Anda di halaman 1dari 61

i

ii
iii
iv

ABSTRAK

PUTRI PRATIDINA (1503103). TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP TINDAK


PIDANA PERKOSAAN YANG DILAKUKAN AYAH TERHADAP ANAK TIRI (Studi
Kasus Di Polres Parepare). Di bimbing oleh Natsir Angga Pembimbing I dan
Herman. B. Pembimbing II.

Penilitian ini dilakukan bertujuan sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui faktor


penyebab terjadinya kejahatan perkosaan yang dilakukan ayah terhadap anak tiri
(Studi Kasus Di Polres Parepare); & 2. Untuk mengetahui upaya penegak hukum
dalam menanggulangi terjadinya tindak pidana perkosaan yang dilakukan oleh
seorang ayah terhadap anak tiri (Studi Kasus Di Polres Parepare).

Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah
penelitian Normatif-Empiris dimana merupakan penelitian hukum sebagai bentuk
riset hukum terapan yang memandang tidak cukup menggunakan satu jenis
penelitian dalam memecahkan suatu masalah.

Hasil penelitian adalah sebagai berikut: adapun yang menjadi faktor-faktor


penyebab terjadinya tindak pidana perkosaan yang dilakukan oleh ayah tiri
adalah: a. Faktor Kesempatan Dalam melakukan tindak pidana perkosaan
terhadap anak di bawah umur yang sering di tinggal berdua dengan ayah tiri nya
oleh ibu kandungnya. b.Faktor peranan korban atau sikap korban sangat
menentukan seseorang untuk melakukan kejahatan termasuk tindak pidana
kesusilaan. Secara sadar atau tidak sadar bahwa korbanlah yang sering
merangsang orang lain untuk berbuat jahat. c. Faktor lingkungan dan tempat
tinggal. Lingkungan sosial tempat hidup seseorang banyak berpengaruh dalam
membentuk tingkah laku kriminal, sebab pengaruh sosialisasi seseorang tidak
akan lepas dari pengaruh lingkungan. d. Faktor Minimnya Edukasi tentang Seks
Dalam kehidupan sehari-hari menyebabkan korban tidak mengerti apa yang di
perbuat pelaku sehingga korban juga diam saja dan tidak berteriak.

Kata Kunci: Perkosaan, Anak.


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masyarakat secara umum kebanyakan menilai kesusilaan sebagai bentuk

penyimpangan atau kejahatan, karena bertentangan dengan hukum dan

norma-norma yang hidup dimasyarakat. Perkataan, tulisan, gambar, dan

perilaku serta produk atau media-media yang bermuatan asusila dipandang

bertentangan dengan nilai moral dan rasa kesusilaan masyarakat. Sifat

asusila yang hanya menampilkan sensualitas, seks dan eksploitasi tubuh

manusia ini dinilai masih sangat tabuh oleh masyarakat yang masih

menjujung tinggi nilai moral.

Menurut D. Simons (Teguh Prasetyo 2014: 22) kriteria eer boarheid

(kesusilaan) menuntut bahwa isi dan pertunjukan mengenai kehidupan

seksual dan oleh sifatnya yang tidak senonoh dapat menyinggung rasa malu

kesusilaan orang lain. Tindak asusila adalah tindakan atau perbuatan yang

menyimpang dari norma-norma kesopanan yang berlaku. Target dari

perbuatan ini rata-rata adalah seorang wanita, entah itu pelecehan seks atau

pemerkosaan. Namun, ada pula perbuatan asusila atas dasar suka sama

suka, salah satu contohnya adalah berzina.

Lebih lanjuy Roeslan Saleh (2012: 45) mengatakan pengertian kesusilaan

hendaknya tidak dibatasi pada pengertian kesusilaan dalam bidang seksual,

tetapi juga meliputi hal-hal yang termasuk dalam penguasaan norma-norma

keputusan bertingkahlaku dalam pergaulan masyarakat.

1
2

Menurut Barda Nawawi Arief (2015: 12) mengatakan bahwa delik

kesusilaan adalah delik yang berhubungan dengan (masalah) kesusilaan.

Sedangkan pengertian dan batas-batas kesusilaan itu cukup luas dan dapat,

berbeda-beda menurut pandangan dengan nila-nilai yang berlaku di

masyarakat. Pada dasarnya setiap delik atau tindak pidana mengandung

pelanggaran terhadap nilai-nilai kesusilaan, bahkan dapat dikatakan bahwa

hukum itu sendiri merupakan nilai-nilai kesusilaan yang minimal (das recht ist

das ethische minimum).

Dewasa ini kian marak seorang ayah tiri tega melakukan tindak asusila

terhadap anak tirinya baik itu berlatar belakang dendam ataupun hanya untuk

memuaskan nafsunya saja. Upaya perlindungan terhadap anak telah cukup

lama dibicarakan baik di Indonesia maupun di dunia Internasional.

pembicaraan mengenai masalah ini tidak akan pernah berhenti, karena

disamping merupakan masalah universal juga karena dunia ini akan selalu

dihiasi oleh anak-anak. Pembicaraan mengenai anak ini menandakan masih

adanya kasih sayang atau cinta kasih diantara umat manusia, khususnya

pada orang tua. Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus

cita-cita perjuangan bangsa, sumber daya manusia bagi pembangunan

nasional. Dalam rangka mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas

dan mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa

diperlukan pembinaan secara terus-menerus demi kelangsungan hidup anak

(Balla, H. 2022: 215-220).


3

Sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2002 Tentang Perlindungan Anak dijelaskan menyangkut asas tujuan, yaitu

bahwa: (Herman, B. Comparison of Children's Court Law with Child Criminal

Justice System Law).

“Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-


hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi, demi, dan terwujudnya anak Indonesia yang
berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.”

Pada hakikatnya anak tidak dapat melindungi diri sendiri dari berbagai

macam tindakan yang menimbulkan kerugian mental, fisik, sosial, dalam

berbagai bidang kehidupan dan penghidupan. Anak harus dibantu orang lain

dalam melindungi dirinya, mengingat situasi dan kondisinya, khususnya dalam

kasus pemerkosaan yang terjadi pada anak.

Pelaku kejahatan pemerkosaan dewasa ini tidak hanya dilakukan oleh

orang dewasa tetapi juga dilakukan oleh para remaja dan anak-anak, bahkan

tragisnya yang melakukan pemerkosaan tersebut tidak lain adalah ayah

kandung korban itu sendiri. Cara pelaksanaanya pun atau cara kerja atau

yang lebih dikenal dengan modus operandi kejahatan pemerkosaan berbeda-

beda, ada yang dilakukan perorangan dan ada juga yang berkelompok. Para

pelaku biasanya sudah mengenal korbannya bahkan terkadang korban adalah

anggota keluarga dari pelaku (Balla, H., & Asriyani, A. 2021:1-10).

Korban pemerkosaan memang banyak terjadi dikalangan masyarakat

dewasa ini, dimana anak dibawah umurlah yang menjadi sasaran utamanya.

Ini dikarenakan anak dibawah umur memang sangat potensial menjadi korban

pemerkosaan, karena posisinya yang paling lemah dalam struktur sehingga

hal inilah yang memudahkan pelaku pemerkosaan melakukan aksinya yang


4

mengakibatkan korban pemerkosaan terhadap anak semakin meningkat.

Dengan melihat latar belakang tersebut diatas penulis tertarik untuk

membahas masalah ini dengan mengambil judul TINJAUAN KRIMINOLOGI

TERHADAP TINDAK PIDANA PERKOSAAN YANG DILAKUKAN AYAH

TERHADAP ANAK TIRI (Studi Kasus Di Polres Parepare).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka rumusan masalah yang

akan diteliti adalah :

1. Faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya tindak pidana perkosaan

yang dilakukan ayah terhadap anak tiri (Studi Kasus Di Kota Parepare)?

2. Bagaimanakah upaya penegak hukum dalam menanggulangi terjadinya

tindak pidana perkosaan yang dilakukan oleh seorang ayah terhadap

anak tiri (Studi Kasus Di Kota Parepare)?

C. Tujuan Penelitian

Adapun Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kejahatan

perkosaan yang dilakukan ayah terhadap anak tiri (Studi Kasus Di Polres

Parepare);

2. Untuk mengetahui upaya penegak hukum dalam menanggulangi

terjadinya tindak pidana perkosaan yang dilakukan oleh seorang ayah

terhadap anak tiri (Studi Kasus Di Polres Parepare).


5

D. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Secara Teoretis

Diharapkan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi

dalam perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan hukum pidana

pada khususnya yang berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam

penelitian.

2. Secara Praktis

Diharapkan hasil penelitian ini sebagai bahan informasi atau masukan

bagi proses pembinaan kesadaran hukum bagi masyarakat untuk

mencegah terulangnya peristiwa yang serupa.


6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Kriminologi

1. Pengertian Kriminologi

Kejahatan (crime) merupakan fenomena yang kompleks, dan upaya

menjelaskannya dari berbagai segi merupakan upaya yang cukup sulit

sekaligus menantang. Kejahatan adalah tiap kelakuan yang merugikan

(merusak) dan asusila, yang menimbulkan kegoncangan yang sedemikian

besar dalam masyarakat tertentu, sehingga masyarakat itu berhak mencela

dan mengadakan perlawanan terhadap kelakuan terebut dengan jalan

menjatuhkan dengan sengaja suatu nestapa (penderitaan) terhadap pelaku

perbuatan tersebut (pembalasan) atau dikenal juga dengan istilah pidana

(Karim, K., Herman, B., & Syahril, M. A. F. 2021: 1-15).

Kriminologi termasuk cabang ilmu pengetahuan yang berkembang pada

tahun 1850 bersama-sama sosiologi, antropologi, dan psikologi. Nama

kriminologi ditemukan oleh P. Topinard, seorang ahli antopologi Prancis.

Sedangkan istilah yang dipakai sebelumnya adalah “antropologi criminal”.

(Alam. A. S, 2010: 1).

Beberapa sarjana terkemuka memberikan difinisi kriminologisebagai

berikut:

a. Edwin H. Sutherland:
Criminology is the body of knowledge regarding delinquency and
crime as social phenomena (Kriminologi adalah kumpulan
pengetahuan yang membahas kenakalan remaja dan kejahatan
sebagai gejala sosial). (Alam. A. S, 2010: 2).

6
7

b. J.Constant:
Kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan menentukan
faktor-faktor yang menjadi sebab-musabab terjadinya kejahatan
danpenjahat. (Alam. A. S, 2010: 2)
c. Moedigdo Meoliono:
Kriminologi sebagai ilmu yang belum dapat berdiri sendiri, sedangkan
masalah manusia menunjukkan bahwa kejahatan merupakan gejala
sosial. Karena kejahatan merupakan masalah manusia, maka
kejahatan hanya dapat dilakukan manusia. Agar makna kejahatan
jelas, perlu memahami eksistensi manusia.(Top Santoso dan Eva
Achjani Zulfa, 2003: 11).
d. Michael dan Adler:
kriminologi adalah keseluruhan keterangan mengenai perbuatan dan
sifat dari para penjahat, mulai dari lingkungan mereka sampai pada
perlakuan secara resmi oleh lembaga-lembaga penertib masyarakat
dan oleh para anggota masyarakat. (Topo Santoso, 2010: 9).
e. Prof. Dr. Wme. Noach:
Kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki gejala-gejala
kejahatan dan tingkah laku yang tidak senonoh, sebab-musabab
sertaakibat-akibatnya. (Deni Achmad dan Firganefi, 2016: 9).
f. W. A. Bonger:
Kriminologi sebagai ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki
gejala kejahatan seluas-luasnya. Melalui definisi ini, Bonger lalu
membagi kriminologi menjadi kriminologi murni dan kriminologi
terapan.
g. Kriminologi Murni mencakup : (Muhammad Mustofa, 2007: 2).
1) Antropologi Kriminal. Yaitu ilmu pengetahuan tentang manusia
yang jahat. Ilmu pengetahuan ini memberikan jawaban atas
pertanyaan tentang orang jahat dalam tubuhnya mempunyai
tanda-tanda seperti apa? Apakah ada hubungan antara suku
bangsa dengan kejahatan dan seterusnya.
2) Sosisologi Kriminal. Yaitu ilmu pengetahuan tentang kejahatan
sebagai suatu gejala masyarakat. Pokok permasalahan yang di
bahas dalam ilmu pengetahuan ini dimana sebab-sebab
kejahatan dalam masyarakat.
3) Psikologi Kriminal. Yaitu Ilmu Pengetahuan tentang penjahat
dari sudut pandang kejiwaannya.
4) Psikopatologi dan Neuropatologi. Yaitu Ilmu tentang penjahat
yang sakit jiwa atau urat syaraf.
5) Penology. Yaitu Ilmu tentang tumbuh dan berkembangnya
hukuman.
h. Kriminologi terapan mencakup : (Kartasaputra Momon, 1981: 23).
1) Hygiene criminal. Yaitu usaha yang bertujuan untuk mencegah
terjadinya kejahatan. Misalnya usaha-usaha yang dilakukan

7
8

oleh pemerintah untuk menerapkan Undang-undang, sistem


jaminan hidup dan kesejahteraan yang dilakukan semata-mata
untuk mencegah terjadinya kejahatan.
2) Politik criminal. Yaitu usaha penanggulangan kejahatan dimana
suatu kejahatan telah terjadi. Disini dilihat sebab-sebab
seseorang melakukan kejahatan. Bila disebabkan oleh faktor
ekonomi maka usaha yang dilakukan adalah meningkatkan
keterampilan atau membuka lapangan kerja. Jadi tidak semata-
mata dengan penjatuhan sanksi.
3) Kriminalistik. Yaitu ilmu pengetahuan mengenai pelaksanaan
penyidikan teknik kejahatan dan pengusutan kejahatan.

2. Ruang Lingkup Kriminologi

Dibawah ini kriminologi mencakup 3 (tiga) hal pokok yaitu sebagai berikut:

(Alam. A. S, 2010: 2).

a. Proses pembuatan hukum pidana dan acara pidana (making


law) membahas definisi kejahatan, unsur-unsur kejahatan,
revativitas pengertian kejahatan, penggolongan kejahatan, dan
statistic kejahatan.

b. Etiologi criminal yang membahas teori-teori yang menyebabkan


terjadinya kejahatan (breaking of law).Membahas aliran-aliran
(mazhab-mazhab) kriminal, teori-teori kriminal, dan berbagai
perspektif kriminologi.

c. Reaksi terhadap pelanggaran hukum (reacting toward the


breaking of law).Reaksi dalam hal ini bukan hanya di tunjukkan
kepada pelanggar hukum berupa tindakan represif tetapi juga
reaksi terhadap calon pelanggar hukum berupa upaya-upaya
pencegahan kejahatan (criminal prevention). Membahas
perlakuan terhadap pelanggaran-pelanggaran hukum (reacting
toward the breaking law) antara lain, teori penghukuman,
upaya-upaya penanggulangan atau pencegahan kejahatan,
baik berupa tindakan preventif, represif, dan rehabilitative.
3. Pembagian Kriminologi

Kriminologi dapat dibagi dalam dua golongan besar yaitu:

a. Kriminologi Teoritis

Secara teoritis kriminologi ini dapat dipisahkan kedalam lima cabang


9

pengetahuan yang dimana setiap bagiannya memperdalam

pengetahuannya mengenai sebab-musabab kejahatan secara teoritis.

Sebagai berikut :

1) Antropologi Kriminal, yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari

tanda-tanda fisik yang menjadi ciri khas dari seorang penjahat.

Misalnya: menurut Lambroso ciri seorang penjahat diantaranya:

tengkoraknya panjang, rambutnya lebat, tulang pelipisnya

menonjol ke luar, dahinya mencong dan seterusnya.

2) Sosiologi kriminal, yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari

kejahatan sebagai gejala sosial.

3) Psikologi kriminal, yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari

kejahatan dari sudut ilmu jiwa.

4) Psikologi dan Neuro Phatologi Kriminal, yaitu ilmu pengetahuan

yang mempelajari tentang penjahat yang sakit jiwa/gila. Misalnya

mempelajari penjahat-penjahat yang masih dirawat di rumah sakit

jiwa seperti : Rumah Sakit Jiwa Dadi Makassar.

5) Penologi, yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang

sejarah, arti dan faedah hukum.

b. Kriminologi Praktis

Yaitu ilmu pengetahuan yang berguna untuk memberantas kejahatan

yang timbul di dalam masyarakat. Dapat pula disebutkan bahwa

kriminologi praktis adalahmerupakan ilmu pengetahuan yang

diamalkan (applied criminology). Cabang-cabang dari kriminologi

praktis ini adalah:

1) Hygiene Kriminal, yaitu cabang kriminologi yang berusaha untuk


10

memberantas faktor penyebab timbulnya kejahatan.

2) Politik Kriminal, yaitu ilmu yang mempelajari tentang

bagaimanakah caranya menetapkan hukum yang sebaikbaiknya

kepada terpidana agar ia dapat menyadari kesalahannya serta

berniat untuk tidak melakukan kejahatan lagi.

3) Kriminalistik (police scientific), yaitui ilmu tentang penyelidikan

teknik kejahatan dan penangkapan pelaku kejahatan.

Ruang Lingkup Kriminalistik dibagi menjadi dua bagian:

 Teknik Kriminal Mengajarkan tentang menjawab pertanyaan-

pertanyaan dalam bidang pengusutan perkara kejahatan.

Dasar-dasar penyidikan teknik: a. Pengetahuan hukum b. Ilmu

pengetahuan undang-undang c. Ilmu bukti d. Ilmu penyidikan e.

Ilmu kepolisian f. Ilmu jiwa, g. Pengetahuan bahasa

 Taktik kriminal Pengetahuan yang mempelajari problema-

problema taktis dalam bidang penyidikan perkara pidana.

Manfaat Mempelajari Kriminologi Kejahatan sudah dikenal

sejak adanya peradaban manusia. Makin tinggi peradaban,

makin banyak aturan, dan makin banyak pula pelanggaran.

Sering disebut bahwa kejahatan merupakan bayangan

peradaban (crime is a shadow of civilization).

Tidak dapat disangkal krimonologi telah membawa manfaat

yang tak terhingga dalam mengurangi penderitaan umat

manusia, dan inilah yang merupakan tujuan utama mempelajari

kriminologi.

Secara sederhana, manfaat mempelajari kriminologi dapat

digolongkan dalam tiga sasaran utama, meliputi:


11

 Bagi Pribadi: dengan memahami perbuatan manusia yang

melakukan kejahatan, kerena berkolerasi dengan berbagai

faktor sebab-musabab seseorang kemudian akan bijak dan

mengalami keinsafan diri kalau pada sesungguhnya orang

yang berbuat jahat disekitarnya bukan “dimusnahkan” tetapi

perlu pembinaaan agar tidak lagi mengulangi kejahatannya.

Seseorang yang menjadi korban kejahatan, tanpa berpikir

panjang, boleh jadi akan menghabisi atau menuntaskan

dendamnya kepada penjahat itu. Adapun kalau ia

mengetahui sebab-musababnya orang berbuat jahat

kepadanya, ia tidak akan main hakim sendiri, tetapi

mempercayakan kepada “negara” agar memperoses

sipenjahat dalam wadah pemidanaan .

 Bagi Masyarakat: kalau sudah dapat diperediksi calon-

colon penjahat dimasa mendatang berkat penelitian

kriminologi, sehingga dari awal dapat diambil langkah pre-

emtif dan preventif untuk menanggulanginya, maka

tertatalah kehidupan sosial tanpa gangguan kejahatan.

Tentu upaya penanggulangan kejahatan dapat melibatkan

aparat penegak hukum yang mengerti penegakan

kriminologi sehingga dapat mengambil langkahlangkah yang

terarah guna mencegah terjadinya kejahatan.

 Bagi Akademisi: kriminologi yang dipahami sebagai “The

body of knowledge” memanfaatkan berbagai disiplin ilmu

sebagai pendekatan studi kejahatan, maka manfaatnya tidak

hanya menjadi milik kriminologi, tetapi juga ahli lain


12

(antropolog, sosiolog, dan psikolog), jadilah pengayaan ilmu

yang akan memperluas horizon pandangan tentang

phenomena kejahatan sebagai gejala sosial. Bahkan dengan

hasil penelitian yang menggunakan pendekatan kriminologi

akan memberikan sumbangsih berharga untuk perumusan

dan pembentukan perUndang-Undangan guna

menanggulangi penjahat berstatus residivis atau caloncalon

penjahat berikutnya.

4. Aliran Dalam Kriminologi

Mazhab atau aliran-aliran yang kerap pula di sebut ”schools” dalam

kriminologi menunjukan proses perkembangan pemikiran dasar dan konsep-

konsep tentang kejahatan.

Berikut beberapa mazhab yang pernah melakukan penelitian sebab-

sebab kejahatan:

a. Spiritualisme

Dalam penjelasan tentang kejahatan, spiritualisme memiliki perbedaan

mendasar dengan metode penjelasan kriminologi yang ada saat ini.

Berbeda dengan teori-teori kriminologi sekarang, spiritualisme

memfokuskan perhatiannya pada perbedaan antara kebaikan yang

datang dari tuhan atau dewa, dan keburukan yang datang dari setan.

Seseorang yang telah melakukan kejahatan dipandang sebagai orang

yang terkena bujukan setan (evil,demon). Landasan pemikiran yang

paling rasional dari perkembangan ini, bahwa dari priode sebelumnya

kejahatan dianggap sebagai permasalahan antara korban dan

keluarga korban dengan pelaku dan keluarganya. Akibatnya, konflik


13

berkepanjangan antara keluarga yang dapat mengakibatkan

musnahnya keluarga tersebut. Juga menjadi masalah, bahwa pelaku

kejahatan yang berasal dari keluarga yang memiliki posisi kuat dalam

masyarakat yang akan mendapat hukuman.

b. Naturalisme

Perkembangan pahan naturalisme yang muncul dari perkembangan

ilmu alam menyebabkan manusia mencari model penjelasan lain yang

lebih rasional dan mampu di buktikan secara ilmiah. Lahirnya

rasionalisme di Eropa menjadikan pendekatan ini mendominasi

pemikiran tentang penyebab kejahatan.

c. Positivis

Aliran Positivis terbagi atas dua bagian besar:

Pertama, determinasi biologis (biological determinism): perilaku

manusia sepenuhnya tergantung pada pengaruh biologis yang ada

dalam dirinya.

Kedua, determinasi kultur (cultural determinism): mendasari pemikiran

mereka pada pengaruh sosiaal, budaya, dan lingkungan dimana

seseorang itu hidup.

Para ilmuan ini tidak cukup hanya dengan berfikir untuk meningkatkan

dan memodernisasi peradaban masyarakat, tetapi mereka lebih

banyak berkeinginan untuk menjelaskan semua gejala kehidupan yang

terjadi di dalam masyarakat. Aliran ini mengakui bahwa manusia

memiliki akalnya disertai kehendak bebas untuk menentukan

pilihannya. Akan tetapi, aliran ini berpendapat bahwa kehendak

mereka itu tidak terlepas dari pengaruh faktor lingkungannya. Secara

singkat, aliran ini berpegang teguh pada keyakinan bahwa seseorang


14

dikuasai oleh hukum sebab akibat (cause-effect relationship)

d. Aliran Social Defence

Aliran social defence yang dipelopori oleh Judge Marc Angel telah

mengembangkan suatu teori yang berkelainan dengan aliran

terdahulu. Munculnya aliran ini disebabkan teori aliran positif klasik

dianggap terlalu statis dan kaku dalam menganalisis kejahatan yang

terjadi dalam masyarakat.

5. Fungsi Kriminologi

Menurut Topo Santoso (2009: 10-11) mengemukakan bahwa:

“Kriminologi mempelajari kejahatan sebagai fenomena sosial


sehingga sebagai pelaku kejahatan tidak terlepas dari interaksi
sosial, artinya kejahatan menarik perhatian karena pengaruh
perbuatan tersebut yang disarankan dalam hubungan antar
manusia. Kriminologi merupakan kumpulan ilmu pengetahuan dan
pengertian gejala kejahatan dengan jalan mempelajari dan
menganalisa secara ilmiah keterangan-keterangan, keseragaman-
keseragaman, pola-pola dan faktor-faktor kausal yang
berhubungan dengan kejahatan, pelaku kejahatan secara reaksi
masyarakat terhadap keduanya.”

Lebih Lanjut Topo Santoso (2009: 23-24) mengemukakan bahwa objek,

studi kriminologi meliputi:

1. Perbuatan yang disebut kejahatan


2. Pelaku kejahatan
3. Reaksi masyarakat yang ditujukan baik terhadap perbuatan
ataupun terhadap pelakunya.

Dengan melihat keberadaan kriminologi di tengah-tengah kehidupan

masyarakat, fungsi kriminologi bersifat luas. Namun demikian, karena

keberadaan kriminologi ini dapat dibedakan kepada dua hal, yaitu fungsi

klasik dan fungsi modern. Pada fungsi yang klasik, keberadaan kriminologi

berkaitan dengan hukum pidana, dimana dua disiplin ilmu ini saling
15

berhubungan dengan kriminologi dianggap sebagai bagian dari hukum

pidana. Dalam perkembangan selanjutnya kriminologi dijadikan sebagai ilmu

yang membantu hukum pidana (ilmu pengetahuan), dan sekarang hal

tersebut tidak dapat dipertahankan lagi, karena perkembangan kriminologi

sudah menjadi disiplin yang berdiri sendiri.

Hubungan antara kriminologi dengan hukum pidana ini sedemikian

dekatnya sehingga diibaratkan sebagai “dua sisi diantara satu mata uang”,

dimana hukum pidana pada dasarnya menciptakan kejahatan (kejahatan

formal) dan rumusan kejahatan yang dimuat dalam hukum pidana itulah

yang menjadi kajian pokok kriminologi. Disamping itu hukum pidana sebagai

suatu disiplin yang bersifat normatif atau abstrak, di lain pihak kriminologi

yang bersifat normatif yang bersifat faktual. Maka sebagaimana yang

dikemukakan oleh Vrij bahwa Kriminologi menyandarkan hukum pidana

kepada kenyataan. Bahkan karena cara pandang kriminologi yang lebih luas

terhadap kejahatan ketimbang hukum pidana, dapat dikatakan bahwa

kriminologi itu membuat bijak berlakunya hukum pidana (Harianto, H., Natsir,

M., & Syahril, M. A. F. 2022: 202-207).

Dari kerangka hubungan yang dekat sekali antara kriminologi dengan

hukum pidana tersebut, maka fungsi kriminologi yang klasik ini adalah

fungsinya dalam masalah hukum pidana, yaitu :

a. Dalam perumusan atau pembuatan hukum pidana.

b. Dalam penerapan hukum pidana.

c. Dalam pembaharuan hukum pidana, yakni dalam hal :

- Kriminalisasi

- Deskriminalisasi

- Depenalisas.
16

B. Tinjauan Umum Tentang Kejahatan

1. Pengertian Kejahatan

Masalah kejahatan dalam masyarakat akhir-akhir ini merupakan

fenomena yang selalu menjadi topik pembicaraan karena senantiasa

melingkupi kehidupan bermasyarakat. Tidak dapat dipungkiri bahwa

kejahatan pasti terjadi dimana terdapat manusia-manusia yang mempunyai

kepentingan berbeda-beda.

Kejahatan merupakan delik hukum, yakni peristiwa-peristiwa yang

berlawanan atau bertentangan dengan asas-asas hukum yang hidup di

dalam keyakinan hidup manusia dan terlepas dari Undang-Undang (G.W.

Bawengan, 1974: 22). Kemudian, Departemen Pendidikan Nasional (2008:

557) memberikan batasan pengertian kejahatan sebagai perbuatan yang

jahat yang melanggar hukum, perilaku yang bertentangan dengan nilai dan

norma yang telah disahkan oleh hukum tertulis. Dilihat dari segi hukum,

kejahatan dapat didefinisikan sebagai berikut:

Kejahatan adalah perbuatan manusia yang melanggar atau


bertentangan dengan apa yang ditentukan dalam kaidah
hukum, tegasnya perbuatan yang melanggar larangan yang
ditetapkan dalam kaidah hukum, dan tidak memenuhi atau
melawan perintah-perintah yang telah ditetapkan dalam kaidah
hukum yang berlaku dalam masyarakat dimana yang
bersangkutan bertempat tinggal (Ninik Widiyanti dan Yulius
Waskita, 1987: 29).

Selain itu, beberapa ahli juga memberikan definisi tentang kejahatan,

antara lain:

Bonger (1982: 21-24) mengemukakan dalam bukunya Pengantar

Tentang Kriminologi bahwa :


17

Definisikan kejahatan dirasakannya sebagai perbuatan immoril


dan anti-sosial, yang tidak dikehendaki oleh kelompok pergaulan
yang bersangkutan, dan secara sadar ditentang oleh pemerintah
(negara) dengan pemberian penderitaan yang berupa hukuman
atau tindakan.

Selanjutnya David M. Gordon dan Paul Mudigdo Moeliono yang dikutip

oleh Ninik Widiyanti dan Yulius Waskita (1987: 27-29) memberikan batasan

tentang kejahatan sebagai berikut:

 David M. Gordon:
Mendefinisikan kejahatan merupakan usaha pelanggar untuk
hidup dalam suatu situasi ekonomi tidak menentu yang
terbentuk dalam tatanan sosial tertentu.

 Paul Mudigdo Moeliono:


Mendefinisikan kejahatan adalah perbuatan manusia yang
merupakan pelanggaran norma, yang dirasakan merugikan,
menjengkelkan, sehingga tidak boleh dibiarkan berkembang
dalam masyarakat dengan menuangkannya dalam norma
hukum pidana yang disertai ancaman-ancaman hukuman.

Berdasarkan beberapa definisi tentang kejahatan seperti yang telah

disebutkan di atas, pada intinya sama yakni menyebutkan bahwa kejahatan

adalah suatu perbuatan yang melanggar peraturan/hukum yang berlaku di

mana masyarakat itu tinggal serta merugikan masyarakat lainnya. Kejahatan

termasuk dalam semua jenis pelanggaran publik (Suhartono W. Pranoto,

2008: 39). Atas pelanggaran yang dilakukan tersebut membawa

konsekuensi berupa sanksi hukuman atau tindakan dari aparat yang

berwenang.

Ditambahkan pula bahwa tidak jarang suatu kejahatan diakibatkan oleh

situasi ekonomi yang tidak menentu dalam masyarakat. Akibatnya

seseorang nekat melakukan tindak kejahatan agar tetap bisa memenuhi

kebutuhan hidup.
18

2. Teori Penanggulangan Kejahatan

Pada masa-masa silam reaksi penghukuman atas kejahatan sangat

berat dimana tujuannya adalah untuk menakut-nakuti masyarakat agar

jangan melakukan kejahatan, dan siksaan sebagai pembalasan (Ninik

Widiyanti dan Yulius Waskita, 1987: 23). Akan tetapi, untuk masa sekarang

usaha-usaha untuk mengurangi kejahatan lebih diarahkan pada pembinaan

serta pemberian efek jera agar para pelaku bisa menginsafi kejahatan yang

telah mereka lakukan.

Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya

merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social

defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare)

(Barda Nawawi Arief, 2011: 4). Dapat dikatakan bahwa tujuan akhir yang

ingin dicapai dari upaya penanggulangan kejahatan adalah memberikan

perlindungan, rasa aman dan kesejahteraan kepada masyarakat.

Penanggulangan kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah

sebelum terjadi dan memperbaiki pelaku yang dinyatakan bersalah dan

dihukum di penjara atau lembaga permasyarakatan (Soejono Dirdjosisworo,

1984: 19-20). Namun demikian, bahwa efektifitas kejahatan hanya mungkin

dapat dicapai dengan melalui keikutsertaan masyarakat secara meluas

meliputi kesadaran dan ketertiban yang nyata (Moh Kemal Dermawan, 1994:

102-103).

Menurut G.P. Hoefnagels yang dikutip oleh Barda Nawawi Arief (2011:

45), upaya penangulangan kejahatan dapat ditempuh dengan:

a. Penerapan hukum pidana (criminal law application);


b. Pencegahan tanpa pidana(prevention without punishment);
19

c. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai


kejahatan dan pemidanaan lewat mass media (influencing
views of society on crime and punishment/mass media).

Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh G.P. Hoefnagels yang

dikutip oleh Barda Nawawi Arief (2011: 46), upaya penanggulangan

kejahatan secara garis besar dapat dibagi menjadi dua, yakni:

a. Jalur Penal

Upaya penanggulangan lewat jalur penal ini bisa juga


disebut sebagai upaya yang dilakukan melalui jalur hukum
pidana. Upaya ini merupakan upaya penanggulangan yang
lebih menitikberatkan pada sifat represif, yakni tindakan
yang dilakukan sesudah kejahatan terjadi dengan
penegakan hukum dan penjatuhan hukuman terhadap
kejahatan yang telah dilakukan. Selain itu, melalui upaya
penal ini, tindakan yang dilakukan dalam rangka
menanggulangi kejahatan sampai pada tindakan
pembinaan maupun rehabilitasi.

b. Jalur Nonpenal

Upaya penanggulangan lewat jalur nonpenal ini bisa juga


disebut sebagai upaya yang dilakukan melalui jalur di luar
hukum pidana. Upaya ini merupakan upaya
penanggulangan yang lebih menitikberatkan pada sifat
preventif, yakni tindakan yang berupa pencegahan
sebelum terjadinya kejahatan. Melalui upaya nonpenal ini
sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif
penyebab terjadinya kejahatan, yakni meliputi masalah-
masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung
atau tidak langsung dapat menimbulkan atau
menumbuhsuburkan kejahatan.

C. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana

Belanda yaitu strafbaar feit atau delict, dalam bahasa Indonesia disamping

istilah Tindak Pidana untuk terjemahan strafbaar feit atau delict


20

sebagaimana yang dipakai oleh R. Tresna dan Utrecht dalam buku C.S.T

Kansil dan Christine S.T Kansil dikenal juga beberapa terjemahan yang lain

seperti Perbuatan Pidana, Pelanggaran Pidana, Perbuatan yang boleh di

hukum atau Perbuatan yang dapat dihukum.

Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana

Belanda yaitu strafbear feit, meskipun tidak ada penjelasan resmi tentang

apa yang dimaksud dengan strafbear feit itu. Strafbear Feit, terdiri dari tiga

kata yakni straf, bear dan feit,straf diterjemahkan dengan pidana dan hukum,

perkataan bear diterjemahkan dengan dapat dan boleh, sedangkan untuk

kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran dan

perbuatan. Dengan demikian secara harfiah strafbeartfeit dapat diartikan

sebagai perbuatan yang pelakunya dapat dikenai hukuman.

Menurut Adami Chazawi, (2002: 67) ada beberapa istilah-istilah yang

pernah digunakan baik dalam perundang-undangan yang ada maupun

dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan istilah strafbaar feit

adalah:

1. Tindak Pidana,
Yaitu Dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam perUndang-
Undangan. Hampir seluruh peraturan perundang-undangan
menggunakan istilah tindak pidana.
2. Peristiwa Pidana,
Yaitu Digunakan oleh beberapa ahli hukum, misalnya MR. R
Tresna dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana.
Pembentukan perUndang-Undangan juga pernah
menggunakan istilah peristiwa pidana, yaitu dalam Undang-
Undang Dasar Sementara Tahun 1950 dalam Pasal 14 Ayat 1.
3. Delik,
Yaitu berasal dari bahasa latin delictum juga digunakan untuk
menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar
feit.
4. Pelanggaran Pidana,
Yaitu dapat dujumpai dalam buku Pokok-Pokok Hukum Pidana
yang ditulis oleh Mr. M.H. Tirtaamidjaja
21

5. Perbuatan yang boleh dihukum,


Yaitu istilah ini digunakan oleh Mr. Karni dalam bukunya yang
berjudul “Ringkasan Tentang Hukum Pidana”.

Bersadarkan beberapa pendapat para sarjana di atas, dapat disimpulkan

bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan

pidana barang siapa yang melakukan.

2. Unsur- unsur Tindak Pidana

Unsur-unsur dalam tindak pidana merupakan unsur yang harus ada untuk

menentukan bahwa suatu rumusan merupakan tindak pidana. Terdapat dua

sudut pandang mengenai unsur-unsur tindak pidana, yakni sudut pandang

teorotis dan sudut pandang Undang-Undang. Sudut pandang teoritos

merupakan sudut pandang para ahli hukum tentang unsur-unsur tindak

pidana, sedangkan sudut pandang Undang-Undang adalah bagaimana

kenyataan tindak pidana itu dirumuskan menjadi tindak pidana tertentu

dalam pasal-pasal peraturan perUndang-Undangan yang ada.

Unsur-unsur tindak pidana berdasarkan kedua sudut pandang tersebut

adalah :

a. Unsur tindak pidana teoritis

b. Unsur tindak pidana dalam Undang-undang

Unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan dari dua sudut pandang, yaitu

dari sudut teoritis dan dari sudut undang-undang. Sudut teoritis ialah

berdasarkan pendapat para ahli hukum, yang tercermin pada bunyi rumusan

sedangkan sudut undang-undang adalah bagaimana kenyataan tindak

pidana itu dirumuskan menjadi tindak pidana tertentu dalam pasal-pasal

peraturan perundang-undangan yang ada.


22

Menurut Roeslan Saleh, (1981: 21) Berikut unsur tindak pidana menurut

beberapa pendapat para Ahli Hukum dalam bukunya:

1) Unsur tindak pidana menurut Moeljatno, meliputi unsur


perbuatan, yang dilarang (oleh aturan hukum), ancaman pidana
(bagi yang melanggar larangan).
2) Unsur tindak pidana menurut R. Tresna, meliputi
perbuatan/rangkaian perbuatan, yang bertentangan dengan
peraturan perUndang-Undangan, diadakan tindakan
penghukuman.
3) Unsur tindak pidana menurut Vos, meliputi kelakuan manusia,
diancam dengan pidana, dalam peraturan Perundang-
Undangan.
4) Unsur tindak pidana menurut Jonkers (menganut paham
monoisme), meliputi perbuatan, melawan hukum, kesalahan,
dipertanggungjawabkan.
5) Unsur tindak pidana menurut Schravendijk, meliputi kelakuan,
bertentangan dengan keinsyafan hukum, diancam dengan
hukuman, dilakukan oleh orang dipersalahkan/kesalahan

Didalam buku yang sama beliau lebih lanjut menguraikan tentang unsur

tindak pidana dari sudut Undang-undang:

1) Unsur Tingkah Laku


Tindak pidana adalah mengenai larangan berbuat, oleh karena
itu perbuatan atau tingkah laku harus disebutkan dalam
rumusan. Tingkah laku adalah unsur mutlak tindak pidana.
Tingkah laku dalam tindak pidana terdiri dari tingkah laku aktif
atau positif (handelen) juga dapat disebut perbuatan materiil
(materiil feit) dan tingkah laku pasif atau negatif (natalen).
Tingkah laku aktif adalah suatu bentuk tingkah laku untuk
mewujudkannya atau melakukannya diperlukan wujud gerak
atau gerakan-gerakan dari tubuh atau bagian dari tubuh,
sedangkan tingkah laku pasif adalah berupa tingkah laku yang
tidak melakukan aktivitas tertentu tubuh atau bagian tubuh yang
seharusnya seseorang itu dalam keadaan tertentu, harus
melakukan perbuatan aktif, dan dengan tidak berbuat demikian
seseorang itu disalahkan karena melaksanakan kewajiban
hukumnya.
2) Unsur Sifat Melawan Hukum
Melawan hukum adalah suatu sifat tercelanya atau
terlarangnya dari suatu perbuatan, yang sifatnya bersumber
23

pada undang-undang (melawan hukum formil) dan dapat


bersumber dari masyarakat (melawan hukum materiil).
3) Unsur Kesalahan
Kesalahan atau schuld adalah unsur mengenai keadaan atau
gambaran batin orang sebelum atau pada saat memulai
perbuatan, karena itu unsur ini selalu melekat pada diri pelaku
dan bersifat subyektif.
4) Unsur Akibat Konstitutif
Unsur akibat konstitutif ini terdapat pada tindak pidana materiil
(materiel delicten) atau tindak pidana dimana akibat menjadi
syarat selesainya tindak pidana; tindak pidana yang
mengandung unsur akibat sebagai syarat pemberat pidana,
tindak pidana dimana akibat merupakan syarat dipidananya
pembuat.
5) Unsur Keadaan yang Menyertai
Unsur keadaan yang menyertai adalah unsur tindak pidana
yang berupa semua keadaan yang ada dan berlaku dalam
mana perbuatan dilakukan. Unsur keadaan yang menyertai ini
dalam kenyataan rumusan tindak pidana dapat:
 Mengenai cara melakukan perbuatan;
 Mengenai cara untuk dapatnya dilakukan perbuatan;
 Mengenai obyek tindak pidana;
 Mengenai subyek tindak pidana;
 Mengenai tempat dilakukannya tindak pidana; dan
 Mengenai waktu dilakukannya tindak pidana.

6) Unsur Syarat Tambahan untuk Dapat Dituntut Pidana


Unsur ini hanya terdapat pada tindak pidana aduan yaitu tindak
pidana yang hanya dapat dituntut pidana jika adanya
pengaduan dari yang berhak mengadu.
7) Syarat Tambahan untuk Memperberat Pidana
Unsur syarat ini bukan merupakan unsur pokok tindak pidana
yang bersangkutan, artinya tindak pidana tersebut dapat terjadi
tanpa adanya unsur ini.
8) Unsur Syarat Tambahan untuk Dapatnya Dipidana
Unsur ini berupa keadaan-keadaan tertentu yang timbul setelah
perbuatan dilakukan artinya bila setelah perbuatan dilakukan
keadaan ini tidak timbul, maka terhadap perbuatan itu tidak
bersifat melawan hukum dan si pembuat tidak dapat dipidana.
24

3. Jenis-jenis Tindak Pidana (Delik)

Setelah menguraikan tindak pidana dari segi pengertian dan unsur-

unsur tindak pidana. Berikut ini akan diuraikan jenis-jenis tindak pidana

yang dapat dibedakan dalam beberapa kategori, yaitu:

a. Delik kejahatan dan delik pelanggaran

b. Delik formil dan delik materil

c. Delik commisionis dan delik ommisionis

d. Delik dolus dan delik culpa

D. Tinjauan Umum Tentang Tindakan Kesusilaan

1. Pengertian Asusila

Asusila adalah perbuatan atau tingkah laku yang menyimpang dari

norma-norma atau kaidah kesopanan yang saat ini cenderung banyak

terjadi di kalangan masyarakat terutama anak di bawah umur. Islam

dengan Al-Qur’an dan sunnah telah memasang bingkai bagi kehidupan

manusia agar menjadi kehidupan yang indah dan bersih dari kerusakan

moral. Menurut pandangan Islam, tinggi dan rendahnya spiritualitas

(rohani) pada sebuah masyarakat berkaitan erat dengan segala

prilakunya, bukan saja tata prilaku yang bersifat ibadah mahdah (khusus)

seperti shalat dan berpuasa, namun juga bersifat prilaku ibadah ghairu

mahdah (umum) seperti yang berkaitan dengan sosial kemasyarakatan.

Adapun faktor-faktor penyebab Tindakan Asusila antara lain Pergaulan

bebas, Pengaruh ekonomi, Cara berpakaian, Nafsu yang tak terkontrol,

Sering membaca cerita atau menonton film berbau pornografi, Terpaksa,

Pengaruh narkoba, Kurangnya pengetahuan dan hukum-hukum Agama

yang dianutnya.
25

Tindakan asusila diatur dalam Pasal 281-283 KUHP sekarang.

Ketentuan ini mengatur persoalan pelanggaran kesusilaan yang berkaitan

dengan tulisan, gambar, atau benda yang melanggar kesusilaan. Selain

itu delik pelanggaran kesusilaan diatur dalam Pasal 27 Ayat (1) Undang-

Undang ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik).

Ketentuan ini mengartur persoalan dengan sengaja dan tanpa

mendistribusikan dan/atau mentransmisikan membuat dapat diaksesnya

informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan

yang melanngar kesusilaan.

Delik asusila berarti tindak pidana berupa pelanggaran asusila.

Pelanggaran asusila dalam pengertian disini adalah suatu tindakan yang

melanggar kesusilaan yang jenis dan bentuk-bentuk pelanggaran juga

sanksinya telah diatur dalam KUHP. Ketentuan-Ketentuan pidana yang

diatur dalam KUHP tersebut dengan sengaja telah dibentuk oleh

pembentuk undang-undang dengan maksud untuk memberikan

perlindungan terhadap tindakan-tindakan asusila atau ontruchte

handelingen dan terhadap perilaku-perilaku baik dalam bentuk kata-kata

maupun dalam bentuk perbuatan-perbuatan yang menyinggung rasa

susila karena bertentangan dengan pandangan orang tentang keputusan-

keputusan dibidang kehidupan seksual, baik ditinjau dari segi pandangan

masyarakat setempat dimana kata-kata itu telah diucapkan atau dimana

perbuatan itu telah dilakukan, maupun ditinjau dari segi kebiasaan

masyarakat setempat dalam menjalankan kehidupan seksual mereka.

2. Jenis Tindakan Asusila

Jenis tindakan yang tergolong tindak asusila diantara Bersetubuh,

Pornografi, Zina, Pemerkosaan, Voyeurisme, Homoseksual dan Lesbian,


26

Samanvalen, Fetisme, Masturbasi, Sodomi, Aborsi, Pelecehan Seksual.

Kinanti Ramadhani (perbuatankeji.blogspot.com) menjelaskan pengertian

dari jenis-jenis tindakan asusila sebagai berikut :

a. Bersetubuh
Adalah jenis tindakan Asusila melakukan hubungan seksual atas
dasar suka sama suka tanpa adanya dasar pemaksaan untuk
melakukan perbuatan tersebut. Tetapi apabila perbuatan ini dilakukan
terhadap anak dibawah umur Atas dasar suka sama suka” tidak
dapat dijadikan alasan untuk menghindar dari jeratan hukum. Pelaku
yang melakukan persetubuhan atau percabulan terhadap anak, tetap
akan dikenakan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 2014
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak. Jika anak ini telah berumur di atas 18
tahun, ia tetap dapat menuntut lelaki tersebut, karena kewenangan
menuntut pidana belum hapus karena daluwarsa.
b. Pornografi
Pornografi menurut Undang- undang Pornografi adalah materi
seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa,
ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun,
syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain
melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di
muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau
melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat.
Menurut pandangan agama Islam Pornografi adalah produk grafis
(tulisan, gambar, film)-baik dalam bentuk majalah, tabloid, VCD, film-
film atau acara-acara di TV, situs-situs porno di internet, ataupun
bacaan-bacaan porno lainnya-yang mengumbar sekaligus menjual
aurat, artinya aurat menjadi titik pusat perhatian.

c. Zina
Zina dapat diartikan sebagai hubungan seksual antara seorang lelaki
dengan seorang perempuan tanpa adanya ikatan pernikahan. Orang-
orang yang berzina biasanya adalah orang-orang yang labil dan
belum mampu menguasai nafsunya. Oleh karena itu, zina banyak
terdapat di kalangan anak muda. Tetapi dalam Pasal 284 KUHP
mengatur tentang perzinahan bahwa zina adalah hubungan seksual
yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan perempuan dimana salah
satu atau keduanya sudah menjalani ikatan pernikahan dengan orang
lain atas dasar suka sama suka.
d. Perkosaan
Pemerkosaan merupakan perbuatan kriminal yang terjadi ketika
seseorang memaksa orang lain untuk melakukan hubungan seksual
dalam bentuk penetrasi vagina dengan penis, secara paksa atau
dengan cara kekerasan. Istilah perkosaan berasal dari bahasa latin,
27

yaitu rapere yang berarti mencuri, memaksa, merampas, atau


membawa pergi (Hariyanto, 1997:97).
e. Voyeurisme
Voyeurisme adalah suatu perbuatan asusila dengan cara melihat
langsung ataupun menonton lewat alat perantara aurat lawan jenis.
Orang-orang yang suka membaca cerita berbau seksual atau
menonton film porno dapat digolongkan kedalam jenis ini. Selain itu,
hanya dengan melihat aurat lawan jenis, orang-orang Voyeurisme
dapat memenuhi kepuasan seksualnya.

f. Homoseksual dan Lesbian


Homoseksual atau biasa disebut homo adalah sebuah hubungan
sejenis antara dua orang lelaki yang saling mencintai satu sama lain.
Sedangkan Lesbian adalah sebuah hubungan sejenis antara dua
orang wanita yang saling mencintai satu sama lain.
g. Samanleven
lebih dikenal dalam bahasa sehari-hari yaitu kumpul kebo adalah
sebuah perbuatan asusila dimana dua orang atau lebih (berlawanan
jenis) berkumpul dan hidup bersama dalam satu rumah tanpa adanya
ikatan pernikahan. Saat ini, tindakan samanleven sudah cukup
menjamur di kota-kota besar, salah satunya Jakarta. Biasanya,
orang-orang yang melakukan perbuatan samaleven ini banyak
terdapat di apartemen, kontrakan, maupun kos-kosan.
h. Mastrubasi
Tindakan asusila jenis ini banyak terdapat di kalangan anak muda
khususnya kaum lelaki. Biasanya, tujuan orang melakukan
mastrubasi adalah untuk memuaskan nafsu sesaat. Karena itulah
mastrubasi banyak terdapat di kalangan anak muda, mereka
cenderung masih labil dalam mengendalikan nafsunya. Pengertian
mastrubasi sendiri adalah, pemuasan nafsu seksual seseorang
dengan menggunakan lengan sebagai alatnya. Dengan kata lain,
mastrubasi adalah suatu prilaku asusila dimana pelaku memaksa air
maninya untuk keluar.

i. Fetisme
Fetisme adalah suatu prilaku menyimpang dari norma-norma
kesopanan dimana sang pelaku meraih kepuasan seksnya dengan
cara memegang, melihat, dan atau memiliki benda kepunyaan lawan
jenis. Beberapa contohnya adalah BH, Celana Dalam, Pembalut dan
lain-lain.
j. Sodomi
Sodomi adalah suatu tindakan menyimpang dimana pelaku
melakukan hubungan seksual melalui dubur (bokong). Tindakan
sodomi sendiri sudah mulai banyak di Indonesia. Biasanya pelaku
dari tindakan sodomi ini adalah para phedofilia yang melakukan aksi
menyimpangnya pada anak-anak.
28

k. Aborsi
Kemudian ada tindakan yang di beri nama aborsi. Aborsi sendiri
artinya adalah, pengguguran kandungan. Sudah terlihat jelas bahwa
pelaku yang melakukan aborsi adalah orang yang tidak
menginginkan kehadiran janin di rahimnya. Rata-rata pelakunya
adalah wanita muda yang hamil di luat nikah, lalu terpaksan
melakukan aborsi untuk menutupi kesalahannya.
l. Pelecehan Seksual
Pelecehan seksual adalah suatu perbuatan menghina martabat
lawan jenis dengan memegang mencolek, meraba, dan lain-lain.

E. Tinjauan Umum Tindak Pidana Perkosaan

1. Pengertian Perkosaan

Pemerkosaan berasal dari kata dasar “perkosa” yang berarti paksa,

gagah, kuat, perkasa. Memperkosa berarti menundukkan dengan

kekerasan, memaksa, melanggar dengan kekerasan. Sedangkan

pemerkosaan diartikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

pemerkosaan memiliki unsur-unsur pria memaksa dengan kekerasan,

bersetubuh dengan seorang wanita. Jadi inti dari pemrkosaan adalah

bersetubuh dan disertai paksaan.

Menurut KBBI, pengertian perkosaan diuraikan menjadi, Perkosa yang

memiliki arti gagah atau paksa sedangkan kekerasan memiliki arti

perkasa. Memperkosa merupakan menundukan dan sebagainya dengan

kekerasan serta melanggar (menyerang dan sebagainya) dengan

kekerasan. Sedangkan Perkosaan merupakan perbuatan memperkosa,

penggagahan atau paksaan disertai dengan pelanggaran dengan

kekerasan. Mengenai kekerasan dapat kita lihat pada Pasal 89 KUHP

yang berbunyi “membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan

dengan menggunakan kekerasan”.

Berikut pengertian perkosaan menurut beberapa ahli, antara lain:


29

a. Soetandyo Wignjosoebroto (1997: 25),

Mendefinisikan perkosaan sebagai berikut:

“Perkosaan adalah suatu usaha melampiaskan nafsu seksual

oleh seorang lelaki terhadap seorang perempuan dengan cara

yang menurut moral dan atau hukum yang berlaku melanggar.”

b. R. Sugandhi (2011: 21) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan

perkosaan adalah:

“seseorang pria yang memaksa pada seorang wanita bukan


isterinya untuk melakukan persetubuhan dengannya dengan
ancaman kekerasan, yang mana diharuskan kemaluan pria
telah masuk ke dalam lubang kemaluan seorang wanita yang
kemudian mengeluarkan air mani.”

c. Wirdjono Prodjodikoro (1997: 67) yang mengungkapkan, bahwa

perkosaan adalah:

“seorang laki-laki yang memaksa seorang perempuan yang


bukan isterinya untuk bersetubuh dengan dia, sehingga
sedemikian rupa ia tidak dapat melawan, maka dengan
terpaksa ia mau melakukan persetubuhan itu. Pendapat
wirdjono itu juga menekankan mengenai pemaksaan hubungan
seksual (bersetubuh) pada seseorang perempuan yang bukan
isterinya, pemaksaan yang dilakukan laki-laki membuat atau
mengakibatkan perempuan terpaksa melayani persetubuhan”.

Perkembangan yang semakin maju dan meningkat dengan pesat ini,

dalam hal ini muncul banyak bentuk penyimpangan khususnya perkosaan

seperti bentuk pemaksaan persetubuhan yang dimana bukan vagina (alat

kelamin wanita) yang menjadi target dalam perkosaan akan tetapi anus

atau dubur (pembuangan kotoran manusia) dapat menjadi target dari

perkosaan yang antara lain sebagai berikut :

a. Perbuatannya tidak hanya bersetubuh (memasukkan alat kelamin

kedalam vagina), akan tetapi juga : 1. Memasukkan alat kelamin


30

kedalam anus atau mulut. 2. Memasukkan sesuatu benda (bukan

bagian tubuh laki-laki) kedalam vagina atau mulut wanita.

b. Caranya tidak hanya dengan kekerasan atau ancaman kekerasan,

tetapi juga dengan cara apapun diluar kehendak atau persetujuan

korban.

c. Objeknya tidak hanya wanita dewasa yang sadar, tetapi wanita

yang tidak berdaya atau pingsan dan di bawah umur, juga tidak

hanya terhadap wanita yang tidak setuju (di luar kehendaknya),

tetapi juga terhadap wanita yang memberikan persetujuannya

karena dibawah ancaman, karena kekeliruan atau kesesatan atau

penipuan atau karena dibawah umur. Topo Santoso (1997: 77).

2. Pengaturan Perkosaan Dalam KUHP

Dalam KUHP tindak pidana perkosaan dimuat pada bab XIV dengan

judul kejahatan yang mana terdapat pada Pasal 285 yaitu yang berbunyi:

“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan


memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar
perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan
pidana penjara paling lama dua belas tahun”.

Unsur- unsur dari tindak pidana perkosaan menurut Pasal 285 KUHP

yaitu :

1) Barang siapa

2) Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.

3) Memaksa seorang wanita bersetubuh,

4) Dilakukan di luar perkawinan.

Dari pengertian pengertian diatas dapat di ambil kesimpulan bahwa

tindak pidana perkosaan merupakan suatu perbuatan memaksa atau

dengan cara apapun diluar kehendak seorang wanita yang tidak memiliki
31

ikatan perkawinan dengannya untuk melakukan persetubuhan dengannya

disertai kekerasan ataupun ancaman kekerasan sehingga perempuan

tersebut mau melakukan persetubuhan tersebut baik itu dilakukan pada

lubang kemaluan, anus ataupun mulut wanita.

Banyak sekali kasus-kasus tindak pidana perkosaan yang hanya

diselesaikan dengan cara kekeluargaan yaitu dengan menikahkan korban

dengan pelakunya atau bahkan keluarga korban hanya menerima dengan

pasrah apa yang telah terjadi pada korban dan tidak menyelesaikannya

melalui jalur hukum karena takut akan sanksi sosial yang akan di

dapatkan dari masyarakat.

F. Tinjauan Umum Tentang Anak

1. Pengertian Anak

Anak dipahami sebagai individu yang belum dewasa. Dewasa dalam

arti anak belum memiliki kematangan rasional, emosional, moral, dan

sosial seperti orang dewasa pada umumnya. Mengenai batasan usia

seseorang sehingga ia dikatakan belum dewasa, berikut beberapa

pengertian tentang anak, yaitu :

a. Menurut Hukum Pidana

Pengertian anak menurut hukum pidana terdapat dalam Pasal 45

KUHP yang mendefinisikan mengenai batas pertanggungjawaban

pidana untuk anak yang belum dewasa atau anak yang umumnya

belum cukup 16 (enam belas) tahun.

b. Menurut Hukum Perdata

Pasal 330 ayat 1 KUHPerdata menyatakan bahwa anak yang belum

dewasa adalah anak yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu)

tahun dan tidak pernah kawin sebelumnya.


32

c. Menurut Hukum Islam

Menurut hukum islam, anak disebut orang yang belum baliq atau

belum berakal dimana mereka dianggap belum cakap untuk berbuat

atau bertindak. Seseorang yang dikatakan baliq atau dewasa apabila

telah memenuhi satu dari sifat, antara lain telah berumur 15 (lima

belas) tahun, telah keluar air mani bagi laki-laki, dan telah dating haid

bagi perempuan.

d. Menurut Subekti (1991: 44) bahwa anak dikatakan dibawah umur

atau belum dewasa apabila memenuhi kriteria sebagai berikut :

 Belum berumur 16 (enam belas) tahun

 Belum kawin, apabila telah kawin sebelum berumur 16 (enam

belas) tahun, berarti ia dikatakan telah dewasa dan apabila

perkawinannya bubar sebelum ia berumur 18 (delapan belas)

tahun, maka ia tidak kembali seperti semula tetapi dianggap

sudah dewasa.

 Belum dapat hidup sendiri atau masih ikut orangtuanya.

e. Menurut UUD 1945

Pengertian anak atau kedudukan anak yang ditetapkan menurut UUD

1945 terdapat dalam kebijaksanaan Pasal 34. Pasal ini mempunyai

makna khusus terhadap terhadap pengertian dan status anak dalam

bidang politik, karena yang menjadi esensi dasar kedudukan anak

dalam kedua pengertian ini, yaitu anak adalah subjek hukum dari

sistem hukum nasional, yang harus dilindungi, dipelihara dan dibina

untuk mencapai kesejahteraan anak.

Usia seseorang merupakan salah satu tolak ukur dalam kajian hukum

untuk menentukan kualifikasi pertanggungjawaban atas perbuatan


33

yang dilakukannya oleh karena itu, batasan dalam penelitian ini lebih

berorientasi dan menitik beratkan pada batasan usia dalam

memberikan pengertian tentang anak.

Secara umun, pengertian anak mengalami perkembangan secara

variatif. W.J.S. Poerwadarminta (1997: 75) disebutkan bahwa pengertian

anak adalah sebagai manusia yang masih kecil. Dalam sumber lain

dijelaskan bahwa anak adalah keadaan manusi normal yang masih muda

usia dan sedang menentukan identitasnya serta sangat labil jiwanya,

sehingga sangat mudah dipengaruhi lingkungannya. Sementara itu menurut

Romli Atmasasmita, anak adalah seorang yang masih dibawah umur dan

belum dewasa, serta belum kawin.

Apabila mengacu pada aspek psikologis, pertumbuhan manusia

mengalami fase-fase perkembangan kejiwaan, yang masing-masing ditandai

dengan ciri-ciri tertentu. Untuk menentukan kriteria seorang anak, disamping

ditentukan atas dasar batas usia, juga dapat dilihat dari pertumbuhan dan

perkembangan jiwa yang dialaminya.

Marsaid, (2015: 56) mengemukakan bahwa dalam hal fase-fase

perkembangan, seorang anak mengalami tiga fase, yaitu:

1) Masa kanak-kanak, terbagi ke dalam:


 Masa bayi, yaitu masa seorang anak dilahirkan sampai
umur 2 tahun;
 Masa kanak-kanak pertama, yaitu anak umur 2-5 tahun;
 Masa kanak-kanak terakhir, yaitu antara umur 5-12
tahun.

2) Masa remaja,
Antara umur 13-20 tahun. Masa remaja adalah masa dimana
perubahan cepat terjadi dalam segala bidang; pada tubuh dari
luar dan dalam; perubahan perasaan, kecerdasan, sikap social,
dan kepribadian.

3) Masa dewasa muda,


34

Antara umur 21-25 tahun. Pada masa dewasa muda ini pada
umumnya masih data dikelompokkan kepada generasi muda.
Walaupun dari segi perkembangan jasmani dan kecerdasan
telah betul-betul dewasa, pada kondisi ini anak sudah stabil.
Namun, dari segi kemantapan agama dan ideology masih
dalam proses kemantapan.

Sementara itu, Ter Haar Marsaid, (2015: 58) mengemukakan bahwa

saat seseorang menjadi dewasa adalah saat ia (lelaki atau perempuan)

sebagai seorang yang sudah kawin, meninggalkan rumah ibu bapaknya atau

ibu bapak mertuanya untuk berumah lain sebagai laki-bini muda yang

merupakan keluarga yang berdiri sendiri. Selanjutnya, Soedjono Dirjosisworo

menyatakan bahwa menurut hukum adat, anak dibawah umur adalah

mereka yang belum menentukan tanda-tanda fisik yang konkret bahwa ia

dewasa.

Dari pendapat Ter Haar dan Soedjono Dirjosisworo tersebut ternyata,

menurut hukum adat Indonesia, tidak terdapat batasan umur yang pasti,

sampai umur berapa seseorang masih dianggap sebagai anak atau sampai

umur berapakah seseorang dianggap belum dewasa. Guna menghilangkan

keragu-raguan tersebut, pemerintah Hindia Belanda memuat peraturan yang

dimuat dalam Staatblad, No. 54, Tahun 1931, peraturan pemerintah tersebut

antara lain menjelaskan bahwa untuk menghilangkan keraguraguan, maka

jika dipergunakan istilah anak di bawah umur terhadap bangsa Indonesia,

adalah: (1) mereka yang belum berumur 21 (dua puluh satu) tahun dan

sebelumnya belum pernah kawin; (2) mereka yang telah kawin sebelum

mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan kemudian bercerai-berai dan

tidak kembali lagi di bawah umur; (3) yang dimaksud dengaan perkawinan

bukanlah perkawinan anak-anak. Dengan demikian, barang siapa yang


35

memenuhi persyaratan tersebut diatas, maka disebut anak di bawah umur

(minderjarig) atau secara mudah disebut anak-anak.

Dalam hukum adat tidak ditemukan ketentuan yang dapat tegas

menetapkan batas umur kedewasaan, hal ini disebabkan karena hukum ada

di Indonesia tidak tertulis. Tetapi menurut para pakar hukum adat Indonesia

ukuran kedewasaan adalah : a. Dapat bekerja sendiri b. Cakap dan

bertanggung jawab dalam masyarakat c. Dapat mengurus harta kekayaan

sendiri 25 d. Telah menikah e. Berusia 21 (dua puluh satu) tahun Selain

pengertian anak di atas yang telah dijelaskan, berikut ini juga beberapa

pengertian anak menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di

Indonesia mengenai anak, sebagai berikut : 1. Dalam Undang-undang

Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak pengertian anak

tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa : “Anak adalah

seorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang

masih dalam kandungan.” 2. Di dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun

2012 tentang Sistem Peradilan Anak, pengertian anak tercantum dalam

Pasal 1 ayat (1) sebagai berikut : “Anak adalah seseorang yang belum

mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.” 3. Di

dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak,

pengertian anak tercantum dalam Pasal 1 ayat (2) sebagai berikut : “Anak

adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun.” 4.

Menurut Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,

anak didefinisikan dalam Pasal 1 ayat (5) sebagai berikut : “Anak adalah

setiap manusia yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum

menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut

adalah demi kepentingannya.” 5. Pengertian anak menurut konvensi tentang


36

Hak-hak Anak (Convention on The Right of The Child). Pengertian anak

menurut konvensi ini, tidak jauh berbeda dengan pengertian anak menurut

beberapa perundang-undangan 26 lainnya. Anak menurut konvensi hak

anak adalah sebagai berikut : “Anak adalah setiap manusia di bawah umur

18 (delapan belas) tahun kecuali menurut undang-undang yang berlaku

pada anak, kedewasaan dicapai lebih awal.” Secara umum peraturan

perundang-undangan di berbagai negara terutama pada pendekatan usia

ada keseragaman perumusan tentang anak. Kaitannya dengan itu maka

Suryana Hamid (2004:21) menguraikan bahwa di Amerika, batas umur anak

delapan sampai delapan belas tahun di Australia disebut anak apabila

berumur minimal 8 tahun dan maksimal 16 tahun, di Inggris batas umur anak

12 tahun dan maksimal 16 tahun sedangkan di Belanda yang di sebut anak

adalah apabila umur antara 12 sampai 18 tahun, demikian juga di Srilangka,

Jepang, Korea, filipina, Malaysia dan Singapura. Dengan demikian apabila

ditinjau dari berbagai pengertian di atas, anak diartikan sebagai orang yang

belum dewasa, orang yang belum berusia 18 tahun dan belum menikah

termasuk yang masih dalam kandungan. Adapun prinsip perlindungan anak

yaitu perlindungan anak dapat dilakukan secara langsung maupun tidak

langsung. Secara langsung maksudnya kegiatannya ditujukan kepada anak

yang menjadi sasaran penanganan langsung. Kegiatan seperti ini dapat

berupa antara lain dengan cara melindungi anak dari berbagai ancaman dari

luar dan dalam dirinya, mendidik, membina, mendampingi anak dengan

berbagai cara, mencegah anak kelaparan dan mengusahakan kesehatannya

dengan berbagai cara, menyediakan sarana perkembangan diri dan

sebagainya. Perlindungan anak secara tidak langsung yaitu kegiatan tidak

langsung ditujukan kepada anak, tetapi orang lain yang melakukan atau
37

terlibat dalam usaha 27 perlindungan anak. Usaha perlindungan demikian

misalnya dilakukan oleh orangtua yang terlibat dalam usaha-usaha

perlindungan anak terhadap berbagai ancaman dari luar ataupun dari dalam

diri anak, mereka yang bertugas mengasuh, membina, mendampingi anak

dengan berbagai cara, mereka yang terlibat mencegah anak kelaparan,

mengusahakan kesehatan, dan sebagainya dengan berbagai cara, mereka

yang menyediakan sarana perkembangan diri anak dan sebagainya, mereka

yang terlibat dalam pelaksanaan Sistem Peradilan Anak.

Berikut pemaparan mengenai prinsip-prinsip perlindungan anak, antara

lain sebagai berikut :

a. Anak tidak dapat berjuang sendiri

Salah satu prinsip yang digunakan dalam perlindungan anak adalah

anak itu modal utama kelangsungan hidup manusia, bangsa, dan

keluarga. Untuk itu hakhaknya harus dilindungi. Anak tidak dapat

melindungi diri sendiri hak-haknya, banyak pihak yang

mempengaruhi kehidupannya. Negara dan masyarakat

berkepentingan untuk mengusahakan perlindungan hak-hak anak.

b. Kepentingan terbaik anak Agara perlindungan anak dapat

diselenggarakan dengan baik, dianut prinsip yang menyatakan

bahwa kepentingan terbaik anak harus dipandang sebagai of

paramount importence ( memperoleh prioritas tinggi ) dalam setiap

keputusan yang menyangkut anak. Tanpa prinsip ini perjuangan

untuk melindungi anak akan mengalami banyak hambatan. Prinsip

kepentingan terbaik anak digunakan karena dalam banyak hal anak

“korban”, disebabkan ketidaktahuan kerena usia perkembangannya.

c. Ancangan daur kehidupan


38

Perlindungan anak mengacu pada pemahaman bahwa perlindungan

harus dimulai sejak dini dan terus menerus. Janin yang berada dalam

kandungan harus diberi gizi. Jika ia telah lahir, maka diperlukan ASI (

Air Susu Ibu ) dan pelayanan kesehatan primer dengan memberikan

pelayanan imunisasi dan lain-lain, sehingga anak terbebas dari

berbagai kemungkinan cacat dan penyakit. Masa-masa prasekolah

dan sekolah, diperlukan keluarga, lembaga pendidikan, dan lembaga

sosial atau keagamaan yang bermutu. Pada saat anak sudah

berumur 15-18 tahun, ia memasuki masa transisi kedalam dunia

dewasa. Pada masa inilah penuh dengan resiko karena secara

kultural, seseorang akan dianggap dewasa dan secara fisik memang

telah cukup sempurna untuk menjalankan fungsi reproduksinya.

Pengetahuan yang benar tentang reproduksi dan perlindungan dari

berbagai diskriminasi dan perlakuan salah dapat memasuki perannya

sebagai orang dewasa yang berbudi dan bertanggung jawab. d.

Lintas sektor Nasib anak tergantung dari berbagai faktor makro dan

mikro yang langsung maupun tidak langsug. Kemiskinan,

perencanaan kota dan segala penggusuran, sistem pendidikan yang

menekankan hapalan dan bahan-bahan yang tidak relevan,

komunitas yang penuh dengan ketidakadilan, dan sebagainya tidak

dapat ditangani oleh sector, terlebih keluarga atau anak itu sendiri.

Perlindungan terhadap anak adalah perjuangan yang membutuhkan

sumbangan semua orang disemua tingkatan.

Menurut Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan

anak sebagaimana diatur dalam:


39

Pasal 81 ayat (1) menentukan setiap orang yang dengan sengaja

melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak

melakukan persetubuhan dengannya atau orang lain di pidana

dengan pidana penjara paling 29 lama 15 (lima belas) tahun dan

paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.

300.000.000 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000

(enam puluh juta rupiah).

Pasal 81 ayat (2) menentukan ketentuan pidana sebagaimana yang

dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan

sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau

membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan

orang lain.

Adapun menurut Undang-undang No. 35 tahun 2014 tentang

perubahan Undang-undang perlindungan anak sebelumnya

sebagaimana diatur dalam Pasal 81, terdapat beberapa perubahan

diantaranya Pasal 81 ditambahkan satu poin dan perubahan tentang

penjatuhan pidana dan denda yang dikenakan. Pasal 81 ayat (1)

menentukan setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling

singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan

denda paling banyak Rp. 5.000.000.000 (lima miliar rupiah). Pasal

76D dalam hal ini menentukan setiap orang dilarang melakukan

kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan

persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Pasal 81 ayat (2)

menentukan ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu
40

muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan

persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Pasal 81 ayat (3)

menetukan dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik,

atau tenaga 30 kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3

(sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat

(1).
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian

Normatif-Empiris dimana merupakan penelitian hukum sebagai bentuk riset

hukum terapan yang memandang tidak cukup menggunakan satu jenis

penelitian dalam memecahkan suatu masalah.

B. Pendekatan Masalah

Adapun pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah :

1. Pendekatan PerUndang-Undangan (Statute Approach)

Merupakan pendekatan penelitian yang menggunakan bahan hukum

yang berupa peraturan perundang-undangan sebagai bahan dasar

dalam melakukan penelitian. Pendekatan ini dilakukan dengan

membahas peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan

permasalahan (isu hukum) yang sedang dihadapi.

2. Pendekatan Kasus (Case Approach).

Pendekatan Studi Kasus (Case Approach)merupakan pendekatan yang

dilakukan dengan cara menelaah pada kasus-kasus yang berkaitan

dengan isu hukum yang dihadapi.

C. Lokasi Penelitian dan Objek Penelitian

Dalam penelitian ini penyusun mengambil lokasi penelitian di Kota

Parepare khususnya di Polresta Parepare alasan pemilihan lokasi ini

didasarkan karena sarana dan prasarana di lokasi penelitian sangat

mendukung sehingga hal ini akan membantu peneliti dalam hal

41
42

mempermudah perolehan data dan mendukung penulis dalam menyusun

serta menyelesaikan Skripsi ini.

Adapun yang menjadi Objek penelitian adalah terkait kejahatan

perkosaan yang dilakukan terhadap anak, dan Insya Allah penelitan ini akan

penulis laksanakan dalam jangka waktu kurang lebih dua bulan sejak

keluarnya Surat Izin Pengantar Penelitian dari Kampus.

D. Jenis & Sumber Data

1. Jenis Data

Adapun Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data

kualitatif, yaitu data yang disajikan dalam bentuk kata verbal bukan

dalam bentuk angka. yang termasuk data kualitatif dalam penelitian ini

yaitu gambaran umum obyek penelitian, data yang dikumpulkan

berkaitan dengan fenomena atau gejala sosial yang berpengaruh dalam

suatu kelompok atau komunitas dalam sebuah narasi deskriptif.

2. Sumber Data

Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu :

a. Data Primer

Yaitu data yang dihasilkan dari penelitian lapangan dengan cara

melalui observasi, dan wawancara serta ditambah dengan

melakukan dokumentasi segala dokumen-dokumen yang

dianggap relevan dengan permasalahan yang dibahas dalam

sebuah penelitian.

b. Data Sekunder

Yaitu data pendukung untuk melengkapi data hukum primer,

dimana data ini meliputi, data yang dihasilkan dari penelitian


43

kepustakaan. Data yang dimaksud adalah segala sumber bacaan

baik berupa Peraturan Perundang-undangan, buku-buku bacaan,

hasil penelitian terdahulu, karya ilmiah yang berhubungan dengan

permasalahan yang diangkat dalam sebuah penelitian.

E. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling ssstrategis

dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan

data. Adapun teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian

ini adalah sebagai berikut:

1. Observasi (Pengamatan)

Observasi adalah melakukan pengamatan langsung di lapangan

untuk mengetahui kondisi objektif di seputar lokasi penelitian dan

dengan cara memantau dari dekat kegiatan persidangan di

Pengadilan Negeri. Penelitian tidak terlibat ssecara langssung di

dalam aktivitas subjek observasi.

2. Wawancara

Wawancara adalah teknik yang penulis gunakan untuk memperoleh

informasi dari informasi dan responden. Teknik wawancara ini

digunakan untuk menemukan data tentang permasalahan secara

terbuka, pihak informasi diminta pendapat dan ide-idenya, sedangkan

penelitian mendengarkan secara teliti dan mencatat apa yang

dikemukakan oleh informan.

3. Dokumentasi

Dokumentasi berasal dari kata dokumen yang artinya barang-barang

yang tertulis. Dalam melaksanakan metode dokumentasi, penelitian


44

menelaah atau mengkaji literature seperti buku-buku, mejalah,

dokumen, peraturan-peraturan, notulen rapat,catatan harian, dan

sebagainya. Hasil penelitian dari observasi dan wawancara, akan

lebih kredibel/dapat dipercaya jika didukung oleh dokumentasi.

F. Analisis Data

Dalam menganalisis data yang diperoleh baik bahan hukum primer

maupun sekunder dan membahas permasalahannya yang menggunakan

metode kualitatif. Analisis kualitatif ini dilakukan secara deskriptif karena

penelitian ini tidak hanya bermaksud mengungkapkan atau menggambarkan

data kebijakan hukum pidana sebagaimana adanya, tetapi juga bermaksud

menggambarkan tentang kebijakan hukum pidana yang diharapkan dalam

undang-undang yang akan datang. Karena itu untuk pengolahan data

menyatu dengan proses pengumpulan data dalam suatu siklus, artinya

bahwa hubungan data yang satu dengan yang lain senantiasa dipertahankan

baik pada studi kepustakaan, analisis bahan kepustakaan maupun

penyusunan hasil penelitian.


BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana perkosaan yang

dilakukan oleh ayah tiri adalah :

a. Faktor Kesempatan

Dalam melakukan tindak pidana perkosaan terhadap anak di

bawah umur yang sering di tinggal berdua dengan ayah tiri nya

oleh ibu kandungnya.

b. Faktor peranan korban.

Peranan korban atau sikap korban sangat menentukan

seseorang untuk melakukan kejahatan termasuk tindak pidana

kesusilaan. Secara sadar atau tidak sadar bahwa korbanlah yang

sering merangsang orang lain untuk berbuat jahat.

c. Faktor lingkungan dan tempat tinggal.

Lingkungan sosial tempat hidup seseorang banyak berpengaruh

dalam membentuk tingkah laku kriminal, sebab pengaruh

sosialisasi seseorang tidak akan lepas dari pengaruh lingkungan.

d. Faktor Minimnya Edukasi tentang Seks

Dalam kehidupan sehari-hari menyebabkan korban tidak

mengerti apa yang di perbuat pelaku sehingga korban juga diam

saja dan tidak berteriak.

65
66

2. Upaya Penegak Hukum Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindak Pidana

Perkosaan Yang Dilakukan Oleh Seorang Ayah Terhadap Anak Tiri

(Studi Kasus Di Kota Parepare)

Berikut penulis akan menguraikan upaya apa saja yang dilakukan

oleh para penegak hukum untuk menanggulangi tindak pidana

perkosaan terutama tindak pidana incest adalah sebagai berikut:

1. Tindakan Pre Emtif

2. Tindakan Preventif

a. Individu

b. Masyarakat

c. Usaha Yang Dilakukan Oleh Pemerintah

1) Mengadakan Penyuluhan Hukum.

2) Mengadakan penyuluhan keagamaan

3) Melakukan Patroli Rutin

3. Tindakan Represif

B. Saran

Kepada masyarakat diharapkan untuk lebih meningkatkan mentalitas,

moralitas, dan keimanan guna mengedalikan diri agar tidak mudah tergoda

untuk melakukan suatu hal atau tindakan yang kurang baik yang akhirnya

akan merugikan dirinya sendiri. Selain itu masyarakat juga harus lebih

tanggap dan aktif dalam hal mencegah terjadinya perkosaan anak dibawah

umur dengan melaporkan kepada pihak yang berwajib jika mengetahui

adanya tindak pidana perkosaan terhadap anak dibawah umur. kepada

orang tua harus lebih memperhatikan anak, memberi nasihat, dan

pemahaman pada anak tentang bahaya yang ada di lingkungan dimana saja
67

anak berada serta mengawasi aktivitas dan mengenal teman bergaul anak

guna mencegah terjadinya tindak pidana kesusilaan yaitu perkosaan dan

kepada pihak Kepolisian dalam usahanya mencegah terjadinya suatu tindak

pidana diharapkan dapat lebih intensif guna menekan atau mengurangi

angka tindak pidana perkosaan terhadap anak dibawah umur yang Ada di

Kota Surakarta. Selain itu pihak kepolisian juga dapat mewujudkan

perlindungan hukum pada korban perkosaan dengan memberikan psikiater

untuk menjaga kejiwaan dari rasa trauma pada seseorang yang menjadi

korban perkosaan.
DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku & Non Buku

A.S. Alam dan Amir Ilyas. 2018. Kriminologi. Jakarta: Prenadamedia Group.
Halaman 47

Bambang Waluyo, 2016 Penegakan Hukum di Indonesia, Sinar Grafika : Jakarta.

Adami Chazawi, 2000, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, Rajawali Pers :
Malang.

Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana, Rajawali Pers : Malang.

Andi Hamzah, 2009, Delik-delik tertentu di dalam KUHP, Sinar Grafika : Jakarta.

Andi Hamzah, 1994, Azas-azas Hukum Pidana Edisi Revisi, Rineka Cipta :
Jakarta.

Bambang Poernomo, 1985, Azas-azas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia :


Jakarta.

Balla, H. (2022). Diversi: Anak yang Berhadapan Dengan Hukum. Jurnal Litigasi
Amsir, 9(3), 215-220.

Balla, H., & Asriyani, A. (2021). Quo Vadis: Sanctions for Children Facing the
Law. Amsir Law Journal, 3(1), 1-10.

Herman, B. Comparison of Children's Court Law with Child Criminal Justice


System Law.

Harianto, H., Natsir, M., & Syahril, M. A. F. (2022). Kajian Hukum Pencurian
dengan Kekerasan. Jurnal Litigasi Amsir, 9(3), 202-207.

Ismu Gunadi, Jonaedi Efendi, 2014, Hukum Pidana, Fajar Inter Pratama Mandiri :
Jakarta.

Khudzaifah Dimyanti, Absori, Kelik Wardiono dan Fitrah Hamdani, 2017, Hukum
& Moral, Genta Publishing : Yogyakarta.

Karim, K., Herman, B., & Syahril, M. A. F. (2021). Criminological Analysis of


Online Buying Fraud. DME Journal of Law, 2(01), 1-15.

M Nasir Djamil, 2012, Anak Bukan Untuk Di Hukum, Sinar Grafika : Jakarta.

Leden Merpaung, 2012, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika :


Jakarta.

R. Soesilo, 1995, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Politeia : Bogor.

68
Soerjono Soekanto, 2016, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Rajawali Pers :
Jakarta.

Sholeh Soeaidy dan Zulkhair, 2001, Dasar Hukum Perlindungan Anak, CV.
Novindo Pustaka Mandiri : Jakarta.

Teguh Prasetyo, 2014, Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada : Jakarta.

Mulyana W. Kusuma, 1984, Kriminologi dan Masalah Kejahatan: Suatu


Pengantar Ringkas, Armico : Bandung

Soerjono Soekanto, 1986, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan


Hukum, Rajawali : Jakarta.

Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2001 , Kriminologi, Rajawali Pers : Jakarta.
2017, Undang-Undang Perlindungan Anak, Pustaka Mahardika :
Yogyakarta.

Pedoman Penulisan Proposal dan Skripsi, Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH)
Amsir Parepare : Parepare.

PerUndang-Undangan

Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pasal 330 ayat (1)

Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1946 Tentang peraturan Hukum Pidana.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum


Acara Pidana.

Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 perubahan atas Undang-Undang RI


Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang SPPA.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak.

69
70
DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1 :

Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian Dari Polres Parepare

LAMPIRAN 2 :

Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian Dari Pengadilan Negeri


Parepare

LAMPIRAN 3 :

Dokumentasi (Foto-foto)

71
72
73
74
75
76
77

Anda mungkin juga menyukai