berbalik arah dan kerap kali mendiskreditkan korban selama mendampingi kasus kekerasan
seksual. Kemudian, terdapat pula pandangan “miring” masyarakat kepada korban, sehingga
munculnya stigma negatif yang menyudutkan korban Kekerasan Seksual. Problematika itulah
yang menjadi beban bagi korban dan menyebabkan korban enggan untuk melapor dan
bersuara.2
Melalui diskusi PGI yang ketiga tersebut, Rezky Pratiwi, Anggota Lembaga Bantuan
Hukum Makassar (LBH Makassar) yang turut menjadi narasumber pada diskusi itu,
memaparkan data kuantitatif korban Kekerasan Seksual dari Yayasan Lembaga Bantuan
Hukum Indonesia (YLBHI) pada tahun 2020, teracatat sebanyak 239 korban Kekerasan
Seksual dan diantaranya adalah perempuan, anak, penyandang disabilitas, dan minoritas
seksual.
Kekerasan Seksual yang dialami korban ini, umumnya diikuti oleh jenis kekerasan lain
yang apabila ditotalkan menyentuh angka 526 tindakan kekerasan. Dalam memandang
peristiwa Kekerasan Seksual, peran korban sangatlah krusial, sebab yang mengalami tindakan
keji dan yang membutuhkan pendampingan ialah korban.3
Rumusan delik Kejahatan Susila yang tertuang dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP), masih belum dapat mengakomodir seluruh bentuk Kekerasan Seksual yang
terjadi pada realitas masyarakat dewasa ini. Sedangkan RUU TPKS telah mengatur 9 jenis
tindak pidana kekerasan seksual. Terobosan ini merupakan salah satu langkah progresif untuk
menanggulangi peristiwa Kekerasan Seksual dan mengakomodir permasalahan-permasalahan
yang ada mengenai lemahnya aspek kepastian hukum dalam pelindungan korban Kekerasan
Seksual. RUU TPKS dapat pula diklaim sebagai peraturan pertama dan satu–satunya yang
mengatur mengenai 9 jenis tindak pidana kekerasan seksual. Selain itu, RUU TPKS juga
memuat 6 elemen kunci dan prinsip HAM yang termuat di dalamnya, sehingga hal–hal
tersebutlah yang membuat RUU TPKS memiliki posisi yang sangat genting untuk segera
disahkan.
Fenomena Kekerasan Seksual yang sejatinya hanya nampak pada bagian kulit luarnya
saja layaknya fenomena gunung es dan juga merupakan sebuah kejahatan yang terus berulang
tiap tahunnya, telah memberikan gambaran bagi kita semua bahwa kekerasan seksual ini
2
Eksepsi Online, “Pendampingan Grand Issue: Kenapa Harus Dukung RUU PKS Sampai Disahkan?”, URL:
http://eksepsionline.com/2021/09/24/pendampingan-grand-issue-kenapa-harus-dukung-ruu-pks-sampai-disahkan
3
Ibid.
UNIT KEGIATAN MAHASISWA
HASANUDDIN LAW STUDY CENTRE (HLSC)
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN
Telp: 0895800177749 Email: hlscemail@gmail.com Makassar 90245
Sekretariat : Jalan Veteran Selatan No.27
membutuhkan perhatian khusus, baik bagi pemerintah maupun seluruh masyarakat. Hadirnya
RUU TPKS diharapkan dapat hadir sebagai wujud solusi dalam menanggulangi permasalahan
kekerasan seksual yang ada dan mengancam generasi bangsa. Berangkat dari hal tersebut,
kami HLSC mengajak seluruh komponen masyarakat untuk turut mendukung RUU TPKS untuk
sesegera mungkin disahkan dan diundangkan, sebagai wujud pelindung masyarakat serta
generasi penerus bangsa dari bahaya kekerasan seksual.
Oleh karena itu, maka kami Hasanuddin Law Study Centre menyatakan sikap sebagai
berikut:
1. Mengecam segala Tindakan Pelecehan dan Kekerasan Seksual yang termasuk namun
tidak terbatas pada tindakan fisik, lisan, tulisan, foto dan video dalam dunia nyata maupun
maya yang tidak sesuai dengan norma yang berlaku.
2. Menuntut Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk segera mengesahkan RUU
TPKS sebagai langkah konkret dalam menciptakan ruang aman yang tidak hanya
diperuntukkan bagi perempuan, namun juga bagi kita semua.
3. Menjamin hak-hak Korban selama proses penegakan hukum dan pemulihan Korban.
4. Memberikan dukungan kepada korban untuk melakukan segala macam tindakan yang
diperlukan untuk mendapatkan akses keadilan bagi dirinya.