Anda di halaman 1dari 6

TUGAS INDIVIDU

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

OLEH:

NAMA : MUHAMMAD RIZ RIFAT SULI

NIM : H1 A11 8 219

KELAS : D

UNIVERSITAS HALUOLEO

FAKULTAS HUKUM
Mengapa Kita Membutuhkan RUU Penghapusan
Kekerasan Seksual

Polemik pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan


Seksual (selanjutnya disebut dengan RUU PKS) seolah tak berkesudahan, dan hingga
kini RUU tersebut belum juga disahkan. Walaupun sudah dilakukan berbagai jenis
advokasi dan berbagai macam argumen telah dilontarkan, pemahaman RUU PKS
secara keliru masih beredar dimana-mana.
Semisal anggapan bahwa RUU ini akan melegalkan zina dan seks bebas, mendorong
suburnya LGBT, bersumber dari nilai-nilai feminis radikal (tanpa memberikan makna
feminis radikal yang memadai), lekat dengan nilai-nilai barat, dan lain sebagainya.
Tulisan ini akan mengemukakan argumen mendesaknya kebutuhan terhadap
pengesahan RUU PKS, mulai dari sudut pandang filosofis, sosiologis, dan yuridis,
sebagai dukungan agar RUU ini segera disahkan.
Pertama, secara filosofis setiap manusia memiliki hak alamiah (natural right) yang
melekat. Mengutip pendapat sosiolog kenamaan John Locke, sejak dilahirkan ke alam
dunia manusia telah memiliki kebebasan penuh dan sempurna, inilah yang kemudian
berkembang dan disebut hak asasi manusia. Hak ini lambat laun memainkan
perannya dalam perjalanan ide sistem hukum positif, yakni sebagai pijakan dasar etis
dalam pemberlakuannya.
Dalam konteks Indonesia, hak alamiah warga negara sebagai manusia yang merdeka
dan bebas dari penyiksaan dijamin melalui konstitusi UUD Republik Indonesia
Tahun 1945. Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 memberikan jaminan kepada setiap orang
atas “perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang
di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman….”.
Adapun pasal 28G ayat (2) UUD 1945 juga menjamin hak setiap orang untuk bebas
dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia.
Berdasarkan ketentuan tersebut maka setiap warga negara berhak mendapatkan rasa
aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan.
Jika Indonesia berkomitmen terhadap penegakan hukum yang berlandaskan pada
konstitusi, maka perlindungan kepada warga negara yang telah disepakati sebagai
konsensus kehidupan berbangsa dan bernegara, yang salah satunya perlindungan dari
kekerasan seksual melalui pengesahan RUU PKS, menjadi hal yang tidak bisa
ditawar-tawar lagi.
Kedua, secara sosiologis sebagian besar masyarakat tidak menganggap kekerasan
seksual—yang lebih rentan menimpa perempuan dan anak—sebagai pelanggaran
HAM. Mengapa? Dalam kultur Indonesia yang masih dominan patriarkhi, kaum
perempuan dianggap sekunder dan tidak punya otonomi, karena suamilah sebagai
kepala keluarga, yang menentukan urusan yang bersifat publik.
Seorang perempuan yang telah menikah serta merta dianggap sebagai milik
suaminya, atau jika belum menikah milik ayah atau saudara laki-lakinya. Oleh karena
itu kekerasan yang terjadi terhadap istri atau anak perempuan di rumah, seperti
misalnya pemukulan, penyiksaan fisik/psikis/seksual, penelantaran, pemerkosaan
dalam keluarga bahkan terhadap istri sendiri (marital rape) tidak dianggap sebagai
pelanggaran. Oleh karena itu, angka kekerasan seksual dari tahun ke tahun terus
meningkat.
Faktor inilah yang kemudian sering menghambat korban memperoleh haknya atas
kebenaran, keadilan, dan pemulihan. Belum lagi, korban seringkali justru dianggap
melanggar nilai-nilai moral. Korban kerap disalahkan karena dianggap membiarkan
kekerasan yang dialaminya; ia dianggap tidak berupaya melawan pelaku, mudah
dirayu, atau mudah diiming-imingi sesuatu.
Dalam hal korban akan melaporkan tindakan kekerasan yang dialaminya, ia dianggap
sama saja membuka aib sendiri. Kebanyakan keluarga korban akan melarang karena
ketakutan dipandang negatif dan dihina oleh masyarakat di kampungnya, dan ketika
korban berani melaporkan kasusnya, beragam kesulitan kembali dirasakan mulai dari
proses pelaporan di ke aparatur penegak hukum, sampai pada layanan kesehatan.
Kekerasan seksual bisa terjadi di mana saja. Rumah yang selama ini dianggap sebagai
tempat paling aman justru menjadi tempat subur terjadinya kekerasan seksual. Pelaku
kekerasan juga bisa siapa saja, bahkan orang terdekat.
Data yang dirilis Komnas Perempuan pada akhir 2017 menunjukkan dari 65 kasus
yang dilaporkan, sebagian besar dilakukan oeh orang dekat korban seperti pacar,
mantan pacar, suami, ayah, kakak, paman, kakek, dan sebagainya. Pelaku juga
kadang mempunyai posisi strategis di masyarakat seperti tokoh masyarakat, tokoh
agama, tokoh adat, dan guru.
Ketiga, secara yuridis Indonesia memang telah memiliki berbagai instrumen hukum
yang menjamin hak asasi manusia diantaranya Undang-Undang No. 39 Tahun 1999
Tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang
Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak Sipil dan Politik, dan ratifikasi
ketentuan internasional lainnya.
Adapun pengaturan kekerasan seksual sudah dirumuskan dalam beberapa peraturan
perundang-undangan antara lain Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak.
Namun demikian, rumusan kekerasan seksual di dalam berbagai peraturan
perundang-undangan tersebut belum komprehensif, bahkan masih parsial. Masih
banyak celah yang mendorong terjadinya impunitas terhadap pelaku kekerasan
seksual.

Penyebab mengapa RUU PKS harus segera disahkan :

1. Meningkatnya tingkat kekerasan terhadap perempuan di Indonesia

Menurut data dari Komnas Perempuan, jumlah kekerasan seksual terhadap


perempuan yang dilaporkan dan ditangani selama tahun 2017 berjumlah 335.062
kasus. Jumlah tersebut naik drastis dari tahun sebelumnya yang berjumlah 259.150
kasus.
“Dari data pada tahun 2012-2013, Komnas Perempuan mencatat bahwa setiap dua
jam, terdapat tiga perempuan yang mengalami kekerasan seksual di Indonesia. Dan
dalam waktu 10 tahun, kami menemukan 35 perempuan menjadi korban kekerasan
seksual. Kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan itu jauh lebih luas daripada
yang ada pada KUHP atau UU lainnya seperti UU perlindungan anak, UU HAM, dan
lain-lain. Ada 15 bentuk kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan dalam
kurun waktu 10 tahun itu. Sebagian bisa ditangani dengan mengedukasi masyarakat
tanpa pendekatan hukum, tapi ada sebagian lainnya yang butuh pendekatan hukum.
Jika tidak ada pendekatan hukum, kita akan terus membiarkan korban tanpa
pemulihan dan pelaku melenggang tanpa adanya tindak hukum,” tutur Azriana, Ketua
Komnas Perempuan dalam konferensi pers pada Rabu (6/2).

2. Penyelesaian kasus kekerasan seksual selama ini seringkali merugikan pihak


perempuan
Contohnya kasus pelecehan seksual yang dialami Agni (bukan nama sebenarnya),
mahasiswi UGM saat kuliah kerja nyata (KKN) pada Juli 2017. Kasus ini berakhir
dengan jalan damai atau lebih tepatnya menyepakati hak-hak yang harus diperoleh
Agni dan hal-hal yang harus dilakukan HS setelah kesepakatan dibuat. Hal itu
dibenarkan oleh pihak Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) Panut Mulyono yang
mengatakan jika Agni dan HS (pelaku pelecehan seksual), sepakat kasus ini
diselesaikan secara kekeluargaan.

Penutup :
Saya berpihak pada RUU PKS karena menyadari isinya penting untuk melindungi
korban dan orang-orang yang rentan terhadap kekerasan seksual, termasuk dalam
konteks yang selama ini sulit tersentuh. RUU PKS seperti harapan baru bagi
Indonesia, meski saya tahu implementasinya pasti akan tetap sulit pun RUU PKS
telah disahkan di kemudian hari. Pencabulan dan perkosaan yang jelas sudah tertulis
sejak lama di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) saja masih sering
diabaikan atau dicari celah-celahnya, Namun, itu tidak masalah. Selama advokasinya
baik, saya percaya RUU PKS akan berakhir membawa kebaikan pula.

Anda mungkin juga menyukai