Anda di halaman 1dari 71

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perbuatan cabul akhir-akhir ini cenderung semakin meningkat. Hal

ini dapat diketahui dengan semakin banyaknya kasus pencabulan

yang diberitakan melalui majalah, surat kabar, televisi, dan multi

media lainnya. Pencabulan merupakan salah satu bentuk pelanggaran

terhadap Hak Asasi Manusia (khususnya pada kaum wanita) yang

tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun baik ditinjau dari segi

sosiologis, yuridis, maupun religius.

Kasus pencabulan merupakan salah satu bentuk kejahatan yang

sangat merusak dan mencemaskan orang tua, dan sangat

menakutkan bagi kaum wanita, ibarat hantu di siang hari. Sasarannya

bukan hanya wanita dewasa saja tetapi juga anak-anak perempuan

yang masih di bawah umur, murid sekolah, taman kanak-kanak,

sekolah dasar dan sekolah menengah seringkali menjadi korban

pencabulan.

Berbagai akibat yang dapat ditimbulkan oleh jenis kejahatan

kesusilaan ini diantaranya, adalah terancamnya nama baik korban

dan keluarganya, kehilangan kehormatan, trauma yang tidak mungkin

dipulihkan. Oleh karena itu, sangat tepat apabila ada golongan orang

yang mengusulkan kepada penegak hukum seperti hakim, polisi, dan

jaksa, agar para pelaku pelecehan seksual dijatuhi pidana seberat-

1
2

beratnya, ironisnya, dalam banyak kasus yang di proses di Pengadilan

para pelaku pencabulan ada kalanya dijatuhi pidana terlampau ringan,

sehingga membuat para calon pelaku pencabulan terhadap anak

merasa tidak takut melakukan tindakan yang serupa, bahkan tindakan

berupa penyiksaan atau pelecehan seksual terhadap anak

belakangan ini terus meningkat.

Seperti kasus pencabulan yang telah terjadi di Kabupaten Takalar,

Sulawesi Selatan. “Dengan sengaja membujuk Anak untuk melakukan

persetubuhan dengannya dan tindak pidana membawa pergi seorang

wanita yang belum dewasa, tanpa dikehendaki orang tuanya atau

walinya tetapi dengan persetujuannya, dengan maksud untuk

memastikan penguasaan terhadap wanita itu baik didalam maupun

diluar perkawinan“ PUTUSAN NO.88/pid.Sus/2017/PN.Tka.

Yang patut dicatat, ialah bahwa pencabulan terhadap anak sebagai

salah satu kejahatan terhadap kesusilaan secara tegas tindakan

tersebut patut diancam dengan pidana, ancaman pidana tersebut

disamping pelaku dapat menyadari perbuatannya juga dapat tercipta

suasana tertib hukum yang dipatuhi masyarakat secara tegas dan

bertanggung jawab.

Semakin meningkatnya kejahatan berupa delik pencabulan

terhadap anak di kalangan masyarakat karena alasan tertentu, maka

usaha penanggulangan yang dilakukan baik secara preventif maupun

secara represif yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dengan


3

dukungan dari masyarakat harus terus intensifkan, yang selama ini

terkesan belum berjalan secara tertib, terarah, dan terencana

sebagaimana yang dikemukakan.

Mengenai delik pencabulan terhadap anak sendiri dapat dijumpai


dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), bahwa bagi
mereka yang melakukan kasus pencabulan terhadap anak harus
dikenakan sanksi sesuai dengan aturan yang berlaku sebagaimana
yang tersurat dalam Pasal 290, poin 2E Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP), yang berbunyi: Barang siapa melakukan
perbuatan cabul dengan seorang, sedang diketahuinya atau patut
harus disangkanya, bahwa umur orang itu belum cukup 15 tahun atau
tidak nyata berupa umurnya, bahwa orang itu belum masanya untuk di
kawini.

Sebagaimana didalam Al-Qur’an menerangkan bahwa pencabulan

diharamkan oleh Allah SWT, terdapat pada surah Al-Isra ayat 32,

yaitu:

‫س ِبياًل‬
َ ‫اء‬
َ ‫س‬َ ‫ش ًة َو‬
َ ‫الز َنا إِ َّن ُه َكانَ َفا ِح‬
ِّ ‫َواَل َت ْق َر ُبوا‬

Terjemahan :

Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah

suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.


4

Dalam penjelasan ayat tersebut dapat dipahami bahwa perbuatan

yang bernama “zina” itu, sangat dibenci oleh Allah SWT, termasuk

didalamnya perbuatan cabul terhadap anak, oleh karena itu islam

menganjurkan atau secara tegas melarang segala bentuk perzinahan,

sekalipun itu dilakukan atas dasar suka atau hanya sekedar berpegang-

pegangan saja, karena hal itu adalah merupakan langkah awal dari

syaitan untuk menjerumuskan manusia kepada suatu jalan yang keji dan

mungkar.

Selanjutnya di dalam penjelasan Undang-Undang No. 35 Tahun 2014


Tentang Undang-Undang Perlindungan Anak di jelaskan “perlunya
pemberatan sanksi pidana denda bagi pelaku kejahatan terhadap anak
terutama kepada kejahatan seksual yang bertujuan untuk memberikan
efek jera, serta mendorong adanya langkah kokrit untuk memulihkan
kembali fisik psikis dan sosial anak”.

Bertolak dari kenyataan tersebut dapat dikemukakan dugaan

sementara bahwa perlindungan Hukum terhadap Anak dan Hak Asasi

Manusia khususnya kaum wanita itu sendiri belum terlaksana dengan

baik. Dengan Memilih Judul tentang Tinjauan Kriminologis “ Tentang

Pencabulan Terhadap Anak Di Kabupaten Takalar ” sangat menarik untuk

di teliti dan di kaji lebih lanjut.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang penulis angkat adalah :

a. Faktor apakah penyebab terjadinya pencabulan terhadap anak di

Kabupaten Takalar?
5

b. Bagaimanakah upaya penanggulangan pencabulan yang

dilakukan oleh pihak kepolisian di Polres Kabupaten Takalar?

C. Tujuan dan kegunaan Penelitian

1. Tujuan penelitian yaitu :

a. Untuk mengetahui dan menganalisis faktor-faktor yang

menyebabkan terjadinya Perbuatan Cabul Terhadap Anak di

Polres kabupaten Takalar.

b. Untuk mengetahui dan menganalisis upaya penanggulangan

pencabulan terhadap anak yang dilakukan oleh pihak kepolisian

di Polres Kabupaten Takalar.

2. Adapun kegunaan penelitian adalah sebagai berikut :

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan

kepada Pemerintah Khususnya Aparat Kepolisian dalam

menangani kasus Perbuatan Cabul Terhadap Anak di Polres

Kabupaten Takalar.

b. Diharapkan menjadi masukan bagi peneliti berikutnya,

khususnya bagi mahasiswa yang ingin melakukan lebih lanjut

mengenai Pencabulan Terhadap Anak yang terjadi Di Polres

Kabupaten Takalar.
6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kriminologi

1. Pengertian kriminologi

Secara etimologis, kriminologi terdiri dari dua suku kata yakni

crime yang berarti kejahatan dan logos yang berarti ilmu

pengetahuan. Sehingga kriminologi dapat diartikan sebagai ilmu

tentang kejahatan.

Untuk lebih jelasnya mengenai pengertian kriminologi, berikut

penulis kemukakan pandangan beberapa sarjana hukum

terkemuka, antara lain :

 Edwin H. Sutherland ( Alam, A.S. 2010 : 1) menyatakan


bahwa criminology is the body of knowledge regarding
delinquency and crimes as social phenomena (kriminologi
adalah kumpulan pengetahuan yang membahas kenakalan
remaja dan kejahatan sebagai gejala sosial).
 Bonger (Alam, A.S. 2010 : 2) menjelaskan bahwa
kriminologi adalah imu pengetahuan yang bertujuan
menyelidiki gejala kejahatan yang seluas-luasnya.
Berdasarkan beberapa pengertian yang dikemukakan maka

dapat disimpulkan bahwa kriminologi pada dasarnya

merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang

kejahatan, serta faktor-faktor yang mempengaruhi kejahatan

dan upaya-upaya penanggulangannya.


7

2. Ruang Lingkup Kriminologi

Menurut Alam, A.S. (2010 ; 3) ruang lingkup pembahasan

kriminologi meliputi tiga hal pokok, yaitu :

a. Proses pembuatan hukum pidana dan acara pidana (making

laws).

Pembahasan dalam proses pembuatan hukum pidana

(process of making laws) meliputi :

1) Definisi kejahatan

2) Unsur-unsur kejahatan

3) Relativitas pengertian kejahatan

4) Penggolongan kejahatan

5) Statistik kejahatan

b. Tiologi kriminal, yang membahas teori-teori yang

menyebabkan terjadinya kejahatan (breaking of laws).

Yang dibahas dalam etiologi kriminal (breaking of laws)

meliputi :

1) Aliran-aliran (mazhab-mazhab) kriminologi

2) Teori-teori kriminologi

3) Berbagai perspektif kriminologi

c. Reaksi terhadap pelanggaran hukum, (greacting toward the

breaking of laws). Reaksi dalam hal ini bukan hanya ditujukan

kepada pelanggar hukum berupa tindakan represif tetapi juga


8

reaksi terhadap calon pelanggar hukum berupa upaya-upaya

pencegahan kejahatan (criminal prevention).

Selanjutnya yang dibahas dalam bagian ketiga adalah

perlakuan terhadap pelanggar-pelanggar hukum (reacting

toward the breaking laws) meliputi :

1) Teori-teori penghukuman

2) Upaya - upaya penanggulangan / pencegahan

kejahatan baik berupa tindakan pre-entif, preventif,

represif, rehabilitatif.

Secara umum dapat disimpulkan bahwa kriminologi

mempelajari tentang kejahatan yaitu norma-norma yang ada

dalam peraturan pidana, yang kedua yaitu mempelajari

pelakunya yang sering disebut penjahat. Dan yang ketiga

bagaimana tanggapan atau reaksi masyarakat terhadap

gejala-gejala yang timbul dalam masyarakat.

3. Aliran pemikiran dalam kriminologi

Dalam kriminologi, dikenal beberapa macam aliran pemikiran.

Aliran pemikiran dari kriminologi itu sendiri menurut Susanto, S

(Alam, A.S. 2010;7) adalah sebagai berikut :

a) Menafsirkan, menanggapi dan menjelaskan fenomena

kejahatan.
9

Dalam kriminologi dikenal tiga aliran pemikiran untuk

menjelaskan fenomena kejahatan yaitu kriminologi klasik, positivis

dan kritis, yaitu :

1. Kriminologi klasik

Seperti halnya dengan pemikiran klasik pada umumnya

yang menyatakan bahwa intelegensi dan rasionalitas

merupakan ciri-ciri yang fundamental manusia dan menjadi

dasar untuk memberikan penjelasan perilaku manusia, baik

yang bersifat perorangan, maupun kelompok, maka

masyarakat dibentuk sebagaimana adanya sesuai dengan

pola yang dikendakinya. Ini berarti bahwa manusia

mengontrol nasibnya sendiri, baik sebagai individu maupun

masyarakat.

Begitu pula kejahatan dan penjahat pada umumnya

dipandang dari sudut hukum, artinya kejahatan adalah

perbuatan yang dilarang oleh Undang-Undang pidana,

sedangkan penjahat adalah orang yang melakukan

kejahatan. Kejahatan dipandang sebagai hasil pilihan bebas

dari individu yang menilai untung ruginya melakukan

kejahatan. Tanggapan rasional yang diberikan oleh

masyarakat adalah agar individu tidak melakukan pilihan

dengan berbuat kejahatan yaitu dengan cara meningkatkan

kerugian yang harus dibayar dan sebaliknya dengan


10

menurunkan keuntungan yang dapat diperoleh dari

melakukan kejahatan.

Dalam hubungan ini, maka tugas kriminologi adalah

membuat pola dan menguji sistem hukuman yang akan

meminimalkan tindak kejahatan.

2. Kriminologi positivis

Aliran pemikiran ini bertolak pada pandangan perilaku

manusia ditentukan oleh faktor-faktor di luar kontrolnya. Baik

yang berupa faktor biologis maupun kultural. Ini berarti

bahwa manusia bukan makhluk yang bebas untuk berbuat

menuruti dorongan kehendaknya dan intelegensinya, akan

tetapi makhluk yang dibatasi atau ditentukan oleh situasi

biologis atau kulturalnya.

Aliran positivis dalam kriminologi mengarahkan pada

usaha untuk menganalisis sebab-sebab perilaku kejahatan

melalui studi ilmiah ciri-ciri penjahat dari aspek fisik, sosial

dan kultural. Oleh karena kriminologi positivis dalam hal-hal

tertentu menghadapi kesulitan untuk menggunakan batasan

Undang-Undang, akibatnya mereka cenderung untuk

memberikan batasan kejahatan secara alamiah, yaitu lebih

mengarahkan pada batasan terhadap ciri-ciri perilaku itu

sendiri dari pada perilaku yang didefinisikan oleh undang-

undang.
11

3. Kriminologi kritis

Aliran pemikiran ini tidak berusaha untuk menjawab

persoalan-persoalan apakah perilaku manusia itu bebas

ataukah ditentukan, akan tetapi lebih mengarahkan pada

proses-proses yang dilakukan oleh manusia dalam

membangun dunianya dimana dia hidup. Dengan demikian

akan mempelajari proses-proses dan kondisi-kondisi yang

mempengaruhi pemberian batasan kejahatan kepada orang-

orang dan tindakan-tindakan tertentu pada waktu dan tempat

tertentu.

B. Pengertian Pencabulan dan Unsur-Unsurnya

a. Pengertian Pencabulan

Pencabulan merupakan kecenderungan untuk

melakukan aktivitas seksual dengan orang yang tidak

berdaya seperti anak, baik pria maupun wanita, dengan

kekerasan maupun tanpa kekerasan. Pengertian pencabulan

atau cabul dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan

sebagai berikut: pencabulan adalah kata dasar dari cabul,

yaitu kotor dan keji sifatnya tidak sesuai dengan sopan

santun (tidak senonoh), tidak susila, bercabul: berzinah,

melakukan tindak pidana susila, mencabul: menzinahi,

memperkosa, mencemari kehormatan perempuan, film

cabul: film porno. Keji dan kotor, tidak senonoh (melanggar


12

kesusilaan, kesopanan). Pencabulan oleh Moeljatno,

(1987:36) dikatakan sebagai segala perbuatan yang

melanggar susila atau perbuatan keji yang berhubungan

dengan nafsu kelaminannya. Definisi yang diungkapkan

Moeljatno lebih menitik beratkan pada perbuatan yang

dilakukan oleh orang yang berdasarkan nafsu kelaminannya,

dimana langsung atau tidak langsung merupakan perbuatan

yang melanggar susila dan dapat dipidana. Soesilo.R

(1997:212) memberikan penjelasan terhadap perbuatan

cabul yaitu segala perbuatan yang melanggar kesusilaan

(kesopanan) atau perbuatan yang keji, semuanya itu dalam

lingkungan nafsu birahi kelamin. Jenis pencabulan dalam

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana diantaranya:

a. Perbuatan cabul dengan kekerasan di maksud

dengan kekerasan, yaitu membuat orang jadi pingsan

atau tidak berdaya lagi, menggunakan tenaga atau

kekuatan jasmani sekuat mungkin secara tidak sah,

misalnya memukul dengan tangan atau dengan

segala macam senjata, menyepak, menendang dan

sebagainya yang menyebabkan orang terkena

tindakan kekerasan itu merasa sakit.

Terdapat pada Pasal 289 KUHP: Barang siapa dengan

kekerasan atau dengan ancaman kekerasan memaksa


13

seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan padanya

perbuatannya cabul, karena perbuatan yang merusak

kesusilaan, di pidana penjara selama - lamanya sembilan

tahun.

Ancaman hukuman dalam pasal ini ialah orang yang

memaksa seseorang untuk melakukan perbuatan cabul atau

memaksa seseorang agar ia membiarkan dirinya diperlakukan

cabul, dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan.

Dimaksud dengan perbuatan cabul sesuai dengan Pasal 289

KUHP ialah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan,

kesopanan, atau perbuatan keji, semuanya itu dalam

lingkungan nafsu birahi kelamin, ciuman, meraba - raba

anggota kemaluan, buah dada, dan sebagainya. Persetubuhan

termasuk pula dalam pengertian ini, tetapi dalam Undang-

Undang disebutkan sendiri, yaitu dalam Pasal 285 KUHP hanya

dapat dilakukan oleh seorang pria terhadap seorang wanita,

sedangkan perkosaan untuk cabul Pasal 289 KUHP dapat juga

dilakukan oleh seorang wanita terhadap seorang pria.

b. Perbuatan cabul dengan seseorang dalam keadaan

pingsan atau tidak berdaya

pada Pasal 290 KUHP, dapat di pidana dengan pidana

penjara selama – lamanya tujuh tahun. Barang siapa

melakukan perbuatan cabul dengan seseorang, sedang


14

diketahuinya, bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya.

Pingsan artinya hilangnya ingatan atau tidak sadar akan

dirinya, umpamanya karena minum racun kecubung atau

obat-obat lainnya yang menyebabkan tidak ingat lagi, orang

yang pingsan itu tidak mengetahui lagi apa yang terjadi

dengan dirinya. Tidak berdaya artinya tidak mempunyai

kekuatan atau tenaga sama sekali, sehingga tidak mampu

mengadakan perlawanan sedikitpun, seperti halnya orang

diikat dengan tali pada kaki dan tangannya, terkurung dalam

kamar, terkena suntikan, sehingga orang itu menjadi lumpuh,

orang yang tidak berdaya ini masih dapat mengetahui apa

yang terjadi atas dirinya.

a. Perbuatan cabul dengan seseorang dengan cara

membujuk

Terdapat dalam Pasal 290 KUHP, dipidana dengan pidana


penjara selama – lamanya tujuh tahun. Barang siapa
melakukan perbuatan cabul dengan seseorang yang diketahui
atau patut dapat di sangka, bahwa umur orang itu belum
cukup lima belas tahun atau umur itu tidak terang, bahwa ia
belum pantas untuk di kawini, untuk melakukan atau
membiarkan diperbuat padanya perbuatan cabul.

Orang yang membujuk (mempengaruhi dengan rayuan)

seseorang yang umumnya dibawah lima belas tahun untuk

melakukan perbuatan cabul.


15

b. Perbuatan cabul dengan seseorang dengan cara tipu

daya dan kekuasaan yang timbul dari pergaulan

Tedapat dalam Pasal 293 KUHP yang menentukan bahwa:


Barang siapa dengan hadiah atau dengan perjanjian akan
memberikan uang atau barang dengan salah memakai
kekuasaan yang timbul dari pergaulan atau dengan
memperdayakan, dengan sengaja membujuk orang dibawah
umur yang tidak bercacat kelakuannya, yang diketahuinya
atau patut dapat disangkakannya masih dibawah umur,
melakukan perbuatan cabul dengan dia, atau membiarkan
perbuatan cabul itu dilakukan pada dirinya, dipidana dengan
pidana penjara selama-lamanya lima tahun.

Cara membujuk itu dengan jalan mempergunakan:

1) Hadiah atau perjanjian akan memberikan uang atau

barang

2) Kekuasaan yang timbul dari pergaulan

3) Tipu daya

Orang yang di bujuk itu belum dewasa dan tidak bercacat

kelakuannya, maksudnya hanya mengenai kelakuan dalam

segi seksual, membujuk seseorang pelacur yang belum

dewasa tidak masuk dalam pasal ini, karena pelacur sudah

cacat kelakuannya dalam bidang seksual. Perjanjian itu harus

mengarah pada pemberian uang atau barang, perjanjian dalam

hal lain tidak termasuk dalam hal ini. Kejahatan ini adalah suatu

delik aduan, tempo untuk memasukkan pengaduan ialah

sembilan bulan bagi orang yang di dalam negeri dan dua belas

bulan bagi orang yang di luar negeri, jelas pengaduan ini tidak
16

boleh lewat dari tempo yang telah ditetapkan di atas ini bila

terlambat berarti kadaluarsa.

Pasal 82 Ayat (1) dan (2) UU N0. 35 Tahun 2014 tentang


Perlindungan Anak, yang menetapkan bahwa: (1). Setiap orang
yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda
paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (2).
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik atau
tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga)
dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Hak anak adalah bagian dari Declaration Human of Right of
The Child yang wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh
orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara.
Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya
hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia
yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera. Oleh karena
itu adanya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 pelaku
tindak pidana pencabulan diancam pidana lebih berat dari
beban moral dan materiil korban.

b. Adapun Unsur-Unsurnya Yaitu :

a) Unsur objektif

Unsur objektif adalah semua unsur yang berbeda di luar

keadaan batin manusia atau si pembuatnya karena, yakni

meliputi:

1. Perbuatan manusia, yaitu: suatu perbuatan atau tingkah

laku manusia yang terdiri dari perbuatan nyata / tingkah

laku pasif (nalaten) yang merupakan unsur mutlak

penyebab terjadinya tindak pidana. Adapun yang

dimaksud dengan tingkah laku aktif adalah suatu bentuk


17

yang untuk mewujudkan atau untuk melakukannya di

perlukan gerakan nyata, misalnya: perbuatan bersetubuh

(Pasal 287 KUHP) dan perbuatan sodomi / Homo seksual

(Pasal 292 KUHP).

2. Akibat perbuatan yaitu: akibat yang di timbulkan dari

wujud perbuatan yang dilakukan. Dan akibat ini perlu ada

supaya si pembuat dapat dipidana.

3. Keadaan-keadaan tertentu yang dimaksud boleh jadi

terjadi pada waktu melakukan perbuatan.

4. Sifat melawan hukum dan sifat yang dapat dipidana.

Suatu perbuatan dikatakan melawan hukum apabila

bertentangan dengan Undang-Undang.

b) Unsur subjektif

Unsur subjektif adalah semua unsur yang mengenai batin

atau melekat pada keadaan batin orangnya. Atau dengan kata

lain Jikalau orang yang melakukan pelanggaran itu adalah

orang yang kurang sempurna akalnya  atau sakit jiwanya (gila)

maka  perbuatan tersebut tidak dapat dipertanggung jawabkan

atas perbuatannya dan oleh karena itu tidak dapat

dipersalahkan. Hal ini telah dijelaskan dalam pasal 44 KUHP

yang bunyinya:

“Barang siapa yang melakukan suatu perbuatan yang tidak

dapat dipertanggung  jawabkan kepadanya karena jiwanya


18

cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit,

maka tidak dipidana” Oleh karena itu, suatu asas pokok dari

hukum pidana adalah tidak ada pidana (hukuman) tanpa ada

kesalahan dan setiap kesalahan yang telah dilakukan haruslah

dapat dipertanggung jawabkan oleh pelaku.

Adapun mengenai kasus  tindak pidana pelecehan seksual,

juga mempunyai beberapa unsur baik unsur objektif maupun

unsur subjektif seperti yang tercantum dalam  pasal 287 dan

292 KUHP.

1. Pasal 287 KUHP ayat (1), yang bunyinya:

Barang siapa bersetubuh dengan seorang perempuan di luar


perkawinannya, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus
diduga bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau  umurnya
tidak jelas, atau ia belum waktunya untuk dikawini, diancam dengan
pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Dari bunyi pasal tersebut, dapat dirincikan unsur - unsur

sebagai berikut:

a) Unsur – unsur Objektif;

1) Perbuatannya: bersetubuh

Unsur bersetubuh merupakan unsur yang terpenting dalam

tindak pidana  persetubuhan  terhadap anak di bawah umur,

hal ini disebabkan apabila perbuatan persetubuhan tidak

terjadi maka perbuatan tersebut belumlah dapat dikatakan

telah terjadi perbuatan persetubuhan. Sebagaimana yang

telah dikemukan oleh Sianturi S.R bahwa untuk dapat


19

diterapkan pasal 287 KUHP adalah apabila persetubuhan itu

benar-benar telah terjadi yakni apabila  kemaluan laki-laki

telah masuk ke dalam kemaluan si perempuan sedemikian

rupa yang secara normalnya dapat mengakibatkan kehamilan.

Dan jika kemaluan si laki-laki hanya sekedar menempel di

atas kemaluan perempuan maka perbuatan tersebut tidak

dapat dipandang sebagai persetubuhan melainkan hanya

perbuatan pencabulan.

2. Objek: perempuan diluar kawin.

3. Yang umurnya belum 15 tahun; atau jika umurnya tidak jelas

waktunya dikawini.

b) Unsur Subjektif:

Dalam tindak pidana pelecehan seksual yang dijelaskan oleh

pasal 287 KUHP ayat (1) hanya terdapat satu unsur subjektif,

yaitu: ”barang siapa”.

Yang dimaksud dengan “barang siapa” dalam pasal 287

KUHP bukanlah ditujukan kepada semua orang, tetapi  hanya

untuk orang yang berjenis kelamin laki-laki saja. Sedangkan

orang yang berjenis kelamin perempuan tidak termasuk dalam

pengertian “barang siapa”. Hal ini dapat dikaitkan dengan

bunyi pasal 287 itu sendiri yaitu:

” Barang siapa yang bersetubuh dengan perempuan yang

belum berumur 15 tahun.........”


20

Jadi tidaklah mungkin “barang siapa” tersebut ditujukan

kepada orang yang berjenis kelamin perempuan.

Letak patut dipidana pada kejahatan pasal 287 ini adalah

pada umur anak yang masih di bawah umur atau belum

waktunya untuk kawin. Yang tujuannya untuk memberikan

perlindungan terhadap kepentingan hukum anak dari

perbuatan-perbuatan yang melanggar kesusilaan.

Adapun pengertian belum waktunya untuk dikawini adalah:

belum waktunya disetubuhi, dan indikator belum waktunya

disetubuhi ini ada pada bentuk fisik dan secara psikis. Secara

fisik tampak pada wajah atau tubuhnya yang masih wajah

anak-anak atau juga tubuhnya yang masih kecil, seperti tubuh

anak-anak pada umumnya, belum tumbuh buah dada atau

yang lainya.

Sedangkan secara psikis dapat dilihat pada kelakuannya,

misalnya masih senang bermain-main seperti pada umumnya

anak-anak yang masih di bawah umur. Dan  yang dimaksud

dengan perempuan di luar kawin adalah: perempuan yang

bukan isterinya, atau dengan kata lain antara laki-laki yang

melakukan  persetubuhan dengan perempuan yang masih di

bawah umur tersebut tidak terikat dalam perkawinan yang sah

menurut Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974, yang

menurut Undang-Undang tersebut bahwa perkawinan yang


21

sah adalah: perkawinan yang dilakukan menurut hukum

masing-masing agama atau kepercayaan. Selain itu, Undang-

Undang juga mengatur tentang batasan umur dalam sebuah 

perkawinan. Maksudnya seorang perempuan  baru diberi izin

untuk melakukan perkawinan apabila umurnya sekurang-

kurangnya telah mencapai 16 tahun pasal 7 ayat (1). Apabila

terjadi perkawinan terhadap anak di bawah umur dan dalam

perkawinan itu menyebabkan luka berat atau kematian maka

akan dikenakan hukuman dengan ancaman pidana penjara

maksimal 12 tahun dan minimal 4 bulan sebagaimana yang

telah ditetapkan dalam Pasal 288 KUHP ayat (1), (2) dan (3)

yang bunyinya:

Ayat (1) Barang siapa dalam perkawinan bersetubuh dengan


seorang wanita yang diketahuinya atau sepatutnya harus
diduganya  bahwa yang bersangkutan belum waktunya  untuk 
di kawin, apabila perbuatan mengakibatkan luka-luka diancam
dengan pidana paling lama empat bulan. 
Ayat (2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat,
dijatuhkan pidana penjara paling lama delapan tahun.
Ayat (3) Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara
paling lama dua belas Tahun.
Adapun yang dimaksud dengan luka berat adalah luka lain

di luar robeknya selaput darah seperti tidak berfungsinya alat

reproduksi atau mendapat luka yang tidak memberi harapan

akan sembuh sama sekali atau bahkan menimbulkan bahaya

maut.
22

2. Pasal 292 KUHP, yang bunyinya:

“Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan


orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya
harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun”.

Dari bunyi pasal tersebut, dapat dirincikan unsur-unsur

tindak pidananya adalah sebagai berikut:

a) Unsur- unsur Objektif:

1. Perbuatannya yaitu perbuatan cabul.

2. Pembuatnya yaitu orang dewasa.

3. Objeknya yaitu orang sesama jenis kelamin.

b) Unsur Subjektif:

Sedangkan unsur subjektifnya ada satu, yaitu: yang

diketahuinya belum   dewasa atau patut diduganya belum dewasa.

Sama seperti persetubuhan, untuk kejahatan ini diperlukan dua

orang yang terlibat. Kalau persetubuhan terjadi antara orang yang

berlainan jenis, tetapi pada perbuatan ini terjadi di antara dua orang

yang sesama kelamin baik itu lelaki dengan lelaki (sodomi atau

homoseksual) ataupun perempuan dengan perempuan (lesbian).

Walaupun terjadi antara dua orang yang sesama  kelamin,

tetapi yang menjadi subjek hukum kejahatan dan dibebani

tanggung jawab pidana adalah siapa yang di antara dua orang itu

yang telah dewasa, sedangkan yang lain haruslah belum dewasa.

Pembebanan tanggung jawab pada pihak orang yang telah dewasa


23

adalah wajar karena rasio dibentuknya kejahatan ini  adalah untuk

melindungi kepentingan hukum orang yang belum dewasa dari

perbuatan - perbuatan yang melanggar kesusilaan umum.

Mengenai kriteria belum dewasa, dapat dilihat menurut

umur. Adapun yang dimaksud dengan belum dewasa menurut

pasal 292 ini sama dengan belum dewasa menurut pasal 330 BW

yakni belum berumur 21 tahun dan belum pernah menikah. Orang

yang sudah pernah menikah dianggap sudah dewasa walaupun

umurnya belum 21 tahun. Perbuatan itu harus di pertanggung

jawabkan yang dapat di persalahkan.

B. Pengertian Anak Dan Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum

1. Pengertian tentang anak

Merujuk dari kamus Umum Bahasa Indonesiamengenai

pengertian anak secara etimologisdiartikan dengan manusia yang

masih kecil ataupun masnusia yang belum dewasa.

Menurut Kosnan, R.A (2005;113) mengatakan bahwa: Anak-

anak yaitu manusia muda dalam umur muda dalam jiwa perjalanan

hidupnya karena muda terpengaruh untuk keadaan sekitarnya.

Oleh karena itu anak-anak perlu diperhatikan secara sungguh-

sungguh. Akan tetapi sebagai makhluk sosialyang paling rentan

dan lemah, ironisnya anak-anak sering kali di tempatkan dalam


24

posisis yang paling dirugikan, tidak memiliki hak untuk bersuara,

dan bahkan mereka sering menjadi korban tindak kekerasan dan

pelanggaran terhadap hak-haknya.

Secara umum peraturan Perundang-undangan di berbagai

Negara terutama pada pendekatan usia tidak ada keseragaman

perumusan tentang anak. Di Amerika, batasan umur anak adalah

8-18 tahun. Di Australia disebut anak apabila berumur minimal 8

tahun dan maksimal 16 tahun, di Inggris batas umur anak 12 tahun

dan maksimal 16 tahun sedangkan di Belanda yang disebut anak

adalah apabila berumur antara 12-18 tahun, demikian juga di

Srilangka, Jepang, korea, Filipina, Malaysia, dan Singapura.

Dari berbagai batasan umur anak sebagaimana diuraikan

diatas, nampak ada kesamaan antara negara-negara yakni disebut

anak apabila batas minimal berumur 7 tahun dan dan batas

maksimal 18 tahun. Walaupun demikian, ada juga Negara

mematok usia anak terendah berumur 6 tahun dan tertinggi 17

tahun dan tertinggi 20 tahun, seperti Iran, Srilangka. Perbedaan ini

dapat saja terjadi karena adanya perbedaan pandangan yang

disebabkan oleh kondisi sosial budaya masyarakat dan negara

tersebut.

Di Indonesia sendiri ada beberapa Peraturan Perundang-

undangan yang mengatur tentang anak, misalnya Undang-Undang

nomor 4 tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, Undang-


25

Undang nomor 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Udang-

Undang nomor 35 tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak, dan

berbagai peraturan lainnya yang berkaitan dengan masalah anak.

Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979

Tentang Kesejahteraan Anak merumuskan sebagai berikut:

Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21

tahun (dua puluh satu tahun) dan belum pernah kawin.

Pasal 1 Ayat 95 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999


Tentang Hak Asasi Manusia mengartikan anak adalah sebagai
berikut: Anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah umur
18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah, termasuk
anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah
demi kepentingannya.
Pengertian anak yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 Tentang Perlindungan
Anak, dimana rumusan pengertian anak adalah seseorang yang
belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang
masih dalam kandungan.

Adapun pengertian anak yang dipakai sebagai rujukan oleh penulis

dalam penulisan ini adalah pengertian anak yang diatur dalam Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Pengadilan Anak, batas usia

anak beragam tapi dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi nomor

1/PUU-VIII/2010 maka batas usia anak yang dapat dipertanggung

jawabkan bukan lagi telah mencapai 8 tahun dan belum 18 tahun tetapi

telah mencapai umur 12 tahun dan belum 18 tahun.

Pengertian Anak Menurut Undang-Undang No 11 Tahun 2012 tentang

Sistem Peradilan Anak yaitu anak yang telah berumur 12 tahun tetapi
26

belum berumur 18 tahun, dan membedakan anak yang terlibat dalam

suatu tindak pidana dalam tiga kategori :

1. Dalam Pasal 1 angka 3 disebutkan bahwa anak yang berkonflik

dengan hukum yang selanjutnya disebut dengan anak adalah

anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum

berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak

pidana.

2. Dalam Pasal 1 angka 4 disebutkan bahwa anak yang menjadi

korban tindak pidana yang selanjutnya disebut anak korban

adalah anak yang berlum berumur 18 (delapan belas) tahun yang

mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi

yang disebabkan oleh tindak pidana.

3. Dalam Pasal 1 angka 5 disebutkan bahwa anak yang menjadi

sanksi tindak pidana yang selanjutnya disebut anak saksi adalah

anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat

memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan,

penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu

perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri,

Hilman Hadikusuma (Maidin Gultom, 2008;32) mengatakan

bahwa menarik batas antara belum dewasa dengan sudah dewasa,

tidak perlu dipermasalahkan karena pada kenyataannya walaupun

orang belum dewasa namun ia telah dapat melakukan perbuatan

hukum, misalnya anak yang belum dewasa telah melakukan jual


27

beli, berdagang, dan sebaliknya, walaupun ia belum berwenang

kawin.

2. Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum

Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2012 tentang

Sistem Peradilan Pidana Anak, yang dimaksut dengan anak yang

berhadapan dengan hukum (children in conflict with the law),

adalah sebagai berikut : “Anak yang Berhadapan dengan Hukum

adalah Anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi

korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana”.

Melihat kecendrungan yang ada di media saat ini, baik media

cetak maupun media elektronik, jumlah tindak pidana yang

dilakukan oleh anak (juvenile delinquency) semakin meningkat dan

semakin beragam modusnya. Masalah delinkuensi anak ini

merupakan masalah yang semakin kompleks dan perlu segera

diatasi, baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Menurut Romli

Atmasasmita (Wagiati,Soetodjo, 2006;17), motivasi intrinsik dan

ekstrinsik dari kenakalan anak adalah sebagai berikut :

1) Yang termasuk motivasi intrinsik kenakalan anak-anak

adalah :

a. Faktor intelegentia;

b. Faktor usia;

c. Faktor kelamin;

d. Faktor kedudukan anak dalam keluarga.


28

2) Yang termasuk motivasi ekstrinsik adalah :

a. Aktor rumah tangga;

b. Faktor pendidikan dan sekolah;

c. Faktor pergaulan anak;

d. Faktor mass media.

Berbagai faktor tersebut memungkinkan bagi anak untuk

melakukan kenakalan dan kegiatan kriminal yang dapat membuat

mereka terpaksa berhadapan dengan hukum dan sistem peradilan.

Anak yang melakukan tindak pidana ini bisa disebut pula dengan

anak yang berhadapan dengan hukum.

Terkait upaya memberikan perlindungan terhadap anak yang

berhadapan dengan hukum, sistem peradilan pidana anak harus

dimaknai secara luas, ia tidak hanya dimaknai hanya sekedar

penanganan anak yang berhadapan dengan hukum semata.

Namun sistem peradilan pidana anak harus juga dimaknai

mencakup akar permasalahan (root causes) mengapa anak

melakukan perbuatan pidana dan upaya pencegahannya. Lebih

jauh, ruang lingkup sistem peradilan pidana anak mencakup

banyak ragam dan kompleksitas isu mulai dari anak melakukan

kontak pertama dengan polisi, proses peradilan, kondisi tahanan,

dan reintegrasi sosial, termasuk pelaku-pelaku dalam proses

tersebut. Dengan demikian, istilah sistem peradilan pidana anak

merujuk pada legislasi, norma dan standar, prosedur, mekanisme


29

dan ketentuan, institusi dan badan yang secara khusus diterapkan

terhadap anak yang melakukan tindak pidana.

Sudah jamak diketahui bahwa permasalahan perlindungan

anak di Indonesia sangat berat dan kompleks. Salah satu

persoalan yang serius dan mendesak untuk memperoleh perhatian

adalah penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum

(ABH).

Dimensi berhadapan dengan hukum berarti adanya

tindakan-tindakan anak yang bertentangan dengan ketentuan-

ketentuan hukum yang berlaku dan sah di Indonesia, sehingga

dalam konteks ini dapat didefinisikan bahwa anak-anak yang

bermasalah dengan hukum anak-anak yang belum dewasa

menurut hukum dan melakukan tindakan-tindakan yang

bertentangan dengan hukum yang berlaku dan sah.

Umumnya anak-anak yang berhadapan dengan hukum

didefinisikan sebagai anak yang disangka, didakwa atau dinyatakan

bersalah melanggar ketentuan hukum atau seorang anak yang

diduga telah melakukan atau telah ditemukan melakukan suatu

pelanggaran hukum.

Dalam memahami Anak yang Berhadapan dengan Hukum

(ABH) terdapat beberapa hal penting yang saling berkaitan , yaitu :

a. Pelaku kerap menjadi sarana pelampiasan kemarahan

masyarakat yang merasa tercoreng rasa keadilannya.


30

b. Hukum beserta aparat penegak hukumnya berusaha

untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat dengan

memproses kasus pidana yang dilakukan oleh anak

tersebut.

c. Sebagai seorang anak, mekanisme hukum dan rasa

keadilan masyarakat harus ditempatkan dalam kerangka

yang mendorong secara konstruktif ke arah

perkembangan fisik dan psikisnya.

D. Teori Penyebab Terjadinya Kejahatan dan Upaya

Penanggulangannya

a) Teori Penyebab Terjadinya Kejahatan

Adapun beberapa teori-teori tentang penyebab terjadinya kejahatan,

yaitu :

1) Teori lingkungan

Mazhab ini dipelopori A. Lacassagne ( kansil C.S.T,

2007;82) dalam teori sebab-sebab terjadinya kejahatan yang

mendasarkan diri pada pemikiran bahwa “dunia lebih bertanggung

jawab atas jadinya diri sendiri”.

Teori ini merupakan reaksi terhadap teori Antropologi dan

mengatakan bahwa lingkunganlah yang merupakan faktor yang

mempengaruhi seseorang melakukan kejahatan. Faktor-faktor yang

mempengaruhi tersebut adalah :


31

a. Lingkungan yang memberi kesempatan untuk

melakukan kejahatan;

b. Lingkungan pergaulan yang memberi contoh dan

teladan;

c. Lingkungan ekonomi, kemiskinan dan kesengsaraan;

a. Lingkungan pergaulan yang berbeda-beda. Jadi,

selain dari faktor internal (yang berasal dari diri

pribadi), faktor eksternal yaitu lingkungan

mempunyai pengaruh yang besar dalam

menentukan kejahatan yang bisa terjadi, seperti

apa yang dinyatakan oleh Bonger (1981;15) yaitu

“Pengaruh lingkungan sangat berpengaruh dalam

menentukan kepribadian seseorang, apakah ia

akan menjadi orang jahat atau baik.”

2) Teori Kontrol Sosial

Pendapat mengenai kontrol sosial dikemukakan oleh Reiss

( 1951;94) yang mengatakan bahwa :

Ada tiga komponen dari kontrol sosial yaitu kurangnya

kontrol internal yang wajar selama masih anak-anak, hilangnya

kontrol tersebut dan tidak adanya norma-norma sosial atau konflik

norma-norma yang dimaksud. Ada dua macam kontrol yaitu

personal kontrol dan sosial kontrol. Personal kontrol (internal

kontrol) adalah kemampuan seseorang untuk menahan diri agar


32

seseorang tidak mencapai kebutuhannya dengan cara melanggar

norma yang berlaku dalam masyarakat. Sedangkan Kontrol Sosial

(eksternal kontrol adalah kemampuan kelompok sosial atau

lembaga dalam masyarakat untuk melaksanakan norma-norma

atau peraturan menjadi efektif.

Kontrol sosial baik personal kontrol maupun sosial kontrol

menentukan seseorang dapat melakukan kejahatan atau tidak,

karena pada keluarga atau masyarakat yang mempunyai sosial

kontrol yang disiplin maka kemungkinan terjadinya suatu kejahatan

akan kecil, begitu juga sebaliknya, suatu keluarga atau masyarakat

yang tidak mempunyai kontrol yang kuat maka kejahatan bisa saja

mudah terjadi akibat dari tidak disiplinnya suatu kontrol tersebut.

3) Teori Spiritualisme

Menurut teori ini sebab terjadinya kejahatan dapat dilihat dari

sudut kerohanian dan keagamaan, karena sebab terjadinya

kejahatan adalah tidak beragamanya seseorang. Oleh karena itu,

semakin jauh hubungan seseorang dengan agama seseorang

maka semakin besar kemungkinan seseorang untuk melakukan

kejahatan dan sebaliknya, semakin dekat seseorang dengan

agamanya maka semakin takut orang tersebut untuk melakukan

hal-hal yang menjurus kepada kejahatan (Purniati, 1994;81) .

4) Teori Multi Faktor


33

Teori ini sangat berbeda dengan teori-teori sebelumnya

dalam memberi tanggapan terhadap kejahatan dengan

berpendapat sebagai berikut: “Penyebab terjadinya kejahatan tidak

ditentukan oleh satu atau dua faktor yang menjadi penyebab

kejahatan”. Jadi, menurut teori ini, penyebab terjadinya kejahatan

tidak ditentukan hanya dari dua teori saja, tetapi dapat lebih dari itu

(Santoso, 2009;63) .

Dalam hal penanggulangan kejahatan, maka perlu dilakukan

usaha-usaha pencegahan sebelum terjadinya kejahatan serta

memperbaiki pelaku yang telah diputuskan bersalah mengenai

pengenaan hukuman. Dari usaha-usaha tersebut sebenarnya yang

lebih baik adalah usaha mencegah sebelum terjadinya kejahatan

dari pada memperbaiki pelaku yang telah melakukan kejahatan.

Menurut Soejono (2012;42) mengatakan bahwa dapat

dilakukan usaha-usaha sebagai berikut :

Preventif kejahatan dalam arti luas, meliputi tindakan preventif

dan represif. Bertolak pada pemikiran bahwa usaha

penanggulangan kejahatan remaja merupakan langkah utama bagi

penanggulangan kejahatan secara umum.

1. Penanggulangan yang terarah harus meliputi tindakan

preventif dan rehabilitas sosial.


34

2. Usaha penanggulangan kejahatan yang sebaik-baiknya

harus meliputi persyaratan-persyaratan sebagai berikut:

a) Sistem dan organisasi kepolisian yang baik;

b) Peradilan yang objektif;

c) Hukum dan Perundang-undangan yang wibawa;

d) Koordinasi antara penegak hukum dan aparat

pemerintah yang serasi;

e) Pembinaan organisasi kemasyarakatan;

f) Partisipasi masyarakat;

g) Pengawasan dan kesiagaan terhadap kemungkinan

timbulnyanya kejahatan.

Penanggulangan kejahatan kalau diartikan secara luas akan

banyak pihak yang terlibat didalamnya antara lain adalah

pembentuk Undang-Undang, kejaksaan, pamong praja dan aparat

eksekusi serta orang biasa.

Hal ini sesuai dengan pendapat Soejono (2012;57) yang

merumuskan sebagai berikut :

Kejahatan sebagai perbuatan yang sangat merugikan

masyarakat dilakukan oleh anggota masyarakat itu juga, maka

masyarakat juga dibebankan kewajiban demi keselamatan dan

ketertibannya, masyarakat secara keseluruhan ikut bersama-sama

badan yang berwenang menanggulangi kejahatan.


35

Berdasarkan uraian tersebut maka usaha-usaha untuk

menanggulangi dan mencegah terjadinya kejahatan, maka kepada

masyarakat juga di bebankan untuk turut serta bersama-sama

aparat penegak hukum guna menanggulangi kejahatan semaksimal

mungkin.

b) Teori Penanggulangan Kejahatan

Dalam usaha untuk menanggulangi kejahatan mempunyai

dua cara yaitu preventif (mencegah sebelum terjadinya kejahatan)

dan tindakan represif (usaha sesudah terjadinya kejahatan). Berikut

ini diuraikan pula masing-masing usaha tersebut :

1. Tindakan Preventif

Tindakan preventif adalah tindakan yang dilakukan untuk

mencegah atau menjaga kemungkinan akan terjadinya kejahatan.

Menurut Qirom Samsudin A.M, ( 1985:46 ) dalam kaitannya

untuk melakukan tindakan preventif adalah mencegah kejahatan

lebih baik dari pada mendidik penjahat menjadi baik kembali, sebab

bukan saja diperhitungkan segi biaya, tapi usaha ini lebih mudah

dan akan mendapat hasil yang memuaskan atau mencapai tujuan.

Selanjutnya Bonger, (1981:15) berpendapat cara

menanggulangi kejahatan yang terpenting adalah :

1. Preventif kejahatan dalam arti luas, meliputi reformasi dan

prevensi dalam arti sempit;

2. Prevensi kejahatan dalam arti sempit meliputi :


36

a. Moralistik yaitu menyebarluaskan sarana-sarana yang

dapat memperteguhkan moral seseorang agar dapat

terhindar dari nafsu berbuat jahat.

b. Abalionistik yaitu berusaha mencegah tumbuhnya

keinginan kejahatan dan meniadakan faktor-faktor yang

terkenal sebagai penyebab timbulnya kejahatan,

Misalnya memperbaiki ekonmi (pengangguran,

kelaparan, mempertinggi peradapan, dan lain-lain);

3. Berusaha melakukan pengawasan dan pengontrolan

terhadap kejahatan dengan berusaha menciptakan;

a. Sistem organisasi dan perlengkapan kepolisian yang

baik,

b. Sistem peradilan yang objektif

c. Hukum (Perundang-undangan) yang baik.

d. Mencegah kejahatan dengan pengawasan dan patroli

yang teratur;

4. Prevensi kenakalan anak-anak sebagai sarana pokok dalam

usaha prevensi kejahatan pada umumnya.

2. Tindakan Represif

Tindakan represif adalah segala tindakan yang dilakukan

oleh aparatur penegak hukum sesudah terjadinya tindakan pidana.

Tindakan respresif lebih di titik beratkan terhadap orang yang

melakukan tindak pidana, yaitu antara lain dengan memberikan


37

hukum (pidana) yang setimpal atas perbuatannya. Tindakan ini

sebenarnya dapat juga dipandang sebagai pencegahan untuk

masa yang akan datang. Tindakan ini meliputi cara aparat penegak

hukum dalam melakukan penyidikan, penyidikan lanjutan,

penuntutan pidana, pemeriksaan di pengadilan, eksekusi dan

seterusnya sampai pembinaan narapidana.

Penangulangan kejahatan secara represif ini dilakukan juga

dengan tekhnik rehabilitas, menurut Cressey (Simajuntak dan

Chairil Ali, 1980:399) terdapat dua konsepsi mengenai cara atau

tekhnik rehabilitasi, yaitu :

1) Menciptakan sistem program yang bertujuan untuk

menghukum penjahat, sistem ini bersifat memperbaiki antara

lain hukuman bersyarat dan hukuman kurungan.

2) Lebih ditekankan pada usaha agar penjahat dapat berubah

menjadi orang biasa, selama menjalankan hukuman

dicarikan pekerjaan bagi terhukum dan konsultasi psikologis,

diberikan kursus keterampilan agar kelak menyesuaikan diri

dengan masyarakat.

Tindakan represif juga disebutkan sebagai pencegahan

khusus, yaitu suatu usaha untuk menekankan jumlah kejahatan

dengan memberikan hukuman (pidana) terhadap pelaku kejahatan

dan berusaha pula melakukan perbuatan dengan jalan

memperbaiki si pelaku yang berbuat kejahatan. Jadi lembaga


38

permasyarakatan bukan hanya tempat untuk mendidik narapidana

untuk tidak lagi menjadi jahat atau melakukan kejahatan yang

pernah dilakukan.

Kemudian upaya penanggulangan kejahatan yang sebaik-

baiknya harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1. Sistem dan operasi Kepolisian yang baik.

2. Peradilan yang efektif.

3. Hukum dan perundang-undangan yang berwibawa.

4. Koodinasi antar penegak hukum dan aparatur

pemerintah yang serasi.

5. Partisipasi masyarakat dalam penanggulangan

kejahatan.

6. Pengawasan dan kesiagaan terhadap kemungkinan

timbulnya kejahatan.

7. Pembinaan organisasi kemasyarakatan.


39

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian

Pada penelitian ini, penulis memilih lokasi penelitian di

Kabupaten Takalar. Adapun tempat penelitian yaitu kantor Polres

Takalar. Alasan pemilihan lokasi penelitian dengan pertimbangan

bahwa lokasi penelitian relevan dengan masalah yang akan diteliti

dalam hal ini perlu suatu penelusuran secara sistematis terhadap

instansi tersebut dalam memberikan perlindungan dan keadilan

kepada pelaku kejahatan dan korban kejahatan khususnya tindak

pidana pencabulan anak di Kabupaten Takalar.

B. Jenis dan Sumber Data

1. Data primer, yaitu data yang diperoleh secara langsung dari

sumber data yang diperoleh dari pelaku, polisi atau data yang

diperoleh dari pihak-pihak yang berkompeten pada lembaga

pemasyarakatan kabupaten takalar.

2. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung

dari hasil telaah buku-buku literatur bacaan lainnya yang ada

relevansinya dengan masalah yang dibahas.


40

C. Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data sebagai berikut:

A. Penulusuran kepustakaan merupakan bentuk penelitian yakni

penulis mempelajari atau menelaah literature ilmu-ilmu hukum,

majalah, surat kabar, dan publikasi ilmiah yang ada

relevansinya dengan judul yang penulis angkat. Data yang

diperoleh dengan penelusuran pustaka ilmiah dijadikan sebagai

landasan teoritis untuk melakukan analisis terhadap hasil

penelitian lapangan di lakukan dengan :

 Wawancara di tujukan kepada dua dari aparat kepolisian

polres kabupaten takalar, satu aparat Lembaga

Pemasyarakatan, dan dengan melakukan interview.

D. Analisis Data

Penulis dalam menganalisa data yang diperoleh dari hasil

penelitian menggunakan tekhnik analisis data kualitatif, selanjutnya

data tersebut di deskripsikan, yaitu apa yang dinyatakan oleh

responden secara tertulis ataupun lisan dan perilaku yang diteliti

dan dipelajari adalah obyek penelitian yang utuh, sistematis.

Kemudian dituangkan dalam bentuk proposal.


41

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian ini bersumber pada data sekunder dan data primer.

Hasil penelitian yang bersumber pada data sekunder didapatkan dari studi

pustaka terhadap peraturan Perundang-undangan, buku-buku literatur, kar

ya-karya ilmiah, serta dokumen-dokumen yang ada kaitannya dengan

masalah yang akan diteliti, sedangkan hasil penelitian yang bersumber

pada data primer berupa hasil wawancara dengan informan, yaitu Kasat

Reskrim atau penyidik, tersangka, korban. Data yang diperoleh bukan

hanya melalui wawacanra, tetapi juga dikonfrontir antara keterangan dari

penyidik, tersangka atau terdakwa, korban serta dari pengadilan.

A. Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Pencabulan Terhadap

Anak Di Kabupaten Takalar.

Kejahatan sebagai fenomena sosial dipengaruhi oleh berbagai

aspek kehidupan dalam masyarakat seperti politik, ekonomi, sosial

budaya dan hal-hal yang berhubungan dengan upaya pertahanan dan

keamanan negara. Memperhatikan perspektif kriminologi tentang

kejahatan dan permasalahannya. Maka peneliti menggali sebab

musabab kejahatan dengan menggunakan teori dari Sutherland

(Monang Siahaan, 2017;34) yang menjelaskan semua sebab-sebab

kejahatan. Sebagai berikut:

Sebelum membahas jauh tentang faktor yang menyebabkan tindak

pidana pencabulan dengan korban anak, maka terlebih dahulu penulis


42

akan memaparkan data mengenai tindak pidana pencabulan yang

terjadi di Kabupaten Takalar yang diperoleh dengan jalan penelitian

langsung ke lapangan. Guna memperoleh data, penulis melakukan

penelitian di Polres Takalar.

Dari data yang diperoleh penulis dapat mengetahui faktor-faktor

penyebab terjadinya tindak pidana pencabulan dan upaya-upaya yang

dilakukan untuk menanggulanginya. Dari penelitian yang dilakukan di

Polres Takalar, penulis mendapatkan data mengenai tindak pidana

pencabulan yang terjadi di wilayah hukum Polres Takalar tahun 2012-

2017. Dimana dalam jangka waktu tersebut, tindak pidana pencabulan

ada kalanya meningkat dan menurun, yang dapat dilihat pada tabel

satu:

Tabel 1 data mengenai tindak pidana persetubuhan dan tindak

pidana pencabulan anak di Polres Takalar Tahun 2012-2017

No Tahun Tindak Pidana Tindak Pidana


persetubuhan Pencabulan
1 2012 7 Kasus 2 Kasus
2 2013 10 Kasus 3 Kasus
3 2014 10 Kasus 4 Kasus
4 2015 11 Kasus 3 Kasus
5 2016 14 Kasus 6 Kasus
6 2017 11 Kasus 6 Kasus
Total 63 Kasus 24 Kasus
Sumber Data Polres Takalar Tahun 2012-2017

Dengan melihat data dimana jumlah tindak pidana persetubuhan

yang terjadi dilaporkan kepada pihak yang berwajib jumlahnya cukup

banyak dibandingkan kasus pencabulan. Adapun hasil wawancara

dengan Kanit II pda Andi Sri Ulva Baso Padupu dan Brigadir Mansur
43

pada hari selasa, 19 Maret 2018 mengatakan bahwa kurangnya

laporan mengenai tindak pidana pencabulan dipengaruhi oleh faktor-

faktor berikut:

1. Pihak korban masih anak-anak sehingga tidak tahu akan berbuat

apa

2. Pihak korban mendapat ancaman dari pelaku bila

memberitahukan apa yang terjadi pada dirinya kepada orang lain

3. Pihak korban merasa malu

4. Pihak keluarga merasa malu sebab merupakan aib keluarga

5. Pihak korban dan keluarga takut akan hukuman sosial dari

masyarakat setempat.

Adapun keragaman tindak pidana pencabulan di Kabupaten

Takalar dari bulan Januari-Desember 2017 terdapat enam kasus,

sebagai berikut:

a) Pencabulan yg dilakukan anak terhadap anak

b) Orang dewasa terhadap anak:

1. Anak kandung

2. Anak tiri

3. Saudara

4. Orang yg baru dikenal

Berdasarkan hasil penelitian di Polres Takalar kabupaten Takalar

serta di Pengadilan Takalar dalam hal pencabualan terhadap anak

dapat dilakukan dengan beragam modus operandi sebagai berikut:


44

1. Modus 1

Pelaku melakukan tindak pidana perkosaan terhadap anak

dengan cara pelaku mengajak berkenalan dengan anak yang

akan menjadi korbannya, pelaku menawarkan sesuatu seperti

mengantarkannya pulang ataupun menjanjikan sesuatu. Setelah

korban menerima penawaran tersebut pelaku melakukan

pencabulan.

2. Modus 2

Pelaku melakukan tindak pidana pencabulan terhadap anak

dengan cara atau modus memberikan minuman yang telah

dicampurkan obat yang membuat anak menjadi tidur atau

pingsan, obat-obatan tersebut dengan mudah didapatkan di

apotek tanpa memerlukan resep dokter yang antara lain seperti

Ctm (Chlorpheniramin) atau Diazepam dan obat bius lainnya

yang dapat menimbulkan rasa kantuk yang kuat. Setelah

korbannya tidak sadarkan diri kemudian pelaku melakukan

perkosaan.

3. Modus 3

Pelaku melakukan pencabulan terhadap anak dengan cara

pelaku yang mempunyai jiwa yang dekat dengan anak-anak atau

yang sering berada di lingkungan anak-anak, mengajak bermain

ataupun berbicara dengan anak kemudian mengajaknya ke

suatu tempat dengan iming-iming akan diberi sejumlah uang


45

atau hadiah, setelah anak tersebut mengiyakan ajakan pelaku,

pelaku melakukan pencabulan.

4. Modus 4

Modus pelaku pencabulan yang menjadikan anak sebagai obyek

perkosaannya dengan cara berawal dari media elektronik berupa

jejaring sosial seperti yahoo, facebook, friendster dan lain-lain

yang dimana usia seorang anak sudah dapat mengetahui dan

memakai kemajuan teknologi tersebut, setelah pelaku

berbincang atau dengan kata lain chatting dengan korbannya

anak, kemudian anak tersebut diajak bertemu dengan pelaku

dan setelah pelaku bertemu dengan anak yang akan menjadi

objeknya, kemudian pelaku menggiring anak tersebut ke suatu

tempat untuk melakukan niat jahat pelaku yaitu pencabulan.

5. Modus 5

Pelaku melakukan pencabulan terhadap anak dengan modus

atau cara menculik anak yang akan menjadi objek

pencabulannya dan membawanya ke suatu tempat kemudian

pelaku melaksanakan niat jahatnya yaitu mencabuli anak

tersebut.

6. Modus 6

Pelaku melakukan pencabulan terhadap anak dengan modus

atau cara, pelaku menghipnotis atau membuat anak tersebut

tidak sadar dengan kekuatan alam bawah sadar yang di buat


46

oleh pelaku sehingga apa yang pelaku katakan anak atau

korbannya akan selalu menurutinya dari keadaan seperti pelaku

melakukan niat jahatnya dengan mencabuli anak atau

korbannya.

7. Modus 7

Pelaku melakukan pencabulan terhadap anak dengan cara atau

modus kekerasan dan ancaman kekerasan terhadap anak atau

korbannya sehingga anak tersebut menjadi takut, dan pelaku

bebas melakukan pencabulan terhadap korbannya

Modus-modus operandi pencabulan terhadap anak ialah sejumlah

modus operandi atau cara yang digunakan oleh pelaku pencabulan

demi mencapai kepuasan seksualnya yang dilampiaskan kepada

anak-anak. Dari beragam bentuk modus yang dilakukan oleh para

pelaku disebabkan oleh suatu faktor yang mendukung perbuatan

tersebut.

Selain mengetahui jumlah tindak pidana pencabulan dan

keragaman jenis tindak pidana pencabulan dan beragam bentuk

modus yang dilakukan oleh para pelaku disebabkan oleh suatu faktor

yang mendukung perbuatan tersebut yang telah ditangani di wilayah

hukum Polres Takalar, adapun faktor-faktor penyebab tindak pidana

pencabulan yang dimana memiliki motif beragam yaitu:

a) Pengaruh perkembangan teknologi

b) Pengaruh alkohol
47

c) Situasi (adanya kesempatan)

d) Peranan korban

1. Lingkungan:

2. Keluarga: broken home, kesibukan orang tua

3. Masyarakat

4. Tingkat pendidikan rendah

5. Pekerjaan (pengangguran)

6. Rasa ingin tahu (anak)

Hasil wawancara dengan informan tentang faktor-faktor penyebab

tindak pidana pencabulan yang dilakukan di kabupaten Takalar akan

disajikan dalam tabel sebagai berikut:

Tabel 2. Faktor-faktor penyebab tindak pidana pencabulan

No Informan Hasil Tema Tujuan


Wawancara
1 IPDA Andi Sri Ulva Perkembangan Faktor-faktor Mengetahui
Baso Padupa yang semakin penyebab faktor
maju dan tindak penyebeb
dipengaruhi pidana tindak
oleh pencabulan pidana
kecanggihan pencabulan
teknologi
2 Akbar (Bagian Perkembangan Faktor Mengetahui
Hukum Lembaga teknologi penyebab latar
Pemasyarakatan) seerta tindak belakang
pengaruh pidana dan faktor-
alkohol dan pencabulan faktor
situasi penyebab
terjadinya
tindak
pidana
pencabulan
3 Tersangka Sering Faktor-faktor Mengetahui
menonton penyebab faktor-faktor
video porno terjadinya penyebab
48

bersama tindak terjadinya


teman-teman pidana tindak
di internet pencabulan pidana
lewat pencabulan
handphone
maupun
warnet
Sumber Data Polres Takalar

Tabel menunjukan Faktor-faktor penyebab yang paling terbesar

melatarbelakangi tindak pidana pencabulan di Kabupaten Takalar,

dimana penyebab terbesar yaitu perkembangan yang semakin maju

dan kecanggihan teknologi. Menurut hasil penelitian di Kabupaten

Takalar dan wawancara dilakukanterhadap pelaku dan korban tindak

pidana pencabulan, maka penulis akan memaparkan Faktor-faktor

yang melatarbelakangi terjadinya tindak pidana pencabulan adalah

sebagai berikut:

1) Faktor rendahnya pendidikan dan ekonomi

Rendahnya tingkat pendidikan formal dalam diri seseorang

dapat menimbulkan dampak terhadap masyarakat dan yang

bersangkutan mudah terpengaruh melakukan suatu kejahatan

tanpa memikirkan akibat dari perbuatannya. Salah satu delik

yang berhubungan karena pelakunya memiliki pendidikan

formal yang rendah adalah tindak pidana kesusilaan terutama

pencabulan yang terjadi di Kabupaten Takalar.

Dilihat dari data yang diperoleh dari enam pelaku tindak pidana

pencabulan pada anak di Kabupaten Takalar, bahwa pada

umumnya mempunyai pendidikan yang rendah, bahkan ada


49

tiga pelaku yang putus sekolah. Tingkat pendidikan yang

rendah para pelaku tidak berpikir bahwa dengan melakukan

perbuatan tersebut dapat merusak keluarga dari pelaku

tersebut dan watak anak yang menjadi korban. Karena

pendidikan yang rendah maka berhubungan dengan

tarafekonomi, dimana ekonomi juga merupakan salah satu

penyebab seseorang melakukan suatu perbuatan yang

melanggar norma hukum.

Menurut Aristoteles (Bernard L Tanya, 2013;76):

menyatakan bahwa:

Kemiskinan menimbulkan pemberontakan dan kejahatan.


Dan kejahatan yang besar itu tidak diperbuat orang untuk
memdapatkan kebutuhan-kebutuhan hidup yang vital, akan
tetapi lebih banyak didorong oleh keserakahan manusia
mengejar kemawahan dan kesenangan yang berlebih-lebihan.

Menurut Thomas van Aquino (Bernard L Tanya, 2013;78):

Timbulnya kejahatan disebabkan oleh kemiskinan.


Kemelaratan itu mendorong oranguntuk berbuat jahat dan tidak
susila.

Pendapat para ahli dilihat bahwa faktor ekonomi juga ikut

berpengaruh terjadinya kejahatan termasuk tindak pidana

pencabulan, dimana dari data yang diperoleh dari penelitian

bahwa terdapat tiga pelaku yang tidak mempunyai pekerjaan

dan lainnya bekerja sebagai Nelayan dan wirausaha. Jadi,

dapat disimpulkan bahwa faktor pendidikan yang rendah dan

ekonomi mempengaruhi keadaan jiwa, tingkah laku terutama


50

intelegensinya sehingga mereka dapat melakukan kejahatan

dalam hal ini tindak pidana pencabulan pada anak di

Kabupaten Takalar.

2) Faktor lingkungan dan tempat tinggal

Kejahatan asusila adalah merupakan tindak manusia terhadap

manusia lainnya di dalam masyarakat. Oleh karena itu manusia

adalah anggota dari masyarakat, maka kejahatan asusila tidak

dapat dipisahkan dari masyarakat setempat. Lingkungan sosial

tempat hidup seseorang banyak berpengaruh dalam

membentuk tingkah laku, sebab pengaruh sosialisasi

seseorang tidak akan lepas dari pengaruh lingkungan.

Dari hasil penelitian penulis, bahwa bukan hanya pengaruh

faktor lingkungan sosial yang ikut berperan akan timbulnya

kejehatan tetapi Faktor tempat tinggal pun ikut juga

mempengaruhi kejahatan seperti tindak pidana asusila

terutama tindak pidana Pencabulan, contohnya: Keluarga yang

hancur/broken home tentunya menyebabkan luka batin

terhadap anak-anaknya. Kesibukan orang tua dengan

pekerjaan menjadikan anak terlantar dan tidak mendapat

asuhan dari orang tua dengan maksimal. Menjadikan Pantauan

orang tua dalam masa pertumbuhan dan perkembangan

anaknya kurang, maka banyak anak-anak yang terjerumus

kepada hal-hal yang negatif diantaranya tindak pidana


51

pencabulan, ini sesuai dengan hasil wawancara Dg. Rahim dan

Dg. pata (pelaku tindak pidana pencabulan).

3) Faktor Munuman Keras (beralkohol)

Kasus pencabulan juga terjadi karena adanya stimulasi

diantaranya karena dampak Negatif. Orang yang dibawah

pengaruh alkohol/minuman keras sangat berbahaya karena ia

menyebabkan hilangnya dayamenahan diri dari sipeminum.

Diluar beberapa hal yang terjadi, dimana si peminum justru

untuk menimbulkan kehilangan daya menahan diri, bahwa jika

dipergunakan akan membahayakan manusia pertama jiwanya

paling lemah. Begitu seseorang yang mempunyai gangguan-

gangguan dalam seksualitasnya, dimana minuman keras

melampui batas yang menyebabkan dirinya tak dapat menahan

nafsunya lagi, dan akan mencari kepuasan seksualnya, bahkan

dengan pencabulan dengan siapa saja tak terkecuali mencabuli

anaknya sendiri.

Adapun wawancara yang dilakukan oleh Sanuddin dan Dg.

Jarre (pelaku tindak pidana pencabulan yang dilakukan oleh

ayahnya sendiri/pencabulan) bahwa si pelaku setelah minum

alkohol (ballo) yang cukup banyak, dia pun pulang kerumahnya

dan melihat anaknya yang sedang tidur dan langsung

mencabulinya, dan menurut pengakuannya setiap setelah


52

mengkomsumsi alkohol dia merasa hawa nafsunya tidak dapat

dia tahan.

4) Faktor Teknologi

Adanya berkembangnya teknologi tentunya membawa

pengaruh bagi kehidupan. Pengaruh tersebut meliputi dua sisi

yaitu pengaruh positif dan pengaruh negatif. Dampak-dampak

pengaruh globalisasi tersebut dikembalikan kepada diri sendiri

sebagai generasi muda agar tetap menjaga etika dan budaya,

agar tidak terkena dampak negatif dari globalisasi. Namun

Informasi yang tidak tersaring membuat tidak kreatif, prilaku

konsumtif dan membuat sikap menutup diri serta berpikir

sempit. Hal tersebut menimbulkan meniru perilaku yang buruk.

Mudah terpengaruh oleh hal yang tidak sesuai dengan

kebiasaan atau kebudayaan suatu bangsa yang tidak sesuai

dengan norma-norma yang ada .

5) Peranan Korban

Peranan korban atau sikap korban sangat menentukan

seseorang untuk melakukan kejahatan terhadapnya termasuk

kejahatan asusila. Sebagaimana dikemukakan oleh Von

Henting (H. Adami Chazawi,2010;83): menyatakan bahwa:

ternyata korbanlah yang kerap kali merangsang seseorang

untuk melakukan kejahatan dan membuat orang menjadi

penjahat.
53

Hasil wawancara dengan Edi dan Mungsir (pelaku tindak

pidana pencabulan) bahwa si korban adalah teman pelaku

(mereka masih di bawah umur). Korban dan pelaku selalu

bermain bersama sehingga sering bertemu dan diantara

mereka tidak ada rahasia. Sampai-sampai korban berganti

pakaian pun didepan para pelaku, sehingga muncul keinginan

si pelaku untuk mencabuli si korban. Jadi, pada dasarnya dapat

dikatakan bahwa korban adalah pihak yang dapat membuat

orang menjadi penjahat dan melakukan kejahatan.

Berdasarkan uraian fakta-fakta diatas maka teori dari Sutherland

(Monang Siahaan, 2017;34) yang digunakan untuk mengkaji dan

menganalisis Faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana

pencabulan masih relevan. Walaupun dari uraian fakta tersebut dapat

terlihat ada faktor penghambat terungkapnya tindak pidana

pencabulan, dimana dalam masyarakat masih dianggap aib.

Maka dapat ditarik kesimpulan dari uraian fakta tersebut bahwa

faktor rendahnya pendidikan dan ekonomi, faktor lingkungan atau

tempat tinggal, faktor minuman keras (beralkohol), faktor teknologi,

dan peranan korban. Merupakan faktor-faktor penyebab yang penting

dari penyebab tindak pidana pencabulan di Kabupaten Takalar.

Dengan perkembangan teori-teori yang dikembangkan oleh

mazhab-mazhab dalam bidang etiologi dimana faktor-faktor penyebab

tindak pidana pencabulan di Kabupaten Takalar sesuai dengan teori–


54

teori yang tidak berorientasi pada kelas sosial yaitu teori ekologi

dimana teori ini dipengaruh oleh lingkungan sosial yang ikut berperan

akan timbulnya kejahatan tetapi faktor tempat tinggal pun ikut juga

mempengaruhi kejahatan seperti tindak pidana asusila terutama

tindak pidana pencabulan, contohnya: Keluarga yang hancur/broken

home tentunya menyebabkan luka batin terhadap anak-anaknya.

Kesibukan orang tua dengan pekerjaan menjadikan anak terlantar dan

tidak mendapat asuhan dari orang tua dengan maksimal. Teori konflik

kebudayaan adalah konflik dalam nilai social, kepentingan dan norma-

norma. Tindak pidana pencabulan di Kabupaten Takalar ini ditengarai

dari proses perkembangan kebudayaan dan peradaban.

Perpindahan norma-norma perilaku daerah budaya barat dan

dipelajari sebagai konflik mental atau sebagai benturan nilai kultur,

seperti teknologi yang makin canggih dan minuman keras

(beralkohol). Teori faktor ekonomi merupakan hal yang fundamental

bagi seluruh struktur sosial dan kultur menentukan struktur tersebut.

Perkembangan perekonomian di Kabupaten Takalar cenderung belum

merata di setiap wilayah Kabupaten Takalar masih terdapat

pengangguran, sehingga terdapat penyimpangan seksual contohnya:

tindak pidana pencabulan terhadap anak.

Teori differential association berlandaskan pada proses belajar

adalah perilaku kejahatan yaitu perilaku yang dipelajari. Dimana

Sutherland (Monang Siahaan, 2017;38) berpendapat bahwa perilaku


55

kejahatan adalah perilaku manusia yang sama dengan perilaku

manusia pada umumnya yang bukan kejahatan. Misalnya film-film

atau bacaan yang mengandung usus pornografi yang masih menjadi

konsumsi umum, sehingga menimbulkan pengaruh negatif pada

masyarakat.

B. Upaya Penanggulangan Pencabulan Yang Dilakukan Oleh

Pihak Kepolisian Di Polres Kabupaten Takalar

Berbicara mengenai penegakan hukum pidana di Indonesia,

tentunya berbicara mengenai 2 (dua) tonggaknya, yakni hukum

pidana materil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materil di

Indonesia secara umum diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHP), dan secara khusus banyak diatur di Peraturan

Perundang-undangan yang mencantumkan ketentuan pidana. Begitu

juga dengan hukum pidana formil di Indonesia, diatur secara umum di

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan

secara khusus ada yang diatur di Undang-Undang yang

mencantumkan ketentuan pidana.

Berpijak pada kedua aturan hukum positif tersebut, penegakan

hukum pidana di Indonesia menganut 2 (dua) sistem yang diterapkan

secara bersamaan, yakni sistem penegakan hukum pidana secara

penegasan pembagian tugas dan wewenang antara jajaran aparat

penegak hukum acara.


56

Pidana secara instansional (Diferensiasi Fungsional) dan sistem

peradilan pidana yang mengatur bagaimana penegakan hukum

pidana dijalankan (Intregated Criminal Justices system). Mengapa

demikian, karena pada strukturnya, penegakan hukum pidana

Indonesia dari hulu ke hilir ditangani lembaga yang berdiri sendiri

secara terpisah dan mempunyai tugas serta wewenangnya masing-

masing. Misalnya penyelidikan dan penyidikan dilakukan oleh

Kepolisian, penuntutan dilakukan oleh Kejaksaan, dan pemeriksaan

persidangan beserta putusan menjadi tanggung jawab dari Hakim

yang berada di bawah naungan Mahkamah Agung. Hal tersebut yang

menjadi sebab Indonesia dikatakan menganut sistem differensiasi

fungsional. Namun apabila ditilik dari proses kerjanya, ternyata semua

lembaga tersebut bekerja secara berkelanjutan dan

berkesinambungan. Antara kepolisian dan kejaksaan misalnya, ketika

melakukan penyidikan kepolisian akan menyusun berita acara

pemeriksaan yang nantinya menjadi dasar dari kejaksaan untuk

menyusun surat dakwaan. Sementara itu, ada juga proses yang

dinamakan Prapenuntutan, yakni ketika berkas dari kepolisian di

anggap belum lengkap untuk menyusun surat dakwaan oleh

kejaksaan, maka berkas tersebut dikembalikan ke kepolisian untuk

dilengkapi disertai dengan petunjuk dari Jaksa yang bersangkutan.

(Satjipto Rahadjo, 2000;43).


57

Usaha penanggulangan suatu kejahatan, apakah itu menyangkut

kepentingan hukum seseorang, masyarakat maupun kepentingan

hukum Negara, tidaklah mudah seperti yang dibayangkan. Tindak

kejahatan atau kriminalitas akan tetap ada selama manusia masih ada

dipermukaan bumi ini, kriminalitas akan hadir pada segala bentuk

tingkat kehidupan masyarakat. Kejahatan amatlah kompleks sifatnya,

karena tingkah laku dari penjahat itu banyak variasinya serta sesuai

pula dengan perkembangan yang semakin canggih dan dipengaruhi

oleh kemajuan teknologi dan berpengaruh terhadap meningkatnya

tindak pidana pencabulan, dimana semakin meluasnya informasi

melalui media elektronik maupun media cetak dari seluruh belahan

dunia yang tidak melalui tahap penyaringan terhadap adegan-adegan

yang berbau negatif.

Tindak pidana pencabulan di Kabupaten Takalar terhadap anak

banyak terjadi permasalahan mengenai bagaimana hukum dalam

menegakkan keadilan bagi para pelaku pencabulan tersebut yang

dihukum dengan hukuman yang dapat dikatakan hukuman tersebut

tidak dapat membuat perilaku para pelaku tersebut berubah menjadi

lebih baik, sehingga ini menyebabkan korban merasa tidak

mendapatkan keadilan yang efisien oleh kejahatan apa yang telah

pelaku lakukan terhadap korban khususnya anak. Hukum adalah

aturan untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan

hukum harus memberikan manfaat atau kegunaan bagi masyarakat.


58

Perlu dipahami bahwa kualitas pembangunan dan penegakan

hukum yang dituntut masyarakat saat ini bukan sekedar kualitas

formal, akan tetapi adalah kualitas materil atau substansial.

Kemudian, strategi sasaran pembangunan dan penegakan hukum,

harus ditujukan pada kualitas substantif yang dimana opini yang

dituntut masyarakat yang berkembang dituntut saat ini, yaitu antara

lain:

1. Adanya perlindungan hak asasi manusia;

2. Adanya nilai kejujuran, keadilan, kebenaran, dan keyakinan

antara masyarakat berserta pemerintah dan penegak hukum;

3. Bersih dari praktik pilih kasih, korupsi, kolusi, dan nepotisme,

mafia peradilan dan penyalahgunaan kekuasaan ataupun

kewenangan;

4. Terselenggaranya pemerintahan yang bersih dan berwibawa;

5. Terwujudnya penegakan hukum yang efisien dan tegaknya

kode etik dan profesi penegak hukum.

Upaya penanggulangan kejahatan atau yang biasa disebut dengan

politik hukum secara garis besar dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu:

melalui jalur non penal atau tindakan preventif dan jalur penal atau

tindakan represif. Sedangkan menurut Agus Santoso (2012;63)

penanggulangan kejahatan terdiri dari atas tiga bagian pokok yaitu;

1. Upaya pre-emptif adalah upaya-upaya awal yang dilakukan

oleh pihak kepolisian untuk mencegah terjadinya tindak pidana.


59

Usaha-usaha yang dilakukan dalam penanggulangan kejahatan

secara pre-emptif adalah dengan menanamkan nilai-nilai atau

norma-norma yang baik sehingga norma-norma tersebut

terinternalisasi dalam diri seseorang. Meskipun ada

kesempatan untuk melakukan pelanggaran atau kejahatan tapi

tidak ada niatnya untuk melakukan hal tersebut maka tidak

akan terjadi kejahatan. Jadi dalam usaha pre-emptif niat untuk

melakukan kejahatan menjadi hilang. Dalam hal ini pihak

kepolisian Polres Takalar berusaha untuk menanamkan nilai-

nilai atau norma-norma agama dengan mengadakan kegiatan

Binrohtal (Bimbingan Rohani dan Mental). Pihak kepolisian

bekerja sama dengan elemen masyarakat dan tokoh agama

berupaya meningkatan kesadaran diri akan pentingnya

penerapan nilai-nilai agama dalam kehidupan bermasyarakat.

Dengan pemahaman nilai-nilai atau norma-norma agama yang

baik, diharapkan dapat meminimalisir adanya kejahatan salah

satunya pencabulan.

Jadi dapat diketahui bahwa pihak kepolisian telah aktif

dalam melakukan upaya pre-emptif guna mencegah terjadinya

kejahatan-kejahatan yang ada di masyarakat termasuk

pencabulan terhadap anak. Upaya pre-emptif ini tidak dapat

terwujud jika tidak didukung dengan upaya-upaya lainnya.

Bonger (1981;92) berpendapat bahwa cara menanggulangi


60

kejahatan yang terpenting berupa poralistik, yaitu

menyebarluaskan sarana-sarana yang dapat memperteguhkan

moral seseorang agar dapat terhindar dari nafsu berbuat jahat.

2. Upaya preventif ini merupakan tindak lanjut dari upaya pre-

emptif yang masih dalam tatanan pencegahan sebelum

terjadinya kejahatan. Dalam upaya preventif yang ditekankan

adalah menghilangkan kesempatan untuk dilakukannya

kejahatan. Pihak-pihak yang harus bertanggung jawab dalam

mencegah terjadinya tindak pidana pencabulan dan upaya apa

saja yang harus dilakukan yaitu secara individu, masyarakat,

pemerintah, dan aparat kepolisian.

3. Upaya represif ini dilakukan pada saat telah terjadi tindak

pidana/kejahatan yang tindakannya berupa penegakan hukum

(law enforcement) dengan menjatuhkan hukuman.

Selain tindakan preventif, pihak kepolisian Kabupaten

Takalar juga melakukan upaya represif setelah terjadinya suatu

tindak pidana. Tindakan represif yang dilakukan harus sesuai

dengan prosedur yang telah ditetapkan oleh peraturan dan

Undang-Undang kepolisian. Aparat yang bekerja di lapangan

tidak dapat melakukan tindakan yang sewenang-wenang,

apabila terjadi kesalahan prosedur maka harus diproses

dengan peraturan Perundang-undangan yang berlaku.Peneliti

berpendapat bahwa selain dari kepolisian, pihak kejaksaan dan


61

Hakim juga mempunyai peran penting dalam menangani tindak

pidana. Dalam tindak pidana pencabulan ini Jaksa bertugas

untuk meneliti berkas penyidikan dari Kepolisian dan

melakukan penuntutan di hadapan Majelis Hakim Pengadilan

Negeri. Selanjutnya, Hakim dalam memberikan putusan

menyatakan bahwa hukuman yang dijatuhkan adalah sebagai

upaya penegakan hukum dan diharapkan dapat memberikan

efek jera pada pelakunya serta mengubah sikap maupun

mental pelaku agar tidak mengulangi kembali tindakannya.

Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh penulis

dengan cara Wawancara Pribadi, 19 Maret 2018, Oleh Ipda

Andi Sri Ulva Baso Padupa menyatakan bahwa upaya represif

yang dilakukan kepolisian Kabupaten Takalar adalah dengan

menindak lanjuti atas aduan yang diterima mengenai tindak

pidana pencabulan. Kemudian pihak atasan dari kepolisian

membuat surat perintah penyelidikan dan surat perintah tugas

untuk dilakukan penyelidikan terhadap pelapor, saksi, dan

terlapor. Didalam penyelidikan, pelapor, saksi, dan terlapor

diklarifikasi serta mencari atau mengumpulkan barang bukti

berdasarkan laporan yang telah diterima oleh pihak kepolisian.

Setelah dilakukan penyelidikan dan ditemukan bukti bukti yang

cukup sesuai dengan laporan yang diadukan oleh pelapor,

maka selanjutnya dilakukan proses gelar perkara. Setelah


62

dilakukan gelar perkara dan terpenuhi pidananya, lalu

ditingkatkan ke proses penyidikan dan terbit surat perintah

penyidikan serta surat pemberitahuan dimulainya penyidikan

yang ditujukan pada kantor Kejaksaan Negeri Takalar. Saat

proses penyidikan, dilakukan pemeriksaan pada para saksi dan

terlapor diperiksa sebagai tersangka. Setelah proses

penyidikan selesai, dilakukan pemberkasan yang selanjutnya

berkas perkara tersebut diserahkan ke Kejaksaan Negeri

Takalar untuk dilakukan penelitian. Jika pada penelitian ada

kekurangan maka berkas perkara dikembalikan pada kepolisian

(P19) dan apabila berkas dinyatakan lengkap (P21) Kejaksaan

memberitahukan pada Kepolisian untuk segera menyerahkan

barang bukti bersama tersangka.

Penelitian yang dilakukan di Polres Takalar, penulis

mendapatkan data mengenai tindak pidana pencabulan yang

terjadi di wilayah hukum Polres Takalar pada bulan Januari-

Desember tahun 2017, dapat dilihat pada tabel tiga:

Tabel 3; Data Kasus Pencabulan Di Polres Takalar

No. No Dan Tanggal LP Tersangka Pasal yang Keterangan


dilanggar
1 LP/K/III/2012/SPKT 5 Fajar 82 UU P21
Maret 2012 Perlindangan (Selesai)
Anak
2 LP/K/139/VII/2012/SPKT Suniyanto 82 UU P21
9 Agustus 2012 Perlindungan (Selesai)
Anak
3 LP/B/186/X/2012/SPKT Robi Aziz 81 dan atau Kirim
28 Oktober 2012 82 UU Berkas
63

Perlindungan
Anak
4 LP/K/158/X/2012/SPKT Ilham, Aan, 82 UU Dicabut dan
11 September 2012 Teguh,dan Perlindungan Pembinaan
Lutfih Anak orang tua
serta
kompensasi
Sumber data Polres Takalar Tahun 2018

Berdasarkan tabel tiga terlihat tindak pidana pencabulan

terhadap anak di Kabupaten Takalar, para penegak hukum

telah menerapkan Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang

Perlindungan Anak. Didalam kasus pencabulan yang

korbannya menimpa seorang anak ini menyangkut tentang hak

asasi anak sebagai korbannya yang tidak baik mendapatkan

perlakuan dalam hal kekerasan seksual sesuai dengan Pasal

82 Ayat (1) Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 menyatakan

bahwa:

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan

atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat,

serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk

melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul,

dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)

tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling

banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling

sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

Pasal tersebut, pada kasus pencabulan terhadap anak

khususnya dalam menjerat para pelakunya bukan hanya Pasal


64

285 KUHP saja, akan tetapi Pasal 82 Ayat (1) dapat juga

menjadi acuan para penegak hukum untuk menjerat para

pelaku yang dimana ancaman pidana bagi para pelakunya lebih

berat dibandingkan dalam Pasal 285 KUHP atau dengan kata

lain Undang-Undang mengenai perlindungan anak tersebut

janganlah dikesampingkan akan tetapi dipakai dalam menjerat

para pelaku yang menjadikan anak-anak sebagai objeknya.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa

upaya penegakan hukum tindak pidana pencabulan terhadap

anak dinilai telah efektif. Hal tersebut dapat dilihat dari tindakan

penegak hukum pidana secara tugas dan wewenang antara

aparat penegak hukum acara pidana dan sistem peradilan

pidana sudah dijalankan sesuai dengan prosedur yang ada.

Maka diharapkan dengan adanya penegakan hukum pidana

dapat menjadi pelajaran bagi pelaku pidana dan memberikan

efek jera supaya tidak mengulangi tindakannya lagi.

Menurut Akbar (bagian hukum pemasyarakatan) di Lapas

Takalar, pemberian pidana atau pemidanaan bertujuan pada

satu pihak merupakan pencegahan umum (general prevention)

dan pada pihak lainnya adalah pencegahan khusus (special

prevention). Pencegahan umum dimaksudkan, bahwa dengan

adanya pemidanaan akan mempunyai pengaruh terhadap

tingkah laku orang lain yaitu pembuat potensial dan warga


65

masyarakat yang taat pada hukum. Pencegahan khusus adalah

pengaruh langsung dari pemidanaan yang dirasakan oleh diri

terpidana (baik lahir maupun batin) dan ia akan menjadi warga

masyarakat yang lebih baik dari pada sebelumnya atau dengan

kata lain, bahwa dengan adanya pemidanaan diharapkan tidak

akan terjadi pengulangan perbuatan kejahatan oleh diri

terpidana.

BAB V

PENUTUP

1. Kesimpulan

1. Dari uraian fakta-fakta tersebut bahwa faktor rendahnya pendidikan

dan ekonomi, faktor lingkungan atau tempat tinggal, faktor

minuman keras (beralkohol), faKtor teknologi, dan peranan korban.

Merupakan faktor-faktor penyebab yang penting dari penyebab

tindak pidana pencabulan di Kabupaten Takalar.

2. Bahwa upaya penegakan hukum tindak pidana pencabulan

terhadap anak dinilai telah efektif. Hal tersebut dapat dilihat dari

tindakan penegak hukum pidana secara tugas dan wewenang

antara aparat penegak hukum acara pidana dan sistem peradilan

pidana sudah dijalankan sesuai dengan prosedur yang ada

2. Saran
66

Saran yang dapat penulis berikan berkaitan dengan permasalahan

yang diajukan adalah sebagai berikut:

1. Mayarakat diharapkan dapat meningkatkan mentalitas, moralitas,

serta keimananan dan ketaqwaan yang bertujuan untuk

pengendalian diri yang kuat sehingga tidak mudah tergoda untuk

melakukan sesuatu yang tidak baik, dan juga untuk mencegah agar

dapat menghindari pikiran dan niat yang kurang baik di dalam hati

serta pikirannya.

2. Diharapkan pemerintah dapat memberantas film-film atau bacaan

yang mengandung unsur pornografi karena pornografi merupakan

salah satu sebab terjadinya tindak pidana pencabulan. Tindakan ini

di harapkan dapat mencegah ataupun mengurangi terjadinya tindak

pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur.

3. Kepolisian diharapkan dapat mewujudkan perlindungan hukum

terhadap korban dengan memberikan pendampingan psikiater

untuk menjaga kejiwaan dari rasa trauma akibat tindak pidana

pencabulan tersebut.
67

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan Terjemahannya, 2012. Departemen Agama Republik

Indonesia. Surabaya.

Adami chazawi,2005. Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, PT. Raja

Grafindo Persada. Jakarta.

Adami Chazawi H, 2010, Tindak Pidana Pornografi, Tamita Utama, Jakarta.

Ahmad Ali,2002. Menguak Tabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis dan

Sosiologis. Gunung Agung. Jakarta.

Andi Hamzah, 1993.Suatu tujuan Ringkas Sistem Pemidanaan indonesia.

Akademik Presindo. Bandung.


68

Andi Zainal Abidin Farid, 2007. Hukum Pidana 1. Sinar Grafik. Jakarta.

Agus Santoso, 2012, Hukum, Moral, Dan Keadilan, Prenada Media Grup,

Jakarta.

Albert j. Reiss,1951. Kriminologi, Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Bonger, 1981. Pengantar Tentang Kriminologi, PT. Pembangunan Ghalia

Indonesia. Jakarta.

Bernard L. Tanya, 2013, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas

Ruang Dan Generasi Genta Publishing, yogyakarta.

Bambang Waluyo, 1996. Metodologi Penulisan Hukum (MPH). Sinar Grafik.

Jakarta.

lam A.S,2010. Pengantar Kriminologi. Pustaka Refleksi. Makassar.

Kansil C.S.T, 2007, Latihan Ujian Hukum Pidana, cetakan ketiga, Sinar

Grafika, Jakarta.

Leden Marpaung, 1996. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana. Sinar Grafik.

Jakarta.
69

Lamitang, 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Aditya

Bakti. Bandung.

Maidi Gultom, 2008. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem

Peradilan Pidana Anak di Indonesia. PT. Rafika Aditama. Bandung.

Wagiati, Soetodjo, 2006. Hukum Pidana Anak. PT. Refika Aditama. Bandung.

Moeljatno, 1987. Asas-Asas Hukum Pidana. Bina aksara. Jakarta.

Monang Siahaan. 2017, Falsafah Dan Filosofi Hukum Acara Pidana,

Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.

Poerwadaminta W.J.S, 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai

Pustaka. Jakarta.

Purniati, dkk, 1994. Mazhab dan penggolongan teori dalam kriminologi. PT

Citra Aditya Bakti. Bandung.

Qiram Samsuddin M, A, Sumaryo E, 1985. Kejahatan Anak Suatu Tinjauan

Dari Segi Psikologis Dan Hukum. Liberti. Yogyakarta.

Soesilo R, 1997. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pol. Bogor.


70

Santoso, topo. 2009. Kriminologi. Rajawali Pers. Jakarta.

Simajuntak B Dan Chairil Ali, 1980.Cakrawala Baru Kriminologi, Trasio.

Bandung.

Soejono, D, 2002.Penanggulangan Kejahatan (Crime Prevention), Alumni,

Bandung.

SatjiptoRahardjo, 2000, IlmuHukum, Bandung, PT Citra Aditya Bakti.

Van Apledoom, 2008. Pengantar Ilmu Hukum. PT. Pradya Paramita. Jakarta.

Vanderfas H, 1956. Kamus Hukum Belanda-Indonesia. Timun Mas.

University Of California.

Wijono Projodikoro, 2003. Asas-Asas Hukum di Indonesia. PT. Rafika

Aditama. Bandung

Zainudin Ali M. M.A, 2010, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta

Sumber Praturan Perundang-Undang;


71

Undang-Undang Republik Indonesia NO. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan

Anak.

Undang-Undang Republik Indonesia NO. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak.

Anda mungkin juga menyukai