Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

PENYELESAIAN PERKARA ASUSILA TERHADAP ANAK MENURUT HUKUM


ADAT BAJO

Dosen Pengampu : Agung Basuki Prasetyo, S.H., M.S.

Disusun Oleh :

Nanda Setya Darmawan ( 11000120120100 )

Rifki Fauzi ( 11000120120115 )

Alif Alvaro ( 11000120130424 )

Muhammad Fahri Nur Utomo ( 11000120140217 )

Van Wildan Soekoco ( 11000120140553 )

Fakultas Hukum

Universitas Diponegoro

Semarang

2021
Penyelesaian Perkara Asusila Terhadap Anak Menggunakan Hukum Adat Bajo

Abstrak

Belakangan ini banyak sekali perbuatan tindak asusila terhadap anak yang
disebabkan banyak faktor. Restorative Justice merupakan cara penyelesaian
masalah yang dilakukan dengan tujuan memulihkan kepada keadaan semula. Anak
yang melakukan tindak pidana kesusilaan diselesaikan dengan hokum adat Bajo.
Tujuan penggunaan hukum adat ini yakni untuk memulihkan dan mengembalikan
kerugian korban sehingga pelaku dapat dipertanggungjawabkan. Dalam penelitian
ini menggunakan metode penelitian deskriptif analitis, yaitu menggambarkan dan
menguraikan secara sistematika semua permasalahan, kemudian menganalisanya
yang bertitik tolak keadaan yang ada mengenai faktor penyebab tindak asusila dan
hukum adat Bajo dalam cara penyelesaian perkaranya. Penelitian ini menggunakan
metode pendekatan yuridis normatif, karena menggunakan data sekunder sebagai
data utama. Perolehan data dilakukan melalui studi kepustakaan, yaitu suatu teknik
pengumpulan data yang dilakukan melalui studi kepustakaan, yaitu suatu teknik
pengumpulan data dengan memanfaatkan berbagai literatur yang dapat memberikan
landasan dalam pembahasan masalah. Dari penelitian ini didapatkan hasil bahwa
faktor penyebab terjadinya tindak asusila berasal dari berbagai faktor seperti dari
keluarga, lingkungan, pergaulan, dan media massa. Dalam hal ini faktor yang paling
dominan yaitu penyebab tindak asusila ini yaitu karena media massa yang
menyebabkan rasa ingin tahu anak, sehingga pada masyarakat Bajo tindak asusila
yang dilakukan anak itu meningkat dan semua perkara itu diselesaikan dengan adat
Bajo oleh ketua adat tanpa melibatkan kepolisian.
Kata Kunci: Anak, Restorative Justice, Hukum Adat Bajo, dan Tindak Pidana
Kesusilaan

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak membutuhkan adanya supremasi hukum. Problematika atas


supremasi hukum untuk anak adalah salah satu cara melindungi tunas bangsa di
masa depan. Perlindungan hukum terhadap anak adalah semua aturan hukum
yang berlaku, terutama terhadap anak yang melakukan tindak kesusilaan.
Perlindungan ini perlu karena anak adalah bagian masyarakat yang mempunyai
keterbatasan secara fisik dan mentalnya. Oleh karena itu, anak memerlukan
perlindungan dan perawatan khusus. 1 Isu perkembangan anak, menjadi salah
satu bagian terpenting, karena negara sebagai tempat untuk melindungi setiap
warganya harus memberikan jaminan utama terhadap perlindungan bagi anak,
seiring berkembangnya teknologi informasi yang sulit dibendung, ditambah lagi
dengan iklim demokrasi yang menjamin kebebasan pers, maka berbagai macam
isu sangatlah mudah untuk disampaikan ke hadapan publik.
Upaya untuk menurunkan angka kriminalitas, sistem peradilan tindak
asusila saja tidak begitu cukup. Tetapi dengan menggunakan cara-cara
tradisional misalnya hukum adat yang ada pada daerah masing-masing bisa
dikatakan mampu menurunkan angka kriminalitas dibandingkan dimasukkan
dalam sebuah sistem hukum. Hukum adat bercorak tradisional, artinya bersifat
turun-temurun, dari zaman nenek moyang hingga ke anak cucu sekarang
sehingga eksistensinya masih terjaga sampai saat ini,.

B. Rumusan Masalah

1. Apa faktor yang menyebabkan tindak asusila terhadap anak ?

2. Bagaimanakah penggunaan hukum adat Bajo dalam menyelesaikan tindak


asusila terhadap anak?

BAB II

1 M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hlm. 4.

2
PEMBAHASAN

A. Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Asusila Terhadap Anak

Ada beberapa faktor penyebab terjadinya tindak pidana asusila yang


dilakukan oleh anak yaitu faktor keluarga, faktor lingkungan pergaulan, faktor
pendidikan, faktor media massa. Pada prakteknya ada beberapa hal yang telah
dilakukan oleh pihak aparatur negara dan pemerintah dalam upaya mengurangi
tindak pidana asusila yang dilakukan oleh anak, yaitu: melakukan pendekatan
kepada orang tua dan anak dengan melakukan kegiatan seperti sosialisasi
Keluarga Ramah Anak; kegiatan parenting; kegiatan Forum Anak; Komunitas
Peduli Anak, memberikan pengetahuan tentang pendidikan kesehatan dan
reproduksi, membangun hubungan yang berkualitas antara orangtua dan anak,
mengadakan penyuluhan di setiap sekolah, meningkatkan penanganan terhadap
daerah yang rawan terjadinya kejahatan. 2

Dapat diuraikan beberapa teori yang relevan dengan perilaku tindak


pidana asusila yang dilakukan oleh anak. Teori-teori tersebut, antara lain:

1. Teori Anomie

Salah seorang tokoh dari teori Anomie adalah ahli sosiologi Perancis
Emile Durkheim. Ia menekankan teorinya pada “normalness, lessenssocial
control” yang berarti mengendornya pengawasan dan pengendalian sosial
yang berpengaruh terhadap terjadinya kemerosotan moral yang
menyebabkan individu sukar menyesuaikan diri dalam perubahan norma,
bahkan kerap kali terjadi konflik norma dalam pergaulan. Anomie dalam
pandangan Durkheim dipandang sebagai kondidi yang mendorong sifat
individualisme yang cenderung melepaskan pengendalian sosial. Keadaan ini
akakn diikuti dengan perilaku menyimpang dalam pergaulan masyarakat. 3

2. Teori Kontrol Sosial

Teori kontrol sosial atau social control theory, menunjuk kepada


pembahasan delinkuensi dan kejahatan dikaitkan dengan variabel-variabel
yang bersifat sosiologis, antara lain : struktur keluarga, pendidikan, kelompok
2 Kajian Kriminologi Tindak Pidana Asusila
3 Eva Achjani Zulfa, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Lubuk Agung, Bandung, 2016, hlm. 59.

3
dominan. Dengan demikian, pendekatan teori kontrol sosial berbeda dengan
teori kontrol lainnya. Menurut Reiss bahwa ada tiga komponen dari kontrol
sosial dalam menjelaskan kejahatan atau tindak pidana anak. Ketiga
komponen tersebut antara lain :

a. Kurangnya kontrol internal yang wajar selama masa kanak-kanak;

b. Hilangnya kontrol tersebut;


c. Tidak adanya norma-norma sosial atau konflik antar norma-norma di
sekolah, orang tua, atau lingkungan terdekat.
Reiss membedakan dua macam kontrol, yaitu personal control dan
social control. Personal control adalah kemampuan seseorang menahan diri
untuk tidak mencapai kebutuhannya dengan cara melanggar norma-norma
yang berlaku dalam masyarakat. Adapun yang dimaksud dengan Social
control adalah kemampuan kelompok sosial atau lembaga-lembaga di
masyarakat untuk melaksanakan norma-norma atau peraturan menjadi
efektif. Menurut Reiss, untuk orang-orang tertentu melemahnya personal dan
sosial kontrol secara relatif dapat di perhitungkannya sebagai penyebab
terbesar delinkuensi.4

3. Teori Sub-Budaya Delikuen

Dalam suatu masyarakat tertentu, disamping kebudayaan induk


(dominan), akan terdapat berbagai macam ragam varian dari kebudayaan
induk. Varian-varian ini dinamakan sub-sub kebudayaan yang pada dasarnya
mempunyai nilai dan norma yang sama dengan kebudayaan induk. Akan
tetapi disamping yang sama terdapat pula nilai-nilai dan norma-norma yang
berbeda dan atau bertentangan dengan kebudayaan induk. Kaitannya
dengan masalah delinkuensi anak, teori sub budaya delinkuen ini dijelaskan
oleh Albert Cohen dalam karangannya, yang berjudul Delinquent Boys, The
Culture of The gang. Cohen, menjelaskan analisisnya terhadap terjadinya
peningkatan perilaku delinkuen yang dilakukan remaja di daerah kumuh.
Menurut Cohen, perilaku delinkuen di kalangan remaja kelas bawah
merupakan pencerminan atas ketidakpuasan terhadap norma-norma dan

4 Eva Achjani Zulfa, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Lubuk Agung, Bandung, 2016, hlm. 94.

4
nilai-nilai kelompok anak-anak kelas menengah yang mendominasi nilai
kultural masyarakat. Karena kondisi sosial yang ada dipandang sebagai suatu
kendala untuk mencapai suatu kehidupan yang sesuai dengan trend yang
ada, sehingga mendorong kelompok remaja kelas bawah mengalami konflik
budaya atau dikenal dengan “status frustration”. Akibatnya keterlibatan anak-
anak kelas.

B. Penggunaan Hukum Adat Bajo Dalam Menyelesaikan Tindak Asusila


Terhadap Anak

Hukum adat pada hakikatnya merupakan hukum yang tidak tertulis, dan
merupakan hukum kebiasaan yang mana kebiasaan – kebiasaan tersebut
mempunyai akibat hukum tersendiri. Menurut Barend Ter Haar. B.Zn, yang
dimaksud delik adat adalah delik (pelanggaran) itu juga adalah setiap gangguan
dari suatu pihak terhadap keseimbangan dimana setiap pelanggaran itu dari satu
pihak atau dari sekelompok orang berwujud atau tidak berwujud berakibat
menimbulkan reaksi (yang besar kecilnya menurut ketentuan adat) suatu reaksi
adat, dan dikarenakan adanya reaksi adat itu maka keseimbangan harus dapat
dipulihkan kembali (dengan pembayaran uang atau barang). 5

Pada masyarakat adat Bajo, anak yang melakukan tindak asusila dari
tahun ke tahun semakin meningkat. Peningkatan tindak asusila yang dilakukan
oleh anak, hal ini dikarenakan globalisasi yang semakin meluas, sehingga dapat
mengakses video porno dengan mudahnya. Menurut ketua adat Bajo yaitu Bapak
Ndali Minggu, beliau mengatakan bahwa meningkatnya kasus kesusilaan yang
terjadi di kalangan remaja, pada awalnya diakibatkan oleh pengenalan (pacaran)
yang melampaui batas oleh anak-anak suku Bajo itu, kemudian akses media
massa yang masuk begitu cepatnya dalam masyarakat Bajo, dengan adanya
pengaruh dari media massa ini juga mengakibatkan rasa ingin tahu yang besar
oleh anak, seperti halnya video porno, cerita-cerita porno, tontonan televisi yang
ada unsur pornonya, dan sebagainya. Sehingganya menyebabkan kejahatan
kesusilaan yang dilakukan oleh anak terhadap anak. 6

5 Tolib Setiadi, Intisari Hukum Adat Indonesia Dalam Kajian Kepustakaan, Alfabeta, Bandung, 2008,
hlm. 345.
6 Pernyataan Bapak Ndali Minggu selaku Ketua Adat Bajo, (7 Maret 2014), diolah 2021

5
Pada masyarakat adat Bajo, anak yang melakukan tindak pidana tersebut
kesemuanya memiliki pendidikan rendah sehingga mudah terpengaruh oleh
kecanggihan dari teknologi dan pembicaraan yang sering melampaui batas.
Maka, oleh sebab itu harus dilakukan beberapa cara untuk menyelesaikan
permasalahan tindak asusila tersebut yang dilakukan oleh anak terhadap anak.
Dalam hal ini anak yang dibahas adalah yang sedang berusia 13 sampai 18
tahun. Berikut adalah beberapa cara penyelesaian perkara tindak asusila yang
dilakukan oleh anak terhadap anak :

a. Pendekatan Kekeluargaan.

Penyelesaian tindak pidana kesusilaan yang dilakukan oleh anak di


masyarakat Adat bajo dengan menggunakan pendekatan kekeluargaan, yang
melibatkan seluruh anggota yang terkait dan disaksikan oleh masyarakat
setempat. Pelaku, korban, keluarga di dudukan bersama di rumah ketua adat
yang disaksikan oleh masyarakat, kemudian ketua adat mencari jalan keluar
yang terbaik bagi anak dan pihak keluarga.7

b. Pemberian sanksi adat

Bapak Dali Minggu selaku Ketua Adat Bajo mengatakan bahwa dalam
pemberian sanksi adat terhadap pelaku tindak pidana kesusilaan yang
dilakukan oleh anak terdapat tiga tahapan: Pertama yaitu Dinikahkan, hal ini
dikarenakan orang tua kedua belah pihak merasa malu atas perbuatan yang
dilakukan oleh anak, dan keputusan yang diambil adalah untuk menikahkan
keduanya sehingga menghilangkan rasa malu yang dihadapi oleh keluarga.

Kedua yaitu Memberikan sejumlah materi kepada keluarga korban dan


untuk pembangunan desa, jika dalam mediasi kedua belah pihak sepakat
untuk memberikan denda saja, maka si pelaku hanya memberikan denda
tanpa menikahi si korban, denda adat tersebut tidak hanya sejumlah uang yang
telah ditentukan oleh ketua adat, tetapi si pelaku disuruh mengumpulkan
sejumlah batu kecil untuk dibentangkan di sepanjang jalan yang biasanya
dilewati oleh masyarakat sekitar.

7 Pernyataan Bapak Ndali Minggu, Selaku Ketua Adat Bajo, (8 Maret 2014), diolah 2021

6
Ketiga yaitu dengan dibuang atau diasingkan dari desa, maksud dari
pemberian sanksi adat ini, dikarenakan anak sebagai pelaku di sini sudah
berkeluarga dan melakukan tindak pidana kesusilaan, hal ini tidak dapat
dimaafkan oleh masyarakat dan menjadi suatu keputusan dari para tetua adat
8
untuk mengasingkan anak ke tempat yang telah ditentukan.

c. Diarak keliling kampong menggunakan bendera Ula-Ula.

Menggunakan hukum adat Bajo dalam penyelesaian tindak pidana


terhadap anak melibatkan keselurahan pihak-pihak yang bersangkutan. Dalam
hal ini suku Bajo sendiri, mengetahui ketika di desa terjadi ketidak seimbangan
atau merasa desanya terganggu dengan adanya suatu perkara, maka setiap
orang yang berperkara tersebut di arak keliling kampung dengan
menggunakan bendera yang disebut Ula -Ula. Ula-Ula sendiri merupakan
bendera kerajaan Sama’ atau sekarang disebut dengan suku Bajo. Jiwa dari
Ula-Ula adalah gambar laut atau mustika laut yang berkhasiat sebagai
penawar dan juga dapat memberikan keyakinan akan tercapainya suatu tujuan.
9

Menurut anggapan dan kepercayaan para leluhur terdahulu bahwa


ambar laut adalah hasil pertemuan matahari dan bulan disaat gerhana, yang
spermanya jatuh ke bumi.Ula-Ula sendiri berbentuk manusia, karena manusia
merupakan makhluk sempurna, memiliki jiwa, memiliki hati, mempunyai akal
dan pikiran, hingga selalu berkeinginan untuk bergerak maju.Ula-Ula ini
digunakan oleh masyarakat bajo tersebut ketika masyarakat lingkungannya
terganggu atau mengalami pencemaran. Pelaku di arak keliling kampung
dengan menggunakan bendera ini, dikarenakan bendera ini bergambarkan
manusia, jadi semua penyelesaian kasus dalam masyarakat Bajo ini
10
menggunakan hati, karena yang dihadapi adalah seorang manusia.

BAB III

8 Pernyataan Bapak Ndali Minggu, selaku Ketua Adat Bajo, (7 Maret 2014), diolah 2021
9 Pernyataan wakil Ketua Adat, Bapak Hakim Minggu, pada Tanggal 5 Maret 2014, diolah 2021
10 Arsip sejarah desa Jaya Bhakti, Kecamatan Pagimana, Kabupaten Luwuk Banggai yang ditulis
oleh Bapak Hakim Minggu pada tahun 1998.

7
KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Hukum adat pada hakikatnya merupakan hukum yang tidak tertulis, dan
merupakan hukum kebiasaan yang mana kebiasaan – kebiasaan tersebut
mempunyai akibat hukum tersendiri. Pada masyarakat adat Bajo, anak yang
melakukan tindak pidana kesusilaan dari tahun ke tahun semakin meningkat.
Peningkatan tindak pidana kesusilaan yang dilakukan oleh anak ini terutama
dikarenakan globalisasi yang semakin meluas, sehingga dapat mengakses video
asusila dengan mudahnya. Menurut ketua adat Bajo peningkatan kasus
kesusilaan yang terjadi di kalangan remaja, pada awalnya diakibatkan oleh
pengenalan (pacaran) yang melampaui batas oleh anak-anak suku Bajo itu,
Bentuk penyelesaian hukum adat Bajo terkait dengan tindak pidana kesusilaan
yang dilakukan oleh anak dapat diselesaikan dengan 3 cara, yang pertama
diselesaikan melalui pendekatan kekeluargaan yang melibatkan seluruh anggota
yang terkait dan disaksikan oleh masyarakat setempat lalu dicari penyelesaian
yang terbaik bagi kedua belah pihak. Kedua Pemberian sanksi adat yang
meliputi pernikahan oleh kedua belah pihak, pemberian sejumlah materi kepada
keluarga korban dan pembangunan desa, dibuang atau diasingkan dari desa
karena perbuatannya tidak dapat dimanfaatkan. Ketiga diselesaikan Diarak
keliling kampong menggunakan bendera Ula-Ula, yang mana digunakan oleh
masyarakat bajo tersebut ketika masyarakat lingkungannya terganggu atau
mengalami pencemaran.

B. Saran
Adanya eksistensi hukum adat merupakan salah satu hal yang sepatutnya
dilindungi dan diperhatikan dan dilestarikan oleh masyarakat dan pemerintah
sebagai entitas yang mengayomi dan menyelenggarakan berbagai fungsi-fungsi
pemerintahan. Hukum adat merupakan manifestasi daripada jati diri masyarakat
indonesia yang sepatutnya menjadi suatu refleksi atau inti dari peraturan
perundang-undangan di Indonesia selama masih tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip dasar yang menjadi landasan konstitusional Negara Republik
Indonesia.

Daftar Pustaka

8
Buku

Setiadi, Tolib. 2008. Intisari Hukum Adat Indonesia Dalam Kajian Kepustakaan.
Alfabeta: Bandung.

Djamil, M. Nasir. 2013. Anak Bukan Untuk Dihukum. Sinar Grafika : Jakarta.

E.S. Ardinato. 2008. Mengenal Adat Istiadat Hukum Adat di Indonesia. UNS Press:
Surakarta.

Rahmadi, Takdir. 2010. Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan


Mufakat. Raja Grafindo Persada : Jakarta.

Muhammad Busar. 2013. Pokok – Pokok Hukum Adat. Balai Pustaka : Jakarta.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Lain - Lain

Pernyataan Bapak Mirkan Balolo, Tokoh Masyarakat Adat Bajo, 30 Agustus 2013,
diolah 2021.

Arsip sejarah desa Jaya Bhakti, Kecamatan Pagimana, Kabupaten Luwuk Banggai,
Sulawesi Tengah, ditulis oleh Bapak Hakim Minggu, Wakil Ketua Adat Bajo
pada tahun 1998, diolah 5 Maret 2014.

Pernyataan Bapak Ndali Minggu, Ketua Adat Bajo, (7 Maret 2014), diolah 2021.

Pernyataan wakil Ketua Adat, Bapak Hakim Minggu, pada Tanggal 5 Maret 2014,
diolah 2021.

Arsip sejarah desa Jaya Bhakti, Kecamatan Pagimana, Kabupaten Luwuk Banggai
yang ditulis oleh Bapak Hakim Minggu pada tahun 1998.

Anda mungkin juga menyukai