Anda di halaman 1dari 19

Referat

EKSHUMASI

MATA KULIAH : PENYIDIKAN TEMPAT PERKARA DAN


EKSHUMASI

Oleh :
Ali Sodikin
130621180003

Pembimbing:
Dr. Andri Andrian Rusman, Sp.F.M, M.Kes

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS


DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN

RUMAH SAKIT Dr. HASAN SADIKIN BANDUNG

2020
BAB I

PENDAHULUAN

Ekshumasi merupakan prosedur yang dilakukan dengan persetujuan pihak


berwenang dalam penggalian jenazah yang telah dimakamkan untuk pemeriksaan
postmortem. Kecurigaan atas penyebab kematian seseorang yang tidak wajar
seringkali menjadi alasan untuk melakukan ekshumasi atau penggalian kubur.
Alasan ekshumasi lainnya, meliputi hal-hal terkait keraguan atas identifikasi,
malpraktik, klaim asuransi, penelitian dan pemindahan tempat pemakaman.
Ekshumasi penting dilakukan pada kasus tertentu ketika surat perintah otopsi
dikeluarkan pada waktu pemakaman, atau ditemukannya bukti baru untuk
mendukung dilakukan ekhumasi.1–3

Pada beberapa negara yang banyak melakukan kremasi pada jenazah,


ekshumasi jarang dilakukan. Di Indonesia, praktik kremasi hanya dilakukan oleh
golongan tertentu, dan sebagian besar menguburkan secara utuh dengan maupun
tanpa menggunakan peti. Walaupun begitu, terdapat beberapa kepercayaan yang
kurang setuju terhadap praktik ekshumasi. Maka, selain surat perintah dari pihak
berwenang, sebelum dilakukan ekshumasi, keluarga berhak untuk diberitahu
sesuai dengan prinsip menghormati autonomi pasien dalam kaidah dasar moral
bioetik. Pertimbangan dalam mengambil keputusan untuk ekshumasi juga harus
meliputi biaya dan manfaat dilakukannya ekshumasi karena hasil pemeriksaan
pada mayat yang telah lama dikubur tidak akan memberikan hasil sebaik jika
mayat diperiksa sebelum dikebumikan.2,4

Perbedaan jangka waktu postmortem memiliki beberapa variabel yang


mempengaruhi pembusukan, antara lain faktor suhu lingkungan, kondisi tanah,
dan bahan penyusun peti jenazah. Beberapa penelitian di Kanada, India dan
Pakistan melaporkan bahwa ekshumasi memiliki tingkat keberhasilan dalam
menentukan penyebab kematian lebih dari 65%. Oleh karena itu, praktik
ekshumasi masih dipertimbangkan untuk dilakukan dalam kasus-kasus
tertentu.2,5,6

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Ekshumasi


Istilah ekshumasi berasal dari bahasa Latin yaitu “ex” yang artinya keluar
dan “humus” yang artinya tanah, sehingga ekshumasi berarti keluar dari tanah.
Ekshumasi adalah menggali kembali kuburan atau makam orang yang sudah
meninggal untuk dilakukan pemeriksaan postmortem. Ekshumasi menurut prinsip
pelaksanaan ekshumasi di Indonesia meliputi pembongkaran makam secara resmi
atas permintaan penyidik, dimana pemeriksaan dapat dilakukan di pinggir makam
atau di tempat lain. Selain itu, dokter yang menyaksikan pembongkaran makam
harus sama dengan dokter yang akan memeriksa jenazah, dan jenazah yang telah
diperiksa harus dikembalikan lagi ke makam yang sama.2,4,6

Proses ekshumasi hanya bisa dilakukan setelah mendapat persetujuan dari


pihak yang telah ditetapkan oleh negara atas permintaan dari penyidik, publik atau
keluarga korban. Namun, di negara manapun, hal yang terpenting saat melakukan
ekshumasi adalah tahapan pemeriksaan ulang identitas makam yang benar dan
tidak boleh dilakukan setelah matahari terbenam. Semua prosedur haruslah sesuai
dengan standar operasional yang berlaku dan harus dilakukan pencatatan dan
dokumentasi. Ekshumasi melibatkan pihak-pihak lain seperti penyidik, fotografer,
dokter forensik, ahli osteologi, dan lain-lain.5,7,8

2.2. Peraturan Ekshumasi

Ekshumasi atau penggalian kubur adalah merupakan tindakan yang hanya


dilakukan pada kasus-kasus tertentu dan atas dasar perintah penyidik (KUHAP
pasal 135 dan 136). Dokter yang akan melakukan pemeriksaan postmortem harus
hadir pada saat proses ekshumasi.6,9

2
2.3. Tujuan Ekshumasi

Ekshumasi atau penggalian kubur terkadang diperlukan untuk tujuan tertentu.


Tujuan ekshumasi dibagi menjadi dua berdasarkan kepentingannya, antara lain:

1. Tujuan umum (non forensik/non pengadilan):


a. Terkait kebijakan penguasa/pemerintahan setempat, misalnya pemindahan
tempat pemakaman untuk keperluan/pengembangan dan pembangunan
kota.2,7,10
b. Tujuan akademis, misalnya untuk mempelajari pola penyakit, penelitian
terkait status gizi masyarakat pada jenazah dari penggalian kuburan kuno
bersejarah.7,10
Petunjuk pelaksanaan ekshumasi biasanya diatur oleh pemerintahan
setempat bekerja sama dengan keluarga, sehingga lebih sederhana dan tidak
melibatkan Polisi untuk pengamanan pelaksanaan dalam mencegah apabila terjadi
hal-hal yang tidak diinginkan. Pada beberapa kasus, ekshumasi dilakukan atas
permintaan keluarga sendiri “high profile cases” untuk memindahkan kuburan
seseorang ke makam lain atau ke kota lain.2,7
2. Tujuan khusus (medikolegal/pengadilan untuk menghasilkan informasi terkait
suatu perkara):
a. Untuk mengetahui penyebab kematian, apabila hasil otopsi awal
meragukan. Misalnya terdapat dugaan baru yang menunjukkan bahwa
penyebab kematiannya merupakan tindak pidana, meliputi kematian yang
disamarkan sebagai kematian alami
b. Penyelidikan legal terhadap kematian akibat pembunuhan dan diracun
c. Klaim asuransi jiwa pada kasus sakit dan kecelakaan
d. Dugaan malpraktik
e. Jenazah yang disengketakan dan lain-lain.1,5
Dokter ahli forensik yang melakukan otopsi kedua akan menemukan
perbedaan-perbedaan, seperti adanya penambahan cedera/luka selain luka aslinya,
adanya intervensi tindakan medik sebelumnya, terdapat artefak sisa otopsi awal,
proses pembusukan menjadi lebih progresif dan atau adanya pengaruh proses

3
embalming. Oleh karena itu, sebaiknya pemeriksa pertama harus kooperatif dalam
berdiskusi dengan pemeriksa kedua.1,5

2.4.Indikasi Dilakukan Ekshumasi

Alasan-alasan penyidik meminta untuk dilakukan penggalian makam (ekshumasi)


antara lain:1,3,5,7

1. Pada kasus penyebab kematian yang tertera di dalam surat keterangan


kematian (death certificate) tidak jelas dan menimbulkan pertanyaan,
seperti kasus keracunan dan gantung diri.
2. Pada kasus identitas jenazah yang telah dimakamkan perlu dibuktikan
kebenarannya.
3. Pada kasus dengan kecurigaan bahwa jenazah meninggal secara tidak wajar
atau munculnya pertanyaan tentang penyebab dan cara kematian, setelah
jenazah dimakamkan.
4. Pada kasus ekshumasi atas perintah hakim untuk dilakukan pemeriksaan
ulang terhadap jenazah yang telah diperiksa dokter untuk membuat visum et
repertum.
5. Otopsi awal yang telah dilakukan dinilai tidak memadai.
6. Terdapat barang bukti forensik yang tertinggal dan ikut terkubur dengan
jenazah, sedangkan jenazah telah diotopsi sebelumnya.
7. Terdapat informasi baru yang tidak ditemukan pada saat otopsi.

2.5. Persiapan Penggalian serta Pemeriksaan Jenazah

Sebelum melakukan ekshumasi, perlu dilakukan persiapan-persiapan sebagai


berikut:5,6

1. Perlengkapan yang diperlukan dalam penggalian kubur:


a. Berkas-berkas pemeriksaan yang berhubungan dengan pelaksanaan
ekshumasi yang pernah dilakukan sebelumnya, seperti VeR, surat

4
keterangan medis, beberapa berita acara (seperti: berita acara
penggalian, pemeriksaan, pengambilan dan pengiriman sampel yang
diambil dari tubuh jenazah) untuk mencegah pengulangan kesalahan
seperti pada pemeriksaan postmortem yang pertama.
b. Kendaraan
c. Peralatan penggalian seperti cangkul, ganco, linggis, secop.
d. Perlengkapan untuk melakukan otopsi, yaitu pisau dapur, scalpel,
gunting, pinset, gergaji, jarum (jarum karung goni), benang, timbangan
berat, gelas pengukur, alat pengukur, ember, 3 buah toples yang bersih
dan belum pernah dipakai, alkohol 95% minimal 2 liter sebagai bahan
pengawet, bila ada indikasi meninggal karena keracunan; serta
formalin 10% sebanyak setengah liter sebagai bahan pengawet untuk
pemeriksaan histopatologi, 10 kantong plastik tebal untuk sampel
tanah kurang lebih 500 gram.2,5
2. Pemilihan waktu untuk melakukan ekshumasi:
a. Jika mayatnya masih baru maka sebaiknya dilakukan sesegera
mungkin karena seiring dengan waktu dan tanatologi, bukti fisik akan
semakin sulit untuk diidentifikasi.bila permintaan ekshumasi sudah ada
segera di lakukan.2,3
b. Batas waktu ekshumasi di India, Inggris dan Indonesia tidak ada.
Sedangkan di Prancis sekitar 10 tahun, Skotlandia 20 tahun, Jerman 30
tahun.2,7
c. Waktu penggalian dilakukan pada pagi hari supaya mendapatkan
pencahayaan yang cukup, udara masih segar, matahari belum terlalu
terik dan bertujuan untuk memberi cukup waktu pada tim forensik
dalam melakukan pemeriksaan jika terdapat suatu hambatan. Bila tidak
memungkinkan dilakukan pada pagi hari, pemeriksaan dilakukan pada
siang hari jika cuaca baik.3,5
3. Petugas yang sebaiknya menghadiri proses ekshumasi di pemakaman,
antara lain:6,10
a. Penyidik atau polisi beserta pihak keamanan.

5
b. Pemerintah setempat/tokoh masyarakat.
c. Dokter beserta asistennya.
d. Keluarga korban/ahli waris korban.
e. Petugas pengamanan/penjaga tempat pemakaman.
f. Penggali kuburan.
4. Selain itu, orang yang diperlukan untuk mengidentifikasi makam yang
akan digali, antara lain:6,10
a. Petugas pemakaman/penjaga tempat pemakaman
b. Penggali mayat yang sebelumnya mengubur mayat tersebut
c. Petugas yang membuat batu nisan atau membuat peti jenazah
d. Petugas keamanan, yaitu penyidik harus mengamankan tempat
penggalian dari kerumunan massa.
5. Dokumen yang dibutuhkan pada penggalian kubur6
a. Surat persetujuan dari keluarga yang meninggal yang menyatakan
tidak berkeberatan bahwa makam atau kuburan tersebut dibongkar.
b. Surat pernyataan dari keluarga, juru kubur, petugas pemerintahan
setempat atau saksi-saksi lain yang menyatakan bahwa kuburan tesebut
sesuai dengan jenazah yang dimaksudkan.
c. Surat penyitaan dari kuburan yang akan digali sebagai barang bukti
yang dikuasai oleh penyidik/polisi untuk sementara waktu.
d. Surat permintaan Visum et Repertum kepada Dokter pemerintah,
Dokter Polri atau Dokter setempat untuk pemeriksaan mayat.
e. Berita acara pembongkaran kuburan harus dibuat secara kronologis
serta sesuai metode kriminalitas yang memuat semua kejadian-
kejadian sejak pertama kali kuburan itu dibongkar.

2.6. Prosedur Penggalian Jenazah

1. Setelah mendapatkan permintaan secara tertulis dari penyidik, disertai


permintaan untuk otopsi, dokter beserta tim melakukan persiapan-
persiapan untuk melakukan ekshumasi dan pergi ke lokasi proses
ekshumasi pada makam yang diminta.9

6
2. Pada pemakaman umum, yang menunjukkan lokasi jenazah dimakamkan
adalah keluarga atau juru kunci kuburan. Bila letaknya tersembunyi, maka
tersangka yang menunjukan. Namun, terkadang tersangka sulit untuk
menunjukkan lokasi penguburan secara pasti sehingga penggalian dapat
mengalami kegagalan.1,6
3. Tanah di bagian atas digali dengan pacul, linggis atau ganco. Penggalian
harus dilakukan secara hati-hati untuk mencegah merusak jenazah.
Penggalian bagian atas dapat dilakukan oleh penduduk setempat. Jika
sudah mencapai permukaan peti jenazah, atau sampai tanah yang berwarna
keputih-putihan atau sudah tercium bau tidak enak (busuk) maka
penggalian digantikan oleh asisten dokter.1,6
4. Jenazah yang menggunakan peti kemudian diidentifikasi kembali dengan
pembuat peti tersebut jika memungkinkan (Gambar 1). Jenazah dengan
peti dapat diangkat secara bersamaan atau peti dibuka dan jenazahnya saja
yang diangkat. Jika peti yang diangkat bersama dengan jenazah, saat peti
diangkat ke atas, penutup peti sebaiknya dibuka sedikit dengan membuka
mur atau engsel peti agar gas-gas di dalamnya dapat keluar. Selanjutnya
peti dikirim ke kamar mayat, apabila terjadi pembusukan maka
ditempatkan potongan kayu atau kerangka fiberglass di bagian dasarnya.
Tanah dan lumpur harus dipindahkan terlebih dahulu sebelum peti dikirim
ke kamar otopsi untuk menghindari pencemaran.2,5

7
Gambar 1. Peti harus diidentifikasi kembali oleh petugas pemakaman dan pembuat
peti. Jika kematian dicurigai karena keracunan, maka sampel tanah perlu diambil.1

5. Jenazah yang diangkat tanpa peti, jika penggalian sudah mendekati


jenazah maka penggalian sebaiknya dilanjutkan menggunakan tangan
(tanpa alat-alat), dan kemudian jenazah diangkat dengan hati-hati. Jika
jenazah berupa kerangka, maka harus lebih hati-hati lagi dan tidak boleh
ada tulang yang tertinggal. Setiap tulang akan diperiksa apakah ada
kelainan yang dapat menerangkan modus operandi. Setelah penggalian,
jenazah dapat ditransportasikan ke rumah sakit terdekat atau dapat
dilakukan pemeriksaan postmortem di tempat dengan pengamanan oleh
polisi atau petugas keamanan. Pemeriksaan postmortem dilakukan dengan
seksama dan didokumentasikan dalam bentuk foto dan tulisan.1,5,9
6. Jika jenazah berupa kerangka, bekas galian jangan ditimbuni tanah terlebih
dahulu untuk beberapa waktu, karena kemungkinan diperlukan lagi bila
ada tulang yang tertinggal.1,2
7. Jenazah yang diduga mati karena keracunan, dan yakin sudah ada
pencampuran antara air tanah dengan jenazah, maka perlu diambil sampel
tanah kurang lebih 500 gram pada empat sisi sejauh kira-kira 30 cm dari
jenazah, yaitu dari atas, bawah, samping kanan dan kiri jenazah. Tanah
dari keempat sisi ini diambil untuk diuji toksikologi, sedangkan sebagai

8
sampel kontrol, diambil sampel segumpal tanah, sejauh kurang lebih 5 m
dari jenazah. Tanah tersebut dikirim bersama-sama organ-organ tubuh
jenazah ke laboratorium.6,9
8. Setelah proses pemeriksaan postmortem selesai dilakukan, jenazah dapat
dikebumikan kembali.5,9

2.7. Pemeriksaan Postmortem Jenazah

Pemeriksaan postmortem dapat dilakukan di pemakaman jenazah tersebut,


dengan membuat kamar bedah darurat dan pengamanan yang cukup atau dapat
dilakukan di ruang otopsi. Pertimbangan untuk melakukan pemeriksaan di
pemakaman, antara lain transportasi yang sulit atau tidak memungkinkan, untuk
menghemat waktu sehingga dapat menghasilkan laporan pemeriksaan dengan
lebih cepat, untuk menghindari kesalahpahaman pandangan masyarakat, serta
mempermudah pemakaman kembali. Sedangkan, pemeriksaan di ruang otopsi
mempertimbangkan agar pemeriksaan dapat dilakukan dengan tenang dan lebih
teliti, serta pemeriksaan lengkap dapat dilakukan sehingga menghasilkan laporan
yang lebih baik.8,11

Sebelum tim ahli forensik melakukan pemeriksaan terhadap mayat,


dipastikan terlebih dahulu bahwa mayat yang akan diperiksa adalah benar. Pada
umumnya, keluarga atau teman dekat mayat mengidentifikasi dengan cara melihat
wajah mayat dan kemudian menyatakan secara verbal kepada polisi, petugas
kamar mayat atau dokter bahwa mayat yang dimaksud adalah benar.5,11,12

Petugas pemeriksa mayat harus memakai sarung tangan dan masker yang
telah direndam di dalam larutan potasium permanganas. Apabila mayat telah
mengalami pembusukan dan mengeluarkan cairan, maka kain pembungkus mayat
pada bagian punggung harus diambil sebagai sampel untuk pemeriksaan
laboratorium. Jika mayat telah hancur semuanya maka setiap organ yang tersisa
dapat dikirim ke laboratorium. Jika tidak ada organ dalam yang tersisa, maka
sampel yang diambil adalah rambut, gigi, kuku, tulang dan kulit korban.
Pemeriksaan mayat mencakup pemeriksaan luar dan dalam.1,5

9
Pemeriksaan postmortem dilakukan sebagaimana standar operasional otopsi
dan didokumentasikan dalam bentuk foto dan tulisan. Walaupun mayat telah
rusak/ membusuk, pengambilan sampel perlu dilakukan dari jaringan tubuh yang
masih ada untuk kemudian dilakukan pemeriksaan laboratorium atau toksikologi.
Sampel tersebut diperiksa untuk mendeteksi racun dengan dosis yang fatal, bila
diduga penyebab kematiannya adalah keracunan. Pada keadaan jenazah yang telah
busuk, namun masih terdapat jaringan keras seperti tulang, maka jenazah masih
dapat memberikan hasil yang cukup memuaskan. Sebelum mayat dikuburkan
kembali harus dipastikan apakah informasi-informasi yang diperlukan sudah
adekuat untuk menghindari dilakukan penggalian ulang.5,6

Kondisi jenazah yang ditemukan pada proses ekshumasi tergantung dari


waktu kematian, keadaan lingkungan/zona iklim, karakteristik tempat pemakaman
(tanah, pasir, air), hewan pemakan bangkai, dan upaya yang telah dilakukan
dengan sengaja seperti memutilasi korban. Musim hujan dapat meningkatkan
tinggi air tanah sehingga air dapat terakumulasi di dalam peti, sehingga
mempersulit proses ekshumasi. Prosedur embalming tidak mempengaruhi
rangkaian proses pembusukan, namun dapat memperlambat proses tersebut
dengan cara mengeringkan jaringan. Temuan yang khas pada jenazah yang telah
dikubur, antara lain:1,2,5
1. Terdapat fungi/jamur yang khas berwarna putih atau hitam pada wajah dan
tangan jenazah (Gambar 2).

10
Gambar 2. Kolonisasi jamur berwarna putih keabu-abuan pada jenazah
yang dimakamkan 7 bulan yang lalu5

2. Rambut kepala dan bulu-bulu wajah jenazah yang telah diembalming


sebelum dikubur, akan menempel pada kulit yang tampak mengering.
Berbeda dengan jenazah yang tidak diembalming, kulit tampak licin dan
rambut akan mudah dicabut atau bahkan sudah terlepas dari kulit kepala.5,6
3. Kulit tampak pecah-pecah dan mengelupas, seperti cat yang mengelupas.5
4. Fabric impressions dapat ditemukan pada kulit, terutama pada bagian
wajah.2
5. Tampak perbedaan tingkat kecepatan pembusukan pada tempat-tempat
tertentu akibat adanya tekanan, seperti daerah occipital, tulang belakang
dan bokong terjadi proses pembusukan yang relatif lebih cepat.2,5
6. Pada bagian atas tulang di daerah kortikal yang bersentuhan langsung
dengan peti jenazah tampak pengelupasan (coffin wear).2,6
7. Otak cenderung membengkak dan membusuk lebih lambat karena
terlindungi oleh tulang tengkorak. Perdarahan intracranial atau
5,6
intraserebral biasanya masih terlihat dalam waktu yang lama.

11
8. Pada jenazah yang sebelumnya telah diembalming, cedera pada kulit,
seperti insisi, luka tusuk dan luka tembak masih dapat dideteksi jika
jaringan lunak subkutan masih terlihat.3,5
9. Apabila sebelum meninggal jenazah menggunakan trochar melalui hidung
untuk menjaga rongga kepala, akan ditemukan fraktur pada tulang pipih
kribiformis.11
10. Transformasi lemak tubuh menjadi kering dan keras, terutama pada
kondisi udara yang kering, disebut adipocere. Apabila adipocere sudah
terbentuk, akan sulit menemukan kelainan atau cedera pada organ
internal.1,11
11. Pada jenazah yang diekshumasi dapat dibedakan antara cedera antemortem
dan postmortem, serta perubahan pada tubuh mayat.5
12. Pada jenazah dengan suku bangsa Cina, dapat ditemukan benda-benda
pribadi milik jenazah, karena jenazah dimakamkan bersama-sama dengan
harta bendanya. Selain itu, pada kasus jenazah yang tidak memiliki
identitas atau jenazah terbakar, atau dimutilasi, yang telah dikubur, namun
ternyata dikemudian hari muncul pihak keluarga yang ingin memastikan,
maka identifikasi dapat dilakukan dengan menunjukkan dokumen atau
benda-benda seperti pakaian dan perhiasan milik jenazah kepada
kerabatnya tersebut oleh penyidik.2,6
13. Benda/alat buatan yang dipakai jenazah dan serta sisa proses embalming
dapat ditemukan, seperti lensa mata buatan, pembentuk mulut buatan,
kawat pada tulang rahang, trochar button, bekas jahitan pada luka, cotton
packing, permukaan kulit yang rusak dilapisi oleh wax/lilin.6,11

2.8. Temuan Histologis


Temuan pada pemeriksaan histologis dan histopatologis pada jenazah yang
diekshumasi terbatas karena adanya autolisis dan putrefaksi. Proses
embalming dapat memperlambat proses autolisis dan putrefaksi. Kesulitan
pada pemeriksaan histologis dapat ditemukan pada kasus nekrosis tubular
ginjal dan infark miokard yang hanya dapat dideteksi dalam jangka waktu

12
tertentu. Tidak ada urutan spesifik terkait perubahan yang terjadi pada organ
dalam. Secara umum, hanya organ uterus yang cenderung resisten terhadap
putrefaksi.1,5

2.9. Analisis Kimia-Toksikologi


Pengambilan sampel untuk analisis kimia/toksikologi meliputi papan
bagian bawah peti, tanah pada bagian atas, bawah, kiri dan kanan jenazah,
serta tanah pada jarak 5 m dari lokasi makam. Dalam otopsi, sampel yang
diambil untuk kemudian dilakukan analisis kimia/toksikologi, antara lain:2,3,5
1. Darah (dari jantung, vena femoralis)
2. Potongan hepar
3. Potongan ginjal
4. Potongan paru-paru
5. Potongan otak
6. Cairan empedu
7. Isi lambung
8. Isi usus halus dan usus besar
9. Otot
10. Jaringan lemak
11. Rambut
12. Kuku kaki dan kuku tangan
13. Cairan vitreus
14. Cairan sinovial
15. Cairan serebrospinal

Mendapatkan informasi konsentrasi racun dari analisis kimia/toksikologi


sulit untuk dilakukan. Metabolisme substansi racun postmortem harus
dipertimbangkan sebelum mengambil kesimpulan terkait intoksikasi yang fatal.5

13
2.10. Penyulit dalam Proses Ekshumasi

Proses ekshumasi sebaiknya dilakukan dengan persiapan yang lengkap untuk


memudahkan pemeriksaan, yaitu persiapan terkait perlengkapan maupun
pembagian tugas personil sesuai dengan keahlian dan pengalaman masing-
masing. Jika lokasi makam masih belum jelas, maka dapat meminta bantuan ahli.
Selain itu, bantuan dari antropolog forensik juga dapat membantu dalam
pemulihan lapangan untuk mendapatkan informasi lebih lengkap tentang suatu
kasus. Informasi yang didapatkan didiskusikan dengan para ahli lain, seperti
antropolog forensik, entomolog, odontolog, dan botanis, terutama pada kasus
yang melibatkan banyak korban dan meliputi area yang luas.1,5
Sedangkan hal-hal yang dapat mempersulit pengumpulan informasi pada
jenazah yang diekshumasi antara lain, proses pembusukan, telah terbentuknya
adipocere atau proses mumifikasi. Kesulitan dalam memeriksa jaringan lunak
yang telah mengalami pembusukan membuat deskripsi luka menjadi tidak jelas.
Oleh karena itu, perlu dilakukan pemeriksaan tulang dengan lebih teliti untuk
mencari adanya tanda trauma. Temuan patah tulang harus diperiksa ulang untuk
memastikan kemungkinan terjadi pada saat proses penggalian. Pada pemeriksaan
postmortem jenazah, hasil yang negatif juga bermanfaat untuk dicatat, seperti
tidak ditemukan patah tulang dan lain-lain.5,6,11

2.11. Aspek Medikolegal


Pihak penyidik mempunyai wewenang untuk mendatangkan ahli yang
diperlukan terkait pemeriksaan perkara. Sesuai dengan KUHAP Pasal 120, ayat 1
yang menyebutkan bahwa “Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat
meminta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus”.
Permintaan bantuan ahli untuk ke lokasi pemakaman dapat dilakukan secara lisan
atau melalui telpon, kemudian diikuti dengan permintaan tertulis untuk
mendapatkan visum et repertum pemeriksaan tempat pemakaman dan jenazah
terkait.2,4

14
Ekshumasi di Indonesia dapat dilakukan untuk kepentingan penyidikan
sebagaimana ditegaskan dalam pasal 135 KUHAP yang menyatakan bahwa
“Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan perlu melakukan penggalian
mayat, dilaksanakan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 133
ayat (2) dan pasal 134 ayat (1) undang-undang ini”.2,6
Sesuai dengan KUHAP pasal 134 ayat 1, penyidik wajib untuk
memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga korban. Apabila keluarga
keberatan, penyidik wajib menerangkan maksud dan tujuan ekshumasi dengan
sejelas-jelasnya pada KUHAP pasal 134 ayat 2. Jika setelah itu keluarga korban
tetap keberatan, tetapi ekshumasi harus dilakukan karena terkait tindak pidana,
maka keluarga korban dapat diancam pidana atau denda sesuai pasal 222 KUHP
karena secara sengaja menghalangi pemeriksaan mayat untuk pengadilan hukum.
Sedangkan, pada kondisi keluarga tidak memberikan tanggapan atau keluarga
tidak ditemukan dalam waktu 2 hari, maka ekshumasi dapat tetap dilakukan.
Apabila ekshumasi dan otopsi bertujuan untuk kepentingan peradilan, maka biaya
yang dikeluarkan ditanggung oleh negara sesuai dengan KUHAP pasal 136.13
Penggalian mayat dilakukan atas perintah Penyidik, untuk membuat terang
dan jelas suatu perkara, khususnya perkara pidana, maka pasal-pasal yang terdapat
didalam KUHP Pasal 179 dan pasal 180 KUHP, yaitu tentang perusakan makam
dengan melawan hukum dan mengeluarkan mayat dengan melawan hukum tidak
dapat dikenakan pada proses ekshumasi.2,6

15
BAB III
KESIMPULAN

1. Ekshumasi adalah penggalian makam jenazah yang sudah dimakamkan


untuk dilakukan pemeriksaan postmortem. Ekshumasi biasanya dilakukan
untuk identifikasi ulang jenazah dan mencari penyebab kematian jenazah
yang belum jelas, setelah mendapat izin dari pihak yang telah ditetapkan
oleh negara.
2. Tujuan ekshumasi terbagi menjadi tujuan umum/non legal dan tujuan
legal. Dalam ilmu kedokteran forensik, tujuan ekshumasi antara lain,
mencari penyebab kematian yang belum jelas atau terkait tindak pidana,
identifikasi jenazah yang disengketakan, melakukan pemeriksaan ulang
jika sebelumnya kurang memadai dan memeriksa barang bukti forensik
yang ikut terkubur.
3. Ekshumasi harus dilakukan sesuai dengan standar operasional, mulai dari
persiapan hingga pemeriksaan postmortem dan dokumentasi. Dokter
beserta tim yang akan melakukan pemeriksaan postmortem harus hadir
pada proses ekshumasi. Setelah pemeriksaan postmortem dilakukan,
jenazah dikuburkan kembali di tempat pemakaman awal.
4. Pemeriksaan postmortem dapat dilakukan di lokasi pemakaman atau di
kamar bedah mayat sesuai dengan pertimbangan kondisi di lapangan.
Pemeriksaan postmortem meliputi pemeriksaan makroskopis, pemeriksaan
histologis dan analisis kimia/toksikologi dengan mempertimbangkan
penyulit-penyulit yang mungkin ada.

16
DAFTAR PUSTAKA
1. Saukko P, Knight B. Knight’s Forensic Pathology. 4th ed. Florida: CRC
Press; 2016. 40–44 p.
2. Hoediyanto H, Hariadi A. Penggalian Jenazah (Exhumation). Ilmu
Kedokteran Forensik dan Medikolegal. Kedelapan. Surabaya: Departemen
Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal FK Unair; 2012. p. 196.
3. Ingale D, Bagali MA, Bhuyyar C, Hibare SR. Profile of exhumations and
autopsy on exhumed dead body or human remains : A retrospective study.
2016;9:47–52.
4. Wiryaningsih MAMm, Safitry O. Validitas Resapan Darah Pada Tulang
Sebagai Petunjuk Intravitalitas Pada Ekshumasi. Pros Pertem Ilm Tah 2017
Perhimpun Dr Forensik Indones. 2017;1(31):181–8.
5. Dettmeyer RB, Verhoff MA, Schutz HF. Forensic Medicine. New York:
Springer; 2014. 75–83 p.
6. Idries A, Tjiptomartono A. Penggalian Mayat. Penerapan Ilmu Kedokteran
Forensik dalam Proses Penyidikan. Kedua. Jakarta: Sagung Seto; 2008. p.
204–6.
7. Nadeem S. Prevalence of Exhumation in District Faisalabad. Prof Med J.
2018;25(08):1277–82.
8. Bursell R. Aspects of Burial and Exhumation. Eccles Law J.
2017;19(2):169–92.
9. Sharma R. Concise Textbook of Forensic Medicine & Toxicology. 3rd ed.
New Delhi: Global Education Consultants; 2011. 31–32 p.
10. Wyatt J, Squires T, Norfolk G, Payne-James J. Oxford Handbook of
Forensic Medicine. 1st ed. Oxford: Oxford University Press; 2011. 89–90p.
11. Dolinak D, Matshers E, Lew E. Forensic Pathology. 1st ed. San Diego:
Elsevier; 2005. 535–547 p.
12. Madea B. Handbook of Forensic Medicine. In: Hougen HP, editor. 1st ed.
Bonn: Wiley; 2014. p. 19–21.
13. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Indonesia:
Mahkamah Konstitusi; 1981.

17
18

Anda mungkin juga menyukai