta, Ninfa. MD. Peritonsillar Abscess. Available from. www.emedicine.com.
Accessed at Juli 2007
Adrianto, Petrus. Dr, Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan, EGC, Jakarta, 1986;
296, 30809
E, Steyer, Terrence, M.D, Peritonsiller Abscess: Diagnosis and Treatment. Available
at: www.aafp.org/afp, Accesed on Juli, 2007
23
Adams GL. Penyakit-penyakit nasofaring dan Orofaring dalam Adams GL, Boeis LR,
Hilger PA, (eds). BOEIS Buku ajar Penyakit THT, EGC, Jakarta,1996.320, 327-37
Anonim. Abses Peritonsiler. Available from : www.medicastore.com Accessed at Juli
2007.
Ballenger, John Jacob. M.S, M.D. Penyakit Telinga Hidung, Tenggorok Kepala dan
Leher. Binarupa Aksara. Jakarta. Hal : 295-97, 318-23, 346-55
Jevuska O. Abses peritonsiler. Available from:
http://oncejevuska.blogspot.com/2007/03/abses-peritonsiler.html. Accessed at Juli
2007
Putz R., Pabst R. Rongga mulut dan Cavitas Oris. Dalam : Atlas Anatomi Manusia
Sobotta. Jilid I. Edisi 21. Jakarta : EGC. 2000. 95 dan 108.
Bailey, Byron J, MD. Tonsillitis, Tonsillectomy, and Adenoidectomy. In : Head and
Neck Surgey-Otolaryngology 2nd Edition. Lippincott_Raven Publisher. Philadelphia.
P :1224, 1233-34
Richardson, Mark A. Pediatric Otolarynngology. : Cumming CW, et Al.
Otolaryngology Head &
Neck Surgery. Mosby ear Book 4143-144
Daley BJ. Peritonsilar Abscess. Available from. www.emedicine.com. Accessed at Juli
2007
Ghorayeb, Bechara Y. MD. Picture Tonsillectomy. Available from :
www.ghorayeb.com/TonsillectomyPic.html. Accessed at Juli 2007.
Hatmansjah, Tonsilektomi. Cermin Dunia Kedokteran Vol. 89, 1993. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, hal : 19-21
Lee, K. J. MD, FACS. The Oral Cavity, Pharynx, and Esophagus. In : Essential
Otolaryngology. McGrawHill
Shnayder Y, Lee KC, Bernstein JM. Management of Adenotonsilla Disease. In
Lalwani AK. Current Diagnosis and Treatment Otolaryngology Head and Neck
Surgery 2nd edition. United States: Mc. Graw & Hill. 2008. h. 340-7.
Gambar Os
24
25