P-ISSN: 1412-2723
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 3.0 International License.
a. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum
yang bersifat deskriptif. Jenis penelitian deskriptif bertujuan mendeskripsikan atau
menggambarkan tentang norma-norma dan peraturan yang mengatur tindak pidana kekerasan
seksual, selain itu memberikan informasi yang lebih luas dan umum serta upaya pemerintah dalam
melindungi korban tindak pidana kekerasan seksual di Kota Surakarta.
b. Metode Pendekatan Metode pendekatan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis
empiris yakni dilakukan dengan melihat kenyataan yang ada dalam praktek lapangan. Penulis juga
mempelajari beberapa perundang-undangan dan buku-buku yang merupakan literatur yang
berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Pendekatan yuridis empiris dilakukan untuk mencari
faktor yang mempengaruhi pelaku dalam melakukan tindak kekerasan seksual serta peran
pemerintah dalam melindungi korban tindak kekerasan seksual.
c. Data dan Sumber Data Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data primer dan data
sekunder yang meliputi: a. Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber data dalam
praktek lapangan. Data primer yang diperoleh berupa fakta dan keterangan dari pihak-pihak yang
bertanggung jawab menangani tindak pidana kekerasan seksual. b. Data Sekunder yaitu data yang
mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan
dan sebagainya. Jenis bahan hukum yang digunakan adalah : 1) Bahan hukum primer yaitu bahan
hukum yang mengikat dan terdiri dari: i. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ii. Kitap
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) iii. Undang-Undang No. 31 Tahun 2014
Tentang Perlindungan Saksi dan Korban iv. Undang-Undang Dasar 1945 v. Undang-Undang No.
39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia vi. Rancangan Undang-Undang Tentang
Penghapusan Kekerasan Seksual vii. Dan peraturan terkait lainnya. 2) Bahan hukum sekunder
yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti buku, jurnal,
internet dan dokumen resmi yang dimiliki instansi terkait 3) Bahan hukum tersier yaitu bahan
yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, seperti kamus hukum, ensikopedia, dan Kamus Besar Bahasa Indonesia.
3. RESULT AND DISCUSSION
Perilaku pelecehan seksual merupakan sebuah perbuatan tercela yang dapat diukur dengan adanya
pelanggaran terhadap kaedah - kaedah atau norma norma yang berakar pada nilai-nilai sosial- budaya
sebagai suatu sistem tata kelakuan dan pedoman tindakan-tindakan warga masyarakat, yang dapat
menyangkut norma keagamaan, kesusilaan dan hukum. Dalam sebuah artikel yang berjudul “Kekerasan
Seksual: Mitos dan Realitas”, Ratna Batara Munti menyatakan bahwasanya tindak pidana pelecehan
seksual tidak diatur secara jelas di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bahkan tidak satu pasal pun
menyebutkan kata-kata pelecehan seksual ataupun kekerasan seksual, hanya ada istilah perbuatan cabul
yang diatur pada Pasal 289 sampai dengan Pasal 296 Kitab Undang-Undang HukumPidana. Sedangkan
perbuatan cabul sendiri dapat diartikan sebagai suatu perilaku yang tidak sesuai dengan rasa kesusilaan
atau perlaku keji yang dilakukan dikarenakan semata-mata memenuhi nafsu yang tidak dapat
dikendalikan.
Rumusan yang dimuat dalam KUHP, secara garis besar klasifikasi kekerasan seksual terbagi atas,
perzinahan, persetubuhan, pencabulan, pornografi. Terkait kekerasan seksual atau pelecehan seksual
tidak diatur secara jelas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, KUHP hanya mengatur Kejahatan
Terhadap Kesusilaan. Kejahatan Terhadap Kesusilaan ini diatur dalam BAB XVI Buku II Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana, yaitu sebagai berikut: a). kejahatan akibat pelanggaran secara terbuka kesusilaan
umum (Pasal 281); b). kejahatan pornografi (Pasal 282); c). kejahatan pornografi kepada anak (Pasal
283); d). kejahatab pornografi ketika melaksanakan pencahariannnya (Pasal 283b); e). kejahatan zina
(Pasal 284); f). kejahatan melaksanakan perkosaan untuk bersetubuh (Pasal 285); g). kejahatan
bersetubuh dalam kondisi tak sadarkan diri dan tak berdaya tanpa melakukan perkawinan (Pasal 286); h).
kejahatan bersetubuh dengan anak perempuan (Pasal 287); i). kehajatan bersetubuh dengan perempuan
yang belum cukup umur untuk kawin sehingga menyebabkan luka ringan bahkan berat (Pasal 288); j).
kejahatan perkosaan berbuat percabulan atau perilaku yang menyerang kehormatan kesusilaan (Pasal
289); k). kejahatan berbuat cabul terhadap orang yang tak sadarkan diri dan belum cukup umur untuk
kawin (Pasal 290); l). Apabila kejahatan dalam pasal 286, 287, 289, dan 290 mengakibatkan luka berat
(Pasal 291); m). kejahatan berbuat cabul terhadap anak pada sesama kelamin (Pasal 292); n). kejahatan
mendorong orang berbuat cabul dengan orang yang belum cukup umur (Pasal 293); o). kejahatan berbuat
cabul dengan anak (Pasal 294); p). kejahatan mempermudah berbuat cabul bagi anak (Pasal 295); q).
kejahatan mempermudah berbuat cabul sebagai mata pencaharian atau kebiasaan (Pasal 296); r).
kejahatan menjualbelikan baik perempuan atau lakilaki yang belum cukup umur (Pasal 297); s). kejahatan
menjadikan sebagai sumber pekerjaan dari aktivitas pencabulan yang dilaksanakan oleh orang lain (Pasal
298). Bukan hanya terkait dengan hukum pidana, terjadinya kekerasan seksual juga melanggar hak asasi
yang dimiliki oleh korban.
Sistem hukum Indonesia menjamin hak asasi manusia dari setiap masyarakatnya. Tercantum
dalam Undang-Unang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945 pada Pasal 28A-28J. Pada Pasal
28A dijelaskan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak untuk mempertahankan hidup dan
kehidupannya. Selanjutnya pada Pasal 28B ayat (2) dijelaskan bahwa setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi. Seorang anak seharusnya memperoleh perlindungan harkat dan martbat di lingkungan
sekitar supaya ia bisa tumbuh dan berkembang baik fisik maupun psikologisnya.
Bahkan Frans Magnis Suseno berpendapat bahwa melindungi hak anak merupakan bagian dari
membela HAM (Hak Asasi Manusia) (Antari, 2021). Lalu pada Pasal 28G dijelaskan bahwa tiap manusa
berhak mendapatkan perlindungan diri pribadi, kehormatan, keluarga, harkat dan martabat, serta berhak
memperoleh rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk melakukan sesuatu atau tak
melakukan sesuatu yang merupakan hak asasi. Kemudian dipertegas lagi pada Pasal 28I ayat (1) bahwa
hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama,
hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak
dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun. Dapat dilihat dari berbagai pasal di atas, bahwasanya sistem hukum Indonesia
menentang kekerasan termasuk kekerasan seksual.
Hukum pidana pada dasarnya berisi norma hukum tentang larangan dan keharusan, disertai
ancaman pidana barang siapa melanggar larangan tersebut, pelanggaran atas ketentuan pidana biasa
disebut dengan isitilah tindak pidana, perbuatan pidana, delik dan peristiwa pidana, dan terhadap
pelakunya bisa dikenakan sanksi pidana berupa pidana yang disediakan oleh undang-undang. Dengan
adanya ancaman sanksi itulah kemudian hukum pidana dikatakan sebagai hukum sanksi, yang sekaligus
membedakannya dengan bidang hukum lainnya seperti hukum perdata, hukum tata negara, dan hukum
administerasi.
Keberadaan sanksi ini disamping untuk mendorong agar orang mentaatinya, juga sebagai akibat
hukum bagi orang yang telah melanggar hukum. Kebijakan pidana tentang pelecehan seksual, menjadi
suatu tindak pidana merupakan masalah sentral dan sanksi apa yang selayaknya harus dikenakan.
Sehubungan dengan ini Barda Nawawi Arief menjelaskan mengenai kebijakan hukum pidana dengan
mengutif dari Mac Ancel dan Sudarto. Mac Ancel menjelaskan bahwa kebijakan hukum pidana adalah
suatu ilmu sekaligus seni yang pada ahirnya mempunyai tujuan prkatis untuk memungkinkan peraturan
hukum positif dirumuskan secara baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-
undang tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-udang dan juga kepada para
penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan. Sedangkan Sudarto menegaskan bahwa kebijakan
hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang
paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna.
Upaya penanggulangan kejahatan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan upaya
perlindungan masyarakat dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu dapat dikatakan
bahwa tujuan ahir dari politik kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan.
Memang dalam KUHP yang sekarang berlaku masalah pelecehan seksual tidak dikenal atau tidak diatur,
tetapi bukan berarti pasal-pasal dalam KUHP tidak bisa diterapkan terutama pasal tentang kejahatan
kesusilaan yaitu melalui doktrin supremasi of moral, pembatasan dalam penetapan suatu tindak pidana
dikemukakan oleh Herbert L. Packer bahwa only conduct generally concidered immoral should be treated
as criminal12 oleh karenannya pernyataan pencelaan dapat dihubungkan dengan moral, dalam hal ini
Barda Nawawi Arief, mengajukan pendapat Alf Ross bahwa pencelaan (moral) pada hakekatnya
merupakan suatu bentuk reaksi yang berhubungan dengan tingkah laku yang mempunyai fungsi
mempengaruhi tingkah laku atau mempunyai fungsi pencegahan.
Pelecehan seksual terhadap perempuan jelas membawa dampak negatif. Bila hal ini dibiarkan
terus maka persoalannya tidak terpecahkan. Sebagai persoalan gender, pelecehan seksual terhadap
perempuan pertama-tama harus diletakkan dalam perspektif gender. Tanpa dasar ini maka persoalan
tersebut mustahil untuk dipecahkan. Bahwa pimpinan yang sensitif gender tidak mentolerir pelecehan
seksual di tempat kerja dan pelaku pelecehan akan dikenai sangsi. Akibatnya, jumlah pelecehan seksual
menurun sangat signifikan.
Pada kondisi kerja yang demikian secara psikologis pekerja perempuan merasa lebih aman. Inilah
suasana kerja yang diharapkan oleh para pekerja perempuan yang secara organisasional juga akan
berdampak pada peningkatan kinerja perusahaan dan organisasi. Tempat yang aman bagi perempuan
harus terus diupayakan. Perspektif gender terbaru disebut sebagai gender mainstreaming yang bermakna
bahwa secara kelembagaan persoalan gender harus menjadi satu bagian yang tidak terpisahkan dengan
persoalan-persoalan lain.
Langkah-langkah seperti kuota perempuan dan laki-laki di tempat kerja yang mengarah ke
keseimbangan hanya satu bagian dari perspektif yang mulai menjadi gerakan ini. Langkah-langkah
strategis lain di antaranya adalah memasukkan isu kesetaraan gender dalam semua kebijakan lembaga
maupun perusahaan disertai dengan ketegasan dalam aturan dan standar prosedur operasional.
Pengarusutamaan gender secara kelembagaan yang dibarengi dengan kesensitivitan gender dari sisi
manusianya akan menempatkan perempuan dan laki-laki secara bersama-sama merasa aman, bukan
hanya salah satu, laki-laki atau perempuan saja.
Dihadapkan dengan fakta di lapangan yaitu tingginya angka kasus kekerasan seksual yang terjadi
di Indonesia, menjadi sebuah ironi bahwasanya kekerasan seksual tidak diatur secara jelas bahkan tidak
disebut sekalipun dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Kekerasan seksual dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana hanya diatur secara tidak langsung.
Dari hasil pemantauan Komnas Perempuan dari tahun 1998 hingga 2013 yaitu di Indonesia selama
15 tahun setidaknya ada 15 bentuk kekerasan seksual yaitu: a) perkosaan; b) perbudakan seksual; c)
intimidasi seksual; d) prostitusi seksual; e) eksploitasi seksual; f) pemaksaan perkawinan; g) perdangan
perempuan untuk seksual; h) pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi; i) pemaksaan kehamilan; j)
pemaksaan aborsi; k) prenyiksaan seksual; l) kontrol seksual; m) penghukuman tak manusiawi dan
bernuasa seksual; n) pelecehan seksual; dan o) praktik tradisi berkaitan seksual yang berbahaya atau
diskriminasi perempuan (Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, 2021)
Kekerasan seksual dibahas secara lebih jelas pada Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga pada Pasal 8, Pasal 47, dan Pasal 48. Dalam Pasal 8
Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 hanya terdapat satu jenis kekerasan seksual yaitu pemaksaan
hubungan seksual. Dan begitu pula keadaannya pada Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang
Pemberatasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Pasal 1 angka 8 yang hanya mengatur mengenai
eksploitasi seksual. Dari sini dapat terlihat bahwasanya sistem hukum Indonesia belum dapat memberikan
kepastian hukum terhadap masyarakat terkait dengan 13 jenis kekerasan seksual yang terjadi lainnya.
Oleh karena itu, karena tingginya angka kekerasan seksual dan kurang pastinya hukum Indonesia
membahas kekerasan seksual, dianggap sebagai sebuah urgensi untuk membentuk Undang- Undang yang
mengatur mengenai kekerasan seksual secara lebih lanjut. Hal ini juga berkaitan dengan Hhak asasi
manusia yang ditegaskan pada Pasal 28D ayat (1) bahwasanya setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Terkait dengan kekerasan seksual yang hingga saat ini belum memiliki pengaturan khusus, membuat
peraturan perundang-undangan terkait kekerasan seksual dianggap penting karena juga sebagai bentuk
negara menjamin adanya kepastian hukum yang adil bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Masyarakat pun tak hentinya terus menerus menuntut pengesahan Rancangan Undang-Undang
Penghapusan Kekerasan Seksual mengingat hingga hari ini kekerasan seksual terus-menerus masih
terjadi. Selain dari itu Pemerintah dan Komisi III DPR RI juga sedang bekerja sama melakukan
pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru. Rancangan Undang-Undang
Penghapusan Kekerasan Seksual ini diperlukan karena akan mengatur tindak pidana kekerasan seksual
yang secara belum lengkap dibahas di Kitab Undang- Undang Hukum Pidana. Oleh karena itu, apabila
nantinya disahkan, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual ini akan menjadi
ketentuan khusus atau lex specialist dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Rancangan Undang-
Undang Penghapusan Kekerasan Seksual ini juga diperlukan karena dibutuhkan perumusan jenis-jenis
tindak pidana kekerasan seksual dan pemidanaannya baik sebagai pidana pokok maupun pidana
tambahan.
Jannah, P. M. (2021). Pelecehan Seksual, Seksisme dan Bystander. Psikobuletin: Buletin Ilmiah
Psikologi, 2(1), 61-70.
Khoirunisa, A. (2018). Peran Perempuan dalam Berita Pelecehan Seksual pada Jakarta detik.
com. Deskripsi Bahasa, 1(1), 26-30.
Oktaviani, R., & Azeharie, S. S. (2020). Penyingkapan diri perempuan penyintas kekerasan
seksual. Koneksi, 4(1), 98-105.
Suprihatin, S., & Azis, A. M. (2020). Pelecehan Seksual Pada Jurnalis Perempuan di
Indonesia. PALASTREN: Jurnal Studi Gender, 13(2), 413-434.