Anda di halaman 1dari 10

SEJARAH HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN KEKERASAN

(CHILD ABUSE) DALAM KELUARGA

JURNAL
Mata Kuliah Sejarah Hukum dengan tema Child Abuse

Dosen :
Dr. Lathifah Hanim, S.H.,M.Hum.,M.Kn.

Disusun Oleh :
Nama : Fatikha Nurul Inayah, S.Psi
Nim : 20302300077

MAGISTER ILMU HUKUM


UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
2023
Sejarah Hukum Terhadap Anak Korban Kekerasan (Child Abuse) Dalam
Keluarga
Fatikha Nurul Inayah, S.Psi.
Magister Ilmu Hukum, Email: inayahnurul99@std.unssula.ac.id
Universitas Islam Sultan Agung, Semarang, Indonesia

Abstrak
Kekerasan dalam keluarga yang menimpa anak dalam lingkup rumah tangga semakin meningkat.
Tindak kekerasan dalam rumah tangga pada umumnya melibatkan pelaku dan korban diantara
anggota keluarga di dalam rumah tangga, sedangkan bentuk tindak kekerasan bisa berupa kekerasan
fisik dan kekerasan verbal (ancaman kekerasan). Adapun permasalahan yang dihadapi yaitu:
bagaimanakah dampak tindak kekerasan terhadap anak dalam keluarga dan bagaimanakah
perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga. Metode
penelitian yang dipergunakan yaitu penelitian yuridis normatif berangkat dari terjadinya kekaburan
norma dalam Pasal 26 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang tidak menerangkan
dengan jelas mengenai perlindungan anak dari kekerasan dalam rumah tangga. Hasil dari penelitian
yang dilakukan maka dapat diketahui bahwa dampak tindak kekerasan terhadap anak dalam keluarga
yaitu berdampak pada kesehatan fisik dan kesehatan mental anak. Perlindungan hukum terhadap
anak korban kekerasan dalam rumah tangga dengan memberikan sanksi bagi pelaku, kompensasi bagi
korban, pemulihan dan pengamanan diri korban berdasarkan UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak.

Kata kunci : Sejarah Hukum; Child Abuse; Kekerasan Dalam Keluarga

1. Pendahuluan

Menurut Komisi Nasional untuk mencegah penganiayaan anak amerika serikat, terdapat lebih
dari tiga juta kasus anak yang mengalami “penanganan salah” pada tahun 1995. Pada kasus
yang sama, setidaknya 1.215 anak meninggal karena child abuse dan neglect. Ada bukti 20%
anak mengalami sexual abuse dalam berbagai cara sebelum mereka mencapai dewasa 1.
Bagaimana dengan Indonesia ? kondisi Indonesia tampaknya jauh lebih memprihatinkan.
Banyak rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan, sehingga tanpa disadari sering
melakukan tindakan abuse terhadap anak –anak mereka sendiri. Anak-anak dipaksa untuk
bekerja, mengemis atau menjadi anak jalanan, menjadi pelacur, dan kegiatan membahayakan
lainnya. Menurut laporan Komisi Nasional perlindungan anak pada tahun 2002, ada sekitar 60
juta anak di bawah usia 15 tahun di Indonesia dan sekitar 1.6 juta diantaranya adalah pekerja
anak yang bekerja dalam kondisi mendekati perbudakan.

1
Block, R. W., & Palusci, V. J. (2006). Child abuse pediatrics: a new pediatric subspecialty. The Journal of
pediatrics, 148(6), 711-712.
Mengutip laporan Dian Kartika Sari, sekitar 60% dari anak-anak Indonesia tersebut berada
dalam resiko abuse. Puncak dari gunung ec child abuse di Indonesia adalah kekerasan yang
dialami oleh anak jalanan, meskipun sebenarnya ada juga kasus-kasus child abuse oleh
keluarga-keluarga yang berpendidikan baik dan secara sosial ekonomi mencukupi.

Salah satu sebab utamanya adalah karena dari segi budaya, sebagian besar orang Indonesia
percaya bahwa mereka dibenarkan untuk melakukan abuse terhadap anak dan mengabaikan
hak-hak anak. Sebab lainnya adalah karena masalah sosial ekonomi, yang menyebabkan
urusan perut menjadi utama, sedangkan masalah lainnya termasuk child abuse, tidak
mendapatkan prioritas.

Laporan-laporan di atas diperkuat oleh keterangan Seto Mulyadi, psikolog yang berkecimpung
di dunia nak-anal, yang mengungkapkan 50%-60% anak Indonesia mengalami abuse.
Berdasarkan data unicef tahun 10998, sekitar 40-70 ribu anak Indonesia menjadi korban
prostitusi. Yang lebih buruk adalah tidak ada tempat bagi anak-aak mendaptkan oerlindungan
dari orang tua, saudara, dan guru-guru mereka, yang sring kali justru menjadi orang-orang
yang melakukan abuse terhadap mereka. Polisi juga biasanya kurang memberikan perhatian
yang serius terhadap anak yang melaporkan kasus kekerasan bila tanpa disertai orang dewasa
lain. Dalam kenyataannya sebagian besar polisi Indonesia tampaknya hanya memberikan
keuntungan bila terlibat dalam suatu kasus. Memang ada bebrapa kemajuan dalam dunia
kepolisian, seperti menyediakan anggota polisi yang khusus bekerja pada unit yang menangani
kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak. mereka dilatih khusus untuk
menjadi lebih sensitive terhadap kebutuhan-kebutuhan khusus dari para korban. Namun
upaya ini masih harus lebih dikaji lebih lanjut efektifitasnya2.

Sayangnya Negara juga kurang menyadari bahwa tindakan child abuse meriupakan kejahatan
yang serius. Kenyataannya, sejumlah pasal dalam kode criminal atas kejahatan melawan anak-
anak, pasal-pasalnya hanya menyangkut masalah sexual abuse, sedangkan penyalahgunaan
lainnya, seperti physical abuse, emotional abuse, maupun anak yang ditelantarkan, tidak
mendapatkan perhatian.

Istilah child abuse umum digunakan oleh masyarakat barat. Istilah ini muncul dan ditemukan
atau lebih tepatnya, ditemukan setelah perang berakhir. Namun perlu dicatat, bahwa luka
fisik, pengabaian (neglect), emosi, dan sexual abuse pada anak telah dideskripsikan secara
akurat oleh dokter perancis pada tahun 1850 sampai dengan 1860-an. Kemudian setelah

2
Siswanto, S. (2007). Kesehatan Mental: Konsep, Cakupan, dan Perkembangannya. Yogyakarta: Andi Offset.
perang berakhir dan dengan semakin majunya dunia kedokteran, istilah ini menjadi semakin
terkenal dan familier3.

Kekerasan fisik mula-mula menjadi perhatian dan minat medis di Amerika. Kemudia kekerasan
fisik ini menjadi semakin mengemuka setelah mendapatkan sorotan dari media yang terus
menerus memberitakan kejadian-kejadian tersebut berkaitan dengan kebijakan politik
pemerintah. Media juga berperan dalam emmebangun consensus massa untuk melakukan
aksi bersama dan manggalang tekanan kepada pemerintah untuk membuat suatu peraturan
berkaitan dengan masalah tersebut4.

Berdasarkan uaraian diatas. Dapat dilihat perkembangan child abuse menjadi meluas, yang
dulunya bersifat pribadi menjadi urusan masyarakat dan pemerintah. Ada banyak actor yang
berperanan di dalamnya, mulai dari tenaga professional dokter, ahli hukum, polisi,
masyarakat, media sampai pemerintah yang berkepentingan dalam membuat peraturan. Juga
bisa dilihat adanya berbagai macam pandangan tentang abuse itu sendiri sehingga menjadi
agak sulit untuk memberikan batasan yang jelas terhadap tindakan-tindakan abuse maupun
actor-aktor yang berperan di dalamnya. Oleh karena itu pendekatan multidisiplin amat
diperlukan dalam memahas masalah child abuse.

Selain itu, gagasan tentang abuse harus disadari senantiasa berubah dari waktu ke waktu dan
juga beragam dari satu tempat ke tempat lainnya. Factor budaya mungkin menjadi salah satu
kendala utama untuk menerapkan suatu pengertian yang baku mengenai tindakan abuse.
Definisi dari barat tidak bisa begiru saja diterapkan untuk situasi Indonesia misalnya. Apalagi
system hukum perlu mendukung untuk mencari jalan keluar yang terbaik5.

2. Metode penelitian

Adapun metode penelitian yang dipergunakan dalam penulisan ini yaitu metode penelitian
hukum normatif dalam Pasal 26 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang tidak
menerangkan dengan jelas mengenai perlindungan anak dari kekerasan dalam rumah tangga.
Adapun penelitian hukum normatif mencakup penelitian terhadap sistematika hukum,
penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum, penelitian sejarah hukum dan penelitian
perbandingan hukum. Analisis terhadap bahan hukum yang diperoleh adalah secara
deskriptif, analisis dan argumentatif. Karena menggunakan penelitian normatif maka sumber

3
Hallett, C. (1995). Child abuse: an academic overview. Family violence and the caring professions, 23-49.
4
Block, R. W., & Palusci, V. J. (2006). Child abuse pediatrics: a new pediatric subspecialty. The Journal of
pediatrics, 148(6), 711-712
5
Mahmudi, I. N. (2019). Child Abuse Kekerasan Pada Anak Dalam Perspektif Pendidikan Islam (Doctoral
dissertation, UIN Raden Intan Lampung).
datanya adalah sumber data sekunder yang berupa bahan hukum baik bahan hukum primer
maupun sekunder.

3. Hasil penelitian dan pembahasan

3.1 Pengertian child abuse


Secara harfiah kekerasan diartikan sebagai "sifat atau suatu hal yang keras; kekuatan;
paksaan". Sedangkan secara terminologi kekerasan berarti "perbuatan seseorang atau
sekelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan
kerusakan fisik atau barang orang lain. “ Segala macam perbuatan yang menimbulkan
penderitaan baik itu berupa fisik atau menyebabkan kerusakan bagi orang lain dapat diartikan
sebagai kekerasan.
Menurut WHO (World Health Organization) kekerasan adalah menggunakan kekuatan fisik
atau kekuasaan, ancaman atau perlakuan kasar dengan mengakibatkan kematian, trauma,
meninggalkan kerusakan, menyebabkan luka, atau pengambilan hak. Kekuatan fisik dan
penggunaaan kekuasaan termasuk kekerasan meliputi penyiksaan fisik, penelantaran, dan
seksual.
Fontana pada tahun 1971 menyatakan bahwa termasuk child abuse yaitu malnutrisi dan
menelantarkan anak merupakan awal dari gejala perlakuan salah dan penganiayaan fisik
berada pada stadium akhir yang paling berat dari tingkatan perlakuan salah oleh orang tuanya
atau pengasuhnya. Yang dimaksud dengan child abuse dan neglect adalah perlakuan salah
terhadap fisik dan emosi anak, menelantarkan pendidikan dan kesehatannya dan terjadinya
kekerasan seksual pada anak6.

3.2 Kategori Child Abuse

Kekerasan tidak lah hanya diartikan sebagai perlakuan fisik saja, berikut ini kategori child
abuse, yaitu7 :
a. Physical abuse (perlakuan salah secara fisik), adalah ketika anak mengalami pukulan,
tamparan, gigitan, pembakaran, atau kekerasan fisik lainnya. Seperti bentuk abuse
lainnya, physical abuse biasanya berlangsung dalam waktu yang lama. Atau tindakan yang
dilakukan dengan niat untuk menyakiti fisik anak seperti: memukul, menendang,
melempar, menggigit, menggoyang-goyang, memukul dengan sebuah obyek, menyulut
tubuh anak dengan rokok, korek api, menyiram anak dengan air panas, mengikatnya, tidak

6
LESTARI, E. P. Analisis Yuridis Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penganiayaan Terhadap Anak (Putusan
Nomor: 142/Pid. Sus/2017/PN. Agm).
7
Siswanto, S. (2007). Kesehatan Mental: Konsep, Cakupan, dan Perkembangannya. Yogyakarta: Andi Offset.
memberi makanan yang layak untuk anak dan sebagainya. Persentase tertinggi usia 0—5
tahun (32,3%), terendah usia 13—15 tahun (16,2%).
b. Sexual abuse (perlakuan salah secara seksual), adalah ketika anak diikutsertakan dalam
situasi seksual dengan orang dewasa atau anak yang lebih tua. Kadang ini berarti adanya
kontak seksual secara langsung seperti persetubuhan, atau sentuhan atau kontak genital
lainnya. Tetapi itu juga bisa berarti anak dibuat untuk melihat tindakan seksual, melihat
kelamin orang dewasa, melihat pornografi, atau menjadi bagian dari produksi pornografi.
Anak biasanya tidak dipaksa ke dalam situasi seksual, sebaliknya mereka dibujuk, disogok,
ditipu, atau dipaksa. Persentase tertinggi usia 6—12 tahun (33%), terendah usia 05 tahun
(7,7%).
c. Neglect (diabaikan/dilalaikan) adalah ketika kebutuhan-kebutuhan dasar anak tidak
dipenuhi. Kebutuhan-kebutuhan tersebut meliputi kebutuhan makanan bergizi, tempat
tinggal yang memadai, pakaian, kebersihan, dukungan emosional, cinta dan afeksi,
pendidikan, keamanan. Atau tindakan yang bersangkut masalah tumbuh kembang anak,
seperti tidak menyenangkan rumah dan memberi pakaian yang layak, mengunci anak di
dalam kamar atau kamar mandi, meninggalkan anak di dalam periode waktu yang lama,
menempatkan anak di dalam situasi yang membahayakannya. Apabila orang tua tidak
dapat memenhi kebutuhan baik dalam hal kebutuhan fisik, psikis ataupun emosi, tidak
memberikan perhatian dan sarana untuk berkembang merupakan tindakan penelantaran.
Persentase tertinggi usia 0—5 tahun (74,7%), terendah usia 16—18 tahun (6,0%).
d. Emotional abuse, (perlakuan salah secara emosi) adalah ketika anak secara teratur
diancam, diteriaki, dipermalukan, diabaikan, disalahkan, atau salah penanganan secara
emosional lainnya, seperti membuat anak menjadi lucu dan ditertawakan, memanggil
namanya dengan sebutan tidak layak, dan selalu dicari-cari kesalahannya. Atau terjadi bila
orang dewasa mengacuhkan, meneror, menyalahkan, mengecilkan, dan sebagainya yang
membuat anak merasa inkonsisten dan tidak berharga. Perlakuan mempermalukan,
mencaci, memaki dan memanggil dengan sebutan negatif dilakukan terus menerus
sehingga anak merasa bahwa dirinya adalah apa yang diucapkan kepadanya. Anak yang
terus dimaki merasa dirinya tidak berguna dan menganggap memang dirinya buruk.
Persentase tertinggi usia 6—12 tahun (28,8%), terendah usia 16—18 tahun (0,9%).

3.3 Child abuse (kekerasan pada anak) menurut islam

Anak adalah makhluk hidup yang ibarat seperti kertas putih yang akan ditulis oleh orang tua
dan lingkungan dengan bermacam warna. Anak akan tumbuh hitam jika dia diwarnai dengan
hitam dan akan putih jika dihiasi dengan hal yang putih bersih. Dalam Islam, anak dianggap
bagian dari kehidupan dunia dan perhiasannya8.
Contoh nyata mengenai perhatian terhadap anak adalah Rasulullah Saw. Beliau
memperlakukan anak dengan lembutdan kasih sayang, senang bermain bersama dan menjaga
anak-anak dengan baik. Imam meriwayatkan bahwa menurut cerita Anas, Rasulullah pernah
menyatakan bahwa akan menyegerakan shalat jika ada suara anak kecil menangis, karena hati
ibunya tersentuh sehingga ingin segera menenangkannya. Contoh lainnya, Rasulullah sangat
menyayangi cucunya yakni Hasan dan Husain. Rasul “Husain bagian diriku dan aku sebagian
dari dirinya. Semoga Allah menganugerahkan cinta kepada orang yang mencintainya. Hasan
dan Husain adalah dua dari sekian keturunanku.

3.4 Metode pendidikan ganjaran dan hukuman menurut islam

Al-Ghazali memaparkan bahwa “jika anak melakukan perbuatan baik dan akhlak yang terpuji
hendaknya ia mulyakan dan dipuji. Jika mungkin, ia diberi hadiah yang baik, dipuji dihadapan
orang-orang wulang dan berkedudukan sebagai motivasi baginya”. Sedangkan dalam
menerapkan hukuman menurut al-Ghazali yakni; agar seorang guru tidak cepat-cepat
menjatuhkan hukuman dan celaan, sebab akan meremehkan celaan itu dan ia akan mudah
melakukn kejelekan dan membuang pengaruh perkataan hatinya. Oleh karena itu ayah harus
menjaga wibawanya ketika berbicara dengannya dan jangan sering-sering mencela. Demikian
pula ibu, hendaknya menakut-nakuti anaknya kepada ayahnya dan waktu-waktu boleh
mencelanya9.
Anak ketika dia melakukan perbuatan baik, hendaklah dipuji karena dia akan merasa
diapresiasi, sehingga dia termotivasi untuk melakukan perbuatan baik lainnya karena dia
merasa orang tuanya sangat perhatian dengannya. Tapi sebaliknya, jika anak melakukan
kesalahan seharusnya diberi peringatan terlebih dahulu, dijelaskan bahwa perbuatannya itu
tidak baik dan menjelaskan bagaimana yang baik itu. Jika anak langsung dicela, dipermalukan,
dimarahi, dipukul, dihajar akan berdampak pada perasaannya, hatinya akan terluka, bahkan
dia bisa menyimpan dendam. Dengan begitu, jelas lah bahwa Islam sangat menghargai anak,
memerintahkan orang tua untuk mendidik anak dengan baik sesuai dengan apa yang telah
diajarkan Rasulullah.

3.5 Dampak tindak kekerasan pada anak dalam lingkungan keluarga

8
Nurjanah, N. (2018). Kekerasan Pada Anak Dalam Perspektif Pendidikan Islam. Al-Afkar, Journal For Islamic
Studies, 27-45.
9
Nasokah, N. (2019). Konsep Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan Anak Dalam Islam (studi Kitab
Ihya’Ulumuddin). Manarul Qur'an: Jurnal Ilmiah Studi Islam, 19(2), 115-124.
Kekerasan pada anak adalah segala bentuk tindakan yang melukai dan merugikan fisik,
mental, dan seksual termasuk hinaan meliputi: Penelantaran dan perlakuan buruk, Eksploitasi
termasuk eksploitasi seksual, serta trafficking jual-beli anak. Sedangkan Child abuse adalah
semua bentuk kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh mereka yang seharusnya
bertanggung jawab atas anak tersebut atau mereka yang memiliki kuasa atas anak tersebut,
yang seharusnya dapat di percaya, misalnya orang tua, keluarga dekat, dan guru. Dampak yang
terjadi akibat kekerasan tersebut mungkin saja diingat dalam jangka panjang oleh anak hingga
ia merajak dewasa. Dan tidak menutup kemungkinan kekerasan yang terjadi menimpanya
akan ia lakukan juga terhadap anaknya nanti10.
Selama ini, berbagai kasus telah membuktikan bahwa terjadinya kekerasan terhadap anak
sering disertai dengan penelantaran terhadap anak. Baik penganiayaan terhadap anak
maupun penelantaran terhadap anak dapat memberikan dampak pada kesehatan fisik dan
kesehatan mental anak. Dampak terhadap kesehatan fisik bisa berupa: luka memar, lukaluka
simetris di wajah (di kedua sisi), punggung, pantat dan tungkai. Luka yang disebabkan karena
suatu kecelakaan biasanya tidaklah memberikan gambaran yang simetris 11.
Dari segi tingkah lahu anak-anak yang sering mengalami penganiayaan sering menunjukkan :
penarikan diri, ketakutan atau mungkin juga tingkah laku agresif, emosi yang labil. Mereka
juga sering menunjukkan gejala depresi, jati diri yang rendah, kecemasan, adanya gangguan
tidur, phobia, kelak bisa tumbuh menjadi penganiaya, menjadi bersifat keras, gangguan stress
pasca trauma dan terlibat dalam penggunaan zat adiktif.

3.6 Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Tindak Pidana Kekerasan Dalam keluarga

Perlindungan hukum terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga menjadi tanggung
jawab seluruh komponen bangsa. Perlindungan hukum tidak hanya pengaturan mengenai
sanksi pidana kepada pelaku, melainkan juga mengatur tentang proses tuntutan hukumnya
(hukum formil/acara), kompensasi, pemihan dan pengamanan diri korban yang telah di atur
di dalam Peraturan perundang-undangan Indonesia seperti KUHP, Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah tangga yang bertujuan untuk mencegah segala bentuk
kekerasan dalam rumah tangga dan memberikan perlindungan hukum bagi korban kekerasan
dalam rumah tangga. Berdasarkan Pasal 20 UU Perlindungan Anak menyatakan bahwa yang

10
Zahirah, U., Nurwati, N., & Krisnani, H. (2019). Dampak dan penanganan kekerasan seksual anak di
keluarga. Prosiding Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat, 6(1), 10.
11
Rozak, P. (2013). Kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga perspektif hukum islam. Sawwa: Jurnal Studi
Gender, 9(1), 45-70.
berkewajiban dan bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak adalah
negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua12.
Selanjutnya mengenai perlindungan dan tanggungjawab terhadap anak diuraikan dalam Pasal
21 dan 25 UU Perlindungan Anak. UU No. 23 Tahun 2004 pada ketentuan Pasal 2 juga
mencakup mengenai perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga. Melalui
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak yang menerangkan bahwa
pengertian dari kekerasan adalah suatu tindak pidana yang telah dapat mengakibatkan luka-
luka, hilangnya anggota tubuh atau hilangnya fungsi anggota tubuh yang diharapkan akan
sembuh lagi dengan sempurna13.
Penjatuhan pidana yang diutamakan adalah pelaku sebagai bentuk tanggungjawab dari
perbuatan yang dilakukannya dengan dipenjara sekian tahun, korban hanya dapat menerima
tindakan pembalasan tersebut dengan penjatuhan hukuman yang diberikan hakim kepada
pelaku. Setelah mendapat putusan yang bersifat incracht dari pengadilan, si anak sebagai
korban dikembalikan pada orang tuanya tanpa direhabilitasi. Kemudian dalam hal medis,
seperti melakukan perawatan (kalau terdapat luka fisik), dan visum anak sebagai korban
dibebani biaya sendiri. Dalam hal ini anak tidak memperoleh ganti kerugian seperti restitusi
maupun kompensasi dan bantuan hukum lainnya. Kemudian, secara lebih luas sanksi-sanksi
pidana pada tindak kekerasan anak (child abuse) di Indonesia telah termuat dalam pasal 76 C
dan Pasal 80 pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014.

4. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan di atas maka dapat ditarik simpulan bahwa pengaturan hukum
terhadap tindak pidana kekerasan anak (Child Abuse) di Indonesia ialah diatur dalam Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 dan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 Tentang
Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Adapun terdapat beberapa pasal khusus mengenai
penganiayaan atau kekerasan pada anak yang diatur dalam pasal 1 Ayat (15), pasal 76C dan
pasal 80 UndangUndang Nomor 35 Tahun 2014. Perubahan UU mengenai Perlindungan Anak
Selain itu, sanksi pidana yang dikenakan bagi para pelaku tindak kekerasan pada anak ialah
maksimun 15 tahun penjara dengan tambahan sanksi pidana denda. Hal tersebut dilakukan
sebagai langkah atau upaya terakhir untuk memberikan efek jera pada pelaku kejahatan
dengan menempatkannya di penjara agar pelaku tidak mengulangi perbuatannya.

5. Daftar Pustaka

12
Karang, I. G. N. A. B., Sugiartha, I. N. G., & Suryani, L. P. (2021). Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban
Tindak Pidana Kekerasan (Child Abuse) di Indonesia. Jurnal Analogi Hukum, 3(3), 350-354.
13
Darmasuara, I. G. N. A., & Darmadi, A. N. Y. (2015). Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban
Kekerasan. Jurnal Kerta Wicara, 5(02), 1-5.
Jurnal :
Karang, I. G. N. A. B., Sugiartha, I. N. G., & Suryani, L. P. (2021). Perlindungan Hukum Terhadap
Anak Korban Tindak Pidana Kekerasan (Child Abuse) di Indonesia. Jurnal Analogi
Hukum, 3(3), 350-354.
Darmasuara, I. G. N. A., & Darmadi, A. N. Y. (2015). Perlindungan Hukum Terhadap Anak
Korban Kekerasan. Jurnal Kerta Wicara, 5(02), 1-5.
Zahirah, U., Nurwati, N., & Krisnani, H. (2019). Dampak dan penanganan kekerasan seksual
anak di keluarga. Prosiding Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat, 6(1), 10.
Rozak, P. (2013). Kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga perspektif hukum
islam. Sawwa: Jurnal Studi Gender, 9(1), 45-70.
Nurjanah, N. (2018). Kekerasan Pada Anak Dalam Perspektif Pendidikan Islam. Al-Afkar,
Journal For Islamic Studies, 27-45.
Nasokah, N. (2019). Konsep Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan Anak Dalam Islam (studi
Kitab Ihya’Ulumuddin). Manarul Qur'an: Jurnal Ilmiah Studi Islam, 19(2), 115-124.
LESTARI, E. P. Analisis Yuridis Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penganiayaan Terhadap
Anak (Putusan Nomor: 142/Pid. Sus/2017/PN. Agm).
Mahmudi, I. N. (2019). Child Abuse Kekerasan Pada Anak Dalam Perspektif Pendidikan
Islam (Doctoral dissertation, UIN Raden Intan Lampung).
Hallett, C. (1995). Child abuse: an academic overview. Family violence and the caring
professions, 23-49.
Block, R. W., & Palusci, V. J. (2006). Child abuse pediatrics: a new pediatric subspecialty. The
Journal of pediatrics, 148(6), 711-712.

Buku :
Siswanto, S. (2007). Kesehatan Mental: Konsep, Cakupan, dan Perkembangannya. Yogyakarta:
Andi Offset.
Azizah, N. (2016). Nilai Keadilan Terhadap jaminan Kompensasi Bagi Korban Kejahatan Sebuah
Kajian Filosofis–Normatif.

Peraturan :
Indonesia, R. (2015). Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak.
Indonesia, R. (2002). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak. Kementerian Pemberdayaan Perempuan, Republik Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai