7/November/2013
53
Lex Crimen Vol. II/No. 7/November/2013
54
Lex Crimen Vol. II/No. 7/November/2013
dan psikis. Oleh karena itulah, perkosaan dalam batasan di atas, juga kesulitan
bukan hanya cerminan dari citra pembuktian misalnya perkosaan atau
perempuan sebagai objek seks, melainkan perbuatan cabul yang umumnya dilakukan
sebagai objek kekuasaan laki-laki.4 tanpa kehadiran orang lain.6
Pandangan pembela hak hak perempuan Walaupun banyak tindak pidana
itu mensyaratkan bahwa selama ini perkosaan yang telah diproses sampai ke
perempuan masih ditempatkan dalam Pengadilan, tapi dari kasus-kasus itu
posisi subordinasi dan marginalisasi. pelakunya tidak dijatuhi hukuman yang
Perempuan tidak sebatas sebagai objek maksimal sesuai dengan ketentuan
pemuas seks kaum laki-laki dan selalu akrab perundang-undangan yang tercantum
dengan beragam kekerasan, namun juga dalarn Kitab Undang-Undang Hukurn
sebagai kaum yang dipandang lemah, yang Pidana (KUHP) BAB XIV tentang Kejahatan
selalu harus dikuasai, dieksploitasi dan Terhadap Kesusilaan (Pasal 281 s/d 296),
diperbudak laki-laki. khususnya yang mengatur tentang tindak
Pandangan seperti itu barangkali pidana perkosaan (Pasat 285) yang
merujuk pada berbagai fenomena yang menyatakan:
menunjukkan kalau kejahatan kekerasan "Barangsiapa dengan kekerasan atau
yang seringkali terjadi di tengah-tengah ancaman kekerasan memaksa seorang
masyarakat ini lebih banyak kaum laki-laki wanita bersetubuh dengan dia di luar
yang melakukannya, dan jarang sekali pernikahan, diancam karena melakukan
ditemukan suatu kasus yang menempatkan perkosaan, dengan pidana penjara paling
wanita sebagai pelaku kejahatan kekerasan lama dua belas tahun".
kaum terhadap laki-laki. Perempuan telah Sudarto berpendapat (seperti yang
menempati strata inferior akibat perilaku dikutip oleh Barda Nawawi Arief dalam
superioritas yang ditunjukkan laki-laki yang bukunya Bunga Rampai Kebijakan Hukum
adigang dan congkak menunjukkan Pidana) bahwa untuk menanggulangi
kekuatan fisiknya. kejahatan diperlukan suatu usaha yang
Windhu mengomentari pula, bahwa rasional dari masyarakat, yaitu dengan cara
"kekerasan (terhadap perempuan) adalah politik kriminal. Kebijakan atau upaya
suatu sifat atau keadaan yang mengandung penanggulangan kejahatan pada
kekuatan, tekanan dan paksaan. Kekerasan hakekatnya merupakan bagian integral dari
terkait dengan paksaan, yang berarti upaya perlindungan masyarakat. Oleh
tekanan yang keras. Kekerasan juga sering karena itu dapat dikatakan, bahwa tujuan
dikaitkan dengan tindakan perkosaan, yakni utama dari poiitik kriminat adalah
suatu tindakan menundukkan dengan "perlindungan masyarakat untuk mencapai
paksaan dan kekerasan.5 kesejahteraan masyarakat",7
Kasus tindak pidana perkosaan paling Alasan kasus-kasus perkosaan tidak
banyak menimbulkan kesulitan dalam dilaporkan oleh korban kepada aparat
penyelesaiannya baik pada tahap penegak hukum untuk diproses ke
penyidikan, penuntutan, maupun pada Pengadilan karena beberapa faktor,
tahap penjatuhan putusan. Selain kesulitan diantaranya korban merasa malu dan tidak
4 6
Dadang S. Anshari (et.al.), Membincangkan Leden Marpaung, Kejahatan Terhadap Kesusilaan
Feminisme, Refleksi Muslimah atas Peran Sosial Dan Masalah Prevensinya, Sinar Grafika, Jakarta,
Kaum Wanita, Pustaka Hidayah, Bandung, 1997, 1996, hlm. 81
7
hlm. 74. Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan
5
Haedar Nashir, Agama dan Krisis Kemanusiaan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012),
Modern, Pustaka pelajar, Yogyakarta, 1997, hlm. 64. hlm 1-2
55
Lex Crimen Vol. II/No. 7/November/2013
ingin aib yang menimpa dirinya diketahui tanpa itu dia merasa gagal, maka
oleh orang lain, atau korban merasa takut terjadilah perkosaan.
karena telah diancam oleh pelaku bahwa e. Exploitation rape, yaitu perkosaan yang
dirinya akan dibunuh jika melaporkan terjadi karena diperolehnya keuntungan
kejadian tersebut kepada poiisi. Hal ini atau situasi di mana perempuan
tentu saja mempengaruhi perkembangan bersangkutan dalam posisi tergantung
mental/kejiwaan dari para korban dan juga padanya secara ekonomi dan sosial.
berpengaruh pada proses penegakan Yang dimaksudkan kejahatan perkosaan
hukum itu sendiri untuk mewujudkan rasa anak di bawah umum dirumuskan dalam
keadilan bagi korban dan masyarakat. KUHP Pasal 287 yang selengkapnya sebagal
Secara garis besar terdapat 5 (lima) tipe berikut:
tindak pidana pemerkosaan, yaitu:8 a. Barang siapa bersetubuh dengan
a. Sadictic rape (perkosaan sadis), yang seorang perempuan di luar
memadukan seksualitas dan agresi perkawinan, padahal diketahuinya atau
dalam bentuk kekerasan destruktif. sepatutnya harus diduga bahwa
Pelaku menikmati kesenangan erotik umumya belum lima belas tahun, atau
bukan melalui hubungan seksualnya kalau umurnya tidak jelas, bahwa Ia
melainkan serangan yang mengerikan belum waktunya untuk kawin, diancam
atas kelamin dan tubuh korban. dengan pidana penjara paling lama
b. Anger rape, yaitu perkosaan sebagai sembilan tahun.
pelampiasan kemarahan atau sebagai b. Penuntutan hanya dilakukan atas
sarana menyatakan dan melepaskan pangaduan, kecuali jika perempuan itu
perasaan geram dan amarah yang belum sampai dua belas tahun atau jika
tertekan. Tubuh korban seakan dijadikan ada satu hal berdasarkan Pasal 291 dan
objek terhadap siapa pelaku Pasal 294.
memproyeksikan pemecahan kesulitan, Apabila rumusan Pasal 287 ayat 1
kelemahan, frustasi, dan kekecewaan dirinci, terdapat unsur-unsur sebagai
hidupnya. berikut:
c. Domination rape, yaitu perkosaan karena a. Unsur-unsur objektif:
dorongan keinginan pelaku menunjukan 1) Perbuatannya: bersetubuh
kekuasaan atau superioritasnya sebagai Artinya pemerkosaan terhadap anak
lelaki terhadap perempuan dengan terjadi karena ada persetubuhan yang
tujuan utama pemakhlukan seksual. terjadi baik di luar kehendak korban
d. Seductive rape, yaitu perkosaan karena maupun didalam kehendak korban
dorongan situasi merangsang yang sendiri (suka sama senang). Atas
diciptakan kedua belah pihak. Pada dasar suka sama senang korban anak
mulanya korban memutuskan untuk tersebut tidak dipidana kecuali anak
membatasi keintiman personal, dan tersebut mengetahui bahwa pelaku
sampai batas-batas tettentu bersikap sudah brsuami, sehingga anak
permissive (membolehkan) perilaku tersebut dapat dipidana dengan 284
pelaku asalkan tidak sampai melakukan KUHP.9
hubungan seksual. Namun karena pelaku 2) Objek: dengan perempuan di luar
beranggapan bahwa perempuan pada kawin.
umumnya membutuhkan paksaan dan Artinya perempuan di luar kawin.
8
Bagong Suyanto, Pelanggaran Hak dan
9
Perlindungan Sosial Bagi Anak Rawan, Surabaya Adami Chazawi, Tindak Pidana Mengenal
Airlangga University Press. 2003, hlm. 14. Kesopanan, Bandung Angkasa, 2005, hlm. 71.
56
Lex Crimen Vol. II/No. 7/November/2013
57
Lex Crimen Vol. II/No. 7/November/2013
58
Lex Crimen Vol. II/No. 7/November/2013
12
Moelyatno dalam Tolib Setiady. Pokok pokok
11
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Hukum Penitensier Indonesia. Alfabeta: Bandung.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 2010, hlm. 185
13
Jakarta, 1995. Ibid, hlm. 39.
59
Lex Crimen Vol. II/No. 7/November/2013
14
Wundt dan Eisler dalam Nashriana. Perlindungan PENUTUP
Hukum Bagi Anak Di Indonesia. RajaGrafindo A. Kesimpulan
Persada: Jakarta. 2011, hlm. 36.
15
Stephen Hurwitz dalam Nashriana. Ibid, him. 37.
60
Lex Crimen Vol. II/No. 7/November/2013
61
Lex Crimen Vol. II/No. 7/November/2013
62