Anda di halaman 1dari 11

1

TINJAUAN DAN UPAYA PENEGAKAN SANKSI PIDANA TERHADAP


ANAK YANG TERLIBAT DALAM KASUS PIDANA TAWURAN
PELAJAR DI CIPANAS

Oleh:

Salma Putri Andhini / NIM 041665619

asalmaputriandhini@gmail.com

FAKULTAS S-1 ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM, ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS


TERBUKA- UPBJJ BOGOR

ABSTRAK

Tawuran yaitu suatu bentuk kriminalitas yang sering dilakukan oleh para remaja. Tindakan
yang merupakan pelanggaran hukum dan membahayakan orang lain serta diri sendiri ini biasanya
dilakukan oleh aak-anak di bawah usia 17 tahun. Tawuran pelajar marak terjadi di perkotaan, namun
saat ini tawuran pelajar sudah merambat ke pedesaan atau perkampungan salah satunya adalah tawuran
sering terjadi di daerah Cipanas-Cianjur. Tawuran yang dilakukan oleh para pelajar ini merupakan
perilaku menyimpang yang sudah menjadi suatu tradisi turun temurun tawuran biasa diakibatkan oleh
tingkat emosional dari para pelaku tidak dapat dikontrol, krisis identitas, adanya tekanan dari teman
sebaya, serta kurangnya pengawasan dari pihak terkait. Tawuran merupakan suatu tindak pidana karena
tawuran dianggap sebagai bentuk kekerasan dan pelanggaran sebagaimana pengaturan berdasarkan
Pasal 170 dan 358 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Dalam prosesnya anak-anak diperlakukan
berbeda dari orang dewasa dalam hal yang melanggar hukum, sebab terdapat peraturan mengenai
Perlindungan Anak dan Sistem Peradilan Anak yang diatur oleh undang-undang dan berbeda dari
peradilan peradilan orang dewasa pada umumnya.

KATA KUNCI: Anak, Tawuran, Pasal 170 KUHP, Pasal 358 KUHP, Perlindungan Aanak, dan
Sistem Peradilan Anak
2

I. PENDAHULUAN
Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak, anak didefinisikan sebagai seseorang yang belum berumur 18
(delapan belas) tahun atau bahkan masih dikandungan.
Telah ditegaskan bahwa hak anak harus dijaga oleh negara dan negara
memiliki kewajiban untuk menegakkan, membela, dan menghormati hak anak, hal ini
berdasarkan ketentuan yang terkandung didalam Pasal 21 Ayat (2) Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

Kekerasan merupakan suatu perlakuan yang dilakukan dengan sngaja atau atas
kesadaran diri seseorang atau kelompok yang ditujukan untuk menumpas seseorang
atau kelompok yang dianggap lemah agar terus mendapatkan penderitaan. Tindak
kekerasan dapat terjadi dalam bentuk fisik maupun dalam bentuk psikis. Adapun
tindak kekerasan yang dilakukan dalam bentuk fisik, seperti pengeroyokan yang
mengakibatkan adanya luka atau cedera di sekujur tubuh. Sedangkan tindak kekerasan
dalam bentuk psikis dapat terjadi ketika seseorang dipaksa untuk melakukan hal yang
tidak disukainya. Kedua bentuk kekerasan tersebut memiliki pengaruh yang dapat
merugikan korbannya. Saat ini telah marak terjadi tindak kejahatan dan kekerasan
pada lingkungan masyakarakat yang mana remaja sering terlibat dalam tindak
kejahatan dan kekerasan yang terjadi di tempat-tempat umum, dimana ketika
kekerasanterjadi akan menimbulkan luka pada korbannya, baik luka fisik maupun
luka psikis, jadi korban kekerasan tidak hanya menimpa anak-anak, namun anak juga
sudah merambat menjadi pelaku tindak kekerasan.

Anak-anak dapat melakukan suatu tindak pidana pada umumnya didasari atas
perilaku anti sosial anak-anak, dan Juvenil Deliquency atau juga dikenal sebagai
kenakalan remaja yang sering mengakibatkan tindakan kriminal. Kenakalan remaja
(Juvenil Deliquency) saat ini telah menjadi salah satu isu pemerintah yang mendesak
dalam rangka memerangi kejahatan di Indonesia. Salah satu tindakan kriminal yang
cenderung dilakukan oleh kalangam remaja terutama pelajar yaitu tawuran.
Tawuran antar pelajar yang terjadi di daerah Cipanas masih marak terjadi
hingga saat ini bahkan tidak jarang menimbulkan korban baik yang terlibat dalam aksi
tawuran tersebut maupun yang tidak terlibat atau salah sasaran. Tawuran di daerah
Cipanas seringkali menimbulkan keresahan masyarakat, karena tidak jarang dilakukan
di daerah pemukiman ataupun jalanan tempat masyarakat beraktivitas, selain itu juga
3

penanganan tawuran yang masih minim menjadi faktor penyebab maraknya terjadi
kasus tawuran di daerah Cipanas.
Dari uraian latar belakang tersebut memunculkan rumusan masalah penelitian
sebagai berikut: (1) Bagaimana sanksi atau hukuman bagi anak atau pelajar yang
terlibat tawuran yang mengakibatkan adanya korban jiwa?, dan (2) Apakah ada
perlindungan hukum terhadap pelajar yang terlibat kasus tawuran?.
Berikut adalah tujuan dalam menyelesaikan penyusunan karya ilmiah ini
adalah : (1) Guna menganalisis sanksi pidana terhadap anak atau pelajar yang terlibat
dalam tawuran yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa. (2) Guna memahami
pengaturan mengenai perlindungan hukum terhadap anak atau pelajar yang terlibat
kasus tawuran.

II. METODE PENELITIAN

Pendekatan penelitian sangat diperlukan oleh penulis dalam melakukan


penelitian ini untuk mengetahui dan memperluas ilmu yang paling tinggi validitasnya
dan ketepatan acuan dalam penelitian. Untuk menjawab masalah dan tujuan
penelitian, penulis menggunakan pendekatan kualitatif dengan mengaplikasikan
metode deskriptif. Menurut Conny R. Semiawan (2010), pendekatan kualitatif yaitu
penelitian mencari pemahaman tentang suatu gejala atau fenomena dan fakta. Gejala,
fakta, dan peristiwa hanya dapat dipahami apabila penelitian dilakukan secara
mendalam tidak hanya di permukaan saja. Intensitas ini yang menjadi pembeda antara
metode kualitatif dengan metode penelitian yang lainnya sekaligus sebagai faktor
unggulannya.

Selain itu penulis penelitian ini menggunakan lebih dari sekedar pendekatan
kualitatif untuk melakukan penelitian ini, namun penulis juga menggunakan teknik
lain, yaitu pendekatan penelitian hukum normative. Pendekatan penelitian hukum
normatif adalah sebuah metode penelitian yang menitikberatkan pada hukum sebagai
norma atau aturan hukum yang bersifat konstruktif dalam bentuk peraturan
perundang-undangan. Dalam penelitian hukum normatif terdapat lima metode
penelitian, yaitu deskripsi atau penjabaran hukum, sistemasi hukum, kajian hukum,
penafsiran dan penalaran hukum serta dengan menilai hukum positif.
4

Dalam proses penelitian ini peneliti menggunakan teknik pengumpulan data


kepustakaan. Proses studi kepustakaan meliputi pengumpulan informasi dan
penelaahan bahan hukum primer berupa ketentuan hukum yang terdapat dalam
berbagai dokumen hukum atau peraturan perundang-undangan, serta bahan hukum
sekunder yang bersumber dari buku, jurnal, pendapat ahli, dan temuan penelitian
ilmiah.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Di dalam proses perkembangannya seiring berjalannya waktu, sering terjadi


bahwa seorang anak akan bertindak di luar aturan hukum yang diterima secara sosial.
Baik yang merupakan jenis kenakalan remaja maupun perilaku menyimpang yang
melanggar norma sosial. Tindak pidana merupakan salah satu kebiasaan menyimpang
yang bertentangan dengan norma-norma sosial. Salah satu perilaku menyimpang yang
melanggar norma di dalam masyarakat adalah dalam bentuk tindak pidana. Seorang
anak mungkin menyadari telah melakukan suatu tindak pidana dalam pengertian ia
menyadari bahwa perbuatannya merupakan sebuah pelanggaran yang harus
dipertanggungjawabkan, ataupun secara tidak sadar percaya bahwa mereka tidak
bertanggung jawab secara pidana atas tindakan mereka. Salah satu tindak kriminalitas
yang sering kali dilakukan oleh siswa SMP atau SMA yaitu tawuran, dimana mereka
yang terlibat pada umumnya berada sudah berada di atas usia 12 (dua belas) tahun.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) istilah tawuran mengacu


pada perkelahian besar-besaran atau masal atau perkelahian yang dilakukan secara
beramai-ramai.

Tawuran adalah bentuk perlawanan atau konflik atas perbedaan kepentingan


antara dua kelompok yang masing-masing memilki nilai-nilai yang melembaga.
Perkelahian sering terjadi sebagai akibat dai tumbuhnya rasa solidaritas yang kuat
diantara anggota kelompok dan terjadi sebagai akibat dari pelanggaran kepentingan
yang dilakukan masing-masing. Penyebab utama tawruan antara lain egoisme,
pengelompokan kepentingan, dan fakta bahwa masing-masing pihak berasal dari
kelompok yang berbeda atau sekelompok orang yang saling menyerang. Hal ini
bertentangan dengan arahan peraturan perundang-undang yang menyatakan bahwa
Indonesia adalah negara hukum, yaitu negara yang penyelenggaraannya berasaskan
atas hukum.
5

A. Cakupan Pasal 170 dan 358 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana untuk
Proses Hukum Tindakan Tawuran
Pasal-pasal berikut sering dijadikan landasan dasar dalam proses hukum
perkara tindak pidana tawuran selama proses penyelidikan, penyidikan, dan
pemeriksaan di pengadilan serta penuntutan tindak tawuran, yaitu diantaranya:
1. Pasal 170 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Pasal 170 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengeaskan bahwa:
“Barang siapa dengan terang-terangan dan secara bersama-sama menggunakan
kekerasan terhadap individu atau harta benda diancam dengan pidana penjara
lima tahun enam bulan. Kemudian, jika dia melakukan perusakan yang
disengaja terhadap harta benda atau apabila kekerasan yang dilakukan
mengakibatkan luka-luka akan dijatuhi pidana penjara tujuh tahun; Sembilan
tahun penjara jika kekerasan tersebut mengakibatkan luka berat; dan maksimal
dua belas tahun penjara jika kekerasan tersebut mengakibatkan kematian”.
Sebagaimana yang dapat dilihat dari kata “bersama-sama” Pasal 170
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini mengatur tentang ancaman pidana
terhadap perbuatan kekerasan terhdap orang atau barang yang dilakukan oleh
sekelompok orang.
2. Pasal 358 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Menurut Pasal 358 KUHP berbunyi “Barang siapa dengan sengaja
terlibat dalam penyerangan atau pertikaian dan disebabkan oleh banyak orang,
selain karena tanggung jawab masing-masing untuk perbuatan tertentu,
diancam dengan: 1. Dipenjara selama dua tahun delapan bulan, jika
peyerangan atau pertikain itu hanya mengakibatkan seseorang luka berat saja.
2. Jika seseorang terbunuh dalam penyerangan atau perkelahian maksimal
mendapatkan hukuman empat tahun penjara.
Menurut Pasal 358 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini
menegaskan ancaman pidana untuk “melakukan perbuatan pemukulan yang
melibatkan beberapa orang” menurut Pasal ini setiap pihak bertanggung jawab
sendiri-sendiri atas apa yang dilakukannya sebagaimana tercantum dalam
Pasal 358 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
6

B. Perlindungan Hukum terhadap Anak atau Pelajar yang terlibat kasus


tawuran
Menurut Romli Atmasasmita yang dikutip oleh Gultom, dalam bukunya
“Perlindungan Hukum terhadap anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di
Indonesia”, kenakalan remaja atau disebut juga delinquency pola perilaku atau
perbuatan yang dilakukan oleh seorang anak yang dianggap menyimpang dan
masyarakat memandang dan merasa bahwa perbuatan yang tidak sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku di suatu negara dan oleh masyarakat itu sendiri
adalah dianggap tidak terhormat.
Terdapat dua kategori yang menyebabkan anak dapat bertentangan dengan
hukum, diantaranya yaitu:
1. Status offence, yaitu suatu tindakan yang hanya dilarang terhadap anak dan
apa bila dilanggar dapat dikenai sanksi.
2. Juvenile delinquency, yaitu tingkah laku menyimpang anak yang apabila
dilakukan oleh orang dewasa dapat dipandang sebagai kejahatan atau tindak
pidana.

Teruntuk anak atau remaja yang telah melanggar hukum dan telah bisa
dimintai pertanggungjawaban pidana, maka dalam menegakan hukuman pidana
terhadap anak yang melakukan pelanggaran penting untuk mempertimbangkan
hal-hal sebagai berikut:

1. Melakukan segala upaya agar anak-anak yang sedang menjalani proses hukum
tetap didampingi oleh orang tuanya . Hal tersebut dimaksudkan agar anak
tetap memiliki pendamping yang dapat dipercaya ketika berhadapan dengan
hukum.
2. Dalam proses peradilan pidananya perlu dilakukan perbedaan perlakukan
terhadap anak, hal tersebut dimaksudkan demi pertumbuha dan perkembangan
mental anak yang sedang berhadapan dengan hukum.
3. Selain itu, penting untuk mengetahui jenis ancaman pidana yang dapat
dikenakan pada anak-anak serta sanksi yang dapat dilakukan terhadap mereka
untuk mendorong pertumbuhan dan perkembangan mental anak

Penjatuhan pidana kepada anak-anak memiliki tujuan yang berbeda dengan


tujuan penjatuhan pemidanaan pada umumnya. Pemberian sanksi terhadap anak
7

memiliki tujuan agar memberikan pembinaan dan bimbingan agar lebih


mengayomi anak tersebut. Oleh sebab itu sanksi yang dijatuhkan terhadap anak
yang melakukan pelanggaran seharusnya dapat memberikan kesempatan kepada
anak sehingga pembinaan dapat digunakan untuk meningkatkan kesadaran akan
perbuatan yang dilakukannya adalah tindakan yang kurang tepat dan anak dapat
bertanggung jawab atas perbuatannya juga untuk menghindari anak agar tidak
menyakiti diri sendiri atau orang lain.

Pada proses penanganan perkara anak nakal harus diperhatikan prinsip-


prinsip dasar sebagaimana yang terdapat dalam Rule Number 7 “Peraturan
Standar PBB untuk Administrasi Peradilan Anak (Beizing Rules)”, intstrumen
internasional ini menaruh perhatian pada hak prosedural yaitu hak anak selama
proses pemeriksaan dan peradilan, di antaranya adalah:

1. Dugaan tak bersalah.


2. Hak untuk diberitahu mengenai tuntutan atau dakwaan terhadap dirinya,
3. Hak untuk memiliki kebebasan dari pemaksaan dalam berasaksi atau
mengakui suatu kejahatan.
4. Hak atas pendampingan hukum untuk membantu proses hukum.
5. Hak untuk didampingi oleh orang tua atau wali.
6. Hak untuk menanyai para saksi secara langsung.
7. Hak untuk memilki opsi banding.

Putusan hakim terhadap anak yang melakukan tindak pidana dijelaskan dan
dikategorikan dalam BAB III Pasal 45, 46, 47 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, sebagai berikut:

1. Orang yang belum dewasa yaitu orang yang belum berumur 21 (dua puluh
satu) tahun dan belum pernah kawin.
2. Putusan hakim terhadap anak di bawah umur yang melakukan tindak pidana
dapat dikategorikan, sebagai berikut:
a. Anak yang berhadapan dengan hukum dikembalikan pada orang tuanya
dan dibebaskan dari tuntutan.
b. Terdakwa anak diadopsi sebagai anak milik negara.
c. Putusan terhadap anak di bawah umur diberikan sesuai dengan hukum
yang berlaku.
8

Berdasarkan pengertian “Perlindungan Anak” dalam Pasal 1 ayat (2)


Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang
menyebutkan bahwa “Perlindungan Anak adalah segala bentuk tindakan atau
sistem untuk menjamin dan melindungi anak serta hak-haknya agar dapat hidup,
tumbuh, dan berkembang serta dapat berpartisipasi secara optimal sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusian, serta mendapat perlindungan dari tindak
kekerasan dan diskriminasi”. Di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014
tentang Perlindungan Anak diatur mengenai perlindungan khusus bagi anak yang
melanggar hukum, yaitu sebagai berikut:

1. Sepanjang seluruh proses peradilan anak-anak berhak atas perlakuan


manusiawi yang sesuai dengan hak-hak dan martabatnya.
2. Anak memilki hak untuk sejak dini diberi petugas pendamping khusus bagi
anak.
3. Anak berhak atas sarana dan prasarana khusus dalam segala proses hukum.
4. Kepentingan terbaik anak harus diperhitungkan saat menerapkan hukuman.
5. Anak yang bermasalah dengan hukum memerlukan pemantauan dan
penelusuran perkembangannya secara terus menerus.
6. menjamin anak untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua dan
keluarga agar tetap utuh.
7. Perlindungan identitas anak dari media dan perlindungan untuk terhindari dari
label penajahat.

Menurut Undang-Undang Nomor. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM,


berat ringannya hukuman terhadap kejahatan yang dilakukan oleh anak ditentukan
berdasarkan umur anak, diantaranya adalah:

1. Undang-undang tidak menjatuhkan hukuman pidana penjara kepada anak di


bawah usia 8 (delapan) tahun.
2. Untuk anak yang berumur 8 (delapan) sampai 12 (dua belas) tahun anak
terbebas dari tuntutan dan hanya semata-mata tunduk pada tindakan seperti
diberi kepada negara, dikirim kembali kepada orang tua mereka, atau
ditempatkan dalam kelompok sosial.
9

3. Anak-anak yang berumur antara 12 (dua belas) hingga 18 (delapan belas)


tahun dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan mengenai
pelanggaran yang dilakukannya.

Hak-hak anak yang sedang menjalani hukuman di bawah Sistem Peradilan


Anak diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012, yaitu sebagai berikut:

1. Anak berhak memperoleh pengurangan masa pidana


2. Anak berhak mendapatkan cuti untuk mengunjungi keluarga.
3. Anak memiliki hak selama menjalani hukuman penjara untuk memperoleh
cuti bersyarat dengan memenuhi persayaratan dan pengaturan yang berlaku.
4. Sesaat menjelang bebas anak berhak mendapatkan cuti.
5. Anak berhak memperoleh cuti bersayarat dengan ketentuan tertentu.
6. Mendapatkan hak-hak lainnya sesuai dengan pedoman yang dttetapkan
peraturan perundang-undangan.

Hakim harus mempertimbangkan laporan temuan pemantauan dan penelitian


terhadap anak yang berkonflik dengan hukum ketika mengadili kasus yang
melibatkan anak nakal. Sehubungan dengan laporan tersebut dimanfaatkan
sebagai sumber rujukan sehingga hakim bisa mendapatkan gambaran yang jelas
saat memeperhitungkan sanksi terhadap anak dan membuat penilaian yang adil
bagi anak. Anak-anak dan orang dewasa bahkan harus dipisahkan ketika
menerapkan hukuman pidana sebagaiman diharuskan oleh Pasal 66 ayat (5)
Undang-Undang Hak Asasi Manusia dan Pasal 10 Kovenan Internasional tentang
Hak-Hak Sipil dan Politik.

Perlindungan hukum terhadap anak dalam siistem peraadilan dimulai dari


tahap awal penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang
pengadilan dan diakhiri dengan pelaksanaan putusan pengadilan secara nyata.
Selama proses peradilan, maka hak-hak anak wajib dilindungi oleh hukum yang
berlaku. Hak anak harus dijunjung tinggi oleh hukum yang berlaku selama proses
hukum berlangsung. Sangat penting untuk memberikan perlindungan hukum bagi
anak-anak yang melakukan kejahatan sehingga kita dapat lebih memahami
mereka dan membantu mereka berhenti melakukan kejahatan yang dapat
merugikan mereka atau orang lain.
10

IV. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berlandaskan dari analisis dalam karya ilmiah ini, berikut kesimpulan yang
dapat diambil diantaranya yaitu:
1. Sangsi hukum diberlakukan bagi para pelajar yang terlibat dalam tawuran baik
perorangan maupun tawuran pelajar berkemlompok. Sanksi yang dijatuhi
apabila pelajar terbukti terlibat dalam perkelahian masal atau tawuran dan atas
perbuatannya tersebut perlu dipertanggungjawabkan berdasarkan hukum yang
berlaku. Namun penjatuhan sangsi pidana terhadap pelajar pelaku tawuran
hanya sebagai ultimatum remidium atau upaya terakhir dalam penegakan
hukum.
2. Sejalan dengan ketentuan Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak dan Undang-Undang No. 11 Tahun 2011 tentang Sistem
Peradilan Anak, anak atau pelajar yang telah berhadapan dengan hukum,
dalam hal ini yang terlibat kasus tawuran, mendapat perlindungan hukum.
B. Saran
1. Perlu ditingkatkannya kerja sama dan koordinasi yang baik antara penegak
hukum, keluarga, lembaga sekolah, dan masayarakat yang diharapkan dapat
menjadi tonggak agar penegakan hukum terhadap aksi tawuran dapat berjalan
dengan baik sehingga dapat meminimalisir aksi tawuran antar pelajar.
2. Dalam jalannya proses hukum diharapkan penegak hukum tetap
memperhatikan perlindungan hukum bagi anak berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dalam mengusut tawuran anak.

V. DAFTAR PUSTAKA

Kadja, Thelma Selly M. (2000), Perlindungan Terhadap Anak Dalam Proses


Peradilan. Jurnal Hukum Yurisprudensia.

Harkristuti dkk. (2021). Hukum dan Hak Asasi Manusia. Tangerang Selatan.
Universitas Terbuka.

Hiariej, Eddy O.S. (2019). Hukum Pidana, cet. Ke-9. Tangerang Selatan. Universitas
Terbuka.

Roeslan Saleh. (1981). Kitab Undnag-Undang Hukum Pidana. Jakarta. Aksara Baru.
11

Maidin, Gultom. (2010). Perlindungan Hukum Terhadap Anak: Dalam Sistem


Peradilan Pidana Anak Di Indonesia. Bandung. Refika Aditama.

Trinando, Frenki. (2014). Proses Peradilan Anak Nakal dan Sanksi Pidana yang
Dapat Dijatuhkan Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012. Ilmu
Hukum. Palembang: Universitas Muhammadiyah Palembang.

G, Anzar. (2017). Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak


Pidana Kekerasan Dalam Proses Penyidikan. Fakultas Hukum. Makassar:
Universitas Hasanuddin Makassar.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) https://kbbi.web.id (diakses pada 27


November 2022 pukul 19.23 WIB)

Hukum Online https://www.hukumonline.com (diakses pada 27 November 2022


pukul 19.44 WIB)

PERUNDANG-UNDANGAN

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak

Anda mungkin juga menyukai