EKSHUMASI
Oleh :
Ali Sodikin
130621180003
Pembimbing:
Dr. Andri Andrian Rusman, Sp.F.M, M.Kes
2020
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
2.3. Tujuan Ekshumasi
3
embalming. Oleh karena itu, sebaiknya pemeriksa pertama harus kooperatif dalam
berdiskusi dengan pemeriksa kedua.1,5
4
keterangan medis, beberapa berita acara (seperti: berita acara
penggalian, pemeriksaan, pengambilan dan pengiriman sampel yang
diambil dari tubuh jenazah) untuk mencegah pengulangan kesalahan
seperti pada pemeriksaan postmortem yang pertama.
b. Kendaraan
c. Peralatan penggalian seperti cangkul, ganco, linggis, secop.
d. Perlengkapan untuk melakukan otopsi, yaitu pisau dapur, scalpel,
gunting, pinset, gergaji, jarum (jarum karung goni), benang, timbangan
berat, gelas pengukur, alat pengukur, ember, 3 buah toples yang bersih
dan belum pernah dipakai, alkohol 95% minimal 2 liter sebagai bahan
pengawet, bila ada indikasi meninggal karena keracunan; serta
formalin 10% sebanyak setengah liter sebagai bahan pengawet untuk
pemeriksaan histopatologi, 10 kantong plastik tebal untuk sampel
tanah kurang lebih 500 gram.2,5
2. Pemilihan waktu untuk melakukan ekshumasi:
a. Jika mayatnya masih baru maka sebaiknya dilakukan sesegera
mungkin karena seiring dengan waktu dan tanatologi, bukti fisik akan
semakin sulit untuk diidentifikasi.bila permintaan ekshumasi sudah ada
segera di lakukan.2,3
b. Batas waktu ekshumasi di India, Inggris dan Indonesia tidak ada.
Sedangkan di Prancis sekitar 10 tahun, Skotlandia 20 tahun, Jerman 30
tahun.2,7
c. Waktu penggalian dilakukan pada pagi hari supaya mendapatkan
pencahayaan yang cukup, udara masih segar, matahari belum terlalu
terik dan bertujuan untuk memberi cukup waktu pada tim forensik
dalam melakukan pemeriksaan jika terdapat suatu hambatan. Bila tidak
memungkinkan dilakukan pada pagi hari, pemeriksaan dilakukan pada
siang hari jika cuaca baik.3,5
3. Petugas yang sebaiknya menghadiri proses ekshumasi di pemakaman,
antara lain:6,10
a. Penyidik atau polisi beserta pihak keamanan.
5
b. Pemerintah setempat/tokoh masyarakat.
c. Dokter beserta asistennya.
d. Keluarga korban/ahli waris korban.
e. Petugas pengamanan/penjaga tempat pemakaman.
f. Penggali kuburan.
4. Selain itu, orang yang diperlukan untuk mengidentifikasi makam yang
akan digali, antara lain:6,10
a. Petugas pemakaman/penjaga tempat pemakaman
b. Penggali mayat yang sebelumnya mengubur mayat tersebut
c. Petugas yang membuat batu nisan atau membuat peti jenazah
d. Petugas keamanan, yaitu penyidik harus mengamankan tempat
penggalian dari kerumunan massa.
5. Dokumen yang dibutuhkan pada penggalian kubur6
a. Surat persetujuan dari keluarga yang meninggal yang menyatakan
tidak berkeberatan bahwa makam atau kuburan tersebut dibongkar.
b. Surat pernyataan dari keluarga, juru kubur, petugas pemerintahan
setempat atau saksi-saksi lain yang menyatakan bahwa kuburan tesebut
sesuai dengan jenazah yang dimaksudkan.
c. Surat penyitaan dari kuburan yang akan digali sebagai barang bukti
yang dikuasai oleh penyidik/polisi untuk sementara waktu.
d. Surat permintaan Visum et Repertum kepada Dokter pemerintah,
Dokter Polri atau Dokter setempat untuk pemeriksaan mayat.
e. Berita acara pembongkaran kuburan harus dibuat secara kronologis
serta sesuai metode kriminalitas yang memuat semua kejadian-
kejadian sejak pertama kali kuburan itu dibongkar.
6
2. Pada pemakaman umum, yang menunjukkan lokasi jenazah dimakamkan
adalah keluarga atau juru kunci kuburan. Bila letaknya tersembunyi, maka
tersangka yang menunjukan. Namun, terkadang tersangka sulit untuk
menunjukkan lokasi penguburan secara pasti sehingga penggalian dapat
mengalami kegagalan.1,6
3. Tanah di bagian atas digali dengan pacul, linggis atau ganco. Penggalian
harus dilakukan secara hati-hati untuk mencegah merusak jenazah.
Penggalian bagian atas dapat dilakukan oleh penduduk setempat. Jika
sudah mencapai permukaan peti jenazah, atau sampai tanah yang berwarna
keputih-putihan atau sudah tercium bau tidak enak (busuk) maka
penggalian digantikan oleh asisten dokter.1,6
4. Jenazah yang menggunakan peti kemudian diidentifikasi kembali dengan
pembuat peti tersebut jika memungkinkan (Gambar 1). Jenazah dengan
peti dapat diangkat secara bersamaan atau peti dibuka dan jenazahnya saja
yang diangkat. Jika peti yang diangkat bersama dengan jenazah, saat peti
diangkat ke atas, penutup peti sebaiknya dibuka sedikit dengan membuka
mur atau engsel peti agar gas-gas di dalamnya dapat keluar. Selanjutnya
peti dikirim ke kamar mayat, apabila terjadi pembusukan maka
ditempatkan potongan kayu atau kerangka fiberglass di bagian dasarnya.
Tanah dan lumpur harus dipindahkan terlebih dahulu sebelum peti dikirim
ke kamar otopsi untuk menghindari pencemaran.2,5
7
Gambar 1. Peti harus diidentifikasi kembali oleh petugas pemakaman dan pembuat
peti. Jika kematian dicurigai karena keracunan, maka sampel tanah perlu diambil.1
8
sampel kontrol, diambil sampel segumpal tanah, sejauh kurang lebih 5 m
dari jenazah. Tanah tersebut dikirim bersama-sama organ-organ tubuh
jenazah ke laboratorium.6,9
8. Setelah proses pemeriksaan postmortem selesai dilakukan, jenazah dapat
dikebumikan kembali.5,9
Petugas pemeriksa mayat harus memakai sarung tangan dan masker yang
telah direndam di dalam larutan potasium permanganas. Apabila mayat telah
mengalami pembusukan dan mengeluarkan cairan, maka kain pembungkus mayat
pada bagian punggung harus diambil sebagai sampel untuk pemeriksaan
laboratorium. Jika mayat telah hancur semuanya maka setiap organ yang tersisa
dapat dikirim ke laboratorium. Jika tidak ada organ dalam yang tersisa, maka
sampel yang diambil adalah rambut, gigi, kuku, tulang dan kulit korban.
Pemeriksaan mayat mencakup pemeriksaan luar dan dalam.1,5
9
Pemeriksaan postmortem dilakukan sebagaimana standar operasional otopsi
dan didokumentasikan dalam bentuk foto dan tulisan. Walaupun mayat telah
rusak/ membusuk, pengambilan sampel perlu dilakukan dari jaringan tubuh yang
masih ada untuk kemudian dilakukan pemeriksaan laboratorium atau toksikologi.
Sampel tersebut diperiksa untuk mendeteksi racun dengan dosis yang fatal, bila
diduga penyebab kematiannya adalah keracunan. Pada keadaan jenazah yang telah
busuk, namun masih terdapat jaringan keras seperti tulang, maka jenazah masih
dapat memberikan hasil yang cukup memuaskan. Sebelum mayat dikuburkan
kembali harus dipastikan apakah informasi-informasi yang diperlukan sudah
adekuat untuk menghindari dilakukan penggalian ulang.5,6
10
Gambar 2. Kolonisasi jamur berwarna putih keabu-abuan pada jenazah
yang dimakamkan 7 bulan yang lalu5
11
8. Pada jenazah yang sebelumnya telah diembalming, cedera pada kulit,
seperti insisi, luka tusuk dan luka tembak masih dapat dideteksi jika
jaringan lunak subkutan masih terlihat.3,5
9. Apabila sebelum meninggal jenazah menggunakan trochar melalui hidung
untuk menjaga rongga kepala, akan ditemukan fraktur pada tulang pipih
kribiformis.11
10. Transformasi lemak tubuh menjadi kering dan keras, terutama pada
kondisi udara yang kering, disebut adipocere. Apabila adipocere sudah
terbentuk, akan sulit menemukan kelainan atau cedera pada organ
internal.1,11
11. Pada jenazah yang diekshumasi dapat dibedakan antara cedera antemortem
dan postmortem, serta perubahan pada tubuh mayat.5
12. Pada jenazah dengan suku bangsa Cina, dapat ditemukan benda-benda
pribadi milik jenazah, karena jenazah dimakamkan bersama-sama dengan
harta bendanya. Selain itu, pada kasus jenazah yang tidak memiliki
identitas atau jenazah terbakar, atau dimutilasi, yang telah dikubur, namun
ternyata dikemudian hari muncul pihak keluarga yang ingin memastikan,
maka identifikasi dapat dilakukan dengan menunjukkan dokumen atau
benda-benda seperti pakaian dan perhiasan milik jenazah kepada
kerabatnya tersebut oleh penyidik.2,6
13. Benda/alat buatan yang dipakai jenazah dan serta sisa proses embalming
dapat ditemukan, seperti lensa mata buatan, pembentuk mulut buatan,
kawat pada tulang rahang, trochar button, bekas jahitan pada luka, cotton
packing, permukaan kulit yang rusak dilapisi oleh wax/lilin.6,11
12
tertentu. Tidak ada urutan spesifik terkait perubahan yang terjadi pada organ
dalam. Secara umum, hanya organ uterus yang cenderung resisten terhadap
putrefaksi.1,5
13
2.10. Penyulit dalam Proses Ekshumasi
14
Ekshumasi di Indonesia dapat dilakukan untuk kepentingan penyidikan
sebagaimana ditegaskan dalam pasal 135 KUHAP yang menyatakan bahwa
“Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan perlu melakukan penggalian
mayat, dilaksanakan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 133
ayat (2) dan pasal 134 ayat (1) undang-undang ini”.2,6
Sesuai dengan KUHAP pasal 134 ayat 1, penyidik wajib untuk
memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga korban. Apabila keluarga
keberatan, penyidik wajib menerangkan maksud dan tujuan ekshumasi dengan
sejelas-jelasnya pada KUHAP pasal 134 ayat 2. Jika setelah itu keluarga korban
tetap keberatan, tetapi ekshumasi harus dilakukan karena terkait tindak pidana,
maka keluarga korban dapat diancam pidana atau denda sesuai pasal 222 KUHP
karena secara sengaja menghalangi pemeriksaan mayat untuk pengadilan hukum.
Sedangkan, pada kondisi keluarga tidak memberikan tanggapan atau keluarga
tidak ditemukan dalam waktu 2 hari, maka ekshumasi dapat tetap dilakukan.
Apabila ekshumasi dan otopsi bertujuan untuk kepentingan peradilan, maka biaya
yang dikeluarkan ditanggung oleh negara sesuai dengan KUHAP pasal 136.13
Penggalian mayat dilakukan atas perintah Penyidik, untuk membuat terang
dan jelas suatu perkara, khususnya perkara pidana, maka pasal-pasal yang terdapat
didalam KUHP Pasal 179 dan pasal 180 KUHP, yaitu tentang perusakan makam
dengan melawan hukum dan mengeluarkan mayat dengan melawan hukum tidak
dapat dikenakan pada proses ekshumasi.2,6
15
BAB III
KESIMPULAN
16
DAFTAR PUSTAKA
1. Saukko P, Knight B. Knight’s Forensic Pathology. 4th ed. Florida: CRC
Press; 2016. 40–44 p.
2. Hoediyanto H, Hariadi A. Penggalian Jenazah (Exhumation). Ilmu
Kedokteran Forensik dan Medikolegal. Kedelapan. Surabaya: Departemen
Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal FK Unair; 2012. p. 196.
3. Ingale D, Bagali MA, Bhuyyar C, Hibare SR. Profile of exhumations and
autopsy on exhumed dead body or human remains : A retrospective study.
2016;9:47–52.
4. Wiryaningsih MAMm, Safitry O. Validitas Resapan Darah Pada Tulang
Sebagai Petunjuk Intravitalitas Pada Ekshumasi. Pros Pertem Ilm Tah 2017
Perhimpun Dr Forensik Indones. 2017;1(31):181–8.
5. Dettmeyer RB, Verhoff MA, Schutz HF. Forensic Medicine. New York:
Springer; 2014. 75–83 p.
6. Idries A, Tjiptomartono A. Penggalian Mayat. Penerapan Ilmu Kedokteran
Forensik dalam Proses Penyidikan. Kedua. Jakarta: Sagung Seto; 2008. p.
204–6.
7. Nadeem S. Prevalence of Exhumation in District Faisalabad. Prof Med J.
2018;25(08):1277–82.
8. Bursell R. Aspects of Burial and Exhumation. Eccles Law J.
2017;19(2):169–92.
9. Sharma R. Concise Textbook of Forensic Medicine & Toxicology. 3rd ed.
New Delhi: Global Education Consultants; 2011. 31–32 p.
10. Wyatt J, Squires T, Norfolk G, Payne-James J. Oxford Handbook of
Forensic Medicine. 1st ed. Oxford: Oxford University Press; 2011. 89–90p.
11. Dolinak D, Matshers E, Lew E. Forensic Pathology. 1st ed. San Diego:
Elsevier; 2005. 535–547 p.
12. Madea B. Handbook of Forensic Medicine. In: Hougen HP, editor. 1st ed.
Bonn: Wiley; 2014. p. 19–21.
13. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Indonesia:
Mahkamah Konstitusi; 1981.
17
18