Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

Perilaku seksual adalah bermacam-macam dan ditentukan oleh suatu


interaksi faktor-faktor yang kompleks. Seksualitas ditentukan oleh anatomi,
fisiologi, psikologi, dan kultur dimana orang tinggal, hubungan seseorang dengan
orang lain, serta mencerminkan perkembangan pengalaman seks selama siklus
kehidupannya. Ini termasuk persepsi sebagai laki-laki atau wanita dan semua
pikiran, perasaan, dan perilaku yang berhubungan dengan kepuasan dan
reproduksi, termasuk ketertarikan dari seseorang terhadap orang lain.1
Seksualitas adalah sesuatu yang lebih dari jenis kelamin fisik, koitus atau
non koitus dan sesuatu yang kurang dari tiap aspek perilaku diarahkan untuk
mendapatkan kesenangan.1 Seksualitas normal termasuk hasrat, perilaku yang
menimbulkan kenikmatan pada dirinya dan pasangannya, dan stimulasi organ seks
primer termasuk koitus tanpa disertai rasa bersalah, atau kecemasan, dan tidak
kompulsif. Pada beberapa konteks seks diluar pernikahan, masturbasi, dan
bebagai bentuk stimulasi seksual terhadap organ selain seksual primer mungkin
masih dalam batas normal.1
Seksualitas seseorang dan kepribadian keseluruhan adalah sangat terjalin
sehingga tidak mungkin untuk membicarakan seksualitas sebagai bagian yang
terpisah. Dengan demikian istilah “psikoseksual” digunakan untuk mengesankan
perkembangan dan fungsi kepribadian sebagai sesuatu yang dipengaruhi oleh
seksualitas seseorang. “Psikoseksual” jelas bukan terbatas pada perasaan dan
perilaku seksual, demikian juga tidak sama dengan libido dalam pandangan
Freud.1
Dalam pandangan Sigmund Freud, semua impuls dan aktivitas yang
menyenangkan akhirnya adalah seksual dan harus sangat ditandai sejak
permulaan. Seksualitas seseorang tergantung pada empat faktor-faktor yang saling
berhubungan: identitas seksual, identitas jenis kelamin, orientasi seksual, dan
perilaku seksual. Faktor-faktor tersebut mempengaruhi pertumbuhan,
perkembangan, dan fungsi kepribadian dan keseluhannya dinamakan “faktor

1
psikoseksual”. Fungsi utama perilaku seksual bagi manusia adalah membentuk
ikatan, untuk mengekspresikan dan meningkatkan cinta antara dua orang, dan
untuk mendapatkan keturunan.1
Dalam dunia psikologi abnormal, gangguan abnormalitas seksual
merupakan ruang lingkup didalamnya. Berdasarkan DSM-IV-TR diklasifikasi
menjadi tiga garis besar yaitu disfungsi psikoseksual, parafilia, dan gangguan
identitas gender.1,4
1) Disfungsi psikoseksual – inhibisi dalam keinginan seksual atau
penampilan psikofisiologik.
2) Parafilia – perangsangan seksual terhadap stimulus yang menyimpang.
3) Gangguan identitas gender – pasien merasa sebagai jenis kelamin yang
berlawanan.
Pada referat ini, kita akan membahas tentang parafilia yang pada PPDGJ
disebut sebagai gangguan preferensi seksual (F65). Istilah parafilia diciptakan
oleh Wilhelm Stekel pada 1920an. Parafilia merupakan istilah untuk segala
sesuatu mengenai kebiasaan seksual, gairah seksual, atau kepuasan terhadap
perilaku seksual yang tidak lazim dan ekstrim.1
Parafilia adalah gangguan seksual yang ditandai oleh khayalan seksual
yang khusus dan desakan dan praktek seksual yang kuat yang biasanya berulang
kali dan menakutkan bagi seseorang. Khayalan yang khusus, dengan komponen
sadar dan bahwa sadarnya, adalah elemen yang patognomonik, rangsangan
sensual dan orgasme merupakan fenomena yang berhubungan. Pengaruh khayalan
dan manifestasi perilakunya adalah melebihi lingkungan seksual untuk meresap
ke kehidupan seseorang. Fungsi utsms perilaku seksual bagi manusia adalah untuk
membentuk ikatan, untuk mengekspresikan dan meningkatkan cinta antara dua
orang, dan untuk mendapatkan keturunan (prokreasi). Parafilia adalah perilaku
menyimpang yang disembunyikan oleh pelakunya, tampak mengabaikan atau
menyakiti orang lain, dan merusak kemungkinan ikatan antara orang-orang.
Rangsangan parafilik mungkin bersifat sementara pada beberapa orang yang
melakukan impulsnya hanya selama periode stress atau konflik.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI
Parafilia (paraphilia) berasal dari bahasa Yunani yaitu para yang
artinya "pada sisi lain", dan philos yang artinya "mencintai".2 Parafilia
adalah sekelompok gangguan yang mencakup ketertarikan seksual
terhadap objek yang tidak wajar atau aktivitas seksual yang tidak pada
umumnya. Dengan kata lain, terdapat deviasi (para) dalam ketertarikan
seseorang (filia).6
Mengacu kepada Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorder, Fourth Edition, Text Revision (DSM-IV-TR) dan International
Classification of Mental Diseases (ICD-10th), parafilia diartikan sebagai
gangguan seksual yang memiliki karakteristik yaitu berulang, terus
menerus, secara seksual membangkitkan fantasi, keinginan, atau kebiasaan
seksual yang melibatkan (1) objek selain manusia, (2) penderitaan atau
penghinaan terhadap diri sendiri atau pasangan, atau (3) anak-anak atau
orang lain yang tidak diizinkan yang terjadi selama periode 6 bulan
(kriteria A) dan menyebabkan gangguan klinis yang signifikan atau
penurunan sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya (kriteria B).3,7
Sedangkan menurut PPDGJ gangguan preferensi seksual yaitu
diagnosis dengan kode F65.4 Parafilia termasuk ke dalam golongan
preferensi seksual (F65) dan problem yang berhubungan dengan orientasi
seksual (F66.-) tidak termasuk dalam golongan ini.5

2.2. EPIDEMIOLOGI
Parafilia dipratekkan oleh sejumlah kecil populasi. Tetapi, sifat
gangguan yang berulang menyebabkan tingginya frekuensi kerusakan
akibat tindakan parafilia. Di antara kasus parafilia yang dikenali secara
hukum, pedofilia adalah jauh lebih sering dibandingkan yang lainnya. 10-
20% dari semua anak pernah menjadi korban pada usia 18 tahun.

3
Voyeurisme memiliki resiko yang tidak besar. 20% wanita dewasa telah
menjadi sasaran orang dengan ekshibisionisme dan voyeurisme.
Masokisme seksual dan sadisme seksual kurang terwakili dalam perkiraan
prevalensi yang ada. Zoofilia merupakan kasus yang jarang.2,7,8
Lebih dari 80% penderita parafilia memiliki onset sebelum usia 18
tahun. Pasien parafilia umunya memiliki 3 sampai 5 parafilia baik yang
bersamaan atau pada saat terpisah. Kejadian perilaku parafilia memuncak
pada usia antara 15 dan 25 tahun, dan selanjutnya menurun. Parafilia
jarang terjadi pada pria umur 50 tahun, kecuali mereka tinggal dalam
isolasi atau teman yang senasib.8

2.3. KLASIFIKASI
1. Parafilia Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorder, Fourth Edition, Text Revision (DSM-IV-TR)3
 Ekshibisionisme
 Fetishisme
 Frotteurisme
 Pedofilia
 Masokisme Seksual
 Sadisme Seksual
 Voyeurisme
 Fetishisme Transvestik
 Parafilia yang Tidak Ditentukan
2. F65. Gangguan Preferensi Seksual Menurut Pedoman
Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia Edisi III
(PPDGJ-III)5
 F65.0 Fetishisme
 F65.1 Transvestisme Fetishistik
 F65.2 Ekshibisionisme
 F65.3 Voyeurisme

4
 F65.4 Pedofilia
 F65.5 Sadomasokisme
 F65.6 Gangguan Preferensi Seksual Multipel
 F65.8 Gangguan Preferensi Seksual Lainya
 F65.9 Gangguan Preferensi Seksual YTT

2.4. ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI


1. Faktor Psikososial
Dalam model psikoanalitik klasik, seseorang dengan parafilia
adalah orang yang gagal untuk menyelesaikan proses perkembangan
normal ke arah penyesuaian heteroseksual, tetapi model tersebut telah
dimodifikasi oleh pendekatan psikoanalitik. Kegagalan untuk
menyelesaikan krisis oedipal dengan mengidentifikasi agresor ayah (untuk
laki-laki) atau agresor ibu (untuk perempuan) menyebabkan identifikasi
yang tidak sesuai dengan orang tua yang berlawanan jenis kelamin atau
pemilihan objek yang tidak tepat untuk penyaluran libido. Eksibisionisme
dapat merupakan suatu upaya menenangkan kecemasan mereka akan
kastrasi. Kecemasan kastrasi membuat eksibisionis meyakinkan diri
sendiri tentang maskulinitasnya kepada orang lain.7,8
Apa yang membedakan satu parafilia dengan parafilia lainnya
adalah metode yang dipilih oleh seseorang (biasanya laki-laki) untuk
mengatasi kecemasan yang disebabkan oleh: (1) kastrasi oleh ayah, dan
(2) perpisahan dengan ibu. Bagaimanapun kacaunya manifestasi, perilaku
yang dihasilkan memberikan jalan keluar untuk dorongan seksual dan
agresif yang seharusnya disalurkan ke dalam perilaku seksual yang tepat.
Berdasarkan teori ini terdapat beberapa penyebab parafilia. Freud
dan koleganya mengajukan bahwa beberapa parafilia dapat disebabkan oleh
penyimpangan dari fase courtship. Normalnya, fase ini akan berujung pada
proses mating pada pria dan wanita. Fase ini dimulai dari masa remaja dan
dengan/atau tanpa adanya sexual intercourse pada tahap awal
perkembangan seksual.

5
Fase Definitif Courtship
a) Locating partner potensial ( fase inisial dari courtship.
b) Pretactile interaction( berbicara, main mata, dan sebagainya.
c) Tactile interaction ( memegang, memeluk, dan sebagainya.
d) Effecting genital union( sexual intercourse.
Teori lain mengaitkan timbulnya parafilia dengan pengalaman diri
yang mengondisikan atau mensosialisasikan anak melakukan tindakan
parafilia. Awitan tindakan parafilia dapat terjadi akibat orang meniru
perilaku mereka berdasarkan perilaku orang lain yang melakukan tindakan
parafilia, meniru perilaku seksual yang digambarkan media, atau
mengingat kembali peristiwa yang memberatkan secara emosional di masa
lalu. Teori pembelajaran menunjukkan bahwa karena mengkhayalkan
minat parafilia dimulai pada usia dini dan karena khayalan serta pikiran
pribadi tidak diceritakan kepada orang lain, penggunaan dan
penyalahgunaan khayalan dan dorongan parafilia terus berlangsung tanpa
hambatan sampai usia tua.2,7,8

2. Faktor Biologis
Beberapa studi mengidentifikasi temuan organik abnormal pada
orang dengan parafilia. Di antara pasien yang dirujuk ke pusat medis
besar, yang memiliki temuan organik positif mencakup 74% pasien dengan
kadar hormone abnormal, 27% dengan tanda neurologi yang ringan atau
berat, 24% dengan kelainan kromosom, 9% dengan kejang, 9% dengan
disleksia, 4% dengan EEG abnormal, 4% dengan gangguan jiwa berat, 4%
dengan cacat mental. Tes psikofisiologis telah dikembangkan untuk
mengukur ukuran volumemetrik penis sebagai repon stimulasi parafilia
dan nonparafilia. Prosedur dapat digunakan dalam diagnosis dan
pengobatan, tetapi memiliki keabsahan diagnostik yang diragukan karena
beberapa laki-laki dapat menekan respon erektilnya.2
Karena sebagian besar orang yang mengidap parafilia adalah laki-
laki, terdapat spekulasi bahwa androgen berperan dalam gangguan ini.

6
Berkaitan dengan perbedaan dalam otak, suatu disfungsi pada lobus
temporalis dapat memiliki relevansi dengan sejumlah kecil kasus
eksibisionisme.8

3. Teori Behavioural (Kelakuan)


Berdasarkan teori ini, parafilia disebabkan oleh proses conditioning.
Jika objek nonseksual dipakai sering dan diulang-ulang untuk aktivitas
seksual maka akan mengakibatkan objek tersebut menjadi sexually
arousing. Tidak harus dengan adanya dorongan positif tapi bisa disebabkan
oleh dorongan negatif. Misalnya jika anak laki-laki suka membanggakan
penisnya ketika ereksi maka ibunya akan memarahinya, akibat dari itu, anak
merasa bersalah dan malu dengan kelakuan seksual normal.
Pedofilia, ekshibisionisme dan vouyerisme merupakan akibat dari
perilaku yang beresiko dilakukan secara berulang-ulang. Conditioning
bukan satu-satunya hal yang berperan pada perkembangan parafilia. Hal
yang juga berpengaruh adalah kepercayaan diri yang rendah. Ini sering
dijumpai pada pasien parafilia.7

4. Teori Dawkin (Teori Transmisi Gen)


Parafilia dipengaruhi oleh lingkungan dan genetik. Contohnya
kebanyakan orang akan mendapatkan orgasme yang pertama pada
prepubertas tetapi ada beberapa orang dapat terjadi sebelum periode
prepubertas. Ada sedikit orang yang tanpa adanya stimulus eksternal bisa
mengalami orgasme, orang ini biasanya memiliki dorongan seksual yang
tinggi saat bayi (sonogram menunjukkan bayi memegang penisnya dalam
uterus). Anak yang aktif secara seksual pada usia muda akan cenderung
aktif secara seksual pada remaja. Hal ini dipengaruhi oleh DNA dan akan
diturunkan kepada anak- anaknya.7

7
5. Perspektif Psikodinamika pada Parafilia
Parafilia dipandang oleh para teoretikus psikodinamika sebagai
tindakan defensif, melindungi ego agar tidak menghadapi rasa takut dan
memori yang direpres dan mencerminkan fiksasi di tahap pregenital dalam
perkembangan psikoseksual. Orang yang mengidap parafilia dipandang
sebagai orang yang merasa takut terhadap hubungan heteroseksual yang
wajar, bahkan terhadap hubungan heteroseksual yang tidak melibatkan
seks. Perkembangan sosial dan seksualnya (umumnya laki-laki) tidak
matang, tidak berkembang, dan tidak memadai untuk dapat menjalin
hubungan sosial dan heterosseksual orang dewasa pada umumnya.
Para teoritikus psikodinamika melihat banyak parafilia sebagai
pertahanan terhadap kecemasan kastrasi yang tersisa dari periode oedipal.
Pikiran akan hilangnya penis di dalam vagina secara tidak sadar
disamakan dengan kastrasi. Orang yang memiliki kelainan parafilia
memungkinkan menghindar dari ancaman kecemasan kastrasi ini dengan
memindahkan rangsangan seksual pada aktivitas yang lebih aman, sebagai
contoh, pakaian dalam, anak-anak, atau memperhatikan atau menonton
orang lain. Dengan melindungi penisnya di dalam pakaian wanita, pria
dengan fetishisme transvestik melakukan tindakan simbolis dari
pengingkaran bahwa wanita tidak mempunyai penis, dimana hal ini dapat
mengurangi kecemasan akan kastrasi dengan secara tidak wajar
memberikan bukti atas keselamatan wanita (dan dirinya sendiri). Rasa
terkejut dam kekuatan yang ditunjukkan oleh korban dari pria
ekshibionisme secara tidak sadar memberikan kepastian bahwa ia memang
memiliki penis.
Sadisme melibatkan pengidentifikasian, secara tidak sadar, pada
ayah penderita yang merupakan “pemicu” fantasi oedipal dan sadism
mengurangi kecemasan dengan memberikan kesempatan untuk
memainkan peran sebagai yang mengkastrasi. Beberapa teoritikus
psikoanalistik melihat masokisme sebagai cara untuk mengatasi perasaan
tentang seks yang saling bertentangan. Secara mendasar, seseorang merasa

8
bersalah akan seks, tetapi mampu akan menikmatinya sepanjang ia
dihukum karena melakukan itu. Orang lain memandang masokisme
sebagai pengarahan kedalam impuls agresif yang sebenarnya ditujukan
pada ayah yang berkuasa dan menakutkan, seperti seorang anak yang
merasa lega ketika hukumannya berakhir, penderita dengan senang
menerima penghinaan dan hukuman sebagai pengganti kastrasi.
Pandangan ini masih spekulatif dan kontroversial. Belun terdapat cukup
bukti langsung yang menunjukkan bahwa pria dengan parafilia memiliki
hambatan dalam mengatasi mengatasi kecemasan akan kastrasi.
Para teoretikus belajar menjelaskan parafilia dalam kaitannya
dengan conditioning dan observation learning. Sejumlah objek atau
aktivitas secara tidak sengaja dihubungkan dengan rangsangan seksual.
Objek atau aktivitas tersebut kemudian mendapatkan kapasitas untuk
menimbulkan rangsangan seksual. Sebagai contoh, seorang anak laki-laki
yang memandang stocking. Pencapaian orgasme karena hadirnya objek
menguatkan hubungan erotis yang ada, terutama ketika terjadi berulang
kali. Namun jika kelainan fetish terjadi karena hubungan mekanis, kita
dapat menduga orang akan mengembangkan fetish terhadap stimulus yang
dengan tanpa sengaja dan berulang kali di hubungkan dengan aktivitas
seksual, seperti sprei, bantal, bahkan langit-langit rumah. Tetapi tidak arti
dari stimulis memainkan peran utama. Perkembangan perilaku fetish dapat
tergantung pada pemberian arti erotis terhadap stimulus tertentu (seperti
pakaian dalam wanita) dengan melibatkan stimulus-stimulus tersebut
dalam fantasi seksual dan ritual masturbasi.
Fetish seringkali dapat dilacak pada masa kanak-kanak awal.
Reinisch menduga bahwa kesadaran akan rangsangan seksual atau respons
seksual (seperti ereksi) yang pertama kali dapat dihubungkan dengan
celana karet atau popok sehingga tercipta hubungan antara keduanya,
menandakan suatu tahap perkembangan fetish.
Seperti pola lain dari perilaku abnormal, parafilia melibatkan
faktor biologis, psikologis dan sosiokultural yang beragam. Money &

9
Lamacz mengembangkan hipnotis model multifaktorial yang melacak
perkembangan parafilia pada masa kanak-kanak. Mereka menyatakan
bahwa pengalaman dimasa kanak-kanak menggoreskan pola atau “peta
cinta”, yang mirip dengan program komputer di dalam otak untuk
menentukan jenis stimulus dan perilaku yang dapat merangsang seseorang
secara seksual. Pada kasus parafilia, peta cinta menjadi “rusak” karena
pengalaman traumatik pada masa kanak-kanak, seperti inses,
penganiayaan fisik, pengabdian, atau pola membesarkan anak yang
antiseksual secara keras. Namun tidak semua anak-anak yang mengalami
pengalaman seperti itu mengembangkan parafilia, juga tidak semua orang
dengan parafilia memiliki pengalaman traumatis seperti itu, mungkin
sejumlah anak lebih rentan untuk mengembangkan peta cinta yang rusak
dari pada yang lain. Penyebab yang pasti dari kerentaan tersebut masih
memerlukan penjelasan lebih lanjut.

2.5. MANIFESTASI KLINIS DAN PENEGAKAN DIAGNOSIS


a. Fetishisme
Fetishisme adalah kelainan yang dikarakteristikan sebagai
dorongan seksual hebat yang berulang dan secara seksual menimbulkan
khayalan yang dipengaruhi oleh objek yang bukan manusia.1,2,7
Pada fetishisme, dorongan seksual terfokus pada benda atau bagian
tubuh (seperti sepatu, sarung tangan, celana dalam, atau stocking) yang
secara mendalam dihubungkan dengan tubuh manusia. Pada penderita
fetishisme, penderita kadang lebih menyukai untuk melakukan aktivitas
seksual dengan menggunakan obyek fisik (jimat), dibanding dengan
manusia. Penderita akan terangsang dan terpuaskan secara seksual jika:1
1) Memakai pakaian dalam milik lawan jenisnya.
2) Memakai bahan karet atau kulit.
3) Memegang, atau menggosok-gosok atau membaui sesuatu,
misalnya sepatu bertumit tinggi.

10
Objek fetish sering digunakan untuk mendapatkan gairah selama
melakukan masturbasi, dorongan seksual tidak dapat terjadi jika
ketidakhadiran dari objek tersebut. Jika terdapat pasangan seksual,
pasangannya ditanya untuk memakai pakaian atau objek lain sesuai objek
fetishnya selama aktivitas seksual.2
Pedoman Diagnostik Fetishisme menurut PPDGJ–III5
 Mengandalkan pada beberapa benda mati (non-living object)
sebagai rangsangan untuk membangkitkan keinginan seksual dan
memberikan kepuasan seksual. Kebanyakan benda tersebut (object
fetish) adalah ekstensi dari tubuh manusia, seperti pakaian atau
sepatu.
 Diagnosis ditegakkan apabila object fetish benar-benar merupakan
sumber yang utama dari rangsangan seksual atau penting sekali
untuk respon seksual yang memuaskan.
 Fantasi fetihistik adalah lazim, tetapi tidak menjadi suatu gangguan
kecuali apabila menjurus kepada suatu ritual yang begitu memaksa
dan tidak semestinya sampai menggangu hubungan seksual dan
menyebabkan bagi penderitaan individu.
 Fetihisme terbatas hampir hanya pada pria saja.
Kriteria Diagnostik Fetishisme menurut DSM-IV 3
A. Selama waktu sekurangnya 6 bulan, terdapat khayalan yang
merangsang secara seksual, dorongan seksual, atau perilaku yang
berulang dan kuat berupa pemakaian benda-benda mati (misalnya,
pakaian dalam wanita).
B. Khayalan, dorongan seksual, atau perilaku yang menyebabkan
penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam
fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.
C. Objek fetish bukan perlengkapan pakaian wanita yang digunakan
pada “cross-dressing” (berpakaian lawan jenis) seperti pada
fetishisme transvestik atau alat-alat yang dirancang untuk tujuan
stimulasi taktil pada genital (misalnya sebuah vibrator).

11
b. Transvestisme Fetishistik
Transvestisme fetishistik adalah gejala keadaan seseorang yang
mencari rangsangan dan pemuasan seksual dengan memakai pakaian dan
berperan sebagai seorang dari seks yang berlainan.8 Cross-dressing
tersebut dapat berupa menggunakan salah satu bahan yang dipakai wanita
atau mengenakan pakaian wanita lengkap dan menampilkan diri sebagai
wanita di depan umum. Tujuan orang tersebut adalah untuk mencari
kepuasan seksual. Pria yang mengalami penyakit ini mengadakan
masturbasi pada waktu mengenakan pakaian wanita dan berfantasi
mengenai pria lain yang tertarik dengan pakaiannya. Seorang wanita
dikatakan mengalami kelainan ini jika mereka mengenakan pakaian laki-
laki untuk mencari kepuasan seksual.2
Pedoman Diagnostik Transvestisme Fetishistik menurut PPDGJ-III 5
 Mengenakan pakaian dari lawan jenis dengan tujuan pokok untuk
mencapai kepuasaan seksual
 Gangguan ini harus dibedakan dari fetishisme (F65.0) dimana
pakaian sebagai objek fetish bukan hanya sekedar dipakai, tetapi
juga untuk menciptakan penampilan seorang dari lawan jenis
kelaminnya. Biasanya lebih dari satu jenis barang yang dipakai dan
seringkali suatu perlengkapan yang menyeluruh, termasuk rambut
palsu dan tat arias wajah.
 Transvestisme fetishistik deibedakan dari transvestisme
transseksual oleh adanya hubungan yang jelas dengan bangkitnya
gairah seksual dan keinginan/hasrat yang kuat untuk melepaskan
baju tersebut apabila orgasme sudah terjadi dan rangsang seksual
menurun.
 Adanya riwayat transvestisme fetishistik biasanya dilaporkan
sebagai suatu fase awal oleh para penderita transeksualisme dan
kemungkinan merupakan suatu stadium dalam perkembangan
transseksualisme.

12
Kriteria Diagnostik Fetishisme Transvestik menurut DSM-IV3
A. Selama waktu sekurangnya 6 bulan, pada seorang laki-laki
heteroseksual, terdapat khayalan yang merangsang secara seksual,
dorongan seksual, atau perilaku yang berulang dan kuat berupa
”cross-dressing”.
B. Khayalan, dorongan seksual, atau perilaku menyebabkan
penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam
fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.

c. Ekshibisionisme
Eksibisionisme adalah dorongan berulang untuk menunjukkan alat
kelamin pada orang asing atau pada orang yang tidak menyangkanya.
Kegairahan seksual terjadi pada saat antisipasi terhadap pertunjukan
tersebut, dan orgasme didapatkan melalui masturbasi selama atau setelah
peristiwa. Dinamika laki-laki dengan eksibisionisme adalah untuk
menegaskan maskulinitas mereka dengan menunjukkan penis dan dengan
melihat reaksi korban seperti ketakutan, kaget, atau jijik.2
Pedoman Diagnostik Ekhibisionisme menurut PPDGJ-III5
 Kecenderungan yang berulang atau menetap untuk memamerkan
alat kelamin kepada asing (biasanya lawan jenis kelamin) atau
kepada orang banyak di tempat umum, tanpa ajakan atau niat untuk
berhubungan lebih akrab.
 Ekshibisionisme hampir sama sekali terbatas pada laki-laki
heteroseksual yang memamerkan pada wanita, remaja atau dewasa,
biasanya menghadap mereka dalam jarak yang aman di tempat
umum. Apabila yang menyaksikan itu terkejut, takut, atau
terpesona, kegairahan penderita menjadi meningkat.
 Pada beberapa penderita, ekshibisionisme merupakan satu-satunya
penyaluran seksual, tetapi pada penderita lainnya kebiasaan ini
dilanjutkan bersamaan (stimultaneously) dengan kehidupan seksual
yang aktif dalam suatu jalinan hubungan yang berlangsung lama,

13
walaupun demikian dorongan menjadi lebih kuat pada saat
menghadapi konflik dalam hubungan tersebut.
 Kebanyakan penderita ekshibisionisme mendapatkan kesulitan
dalam mengendalikan dorongan tersebut dan dorongan ini bersifat
“ego-alien” (suatu benda asing bagi dirinya).
Kriteria Diagnosik Eksibisionisme menurut DSM-IV3
A. Selama waktu sekurangnya 6 bulan, terdapat khayalan yang
merangsang secara seksual, dorongan seksual, atau perilaku yang
berulang dan kuat berupa memamerkan alat kelaminnya sendiri
kepada orang yang tidak dikenal dan tidak menduga.
B. Khayalan, dorongan seksual, atau perilaku menyebabkan
penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam
fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.

d. Voyeurisme
Istilah voyeurisme, dari kata Perancis berarti melihat, mengacu
pada keinginan untuk memandang tindakan dan ketelanjangan hubungan
seks.2 Voyeurisme adalah preokupasi rekuren dengan khayalan dan
tindakan yang berupa mengamati orang lain yang telanjang atau sedang
berdandan atau melakukan aktivitas seksual. Gangguan ini juga dikenal
sebagai skopofilia. Masturbasi sampai orgasme biasanya terjadi selama
atau setelah peristiwa.2 Voyeurisme ini merupakan kegiatan mengintip
yang menggairahkan dan bukan merupakan aktivitas seksual dengan orang
yang dilihat. Sebagian besar pelaku voyeurisme ialah dari golongan pria.8
Pedoman Diagnostik Voyeurisme menurut PPDGJ-III5
 Kecenderungan yang berulang atau menetap untuk melihat orang
yang sedang berhubungan seksual atau berperilaku intim seperti
sedang menanggalkan pakaian.
 Hal ini biasanya menjurus kepada rangsangan seksual dan
mastrubasi, yang dilakukan tanpa orang yang diintip
menyadarinya.

14
Kriteria Diagnostik Voyeurisme menurut DSM-IV3
A. Selama waktu sekurangnya 6 bulan, terdapat khayalan yang
merangsang secara seksual, dorongan seksual, atau perilaku yang
berulang dan kuat berupa mengamati orang telanjang yang tidak
menaruh curiga, sedang membuka pakaian, atau sedang melakukan
hubungan seksual.
B. Khayalan, dorongan seksual, atau perilaku menyebabkan
penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam
fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.

e. Pedofilia
Kata pedofilia sendiri berasal dari bahasa Yunani yaitu paidophilia
(παιδοφιλια), pais (παις, "anak-anak") dan philia (φιλια, "cinta yang
bersahabat" atau "persahabatan"). Di zaman modern, pedofil digunakan
sebagai ungkapan untuk "cinta anak" atau "kekasih anak" dan sebagian
besar dalam konteks ketertarikan romantis atau seksual.(14) Pedofilia juga
merupakan gangguan psikoseksual, yang mana fantasi atau tindakan
seksual dengan anak-anak prapubertas merupakan cara untuk mencapai
gairah dan kepuasan seksual. Perilaku ini mungkin diarahkan terhadap
anak-anak berjenis kelamin sama atau berbeda dengan pelaku. Beberapa
pedofil tertarik pada anak laki-laki maupun perempuan. Sebagian pedofil
ada yang hanya tertarik pada anak-anak, tapi ada pula yang juga tertarik
dengan orang dewasa dan anak-anak.2,9
Pedoman Diagnostik Pedofilia menurut PPDGJ–III5
 Preferensi seksual terhadap anak-anak, biasanya prapubertas atau
awal masa pubertas, baik laki-laki maupun perempuan.
 Pedofilia jarang ditemukan pada perempuan.
 Preferensi tersebut harus berulang dan menetap.
 Termasuk: laki-laki dewasa yang mempunyai preferensi partner
seksual dewasa, tetapi karena mengalami frustasi yang kronis
untuk mencapai hubungan seksual yang diharapkan, maka
kebiasaanya beralih kepada anak-anak sebagai pengganti.

15
Kriteria Diagnostik Pedofilia menurut DSM-IV3
A. Selama waktu sekurangnya 6 bulan, terdapat khayalan yang
merangsang secara seksual, dorongan seksual, atau perilaku yang
berulang dan kuat berupa aktivitas seksual dengan anak
prapubertas atau anak-anak (biasanya berusia 13 tahun atau
kurang).
B. Khayalan, dorongan seksual, atau perilaku menyebabkan
penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam
fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.
C. Orang sekurangnya berusia 16 tahun dan sekurangnya berusia 5
tahun lebih tua dari anak, atau anak-anak dalam kriteria A.

f. Sadomasokisme
Sadomasokisme adalah gangguan seksual yang ditandai dengan
aktivitas seksual yang melibatkan penghinaan atau penyiksaan dimana
individu yang terlibat mendapatkan kepuasan seksual dari aktivitas
tersebut. Namun, harus dibedakan antara kebrutalan yang berhubungan
dengan erotisme dan yang tidak. Sadomasokisme dibagi menjadi dua,
yaitu sang pelaku yang disebut sadisme dan resipien yang disebut
masokisme.5

- Masokisme Seksual
Istilah masokisme diambil dari nama Leopold Sacher-Masoch, seorang
penulis novel abad-19 dari Austria yang karakternya dalam
mendapatkan kesenangan seksual karena disiksa atau didominasi oleh
wanita. Menurut DSM-IV, orang dengan masokisme seksual memiliki
preokupasi yang rekuren dengan desakan dan fantasi seksual karena
dihina dipukul, diikat, atau hal lain yang menyebabkan penderitaan.
Masokisme seksual lebih sering dilakukan oleh laki-laki dibandingkan
wanita. Freud percaya bahwa masokisme dihasilkan dari khayalan
destruktif yang dikembailkan kepada diri sendiri. Pada beberapa kasus,

16
seseorang dapat membiarkan dirinya mengalami perasaan seksual
hanya jika mereka dihukum. Orang dengan masokisme seksual
mungkin memiliki pengalaman masa anak-anak yang mengesankan
bagi mereka bahwa rasa sakit diperlukan untuk kenikmatan seksua.
Sekitar 30% masokisme juga memiliki khayalan sadistik.4
Kriteria Diagnostik Masokisme Seksual menurut DSM-IV3
A. Selama waktu sekurangnya 6 bulan, terdapat khayalan yang
merangsang secara seksual, dorongan seksual, atau perilaku
yang berulang dan kuat berupa tindakan (nyata atau
distimulasi) sedang dihina, dipukuli, diikat, atau hal lain yang
membuat menderita.
B. Khayalan, dorongan seksual, atau perilaku yang menyebabkan
penderitaan bermakna secara klinis atau gangguan dalam
fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.3

- Sadisme Seksual
Menurut teori psikoanalitik, sadisme adalah suatu pertahanan terhadap
ketakutan akan kastrasi orang dengan sadisme seksual melakukan
suatu hal kepada orang lain apa yang mereka takuti. Kenikmatan
didatangkan dari pengekspresian insting agresif. Onset sadisme seksual
biasanya sebelum usia 18 tahun, dan sebagian besar adalah laki-laki.
Istilah sadisme diambil dari nama Marquis de Sade, seorang penulis
Perancis abad ke-18, yang berulang kali dipenjarakan karena tindak
kekerasan seksual. Sadisme seksual berhubungan dengan pemerkosaan
yang biasanya berakhir dengan membunuh korbannya. Pada banyak
kasus, orang dengan sadisme seksual menderita skizofrenia yang
mendasarinya. Jhon Money menuliskan lima penyebab sadisme
seksual: predisposisi herediter, malfungsi hormonal, hubungan
patologis, riwayat penyiksaan seksual, dan gangguan mental lainnya.4

17
Kriteria Diagnostik Sadisme Seksual menurut DSM-IV3
A. Selama waktu sekurangnya 6 bulan, terdapat khayalan yang
merangsang secara seksual, dorongan seksual, atau perilaku
yang berulang dan kuat berupa tindakan (nyata atau
distimulasi) dimana penderitaan korban secara fisik atau
psikologis (termasuk penghinaan) adalah menggembirakan
pelaku secara seksual.
B. Khayalan, dorongan seksual, atau perilaku yang menyebabkan
penderitaan bermakna secara klinis atau gangguan dalam
fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.3

Pedoman Diagnostik Sadomasokisme menurut PPDGJ-III5


 Preferensi seksual terhadap aktivitas seksual yang melibatkan
pengikatan atau menimbulkan rasa sakit atau penghinaan;
(individu yang lebih suka untuk menjadi resipien dari
perangsangan demikian disebut “masochism”, sebagai pelaku
“sadism”).
 Seringkali individu mendapatkan rangsangan seksual dari
aktivitas sadistik maupun masokistik.
 Kategori ini hanya digunakan apabila aktivitas sadomasokistik
merupakan sumber rangsangan yang penting untuk pemuasan
seks.
 Harus dibedakan dari kebrutalan dalam hubungan atau
kemarahan yang tidak berhubungan dengan erotisme.

g. Gangguan Preferensi Seksual Multipel5


Gangguan preferensi seksual multipel adalah kombinasi dari
gangguan preferensi seksual. Kombinasi yang paling sering adalah
fetishisme, transvestisme, dan sadomasokisme.

18
h. Gangguan Preferensi Seksual lainnya4
Skatologia telepon dan komputer
Skatologia telepon memiliki karakteristik berupa keinginan untuk
menelepon yang melibatkan teman yang tidak dikenal. Ketegangan dan
gairah yang dimulai saat menelpon, penerima telepon yang mendengarkan
suara penelepon (biasanya laki-laki) yang mengekspos keinginan atau
obrolan tentang aktivitas seksual yang merangsang. Perbincangan akan
disertai dengan masturbasi dan akan berhenti jika telepon dimatikan.
Para pelaku juga sering menggunakan jaringan interaktif komputer,
terkadang secara impulsif, untuk mengirimkan pesan melalui email dengan
tujuan menyalurkan pesan dan video seksual secara eksplisit. Adanya
pelaku anoimitas pada pengguna forum obrolan online yang menggunakan
nama samaran, cybersex dapat membuat pelaku memainkan peran lawan
jenis, yang dapat menjadi metode alternatif untuk mengekspresikan fantasi
transseksualnya. Bahaya pada cybersex online, para pelaku pedofil sering
berhubungan dengan anak-anak atau remaja yang dapat terpengaruh
dengan mereka. Beberapa kontak online berkembang menjadi pertemuan
langsung. Meskipun beberapa pertemuan menjadi hubungan yang
bermakna, tetapi kebanyakan dipenuhi dengan kekecewaan dan disilusi
karena tidak sesuai dengan ekspektasi pelaku. Pada situasi lain, beberapa
pelaku dewasa yang bertemu tersebut dapat memperkosa bahkan
membunuh korbannya.

Nekrofilia
Nekrofilia adalah obsesi seksual yang dicapai dari mayat.
Kebanyakan orang dengan kelainan ini, muncul keinginannya saat
bertemu di kamar mayat, tetapi beberapa juga diketahui dapat menggali
kubur atau membunuh telebih dahulu untuk memenuhi nafsu seksualnya.
Para pelaku percaya bahwa mereka dapat menimbulkan penghinaan yang
besar terhadap korbannya.

19
Partialisme
Partialisme adalah gangguan seksual pada satu bagian tubuh.
Kontak mulut-genital, seperti cunnilingus (kontak oral dengan genitalia
eksterna wanita), fellasio (kontak oral dengan penis), analingus (kontak
oral dengan anus) normal biasanya berhubungan dengan pemansan seksual
(fore play). Freud menyatakan bahwa permukaan mukosa tubuh bersifat
erotogenik dan mampu menghasilkan sensasi yang menyenangkan. Ketika
pelaku tidak dapat melakukan atau menolak koitus dan aktivitas tersebut
sebagai satu-satunya sumber pemuasan kebutuhan seksual maka disebut
dengan parafilia atau oralisme.

Zoofilia
Zoofilia, biasanya pada hewan-hewan terlatih bisa menjadi fantasia
tau gairah seksual, termasuk persetubuhan, masturbasi, kontak genital-
oral. Zoofilia berupa parafilia yang terorganisir jarang terjadi. untuk
beberapa orang, hewan-hewan domestik sering digunakan untuk
memuaskan gairah seksual. Hubungan seksual dengan hewan biasanya
terjadi pada tempat yang memiliki peraturan yang keras tentang seksual
sebelum menikah dan tempat isolasi. Karena masturbasi dapat terjadi di
berbagai situasi, predileksi untuk kontak terhadap hewan, dapat
menimbulkan kesempatan timbulnya zoofilia.

Koprofilia
Koprofilia adalah kepuasan seksual yang berhubungan dengan
keinginan defekasi dengan pasangannya, atau didefekasi atau memakan
kotoran pasangannya (koprofagia). Varian lain adalah adanya kelainan
kompulsif berupa mengutarakan kata-kata kotor (koprolalia).

Urofilia
Urofilia adalah bentuk erotisisme uretral dimana kesenangan
seksual berhubungan dengan keinginan untuk mengencingi atau

20
dikencingi. Pada wanita dan laki-laki kelainan dapat berhubungan dengan
teknik masturbasi yang melibatkan insersi benda asing ke dalam uretra
untuk kepuasan seksual.

i. Gangguan Preferensi Seksual YTT3,4,5,7


Gangguan preferensi seksual yang tidak ditentukan adalah
gangguan seksual yang tidak dapat dikalsifikasikan sebagai disfungsi
seksual atau parafilia. Gangguan yang tidak terklasifikasikan ini jarang,
tidak tercatat dengan baik, tidak mudah diklasifikasikan, atau tidak
dijelaskan secara spesifik dalam DSM-IV.

2.6. DIAGNOSIS BANDING


Perlu dibedakan antara gangguan preferensi seksual dengan yang
hanya coba-coba dimana tindakan dilakukan untuk mengetahui efek baru
dan tidak secara rekuren dan kompulsif. Beberapa gangguan preferensi
seksual adalah bagian dari gangguan mental lain, seperti skizofrenia.4

2.7. PENATALAKSANAAN
Non Medikamentosa
a. Psikoterapi
Psikoterapi berorientas tilikan adalah pendekatan yang paling
sering digunakan untuk mengobati gangguan preferensi seksual. Pasien
memiliki kesempatan untuk mengerti dinamikanya sendiri dan peristiwa
yang menyebabkan perkembangan gangguan preferensi seksual. Secara
khusus, mereka menjadi menyadari peristiwa sehari-hari yang
menyebabkan mereka bertindak atas impulsnya. Psikoterapi juga
memungkinkan pasien meraih kembali harg diringa dan memperbaiki
kemampuan interpersonal dan menemukan metode yang dapat diterima
untuk mendapatkan kepuasan seksual.4,7,8

21
b. Terapi Seks
Terapi seks adalah pelengkap yang tepat untuk pengobatan pasien
yang menderita disfungsi seksual tertentu dimana mereka mencoba
melakukan aktivitas seksual yang tidak menyimpang.4,7
c. Terapi Perilaku
Terapi perilaku digunakan untuk memutus pola gangguan
preferensi seksual yang dipelajari. Stimuli yang menakutkan, seperti
kejutan listrik atau bau menyengat, telah dipasangkan dengan impuls
tersebut, yang selanjutnya menghilang. Stimuli dapat diberikan oleh diri
sendiri dan digunakan oleh pasien bilamana mereka merasa bahwa mereka
akan bertindak atas dasar impulsnya.4,8

Medikamentosa
Terapi obat, termasuk medikasi antipsikotik dan antidepresan,
dapat diindikaskan sebagai pengobatan skizofrenia atau gangguan depresif
jika disertai dengan gangguan tersebut. Antiandrigen, seperti cyproterone
acetate di Eropa dan medroxyprogesterone acetate (Depo-Provera) di
Amerika Serikat, telah digunakan secara eksperimental pada gangguan
preferensi seksual hiperseksual. Beberapa kasus telah melaporkan
penurunan perilaku seksual. Medroxyprogesterone acetate tampaknya
bermanfaat bagi pasien yang dorongan hiperseksualnya (contonya,
masturbasi hamper terus menerus, kontak seksual pada tiap kesempatan,
seksualitas kompulsif) di luar kendali atau berbahaya. Obat serotogenik
seperti fluoxetin (Prozac) telah digunakan pada beberapa kasus gangguan
preferensi seksual dengan keberhasilan yang terbatas.4,7

2.8. Prognosis
Prognosis untuk gangguan preferensi seksual berhubungan dengan
onset usia yang awal, tingginya frekuensi tindakan, tidak adanya rasa
bersalah atau malu terhadap tindakan tersebut, dan penyalahgunaan zat.
Prognosis baik bila pasien memiliki motivasi yang tinggi untuk berubah,
dan jika pasien datang sendiri bukan karena dibawa oleh keluarga.4

22
BAB III
KESIMPULAN

Gangguan preferensi seksual atau disebut juga parafilia adalah


sekelompok gangguan yang mencakup ketertarikan seksual terhadap objek yang
tidak wajar atau aktivitas seksual yang tidak pada umumnya. Menurut DSM-IV-
TR, parafilia diartikan sebagai gangguan seksual yang memiliki karakteristik yaitu
berulang, terus menerus, secara seksual membangkitkan fantasi, keinginan atau
kebiasaan seksual yang melibatkan (1) objek selain manusia, (2) penderitaan atau
penghinaan terhadap diri sendiri atau pasangan, atau (3) anak-anak atau orang lain
yang tidak diizinkan yang terjadi selama periode 6 bulan (kriteria A) dan
menyebabkan gangguan klinis yang signifikan atau penurunan sosial, pekerjaan,
atau bidang-bidang penting lainnya berfungsi (kriteria B).
Etiologi parafilia masih belum diketahui secara pasti, namun ada beberapa
faktor yang dapat memicu timbulnya perilaku parafilia pada seseorang antara lain
faktor psikososial dimana parafilia dapat terjadi akibat orang meniru perilaku
mereka berdasarkan perilaku orang lain yang melakukan tindakan parafilia,
meniru perilaku seksual yang digambarkan media, atau mengingat kembali
peristiwa yang memberatkan secara emosional di masa lalu. Selain itu faktor
biologis akibat berlebihannya hormon androgen juga berperan dalam memicu
terjadinya perilaku parafilia.
Berdasarkan PPDGJ III, gangguan preferensi seksual (F65) dibagi
menjadi:
 F65.0 Fetihisme: Dorongan seksual terfokus pada benda atau bagian tubuh
(seperti, sepatu, sarung tangan, celana dalam, atau stoking) yang secara
mendalam dihubungkan dengan tubuh manusia
 F65.1 Tranvetisme Fetihistik: Mengenakan pakaian dari lawan jenis
dengan tujuan pokok untuk mencapai kepuasaan seksual
 F65.2 Ekshibisionisme: Dorongan berulang untuk menunjukkan alat
kelamin pada orang asing atau pada orang yang tidak menyangkanya

23
 F65.3 Voyeurisme: Kecenderungan yang berulang atau menetap untuk
melihat orang yang sedang berhubungan seksual atau berperilaku intim
seperti sedang menanggalkan pakaian.
 F65.4 Pedofilia: Preferensi seksual terhadap anak-anak, biasanya pra-
pubertas atau awal masa pubertas, baik laki-laki maupun perempuan
 F65.5 Sadomasokisme: Gangguan seksual yang ditandai dengan aktivitas
seksual yang melibatkan penghinaan atau penyiksaan dimana individu
yang terlibat mendapatkan kepuasan seksual dari aktivitas tersebut
 F65.6 Gangguan Preeferensi Seksual Multipel: Gangguan Preferensi
Seksual Multipel adalah kombinasi dari gangguan preferensi seksual.
Kombinasi yang paling sering adalah fetishisme, transvetisme, dan
sadomasokisme
 F65.8 Gangguan Preferensi Seksual Lainya: Meliputi skatologia telepon
dan komputer, nekrofilia, partialisme, zoofilia, koprofilia, urofilia
 F65.9 Gangguan Preferensi Seksual YTT: Meliputi disforia post coitus,
masalah pasangan seksual, unconsummated married, masalah citra tubuh,
Don Juanisme, nimfomania, penderitaan yang persisten dan nyata tentang
orientasi seksual.
Penatalaksanaan bagi pasien dengan gangguan preferensi seksual dibagi
menjadi non medikamentosa dan medikamentosa. Terapi non medikamentosa
dapat berupa psikoterapi, terapi seks, dan terapi perilaku. Sedangkan terapi
medikamentosa dapat diberikan obat golongan anti androgen seperti cyproterone
acetate dan medroxyprogesterone acetate.
Prognosis buruk apabila onset usia muda, tingginya frekuensi tindakan,
tidak adanya rasa bersalah atau malu terhadap tindakan tersebut, dan
penyalahgunaan zat. Prognosis baik bila pasien memiliki motivasi yang tinggi
untuk berubah, dan jika pasien datang sendiri bukan karena dibawa oleh keluarga.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Bannon, G.E. & Carroll, K.S. Paraphilias. 2008. Available from:


http://emedicine.medscape.com/article/291419-clinical [Accessed 26
December 2015].
2. Davison, G.C., Neale, J.M., Kring, A.M. Psikologi Abnormal. Edisi ke-9.
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada; 2006. p611-641.
3. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder Fourth Edition (DSM-
IV), American Psychiatric Association, Washington DC.
4. Sadock, BJ. Kaplan & Sadock’s Synopsis Of Psychiatry 10th ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2007. p.705-14.
5. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III
(PPDGJ-III), Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Pelayan
Medik, 1993.
6. Ebert MH, Loosen PT, and Nurcombe B. Current Diagnostic & Treatment
In Psychiatry. New York: Lange; 2003.
7. Thibaut F., Barra FDL., Gordon H. The World Federation of Societies of
Biological Psychiatry (WFSBP) Guidelines for the biological treatment of
paraphilias. The World Journal of Biological Psychiatry, 2010; 11: 604–655.
8. Patrick J. Marsh. Paraphilias in Adult Psychiatric Inpatients. Annals of
Clinical Psychiatry, 2010;22(2):129-134.
9. Michael B., Robert L. Use of DSM Paraphilia Diagnoses in Sexually
Violent Predator Commitment Cases. J Am Acad Psychiatry Law, 2008: 36:
443–54.

25

Anda mungkin juga menyukai