Anda di halaman 1dari 34

BAGIAN RADIOLOGI REFARAT

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

TRAUMA HEPAR

OLEH :
Tarni Restami Rustam
111 2018 2054
PEMBIMBING :
Dr. St. Nasrah Azis, Sp.Rad

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN RADIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Tarni Restami

NIM : 111 2018 2054

Judul Referat : Trauma Hepar

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian radiologi

Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia.

Makassar, 27 Agustus 2019

Mengetahui,

Supervisor Pembimbing

dr. St. Nasrah Azis. Sp.Rad


KATA PENGANTAR

Assalamu ‘Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya

sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan referat ini dengan judul

“Trauma Hepar” sebagai salah satu syarat menyelesaikan tugas kepanitraan klinik bagian

Radiologi di Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia.

Keberhasilan penyusunan referat ini adalah berkat bimbingan, kerja sama, serta

bantuan moril dan materil dari berbagai pihak yang telah diterima penulis sehingga segala

rintangan yang dihadapi dan penyusunan referat ini dapat terselesaikan dengan baik.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan memberikan penghargaan

yang setinggi-tingginya secara tulus dan ikhlas kepada yang terhormat dr. Nasrah Azis, Sp.Rad

selaku pembimbing dan penguji selama berada di bagian Radiologi.

Sebagai manusia biasa penulis menyadari sepenuhnya akan keterbatasan baik dalam

penguasaan ilmu, sehingga referat ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk saran dan kritik

yang sifatnya membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan demi penyempurnaan referat

ini. Akhirnya penulis berharap sehingga referat ini memberikan manfaat bagi pembaca.
Aamiin.

Wassalamu’alaikum wr.wb.

Makassar, 27 Agustus 2019

Penulis
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Trauma pada masyarakat masih menjadi penyebab kematian terbanyak terutama pada
masyarakat usia produktif yaitu <45 tahun. Lebih dari setengah pasien trauma merupakan akibat
kecelakaan lalu lintas, dan sisnaya akibat terjatuh, luka bakar, dan tenggelam. Trauma abdomen
menempati peringkat ketiga sebagai penyebab kematian setelah cedera kepala dan cedera dada.
Trauma abdomen yang tidak diketahui masih menjadi momok penyebab kematian yang
seharusnya bisa dicegah.1

Insidensi trauma tumpul atau tembus abdomen semakin bertambah. Hepar merupakan
salah satu organ yang paling sering mengalami cedera dan trauma tersebut sering menyebabkan
perdarahan. Didapatkan sekitar 30% menjalani laparotomi karena kerusakan hepar yang
disebabkan oleh trauma tembus dan 15-20% menjalani laparotomi akibat trauma tumpul
abdomen.3 Hampir 90% cedera hepar disebabkan oleh trauma tumpul pada pasien di Eropa.

Beberapa penelitian menunjukan bahwa tatalaksana untuk trauma hepar dalam tiga
decade terakhir telah banyak berubah dengan hasil luaran yang lebih baik, husunya dalam trauma
tumpul. Sebagian besar cedera hepar adalah grade I, II, atau dan III dan biasanya dapat diobati
hanya dengan observasi (Non Operative Management-NOM). Sebaliknya, 2/3 dari grade IV dan
V memerlukan laparotomy (Operative Management-OM). 2,3
1.2

BAB II

TINJUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Hepar

Hepar merupakan organ terbesar didalam tubuh, menempati hampir seluruh regio
hypochondrica dextra, sebagian besar epigastrium dan seringkali meluas sampai ke regio
hypochondrica sinistra sejauh linea mammilaria.4

Gambar 1. Letak hepar

Bentuknya seperti suatu pyramid bersisi tiga dengan basis menunjuk ke kanan sedangkan apeks
(puncak) nya ke kiri. Pada laki – laki dewasa beratnya 1400 – 1600 gram, perempuan 1200 –
1400 gram.ukuran melintang (transversal) 20 – 22,5 cm, vertikal 15 – 17,5 cm sedangkan ukuran
dorsoventral yang paling besar adalah 10 - 12,5 cm.
Gambar 2. Anatomi hepar

A. Permukaan Hepar
1. Facies diaphragmatica (facies superior) hepar, ialah permukaan hepar yang menghadap ke
diaphragma, dibedakan atas empat bagian, yaitu pars :

a) Anterior (pars ventralis)


b) Superior
c) Posterior
d) Dextra
Di sisi kanan, pars anterior dipisahkan oleh diaphragma dari costae dan cartilago costae VI-
X, sedangkan di sisi kiri dari costae dan cartilago costae VII-VIII. Seluruhnya tertutup oleh
peritoneum, kecuali disepanjang perlekatannya dengan ligamentum falciforme hepatis. Bagian
dari pars superior dekat jantung mempunyai cekungan yang dinamakan impresio (fossa)
cardiaca. Di sebelah kanan, pars posterior lebar dan tumpul sedangkan di sebelah kiri tajam.
Agak ke kanan bagian tengah terdapat sulcus venae cavae (ditempati oleh vena cava inferior).
Kira – kira 2-3 cm ke sebelah kiri vena cava inferior terdapat fissura ligamenta vensosi
(ditempati oleh ligamentum venosum arantii). Diantara keduanya terdapat lobus caudatus.11
Di sebelah kanan vena cava inferior terdapat suatu daerah berbentuk segitiga yang dinamakan
impressio suprarenalis. Di sebelah kiri fissura ligamenti venosi terdapat sulcus oesophagealis
yang ditempati oleh antrum cardiacum esophagus
Pada pars dorsalis facies diaphragmaticae terdapat suatu bagian yang tidak tertutup oleh
peritoneum dan melekat pada diaphragma melalui jaringan ikat longgar. Bagian tersebut
dinamakan area nuda hepatis (bare area of the liver) yang dibatasi oleh partes superior et inferior
ligamenti coronaria hepatis. Pars dextra bersatu dengan ketiga bagian lainnya dari facies
diaphragmatica.4

2. Facies visceralis (fascia inferior) hepar


Cekung dan menghadap ke dorsokaudal kiri, ditandai oleh adanya alur dan bekas alat yang
berhubungan dengan hepar. Facies visceralis tertutup peritoneum kecuali di tempat vesica fellea.
Alur – alur memberikan gambaran seperti huruf “H” dan dibentuk oleh :
a) Fossae sagitalis dextra et sinistra (kaki huruf “H”)
b) Porta hepatis (bagian yang melintang)
Fossa sagitalis sinistra (fisura longitudinalis) memisahkan lobus dextra dan lobus sinistra
hepatis. Porta hepatis memotong tegak lurus dan membaginya menjadi dua bagian, yaitu fissura
ligamenti teretis dan fossa duktus venosus. Fisura ligamenti teretis merupakan bagian ventral,
ditempati oleh ligamentum teres hepatis (embriologi berasal dari V. umbilikalis) dan terdapat
diantara lobus quadratus dan lobus sinister hepatis.11
Fossa ductus venosus terdapat dibagian dorsal diantara lobus caudatus an lobus sinistra
hepar. Ditempati oleh ligamentum venosum arantii (embriologik berasal dari ductus venosus
arantii).
Fossa sagitalis dextra dibagi oleh porta hepatis menjadi dua bagian, yaitu fossa vesiva fellea
(dibagian ventral, ditempati oleh vesika fellea) dan fossa vena cava inferior (di bagian dorsal
ditempati oleh ven cava inferior). Porta hepatis (fissura transversa) panjangnya kira – kira 5 cm,
memisahkan lobus quadratus disebelah ventral serta lobus caudatus dan proc. caudatus di dorsal.
Porta hepatis ditempati oleh :
1) Vena porta
2) Arteri hepatica
3) Ductus choledochus
4) Nervus hepaticus
5) Ductus lymphaticus
Vena porta, arteri hepatica dan ductus choledochus terbungkus oleh ligamentum hepato-
duodenale. Biasanya hepar dianggap mempunyai dua lobi, yaitu lobus dextra dan lobus sinistra
hepar.4

B. Lobus Dextra Hepatis


Lobus dextra 6 kali lebih besar daripada lobus sinistra hepatis dan menempati regio
hypocondrica dextra. Pada lobus dextra terdapat lobus quadratus dan lobus caudatus Spigeli.
Lobus quadratus terdapat diantara vesica fellea dan fissura ligamenti teretis, batasnya adalah:
Ventral : margo inferior hepar yaitu bagian yang tipis, tajam dan ditandai oleh adanya incisura
ligamenti teretis.
Dorsal : porta hepatis
Kanan : fossa vesica fellea
Kiri : fissura ligamenti teretis
Lobus caudatus Spigeli terdapat pada facies dorsalis lobus hepatis dextra setinggi vertebrae Th
X-XI, batas – batasnya :
Kaudal : porta hepatis
Kanan : fossa venae cava inferior
Kiri : fissura ligamenti venosi.

Proc. caudatus adalah penonjolan yang menghubungkan lobus caudatus dan lobus hepatis
dextra, membentang miring ke arah lateral dari tepi distal lobus caudatus ke facies visceralis
lobus hepatis dextra disebelah dorsal porta hepatis. 11

C. Lobus Sinistra Hepatis


Lebih kecil dan lebih rata dari lobus dextra, terletak di regio epigastrica dan regio
hypochondrica sinistra.
1. Hepatic Triad
Ductus choledochus, arteri hepatica dan vena porta yang terbungkus di dalam ligamentum
hepato-duodenale di sebelah ventral foramen epiploicum Winslowi membentuk suatu triad (tiga
serangkai) yang dinamakan hepatic triad, dengan susunan sebagai berikut :
1) Ductus choledochus
2) Vena porta
3) Arteri hepatica

D. Ligamentum Hepaticae
1. Merupakan lipatan peritoneum :

a) Ligamentum falciforme hepatis


b) Ligamentum coronaria hepatis
c) Ligamentum triangulare dextra
d) Ligamentum triangulare sinistra

2. Peninggalan embrional : ligamentum teres hepatis (dari vena umbilicalis)


Ligamentum falciforme hepatis dibentuk oleh dua lembaran peritoneum yang menjadi satu
ligamentum coronaria hepatis terdiri dari atas dua lembar, lembar dibagian dorsal berjalan ke ren
dan glandula suprarenalis dextra sehingga dinamakan ligamentum hepato-renalis.
Ligamentum triangulare dextra (ligamentum lateralis dextra) dibentuk oleh kedua lembaran
ligamentum coronaria hepatis. Ligamentum triangulare sinistra (ligamentum lateralis sinistra) di
sebelah kiri berakhir sebagai suatu ikat fibrosa yang kuat yang dinamakan appendix fibrosa
hepatis.4

Diantara hepar dan curvatura minor terdapat ligamnetum hepato-gastricum sedangkan dengan
duodenum dihubungkan oleh ligamentum hepato-duodenale.
Hepar difiksasi oleh :
a) Ligamentum coronaria hepatis
b) Ligamentum triangulare hepatis
c) Vena cava inferior

E. Vascularisasi hepar, yaitu :


a) Arteri hepatica
b) Vena porta
c) Vv. hepaticae

Dalam perjalanannya ke dalam parenkim hepar A. Hepatica dan V. Porta terbungkus didalam
capsula fibrosa Glissoni. Sedangkan persarafan hepar berasal dari :
a) Nn. Vagi dextra et sinistra
b) Plexus symphaticus coeliacus
Apparatus excretorius hepar adalah salurang yang berhubungan dengan penyaluran sekresi yang
dihasilkan oleh hepar, terdiri atas :
a) Ductus hepaticus
b) Vesica fellea
c) Ductus cysticus
d) Ductus choledochus
Ductus hepaticus dibentuk oleh ductus hepaticus dextra dan ductus hepaticus sinistra, masing –
masing berasal dari lobus hepatis dextra dan lobus hepatis sinistra. Bersama – sama dengan
ductus cysticus, ductus hepaticus membentuk ductus choleduchus.4

F. Zona Hepar
Gambar 3. Zona Hepar

Couinaud scheme :

Gambar A. Resin Corrosion cast (injected under water to eliminate the gravity. Pembagian
segmen hepar menjadi segmen kanan dan segmen kiri. Cabang kanan dari vena porta
diinjeksi dengan warna hijau, kiri dengan warna biru,vena hepatikum berwarna putih.
(A1) aspek inferior. Perbatasan antara hepar kanan dan kiri dapat diperkirakan dari
plane yang bergabunng dengan kantung empedu ke vena cava inferior (titik biru. (A2)
aspek anterior. Cabang tengah dari vena hepatic dapat terlihat di permukaan berwarna
putih. Gambaran ini tidak terlihat di permukaanhepar yang sebenanrnya dan tidak sesuai
dengan ligament falciform.

Gambar B. Divisi hepar dibagi menjadi 8 segmen. Cabang pertama vena porta kanan
dibagi menjadi 2 yaitu cabang untuk sector anterior (terbagi menjadi two third-order
cabang untuk segmen 5 dan 8) dan cabang sector posterior (segmen 6 dan 7). 5
2.2 Mekanisme Trauma Hepar

Cedera hepar secara luas dapat dikategorikan sebagai akibat dari mekanisme trauma baik
tumpul maupun tembus, dengan perilaku kekerasan dan kecelakaan lalu lintas sebagai kasus
tersering yang ditemukan di daerah UK. Terdapat pola distribusi yang jelas yang berlaku di
laporan Eropa mengenai mekanisme trauma tumpul, biasanya dihuni oleh pengendara motor
dibandingkan dengan jumlah trauma tembus yang lebih banyak di daerah Amerika Utara dan
Afrika Selatan.

Trauma tumpul menyebabkan deselarasi atau cedera crush, dengan desalarasi yang
menyebabkan perubahan posisi dari hepar dan crush menyebabkan kompresi langsung pada
parenkim hati. Perbedaan ini penting dimana cedera deselarasi cenderung membuat laserasi,
terutama di lobus kanan hepar, yang melibatkan adanya gangguan vaskular, sedangkan cedera
crush cenderung melibatkan bagian sentral hepar. Cedera hepar massif yang tidak terselamatkan
biasanya disebabkan oleh deselarasi berenergi tinggi yang menyebabkan gangguan vaskular
mayor atau avulsi hepar dari IVC.3,

Pada pasien dengan hemodinamik stabil, anamnesis yang teliti terhadap pasien, saksi, dan
pelayanan gawat darurat dapat menyediakan informasi yang berguna untuk memprediksi pola
yang paling potensial menyebabkan terjadinya cedera hepar.3

2.3 Klasifikasi

Lesi trauma hepar dapat diklasifikasikan sebagai minor (grade I, II), moderate (grade III) dan
mayor/berat (grade IV, V).3 tingkat keparahan dari cedera hepar berkisar dari yang minor yaitu
lesi subkapsular hingga ke avulse hepar yang tak terselamatkan. Skala cedera Hepar merupakan
system grade yang paling banyak digunakan dan dibuat oleh American Association for the
Surgery of Trauma (AAST). Skala tersebut mengklasifikasikan cedera dari grade I sampai VI
dimana grade I dan II bersifat minor dan biasanya ditatalaksana dengan cara non-operasi; lesi
tersebut terjadi sekitar 80-90% dari trauma hepar, sedangkan cedera hepar grade VI, dimana
terdapat avulsi hepar dari vaskular attachment, lebih jarang terjadi dan biasanya cenderung tidak
terselamatkan.3,6
Gambar 4. Organ Injury Scale

Klasifikasi ini tidak didefinisikan dengan baik dalam literature, namun klasifikasi ini
bertujuan untuk mendefinisikan jenis terapi yang dapat dilakukan dan hasil yang berkaitan.
Sebagian besar klasifikasi rendah berdasar AAST (grade I-III) dianggap sebagai lesi minor atau
moderate dan ditatalaksanai secara Non Operative Management-NOM. Beberapa pasien dengan
klasifikasi tinggi AAST (grade IV-V laserasi dengan disrupsi parenkimal melibatkan >75 lobus
hepar atau >3 segmen Couinaud dalam 1 lobus) yang mungkin memiliki hemodinamik stabil dan
ditatalksana dengan cara Non Operative Management-NOM. Disisi lain, pasien dengan lesi
minor dengan hemodinamik tidak stabil harus ditatalaksana dengan Operative Management-
OM.. Hal tersebut menunjukan bahwa klasifikasi dari cedera hepar sebagai minor atau mayor
harus dipertimbangkan tidak hanya klasifikasi berdasarkan anatomi AAST namun yang lebih
penting adalah status hemodinamik pasien, ISS dan cedera yang berkaitan.2,6ATLS
mendefinisikan kondisi tidak stabil tersebut apabila : TD <90 mmHg, HR >120 x/menit, dengan
adanya tanda vasokonstriksi (dingin, basah, CRT menurun), perubahan kesadaran dan atau napas
pendek.
Selain klasifikasi yang dibuat oleh AAST, terdapat juga klasifikasi cedera hepar yang dibuat oleh
Worls Society of Emergency Surgery (WSES). WSES membagi cedera hepar menjadi 3
klasifikasi, yaitu :2

1) Minor (WSES grade I)


2) Moderate (WSES grade II)
3) Severe (WSES grade III dan IV)

Klasifikasi tersebut mempertimbangkan baik klasifikasi dari AAST maupun status hemodinamik
dan lesi yang berhubungan.2

A. Cedera hepar minor


a. WSES grade I termasuk AAST grade I-II dengan hemodinamik stabil baik akibat
trauma tumpul maupun trauma tembus
B. Cedera hepar moderate
a. WSES grade II termasuk AAST grade III dengan hemodinamik stabil baik akibat
trauma tumpul atau trauma tembus.
C. Cedera hepar mayor/severe
a) WSES grade III termasuk AAST grade IV-VI dengan hemodinamik stabil baik akibat
trauma tumpul maupun trauma tembus
b) WSES grade IV termasuk AAST grade I-VI dengan hemodinamik tidak stabil baik akibat
trauma tumpul maupun trauma tajam.

Gambar 5. WSES Liver Trauma Classification


2.4 Diagnosis Trauma Hepar

Diagnosis dan penanganan yang tepat dari trauma abdomen merupakan unsur terpenting
dalam mengurangi kematian akibat trauma abdomen. Pada pasien trauma penilaian abdomen
merupakan suatu hal yang menarik. Penilaian sirkulasi saat survey awal harus mencakup deteksi
dini dari kemungkinan adanya perdarahan tersembunyi di dalam abdomen dan pelvis pada pasien
trauma tumpul. Trauma tajam pada dada diantara putting dan perineum harus dianggap potensial
menyebabkan cedera intraabdominal. Pada penilaian abdomen, prioritas maupun metode yang
terbaik sangat ditentukan oleh mekanisme trauma, berat dan lokasi trauma maupun status
hemodinamik penderita.1

Sebagian dokter menganggap bahwa rupture organ berongga atau perdarahan dari organ
padat akan menyebabkan peritonitis dan akan mudah diketahui tapi kenyataanya gejala fisik
yang tidak jelas, kadang ditutupi oleh nyeri (shadowed by pain) akibat trauma eksterna abdomen
dan dikaburkan oleh intoksikasi atau trauma kepala yang semuanya merupakan alasan utama
terlewatkanya diagnosis trauma abdomen. Pada sebagian pasien yang memerlukan tindakan
segera (emergency laparotomy) pada awalnya memiliki gejala yang tidak khas (benign physical
examination) sehingga jika tidak waspada akan dianggap sebagai tidak adanya trauma abdomen.1
Untuk dua mekanisme yang berbeda yaitu trauma tajam (penetrans) dan trauma tumpul (non
penetrans) terdapat pendekatan diagnostik yang berbeda. Adanya luka penetrasi saja sudah
menarik perhatian akan besarnya kemungkinan terjadi trauma pada organ intra abdominal,
sedangkan pada trauma tumpul biasanya terjadi multisistem trauma yang menyebab-kan
diagnosis lebih sulit ditegakkan. Agar hasil pemeriksaan baik, selain pemeriksaan fisik
diperlukan alat bantu diagnostik. Alat bantu utama yang ada saat ini ialah FAST, Diagnostic
Peritoneal Lavage (DPL), Computed Tomography (CT), Ultrasonography (USG), atau
Diagnostic Laparoscopy (DL).1

1. Anamnesis (riwayat trauma)


Mekanisme peristiwa trauma sangat penting dalam menentukan kemungkinan cedera organ
intra-abdomen. Semua informasi harus diperoleh dari saksi mata kejadian trauma, termasuk
mekanisme cedera, tinggi jatuh, kerusakan interior dan eksterior kendaraan dalam kecelakaan
kendaraan bermotor, kematian lainnya di lokasi kecelakaan, tanda vital, kesadaran, adanya
perdarahan eksternal, jenis senjata, dan seterusnya.
2. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan abdomen harus dilakukan dengan cara yang teliti dan sistematis dengan urutan :
inspeksi, auskultasi, perkusi dan palpasi. Penemuannya, positif atau negatif , harus direkam
dengan teliti dalam catatan medis.

Pada saat kedatangan ke rumah sakit, mekanisme dan pemeriksaan fisik biasanya akurat dalam
menentukan cedera intra-abdomen pada pasien dengan kesadaran yang terjaga dan responsif,
meskipun terdapat keterbatasan pemeriksaan fisik. Banyak pasien dengan perdarahan intra-
abdomen yang moderat datang dalam kondisi hemodinamik yang terkompensasi dan tidak
memiliki tanda-tanda peritoneal.

a) Inspeksi
Penderita harus ditelanjangi. Kemudian periksa perut depan dan belakang, dan juga bagian
bawah dada dan perineum, harus diperiksa untuk goresan, robekan, luka, benda asing yang
tertancap serta status hamil. Penderita dapat dibalikkan dengan hati – hati untuk mempermudah
pemeriksaan lengkap.4
b) Auskultasi
Melalui auskultasi ditentukan apakah bising usus ada atau tidak. Darah intraperitoneum yang
bebas atau kebocoran (ekstravasasi) abdomen dapat memberikan ileus, mengakibatkan hilangnya
bunyi usus. Cedera pada struktur berdektan seperti tulang iga, tulang belakang, panggul juga
dapat menyebabkan ileus meskipun tidak ada cedera di abdomen dalam, sehingga tidak adanya
bunyi usus bukan berarti pasti ada cedera intra-abdominal.4
c) Perkusi
Manuver ini menyebabkan pergerakan peritoneum, dan dapat menunjukkan adanya
peritonitis yang masih meragukan. Perkusi juga dapat menunjukan bunyi timpani akibat dilatasi
lambung akut di kuadran atas atau bunyi redup bila ada hemiperitoneum.4
d) Palpasi
Kecenderungan untuk menggerakan dinding abdomen (voluntary guarding) dapat
menyulitkan pemeriksaan abdomen. Sebaliknya defans muscular (involuntary guarding) adalah
tanda yang handal dari iritasi peritoneum. Tujuan palpasi adalah mendapatkan adanya dan
menentukan tempat dari nyeri tekan superfisial, nyeri tekan dalam atau nyeri lepas. Nyeri lepas
terjadi ketika tangan yang menyentuh perut dilepaskan tiba – tiba, dan biasanya menandakan
peritonitis yang timbul akibat adanya darah atau isi usus.4

2.5 Pemeriksaan Penunjang

Pasien hemodinamik stabil dengan trauma tumpul dan kondisi yang memadai dievaluasi oleh
studi USG abdomen atau CT, kecuali luka parah lain mengambil prioritas dan pasien harus pergi
ke ruang operasi sebelum evaluasi perut objektif. Dalam kasus seperti itu, peritoneal lavage
diagnostik biasanya dilakukan di ruang operasi untuk menyingkirkan cedera intra-abdomen dan
memerlukan eksplorasi bedah segera. Pasien trauma tumpul dengan ketidakstabilan
hemodinamik harus dievaluasi dengan USG di ruang resusitasi, jika tersedia, atau dengan lavage
peritoneum untuk menyingkirkan cedera intra-abdomen sebagai sumber hilangnya darah dan
hipotensi.

A. Diagnostik Peritoneal Lavage (DPL)

DPL atau DPA telah banyak digunakan sejak awal diperkenalkan pada tahun 1965. Tehnik
tersbut merupakan tehnik pilihan pada ATLS hingga akhirnya digantikan oleh FAST. DPL
merupakan tehnik pendekatan diagnosis untuk mengevaluasi adanya hemoperitoneum atau
esktravasasi usus pada pasien yang tidak stabil. DPL dianggap sebagai tindakan yang cepat,
akurat dan sensitive untuk mengidentifikasi cedera intraabdomen. Kontraindikasi dari DPL
adalah obesitas, riwayat laparotomy, coagulopaty dan kehamilan.

B. Pemeriksaan Rontgen X-Ray


Pemeriksaaan rontgen X-ray servikal lateral, toraks anteroposterior (AP), dan pelvis adalah
pemeriksaan yang harus dilakukan pada penderita dengan multitrauma. Pada penderita yang
hemodinamik normal maka pemeriksaan ronsen abdomen dalam keadaan terlentang dan berdiri
(sambil melindungi tulang punggung) mungkin berguna untuk mengetahui uadara ekstraluminal
di retroperitoneum atau udara bebas di bawah diafragma, yang keduanya memerlukan laparatomi
segera. Hilangnya bayangan pinggang (psoas shadow) juga menandakan adanya cedera
retroperitoneum. Bila foto tegak dikontra-indikasikan karena nyeri atau patah tulang punggung,
dapat digunakan foto samping sambil tidur (left lateral decubitus) untuk mengetahui udara bebas
intraperitoneal.4

C. Ultrasound diagnostik
Ultrasound menjadi pemeriksaan yang sering dilakukan untuk menilai trauma tumpul
abdomen. Ultrasound berfngsi sebagai skrining karena dapat memberikan gabaran ciran bebas
didalam abdomen atau pericardium namun tidak dapat menunjukan secara jelas sumbernya.
Pemeriksaan Focus Assesment with Sonography for Trauma (FAST) telah menjadi standar
diagnosis sejak tahun 1990 dihampir sebagian besar pusat trauma di U.S. pemeriksaan FAST
mencari adanya gambaran anekoik pada intraperitoneal dan intra pericardial yang menunjukan
cairan dimana pada trauma gabaran tersebut dianggap sebagai darah.7

Gambar 6. Cairan bebas (yang ditunjukan panah) pada Morison’s Pouch.7

Keunggulan dari penggunaan ultrasound adalah bersifat prtabel (dapat digunakan selama
resusitasi), paparan radiasi sedikit, dapat dilaukan berulang (dapat dilakukan evaluasi sesuai
kondisi pasien), dan cepat. Kerugianya adalah pemeriksaan ini bergantung pada operator dan
memiliki sensitifitas yang rendah dalam mendeteksi cedera pada organ padat. Ultrasound
dianggap paling berguna dalam mendeteksi cedera organ padat yang dikaitkan dengan adanya
hemoperitoneum. Pemeriksaan ini dianggap tida sensitive untuk mendeteksi cedera usus atau
organ retroperitoneal.7
A B

Gambar 7. ultrasonografi pada kontusio hepar. (A) Gambaran area hiperekoik post
trauma pada hati konsisten dengan hematoma.(B) Evaluasi USG pada kontusio hepar :
hari ke-3 post trauma : hematoma liqefikasi. Pada gambar diatas tampak sebagai daerah
dengan peningkatan echognicity.7

Beberapa senter telah menggunakan FAST sebagai pengganti dari DPL atau DPA untuk
mengevaluasi ada atau tidaknya cairan intraabdomen pada pasien trauma tumpul yang tidak
stabil. Keuntungan dari FAST adalah : ekonomis, tidak invasive, cepat, prosedur dapat diulang,
sensitivitas 80-85% dan spesifisitas 97-100%. Kekurangan dari prosedur ini adalah : pasien
obesitas, kasus ileus, atau emfisema subkutan, dan tergantung dari operatornya. FAST umumnya
dapat mendokumentasi 400 ml atau lebih cairan intraperitoneal, dan karena hal tersebut maka
pemeriksaan ini bermanfaat untuk pasien yang tidak stabil untuk menentukan tindakan OM atau
tidak. Jika FAST positif secara mutlak menentukan tindakan OM atau tidak, maka adanya
gambaran negative belum pasti dapat menyingkirkan kemungkinan adanya perdarahan
intraperitoneal. Pada trauma tembus, FASt sangat spesifik (94,1-100 %), namun tidak dapat
mengevaluasi grade lesi secara pasti dan tidak begitu sensitive.6
D. Computed Tomography Abdomen (CT Scan Abdomen)
CT scan telah digunakan selama bertahun-tahun dan telah menunjukan adanya perkembangan
dalam mendeteksi cedera abdomen. Pada pasien dengan hemodinamik stabil baik disebabkan
oleh trauma tumpul atau tembus, CT merupakan gold standar. CT kontras menunjukan
sensitivitas yang baik, kecuali untuk cedera diafragma, pancreas atau usus halus. Beberapa
penulis menyebutkan bahwa CT merupakan faktor prediktif, bersamaan dengan tekanan darah
sistolik, untuk menentukan risiko terjadinya kegagalan NOM dan memprediksi hasil luaran
pasien, terutama pda lesi grade IV atau lebih. Faktanya, adanya keterlibatan dari satu atau lebih
vena hepatic, pembedahan hepar 6,5 kali lebih umum, dan risiko utnuk terjadinya perdarahan
arteri 3,5 kali lebih tinggi. Sebaliknya, risiko dari adanya gambara false negative dari cedera
vascular pada CT scan menunda intervensi yang sesuai. Karena alasan tersebut, beberapa penulis
menyarakan utnuk melakukan angiografi pada semua pasien cedera hepar grade III-V, tanpa
memandang stabilitas hemodinamik, terutama jika didapatkan adanya keterlibatan dari vena
hepatic mayor. Di sisi lain, angiograpy hepar tidak harus dilakukan jika CT menunjukan tidak
adanya gambaran perdarahan aktif diantara pasien cedera hepar grade II atau III, karena pada
pasien ini risiko utama yang muncul adalah perdarahan vena.6

Gambar 8. CT contrast-enhanced menunjukan laserasi hepar kompleks : fraktur hepar.


Hepar dikatakan mengalami fraktur ketika bands laserasi melewati parenkim hypodens
menyatukan dua batas yang berlawanan melalui hilum.7
Gambar 9. Kontusio hepar. Area yang mengalama cedera memberikan gambaran contrast-
enhanced CT sebagai area parenkim dengan atenuasi rendah dengan batas ireguler.
Kontusio selalu merupakan cedera minor dan ukurannya akan berkurang seiring dengan
proses penyembuhan cedera.7

Gambar 10. Indikasi dan kontraindikasi CT-SCAN abdominal


Gambar 11. CT scan yang menunjukan adanya laserasi multiple dan hematom parenkim.
Gambaran tersebut tampak sebagai hiperdensitas berbentuk bulat dibandingkan dengan
parenkim normal. Setelah pemberian kontras, gambaran tersebut muncul sebagai area
dengan atenuasi rendah didala parenkim dapat bersifat homogeny maupun inhomogen. 7

Gambar 12. Rupture hepar grade III AAST. Contrast-enhanced CT menunjukan focus
dengan atenuasi tinggi didalam area hipodens hal tersebut menunjukan adanya
ekstravasasi aktif dari bahan kontras: perdarahan aktif.7
Gambar 13. CT scan yang menunjukan rupture hepar grade V dengan laserasi luas yang
melibatkan >75% kerusakan dari lobus hepar kanan dan meluas hingga ke porta hepar.3

E. MRI
Pada keadaan trauma hepar, MRI tidak terlalu bermanfaat dibandingkan dengan CT-Scan.
Lebih sering digunakan pada saat follow up lebih lanjut atau monitoring kondisi hepar dan
duktus pancreatik biliaris, dan lebih bermanfaat pada pasien hamil dengan trauma abdomen
yang tidak boleh mendapatkan radiasi sinar x pada CT-Scan12
Gambar 14. 1A merupakan MRI T1-weighted potongan aksial 1 jam pasca cedera pada
laki-laki, 52 tahun, tampak gambaran hipointens pada hepar dan gambaran isointens
pada hemoperitoneum, pada T2-weighted (1B) terlihat lesi pada hepar dan
hemoperitoneum dengan gambaran hiperintens. Pada gambar 2A merupakan MRI T1-
weighted potongan aksial pada anak laki-laki, 16 tahun pasca 17 hari pasca trauma
terlihat kesan pada hepar dengan gambaran heterogen intens (isointens, hiperintens, dan
hipointens) disertain gambaran hemoperitoneum yang isointens. Pada gambar 2B terlihat
lesi di hepar dan hemoperitoneum yang hiperintens.12

2.6 Tatalaksana Cedera Hepar 2,6


A. Rekomendasi tatalaksana Non Operatif Management pada Trauma Tumpul Abdomen
a) Pasien trauma tumpul dengan hemodinamik stabil dan tidak disertai dengan adanya
cedera internal lain yang memerlukan operasi, penanganan awal yang diberikan
adalah NOM tanpa melihat grade.
b) NOM dikontraindikasikan dalam kondisi hemodinamik tidak stabil atau peritonitis
c) NOM pada kasus cedera hepar sedang atau berat dapat dipertimbangkan hanya jika
lingkungan pasien memungkinkan untuk dilakukan pemantauan intensif,
angiography, ruang operasi tersedia, dan akses darah dan produk darah memadai.
d) Pada pasien yang dipertimbangkan untuk NOM, CT-scan dengan kontras iv harus
dilakukan untuk menentukan anatomy dari hepar yang cedera dan mengidentifikasi
cedera yang berkaitan.
e) Angiography dengan embolisasi dapat dipertimbangkan sebagai intervensi lini
pertama pada pasien dengan hemodinamik stabil dan artery blush pada CT-scan.

Nom untuk trauma hepar, semakin banyak digunakan karena tingkat keberhasilan yang
tinggi (82-100%). Pada trauma tumpul, NOM merupakan perawatan standar pada pasien dengan
hemodinamik stabil, tanpa adanya cedera lain yang mengindikasikan dilakukan OM.
Kontraindikasi untuk melakukan tindakan ini adalah pasien dengan hemodinamik tidak stabil
dan peritonitis. Pada sebuah penelitian prospektif menunjukan bahwa NOM memiliki insidensi
komplikasi dan transfuse yang lebih rendah, terlepas dari tingkat keparahan cedera hepar.
Keuntungan dari NOM antara lain : biaya perawatan yang lebih rendah, menghindari laparotomy
non-terapiutik dan reseksi hepar yang tidak perlu, komplikasi intraabdomen yang lebih rendah
dan menurunkan kebutuhan tranfusi. Pada pasien dengan cedera otak berat dan usia tua,
hypotensi kemungkinan merusak, dan OM dapat disarankan karena lebih aman.

Definisi dari hemodinamik tidak stabil tidak pasti. Berdasarkan ATLS definisi dari tidak
stabil adalah apabila tekanan darah < 90 mmHg, HR > 120 kali/menit, adanya tanda
vasokonstriksi kulit (dingin, CRT meningkat, basah), perubahan tingkat kesadaran dan atau nafas
pendek. Setelah status hemodinamik grade cedera hepar AAST dan adanya cedera multiorgan
menjadi prediksi adanya kegagalan. Karena hal tersebut, NOM hanya dapat dilakukan di pusat
yang dapat membuat diagnosis tingkat keparahan cedera hepar dan dapat memberikan perawatan
intensif (kontorl Hb, monitoring klinis, CT scan 24 jam, angiography dan ruang operasi tersedia).
Valmahos et. Al menganggap beberapa hal yang dapat dijadikan predictor klegagalan NOM
adalah Hypotensi, cedera hepar grade tinggi berdasar CT, ekstravasasi kontras pada CT, dan
kebutuhan transfuse darah, hemopertitoneum (darah di sekitar hepar, peri-colic gutter, dab di
pelvis) usia >55 tahun, perubahan status neurology, kadar laktat, hematokrit >20% pada jam
pertama. Angioembolisasi pada beberapa penelitian dianggap sebagai “esktensi” resusitasi pada
pasien yang sedang melakukan resusitasi namun hal ini hanya dapat diaplikasikan pada center
tertentu saja.

Follow up post trauma yang disarankan adalah pemeriksaan Hb serial setiap 6 jam dalam 24
jam pertama pada pasien stabil grade I-II jika pasien tetap stabil, dan setiap 6 jam selama 12 jam
pertama dan slenjutnya setiap 12 jam pda cedera grade III-IV-V, pasien diijinkan berjalan setelah
24 jam.

A. Rekomendasi tatalaksana Non Operative Management-NOM pada trauma tembus hepar


a) NOM pada trauma tembus hanya dilakukan apabila hemodinamik stabil, tidak disertai
peritonitis, dan atau evisceration dan atau impalement
b) NOM pada trauma tembus dapat dilakukan hanya apabila terdapat lingkungan yang
memungkjinkan untuk melakukan monitoring secara intensif, angiografi dan ruang
operasi selalu tersedia
c) Pemeriksaan klinis serial dan eksplor luka secara lokal pada luka tusuk
d) CT scan harus dilakukan untuk mengidentifikasi cedera hepar sesuai untuk Nom atau
tidak
e) Angioembolisasi dapat dilakukan pada kasus perdarahan artery pada pasien dengan
hemodinamik stabil tanpa ada tanda peritonitis, eviscerasi atau empalment

Hingga beberapa tahun sebelumnya, NOM tidak dianggap layak baik pada kasus luka tusuk
ataupun luka tembak. Penelitian terbaru menunjukan pendekatan konservatif, menunjukan
kesuksesan yang besar (50% untuk luka tusuk di abdomen anterior dan sekitar 85% pada
abdomen posterior).

B. Rekomendasi tatalaksana Operative Management-OM pada trauma tumpul dan tembus


hepar
a) Pasien harus melakasanakan operative management pada trauma hepar (tumpul atau
tembus) pada kasus hemodinamik tidak stabil, adanya cedera organ internal lain yang
memerlukan operasi, evisceration, impalement.
b) Pebedahan orimer dilakukan untuk mengontrol perdarahan, kebocoran empedu, dan
melakukan resusitasi sesegera mungkin
c) Reseksi mayor hepar harus dihindari terlebih dahulu, dan dipertimbangkan hanya
pada kasus large devitalized liver portions and in centers with the necessary
expertise.
d) Angioembolisme dapat digunakan pada kasus perdarahan arterial yang persisten.

Rencana untuk melakukan operasi yang mendesak merupakan triage yang dilakukan di UGD
dan keputusan untuk operasi dibuat oleh ahli bedah trauma. Ruang operasi di banyak rumah sakit
tidak segera berdekatan dengan departemen gawat darurat dan dapat dihapus lebih lanjut jika
pasien harus menjalani evaluasi di departemen radiologi. Jadi, waktu transportasi pasien ke ruang
operasi sangat penting dan tergantung pada mekanisme cedera, status fisiologis pasien dan
respon terhadap resusitasi, hasil studi diagnostik kritis dan konsultasi yang tepat, dan
ketersediaan ruang operasi. Untuk pasien dengan syok refrakter menyusul luka tembak perut
dapat dirawat dalam unit gawat darurat tinggal dalam waktu yang singkat (misalnya 10 sampai
15 menit), sedangkan pasien yang stabil dengan trauma tumpul multisistem mungkin dapat tetap
dirawat dalam ruang unit gawat darurat atau departemen radiologi untuk beberapa waktu. Triase
yang prematur untuk memasukkan pasien ke ruang operasi dapat mengakibatkan laparotomy
yang tidak perlu, penundaan dalam evaluasi keadaan pasien, atau ancaman terhadap anggota
tubuh sebagai cedera extra abdominal. Namun, penundaan di unit gawat darurat dapat
mengakibatkan kerusakan fisiologis yang mengarah ke shock ireversibel dan koagulopati.
Transfer ke ruang operasi harus dilakukan oleh personel yang berpengalaman siap mengelola
keadaan darurat akut. Kesalahan umum meliputi manajemen jalan nafas yang tidak memadai,
tabung oksigen, garis aman, dan pemantauan pasien yang tidak baik. Setiap rumah sakit harus
menetapkan protokol untuk memastikan transportasi pasien tepat waktu, efisien, dan aman dari
ruang resusitasi gawat darurat menuju ke ruang operasi.

2.7 Prognosis

Penyebab utama terjadinya kematian pada cedera hepar adalah perdarahan yang tidak segera
diatasi, dan sepsis dengan kegagalan organ multiple dalam jangka waktu yang lebih lama. Angka
kesembuhan setelah mengalami cedera hepar tergantung dari tigkat keparahan cedera hepar,
mekanisme, dan ada tidaknya cedera lain yang menyertai dimana angka kematian secara
keseluruhan sekitar 12%. Lebih dari 90% pada pasien tersebut berhasil di terapi dengan cara
konservatif. 10% dari pasien trauma hepar-sebagian besar grade IV dan V dan dengan
peningkatan angka mortalitas 46% dan sekitar 80% dari angka tersebut menjalani operasi. Pasien
dengan trauma tumpul atau luka tembak abdomen memiliki luka yang lebih parah dibandingkan
dengan luka tusuk.3,8

2.8 Komplikasi

Persentase komplikasi yang terjadi pada pasien dengan cedera hepar grade tinggi adalah 11-
13% dan dapat diprediksi berdasarkan grade dari cedera hepar dan jumlah sel darah merah yang
di transfusi dalam waktu 24 jam setelah cedera. Komplikasi pada trauma tumpul dengnan NOM
meningkat terutama pda cedera grade tinggi (secara keseluruhan 0-7%, komplikasi pada cedera
grade III-V; 12,6%-14%). Pemeriksaan klinis, tes darah, USG dan CT san dapat membantu
diagnosis, namun follow up ruti dengan CT scan tidak perlu dilakukan. CT scan kontrol
diabjurkan pada kasus inflamasi persisten dari tes laboratorium, demam, nyeri perut. Jaundice,
penurunan Hb. Kompliaksi tersering pada NOM adalah empedu (kebocoran empedu, hemobilia,
bilioma, peritonitis bilier, fistula biliaris), perdarahan, kompartemen syndrome abdomen, infeksi
(abses atau infeksi lain) dan nekrosis hepar. USG bermanfaat sebagai follow up pada cedera
hepar dengan tatalaksanan NOM, khususnya dalam menilai adanya kebocoran empedu/biloma
pada cedera hepar grade IV-V terutama pada laserasi sentral.8

Komplikasi utama yang dapat terjadi adalah perdarahan ulang atau perdarahan sekunder
(akibat rupturnya kasul hematoma atau pseudo-aneurysm). Perdarahan “Late” terjadi dalan
waktu 72 jam setelah trauma, dan insidensi secara keseluruhan adalah 0-14%. Untungnya
sebagian besar kasus (69%) dapat ditatalaksana dengan cara non-operatif. Pseudo-aneurysm
arteri hepatic post trauma jarang ditemukan (1,2%, 70-80% ekstrahepatik dan 17-25%
intrahepatik) dan dapat ditatalakana dengan sembolisasi selektif.

Komplikasi biliar dapat terjadi pada 1/3 kasus dan dapat dikontrol dengan cara Endoscopic
Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP) dan eventual stenting, drainase perkutaneus dan
terakhir dengan intervensi bedah (open atau laparoskopi). Kebocoran empedu dapat terjadi pada
3-20% NOM. Pada kasus kebocoran empedu minor, dapat ditatalaksana dengan cara konservatif,
namun pada fistula biliar dengan output banyak (>300-400 ml/hari atau ketika drainase biliar
minimal 50 ml/hari dan berlanjut selama 2 minggu) akan menguntungkan dari ERCP.
Intrahepatik bilio-venus fistel (sering dikaitkan dengan bilemia) dapat ditatalaksana dengan
ERCP.8

Abses perihepatik memiliki insidensi rendah (0-7%) dan dapat ditatalaksana dengan drainase
yang diarahkan oleh CT-scan atau USG. Hemobilia tidak umum ditemukan (<3%), namun sering
diakitkan dengan pseudo-aneurysm. Pseudoaneurysm mungkin asimptomatik dan tidak
terdeteksi dalam hitungan hari bahkan bulan setelah terjadinya cedera. Kondisi tersebut biasanya
diketahui disaat pasien mengakami hemobilia dengan gejala nyeri perut, perdarahan
gastrointestinal, dan kadang jaundice. Hemobilia sendiri merupakan perdarahan di dalam
kantung empedu dan penyakit ini jarang ditemukan.9
BAB 3

KESIMPULAN

Trauma hepar lebih banyak disebakan oleh trauma tumpul. Pasien dengan trauma
tumpul adalah suatu tantangan karena adanya potensi cidera tersembunyi yang mungkin sulit
dideteksi.

Mekanisme yang menimbulkan kerusakan hepar pada trauma tumpul adalah efek
kompresi dan deselerasi. Trauma kompresi pada hemithorax kanan dapat menjalar melalui
diafragma, dan menyebabkan kontusio pada puncak lobus kanan hepar. Trauma deselerasi
menghasilkan kekuatan yang dapat merobek lobus hepar satu sama lain dan sering melibatkan
vena cava inferior dan vena-vena hepatik.
DAFTAR PUSTAKA

1. Umboh, I.J., Sapan, H.B., Lampus, H. Hubungan Penatalaksanaan Operatif Trauma


Abdomen dan Kejadian Laparotomy Negatif di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado.
Jurnal Biomedik. Vol. 8. No. 2. 2016
2. Coccolini, F., et al. WSES Classification and Guidelines for Liver Trauma. World Journal
of Emergency Surgery. 2016
3. Cresswell, A.B., Bowles, M.J., Wendon, J.A. The management of Liver Trauma.
4. Warsinggih. Ruptur Hepar. 2015
5. Majno, P. et al. Anatomy of the Liver: an Outline with Three Level of Complexity A
Further Step towards Tailored Territorial Liver Resections. Journal of Hepatology. 2014
6. Coccolini, F., et al. Liver Trauma : WSES Position Paper. World Journal of Emergency
Surgery. 2015
7. Mama N. et al. Abdominal Trauma Imaging. INTECH. 2012
8. Bala, M., et al. Complications of High Grade Liver Injuries : Management and Outcome
with Focus on Bile Leaks. Scandinavian Journal of Trauma, Resusitation and Emergency
Medicine. 2012
9. Choi, P.M., et al. Late Complications After Blunt Liver Injury in Child : Hemobilia with
Pseudoanurysm, Hemocholecystitis and Biloma. Journal of Pediatric Surgery: Case
Report. 2014
10. Zulham Effendy, Rizky Putri Aushiva, Eva Miranda Fitri. Gambaran Radiologi Pada
Trauma Hepar. 2015. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai