RESEARCH ARTICLE
magdagirsang1@student.uns.ac.id
ABSTRACT
The problem of sexual violence is a form of crime that harasses and tarnishes human dignity and deserves
to be categorized as a type of extraordinary crime. Not a few cases of sexual violence also occur in children.
Most of recent cases, children are the targets and targets of sexual violence. Sexual violence is defined as a
series of relationships or interactions between a child and an older or more knowledgeable child or adult (a
foreigner, sibling or person in charge has the responsibility to look after the child such as a parent or
caregiver). The efforts to stop violence are important because violence has caused various injuries to victims.
Children who have been exposed to the problem of sexual violence will have prolonged trauma experienced
by the victim, feelings of shame, fear, so that it is sometimes difficult for victims to express the violence they
have experienced. In handling it, there are not a few cases of violence against children and women floating
around without a clear legal solution. Therefore, a special law is needed which is expected to prevent and
protect victims.
Keywords: Child, Violence, Protection, Sexuality, Law
Masalah kekerasan seksual merupakan bentuk kejahatan yang melecehkan dan menodai
harkat kemanusiaan, serta patut dikategorikan sebagai jenis kejahatan luar biasa (extra
ordinary crime). Tidak sedikit kasus kekerasan seksual terjadi pula pada anak anak. Pada saat
ini anak anak menjadi sasaran dan target dari kekerasan seksual. Kekerasan seksual
didefinisikan sebagai serangkaian hubungan atau interaksi antara seorang anak dengan
seseorang yang lebih tua atau anak yang lebih berpengetahuan atau orang dewasa (orang
asing, saudara kandung atau orang yang tanggung jawab memiliki tanggung jawab untuk
memelihara anak tersebut seperti orang tua atau pengasuh). Upaya untuk menghentikan
kekerasan merupakan hal penting, karena kekerasan telah menimbulkan berbagai luka pada
korban. Anak anak yang sudah terkena masalah kekerasan seksual akan memiliki trauma
yang berkepanjangan dialami oleh korban, perasaan malu, ketakutan, sehingga
mengakibatkan korban terkadang sulit untuk mengungkapkan kembali kekerasan yang
© Author(s). This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.
Published by Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Universitas Sebelas Maret, Indonesia
Souvereignty : Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional | Volume 1, Nomor 3, Year 2022 511
pernah dialaminya. Dalam penangangannya, tidak sedikit kasus kekerasan terhadap anak
dan perempuan yang mengambang tanpa solusi hukum yang jelas. Oleh karena itu
diperlukan Undang Undang Khusus yang diharapkan dapat mencegah dan melindungi
korban.
Kata Kunci: Anak, Kekerasan, Perlindungan, Seksual, Undang-Undang Khusus
INTRODUCTION
Anak merupakan seorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak
yang masih dalam kandungan, seperti yang tertera dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak yang menjelskan mengenai apa yang
dimaksud dengan anak. Anak yaitu karunia dan anugrah Tuhan Yang Maha Esa yang pada
dirinya telah dilekatkan sebagai manusia harkat dan martabat yang seutuhnya. Semua anak
yang lahir ke dunia ini mempunyai harkat dan martabat yang wajib dijunjung tinggi oleh
pemerintah atau siapapun dan setiap hak-hak anak harus diberikan tanpa hak tersebut
diminta oleh anak itu sebelumnya.
Dalam buku yang ditulis oleh John Gray yang berjudul Childrens are from Heavens
menjelaskan bahwa dilahirkan anak-anak baik dan tidak berdosa. Kita sebagai manusia
harus dimilikinya tanggung jawab untuk didukungnya mereka sehingga tertarik keluar
potensi dan bakatnya. Oleh karena itu, anak-anak dibutuhkannya kita (maksudnya orang
yang disekitarnya berada) untuk mendidik mereka atau dibuat mereka lebih baik.
Bergantung terhadap dukungan yang kita berikan untuk anak tumbuh dan berkembang.
Pernyataan John Gray itu ditegaskan yaitu anak yang dari lahi memiliki keterbatasannya
karena kodrat dari anak tersebut sehingga menjadi tidak berdaya, dan penentunya orang
dewasa pada cerah atau nasibnya suram dan masa depan anak. Terdapat dilindunginya anak
terdapat beberapa alasan, yaitu yang pertama anak adalah penerus generasi bangsa, ditangan
merekalah masa depan bangsa indonesia ini dipertaruhkan, yang kedua anak adalah bagian
dari secara kodrat masyarakat memiliki sifat yang sehingga terlindungi harus yang lemah.1
Pada saat ini anak anak menjadi sasaran dan target dari kekerasan seksual. Kekerasan
seksual didefinisikan sebagai serangkaian hubungan atau interaksi antara seorang anak
dengan seseorang yang lebih tua atau anak yang lebih berpengetahuan atau orang dewasa
(orang asing, saudara kandung atau orang yang tanggung jawab memiliki tanggung jawab
untuk memelihara anak tersebut seperti orang tua atau pengasuh) dimana anak tersebut
dipergunakan sebagai objek pemuas bagi kebutuhhan seksual mereka. Rendahnya kualitas
perlindungan anak di Indonesia banyak menuai kritik dari berbagai elemen masyarakat.
pertanyaan yang sering dilontarkan adalah sejauh mana pemerintah telah berupaya
memberikan perlindungan (hukum) pada anak sehingga anak dapat memperoleh jaminan
atas kelangsungan hidup dan penghiduannya sebagai bagian dari hak asasi manusia. Anak
1
Anggara, Gede Nyoman Gigih, and Made Subawa. "Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai
Korban Kekerasan." Journal Ilmu Hukum Kertha Wicara 7 (2016).
© Author(s). This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License .
Published by Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Universitas Sebelas Maret, Indonesia
512 Souvereignty : Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional | Volume 1, Nomor 3, Year 2022
juga memiliki eksistensi dalam kehidupan dan kemanusiaan. Namun, hak-hak yang dimiliki
oleh anak belum sepenuhnya terpenuhi.2
Kekerasan Seksual bahkan terjadi pula dilingkungan yang seharusnya memberikan
edukasi serta Pendidikan terhadap para anak anak. Kekerasan seksual yang terjadi di sekolah
berdasarkan data dari Hasil data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia menunjukkan
bahwa telah terjadi 13 kasus (62%)di jenjang Sekolah Dasar,5 kasus (24%) di jenjang
Sekolah Menegah Pertama dan 3 kasus (14%) di jenjang Sekolah Menengah Atas.
Meningkatnya angka kasus kejahatan kekerasan seksual dalam lingkungan sekolah terjadi
disebabkan anak mudah untuk dimingi-imingi, adanya ancaman yang diberikan oleh
gurunya, ancaman tersebut antara lain adalah adanya rasa takut akan diberikan nilai kurang
atau buruk bahkan hingga tidak naik kelas,Selain itu, kurangnya pemahaman anak tentang
pengenalan dan pengetahuan sex, yang dimaksud dengan kegiatan sex sehingga
menyebabkan anak tidak menyadari bahwa dirinya telah mengalami perbuatan pelecehan
seksual. Hal tersebutlah yang menyebabkan pentingnya sex education atau pendidikan seks
terhadap anak – anak sedini mungkin.3
Perlindungan Hukum terutama pada para anak yang menjadi korban kekerasan
seksual merupakan hal yang sangat penting. Instrumen perlindungan hukum akan menjadi
unsur untuk mengatur warga negaranya yang menjadi korban para pelaku tindak pidana
terutama dalam kekerasan seksual. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 Ayat 3 yang
berbunyi: Indonesia adalah negara hukum. Ini berarti bahwa Indonesia adalah negara yang
berdasarkan atas hukum. Dengan sendirinya perlindungan hukum menjadi unsur esensial
serta menjadi konsekuensi dalam negara hukum dan Negara wajib menjamin hak-hak
hukum warga negaranya.4
Indonesia berusaha untuk menjamin dan menjaga seluruh warganya dari berbagai
tindakan kekerasan seksual. Hal ini diwujudkan dalam pengesahan RUU PKS yang di
sahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat pada 12 April 2022. RUU PKS hadir sebagai upaya
dari bebrbagai kasus kekerasan seksual terutama terhadap para perempuan maupun anak
anak yang kian hari kian meningkat. Kekerasan seksual menimbulkan dampak yang luar
biasa terhadap korban, baik dari segi psikis seperti lebam, luka luka, maupun gangguan pada
anggota tubuh yang vital hingga mental dikarenakan luka batin yang mendalam. RUU PKS
menjadi penting agar dapat menutup dan menyempurnakan celah-celah dlaam penanganan
kekerasan seksual. Indonesia dapat melindungi bangsa kita dengan menciptakan sistem
pencegahan, pemulihan, penanganan, rehabilitasi yang benar-benar dapat menghapuskan
kekerasan seksual. Oleh karena itu, dengan banyaknya pengaduan kekerasan seksual yang
tidak tertangani dengan baik karena belum ada payung hukum yang memiliki substansi yang
tepat, pengesahan RUU PKS diharapkan menjadi jalan keluar serta perlindungan terutama
bagi anak anak di Indonesia.
2
Kurniawati, Anggar. "Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual di Kota
Surakarta (Studi Kasus Pelayanan Tepadu Perempuan dan Anak Surakarta)." Jurnal Hukum Pidana dan
penanggulangan Kejahatan 3, no. 2 (2014): 115-123.
3
Dewi, Ni Luh Putu Ratih Sukma, and Sagung Putri ME Purwani. "Kebijakan Pidana terhadap Kekerasan
Seksual yang Terjadi di Dunia Pendidikan." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 9, no. 7 (2021): 1235-1248.
4
Yusyanti, Diana. "Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Dari Pelaku Tindak Pidana Kekerasan
Seksual." Jurnal Penelitian Hukum De Jure 20, no. 4 (2020): 619-636.
© Author(s). This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.
Published by Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Universitas Sebelas Maret, Indonesia
Souvereignty : Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional | Volume 1, Nomor 3, Year 2022 513
METHOD
Penelitian tentang upaya perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan
seksual dikaji menurut hukum pidana Indonesia, sebagai salah satu upaya pencegahan
adanya tindak pidana kekerasan seksual ini merupakan suatu penelitian hukum dengan
mempergunakan cara pendekatan yuridis sosiologis. Pendekatan yuridis adalah pendekatan
yang memakai kaidah-kaidah serta perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah
yang diteliti, sedangkan pendekatan sosiologis adalah pendekatan yang memakai data primer
dengan dukungan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari masyarakat
secara langsung diperoleh dari aparat penegak hukum yang berhubungan dengan penelitian
ini5
Tindak kekerasan seksual terhadap anak, siswa perempuan dan atau laki – laki menjadi
salah satu perilaku bertentangan dengan HAM terutama terhadap anak (right of child). Pada
kenyataannya mengenai maraknya peningkatan kasus pelecehan seksual yang dialami oleh
anak menunjukkan bahwa anak – anak tersebut cenderung kurang mendapatkan rasa
perhatian, perlindungan, serta sering kali terabaikan keberadaannya dalam lingkungan
sekitarnya seperti orang tuanya, keluraganya, lingkungan pertemanan, saat belajar disekolah,
dikampus maupun sekitarnya. Bagi anak anak mengartikan tindakan kekerasan seksual
tersebut sebagai salah satu perbuatan yang sangat mengerikan, memedihkan. Para korban
tersebut dapat mengalami trauma yang mendalam hingga menyerang mental, fisik, hingga
psikis korban akibat terjadinya kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang dialaminya.
Trauma korban pelecehan serta kekerasan seksual tersebut membutuhkan waktu yang
sangat lama untuk pulih dan normal kembali dalam menjalani kehidupannya seperti
sebelumnya. Bahkan banyak kasus terjadi saat ini yang membutuhkan hingga bertahun-
tahun agar dapat memulihkan trauma yang dialami oleh korban atau dampak dari perbuatan
kekerasan seksual tersebut.6
Anak sebagai penerus bangsa harus mendapat perlindungan. Pengaturan tentang hak-
hak anak dan perlindungannya, terdapat dalam berbagai ketentuan peraturan perundang-
undangan, antara lain:
1. Dalam bidang hukum dengan UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; UU No. 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak; UU No. 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak; UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
5
Soerjono Soekanto. (2006). Metode Analisis Data. Surya Citra.
6
Dewi, Ni Luh Putu Ratih Sukma, and Sagung Putri ME Purwani. "Kebijakan Pidana terhadap Kekerasan
Seksual yang Terjadi di Dunia Pendidikan." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 9, no. 7 (2021): 1235-1248.
© Author(s). This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License .
Published by Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Universitas Sebelas Maret, Indonesia
514 Souvereignty : Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional | Volume 1, Nomor 3, Year 2022
Sebelum di sahkannya RUU PKS, Undang Undang yang paling khusus mengatur
terkait perlindungan anaka anak sebagai korban dari kekerasan seksual adalah Keppres No.
36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi Tentang Hak-hak Anak (Convention on The
Rights of The Child). Hak-hak anak diatur dalam Pasal 34 dan Pasal 36 sebagai berikut:
- hak atas perlindungan dari eksploitasi dan penganiayaan seksual termasuk prostitusi
dan keterlibatan pornografi (Pasal 34);
- bentuk-bentuk eksploitasi lainnya (Pasal 36).
Bentuk perlindungan yang diberikan oleh Keppres ini memang sangat dibutuhkan
karena anak-anak dewasa ini sangat rentan dengan kejahatan seksual yang dapat saja
menimpanya dimanapun anak berada. Dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak, dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 8 ditentukan bahwa :7
7
Anonimous, UURI No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Citra Umbara, Bandung, 2012, hlm.
131-132.
© Author(s). This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.
Published by Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Universitas Sebelas Maret, Indonesia
Souvereignty : Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional | Volume 1, Nomor 3, Year 2022 515
© Author(s). This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License .
Published by Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Universitas Sebelas Maret, Indonesia
516 Souvereignty : Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional | Volume 1, Nomor 3, Year 2022
dilaksanakan oleh negara dan masyarakat demikian juga oleh orang tua maka anak-anak
akan terabaikan.
8
Arief, Barda Nawawi. Beberapa aspek kebijakan penegakan dan pengembangan hukum pidana. Citra
Aditya Bakti, 1998.
9
Budiarta, I. Wayan, and I. Gusti Ngurah Parwata. "Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dan
Perempuan Selaku Korban Kejahatan Seksual." Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum 8, no. 6 (2019): 1-15.
10
Niko, Nikodemus, Atem Atem, Alif Alfi Syahrin, Alfin Dwi Rahmawan, and Anggi Mardiana.
"Perjuangan Kelas Pengesahan Ruu Penghapusan Kekerasan Seksual." Jurnal Ilmiah Dinamika Sosial 4, no. 2
(2020): 225-246.
© Author(s). This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.
Published by Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Universitas Sebelas Maret, Indonesia
Souvereignty : Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional | Volume 1, Nomor 3, Year 2022 517
Jika dilihat dari urgensi pengesahan RUU PKS terdapat berbagai point yang menjadi
alasan penting mengenai perlunya keberadaan undang-undang secara khusus (lex specialis)
tentang kekerasan seksual diantarnya ialah:
a. Di Indonesia kasus mengenai kekerasan seksual dalam keadaan darurat baik dari
jumlah pelaporan, penanganan, pemulihan korban dan penghukuman terhadap
pelaku;
b. Perempuan serta anak anak yang seringkali menjadi korban kekerasan seksual
mengalami banyak kerugian baik dari segi materiel maupun imateriel;
c. Seringkali penanganan hukum terkait kasus kekerasan seksual tidak berspektif
korban;
d. Kekerasan seksual dianggap sebagai kejahatan kesusilaan yang dikaitkan dengan
jejak moralitas korban baik oleh masyarakat ataupun hukum;
e. Instrumen hukum yang ada belum cukum mampu menangani penyelesaian kasus
kekerasan seksual secara maksimal, terutama jika dlihat dari sisi ketersediaan
peraturannya.
f. Untuk mengurangi angka kekerasan seksual, harus mengoptimalisasikan fungsi
lembaga-lembaga yang membawahi sektor penanganan kasus kekerasan seksual.
g. Pentingnya memaksimalkan fungsi rehabilitasi & pemulihan yang tepat untuk
korban kekerasan seksual.
h. Akses bagi korban untuk mencari, mengupayakan & memperoleh keadilan belum
terbuka lebar.
Pada faktanya memang pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang
tentang Penghapusan Kekerasan Seksual atau yang dikenal dengan “RUU PKS” harus
segera dilakukan oleh pemangku kebijakan melihat berbagai situasi dan kondisi terkait isu
kekerasan seksual yang telah terjadi. Kehadiran RUU PKS dibentuk untuk menegakkan
keadilan bagi korban yang seringkali tidak mendapat penanganan serta perlindungan
sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, di dalam RUU PKS termuat secara rinci dan
spesifik terkait berbagai hak korban kekerasan seksual. Kemudian dalam bentuk
pemberdayaan pun RUU PKS turut mencantumkan hak korban serta keluarganya untuk
memperoleh jaminan kesehatan dan jaminan sosial guna keberlanjutan hidupnya. Selain itu
pelaku juga akan mendapatkan rehabilitasi agar tidak mengulangi perbuatan yang
dilakukannya.
RUU PKS pun sudah memuat peraturan terkait kewajiban serta larangan kepada
aparat penegak hukum yang menangani kasus kekerasan seksual, yang paling utama adalah
kewajiban untuk menjamin korban memperoleh pendamping yang memiliki pengetahuan
dan komptensi menggunakan perspektif HAM dan gender dalam menangani kasus korban.
Selain itu tersedianya program yang dibentuk sebagai pidana tambahan bagi pelaku yaitu
dengan membayar ganti rugi (restitusi) baik kerugian secara materiel maupun imateriel.
Hal tersebut dilakukan guna memastikan bahwa korban memiliki keberanian serta
tanpa rasa takut melaporkan atas kekerasan yang menimpanya. Adapun demikian, ruang
lingkup bentuk kekerasan seksual yang dapat dipidanakan dalam ketentuan RUU PKS telah
dikategorikan menjadi 9 jenis dan/atau bentuk, diantaranya meliputi:
1. Pelecehan seksual;
2. Eksploitasi seksual;
3. Pemaksaan kontrasepsi;
© Author(s). This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License .
Published by Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Universitas Sebelas Maret, Indonesia
518 Souvereignty : Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional | Volume 1, Nomor 3, Year 2022
4. Pemaksaan aborsi;
5. Perkosaan;
6. Pemaksaan perkawinan;
7. Pemaksaan pelacuran;
8. Perbudakan seksual; dan
9. Penyiksaan seksual.
ketentuan RUU PKS turut menaungi upaya pencegahan (preventif) atas kekerasan
seksual yang tercantum pada pasal 5 RUU PKS, yang menyatakan bahwa pencegahan
tersebut dilakukan melingkupi bidang pendidikan, infrastruktur, pelayanan publik, dan tata
ruang pemerintahan dan kelola kelembagaan serta ekonomi, sosial dan budaya. Selain itu
RUU PKS juga merumuskan bentuk-bentuk pencegahan dan penanggungjawab
penyelenggaraan atas kekerasan seksual merupakan tanggung jawab pemerintah dilakukan
bersama dengan masyarakat. Upaya pencegahan (preventif) yang diatur dalam RUU PKS
termuat lebih konkret. Upaya penindakan pelaku (represif) kekerasan seksual dalam RUU
PKS menjelaskan bahwa pidana pokok dalam bentuk ancaman penjara memiliki batas
maksimum dan minimum serta pidana tambahan dalam bentuk ganti rugi (restitusi),
pekerjaan sosial, dan pembinaan khusus serta pencabutan hak asuh.
Ketentuan RUU PKS tidak hanya mengatur tentang hak korban dalam bentuk
penanganan (pasal 23), perlindungan (pasal 24), dan pemulihan (pasal 26), RUU PKS juga
mencantumkan hak keluarga korban yang secara rinci diatur dalam pasal 33 diantaranya
adalah hak atas informasi, kerahasiaan identitas, keamanan, untuk tidak dituntut secara
pidana ataupun digugat secara perdata, pemberdayaan ekonomi, fasilitas pendidikan,
layanan dan jaminan kesehatan dan tentunya dengan jaminan sosial. Selain itu ketentuan
dalam RUU PKS ini turut serta menpidana jamin adanya pemenuhan hak bagi korban dan
saksi yang merupakan penyintas disabilitas. Hal tersebut berupa sarana, prasarana,
penerjemah, persamaan kekuatan di depan hukum dalam kesaksian korban dan saksi, serta
menjamin pemenuhan hak korban atas fasilitas pemulihan yang sudah terintegrasi sehingga
korban tidak akan dirujuk ke berbagai tempat pemeberi layanan pemulihan.
Pasal 86 ayat (1) dan (2) RUU PKS menjelaskan terdapat ketentuan pemberatan
pidana yang dijatuhkan hakim dengan harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
kondisi korban (mengalami guncangan kejiwaan, luka berat, cacat permanen, meninggal
dunia, sedang hamil dan mengalami kehamilan, dan gangguan kesehatan); hubungan korban
dengan pelaku; pelaku ialah seorang pejabat; dan pelaku yang mempunyai pengaruh
dimasyarakat ataupun merupakan tokoh masyarakat. Kemudian dalam RUU PKS, pasal 52
sampai dengan pasal 78 telah memuat kewajiban serta larangan terhadap aparat penegak
hukum dalam menangani kasus kekerasan seksual dimulai saat proses pelaporan, proses
penyidikan, proses penuntutan dan pada saat proses pengadilan (persidangan-putusan).
Dalam RUU PKS pasal terkait perlindungan anak terdapat di dalam Pasal 74 yang
menyatakan bahwasannya Menteri menyelenggarakan Pelayanan Terpadu yang meliputi
penyediaan layanan bagi Anak yang memerlukan Pelindungan khusus yang memerlukan
koordinasi tingkat nasional dan internasional.
Dirumuskannya RUU PKS jika dilihat dari pentingnya tercipta suatu aturan hukum
dapat dihubungkan dengan pendapat Mochtar Koesmaatmadja. Menurut pendapatnya,
fungsi hukum adalah untuk menjamin keteraturan hidup bermasyarakat yang menyebabkan
seseroang hidup dalam kepastian sehingga bermuara pada keadilan. Keadilan harus dapat
© Author(s). This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.
Published by Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Universitas Sebelas Maret, Indonesia
Souvereignty : Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional | Volume 1, Nomor 3, Year 2022 519
diterapkan baik bagi pelaku, saksi dan korban. Oleh karena itu, berpedoman pada konsep
HAM yang menekankan pada hak-hak yang sama di depan hukum, apabila terjadi kesulitan
kepada salah satu pihak untuk mengakses keadilan maka dapat dikatakan sebagai
ketimpangan hukum karena hak-hak tidak terjamin. Kendati demikian sudah seharusnya
terdapat hukum yang mengatur tentang kekerasan seksual secara khusus dalam instrument
yang kuat dan tegas sehingga akan memudahkan korban untuk mencapai suatu keadilan
dengan hukum yang berpihak kepadanya dan menjamin ketertiban dalam hidup
bermasyarakat.11
CONCLUSION
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dijelaskan di babbab
sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Sesungguhnya usaha perlindungan anak sudah sejak lama ada dan diusahakan, baik
pengaturan dalam bentuk peraturan perundang-undangan maupun dalam
pelaksanaannya, baik oleh pemerintah maupun organisasi sosial. Namun demikian
usaha tersebut belum menunjukkan hasil yang memadai sesuai dengan kebutuhan
dan perkembangan masyarakat Indonesia. Keadaan ini disebabkan situasi dan
kondisi serta keterbatasan yang ada pada pemerintah dan masyarakat sendiri belum
memungkinkan mengembangkan secara nyata ketentuan peraturan perundang-
undangan yang ada.
2. RUU PKS menjadi urgensi yang sangat penting bagi penanganan kasus kekerasan
seksual di Indonesia mengingat belum adanya Undang Undang yang secara khusus
mengatur dan mengadili kekerasan seksual di Indonesia. Dengan di sahkannya RUU
PKS diharapkan segera disahkan.
REFERENCES
Anggara, Gede Nyoman Gigih, and Made Subawa. "Perlindungan Hukum Terhadap Anak
Sebagai Korban Kekerasan." Journal Ilmu Hukum Kertha Wicara 7 (2016).
Anonimous, UURI No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Citra Umbara,
Bandung, 2012, hlm. 131-132.
Arief, Barda Nawawi. Beberapa aspek kebijakan penegakan dan pengembangan hukum pidana. Citra
Aditya Bakti, 1998.
Budiarta, I. Wayan, and I. Gusti Ngurah Parwata. "Perlindungan Hukum Terhadap Anak
Dan Perempuan Selaku Korban Kejahatan Seksual." Kertha Wicara: Journal Ilmu
Hukum 8, no. 6 (2019): 1-15.
Dewi, Ni Luh Putu Ratih Sukma, and Sagung Putri ME Purwani. "Kebijakan Pidana
terhadap Kekerasan Seksual yang Terjadi di Dunia Pendidikan." Kertha Semaya: Journal
11
Maulida, Fariza Rachma. "KEBIJAKAN TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG
TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN SEKSUAL DI INDONESIA: URGENSI DAN DINAMIKA."
Bachelor's thesis, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
© Author(s). This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License .
Published by Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Universitas Sebelas Maret, Indonesia
520 Souvereignty : Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional | Volume 1, Nomor 3, Year 2022
© Author(s). This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.
Published by Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Universitas Sebelas Maret, Indonesia