Anda di halaman 1dari 14

ANALISIS KASUS PERBUATAN PELECEHAN SEKSUAL DALAM PERSPEKTIF

SOSIOLOGI HUKUM

OLEH :

Nama : Andry Dika Prasmana


NIM : 2108018025
Mata Kuliah : Teori Hukum

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MULAWARMAN


2021
PENDAHULUAN

Anak adalalah generasi penerus bangsa, oleh karena itu perlakuan yang memperhatikan
perkembangan dan peranan anak sebagai generasi penerus bangsa merupakan suatu hal yang
harus diperhatikan oleh pemerintah. Anak yang belum dewasa secara mental dan fisik,
kebutuhannya harus dicukupi, pendapatnya harus dihargai, diberikan pendidikan yang benar dan
kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan pribadi dan kejiwaannya, agar dapat tumbuh dan
berkembang menjadi anak yang dapat diharapkan sebagai penerus bangsa. Anak memiliki
potensi dan peran di dalam kelangsungan dan eksistensi bangsa pada masa depan. Hal ini
merupakan tanggung jawab yang nantinya harus di emban demi terwujudnya cita-cita bangsa.
Untuk memikul tanggung jawab tersebut, anak diberi kesempatan untuk tumbuh dan berkembang
secara optimal. Kesempatan tumbuh dan berkembang bukan hanya mencakup pertumbuhan dan
perkembangan fisik, tetapi juga melingkupi pertumbuhan dan perkembangan mental sosial anak.

Perkembangan pada masyarakat yang semakin maju, berdampak pada timbulnya


kejahatan salah satunya yaitu kejahatan kesusilaan seperti persetubuhan terhadap anak dapat
menimbulkan kekhawatiran bagi masyarakat khususnya terhadap orang tua. kesusilaan berarti
perihal susila yang artinya berhubungan dengan sopan santun, baik budi bahasanya, kesopanan
dan keadaban, tata tertib dan adat istiadat yang baik, sehingga masyarakat menganggap bahwa
kesusilaan itu adalah suatu kelakuan yang benar dan salah yang berhubungan dengan perbuatan
seksual

Maraknya kejahatan persetubuhan yang terjadi terhadap anak baik yang melakukan itu
orang dewasa maupun anak itu sendiri yang secara fisik anak yang menjadi korban persetubuhan
belum memiliki daya tarik seksual seperti layaknya orang dewasa, hal tersebut tentunya dapat
merusak moral generasi penerus cita-cita bangsa dimasa mendatang.

Perkembangan teknologi dan arus globalisasi dalam bidang informasi dan komunikasi
menjadi salah satu penyebab penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang
dilakukan oleh pelaku persetubuhan serta Kurangnya perhatian, kasih sayang dan pengawasan
dari orang tua anak akan mudah terjerumus ke dalam lingkungan yang kurang sehat.

Bentuk perlindungan terhadap anak perlu dilakukan sejak dini saat anak masih berada di
dalam rahim seorang ibu sampai anak tersebut usianya belum mencapai 18 (delapan belas)
tahun, Undang -undang tentang Perlindungan Anak menetapkan dengan memberi bentuk

2
perlindungan terhadap anak berdasarkan asas non-diskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi
anak, hak anak untuk hidup, dan penghormatan terhadap anak dalam menyatakan pendapatnya.

Faktanya hak terhadap anak masih belum dapat terlaksana, karena perbuatan
persetubuhan yang dilakuan kepada anak masih banyak terjadi, maka bentuk perlindungan
terhadap hak-hak anak sangat diperlukan untuk mengurangi terjadinya kejahatan persetubuhan
terhadap anak.

Bentuk paling sederhana di dalam perlindungan anak adalah mengoptimalkan agar setiap
anak berhak akan haknya masing masing. Hak anak tidak dapat dilindungi begitu saja oleh
Hukum tanpa adanya bentuk tanggung jawab dari semua pihak, baik dari pihak keluarga,
masyarakat, aparat hukum dan negara. Di Indonesia banyak terjadi tindak pidana pencabulan
terhadap anak dibawah umur yang menggangu keamanan dan ketertiban di kehidupan
masyarakat terlebih anak-anak. Pencabulan merupakan suatu tindakan dimana seseorang
melakukan hal-hal yang dapat membangkitkan hawa nafsu dan dilampiaskan ke pada seseorang
untuk kepuasan pribadi. Tindak pidana pencabulan semakin berkembang luas di kalangan
masyarakat. Pencabulan itu sendiri tidak hanya terjadi kepada orang dewasa tetapi juga kepada
orang yang tidak berdaya yaitu anak, baik pria maupun wanita dan ini merupakan salah satu
masalah sosial yang meresehkan masyarakat.

PERMASALAHAN

Masalah kualitas penegakan hukum dan kebijakan penanggulangan kejahatan masih


merupakan masalah yang mendapat sorotan tajam sampai saat ini. Penegakan hukum pada
dasarnya merupakan kewajiban setiap anggota masyarakat. Tetapi dalam proses
penyelenggaraannya lebih menekankan mekanisme bekerjanya aparat penegak hukum, mulai
dari proses penyidikan, penangkapan dan penahanan, penuntutan dan pemeriksaan disidang.
Yang berwenang melakukan penyelidikan diatur dalam Pasal 1 butir 4 KUHAP: Penyelidik adalah
pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk
melakukan penyelidikan.

Penegakan hukum apabila dilihat dari suatu proses kebijakan, maka penegakan hukum
pada hakekatnya merupakan penegakan kebijakan melalui beberapa tahap. Pertama, tahap
formulasi, yaitu tahap penegakan hukum in abstracto oleh badan pembuat undang-undang.
Kedua, tahap aplikasi, yaitu tahap penerapan hukum pidana oleh aparat-aparat penegak hukum

3
mulai dari Kepolisian sampai Pengadilan. Ketiga, tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan hukum
pidana secara konkret oleh aparat-aparat penegak hukum pidana.

Saat ini kejahatan terus meningkat baik secara kualitas maupun kuantitas. Memang tak
bisa dipungkiri akibat perkembangan jaman dan teknologi yang pesat tidak hanya membawa
dampak yang positif tetapi juga membawa dampak negatif bagi segelintir orang seperti kejahatan
terhadap kesusilaan. Jika dilihat dari segi korban, maka kelompok yang rentan menjadi korban
kejahatan adalah anak-anak. Hal ini dikarenakan secara fisik maupun psikologis anak-anak
masih lemah, rentan terhadap bujukan dan rayuan, mudah dipengaruhi dengan sesuatu yang
menyenangkan ditambah lagi dangkalnya pengetahuan.

Kondisi ini menempatkan anak-anak rawan terhadap tindakan kekerasan, seperti


penganiayaan, pelecehan bahkan yang paling menakutkan adalah tindakan pemerkosaan
terhadap anak. Sehingga tentu saja menjadi masalah dikarenakan dapat merusak jiwa dan
mental sang anak tersebut. Lumrah saat ini kita mendengar terjadinya Tindak Pidana Pencabulan
terhadap Anak.

Banyaknya korban Tindak Pidana Pencabulan tidak melaporkan kasusnya kepada aparat
Penegak hukum dikarenakan oleh beberapa faktor yaitu diantaranya, korban merasa malu dan
tidak ingin apa yang terjadi padanya diketahui orang lain,korban merasa akan diasingkan di
dalam masyarakat, dan korban merasa takut akan diancam oleh pelaku apabila melaporkan
kejadian tersebut kepada pihak yang berwajib atau polisi. Hal ini tentu saja dapat mempengaruhi
mental/psikis dari para korban dan juga berpengaruh terhadap proses penegakan hukum untuk
mewujudkan rasa keadilan bagi korban dan juga masyarakat.

Dalam Kasus Pencabulan ini korban memiliki peran yang sangat penting dalam upaya
mengatasi dan meyelesaikan kasus pencabulan. Diperlukannya keberanian dari korban untuk
melaporkan kejadian yang dialaminya kepada polisi, karena pada umumnya korban akan
mengalami ancaman dari pelaku dan membuat korban merasakan takut dan trauma. Diharapkan
dari pengaduan korban dapat membantu pihak kepolisian dalam proses penyelidikan dan
pemeriksaan sehingga para korban akan memperoleh keadilan atas apa yang telah menimpa
dirinya.

4
KAJIAN TEORI

SOSIOLOGI HUKUM

Dalam hukum dan sosiologi sebagai sebuah disiplin intelektual dan bentuk praktik
professional memiliki kesamaan ruang lingkup. Namun, sama sekali berbeda dalam tujuan dan
metodenya. Hukum sebagai sebuah disiplin ilmu memfokuskan pada studi ilmiah terhadap
fenomena sosial. Perhatian utamanya adalah masalah preskriptif dan teknis.Sedangkan sosiologi
memfokuskan pada studi ilmiah terhadap fenomena sosial (Roger Cotterrel,2012,6). Meskipun
demikian, kedua disiplin ini memfokuskan pada seluruh cakupan bentuk-bentuk signifikan dari
hubungan-hubungan sosial. Dan dalam praktiknya kriteria yang menentukan hubungan mana
yang signifikan seringkali sama, yang berasal dari asumsi-asumsi budaya atau konsepsi-
konsepsi relevansi kebijakan yang sama.

Sosiologi hukum, mempunyai objek kajian fenomena hukum, sebagaimana telah


dituliskan oleh Curzon, bahwa Roscou Pound menunjukkan studi sosiologi hukum sebagai studi
yang didasarkan pada konsep hukum sebagai alat pengendalian sosial. Sementara Llyod,
memandang sosiologi hukum sebagai suatu ilmu deskriptif, yang memanfaatkan teknis-teknis
empiris. Hal ini berkaitan dengan perangkat hukum dengan tugas-tugasnya.Ia memandang
hukum sebagai suatu produk sistem sosial dan alat untuk mengendalikan serat mengubah sistem
itu

Kita dapat membedakan sosiologi hukum dengan ilmu normatif, yaitu terletak pada
kegiatannya. Ilmu hukum normatif lebih mengarahkan kepada kajian law in books, sementara
sosiologi hukum lebih mengkaji kepada law in action (Yesmil Anwar dan Adang, 2008,128).
Sosiologi hukum lebih menggunakan pendekatan empiris yang bersifat deskriptif, sementara ilmu
hukum normatif lebih bersifat preskriptif. Dalam jurisprudentie model, kajian hukum lebih
memfokuskan kepada produk kebijakan atau produk aturan, sedangkan dalam sociological model
lebih mengarah kepada struktur sosial. Sosiologi hukum merupakan cabang khusus sosiologi,
yang menggunakan metode kajian yang lazim dikembangkan dalam ilmu-ilmu sosiologi.
Sementara yang menjadi objek sosiologi hukum adalah :

1. Sosiologi hukum mengkaji hukum dalam wujudnya atau Government Social Control.
Dalam hal ini, sosiologi mengkaji seperangkat kaidah khusus yang berlaku serta
dibutuhkan, guna menegakkan ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat.

5
2. Sosiologi hukum mengkaji suatu proses yang berusaha membentuk warga masyarakat
sebagai mahluk sosial. Sosiologi hukum menyadari eksistensinya sebagai kaidah sosial
yang ada dalam masyarakat.

KAJIAN TEORITIS KASUS

Dalam pengetahuan hukum pidana, para ahli memiliki pendapat yang berbeda tentang
pencabulan. Menurut Soetandyo Wignjosoebroto, “pencabulan adalah suatu usaha atau hasrat
melampiaskan nafsu seksual oleh seorang laki-laki kepada seorang perempuan dengan cara
yang menurut moral atau hukum yang berlaku melanggar” dari pendapat tersebut, pencabulan
memiliki arti yaitu suatu tindakan atau perbuatan seorang laki-laki yang melampiaskan nafsu
seksualnya terhadap seorang perempuan yang dimana perbuatan tersebut tidak bemoral dan
dilarang menurut hukum yang berlaku.

R. Sughandhi berpendapat percabulan ialah: “Seorang pria yang memaksa seorang


wanita bukan istrinya untuk bersetubuh dengannya dengan ancaman kekerasan, yang mana
diharuskan kemaluan pria telah masuk kedalam lubang seorang wanita yang kemudian
mengeluarkan air mani.

Dari pendapat R. Sughandhi di atas, dapat disimpulkan bahwa pencabulan adalah


perbuatan yang dimana seorang pria melakukan upaya pemaksaan dan ancaman serta
kekerasan terhadap seorang wanita yang bukan istrinya untuk bersetubuh dan dari persetubuhan
tersebut mengakibatkan keluarnya air mani seorang pria. Jadi unsurnya tidak hanya kekerasan
dan persetubuhan akan tetapi ada unsur lain yaitu unsur yaitu keluarnya air mani, yang artinya
seorang pria tersebut telah menyelesaikan perbuatannya hingga selesai, sehingga apabila
seseorang pria tidak mengeluarkan air mani maka tidak dapat dikategorikan sebagai pencabulan.

Kebijakan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencabulan Anak Di Bawah Umur yakni:

1. Kebijakan Hukum Penal

Kebijakan dalam penanggulangan kejahatan dibagi menjadi dua, yaitu


pendekatan penal (penerapan hukum pidana) dan pendekatan non-penal (pendekatan
diluar hukum pidana). Hal ini diletarbelakangi karena kejahatan. Kejahatan merupakan
masalah kemanusian di dalam masyarakat. Oleh karena itu, upaya penanggulangan

6
kejahatan tidak hanya mengandalkan penerapan hukum pidana, tetapi juga melihat akar
lahirnya persoalan kejahatan ini dari persoalan sosial.

Langkah-langkah operasional politik kriminal dengan menggunakan Kebijakan


Hukum Penal yang baik dilakukan melalui:

a. Penetapan kebijakan perundang-undangan (dapat juga disebut kebijakan legislasi)


yang di dalamnya berisikan penetapan kebijakan mengenai :
1) Perbuatan apa yang sebenarnya dijadikan tindak pidana (kebijakan kriminalisasi)
2) Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada sipelanggar.
b. Penerapan pidana oleh badan pengadilan (disebut juga kebijakan yudikasi)
c. Pelaksanaan Pidana oleh aparat pelaksanan Pidana (disebut juga kebijakan
eksekusi). Penerapannya dilakukan oleh Lembaga Permasyarakatan dan Balai
Permasyarakatan dengan didasarkan pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995
tentang Permasyarakatan Kebijakan.

2. Kebijakan Non Penal

Kebijakan Hukum Non-Penal lebih bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya


kejahatan, maka sasaran utamanya utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif
penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif itu antara lain, berpusat pada
masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung dapat menimbulkan
atau menumbuhsuburkan kejahatan. Dengan demikian dilihat dari kebijakan
penanggulangan, kejahatan, maka usaha-usaha non penal ini mempunyai kedudukan
yang memegang peranan kunci yang harus diintensifikan dan diedektifkan.

Di samping upaya-upaya yang ditempuh dengan menyehatkan masyarakat


melalui kebijakan sosial dan dengan mencegah berbagai potensi yang ada di dalam
masyarakat itu sendiri, dapat pula upaya non-penal itu digali dari berbagai sumber lainnya
yang juga mempunyai potensi efek-preventif. Sumber lain misalnya, media pers/media
massa, pemanfaatan kemajuan teknologi (dikenal dengan istilah “techno-prevention”) dan
pemanfaatan potensi efek-preventif dan aparat penegak hukum. Mengenai yang terakhir
ini, Prof. Sudartono pernah mengemukakan, bahwa kegiatan patroli dan polisi yang
melakukan secara kontinu termasuk upaya non-penal yang mempunyai pengaruh
preventif bagi penjabat (pelanggar hukum) potensial

7
PEMBAHASAN

Semua tindak pidana yang bertentangan dengan kehormatan kesusilaan disebut dengan
kejahatan. Salah satunya adalah pencabulan atau perbuatan cabul yang diatur dalam Buku
Ketiga KUHP yang dirumuskan dari Pasal 289 sampai dengan Pasal 296, namun yang menjadi
fokus di sini adalah Pasal 290 yakni perbuatan cabul yang dilakukan terhadap anak, seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya, merupakan makhluk yang lemah dan sangat lugu dan perlu untuk
dilindungi kepentingan dan hak-haknya. Perbuatan cabul selalu terkait dengan perbuatan yang
berhubungan dengan tubuh atau bagian tubuh, terutama bagian- bagian tubuh yang dapat
merangsang nafsu seksual, seperti alat kelamin, buah dada, mulut dan sebagainya yang
dipandang melanggar rasa kesusilaan umum.

Ketentuan mengenai tindak pidana pencabulan yang dilakukan terhadap anak diatur di
dalam KUHP dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Tindak
pidana pencabulan yang diatur di dalam KUHP terdapat di dalam Pasal 289 sampai dengan Pasal
296, dimana dalam Pasal tersebut terdapat beberapa Pasal yang menyangkut tentang anak
dibawah umur yaitu, perbuatan cabul dengan orang belum berumur 15 tahun.

Dalam Pasal ini yang perlu diperhatikan bahwa tidak ada kata “wanita” melainkan “orang”.
Dengan demikian, meskipun dilakukan terhadap anak/ remaja pria, misalnya homoseks maka
pasal ini dapat diterapkan seharusnya hal itu diatur di dalam Pasal 292. Kata “diketahuinya atau
patut disangka” merupakan unsur kesalahan (dolus dan culpa) terhadap umur yaitu pelaku dapat
menduga bahwa anak/remaja tersebut belum lima belas tahun.

Banyak juga orang yang berpendapat bahwa perbuatan cabul sama dengan perkosaan.
Pendapat tersebut ada benarnya juga jika kita bertolak dari pendapat seorang ahli hukum
bernama Made Darma Weda. Beliau berpendapat bahwa perbuatan cabul tersebut dapat
digolongkan sebagai perkosaan karena perkosaan tidak selalu harus masuknya penis ke dalam
vagina, bisa saja yang dimasukkan kedalam vagina bukan penis pelaku, tetapi jari, kayu, botol
atau apa saja baik ke dalam vagina maupun mulut atau anus.

8
Selanjutnya Made Darma Werda mengutip pendapat Steven Box yang mengklasifikasikan
pemerkosaan ke dalam beberapa jenis, yaitu:

1. Sadist rape, yaitu pemerkosaan yang dilakukan secara sadistik. Si pelaku mendapat
kepuasan bukan karena bersetubuh tetapi karena perbuatan kekerasan terhadap
“genitalia” dan tubuh si korban.
2. Anger rape, merupakan ungkapan pemerkosaan yang karena kemarahan dilakukan
dengan sifat brutal secara fisik. Seks menjadi senjatanya dan dalam hal ini tidak
diperolehnya kenikmatan seksual, yang dituju acapkali keinginan untuk mempermalukan
si korban.
3. Domination rape, pemerkosaan yang dilakukan oleh mereka yang ingin menunjukkan
kekuasaannya, misalnya, majikan yang memperkosa bawahannya. Tidak ada maksud
untuk menyakitinya. Keinginannya yaitu bagaimana memilikinya secara seksual.
4. Seduction-turned-into-rape, yaitu pemerkosaan yang ditandai dengan adalanya relasi
antara pelaku dengan si korban. Jarang digunakan kekerasan fisik dan tidak ada maksud
mempermalukan. Yang dituju adalah kepuasan si pelaku dan si korban menyesali dirinya,
karena sikapnya yang kurang tegas.
5. Exploitation rape, merupakan jenis pemerkosaan dimana si wanita sangat bergantung
dari si pelaku, baik dari sosial maupun ekonomi. Acapkali terjadi dimana istri dipaksa oleh
suami. Kalaupun ada persetujuan, itu bukan karena ada keinginan seksual dari si istri,
melainkan demi kedamaian tumah tangga.

Jika kita menerapkan pendapat Made Darma Werda yang menggolongkan perbuatan cabul
ke dalam perkosaan, maka akan sulit untuk membuktikan unsur- unsur perbuatan cabul tersebut.
Pasal 285 yang mengatur tentang perkosaan, yang berbunyi “Barang siapa dengan kekerasan
memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan
perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun” jika diuraikan unsur-unsurnya
adalah sebagai berikut:

1. Perbuatannya: memaksa;
2. Caranya:
1) Dengan kekerasan;
2) Ancaman kekerasan;
3. Objek: Seorang perempuan bukan istrinya;
4. Bersetubuh dengan dia

Unsur-unsur di atas menunjukkan bahwa perkosaan lebih sempit daripada perumusan


perbuatan cabul yang cakupannya lebih luas menyentuh perbuatan yang menyerang kehormatan
kesusilaan, dimana perumusan pasalnya tidak menyebutkan pembedaan jenis kelamin, hanya
disebut “seseorang” yang tentunya lebih luas pengertiannya. Dapat disimpulkan bahwa dalam
tindakan perkosaan, korban sudah pasti perempuan, sedangkan dalam perbuatan cabul korban
bisa laki-laki atau perempuan dan biasanya dalam kasus pencabulan anak, korban mengenal
pelaku.

9
Perbuatan Cabul yang dikaitkan dengan anak sebagai korban, Pasal 285 dan 289 di atas
tampaknya belum cukup untuk dapat menjerat pelaku pencabulan anak, karena si pelaku tidak
selalu melakukan pemaksaan terhadap si anak, tetapi lebih memanfaatkan ketidaktahuan dan
kelemahan si anak untuk dapat melakukan perbuatannya terhadap si anak, karena itulah Pasal
290 KUHP tidak menyebutkan kalimat “dengan kekerasan atau ancaman kekerasan” karena
pelaku pencabulan anak tidak selalu melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap
anak, tetapi kondisi anak yang tidak berdaya dan tidak mengerti apa-apa akan sangat
menguntungkan tersangka sehingga anak sebagai makhluk yang lemah lebih banyak menjadi
korban perbuatan ini.

1. Membujuk orang yang belum 15 tahun untuk dicabuli


Dalam hal ini dirumuskan dalam KUHP Pasal 290 ayat 3 yaitu: “Barangsiapa yang
membujuk (menggoda) seseorang yang diketahuinya atau patut harus disangkanya,
bahwa umur orang itu belum cukup 15 tahun atau kalau tidak nyata berapa umurnya
bahwa ia belum masanya buat kawin, akan melakukan membiarkan dilakukan pada
dirinya perbuatan cabul, atau akan bersetubuh dengan orang lain dengan tidak kawin”.
Persetubuhan dilakukan oleh atau menggoda perempuan berumur 35 tahun dengan
seorang pemuda berumur 13 tahun dapat dipandang melakukan perbuatan cabul pada
pemuda itu dan dapat dikenakan pasal ini.
2. Perbuatan cabul dengan pemberian menggerakkan orang belum dewasa
Perbuatan ini dapat dirumuskan dalam KUHP Pasal 293 ayat (1) yaitu : “Barangsiapa
yang mempergunakan hadiah atau perjanjian akan diberi uang atau barang, dengan salah
mempergunakan pengaruh yang berkelebih-lebihan yang ada disebabkan membujuk
orang yang belum dewasa yang tidak tercatat dengan kelakuannya, yang diketahuinya
atau patut harus disangkanya belum dewasa, akan melakukan perbuatan cabul dengan
dia atau membiarkan dilakukan perbuatan yang demikian pada dirinya, dihukum penjara
selama-lamanya lima tahun”.

Yang diancam hukuman dalam Pasal ini adalah:

1. Sengaja membujuk orang untuk melakukan cabul dengan dia atau membiarkan
dilakukan perbuatan cabul pada dirinya
2. Membujuk dengan mempergunakan hadiah atau perjanjian akan memberikan uang
atau barang
3. Orang yang dibujuk itu harus belum dewasa dan tidak bercacat kelakuannya, ini
harus diketahui atau patut disangka oleh yang membujuk.

Sosiologi Hukum terhadap kasus pencabulan anak di bawah umur.

Dari sudut sejarah, sosiologi hukum untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh seorang
Itali yang bernama Anzilotti, pada tahun 1882.Sosiologi hukum pada hakekatnya lahir dari hasil-
hasil pemikiran para ahli, baik di bidang filsafat hukum, ilmu maupun sosiologi (Yesmil Anwar dan
Adang,2008,109). Sosiologi hukum saat ini sedang berkembang pesat. Ilmu ini diarahkan untuk

10
menjelaskan hukum positif yang berlakuartinya isi dan bentuknya berubah- ubah menurut waktu
dan tempat, dengan bantuan faktor kemasyarakatan.

Menurut C.J.M Schuyt, salah satu tugas Sosiologi Hukum adalah mengungkapkan sebab
atau latar belakang timbulnya ketimpangan antara tata tertib masyarakat yang dicita-citakan
dengan keadaan masyarakat yang ada di dalam kenyataan.

Menurut Ronni Hanitijo Soemitro ilmu hukum dapat dibedakan ke dalam 2 (dua) cabang
spesialisasi, yaitu Studi tentang Law in Books dan Studi tentang Law in Actions. Law in books
disebutkan bagi studi/kajian tentang hukum sebagaimana tercantum di dalam kitab Undang-
Undang atau sebagaimana di dalam peraturan Perundang-undangan, dengan kata lain studi
tentang hukum sebagai norma atau kaedah. Hukum sebagai norma atau kaedah bersifat otonom,
artinya bahwa hukum tersebut berdiri sendiri dan bebas dari segala pengaruh. Sedangkan Law
in Actions disebutkan bagi studi/kajian tentang hukum sebagai gejala/proses sosial.

Hukum sebagai gejala/proses sosial sifatnya heteronom, artinya hukum tersebut memiliki
pengaruh dan hubungan timbal balik dengan gejala sosial lainnya seperti ekonomi, politik, sosial,
budaya, agama dan lain- lain. Hukum sebagai gejala sosial yang bersifat empiris, dapat dipelajari
sebagai independent variable maupun sebagai dependent variable. Hukum yang dipelajari
sebagai dependent variable merupakan resultante (hasil) dari berbagai kekuatan dalam proses
sosial dan studi tersebut dikenal sebagai Sosiologi Hukum. Dilain pihak, hukum dipelajari sebagai
independent variable menimbulkan pengaruh dampak kepada berbagai aspek kehidupan sosial
dan studi yang demikian dikenal sebagai Studi Hukum Masyarakat.

Dalam hukum dan sosiologi sebagai sebuah disiplin intelektual dan bentuk praktik
professional memiliki kesamaan ruang lingkup. Namun, sama sekali berbeda dalam tujuan dan
metodenya. Hukum sebagai sebuah disiplin ilmu memfokuskan pada studi ilmiah terhadap
fenomena sosial. Perhatian utamanya adalah masalah preskriptif dan teknis.Sedangkan sosiologi
memfokuskan pada studi ilmiah terhadap fenomena sosial (Roger Cotterrel,2012,6). Objek
sosiologi hukum adalah :

1. Sosiologi hukum mengkaji hukum dalam wujudnya atau Government Social Control.
Dalam hal ini, sosiologi mengkaji seperangkat kaidah khusus yang berlaku serta
dibutuhkan, guna menegakkan ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat.

11
2. Sosiologi hukum mengkaji suatu proses yang berusaha membentuk warga masyarakat
sebagai mahluk sosial. Sosiologi hukum menyadari eksistensinya sebagai kaidah sosial
yang ada dalam masyarakat.

Dalam hal kaitannya dengan kasus pencabulan anak dibawah umur di tinjau dari perspektif
Sosiologi Hukum diketahui bahwasannya terdapat penyimpangan atas apa yang telah di atur di
dalam peraturan perundang-undangan dengan kejadian nyata di dalam masyarakat. Berangkat
dari argumentasi dasar tersebut kasus yang terjadi di dalam masyarakat dalam hal ini khususnya
kasus pencabulan anak di bawah umur terdapat beberapa factor yang menyebabkan terjadinya
kasus tersebut dikarenakan Perbuatan cabul yang dilakukan oleh pelaku awalnya bukanlah
perbuatan yang direncanakan tetapi secara spontan terjadi karena pelaku dalam keadaan
terdesak nafsu seksualnya, dan pada saat ia ingin melampiaskan nafsunya tersebut, tanpa
disengaja beberapa anak muncul di hadapannya atau pelaku tidak sengaja melihat anak yang
bermain di sekitar lingkungan tempat tinggalnya, sehingga timbullah niat pelaku untuk
melampiaskannya terhadap anak tersebut walaupun hanya sebatas memegang alat kelamin
korban.

Kasus lain yang terjadi, si anak sering bermain ke rumah pelaku, namun ada masanya si
pelaku khilaf ketika keluarga (istri dan anak-anak) tidak ada di rumah dan nafsu seksualnya
memuncak, sehingga timbul niat jahat si pelaku untuk mencabuli korban yang sedang berada di
rumahnya tersebut. Bahayanya, apabila tindakan ini berhasil, maka besar kemungkinan pelaku
akan mengulangi perbuatannya setiap ada kesempatan sampai perbuatan tersebut terbongkar.
Tidak tertutup kemungkinan, pelaku juga melakukan hal yang sama terhadap teman-teman
korban setiap ada kesempatan. Sekali pelaku melakukan perbuatan cabul terhadap anak, besar
kemungkinan si pelaku akan mengalami penyimpangan seksual yang berkepanjangan dan akan
sulit baginya untuk merubah perilaku seks yang menyimpang ini.

12
KESIMPULAN

1. Setiap kasus atau peristiwa hukum memiliki pola, histori motivasi dan tujuan yang berbeda
yang merupakan titik lahirnya sosiologi hukum untuk dapat menjadikan dasar berpikir
dalam melihat suatu kasus atau peristiwa hukum dalam perspektif lain yang lebih tajam.
2. Penggunaan hukum sebagai sarana perubahan masyarakat tidak selalu membawa
dampak positif bagi masyarakat yang bersangkutan. Para penstudi dan pengguna hukum
harus selalu menyadari secara sungguh-sungguh bahwa hukum itu tidak begitu saja jatuh
dari langit, tetapi ia dibuat dan selalu dalam lingkup sosial tertentu. Hukum tidaklah
bergerak dalam ruang hampa dan berhadapan dengan hal-hal yang abstrak. Melainkan
ia selalu berada dalam suatu tatanan sosial tertentu dan dalam lingkup manusia-manusia
yang hidup.

SARAN

1. Sosiologi hukum terhadap peninjauan suatu kasus merupakan keharusan dikarenakan


dalam memandang dan menganalisis suatu kasus yang dilakukan oleh pelaku perlu
ditinjau dari histori, motivasi dan tujuan dari pelaku sehingga mendapatkan gambaran
penuh terhadap kesimpulan analisis dan pengambilan keputusan.
2. Agar para orang tua lebih waspada terhadap kejahatan-kejahatan yang terjadi pada anak-
anak, khususnya terhadap tindak pidana pencabulan, supaya anak- anak tidak menjadi
korban. Orang tua harus mengawasi anak dalam rumah maupun di lingkungan
masyarakat, dan lingkungan sekolah dan hendaknya memberikan perhatian khusus
kepada anak agar anak tidak melakukan hal yang buruk. Pembatasan penggunaan
internet di kalangan anak sangat penting untuk dilakukan dengan cara tetap mendampingi
aktivitas anak yang sedang bermain internet atau menonton TV, sehingga tidak ada
kesempatan bagi anak untuk menonton video atau konten negatif. Memperbaiki moral dan
memperkuat super ego yang dapat dilakukan dengan pendalaman agama dan
menyeimbangkannya dengan hati nurani.

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Adami Chazawi. Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan dan


Batas Berlakunya Hukum Pidana. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2007.
2. Ahmad Kamil, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia,
Jakarta: Rajawali Perss, 2008
3. Fithriatus Shalihah, Sosiologi Hukum, Depok, PT RajaGrafindo Persada, 2017
4. https://repositori.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/22250/167005003.pdf?se
quence=1&isAllowed=y
5. Tindak Pidana Persetubuhan Terhadap Anak di Bawah Umur, Jurnal Karya A. A
Risma Purnama Dewi, I Nyoman Sujana, I Nyoman Gede Sugiartha

14

Anda mungkin juga menyukai