Anda di halaman 1dari 10

JURNAL HUKUM UNISSULA

P-ISSN: 1412-2723
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 3.0 International License.

Perlindungan Hukum Korban Pelecehan Seksual Terhadap


Perempuan
Rasheesa Chika Vidyanata (30302000270)
Universitas Islam Sultan Agung, Semarang,

ARTICLE INFO ABSTRACT


Pelecehan seksual merupakan isu yang sudah lama menjadi
Keyword :
Perlindungan hukum Wanita, perbincangan masyarakat Indonesia. Di Indonesia sendiri,
pelecehan seksual, kejahatan kata pelecehan seksual sudah tidak asing lagi karena hampir
setiap tahun terjadi kasus pelecehan seksual. Itu Masalah
DOI : 10.26532/jh.v39i1.26675 kekerasan seksual sudah sering terdengar di telinga
masyarakat Indonesia. Namun bahasa Indonesia hukum belum
sepenuhnya memberikan akibat hukum yang tegas bagi pelaku
dan perlindungan bagi korban tujuan penulisan penelitian ini
adalah untuk mengetahui seperti apa penegakan hukum
terhadap pelaku seksual kekerasan dan bagaimana
perlindungan hukum bagi korban. Penelitian ini menggunakan
metode penelitian hukum normatif yaitu bagian dari tipologi
penelitian doktrinal. Pendekatan penelitian yang digunakan
adalah pendekatan perundang-undangan dan konseptual
mendekati. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
Rancangan Hukum Pidana untuk kasus kekerasan seksual
merupakan hal yang mendesak Hal ini mengingat maraknya
kasus kekerasan seksual di Indonesia. Pembuatan undang-
undang yang melindungi korban seksual kekerasan,
penyelesaian kasus kekerasan seksual dan perlindungan
korban kasus kekerasan seksual dilaksanakan dengan benar
1. PENDAHULUAN
Kekerasan seksual merupakan kejahatan yang meresahkan masyarakat dimana kekerasan tersebut
melanggar Hak Asasi Manusia, sudah menjadi tugas pemerintah agar memberikan jaminan terhadap
perempuan atas hak-hak yang dimilikinya secara asasi. Kekerasan seksual terhadap perempuan sudah
menjadi masalah utama di Indonesia, Negara harus memberikan perlindungan terhadap perempuan yang
menjadi korban pelanggaran Hak Asasi Manusia yaitu korban kekerasan seksual. Kekerasan diartikan
sebagai: a) perihal yang bersifat, berciri keras, b) perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang
menyebabkan kerusakan fisik atau barang, c) paksaan. Pengertian kekerasan seksual juga dapat diartikan
sebagai sebuah tindakan atau intimidasi yang berhubungan dengan keintiman atau hubungan seksualitas
yang dilakukan oleh pelaku terhadap korbannya dengan cara memaksa, yang berakibat korban menderita
secara fisik, materi, mental maupun psikis.
Kejahatan kesusilaan secara umum merupakan perbuatan yang melanggar kesusilaan yang
sengaja merusak kesopanan dimuka umum atau dengan kata lain tidak atas kemauan si korban melalui
ancaman kekerasan1 . Menurut Abdul Wahid, salah satu praktik seks yang dinilai menyimpang adalah
bentuk kekerasan seksual. Artinya praktik hubungan seksual yang dilakukan dengan cara-cara
kekerasan, diluar ikatan perkawinan yang sah dan bertentangan dengan ajaran Islam . Masalah kekerasan
seksual bisa terjadi terhadap siapa saja, pelakunya bisa dari anak-anak maupun lanjut usia baik laki-laki
maupun perempuan tetapi kekerasan seksual banyak korban dari perempuan.
Beberapa faktor yang mempengaruhi pelaku melakukan kekerasan seksual adalah ingin
memuaskan hasrat seksual dan kesenjangan relasi. Pelakunya mengetahui bahwa perempuan itu lemah
dan memiliki akses yang mudah pada korban. Kekerasan seksual terjadi baik dalam ranah dosmetik
maupun publik, lemahnya hukum yang mengatur tentang kekerasan seksual menjadi faktor utama
maraknya kekerasan seksual. Peran pemerintah sangat diperlukan untuk pemenuhan hak-hak bagi
korban kekerasan seksual bukan hanya cara menindak pelaku. Dampak kekerasan seksual sangat
menimbulkan trauma bagi korbannya, dampak yang terjadi baik psikis maupun fisik. Dampak psikologis
korban kekerasan akan mengalami trauma yang mendalam, selain itu stres yang dialami korban dapat
menganggu fungsi dan perkembangan otaknya. Dampak fisik, kekerasan seksual merupakan faktor
utama penularan Penyakit Menular Seksual (PMS). Selain itu, korban juga berpotensi mengalami luka
internal dan pendarahan. Pada kasus yang parah, kerusakan organ internal dapat terjadi.
Ada beberapa bentuk kekerasan seksual sebagaimana diatur dalam pasal 11 ayat (2) RUU
Penghapusan Kekerasan Seksual yaitu “a. pelecehan seksual; b. eksploitasi seksual; c. pemaksaan
kontrasepsi; d. pemaksaan aborsi; e. perkosaan; f. pemaksaan perkawinan; g. pemaksaan pelacuran; h.
perbudakan seksual; dan/atau i. penyiksaan seksual” Upaya memberikan perlindungan bagi korban
kekerasan seksual sebagaimana diatur dalam pasal 6 ayat (1) Undang-undang No. 31 tahun 2014 Tentang
Perlindungan Saksi dan Korban sebagai berikut: “Korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat,
Korban tindak pidana terorisme, Korban tindak pidana perdagangan orang, Korban tindak pidana
penyiksaan, Korban tindak pidana kekerasan seksual, dan Korban penganiayaan berat, selain berhak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, juga berhak mendapatkan: a. bantuan medis; dan b. bantuan
rehabilitasi psikososial dan psikologis”
2. RESEARCH METHODS
Metode penelitian adalah cara melakukan sesuatu dengan menggunakan pikiran secara seksama
untuk mencapai suatu tujuan dengan cara mencari, mencatat, merumuskan, dan menganalisis sampai
menyusun laporan.
Metode penelitian yang disajikan penulis adalah sebagai berikut:

a. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum
yang bersifat deskriptif. Jenis penelitian deskriptif bertujuan mendeskripsikan atau
menggambarkan tentang norma-norma dan peraturan yang mengatur tindak pidana kekerasan
seksual, selain itu memberikan informasi yang lebih luas dan umum serta upaya pemerintah dalam
melindungi korban tindak pidana kekerasan seksual di Kota Surakarta.

b. Metode Pendekatan Metode pendekatan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis
empiris yakni dilakukan dengan melihat kenyataan yang ada dalam praktek lapangan. Penulis juga
mempelajari beberapa perundang-undangan dan buku-buku yang merupakan literatur yang
berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Pendekatan yuridis empiris dilakukan untuk mencari
faktor yang mempengaruhi pelaku dalam melakukan tindak kekerasan seksual serta peran
pemerintah dalam melindungi korban tindak kekerasan seksual.

c. Data dan Sumber Data Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data primer dan data
sekunder yang meliputi: a. Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber data dalam
praktek lapangan. Data primer yang diperoleh berupa fakta dan keterangan dari pihak-pihak yang
bertanggung jawab menangani tindak pidana kekerasan seksual. b. Data Sekunder yaitu data yang
mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan
dan sebagainya. Jenis bahan hukum yang digunakan adalah : 1) Bahan hukum primer yaitu bahan
hukum yang mengikat dan terdiri dari: i. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ii. Kitap
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) iii. Undang-Undang No. 31 Tahun 2014
Tentang Perlindungan Saksi dan Korban iv. Undang-Undang Dasar 1945 v. Undang-Undang No.
39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia vi. Rancangan Undang-Undang Tentang
Penghapusan Kekerasan Seksual vii. Dan peraturan terkait lainnya. 2) Bahan hukum sekunder
yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti buku, jurnal,
internet dan dokumen resmi yang dimiliki instansi terkait 3) Bahan hukum tersier yaitu bahan
yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, seperti kamus hukum, ensikopedia, dan Kamus Besar Bahasa Indonesia.
3. RESULT AND DISCUSSION
Perilaku pelecehan seksual merupakan sebuah perbuatan tercela yang dapat diukur dengan adanya
pelanggaran terhadap kaedah - kaedah atau norma norma yang berakar pada nilai-nilai sosial- budaya
sebagai suatu sistem tata kelakuan dan pedoman tindakan-tindakan warga masyarakat, yang dapat
menyangkut norma keagamaan, kesusilaan dan hukum. Dalam sebuah artikel yang berjudul “Kekerasan
Seksual: Mitos dan Realitas”, Ratna Batara Munti menyatakan bahwasanya tindak pidana pelecehan
seksual tidak diatur secara jelas di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bahkan tidak satu pasal pun
menyebutkan kata-kata pelecehan seksual ataupun kekerasan seksual, hanya ada istilah perbuatan cabul
yang diatur pada Pasal 289 sampai dengan Pasal 296 Kitab Undang-Undang HukumPidana. Sedangkan
perbuatan cabul sendiri dapat diartikan sebagai suatu perilaku yang tidak sesuai dengan rasa kesusilaan
atau perlaku keji yang dilakukan dikarenakan semata-mata memenuhi nafsu yang tidak dapat
dikendalikan.

Rumusan yang dimuat dalam KUHP, secara garis besar klasifikasi kekerasan seksual terbagi atas,
perzinahan, persetubuhan, pencabulan, pornografi. Terkait kekerasan seksual atau pelecehan seksual
tidak diatur secara jelas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, KUHP hanya mengatur Kejahatan
Terhadap Kesusilaan. Kejahatan Terhadap Kesusilaan ini diatur dalam BAB XVI Buku II Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana, yaitu sebagai berikut: a). kejahatan akibat pelanggaran secara terbuka kesusilaan
umum (Pasal 281); b). kejahatan pornografi (Pasal 282); c). kejahatan pornografi kepada anak (Pasal
283); d). kejahatab pornografi ketika melaksanakan pencahariannnya (Pasal 283b); e). kejahatan zina
(Pasal 284); f). kejahatan melaksanakan perkosaan untuk bersetubuh (Pasal 285); g). kejahatan
bersetubuh dalam kondisi tak sadarkan diri dan tak berdaya tanpa melakukan perkawinan (Pasal 286); h).
kejahatan bersetubuh dengan anak perempuan (Pasal 287); i). kehajatan bersetubuh dengan perempuan
yang belum cukup umur untuk kawin sehingga menyebabkan luka ringan bahkan berat (Pasal 288); j).
kejahatan perkosaan berbuat percabulan atau perilaku yang menyerang kehormatan kesusilaan (Pasal
289); k). kejahatan berbuat cabul terhadap orang yang tak sadarkan diri dan belum cukup umur untuk
kawin (Pasal 290); l). Apabila kejahatan dalam pasal 286, 287, 289, dan 290 mengakibatkan luka berat
(Pasal 291); m). kejahatan berbuat cabul terhadap anak pada sesama kelamin (Pasal 292); n). kejahatan
mendorong orang berbuat cabul dengan orang yang belum cukup umur (Pasal 293); o). kejahatan berbuat
cabul dengan anak (Pasal 294); p). kejahatan mempermudah berbuat cabul bagi anak (Pasal 295); q).
kejahatan mempermudah berbuat cabul sebagai mata pencaharian atau kebiasaan (Pasal 296); r).
kejahatan menjualbelikan baik perempuan atau lakilaki yang belum cukup umur (Pasal 297); s). kejahatan
menjadikan sebagai sumber pekerjaan dari aktivitas pencabulan yang dilaksanakan oleh orang lain (Pasal
298). Bukan hanya terkait dengan hukum pidana, terjadinya kekerasan seksual juga melanggar hak asasi
yang dimiliki oleh korban.
Sistem hukum Indonesia menjamin hak asasi manusia dari setiap masyarakatnya. Tercantum
dalam Undang-Unang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945 pada Pasal 28A-28J. Pada Pasal
28A dijelaskan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak untuk mempertahankan hidup dan
kehidupannya. Selanjutnya pada Pasal 28B ayat (2) dijelaskan bahwa setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi. Seorang anak seharusnya memperoleh perlindungan harkat dan martbat di lingkungan
sekitar supaya ia bisa tumbuh dan berkembang baik fisik maupun psikologisnya.

Bahkan Frans Magnis Suseno berpendapat bahwa melindungi hak anak merupakan bagian dari
membela HAM (Hak Asasi Manusia) (Antari, 2021). Lalu pada Pasal 28G dijelaskan bahwa tiap manusa
berhak mendapatkan perlindungan diri pribadi, kehormatan, keluarga, harkat dan martabat, serta berhak
memperoleh rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk melakukan sesuatu atau tak
melakukan sesuatu yang merupakan hak asasi. Kemudian dipertegas lagi pada Pasal 28I ayat (1) bahwa
hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama,
hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak
dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun. Dapat dilihat dari berbagai pasal di atas, bahwasanya sistem hukum Indonesia
menentang kekerasan termasuk kekerasan seksual.

Hukum pidana pada dasarnya berisi norma hukum tentang larangan dan keharusan, disertai
ancaman pidana barang siapa melanggar larangan tersebut, pelanggaran atas ketentuan pidana biasa
disebut dengan isitilah tindak pidana, perbuatan pidana, delik dan peristiwa pidana, dan terhadap
pelakunya bisa dikenakan sanksi pidana berupa pidana yang disediakan oleh undang-undang. Dengan
adanya ancaman sanksi itulah kemudian hukum pidana dikatakan sebagai hukum sanksi, yang sekaligus
membedakannya dengan bidang hukum lainnya seperti hukum perdata, hukum tata negara, dan hukum
administerasi.

Keberadaan sanksi ini disamping untuk mendorong agar orang mentaatinya, juga sebagai akibat
hukum bagi orang yang telah melanggar hukum. Kebijakan pidana tentang pelecehan seksual, menjadi
suatu tindak pidana merupakan masalah sentral dan sanksi apa yang selayaknya harus dikenakan.
Sehubungan dengan ini Barda Nawawi Arief menjelaskan mengenai kebijakan hukum pidana dengan
mengutif dari Mac Ancel dan Sudarto. Mac Ancel menjelaskan bahwa kebijakan hukum pidana adalah
suatu ilmu sekaligus seni yang pada ahirnya mempunyai tujuan prkatis untuk memungkinkan peraturan
hukum positif dirumuskan secara baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-
undang tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-udang dan juga kepada para
penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan. Sedangkan Sudarto menegaskan bahwa kebijakan
hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang
paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna.

Upaya penanggulangan kejahatan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan upaya
perlindungan masyarakat dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu dapat dikatakan
bahwa tujuan ahir dari politik kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan.
Memang dalam KUHP yang sekarang berlaku masalah pelecehan seksual tidak dikenal atau tidak diatur,
tetapi bukan berarti pasal-pasal dalam KUHP tidak bisa diterapkan terutama pasal tentang kejahatan
kesusilaan yaitu melalui doktrin supremasi of moral, pembatasan dalam penetapan suatu tindak pidana
dikemukakan oleh Herbert L. Packer bahwa only conduct generally concidered immoral should be treated
as criminal12 oleh karenannya pernyataan pencelaan dapat dihubungkan dengan moral, dalam hal ini
Barda Nawawi Arief, mengajukan pendapat Alf Ross bahwa pencelaan (moral) pada hakekatnya
merupakan suatu bentuk reaksi yang berhubungan dengan tingkah laku yang mempunyai fungsi
mempengaruhi tingkah laku atau mempunyai fungsi pencegahan.

Pelecehan seksual terhadap perempuan jelas membawa dampak negatif. Bila hal ini dibiarkan
terus maka persoalannya tidak terpecahkan. Sebagai persoalan gender, pelecehan seksual terhadap
perempuan pertama-tama harus diletakkan dalam perspektif gender. Tanpa dasar ini maka persoalan
tersebut mustahil untuk dipecahkan. Bahwa pimpinan yang sensitif gender tidak mentolerir pelecehan
seksual di tempat kerja dan pelaku pelecehan akan dikenai sangsi. Akibatnya, jumlah pelecehan seksual
menurun sangat signifikan.

Pada kondisi kerja yang demikian secara psikologis pekerja perempuan merasa lebih aman. Inilah
suasana kerja yang diharapkan oleh para pekerja perempuan yang secara organisasional juga akan
berdampak pada peningkatan kinerja perusahaan dan organisasi. Tempat yang aman bagi perempuan
harus terus diupayakan. Perspektif gender terbaru disebut sebagai gender mainstreaming yang bermakna
bahwa secara kelembagaan persoalan gender harus menjadi satu bagian yang tidak terpisahkan dengan
persoalan-persoalan lain.

Langkah-langkah seperti kuota perempuan dan laki-laki di tempat kerja yang mengarah ke
keseimbangan hanya satu bagian dari perspektif yang mulai menjadi gerakan ini. Langkah-langkah
strategis lain di antaranya adalah memasukkan isu kesetaraan gender dalam semua kebijakan lembaga
maupun perusahaan disertai dengan ketegasan dalam aturan dan standar prosedur operasional.
Pengarusutamaan gender secara kelembagaan yang dibarengi dengan kesensitivitan gender dari sisi
manusianya akan menempatkan perempuan dan laki-laki secara bersama-sama merasa aman, bukan
hanya salah satu, laki-laki atau perempuan saja.
Dihadapkan dengan fakta di lapangan yaitu tingginya angka kasus kekerasan seksual yang terjadi
di Indonesia, menjadi sebuah ironi bahwasanya kekerasan seksual tidak diatur secara jelas bahkan tidak
disebut sekalipun dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Kekerasan seksual dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana hanya diatur secara tidak langsung.

Dari hasil pemantauan Komnas Perempuan dari tahun 1998 hingga 2013 yaitu di Indonesia selama
15 tahun setidaknya ada 15 bentuk kekerasan seksual yaitu: a) perkosaan; b) perbudakan seksual; c)
intimidasi seksual; d) prostitusi seksual; e) eksploitasi seksual; f) pemaksaan perkawinan; g) perdangan
perempuan untuk seksual; h) pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi; i) pemaksaan kehamilan; j)
pemaksaan aborsi; k) prenyiksaan seksual; l) kontrol seksual; m) penghukuman tak manusiawi dan
bernuasa seksual; n) pelecehan seksual; dan o) praktik tradisi berkaitan seksual yang berbahaya atau
diskriminasi perempuan (Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, 2021)

Kekerasan seksual dibahas secara lebih jelas pada Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga pada Pasal 8, Pasal 47, dan Pasal 48. Dalam Pasal 8
Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 hanya terdapat satu jenis kekerasan seksual yaitu pemaksaan
hubungan seksual. Dan begitu pula keadaannya pada Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang
Pemberatasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Pasal 1 angka 8 yang hanya mengatur mengenai
eksploitasi seksual. Dari sini dapat terlihat bahwasanya sistem hukum Indonesia belum dapat memberikan
kepastian hukum terhadap masyarakat terkait dengan 13 jenis kekerasan seksual yang terjadi lainnya.

Oleh karena itu, karena tingginya angka kekerasan seksual dan kurang pastinya hukum Indonesia
membahas kekerasan seksual, dianggap sebagai sebuah urgensi untuk membentuk Undang- Undang yang
mengatur mengenai kekerasan seksual secara lebih lanjut. Hal ini juga berkaitan dengan Hhak asasi
manusia yang ditegaskan pada Pasal 28D ayat (1) bahwasanya setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Terkait dengan kekerasan seksual yang hingga saat ini belum memiliki pengaturan khusus, membuat
peraturan perundang-undangan terkait kekerasan seksual dianggap penting karena juga sebagai bentuk
negara menjamin adanya kepastian hukum yang adil bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Masyarakat pun tak hentinya terus menerus menuntut pengesahan Rancangan Undang-Undang
Penghapusan Kekerasan Seksual mengingat hingga hari ini kekerasan seksual terus-menerus masih
terjadi. Selain dari itu Pemerintah dan Komisi III DPR RI juga sedang bekerja sama melakukan
pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru. Rancangan Undang-Undang
Penghapusan Kekerasan Seksual ini diperlukan karena akan mengatur tindak pidana kekerasan seksual
yang secara belum lengkap dibahas di Kitab Undang- Undang Hukum Pidana. Oleh karena itu, apabila
nantinya disahkan, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual ini akan menjadi
ketentuan khusus atau lex specialist dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Rancangan Undang-
Undang Penghapusan Kekerasan Seksual ini juga diperlukan karena dibutuhkan perumusan jenis-jenis
tindak pidana kekerasan seksual dan pemidanaannya baik sebagai pidana pokok maupun pidana
tambahan.

Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual juga merancang denda sebagai


salah satu ancaman pidana sebab denda akan masuk ke kas negara tetapi tidak berhubungan dengan
penyediaan penggantian kerugian bagi korban. Dan khusus untuk tindak pidana kekerasan seksual
tertentu, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual akan menghadirkan adanya
rehabilitasi khusus. Selain dari itu, juga terdapat berbagai macamancaman pidana lainnya seperti
pembinaan khusus, pencabutan hak asuh, pencabutan profesi, pencabutan hak politik, dan juga kerja
sosial. Lalu kemudian dalam Kitab Undang-Undang HukumAcara Pidana tidak memiliki ketentuan dalam
hal perlunya pendampingan psikolog atau tim medis lainnya untuk korban dalam memberikan keterangan
atau kesaksian, sedangkan Rancangan Undang- Undang Penghapusan Kekerasan Seksual menegaskan
bahwa merupakan hak korban untuk mendapatkanpendampingan dan merupakan kewajiban bagi aparat
penegak hukum untuk mendampingi korban kekerasan seksual.
4. CONCLUSION

Kasus kekerasan seksual di Indonesia menjadi problematika sosial di masyarakat. Namun


sayangnya, hukum pidana yang dibuat untuk melindungi korban kekerasan seksual masih terkesan
serampangan dan tidak menunjukkan adanya keberpihakan pada korban. Hal ini, membuat banyak korban
kekerasan seksual takut untuk memperjuangkan keadilan yang berhak didapatkannya. Korban kekerasan
seksual takut untuk mengajukan laporan terkait kasus kekerasan seksual yang dialaminya, karena
kurangnya perlindungan hukum di Indonesia yang menjamin perlindungan bagi korban kekerasan
seksual. Aturan hukum pidana yang telah dibuat, kurang menunjukkan keberpihakan pada korban
kekerasan seksual. Terdapatnya beberapa frasa yang rancu, membuat penegakan hukum terkait kasus
kekerasan seksual di Indonesia sulit untuk diterapkan. Selain itu, pada praktiknya penerapan hukum kasus
kekerasan seksual di Indonesia masih menemui beberapa hambatan karena regulasi hukum yang ada
beberapa kali tidak dijalankan secara tepat. Oleh karena itu, dibutuhkan regulasi hukum yang tepat untuk
melindungi korban kekerasan seksual dari kejahatan yang dialaminya. Untuk kasus kekerasan seksual
sendiri menjadi suatu hal yang urgensi, mengingat maraknya kasus kekerasan seksual di Indonesia.
Dengan membuat udang-undang yang melindungi korban kekerasan seksual, penyelesaian terhadap kasus
kekerasan seksual dan perlindungan terhadap korban kasus kekerasan seksual dapat dijalankan dengan
baik. Sehingga hukum di Indonesia dapat dijalankan sesuai dengan tujuannya, yaitu melindungi seluruh
masyarakat Indonesia dari kasus kejahatan.
References
Dwiyanti, F. (2017). Pelecehan Seksual Pada Perempuan Di Tempat Kerja (Studi Kasus Kantor Satpol
PP Provinsi DKI Jakarta). Jurnal Kriminologi Indonesia, 10(1).

Jannah, P. M. (2021). Pelecehan Seksual, Seksisme dan Bystander. Psikobuletin: Buletin Ilmiah
Psikologi, 2(1), 61-70.

Khoirunisa, A. (2018). Peran Perempuan dalam Berita Pelecehan Seksual pada Jakarta detik.
com. Deskripsi Bahasa, 1(1), 26-30.

Oktaviani, R., & Azeharie, S. S. (2020). Penyingkapan diri perempuan penyintas kekerasan
seksual. Koneksi, 4(1), 98-105.

Suprihatin, S., & Azis, A. M. (2020). Pelecehan Seksual Pada Jurnalis Perempuan di
Indonesia. PALASTREN: Jurnal Studi Gender, 13(2), 413-434.

Anda mungkin juga menyukai