Anda di halaman 1dari 3

Polemik RUU PKS: Bukan Ingin Mengamini Liberalisasi Kehidupan Seksualitas

(RUU PKS Ditarik dari Prolegnas Prioritas 2020 disaat Tingginya Kasus Kekerasan
Seksual Menunjukan Bahwa Indonesia Telah Dikuasai Oleh Sekelompok Orang yang
Melanggengkan Budaya Diskriminasi Terhadap Perempuan)

Berdasarkan hasil survei Komnas Perempuan di masa pandemi Covid-19 ini, angka
KDRT cukup meningkat, termasuk angka kekerasan seksual di dalamnya. Hingga saat ini,
belum ada kebijakan yang mengakomodir hak-hak korban kekerasan seksual secara
komprehensif. Kondisi ini tentu menuntut kehadiran peraturan yang tegas dan berpihak pada
korban kekerasan seksual. Disinilah peran Rancangan Undang-Undang Penghapusan
Kekerasan Seksual (RUU PKS) dibutuhkan. Hanya saja pembahasan RUU PKS seringkali
diwarnai kontroversi, baik di kalangan masyarakat maupun di tingkat Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR).
Penarikan RUU PKS dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020
mengundang banyak tanggapan maupun kritik serta interpretasi dari RUU PKS tersebut.
Banyak orang yang menafsirkan RUU PKS sesuai dengan sudut pandangnya masing-masing
dan hal itu tentu sah-sah saja. Namun, diantara kabut-kabut komentar yang semakin pekat
dan riuh, seseorang bisa mudah sekali untuk terhalang pandangannya dan sulit mendengar
apa yang sebenarnya dimaksudkan dan dijadikan perbincangan.
Sayangnya, penolakan aturan ini datang dari kelompok kanan. Mereka
menghembuskan isu kalau RUU PKS terlalu liberal, tak sesuai norma agama, dan melegalkan
kelompok, lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Bahkan ada sumber yang
mengatakan bahwa kebebasan berpakaian, misalnya seorang ibu bisa dijerat dengan pasal di
RUU PKS jika ibu tersebut menyuruh anaknya memakai jilbab tapi anaknya tidak mau.
Sebelum memutuskan hendak berada dalam garis yang mana, antara hitam-putih
maupun pro dan kontra terhadap RUU PKS, akan lebih bijak kalau kita menelusuri sumber
pertama yang menyebabkan keriuhan ini, yakni draft resmi RUU PKS. Draft resmi tersebut
bisa kita akses dengan mudah di laman dpr.go.id dan bisa kita download secara bebas.
Dalam draft tersebut dikemukakan poin yang menjelaskan apakah kekerasan seksual
itu? dan apa makna penghapusan kekerasan seksual, dan segala perincian mengenai RUU
PKS.
Mengutip dari draft RUU PKS, kekerasan seksual adalah setiap perbuatan
merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat
seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi secara paksa, bertentangan dengan kehendak
seseorang yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam
keadaan bebas karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender yang berakibat atau
dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara
ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.
Kemudian Penghapusan Kekerasan Seksual adalah segala upaya untuk mencegah
terjadi kekerasan seksual, menangani, melindungi, dan memulihkan korban, menindak pelaku
dan mengupayakan tidak terjadi keberulangan kekerasan seksual.
Maka dari itu, dengan RUU PKS ini kita lebih diberi ruang untuk mengedukasi
masyarakat mengenai kekerasan seksual, selain itu akan lebih mudah pula untuk menciptakan
program-program anti kekerasan seksual dan sistem keamanan yang terpadu untuk kita
semua.
Asumsi bahwa dalam RUU PKS juga mengatur cara berpakaian serta melegalkan
LGBT tidak ditemukan pembahasannya dalam draft asli. Tidak disebutkan sama sekali
mengenai hukuman bagi orang yang memaksa orang lain berpakaian sesuai dengan
keinginannya. Dalam RUU tersebut juga tidak disebutkan bahwa RUU itu hanya berlaku bagi
orang dengan ketertarikan seksual tertentu, yang mana menunjukkan bahwa RUU PKS
memang tidak pandang bulu mengenai apa ketertarikan korban kekerasan seksual tersebut
sebelum memutuskan mau diberi pertolongan atau tidak. Semua orang bisa terlindungi
dengan adanya RUU ini.
Pernyataan yang menegaskan bahwa RUU PKS adalah produk Barat dan diciptakan
oleh para feminis radikal tidak ditemukan pula kebenaran faktanya, dan bisa dipastikan
bahwa pernyataan in tidak memiliki dasar fakta yang riil alias hanya asumsi semata.
Inilah salah satu masalah penghambat pengesahan RUU PKS, yaitu terbenturnya
draft RUU PKS dengan paham konservatisme. Semua akan termentahkan jika kita mau
membaca draft terlebih dahulu dengan hati yang bersih dan menjadi sudut pandang korban.
Karena di RUU PKS, aspeknya banyak, tidak hanya kekerasan seksual dalam konteks
pemerkosaan saja, tetapi juga tentang eksploitasi seksual, pelecehan seksual, hingga
pemaksaan perkawinan.
Dari sini kita bisa memahami bahwa tujuan RUU PKS bukan ingin mengamini
liberalisasi kehidupan seksualitas, melainkan untuk melindungi dan memberi akses keadilan
yang luas bagi perempuan korban kekerasan seksual. Semangat dari regulasi ini ialah untuk
menghapuskan berbagai bentuk kekerasan seksual dan memberi keadilan bagi korban. Selain
itu, peraturan ini juga didasari prinsip kesetaraan gender dan hak asasi manusia.
Lemahnya komitmen DPR dalam menindaklajuti RUU PKS tahun ini tidak terlalu
berbeda dibandingkan pada periode 2019. Dimana RUU PKS hanya dijadikan janji yang
terus-menerus gagal hanya karena pembahasannya dianggap rumit, padahal pembahasan
RUU sejatinya inklusif dan partisipatif..
Penundaan RUU PKS yang berlarut-larut ini justru terkesan mempermainkan dan
menyakiti perasaan seluruh korban di Indonesia. Pengabaian dan penolakan terhadap RUU
PKS ini menunjukan Indonesia telah dikuasai oleh sekelompok orang yang ingin
melanggengkan budaya pelecehan seksual dan diskriminasi terhadap perempuan.

Anda mungkin juga menyukai