Anda di halaman 1dari 54

TINJAUAN YURIDIS TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL

TERHADAP ANAK
(Studi Kasus putusan hakim Nomor 11/Pid.Sus/2022/PN Wno)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Sebagian Syarat-Syarat


Guna Memperoleh Gelar Sarjana Program Strata Satu (S-1)
Program Studi Hukum Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Ponorogo

Nama : Adista Mega Aprilia


NIM : 19710100
Program Studi : Hukum

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONOROGO
2022
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Anak adalah amanah dan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa, yang
memiliki nilai dan martabat sebagai manusia yang utuh. Oleh karena itu, anak
juga mempunyai hak asasi manusia yang harus diakui dan menjadi dasar bagi
kebebasan, keadilan, serta perdamaian di seluruh dunia. Dalam proses
pertumbuhan dan perkembangannya baik secara fisik maupun mental, anak
memerlukan adanya perawatan, perlindungan khusus, dan perlindungan hukum,
baik sebelum maupun setelah kelahiran. Selain itu, diakui bahwa keluarga juga
merupakan lingkungan yang bersifat alami bagi pertumbuhan dan kesejahteraan
anak. Untuk memastikan perkembangan kepribadian anak secara utuh dan
seimbang, diperlukan kondisi keluarga yang cukup bahagia, penuh kasih sayang,
dan juga penuh pengertian.
Dalam konteks Negara, anak merupakan bagian dari generasi penerus
yang dianggap sebagai salah satu jaminan sumber daya manusia dengan potensi
dan peran penting dalam mewujudkan cita-cita perjuangan bangsa. Anak memiliki
peran yang sangat penting dan memiliki ciri serta sifat masing-masing yang
memerlukan pembinaan dan perlindungan dengan tujuan untuk menjamin
pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosialnya secara holistik,
harmonis, sejalan, dan seimbang. Bahkan, dalam perspektif yang lebih luas, anak
dianggap sebagai titik permulaan dari peradaban baru dalam sejarah manusia,
sehingga keberadaannya menjadi sesuatu yang sangat penting dan tak terpisahkan
dalam kelangsungan peradaban.
Namun pada kenyataannya, kekerasan terhadap anak semakin meningkat
dan yang lebih mengkhawatirkan adalah kekerasan tersebut sering kali berasal
dari lingkungan mereka sendiri. Terdapat banyak anak yang terpaksa harus terlibat
dalam situasi yang kurang menyenangkan atau bahkan menjadi korban dari
perlakuan jahat, baik oleh pelaku kejahatan seperti preman, pemerkosa, perampok,
dan sejenisnya, maupun oleh anggota keluarga mereka sendiri, termasuk sanak
saudara atau bahkan orang tua biologis mereka. Namun, kasus-kasus kekerasan
yang dialami oleh anak-anak di bawah umur umumnya belum mendapatkan
perhatian serius dari berbagai pihak.
Kejahatan seks adalah masalah yang benar-benar terjadi dalam kehidupan
manusia. kejahatan seksual Ini meliputi perzinahan, pemerkosaan dan amoralitas
seksual. Kekerasan seksual merupakan kasus yang dari tahun ke tahun mengalami
pendingkatan. Dan Korbannya tidak hanya orang dewasa Remaja, tetapi juga
anak-anak yang masih sangat membutuhkan kasih sayang dan perhatian dari
keluarga dan masyarakat. Karena Perlu digaris bawahi bahwa anak-anak
merupakan generasi muda yang nantinya akan meneruskan cita-cita luhur bangsa,
para calon pemimpin bangsamasa depan dan sumber harapan bagi generasi di
masa lalu, yang harus diberi kesempatan sebesar mungkin untuk tumbuh dan
berkembang secara wajar dan baik secara mental, fisik dan sosial.
Anak adalah pwaris harapan jejak perjuangan tanah air dan Bangsa.
Sehingga pemuda diistilahkan sebagai tunas bangsa yang nantinya akan
menentukkan kiblat dan kehidupan masa depan negara. Oleh sebab itu, upaya
dalam mempersiapkan sumber daya manusia yang terampil dan b erkual itas dan l

siap untuk mempertahankan keutuhan dari bangsa Indonesia, diperlukan adanya


pembinaan dan pembimbingan secara teratur demi menunjang hidup,
pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial serta jaminan
l

perlindungan dari segala hal yang berpotensi akan membahayakan anak.


l Perlindungan anak adal ah suatu upaya untuk melindungi dan menjamin
l l l l

anak atas hak-hak nya yang mencakup kesempatan akan kehidupan, pertumbuhan
dan perkembangan atasnya. Selain itu, anak juga diharapkan mampu berpartisipasi
secara optimal dalam bermasyarakat, serta mendapat perlindungan penuh dari
segala bentuk kekerasan dan diskriminasi.
Seiring dengan perkembangan teknologi dan era digital yang sangat tidak
terkontrol dan bebas, hal itu bisa mempengaruhi pola tingkah laku manusia.
Cepatnya perkembangan teknologi di era digital ini, dapat menimbulkan dampak
positif dan juga dampak negatif tergantung dari pengguna teknologi itu sendiri.
Contoh dampak negatifnya adalah nilai-nilai kebaikan sudah semakin tergerus,
mengalami kemerosotan/kemunduran (dekadensi).
Nilai moral dan etika menjadi semakin sulit didapatkan bahkan semakin
lagka. Pemberitaan mendominasi hal-hal negatif seperti tentang tindakan kriminal
dan anarkis, tindakan kriminal dan anarkis meliputi contoh seperti pembunuhan
sadis, pemerkosaan, pencurian, pembegalan. Hal ini juga banyak terjadi dan
dilakukan oleh pelaku yang tergolong di bawah umur (anak-anak).
Salah satu dampak dari teknologi yang semakin pesat adalah munculnya
internet. Internet dapat diakses dengan sangat bebas dan oleh siapa saja, sehingga
sering terjadi konten-konten yang ada diinternet menjadi konsumsi bagi anak-
anak yang seharusnya belum cukup umur untuk melihatnya, seperti konten yang
mengandung unsur kekerasan atau pornografi. Seharusnya konten tersebut
diperuntukkan pada orang tua yang telah memiliki ikatan pernikahan.
Anak berperan sebagai generasi penerus bangsa seharusnya memang
mendapat perhatian khusus dalam rangka meningkatkan kualitas dari sumber daya
manusia. Sehubungan untuk pembimbingan anak dibutuhkan sarana serta
prasarana hukum yang dapat mencegah segala persoalan yang akan muncul, yaitu
berkaitan dengan keterlibatan anak maupun yang berkaitan dengan sikap dan
perilaku yang menyimpang dikalangan anak yang menyebabkan anak harus
terlibat dan berhadapan dengan pidana.
Anak merupakan aset berharga yang memiliki peran penting dalam
pembangunan kehidupan berbangsa dan bernegara. Mereka merupakan tunas
bangsa dan generasi pewaris yang perlu mendapatkan pendidikan, perlindungan,
dan perhatian yang baik. Pembentukan karakter anak sangat dipengaruhi oleh
perlakuan yang diberikan oleh keluarga. Karakter seseorang mulai terbentuk sejak
usia dini, dan peran orangtua memiliki pengaruh yang signifikan dalam hal ini.
Kekurangan perhatian serta kurangnya kasih dan sayang oleh orangtua
merupakan satu dari sekian banyak faktor yang menjadi penyebab munculnya
perilaku negatif yang ditimbulkan oleh anak. Selain daripada itu, lingkungan yang
baik merupakan faktor penting dalam upaya membentuk pertumbuhan dan
perkembangan anak dengan dampak yang positif, sementara lingkungan yang
buruk dapat berdampak negatif pada anak.
Kasus kekerasan dan pelanggaran terhadap hak anak seringkali tidak
mendapatkan perhatian yang memadai dari masyarakat. Hal ini terjadi karena
kurangnya data dan laporan mengenai kasus-kasus kekerasan terhadap anak, serta
adanya stigma di masyarakat yang menganggap masalah ini sebagai urusan
pribadi keluarga yang tidak patut atau dianggap tabu untuk dibicarakan secara
terbuka. Seperti yang diungkapkan oleh Harkristuti Harkrisnowo (1998),
rendahnya angka kasus kekerasan terhadap anak yang diketahui publik salah
satunya disebabkan oleh penyelesaian kasus secara internal dalam keluarga pada
tahap penyidikan. Dampaknya, kasus-kasus kekerasan, eksploitasi, dan bahkan
pelecehan seksual terhadap anak tidak hanya terjadi di lingkungan jalanan di kota-
kota besar yang terkenal rawan, atau di sektor industri dan ekonomi yang
diketahui memiliki sifat eksploitatif, tetapi juga dapat terjadi dalam konteks
pendidikan, kehidupan sehari-hari masyarakat, bahkan di lingkungan keluarga
yang seharusnya dianggap sebagai tempat yang paling aman bagi anak.
Keluarga memegang peran yang sangat penting dalam menjaga kehidupan
dan perkembangan anak. Sesuai dengan Pasal 45 Undang-Undang No.1 Tahun
1974 tentang Pokok-Pokok Perkawinan, orang tua memiliki tanggung jawab
untuk merawat dan mendidik anak-anak yang belum dewasa hingga mereka
mencapai kematangan dan kemandirian. Orang tua memiliki tanggung jawab
utama dalam memastikan kesejahteraan anak, termasuk dalam aspek rohani,
jasmani, dan sosial, karena anak-anak belum memiliki kemampuan untuk
melindungi diri mereka sendiri dari bahaya tanpa campur tangan orang tua.
Namun, kenyataannya seringkali berbeda dengan harapan, di mana
kejahatan seksual sering terjadi di dalam lingkungan keluarga yang seharusnya
menjadi tempat pertumbuhan dan perlindungan bagi anak-anak. Pelaku kejahatan
sering kali merupakan anggota keluarga itu sendiri. Dalam konteks ini, peran
keluarga tidak berjalan sebagaimana mestinya sebagai pelindung bagi seluruh
anggota keluarga. Keluarga yang baik akan memberikan pengaruh positif pada
perkembangan anak, sementara keluarga yang tidak harmonis dapat memberikan
pengaruh negatif.
Tindak pidana persetubuhan yang dilakukan oleh anak merupakan bagian
dari tindakan yang bertentangan dengan kesusilaan yang diatur dalam Undang-
Undang (UU) No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang mengubah
UU No. 23 Tahun 2002. Seperti yang kita ketahui, pemerkosaan merupakan
tindakan yang melanggar norma-norma sosial, termasuk norma-norma kesopanan,
agama, dan moral. Kasus-kasus seperti ini menimbulkan kekhawatiran di
masyarakat dan mencapai tingkat yang mengkhawatirkan, karena kita sering
menemui dan menyaksikan kasus tindak pidana persetubuhan yang melibatkan
anak sebagai korban dalam berbagai laporan media massa setiap harinya.
Banyak kasus tindak pidana persetubuhan yang melibatkan anak sebagai
pelaku terjadi bukan hanya di lingkungan sekolah, tetapi juga di lingkungan
rumah (termasuk tetangga), bahkan terjadi di dalam lingkungan keluarga. Untuk
menjaga perlindungan anak dari berbagai tindak kejahatan ini, adalah wajar jika
kita terus mencari solusi terbaik untuk mencegah dan menanggulangi masalah ini.
Salah satu contoh kasus kekerasan seksual terhadap anak adalah kasus
yang terjadi di wilayah yuridis Pengedilan Negeri Wonosari, tepatnya di
kecamatan wonosari, Kabupaten Gunungkidul, Provinsi DI Yogyakarta. Peristiwa
tersebut terjadi pada sebuah keluarga, dimana ayah dari korban adalah pelaku
kekerasan seksualnya.
Berdasarkan permasalhan yang telah dipaparkan diatas, penulis merasa
terdorong untuk mengangkat judul tentang ”TINJAUAN YURIDIS TINDAK
PIDANA KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK (Studi Kasus
Putusan Hakim Nomor 11/Pid.Sus/2022/PN Wno”
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis paparkan, penelitian ini
akan mengambil 2 rumusan masalah. Dua rumusan masalah tersebut antara lain :
1. Faktor apa yang menyebabkan terjadinya tindak pidana kekerasan seksual
terhadap anak?
2. Bagaimana penegakan hukum tindak pidana kekerasan seksual terhadap
anak?
1.3 Tujuan Penelitian
Dengan adanya permasalahan dari rumusan masalah yang telah
dikemukakan diatas, maka pada dasarnya penelitian ini bertujuan untuk :
1. Untuk mengetahui apa saja faktor-faktor terjadinya kekerasan seksual dan
bagaimana sanksi pidana yang diatur bagi pelaku perkosaan terhadap anak.
2. Untuk mengetahui bagaimana keputusan hakim dalam menjatuhkan sanksi
pidana terhadap pelaku perkosaan terhadap anak.
1.4 Manfaat Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini, harapannya adalah dapat memberikan
manfaat baik bagi penulis maupun masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu,
penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan manfaat sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis Dari segi teoritis, penelitian ini dapat memberikan
kontribusi pemikiran di bidang hukum pidana dan memperkaya literatur
pengetahuan hukum, terutama dalam pemidanaan pelaku perkosaan
terhadap anak kandung, baik bagi dosen maupun mahasiswa.
2. Manfaat Praktis
a. Penelitian hukum ini diharapkan dapat membantu dan memberikan
masukan serta kontribusi pemikiran kepada pihak-pihak yang
terlibat dalam masalah yang diteliti, serta bermanfaat dalam
menyelesaikannya.
b. Selain itu, penelitian ini juga dapat menjadi bahan diskusi dalam
mengkaji kondisi hukum khususnya dalam bidang tindak pidana
perkosaan.
Dengan demikian, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
yang nyata baik secara teoritis maupun praktis, serta menjadi sumbangan
pemikiran yang berharga bagi para stakeholders yang terkait dengan masalah yang
diteliti.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Teori Pemindaian
Teori Pemidanaan dikelompokkan dalam tiga golongan besar, yaitu
(E. Utrecht, 1958).
a. Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien)
Menurut pandangan teori ini, hukuman pidana diberikan
sebagai konsekuensi atas melakukan tindak kejahatan. Pidana
dianggap sebagai suatu keharusan dan balasan yang mutlak bagi
pelaku kejahatan. Dasar pembenarannya terletak pada keberadaan
tindak kejahatan itu sendiri. Teori absolut ini menekankan tujuan
utama pidana sebagai pemenuhan keadilan, dengan pengaruh
positif dianggap sebagai tujuan sekunder. Pandangan keadilan yang
bersifat absolut ini tercermin dalam pandangan Imanuel Kant
dalam karyanya Filosophy of Law, di mana pidana tidak digunakan
semata-mata sebagai sarana untuk mencapai tujuan atau kebaikan
lain, baik bagi pelaku kejahatan maupun masyarakat.
Menurut teori pembalasan ini, yang dinyatakan oleh Andi
Hamzah, pidana tidak memiliki tujuan praktis, seperti memperbaiki
pelaku kejahatan. Tindak kejahatan itu sendiri memiliki unsur-
unsur yang membenarkan penerapan pidana, sehingga pidana
menjadi mutlak karena adanya tindak kejahatan. Tidak perlu
mempertimbangkan manfaat dari penjatuhan pidana (Hamzah,
1993).
Apabila manfaat penjatuhan pidana tidak perlu
dipertimbangkan, seperti yang dikemukakan oleh pendukung teori
absolut atau teori pembalasan ini, maka sasaran utama teori ini
adalah pembalasan dendam. Dengan mempertahankan teori
pembalasan yang pada dasarnya mengusung prinsip "pidana untuk
pidana", hal tersebut mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan.
Artinya, teori pembalasan tidak memperhatikan upaya pembinaan
terhadap pelaku kejahatan.
Tingkat keberatan atau ringannya pidana bukanlah ukuran
untuk menentukan apakah narapidana memiliki kesadaran atau
tidak. Pidana yang berat tidak menjamin bahwa pelaku akan
menjadi sadar, bahkan mungkin akan semakin menjadi-jahat.
Pidana yang ringan kadang-kadang dapat mendorong narapidana
untuk melakukan tindak pidana lagi. Oleh karena itu, upaya untuk
menyadarkan narapidana harus mempertimbangkan berbagai
faktor, seperti apakah pelaku tindak pidana memiliki pekerjaan
atau tidak. Jika pelaku tindak pidana tidak memiliki pekerjaan,
maka masalahnya akan tetap menjadi siklus yang sulit dihentikan,
di mana setelah menjalani pidana, ada kecenderungan untuk
kembali melakukan tindak pidana. Teori pembalasan atau absolut
ini dapat dibagi menjadi pembalasan subjektif dan pembalasan
objektif. Pembalasan subjektif adalah balasan terhadap kesalahan
yang dilakukan oleh pelaku. Pembalasan objektif adalah balasan
terhadap dampak yang diciptakan oleh pelaku di masyarakat
(Hamzah, 1994).
Dilihat dari sudut pandang sejarahnya, mungkin teori ini
dianggap tepat pada masanya. Namun, dalam konteks sistem
hukum pidana di Indonesia, karakteristik teori tentu saja tidak
sesuai atau bisa dikatakan bertentangan dengan filosofi
pemidanaan berdasarkan sistem pemasyarakatan yang dianut di
Indonesia (UU No. 12 Tahun 1995). Begitu juga dengan konsep
yang dibangun dalam RUU KUHP, yang secara tegas menyebutkan
terkait pemidanaan, bahwa “Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk
menderitakan dan merendahkan martabat manusia”
b. Teori Relatif atau Teori Tujuan
Teori relatif, juga dikenal sebagai teori tujuan atau teori
utilitarian, muncul sebagai respons terhadap teori absolut. Secara
umum, menurut teori relatif, tujuan pidana bukan hanya
pembalasan semata, tetapi juga untuk menciptakan ketertiban
dalam masyarakat.
Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief, dalam konteks
teori relatif ini, pidana tidak hanya berfungsi untuk membalas atau
membalaskan tindak kejahatan, tetapi juga memiliki tujuan-tujuan
tertentu yang memberikan manfaat. Oleh karena itu, teori ini sering
disebut sebagai teori tujuan (utilitarian theory). Dalam pandangan
ini, pembenaran atas penggunaan pidana terletak pada tujuan yang
ingin dicapai. Pidana diberlakukan bukan hanya "karena adanya
kejahatan," melainkan "agar kejahatan tidak terjadi" (Arief, 2012).
Dengan demikian, tujuan pidana menurut teori relatif
adalah mencegah gangguan terhadap ketertiban masyarakat.
Artinya, hukuman pidana yang diberikan kepada pelaku kejahatan
bukan semata-mata untuk membalas perbuatannya, tetapi untuk
menjaga ketertiban umum.
Teori relatif dibagi menjadi dua aspek, yaitu prevensi
umum (generale preventie) dan prevensi khusus (speciale
preventie). E. Utrecht menjelaskan bahwa "prevensi umum
bertujuan mencegah agar orang secara umum tidak melanggar
hukum. Prevensi khusus bertujuan mencegah agar pelaku kejahatan
tidak melakukan tindakan kriminal lagi." Prevensi umum
menekankan bahwa tujuan pidana adalah menjaga ketertiban
masyarakat dari gangguan yang disebabkan oleh para pelaku
kejahatan. Dengan memberlakukan hukuman kepada pelaku
kejahatan, diharapkan anggota masyarakat lainnya tidak akan
melanggar hukum. Di sisi lain, teori prevensi khusus menekankan
bahwa tujuan pidana adalah agar narapidana tidak mengulangi
perbuatannya. Dalam hal ini, pidana berfungsi sebagai sarana untuk
mendidik dan memperbaiki narapidana agar dapat menjadi anggota
masyarakat yang baik dan berguna.
Sistem hukum pidana yang berlaku di Indonesia dapat
dikatakan dekat dengan teori tujuan ini. Hal ini dapat dilihat dari
perkembangan teori pemasyarakatan dan sistem pemasyarakatan
yang kemudian diimplementasikan dalam Undang-Undang No. 12
Tahun 1995 tentang Sistem Pemasyarakatan. Kesamaan gagasan
dengan teori relatif juga terlihat dalam rumusan rancangan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
c. Teori Menggabungkan (verenigings theorien)
Selain keuda teori yang telah dijelaskan sebelumnya, ada
juga teori ketiga yang mengakui adanya unsur pembalasan dalam
hukum pidana, namun juga mengakui unsur pencegahan dan
perbaikan terhadap pelaku kejahatan.
Teori ketiga ini muncul sebagai respons terhadap
kelemahan yang ada dalam teori absolut dan teori relatif.
Kelemahan atau kekurangan dari teori absolut antara lain adalah
sebagai berikut (Hanafi, 1976):
1. Dapat memunculkan ketidakadilan. Contohnya, tidak semua
pelaku pembunuhan dihukum mati, tetapi harus
dipertimbangkan secara matang dan harus berdasarkan
bukti yang ada.
2. Jika dasar teori ini hanya pembalasan, mengapa hanya
negara yang memberikan hukuman pidana?
Sedangkan kelemahan teori tujuan antara lain adalah
sebagai berikut (Hanafi, 1976):
1. Dapat memunculkan ketidakadilan juga. Misalnya, untuk
menghalangi kejahatan dengan cara mengintimidasi, pelaku
kejahatan ringan mungkin dijatuhi hukuman berat hanya
untuk efek jera, yang menyebabkan ketidakseimbangan. Hal
ini bertentangan dengan prinsip keadilan.
2. Memperhatikan kepuasan masyarakat justru malah sering
diabaikan. Jika tujuan utama hukuman adalah memperbaiki
pelaku kejahatan, kepuasan masyarakat yang membutuhkan
keadilan akan diabaikan.
3. Sulit dilaksanakan dalam praktik. Menerapkan tujuan
pencegahan kejahatan dengan cara mengintimidasi sulit
dilaksanakan dalam praktik, terutama dalam kasus residivis.
Teori gabungan, juga dikenal sebagai teori modern,
menganggap bahwa tujuan pemidanaan bersifat plural dengan
menggabungkan prinsip-prinsip relatif (tujuan) dan absolut
(pembalasan) sebagai satu kesatuan. Teori ini mengadopsi
pendekatan ganda di mana pemidanaan mencakup karakteristik
pembalasan dalam bentuk kritik moral terhadap tindakan yang
salah. Namun, tujuannya terletak pada gagasan bahwa kritik moral
tersebut bertujuan untuk reformasi atau perubahan perilaku pelaku
kejahatan di masa depan.
Teori ini diperkenalkan oleh Prins, Van Hammel, dan Van
List dengan pandangan sebagai berikut (Prakoso, 1988):
1. Tujuan utama pemidanaan adalah memberantas kejahatan
sebagai gejala masyarakat.
2. Ilmu hukum pidana dan perundang-undangan pidana harus
mempertimbangkan hasil studi antropologi dan sosiologi.
3. Pemidanaan merupakan salah satu alat yang paling efektif
yang dapat digunakan pemerintah untuk memberantas
kejahatan.
4. Pemidanaan bukanlah satu-satunya sarana yang ada; oleh
karena itu, pemidanaan tidak boleh digunakan sendirian,
tetapi harus digabungkan dengan upaya sosial.
Menurut teori ini, pemidanaan tidak hanya menyebabkan
penderitaan fisik, tetapi juga psikologis, dan yang terpenting adalah
memberikan pemahaman dan pendidikan. Dengan demikian, tujuan
pemidanaan adalah mencapai perbaikan dalam diri manusia atau
pelaku kejahatan, terutama dalam kasus-kasus tindak pidana
ringan. Dalam konteks penelitian ini, penulis berpendapat bahwa
teori relatif atau teori tujuan adalah teori yang paling tepat untuk
diterapkan.
Teori ini dipilih sebagai alat analisis dalam mempelajari
sanksi pidana yang diberikan kepada pelaku kejahatan dengan
tujuan memberikan keadilan bagi korban dan memastikan bahwa
pelaku merasa jera, menyesal, dan tidak mengulangi perbuatannya
lagi. Secara umum, tujuan pemidanaan menurut teori relatif bukan
hanya pembalasan semata, tetapi juga untuk menciptakan
ketertiban dalam masyarakat. Dengan demikian, dasar pembenaran
pemidanaan dalam teori ini terletak pada tujuannya.
Pada teori ini, penjatuhan pidana tidak semata-mata karena
seseorang melakukan suatu tindak kejahatan (quia peccatum est),
melainkan agar orang tersebut tidak melakukan kejahatan lagi
(nepeccetur). Dalam teori ini, tujuan lain yang diharapakan bisa
dicapai adalah pencegahan, di mana hukuman diberikan untuk
mencegah masyarakat umum agar tidak mencontoh perbuatan atau
kejahatan yang telah diperbuat (prevensi umum), serta untuk
membuat pelaku merasa jera dan tidak mengulangi perbuatannya
lagi (prevensi khusus). Pemidanaan dalam kasus yang diangkat
pada penelitian ini diharapakan dapat menjadi alternatif hukuman
yang memberikan efek jera bagi pelaku. Hal ini disebabkan oleh
adanya hubungan darah antara pelaku dan korban, sehingga pelaku
tidak akan mengulangi perbuatannya.
2.2 Landasan Konseptual
2.2.1 Tindak Pidana
Istilah "tindak pidana" dalam Bahasa Indonesia berasal dari bahasa
Belanda, yaitu "strafbaar feit". Istilah "strafbaar feit" digunakan oleh
pembuat undang-undang untuk merujuk pada apa yang dikenal sebagai
"tindak pidana". Namun, dalam Undang-Undang Hukum Pidana tidak ada
penjelasan yang jelas mengenai arti sebenarnya dari "strafbaar feit".
Akibatnya, dalam doktrin hukum muncul berbagai pendapat mengenai
makna yang sebenarnya dari "strafbaar feit" (Sofyan & Nur Azisa, 2016).
Menurut Simons, "strafbaar feit" dapat diartikan sebagai tindakan
yang dengan sengaja dilakukan oleh seseorang yang bertanggung jawab
atas tindakannya, dan tindakan tersebut telah ditetapkan sebagai tindakan
yang dapat dihukum oleh undang-undang. Sedangkan menurut Moeljatno,
tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum, dan
pelanggaran terhadap larangan tersebut diancam dengan sanksi pidana
(Rahmanuddin, 2019).
Selanjutnya, Simons menjelaskan unsur-unsur suatu perbuatan agar
dapat dikategorikan sebagai tindak pidana, yaitu:
1. Perbuatan manusia (baik berupa tindakan positif, negatif, atau
kelalaian)
2. Diancam dengan pidana (statbaar gesteld)
3. Melanggar hukum (onrechtmatig)
4. Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband stand)
5. Oleh orang yang bertanggung jawab (toerekenings vatoaar person).
Simons juga menyebutkan adanya unsur objektif dan subjektif
dalam tindak pidana (strafbaar feit). Unsur objektif tindak pidana meliputi:
1. Perbuatan manusia, yang dapat berupa tindakan positif (seperti
pencurian, penggelapan, pembunuhan) atau tindakan negatif
(seperti tidak melaporkan kegiatan kriminal yang diketahui).
2. Akibat yang terlihat dari perbuatan tersebut, seperti merusak atau
membahayakan kepentingan hukum yang harus ada sesuai dengan
norma hukum pidana. Akibat ini dapat terjadi seketika atau dalam
jangka waktu tertentu setelah perbuatan dilakukan.
3. Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan tersebut,
seperti kepemilikan barang yang dicuri oleh orang lain.
Misalnya, keadaan “barang yang dicuri adalah milik orang lain”
yang diatur dalam Pasal 362 KUHP adalah keadaan yang sudah ada pada
saat terjadinya perilaku “mengambil”, dan dapat juga muncul setelah
terjadinya perilaku “mengambil”. terjadi. Misalnya, Pasal 345 KUHP
mengatur bahwa "jika orang itu bunuh diri", itu akibat hasutan untuk
bunuh diri. Oleh karena itu, pengertian kejahatan (strafbaar feit)
melibatkan unsur-unsur tersebut.
Selain unsur-unsur obyektif di atas, perbuatan yang merupakan tindak
pidana juga mempunyai unsur-unsur subyektif:
1. Orang yang bertanggung jawab Orang yang bertanggung jawab
melibatkan dua faktor, yaitu:
a. Faktor rasional, yaitu kemampuan membedakan perbuatan
baik dan perbuatan jahat menurut hukum pidana..
b. Faktor perasaan/kehendak, yaitu kemampuan untuk
menentukan kehendaknya berdasarkan kesadaran tentang
baik dan buruknya perbuatan tersebut.
2. Adanya kesalahan (dolus atau culpa) Kesalahan (schuld) adalah
unsur yang berkaitan dengan keadaan atau pemikiran seseorang
sebelum atau pada saat melakukan suatu perbuatan. Unsur ini
melekat pada aktor dan bersifat objektif. Kesalahan dalam hukum
pidana menyangkut pertanggungjawaban pidana, baik kesengajaan
(dolus) maupun kelalaian (culpa). Misalnya, Pasal 338 KUHP
menyebutkan bahwa pembunuhan dilakukan dengan sengaja,
sedangkan Pasal 359 KUHP menyatakan bahwa penyebab
kematian adalah karena kelalaian.
3. Perilaku harus bersalah Seseorang yang dikenakan sanksi pidana
harus bersalah (no fault without fault). Kesalahan tersebut
termasuk yang disebabkan oleh kesengajaan atau kelalaian.
Selain itu, Indonesia memiliki berbagai hukum pidana lain yang diantara
adalah sebagai berikut:
1. Pidana pokok
a. Hukuman Mati: Indonesia memberlakukan hukuman mati
untuk berbagai kejahatan seperti pelanggaran Pasal 104
KUHP, Pasal 111(2) KUHP, Pasal 124(3) KUHP, dan Pasal
140(1) Butir ( 4) KUHP Pasal 340 KUHP Ayat (4) Pasal
365 KUHP Pasal 444 KUHP Ayat (2) Pasal 479 KUHP
Ayat (2) KUHP Pasal 368 KUHP, dan Pasal 2(2) UU No.2.
Hal ini diubah dan ditambah dengan UU No. 31 Tahun
1999. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2002 tentang Penghapusan Tindak Pidana
Teroris juga mengatur tentang hukuman mati.
b. Penjara: Suatu bentuk kejahatan yang menyebabkan
hilangnya kebebasan. Hukuman penjara berkisar dari
setidaknya satu hari penjara hingga penjara seumur hidup.
c. Penjara: Membatasi kebebasan bergerak penjahat dengan
mengurungnya di lembaga sosial. Hukuman penjara pendek
dibandingkan dengan hukuman pidanaPidana Tambahan
2. Pidana Tambahan
a. Pencabutan hak-hak tertentu Pencabutan hak-hak tertentu
berlaku sejak hari putusan hakim diberlakukan. Namun,
hakim tidak memiliki wewenang untuk memberhentikan
seorang pejabat dari jabatannya jika dalam peraturan khusus
diatur bahwa penguasa lain yang bertanggung jawab atas
pemecatan tersebut.
b. Perampasan barang-barang tertentu Perampasan barang-
barang tertentu yang sebelumnya tidak disita akan diganti
dengan pidana kurungan jika barang-barang tersebut tidak
diserahkan atau nilainya, menurut penilaian hakim, tidak
dibayarkan. Durasi pidana kurungan pengganti ini minimal
satu hari dan maksimal enam bulan. Pidana kurungan
pengganti ini akan dihapus jika barang-barang yang
dirampas akhirnya diserahkan.
Pengumuman putusan hakim Pasal 43 KUHP mengatur tentang
pengumuman putusan hakim. Pasal ini mengatur: “Dalam hal hakim
memerintahkan untuk mengumumkan putusan menurut Undang-undang
Pidana ini atau ketentuan umum lainnya, ia juga menentukan cara
pelaksanaan perintah itu dan biaya yang harus ditanggung oleh pelaku.
putusan” Putusan hakim hanya dapat dibuat dalam suatu perkara yang
berada di bawah yurisdiksi hukum. dibuat” (Hanafi, 1976).
Kelayakan dan urutan jenis hukuman tergantung pada tingkat
keberatan yang ditetapkan. Pidana tambahan merupakan tambahan dari
pidana pokok dan biasanya bersifat opsional (dapat dijatuhkan atau tidak).
Namun, ada pengecualian untuk pelanggaran berdasarkan Pasal 250 bis,
261 dan 275 KUHP, di mana hukuman tambahan menjadi wajib atau perlu
Terdapat perbedaan antara pidana pokok dan pidana tambahan, sebagai
berikut:
1. Pidana tambahan hanya bisa ditambahkan pada pidana pokok,
kecuali dalam kasus perampasan barang-barang tertentu kepada
anak-anak yang kemudian diserahkan oada pemerintah.
2. Pidana tambahan tidak memiliki kewajiban seperti pidana pokok,
sehingga bersifat fakultatif (dapat atau tidak dijatuhkan). Namun,
terdapat pengecualian pada kejahatan yang diatur dalam Pasal 250
bis, 261, dan Pasal 275 KUHP, di mana pidana tambahan menjadi
wajib atau bersifat imperatif (Tolip, 2010).
2.2.3 Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Pemerkosaan
Pasal 285 sampai 288 KUHP mendefinisikan tindak pidana
pemerkosaan (KUHP) dalam KUHP. Meskipun istilah "perkosaan" hanya
terdapat dalam Pasal 285 KUHP, namun istilah "hubungan seksual"
digunakan dalam pasal-pasal lain.
Menurut Wirjono Prodjodikoro, terjemahan bahasa Belanda dari
kata "verkrachting" asli kata "perkosaan" adalah salah. Dalam bahasa
Belanda, kata "verkrachting" sudah mencakup perkosaan dan
persetubuhan. Namun dalam bahasa Indonesia, kata "rape" sendiri tidak
sepenuhnya mengacu pada konsep pemerkosaan untuk berhubungan seks.
R. Soesilo Menurut penangkapan Hooge Raad pada tanggal 5
Februari 1912, pengertian persetubuhan adalah persetubuhan antara alat
kelamin laki-laki dan perempuan untuk melahirkan anak, dimana alat
kelamin laki-laki harus masuk ke dalam alat kelamin perempuan agar air
mani dapat keluar. diusir. Bebaskan.. Jika syarat tersebut tidak terpenuhi,
maka perbuatan tersebut akan digolongkan sebagai perbuatan cabul
Wirjono Prodjodikoro memberikan pendapat terkait perbedaan lain
antara tindak pidana perkosaan dan pencabulan. Menurutnya, perkosaan
untuk bersetubuh hanya dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap seorang
perempuan, sedangkan pencabulan dapat dilakukan oleh seorang
perempuan terhadap seorang laki-laki.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1994: 766), perkosaan
didefinisikan sebagai "menundukkan dengan kekerasan, memaksa dengan
kekerasan, menggagahi". Definisi ini bersifat luas karena tidak membatasi
karakteristik pelaku, korban, atau bentuk perilaku. Terdapat kesamaan
antara definisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dengan KUHP, yaitu
penggunaan kata "memaksa dengan kekerasan".
Namun, dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Undang-Undang
No.35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak, istilah "perkosaan" digantikan dengan
istilah "kekerasan seksual". Istilah "kekerasan seksual" lebih luas daripada
istilah "perkosaan", karena mencakup berbagai bentuk perilaku seksual
yang melibatkan kekerasan, seperti perbuatan cabul, pelecehan seksual,
dan lainnya.
Di sisi lain, istilah yang digunakan dalam KUHP adalah "kejahatan
terhadap kesusilaan" bukan "kejahatan seksual". Istilah "kejahatan
terhadap kesusilaan" merujuk pada perbuatan pidana yang berhubungan
dengan seksualitas dan dapat dilakukan terhadap laki-laki maupun
perempuan. Penggunaan istilah "kesusilaan" seringkali menyebabkan
masyarakat, terutama aparat hukum, terjebak dalam memandang pasal-
pasal kesusilaan semata-mata sebagai pelanggaran nilai budaya, norma
agama, atau sopan santun yang berkaitan dengan nafsu birahi, bukan
sebagai kejahatan terhadap tubuh dan jiwa seseorang.
Undang-Undang Perlindungan Anak ini menegaskan pentingnya
melaksanakan tanggung jawab secara berkelanjutan oleh orang tua,
keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara untuk melindungi hak-hak
anak. Tujuan utamanya adalah memastikan pertumbuhan dan
perkembangan anak dalam segi fisik, mental, spiritual, dan sosial yang
optimal. Pasal 76D dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014
menyatakan larangan penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan
dalam memaksa anak untuk terlibat dalam hubungan seksual dengan
mereka atau orang lain. Hal ini bertujuan untuk menciptakan kehidupan
yang terbaik bagi anak-anak sebagai generasi penerus bangsa yang
memiliki potensi, kekuatan, nasionalisme yang diperkuat oleh akhlak
mulia, dan nilai-nilai Pancasila.
Anak-anak diartikan sebagai individu yang belum mencapai usia
l l l l l l l l l l l l

18 tahun, termasuk yang masih dalam kandungan. Perlindungan anak perlu


l l l l l l l l l l l

dimulai sejak mereka masih berada dalam kandungan hingga mencapai


l l l l l l l l l l l l l

usia 18 tahun. Undang-undang ini menetapkan kewajiban untuk


l l l l l l l l

memberikan perlindungan yang lengkap, komprehensif, dan menyeluruh l l l l l

kepada anak-anak. l l l l l l

Perlindungan anak mencakup segala kegiatan yang bertujuan untuk l l l l l l l l l l

menjamin dan melindungi hak-hak mereka, sehingga mereka dapat hidup,


l l l l l l l l l

tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan l l l l l l l l l

martabat kemanusiaan, serta terhindar dari kekerasan dan diskriminasi.


l l l l l l l l l l l l l

Tujuan utama undang-undang ini adalah memastikan pemenuhan l l l l l l l l l l l

hak-hak anak dan melindungi mereka, sehingga mereka dapat menjadi


l l l l l l l l l l l

anak-anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.


l l l l l l l l l l l l l l

Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual,


l l l l l l l l l l l l

atau berhadapan dengan hukum, berhak mendapatkan kerahasiaan dalam


l l l l l l l l l l l l l l l l

kasus tersebut. Mereka juga berhak mendapatkan bantuan hukum dan


l l l l l l l l l l
bantuan lainnya. Lebih lanjut, tindak pemerkosaan diatur dalam Undang-
l l l l l l l l l l l l

Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam


l l l l l l l l l

Rumah Tangga. Kekerasan dalam rumah tangga mencakup segala tindakan


l l l l l l l l l l l l l l l

terhadap seseorang, terutama perempuan, yang menyebabkan penderitaan


l l l l l l l l l l l

fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran dalam konteks rumah l l l l l l l l l l

tangga, termasuk ancaman, pemaksaan, atau perampasan kebebasan secara


l l l l l l l l l l l l l l l l l l

melawan hukum.
l l

Lingkup rumah tangga yang dimaksud dalam undang-undang ini l l l l l l l l l

mencakup: l

1. Suami, istri, beserta anak, termasuk anak angkat dan anak tiri. l l l l l l l l l l l l

2. Orang yang memiliki hubungan keluarga dengan orang sesuai l l l l l l l l

dengan yang telah disebutkan di atas karena hubungan darah, l l l l l l l l l l l

perkawinan, seperti mertua, ipar, besan, hubungan saudara


l l l l l l l l l

persusuan, pengasuhan, dan perwalian yang tinggal dalam rumah l l l l l l l l l l l

tangga. l l

3. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan tinggal di satu l l l l l l l l l l

atap. l l

Tujuan dari penghapusan kekerasan dalam rumah tangga adalah l l l l l l l l l l l l l l

untuk mencegah segala bentuk kekerasan yang terjadi di dalam lingkungan l l l l l l l l l l

rumah tangga, melindungi para korban, menindak pelaku, serta menjaga


l l l l l l l l l l l

keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera (Amanda & Krisnani,
l l l l l l l l l l l l l

2019).
Berikut adalah beberapa bentuk kekerasan dalam rumah tangga l l l l l l l l l l l l

yang dilarang:
l l l

1. Kekerasan dalam bentuk fisik, yaitu tindakan yang menyebabkan l l l l l l l l l l

rasa sakit, cedera serius, atau luka pada korban.


l l l l l l l l l l

2. Kekerasan dalam bentuk psikis, yaitu tindakan yang menyebabkan l l l l l l l l l l

gangguan secara psikis seperti ketakutan, kehilangan rasa percaya


l l l l l l l l l l l l

diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, l l l l l l l l l l

dan penderitaan psikologis yang berat pada seseorang.


l l l l l l l l
3. Kekerasan dalam bentuk pelecehan seksual, yaitu hubungan l l l l l l l l

seksual yang dilakukan didasarkan pada paksaan terhadap orang l l l l l l l l l l l l l l l

yang tinggal dalam lingkup rumah tangga tersebut, atau pemaksaan


l l l l l l l l l l l l

hubungan seksual terhadap salah satu anggota rumah tangga l l l l l l l l l l l l

dengan orang lain untuk tujuan komersial atau tujuan tertentu. l l l l l l l l

4. Penelantaran l l l rumah l tangga, l l yaitu l tindakan l l meninggalkan l l

seseorang dalam lingkup rumah tangga, padahal menurut hukum l l l l l l l l l

yang l berlaku, l orang l tersebut memiliki kewajiban l l untuk


memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada l l l l l l l l l l l l

orang tersebut. Tindakan ini juga dapat mencakup pembatasan atau


l l l l l l l l l l l l

larangan bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah, sehingga


l l l l l l l l l l l l l l

korban menjadi tergantung secara ekonomi pada orang tersebut l l l l l l l l

(Lukar, 2013). l

Dengan adanya penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, l l l l l l l l l l l l l

diharapkan dapat menciptakan lingkungan yang aman dan sehat di dalam


l l l l l l l l l l l l l l l

rumah tangga, serta memberikan perlindungan kepada para korban agar


l l l l l l l l l l l l l

mereka dapat hidup dengan damai dan sejahtera.


l l l l l l l l l

2.2.3 Tinjauan Tentang Anak l l l l l

Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan


l l l l l l l l

atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,


l l l l l l l l l

dijelaskan bahwa anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 18


l l l l l l l l l l l l l l

tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Namun, dalam


l l l l l l l l l l l l l

Undang-Undang Perkawinan, batas usia perkawinan ditetapkan sebesar 16


l l l l l l l l l l l l

tahun. Dalam konteks secara keseluruhan, rentang usia anak dapat


l l l l l l l l l l l l

dikategorikan antara 0 hingga 21 tahun. Batas usia 21 tahun ditetapkan


l l l l l l l l l l l l l

berdasarkan l l l pertimbangan l l kepentingan l kesejahteraan l l l sosial l dan l

kematangan sosial, pribadi, dan mental yang umumnya tercapai setelah


l l l l l l l l l l l l

usia 21 tahun.
l l

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak l l l l l l l l

menjelaskan kriteria anak dalam Pasal 1 angka (1) sebagai berikut: "anak
l l l l l l l l l l l l l l l
adalah seseorang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai usia 8
l l l l l l l l l l l l l l l l l

tahun tetapi belum mencapai usia 18 tahun dan belum pernah menikah."
l l l l l l l l l

Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi


l l l l l l l l l

Manusia Anak, pada Pasal 1 ayat (5) dinyatakan bahwa "anak adalah
l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l

setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun dan belum menikah,


l l l l l l l l l l

termasuk anak yang masih dalam kandungan jika hal itu demi
l l l l l l l l l l l

kepentingannya." l l

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 juga menjelaskan tentang l l l l l l l

Kesejahteraan Anak pada Pasal 1 ayat (2), yang menyebutkan bahwa l l l l l l l l l l l l l l l

"anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 21 tahun dan belum
l l l l l l l l l l l l

pernah menikah." l l

Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem


l l l l l l

Peradilan Anak, anak dikategorikan berdasarkan Pasal 1 angka 3 dan 4.


l l l l l l l l l l l l l l l l

Anak korban tindak pidana adalah anak yang belum berusia 18 tahun dan
l l l l l l l l l l l l l l l

mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi akibat


l l l l l l l l l l l

tindak pidana. Sementara itu, anak yang berkonflik dengan hukum adalah
l l l l l l l l l l l l

anak yang berusia 12 tahun namun belum mencapai usia 18 tahun dan
l l l l l l l l l l l

diduga melakukan tindak pidana. l l l l l l

parafarase anti plagiasi "Dalam konteks ini, anak merujuk pada


l l l l l l l l l l l l l

individu yang belum mencapai usia dewasa dan masih memerlukan l l l l l l l l l

asuhan, pendidikan, pembinaan, perlindungan, dan pengayoman. Hak-hak


l l l l l l l l l l l

anak merupakan hak yang melekat pada setiap anak dan merupakan bagian
l l l l l l l l l l l l l l l l l

dari hak asasi manusia. Untuk melaksanakan pembinaan dan memberikan


l l l l l l l l l l l l l l

perlindungan kepada anak, diperlukan dukungan yang mencakup aspek l l l l l l l l l l

kelembagaan dan perangkat hukum yang lebih memadai. l l l l l l l l l

Hubungan antara Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) l l l l l l l l l

dan Undang-Undang Perlindungan Anak saling berkaitan, di mana yang


l l l l l l l l l l l l

satu memiliki sifat khusus sedangkan yang lain memiliki, yang satu
l l l l l l l l

bersifat khusus dari yang lain dan yang satu bersifat umum dari yang
l l l l l l l l l l

lainnya yang biasa dikenal dengan lex specialis derogat lex generalis.
l l l l l l l l l l
Undang-Undang Perlindungan Anak bersifat lex spesialis dan KUH Pidana
l l l l l l l l l l

bersifat lex generalis. l l

2.2.4 Petimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Hukuman l l l l l l l l

Pidana hanya dapat diberlakukan jika Pelaku terbukti melakukan


l l l l l l l l l l l l

kesalahan, yang dibuktikan dalam persidangan. Kesalahan Pelaku harus


l l l l l l l l l l l l l l

sesuai dengan apa yang tercatat dalam dakwaan yang sudah diajukan oleh
l l l l l l l l l l l l l l l l

penuntut umum. Pelaku tidak dapat dianggap bersalah dan dikenai pidana l l l l l l l l l l l l

begitu saja, tetapi harus disertai dan didukung oleh minimal dua alat bukti l l l l l l l l l l

yang sah. Alat bukti minimum tersebut harus dapat meyakinkan hakim
l l l l l l l l l l

tentang kesalahan Pelaku. Menurut R. Atang Ranomiharjo, alat bukti


l l l l l l l l l l l

merupakan segala hal yang terkait dengan suatu tindak pidana, yang dapat
l l l l l l l l l l l l l l l

digunakan sebagai bukti untuk meyakinkan hakim tentang kebenaran


l l l l l l l l l l

adanya tindak pidana yang dilakukan oleh Pelaku (Sofyan, 2012).


l l l l l l l l l l l

Setelah proses tersebut, pidana dapat dijatuhkan. Hal ini sesuai l l l l l l l l l

dengan ketentuan Pasal 183 KUHAP yang menyatakan bahwa hakim tidak
l l l l l l l l l l l l l

diperbolehkan seenaknya menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali l l l l l l l l l l l

jika setidaknya dengan dua alat bukti yang sah, hakim yakin bahwa suatu
l l l l l l l l l l l l l l

tindak pidana secara sah dan meyakinkan benar-benar terjadi dan bahwa
l l l l l l l l l l l l l l l

Pelaku l bersalah l l melakukannya. l l l Dalam l l hal l ini, undang-undang l l

menentukan bahwa minimal dua alat bukti yang sah diperlukan untuk l l l l l l l l l l

meyakinkan hakim tentang kesalahan Pelaku dan tindak pidana yang


l l l l l l l l l l l l l

dilakukannya. Sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ini merujuk


l l l l l l l l l l l

pada minimal dua alat bukti yang diakui sah menurut KUHAP. Pasal 184
l l l l l l l l l l l l

ayat (1) KUHAP menyebutkan bahwa alat bukti yang sah meliputi
l l l l l l l l l l

keterangan dari saksi, keterangan dari para ahli, surat, petunjuk, dan
l l l l l l l l l l l l

keterangan dari Pelaku (Amanda & Krisnani, 2019).l l l l l l l l

Dalam praktik sehari-hari, baik yang dilakukan oleh penuntut


l l l l l l l l l

umum maupun hakim, terdapat faktor-faktor yang diperhatikan dalam l l l l l l l l l l l

tuntutan dan penjatuhan pidana, yaitu faktor-faktor yang meringankan dan


l l l l l l l l l l l l l

memberatkan. Faktor-faktor yang meringankan meliputi usia Pelaku yang l l l l l l l l l l

masih muda, sikap sopan, dan pengakuan atas perbuatan yang dilakukan.
l l l l l l l l l l l l l l
Faktor-faktor meringankan ini mengakibatkan pengurangan hukuman
l l l l l l l l l l

berdasarkan ketentuan Undang-Undang, antara lain:


l l l l l l l l l l

1. Dalam kasus Pelaku yang masih muda (incapacity or infancy),


l l l l l l l l l l

berdasarkan Pasal 47 ayat (1) KUHPidana, hukuman pokok atas l l l l l l l l l l l l

tindak pidana tersebut dikurangi sepertiga jika hakim memutuskan l l l l l l l l

untuk menghukum anak yang bersalah. l l l l l

2. Dalam kasus percobaan tindak pidana, berdasarkan Pasal 53 ayat


l l l l l l l l l l l l l l l

(2) KUHPidana, hukuman pokok yang ditentukan untuk tindak l l l l l l

pidana tersebut dikurangi sepertiga dalam kasus percobaan.


l l l l l l l l l

3. Dalam l l kasus l pembantu l dalam l l melakukan tindak l l l pidana, l l

berdasarkan Pasal 57 ayat (1) yang intinya adalah hukuman pokok l l l l l l l l l l l l l

maksimal ditentukan atas kejahatan itu, mengalami pengurangan


l l l l l l l l l l l l

menjadi sepertiga bagi pembantu. l l l l

Faktor-faktor yang berpotensi memberatkan pidana dalam suatu


l l l l l l l l l l

kasus antara lain meliputi memberikan keterangan yang rumit, tidak


l l l l l l l l l l

mengakui perbuatan yang dilakukan, menyebabkan ketidaknyamanan bagi


l l l l l l l l l l l l l

masyarakat, merugikan negara, dan sebagainya. Faktor-faktor yang


l l l l l l l l l l l l l l

memberatkan l l ini mengakibatkan l l l penambahan l l l hukuman l tersebut


didasarkan pada undang-undang, yang ditentukan sebagai berikut:
l l l l l l l l l l l

1. Dalam kasus concursus, seperti yang diatur dalam Pasal 65 KUH


l l l l l l l l l

Pidana: l l

a. Jika terdapat lebih dari satu atau beberapa perbuatan yang l l l l l l l l l l l l

dianggap sebagai tindak pidana yang mandiri sehingga


l l l l l l l l l l

dianggar sebagai beberapa kejahatan, yang diancam dengan


l l l l l l l l l l l l l

hukuman pokok yang sejenis, maka hanya dikenakan satu l l l l l l l l l

hukuman. l

b. Hukuman maksimum yang diberlakukan adalah jumlah l l l l l l l l l

maksimum hukuman-hukuman yang diancamkan terhadap


l l l l l l l l l

perbuatan tersebut, namun tidak boleh melebihi hukuman l l l l l

maksimum yang paling berat ditambah sepertiganya.


l l l l l l l l

2. Pasal 66 KUH Pidana menyatakan: l l l l l l l


a. Dalam kasus gabungan dari beberapa perbuatan yang setiap
l l l l l l l l l l l l

perbuatannya dianggap sebagai tindak pidana yang mandiri


l l l l l l l l l l l l

sehingga dikategorikan sebagai beberapa kejahatan, yang l l l l l l l l l l l

diancam dengan hukuman pokok yang berbeda sejenis,


l l l l l l

maka diberlakukan hukuman untuk setiap kejahatan


l l l l l l l l l

tersebut, tetapi jumlahnya tidak boleh melebihi hukuman l l l l l

maksimum yang paling berat ditambah sepertiganya.


l l l l l l l l

b. Dalam hal ini, denda dihitung berdasarkan lamanya


l l l l l l l l l l

hukuman l kurungan l yang l sifatnya l l pengganti l yang l

ditentukan untuk perbuatan tersebut. l l l

3. Dalam kasus recidive, berdasarkan Pasal 486, 487, dan 488 KUH
l l l l l l l l l

Pidana: l l

a. Kejahatan yang berulang harus termasuk kedalam satu l l l l l l l l l l

kelompok jenis dengan kejahatan yang pertama atau l l l l l l l l l

sebelumnya. Kelompok jenis kejahatan tersebut meliputi: l l l l

 Kelompok jenis kejahatan l l l dalam l l pasal l l 486


umumnya terkait dengan kejahatan kekayaan dan l l l l l l l l l l

pemalsuan, seperti pemalsuan uang, pemalsuan l l l l l l l

surat, l pencurian, l pemerasan, l l pengancaman, l l l

penggelapan, penipuan, kejahatan jabatan, dan l l l l l l l l l l

penadahan. l l l

 Kelompok jenis kejahatan l l l dalam l l pasal l l 487


umumnya terkait dengan kejahatan terhadap orang. l l l l l l l l l

 Kelompok jenis kejahatan l l l dalam l l pasal l l 488


umumnya terkait dengan kejahatan penghinaan dan l l l l l l l l l

yang terkait dengan penerbitan/percetakan.


l l l l l l

Dengan adanya kelompok jenis kejahatan yang telah disebutkan di


l l l l l l l l l l

atas, tidak dapat dikatakan bahwa terdapat recidive jika seseorang yang
l l l l l l l l l l l l l l l

melakukan pencurian biasa kemudian melakukan tindak pidana lain seperti


l l l l l l l l l l l l

penganiayaan atau penghinaan, karena masing-masing tindak pidana


l l l l l l l l l l l l l l l

tersebut termasuk dalam kelompok jenis kejahatan yang berbeda.


l l l l l l l l
Secara l l umum, kejahatan-kejahatan l l l l l l ringan l biasanya l l l tidak l

memenuhi kriteria recidive. Contohnya, pencurian ringan, penggelapan l l l l l l

ringan, penipuan ringan, dan penadahan ringan tidak termasuk dalam


l l l l l l l l l l l l

kelompok pasal 486 KUHP. Begitu juga, penganiayaan ringan tidak l l l l l l l l l

termasuk dalam kelompok 487 KUHP. Meskipun keja hatan-kejahatan


l l l l l l l l l

ringan ini tidak dimasukkan dalam KUHP, yang menarik adalah


l l l l l l l l l l l

penghinaan ringan dimasukkan dalam kelompok kejahatan pasal 488


l l l l l l l l l l l l

KUHP.
Hal yang menarik untuk diperhatikan juga adalah dalam Pasal 487
l l l l l l l l l l l l l

(kelompok jenis kejahatan terhadap pribadi orang), tidak disebutkan delik l l l l l l l l l

perkosaan dalam Pasal 104 dan semua delik kesusilaan (Pasal 281-303)
l l l l l l l l l l l l

seperti perdagangan wanita, pengguguran, dan perjudian. l l l l l l l l

Berdasarkan pasal-pasal yang telah disebutkan di atas, dapat l l l l l l l l l l l l l l

disimpulkan bahwa dalam sistem KUHP, tidak semua kejahatan berat


l l l l l l l l l l l

dapat dijadikan sebagai alasan recidive atau pengulangan (alasan untuk


l l l l l l l l l l l l l l l l

memberatkan pidana). l l l l

Beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam kasus recidive adalah l l l l l l l l l l l l

sebagai berikut:
l l

1. Antara kejahatan yang berulang dengan kejahatan yang pertama


l l l l l l l l l l l l l l l

atau sebelumnya, harus terdapat putusan hakim yang memberikan


l l l l l l l l l l

hukuman yang berkekuatan tetap. Jika tidak ada putusan hakim l l l l l l l l l l l

atau putusan tersebut belum memiliki kekuatan hukum tetap, maka


l l l l l l l l

tidak dapat dikatakan sebagai recidive. l l l l l l l l

2. Hukuman yang dijatuhkan oleh hakim sebelumnya harus berupa l l l l l l l l

pidana penjara. Jika hukuman sebelumnya berupa pidana kurungan


l l l l l l l l l l l

atau pidana denda, maka tidak ada alasan untuk memberatkan


l l l l l l l l l l l l l l l

pidana dalam kasus recidive. l l l l l

3. Tenggang waktu antara tindakan pengulangan adalah: l l l l l l l l l l l l

a. Belum melebihi 5 tahun sejak menjalani seluruhnya atau l l l l l l l

sebagian pidana penjara yang dijatuhkan sebelumnya, atau l l l l l l l l l l l l


b. Belum melebihi tenggang waktu yang diatur oleh hukum l l l l

dalam menjalankan pidana penjara sebelumnya.


l l l l l l l l l l

Dengan memperhatikan ketentuan di atas, dapat disimpulkan


l l l l l l l l l

bahwa tidak semua kejahatan berat dapat dianggap sebagai recidive dan
l l l l l l l l l l l l l l l

dijadikan alasan untuk memberatkan pidana. Oleh karen itu, hakim harus
l l l l l l l l l l l l

benar-benar mempertimbangkannya secara matang.


l l l l l l l l l
BAB III l

METODE PENELITIAN l

3.1 Jenis Penelitian l

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian normatif


l l l l l l l

yang berfokus pada analisis dokumen. Data sekunder yang digunakan meliputi
l l l l l l l l l l

referensi hukum, peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan, teori l l l l l l l l

hukum, serta pendapat para sarjana hukum. Pendekatan normatif dalam penelitian l l l l l l l l l l l l l l

ini bertujuan untuk menemukan aturan hukum, prinsip hukum, dan doktrin hukum l l l l l

yang dapat memberikan jawaban terkait masalah yang diteliti.


l l l l l l l l l l l l

Dalam pandangan Peter Mahmud Marzuki, penelitian normatif adalah


l l l l l l l l l l l l

upaya untuk menemukan aturan hukum, prinsip hukum, dan doktrin hukum
l l l l l l

melalui analisis dokumen (Marzuki, 2010). Banyak orang menganggap bahwa


l l l l l l l l l l l

hukum hanya terdiri dari aturan tertulis yang tercantum dalam perundang- l l l l l l l l l l

undangan atau norma-norma yang menjadi pedoman dalam perilaku manusia agar
l l l l l l l l l l l l l l l l

dianggap pantas oleh orang lain (Amiruddin & Asikin, H. Z., 2006).
l l l l l l l l

Dalam penelitian hukum, pendekatan penelitian sangat mempengaruhi


l l l l l l l l l

jalannya penelitian. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah


l l l l l l l l l l l l l l l

pendekatan melalui Perundang-Undangan (statue approach) untuk mendapatkan


l l l l l l l l l l l l

informasi yang relevan dari berbagai aspek yang terkait dengan isu yang sedang
l l l l l l l l l l l l

diteliti. Pendekatan ini sesuai dengan penelitian berbasis normatif, karena objek l l l l l l l l l

penelitian sebagian besar terdiri dari aturan-aturan hukum, terutama undang-


l l l l l l l l l l l l

undang yang berkaitan dengan akibat hukum isbat nikah dalam pencatatan
l l l l l l l l l l l l l l

pernikahan siri yang ditinjau berdasarkan aturan yang berlaku.


l l l l l l l l l l l

3.2 Ruang Lingkup Penelitian l l

Ruang lingkup penelitian membatasi sebuah penelitian agar lebih padal l l l l l l l l l

rumusan masalah. Dalam penelitian yang berjudul “Tinjauan Yuridis Tindak


l l l l l l l l l l l

Pidana Kekerasan Seksual terhadap Anak” ini, ruang lingkup penelitian yang
l l l l l l l l l l l l

digunakan adalah mencakup kekerasan seksual pada anak, dimana pengaturannya


l l l l l l l l l l l l l l l l l l

terdapat pada perundang-undangan yang berlaku. Artinya, penelitian ini hanya


l l l l l l l l l l l l l l
hanya akan terfokus pada tinjauan hukum mengenai kekerasan seksual terhadap
l l l l l l l l l l l l l l

anak dan faktor apa saja yang menyebabkan tindakan tersebut terjadi.
l l l l l l l l l l l l l l

3.3 Jenis dan Sumber Data l l l

Pada dasarnya, dalam penelitian hukum terdapat dua jenis data yang dapat
l l l l l l l l l l l l l l l l

digunakan, yaitu data primer yang diperoleh langsung dari masyarakat, dan data
l l l l l l l l l l l l l l l

sekunder yang bersumber dari bahan pustaka (Soekanto, 2011). Data primer l l l l l l l l l

merupakan data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat, baik melalui
l l l l l l l l l l l l l l l

kuisioner maupun wawancara dengan narasumber yang terkait dengan l l l l l l l l l l l

permasalahan penelitian. Sedangkan data sekunder merupakan data yang berasal


l l l l l l l l l l l l l l l l

dari sumber-sumber kepustakaan. Data sekunder juga dapat berupa data primer
l l l l l l l l l l l l

yang telah diolah dan disajikan secara sistematis oleh pihak pengumpul data atau
l l l l l l l l l l l l l l

pihak lain. l l

Data sekunder dapat digunakan sebagai sumber awal untuk memperoleh l l l l l l l l l l

batasan terhadap landasan teori, definisi, arti atau istilah yang digunakan dalam
l l l l l l l l l l l l l l l l l

penelitian (Ashshofa, 1996). Data sekunder dapat diklasifikasikan menjadi dua


l l l l l l l l l l l l

kelompok, yaitu: l

1. Data sekunder secara pribadi, seperti dokumen-dokumen yang dimiliki l l l l l l

atau dokumen-dokumen lainnya.


l l l l

2. Data sekunder umum, seperti arsip, dokumen resmi pemerintah, atau data l l l l l l l l

lainnya. l l

Dalam penelitian skripsi ini, penulis menggunakan jenis data sekunder


l l l l l l l

yang bersumber dari berbagai bahan pustaka, seperti buku, peraturan perundang-
l l l l l l l l l l l

undangan, karya ilmiah, artikel, dan berbagai sumber literatur terkait. Beberapa
l l l l l l l l l l l l l

contoh data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah: l l l l l l l l l l l

1. Bahan Hukum Primer: Merupakan bahan penelitian hukum yang memiliki l l l l l l l l

keterikatan dengan masalah yang diteliti, seperti Kitab Undang-Undang l l l l l l l l l l

Hukum Pidana dan peraturan-peraturan terkait. l l l l l l l l

2. Bahan Hukum Sekunder: Merupakan data yang berperan sebagai penjelas l l l l l l l l l l l

dari bahan hukum primer, seperti hasil penelitian sebelumnya, karya


l l l l l l l l

ilmiah, artikel jurnal, dan sumber-sumber dari internet. l l l l l


3. Bahan Hukum Tersier: Merupakan bahan hukum yang digunakan untuk
l l l l l l l l l

melengkapi informasi atau sebagai tambahan dari bahan-bahan lainnya, l l l l l l l l l l l l l l l l

seperti kamus hukum, ensiklopedia, dan KBBI (Dewanta, MF., & l l l l l

Achmad, Y., 2017). l l

3.4 Metode Pengambilan Data l l l l

Dalam proses pengumpulan data, penelitian ini menggunakan metode


l l l l l l l l

studi pustaka, observasi, dan wawancara. Metode pengumpulan data yang l l l l l l l l l l l l

digunakan dalam penelitian hukum normatif, seperti dalam skripsi ini, adalah
l l l l l l l l l l l

studi pustaka yang melibatkan bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. l l l l l l l l

Metode studi pustaka merupakan metode pengumpulan data yang melibatkan l l l l l l l l l l

penelitian terhadap arsip-arsip seperti Undang-Undang, buku, artikel jurnal, karya


l l l l l l l l l l l

ilmiah, dan lain sebagainya.


l l l l l l

3.5 Metode Analisis Data l l l l

Dalam penelitian ini, teknik analisis data yang digunakan adalah analisis
l l l l l l l l l l l l l l l

deskriptif, yang dilakukan dengan menjelaskan permasalahan akibat hukum isbat l l l l l l l l l l l l l

nikah dalam pencatatan pernikahan siri berdasarkan peraturan perundang-


l l l l l l l l l l l l l l

undangan yang berlaku. Analisis dilakukan berdasarkan hasil studi kepustakaan


l l l l l l l l l l l l l l l

yang telah dilakukan. Selanjutnya, data yang telah diperoleh dari penelitian ini
l l l l l l l l l l l l

akan dianalisis lebih lanjut dengan mempertimbangkan Undang-Undang dan teori


l l l l l l l l l l l

dari studi kepustakaan. Penyusunan data akan dilakukan secara sistemik, dan
l l l l l l l l l l l l l l

kemudian dihasilkan kesimpulan yang dapat menjawab rumusan masalah yang


l l l l l l l l l l l l l l

ada dalam penelitian ini.


l l l l l
BAB IV l

HASIL DAN PEMBAHASAN l l l l l

4.1 Faktor-Faktor yang Menjadi Penyebab Terjadinya Kasus Kekerasan


l l l l l l l l l l

Seksual Terhadap Anak l l l l l

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kasus kekerasan seksual


l l l l l l l l l l l

terhadap anak merupakan keadaan atau kondisi yang menyebabkan pelaku


l l l l l l l l l l l l l l l

terdorong untuk melakukan tindak pidana kekerasan seksual terhadap anaknya l l l l l l l l l l l l l

sendiri. Untuk mengidentifikasikan faktor-faktor yang mendorong pelaku untuk l l l l l l

melakukan tindakan tersebut, penulis menganalisis rangkaian kejadian yang


l l l l l l l l l l l l

terdapat pada surat putusan hakim Nomor 11/Pid.Sus/2022/PN Wno. Berikut


l l l l l l l

adalah kronologi dari kasus tersebut:


l l l l l

 Pelaku, pada sekitar pertengahan bulan Juni 2020 sekira pukul 21.00 wib
l l l l l l l l

dan pada sekitar awal bulan Juli 2020 sekira pukul 20.00 wib atau
l l l l l l l l l l

setidaknya-tidaknya pada suatu waktu dalam tahun 2020 bertempat


l l l l l l l l l l l l

dirumah Pelaku yang beralamat di, Gunungkidul dan di rumah Sdr. Pelaku
l l l l l l l l l

yang beralamat di Gunungkidul yang termasuk dalam teritorial hukum


l l l l l l l l l

Pengadilan Negeri Wonosari yang berwenang untuk memeriksa dan


l l l l l l l

mengadili perkara ini bahwa pelaku dengan sengaja melakukan kekerasan


l l l l l l l l l l l l l

seksual terhadap anaknya. Pelaku memaksa Korban untuk melakukan


l l l l l l l l l l l l

persetubuhan dengannya yang merupakan ayah kandung dari korban. l l l l l l l l l l l

 Korban adalah anak yang berusia kurang lebih 14 tahun. Korban lahir pada
l l l l l l l l l l l l l l

tanggal 18 Maret 2007 di Gunungkidul dan merupakan anak ke tiga dari


l l l l l l l l l l

Pelaku dan Saksi 1 (mantan istri Pelaku dan ibu korban). Pelaku telah
l l l l l l l l l l

resmi berpisah (bercerai) dengan ibu kandung anak korban pada tahun l l l l l l l l l l

2014 dan setelah itu anak korban diasuh oleh neneknya (dari pihak ibu) di l l l l l l l l l

Gunungkidul.
 berawal pada pertengahan bulan Juni 2020 ketika kakek dari korban (dari
l l l l l l l l l l l l

pihak Pelaku) meninggal dunia, kemudian anak korban menginap di


l l l l l l l l l

rumah Pelaku di Gunungkidul. Bahwa setelah seminggu setelah kakek


l l l l l l l

meninggal, sekitar pukul 21.00 wib anak korban tidur di lincak ruang tamu l l l l l l l l
rumah Pelaku dengan berselimut jarik. Sekitar pukul 01.00 wib, anak
l l l l l l l

korban terbangun karena merasa ada sesuatu yang menindih dirinya, dan
l l l l l l l l l l l l

ketika anak korban membuka mata , Pelaku telah menindih anak korban
l l l l l l l l l l l l

dan berada diatas badan anak korban sambil memegangi kedua tangan
l l l l l l l l l l l l l l l

anak korban dengan menggunakan tangan kiri Pelaku. Saat itu kondisi
l l l l l l l l l l l

Pelaku tanpa mengenakan celana dan celana dalam dan menggesek-


l l l l l l l l l l l l l

gesekkan alat kelamin Pelaku diatas alat kelamin anak korban sambil l l l l l l l l l l l l l l

mengulum bibir bawah anak korban selama kurang dari 1 (satu) menit, l l l l l l l l l l

setelah itu Pelaku langsung jongkok dengan posisi badan anak korban
l l l l l l l l l

berada diantara kaki kanan dan kaki kiri Pelaku, lalu Pelaku menurunkan
l l l l l l l l l l l l l l

celana dan celana dalam yang digunakan oleh anak korban sampai ke lutut
l l l l l l l l l l l l l l l

menggunakan tangan kanan sedangkan tangan kiri Pelaku berada diatas l l l l l l l l l l l l l l l

kasur untuk menyangga badan Pelaku, setelah itu Pelaku melipat kedua
l l l l l l l l l l

kaki anak korban, lalu anak korban mengatakan “ojo pak (jangan pak)” ,
l l l l l l l l l l l l l l l

namun Pelaku hanya diam saja dan tetap melanjur aksi bejatnya dan pada
l l l l l l l l l l l l l l l l

akhirnya pemerkosaanpun terjadi. Setelah itu Pelaku mengatakan “ojo


l l l l l l l l l l

ngomong sopo-sopo ndak bapak dipenjara” (jangan bilang siapa-siapa l l l l l l l l l l l l

nanti bapak dipenjara).


l l l l l

 Sekitar 5 (lima) menit kemudian, Pelaku datang menghampiri anak korban


l l l l l l l l l l

dan mengatakan “ ayo pisan meneh bar kui bapak janji ora bakal baleni”
l l l l l l l l l l l l l l

(Ayo sekali lagi setelah itu bapak janji tidak mengulangi lagi). Kelakuan
l l l l l l l l l l l l

bejat dari pelaku pun terjadi lagi. Setelah menyetubuhi korban sebanyak
l l l l l l l l l

dua kali, Pelaku mengatakan “ maaf yo nok, bapak nglakokke iki neng
l l l l l l l l l l l

kowe” (maaf ya nak, bapak melakukan ini ke kamu), pelaku pun pergi l l l l l l l l l l

meninggalkan korban yang sedang menangis. l l l l l l

 Tidak berhenti disitu, sekira bulan Juli 2020 sekira pukul 20.00 wib saat
l l l l l l

Pelaku sedang berada di rumah Sdr. Pelaku yang beralamat di


l l l l l l l l l l

Gunungkidul, Pelaku melihat anak korban sedang tidur dengan posisi l l l l l l l

badan miring ke kanan, kemudian timbul niat pada diri Pelaku untuk
l l l l l l l l l

menyetubuhi anak korban, dengan cara memeluk anak korban dengan l l l l l l l l l l

tidur disebelahnya, lalu mencium pipi kiri dan meraba kedua payudara l l l l l l l l l l
anak korban menggunakan tangan kanan, dan saat anak korban terbangun,
l l l l l l l l l l l l l l l l

Pelaku membalikkan badan anak korban hingga posisi terlentang


l l l l l l l l l l

menggunakan tangan kanan lalu berpindah posisi berada diatas anak l l l l l l l l l l l l l l

korban dengan posisi jongkok, dan akhirnya pelaku memperkosa korban


l l l l l l l l

untuk kesekian kalinya. Setelah itu Pelaku mengatakan kepada anak l l l l l l l l l l l l

korban “ngapuro sek gede nok, bapak salah, ora arep baleni meneh, bapak
l l l l l l l l l l l

khilaf” (maaf nak, bapak salah tidak mau mengulangi lagi, bapak khilaf).
l l l l l l l l l l l l l l l

 Pada awalnya, korban tidak mau mengatakan pada siapapun mengenai


l l l l l l l l l l l l l l l l

kekerasan seksual yang dialaminya. Kemudian pada hari Minggu tanggal l l l l l l l l l l l l l

31 November 2021 korban bercerita kepada saksi (mantan istri dan ibu l l l l l l l l

korban) untuk tidak bersekolah dan mau bersekolah jika ikut dengan saksi
l l l l l l l l l

di Bantul. Setelah ditanya, korban baru berani mengatakan bahwa korban


l l l l l l l l l l l l l

telah disetubuhi oleh Pelaku saat sedang tidur dirumah pelaku.


l l l l l l l

 Dari keterangan saksi 1 yang merupakan mantan istri pelaku dan ibu dari
l l l l l l l l l l l l

korban, ternyata sebelumnya juga melakukan pelecehan seksual kepada


l l l l l l l l l l l

anak pertama mereka yang dalam kasus ini juga berperan menjadi saksi 3.
l l l l l l l l l l l l l

Jadi sebenarnya ini bukan kali pertama pelaku melakukan tindak pidana
l l l l l l l l l l l l l

pelecehan seksual kepada anaknya. l l l l l l l

 Sekitar awal tahun 2021, saksi curiga terhadap perilaku anak korban yang
l l l l l l l l l l l l l

berubah menjadi anak yang pendiam dan tidak bersemangat. Hal tersebut l l l l l l l l l l l

didasarkan pada pengalaman saksi dimana pada tahun 2014 saksi pernah
l l l l l l l l l l l l l l l l

diraba-raba bagian payudara dan alat kelaminya Pelaku, lalu saksi


l l l l l l l l l l l l l l l l l

bertanya kepada anak korban, apakah Pelaku pernah melakukan pelecehan


l l l l l l l l l l l l l l l

seksual, lalu anak korban menjawab bahwa pernah diraba-raba oleh l l l l l l l l l l l l l l

Pelaku. l

Berdasarkan analisis penulis, menurut penulis umumnya faktor-faktor


l l l l l l l l

penybebab terjadi kekerasan seksual terjadi karena dua jenis faktor penyebab.
l l l l l l l l l l l

Kedua faktor tersebut adalah faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal
l l l l l l l l l l l l

merupakan faktor-faktor yang asalnya berasal dari dalam diri pelaku. Lebih
l l l l l l l l l l l l l l

jelasnya berikut adalah klasifikasi dari faktor-faktor internal tersebut :


l l l l l l l l l l l

1. Kondisi Psikologis Pelaku l


Kondisi ini dipengaruhi oleh adanya orientasi seksual yang sifatnya l l l l l l l l l

menyimpang berupa kondisi seks yang abnormal. Biasanya kondisi ini l l l l l l l l

disebabkan oleh pelaku yang tidak dapat mengendalikan nafsu seksualnya


l l l l l l l l l l l l

dengan baik atau dalam hal ini pelaku sulit untuk mengontrol rangsangan
l l l l l l l l l l l

seksual yang muncul di dalam dirinya sehingga hal tersebut memicu


l l l l l l l

terjadinya perbuatan seksual menyimpang yang dilakukan pelaku


l l l l l l l l l l

terhadap anaknya sendiri.l l l l l

2. Kondisi Biologis Pelaku l

Faktor biologis yang dimaksud dadalah kebutuhan manusia akan


l l l l l l l l l l l

seks yang tidak bisa terpenuhi atau tidak dapat disalurkan sebagaimana
l l l l l l l l l l l l l l

mestinya sehingga pelaku melampiaskannya kepada anaknya sendiri. Bisa l l l l l l l l l l l l l

dilihat pada kasus ini, dimana pelaku telah cukup lama bercerai dengan
l l l l l l l l l l l l

istrinya, sehingga kebutuhan biologisnya akan seks tidak terpenuhi dan


l l l l l l l l

berdampak pada munculnya orientasi seksual yang menyimpang dalam


l l l l l l l l l l l

diri pelaku. l

Selanjutnya adalah faktor eksternal. Faktor eksternal merupakan faktor-


l l l l l l l l l l l l

faktor yang berasal dari luar pelaku. Lebih jelasnya, berikut adalah klasifikasi dari
l l l l l l l l l l l l l l l

faktor-faktor eksternal tersebut:


l l l

1. Faktor Ekonomi
l

Rendahnya tingkat pendapatan serta rendahnya taraf hidup l l l l l l l l l l l

individu bisa dikatakan sangat mempengaruhi terjadinya tindak pidana, l l l l l l l l l l l l

hal demikian didasari pada asumsi bahwa dengan taraf hidup yang rendah
l l l l l l l l l l l l l l

menyebabkan tingkat pendidikan yang juga rendah. Semakin rendah l l l l l l l l l

tingkat pendidikan seseorang maka pengetahuan yang dimiliki orang


l l l l l l l l l

tersebut akan semakin rendah. Hal tersebut menimbulkan pelaku tidak l l l l l l l l

berpikir secara rasional akan dampak perbuatan kekerasan seksual yang l l l l l l l l l l l l l l

dilakukan terhadap anaknya.


l l l l l l l

2. Faktor Lingkungan
l l

Faktor lingkungan memiliki potensi untuk memengaruhi terjadinya


l l l l l

kekerasan seksual terhadap anak di dalam lingkungan keluarga. Ini


l l l l l l l l l l l l

disebabkan oleh fakta bahwa lingkungan yang tertutup memberikan


l l l l l l l l l
keuntungan bagi pelaku tindak pidana untuk melakukan perbuatan mereka l l l l l l l l l l l

tanpa diketahui oleh siapapun. Hal serupa terjadi dalam kasus ini, di mana
l l l l l l l l l l l l l

pelecehan seksual terjadi di rumah pelaku yang tidak ada orang selain l l l l l l l l l l l

korban dan pelaku. l l l

Selain faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, ada faktor lain yang
l l l l l l l l l l l l l

berkontribusi terhadap terjadinya kekerasan seksual terhadap anak, yaitu faktor l l l l l l l l l l l l l

moralitas pelaku. Moralitas merupakan aspek penting yang mengajarkan tentang


l l l l l l l l l l l l l

perilaku yang baik, dan hal ini sangat berperan dalam menentukan tingkah laku
l l l l l l l l l l l l l

seseorang. Oleh karena itu, jika seseorang tidak memiliki moralitas yang baik,
l l l l l l l l l l

mereka cenderung melakukan perbuatan jahat. Hal serupa terjadi dalam kasus
l l l l l l l l l l l l l

kekerasan seksual terhadap anak di dalam lingkungan keluarga, di mana


l l l l l l l l l l l l l l

kurangnya moralitas pada pelaku menjadi faktor yang mempengaruhi kejadian


l l l l l l l l l l l l l

tersebut (Nainggolan, 2008). l l

Selain itu, faktor media sosial juga berperan dalam meningkatkan risiko
l l l l l l l l l l

kekerasan seksual terhadap anak. Dalam era globalisasi saat ini, akses terhadap
l l l l l l l l l l l l l l l l l

konten pornografi melalui internet semakin mudah. Hal ini memiliki dampak l l l l l l l

buruk karena rangsangan dan pengaruh dari konten pornografi tersebut dapat
l l l l l l l l l l l

menyebabkan kecanduan pada mereka yang melihatnya. Kecanduan ini terjadi


l l l l l l l l l l l l l

karena otak menerima rangsangan yang serupa dengan mengonsumsi zat-zat


l l l l l l l l l l l l

dalam narkoba seperti kokain (Fauzi'ah, 2016).


l l l l l l l

4.2 Penegakan Hukum dalam Kasus Tindak Pidana Kekerasan Seksual l l l l l l l l l l l

Terhadap Anak l l l l

Jika merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, pelaku pelecehan


l l l l l l l l l l l

seksual adalah individu yang suka mencemooh atau meremehkan orang lain
l l l l l l l l l l l

dalam konteks seksual atau hubungan seksual antara pria dan wanita. Penegakan
l l l l l l l l l l l l l l l l

hukum terhadap kejahatan seksual terhadap anak tercermin dalam berbagai l l l l l l l l l l l l l l

undang-undang, antara lain Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem


l l l l l l l l l l

Peradilan Pidana Anak, UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, dan
l l l l l l l l l l l

UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan UU No. 23 tahun 2002 tentang l l l l l l

Perlindungan Anak. UU Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur perlakuan l l l l l l l l l l l l

terhadap anak-anak yang terlibat dalam kekerasan, termasuk masalah yang


l l l l l l l l l l l l l l l l l
kompleks terkait penahanan, sehingga muncul pertanyaan apakah sebaiknya anak l l l l l l l l l l l l l l l

pelaku diberikan hukuman atau dicari pendekatan lain.


l l l l l l l l l

Secara prinsip, anak belum sepenuhnya memahami konsekuensi dari


l l l l l l l l

tindakan yang mereka lakukan. Di sisi lain, Undang-Undang No. 35 Tahun 2014
l l l l l l l l l l

tentang Perubahan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengubah


l l l l l l l l l

Pasal 15 dengan memasukkan kejahatan seksual sebagai bagian yang harus


l l l l l l l l l l l l l l l

dilindungi dalam kasus yang melibatkan anak-anak. Selain itu, perubahan penting l l l l l l l l l l l l l

terjadi dalam hal unsur pemberat dan penambahan sanksi bagi pelaku kekerasan
l l l l l l l l l l l l l l

seksual yang merupakan tenaga pendidik. Hukuman bagi mereka ditingkatkan


l l l l l l l l l l l

sebesar sepertiga untuk memberikan efek jera.


l l l l

Meskipun Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 belum memberikan l l l l

sanksi yang cukup efektif dalam mengurangi kasus kekerasan seksual terhadap
l l l l l l l l l l l

anak, mengingat masih banyaknya kasus yang terjadi, diperlukan perubahan atau
l l l l l l l l l l l l l l l

revisi dengan menambahkan, mengurangi, atau bahkan menghapus beberapa l l l l l l l l l l l l

ketentuan. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang


l l l l l l l

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan


l l l l l l l l l

Anak dikeluarkan. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang


l l l l l l l l l l

Perlindungan Anak, Pasal 81 dan 82 mengatur tentang pemberian sanksi pidana. l l l l l l l l l l l l

1. Pasal 81 menyatakan: l l l l l

(1) Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau l l l l l l l l l l l l

ancaman kekerasan untuk memaksa anak melakukan persetubuhan


l l l l l l l l l l l l

dengannya atau dengan orang lain, akan dihukum dengan pidana l l l l l l l l l l l l

penjara maksimum 15 (lima belas) tahun dan minimal 3 (tiga) l l l l l l l l l

tahun serta denda maksimum Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta


l l l l l l l

rupiah) dan minimal Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). l l l l l l

(2) Ketentuan pidana sebagaimana dijelaskan pada ayat (1) juga l l l l l l l l l l l l l l

berlaku bagi orang yang dengan sengaja menggunakan tipu l l l l l l l l l

muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk l l l l l l l l l

melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. l l l l l l l l l l

2. Pasal 82 menyatakan: l l l l l
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau
l l l l l l l l l l l l

ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian


l l l l l l l l l l l l l

kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan


l l l l l l l l l l l

dilakukan perbuatan cabul, akan dihukum dengan pidana penjara


l l l l l l l l l l l l

maksimum 15 (lima belas) tahun dan minimal 3 (tiga) tahun serta denda
l l l l l l l l l l

maksimum Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan minimal Rp.
l l l l l l l

60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). l l l

Kemudian, dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang l l l l l l l

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang


l l l l l l l l

Perlindungan Anak, Pasal 81 dan 82 mengalami perubahan, dan bunyi l l l l l l l l l l l

pasal-pasal tersebut menjadi sebagai berikut:


l l l l l l l

1. Pasal 81 berbunyi:
l l

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam l l l l l l l l l l l l l

Pasal 76D akan dihukum dengan pidana penjara minimal 5 (lima)


l l l l l l l l l l l

tahun dan maksimal 15 (lima belas) tahun serta denda maksimum


l l l l l l l l l l

Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). l l l

(2) Ketentuan pidana sebagaimana dijelaskan pada ayat (1) juga l l l l l l l l l l l l l l

berlaku bagi setiap orang yang dengan sengaja menggunakan tipu


l l l l l l l l l l

muslihat, l serangkaian l l l kebohongan, l ataul l membujuk anak l l

melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.


l l l l l l l l l l

(3) Jika tindak pidana sebagaimana dijelaskan pada ayat (1) dilakukan
l l l l l l l l l l l l l l l l

oleh orang tua, wali pengasuh anak, pendidik, atau tenaga l l l l l l l l l l

kependidikan, maka pidananya akan ditambahkan 1/3 (sepertiga) l l l l l l l l l l l l

dari ancaman pidana sebagaimana dijelaskan pada ayat (1).


l l l l l l l l l l l l l l l l

2. Pasal 82 berbunyi :
l l

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud l l l l l l l l l l l

dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5


l l l l l l l l l l l l l

(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan dendal l l l l l l l l l l

paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).


l l l l l l

(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
l l l l l l l l l l l l l l l

dilakukan oleh Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau


l l l l l l l l l l
tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) l l l l l l l l l l l

dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).


l l l l l l l l l l l l l l l

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa terjadi l l l l l l l l l l l l l

perubahan dalam pemberian sanksi pidana bagi pelaku kekerasan seksual.


l l l l l l l l l l l l l

Awalnya, pelaku diancam dengan hukuman penjara minimal 3 tahun dan


l l l l l l l l l l l l l

maksimal 15 tahun, serta denda minimal Rp. 60.000.000,00. Namun, setelah


l l l l l l l l

perubahan undang-undang, sanksi pidana bagi pelaku kekerasan seksual menjadi


l l l l l l l l l l l l l

minimal 5 tahun penjara dan maksimal 15 tahun penjara, serta denda maksimal
l l l l l l l l l l l l l l

Rp. 5.000.000.000,00.
Selain itu, di Indonesia, pelecehan seksual juga dikenal dengan istilah
l l l l l l l l

"pencabulan" dalam peraturan perundangan-undangan, yang diatur dalam Pasal


l l l l l l l l l l l l l l l l

289 KUHP. Isi pasal tersebut adalah sebagai berikut: "Barangsiapa dengan l l l l l l l l l l l l

menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk l l l l l l l l l l l l l l

melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, akan dikenai pidana


l l l l l l l l l l l l l l l l

paling lama sembilan tahun karena melakukan perbuatan yang merusak


l l l l l l l l l l l l l

kehormatan dan kesusilaan.. l l l l l

Jika diperhatikan dari isi pasal tersebut, terdapat unsur-unsur yang


l l l l l l l l l

dijabarkan oleh penulis dengan penjelasan sebagai berikut:


l l l l l l l l

1. Istilah "barangsiapa" merujuk pada pelaku atau orang yang melakukan l l l l l l l l l l l l l l

tindak pidana pelecehan seksual. l l l l l

2. Tindakan l l "kekerasan l l atau l l ancaman l l l kekerasan" l l mengacu l pada l l

penggunaan kekuatan fisik. l l l l

3. Memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan l l l l l l l l l l l

perbuatan cabul atau pelecehan seksual, yang juga menyerang kehormatan l l l l l l l l l l l l

kesusilaan. l l

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, sanksi pidana untuk pelaku l l l l l l l l

tindak pidana pelecehan seksual yang tercantum dalam Pasal 289 KUHP. Untuk
l l l l l l l l l l l

informasi lebih rinci, KUHP menjela skan lebih rinci dalam pasal-pasal
l l l l l l l l l

berikutnya, termasuk Pasal 290 KUHP. Pasal 290 KUHP mengancam pelaku l l l l l l l l l

dengan pidana penjara maksimal tujuh tahun, dengan ketentuan sebagai berikut:
l l l l l l l l l l l l
1. Pelaku yang melakukan perbuatan cabul dengan seseorang yang
l l l l l l l l l l

diketahuinya sedang pingsan atau tidak berdaya. l l l l l l l l l

2. Pelaku yang melakukan perbuatan cabul dengan seseorang yang


l l l l l l l l l l

diketahuinya atau patut diduga bahwa orang tersebut belum mencapai usia
l l l l l l l l l l l l

15 tahun atau jika usianya tidak jelas, belum mencapai usia yang
l l l l l l l l l l l l

memenuhi syarat untuk melakukan pernikahan. l l l l l l

3. Pelaku yang membujuk atau menggoda seseorang yang diketahuinya atau


l l l l l l l l l l l

patut diduga bahwa orang tersebut belum mencapai usia 15 tahun atau jika
l l l l l l l l l l l l

usianya tidak jelas, belum mencapai usia yang memenuhi syarat untuk
l l l l l l l l l l

melakukan pernikahan, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan


l l l l l l l l l l l l

perbuatan cabul pada dirinya sendiri atau untuk berhubungan seks dengan
l l l l l l l l l l

orang lain tanpa pernikahan.


l l l l l l

Selanjutnya itu, terdapat pasal-pasal lain yang juga membahas mengenai perkara
l l l l l l l l l l l l l l l l

tersebut, lebih jelasnya, berikut adalah pasal-pasalnya: l l l l l l l l l l

1. Pasal 292 KUHP


l l

Menyatakan bahwa seseorang dewasa yang melakukan perbuatan l l l l l l l l l l l l l

cabul dengan orang yang belum dewasa dari jenis kelamin yang sama,
l l l l l l l l l l l

dengan diketahuinya atau seharusnya mengetahui bahwa orang tersebut


l l l l l l l l l l l

belum dewasa, akan dihukum penjara selama-lamanya lima tahun. l l l l l l l l l l l l l

2. Pasal 293 (1) KUHP


l l

Menyebutkan bahwa siapa pun yang menggunakan hadiah atau l l l l l l l l l l l l

perjanjian untuk memberikan uang atau barang kepada seseorang yang


l l l l l l l l l l l l

belum dewasa, dengan menyalahgunakan pengaruh yang timbul dari l l l l l l l l l l

hubungan keadaan atau dengan sengaja menyesatkan, untuk mendorong l l l l l l l l l l l

orang yang belum dewasa tersebut melakukan atau membiarkan dilakukan


l l l l l l l l l l l l

perbuatan cabul dengan dirinya, sedangkan mengenai ketidakdewasaannya


l l l l l l l l l l l l l

diketahui atau seharusnya diduga, akan dihukum penjara selama-lamanya


l l l l l l l l l l l l l l l

lima tahun. l l

3. Pasal 294 KUHP


l l

Menyatakan bahwa siapa pun yang melakukan perbuatan cabul l l l l l l l l l l l l l

dengan anak kandungnya, anak tiri, anak angkat, anak yang dipeliharanya,
l l l l l l l l l l l l l l l l l
atau dengan seseorang yang belum dewasa yang menjadi tanggungannya
l l l l l l l l l l l l

dalam asuhan, pendidikan, dan pemeliharaannya, atau dengan pelayan


l l l l l l l l l l l l l l l

laki-laki yang belum dewasa atau bawahannya yang belum dewasa, akan
l l l l l l l l l l l l l l l l

dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun. l l l l l l l l

4. Pasal 295 KUHP: l l

(1) Dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun, siapa pun l l l l l l l l l l l l l

yang dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan


l l l l l l l l l l l l

cabul yang dilakukan oleh anak kandungnya, anak tirinya, atau


l l l l l l l l l l l l l

anak angkatnya yang belum dewasa, oleh anak yang berada di


l l l l l l l l l l l l l

bawah pengawasannya, orang yang belum dewasa yang asuhannya


l l l l l l l l l l l l l l

dan pemeliharaannya diserahkan kepadanya, atau pelayannya yang


l l l l l l l l l l l l l l l l

belum cukup umur atau orang yang berada di bawahnya, dengan l l l l l l l l l l

orang lain. l l

(2) Dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun, siapa pun l l l l l l l l l l l l l

yang dengan sengaja menghubungkan atau memudahkan perbuatan


l l l l l l l l l l l

cabul, kecuali yang disebutkan dalam butir 1 di atas, yang


l l l l l l l l l

dilakukan oleh orang yang diketahuinya belum dewasa atau


l l l l l l l l l l

seharusnya diduga belum dewasa, dengan orang lain. l l l l l l l l

5. Pasal 296 KUHP l l

Menyatakan bahwa siapa pun yang dengan sengaja menyebabkan l l l l l l l l l l l l l

atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan
l l l l l l l l l l l l l

menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, akan dihukum penjara


l l l l l l l l l l l l l l l l

selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda maksimal Rp 15.000


l l l l l l l l l l l l l l

(lima belas ribu rupiah). l l l

Pemaparan dari undang-undang tentang penegakan hukum tersebut


l l l l l l l l l

kemudian akan dijadikan sebagai bahan acuan penulis dalam menganalisa


l l l l l l l l l l l l l l l l

keputusan hakim pada kasus kekerasan seksual terhadap anak di Kecamatan


l l l l l l l l l l l l l l l

Wonosari yang tertuang pada surat putusan hakim Nomor 11/Pid.Sus/2022/PN


l l l l l l l l

Wno

4.2.1 Hal-Hal yang Menjadi Pertimbangan Hakim l l l l l l l


Dakwaan utama dalam kasus ini adalah Pasal 81 ayat (1) jo pasal
l l l l l l l l l l l l l l l l l

76D jo Pasal 81 ayat (3) UU RI No. 17 Tahun 2016 tentang Penetapan


l l l l l l l l

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016


l l l l l l l

tentang Perubahan Kedua Atas UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang


l l l l l l l l

Perlindungan Anak jo Pasal 65 ayat (1) KUHP dengan unsur-unsur yang


l l l l l l l l l

akan menjadi pertimbangan hakim dalam memberikan vonis terhadap


l l l l l l l l l l l

pelaku. Unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut


l l l l l l

1. Orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga,


l l l l l l l l l l

pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang l l l l l l l l l l

menangani perlindungan anak, atau dilakukan olebih dari satu


l l l l l l l l l l l

orang. l

2. Melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak .l l l l l l l l l l l l l l l

3. Melakukan persetubuhan dengannya atau orang lain. l l l l l l l l l

4. Melakukan beberapa perbuatan yang dipandang berdiri sendiri.


l l l l l l l l l

Selanjutnya, terhadap unsur-unsur tersebut Majelis


l l l l l Hakim l

mempertimbangkan sebagai berikut : l l l l

1) Orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga,


l l l l l l l l l l

pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang l l l l l l l l l l

menangani perlindungan anak, atau dilakukan olebih dari satu


l l l l l l l l l l l

orang l

Didasarkan pada keterangan saksi-saksi, alat bukti surat l l l l l l l l l l l l

akta kelahiran Anak Korban dan Kartu Keluarga dari Pelaku, dan
l l l l l l l l l l l l l l

keterangan Pelaku. Bisa disimpulkan bahwa kedudukan Pelaku l l l l l l l l l

dalam keluarga korban adalah selaku Ayah Kandung dengan


l l l l l l l l l l l l l

memperhatikan hal-hal yang telah dipertimbangkan diatas. Dengan l l l l l l l l l l l

demikian, unsur Pelaku sebagai orang tua yang mengarah pada l l l l l l l l l l l

subyek pelaku tindak pidana telah terpenuhi. l l l l l

2) Melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak l l l l l l l l l l l l l l l

Menimbang, bahwa dari suatu konstrksi hukum dan dasar l l l l l l l l

polarisasi hukum maka dapatlah dibentuk suatu kesimpulan atau


l l l l l l l l l l l

kongklusi, sikap Pelaku yang melipat kedua kaki anak korban, lalu l l l l l l l l l l
anak korban mengatakan “ojo pak (jangan pak)”, namun Pelaku
l l l l l l l l l l l l

hanya diam saja dan memasukkan alat kelaminnya, dan kejadian


l l l l l l l l l l l l l l l

kedua kemudian Pelaku melepas celana dan celana dalam yang


l l l l l l l l l l l l

dipakai oleh anak korban kemudian membuka kedua kaki anak


l l l l l l l l l l l

korban menggunakan kedua tangan Pelaku, sedangkan anak korban


l l l l l l l l l l l l

tetap mempertahankan kedua kaki agar tetap rapat, sehingga dapat


l l l l l l l l l l l l l l

disimpulkan bahwa terdapat pemakaian tenaga badan yang tidak l l l l l l l l l l l l l l

terlalu ringan sebagai bentuk kekerasan.


l l l l l l

Selanjutnya dari hasil Visum et repertum psychiatricum l l l l l

ditemukan dampak psikologis pada Anak Korban sebagai akibat l l l l l l l l l l l l

dari kekerasan seksual yang dilakukan oleh Pelaku. Oleh karena


l l l l l l l l l l

itu, dalam hal ini dapat menunjukkan bahwa paksaan yang dialami
l l l l l l l l l l l l l l

oleh Anak Korban adalah paksaan secara psikis yang dapat l l l l l l l l l l l l l l

dikategorikan sebagai perbuatan memaksa sehingga perbuatan


l l l l l l l l l l l

kedua dan ketiga pun terjadi sehingga dengan demikian menurut


l l l l l l l

pandangan Hakim kekerasan dan memaksa sebagai sub unsur telah


l l l l l l l l l l l l

terpenuhi, maka menurut pandangan Majelis Hakim bahwa unsur l l l l l l l l l

melakukan kekerasan memaksa anak telah terpenuh.


l l l l l l l l l

3) Melakukan persetubuhan dengannya atau orang lain


l l l l l l l l l

Menimbang bahwa berdasarkan doktrin hukum yang l l l l l l l

berkenaan dengan pengertian persetubuhan dan dikaitkan dengan l l l l l l l l l

fakta hukum yang terungkap dipersidangan yang sebelumnya


l l l l l l l l

sudah dijabarkan, maka dapatlah dibentuk suatu konstruksi hukum


l l l l l l l l l l

bahwa pelaku terbukti telah melakukan persetubuhan dengan


l l l l l l l l

korban. Berdasarkan hal tersebut, majelis Hakim meyakini bahwa


l l l l l l l l l l

unsur bersetubuh dengannya telah terpenuhi. l l l

4) Melakukan beberapa perbuatan yang dipandang berdiri sendiri


l l l l l l l l l

Manimbang, l l bahwa l l dalam l l pembuktian l melakukan l l

perbarengan perbuatan Majelis Hakim dalam pembuktian unsur ini


l l l l l l l l l

juga perlu membuktikan bahwa apakah memang benar terjadi


l l l l l l l l l l

beberapa tindak pidana yang dipandang berdiri sendiri, untuk itu l l l l l l l l


berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan bahwa
l l l l l l l l l l l l l

peristiwa hukum yang pertama terjadi pertengahan bulan Juni 2020 l l l l l l l l

sekira pukul 21.00 wib peristiwa hukum yang kedua terjadi bulan
l l l l l l

Juni 2020 sekira pukul 21.05 wib di rumah Pelaku yang beralamat l l l l l l l

di Gunungkidul dan peristiwa hukum yang ketiga terjadi awal l l l l l l l

bulan Juli 2020 sekira pukul 20.00 wib bertempat di rumah Sdr. A
l l l l l

yang beralamat di, dalam unsur-unsur sebelumnya telah dipandang


l l l l l l l l l l

dari tiga peristiwa hukum itu Pelaku telah memenuhi seluruh unsur
l l l l l

dengan kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan


l l l l l l l l l l

dengannya dengan sempurna, artinya dalam hal ini terdapat tiga


l l l l l l l l l l l l

kali perbuatan pidana yakni pada peristiwa hukum yang pertama


l l l l l l l l l l l l

terjadi pertengahan bulan Juni 2020 sekira pukul 21.00 wib


l l l l l

peristiwa hukum yang kedua terjadi bulan Juni 2020 sekira pukul l l l l l l

21.05 wib di rumah Pelaku yang beralamat di Gunungkidul dan l l l l l l l

peristiwa hukum yang ketiga terjadi awal bulan Juli 2020 sekira l l l l l l l l

pukul 20.00 wib bertempat di rumah Sdr. A yang beralamat di l l l l l l l

Gunungkidul, dan dalam hal ini ketiga perbuatan tersebut l l l l l l l

dirumuskan dalam satu penuntutan oleh Penuntut Umum, sehingga l l l l l l

hal ini dapat pula dilakukan satu penjatuhan pidana terhadap diri
l l l l l l l l l l l l l

Pelaku, l dengan l demikian l kesimpulannya l l Majelis l Hakim l

memandang l l bahwa l l Pelaku l telah l melakukan l l perbarengan l l

perbuatan, sehingga unsur melakukan beberapa perbuatan yang


l l l l l l l l l l

dipandang berdiri sendiri telah terpenuhif.


l l l

Selain itu, Hakim juga menimbang Menimbang, bahwa untuk


l l l l l l l

menjatuhkan pidana terhadap Pelaku maka perlu dipertimbangkan terlebih


l l l l l l l l l l l

dahulu keadaan yang memberatkan dan yang meringankan Pelaku.


l l l l l l l l l l l l

 Keadaan yang memberatkan


l l l l l l

1) Pelaku sebagai orang tua kandung Anak Korban seharusnya l l l l l l l l l l l

menjadi pelindung bagi anak korban, namun justru l l l l l l

melakukan suatu perbuatan yang sangat-sangat tercela l l l l l l l l l l l

terhadap Korban. l l l
2) Perbuatan Pelaku menimbulkan tekanan psikis yang sangat l l l l l l l l l

berat dan trauma yang mendalam, hal demikian sangat sulit


l l l l l l l l l l l

untuk memulihkannya. l l

3) Perbuatan Pelaku terdapat gabungan tindak pidana. l l l l l l l l l l

 Keadaan yang meringankan


l l l l l l

1) Pelaku bersikap sopan dan kooperatif dipersidangan. l l l l l l l

4.2.2 Putusan Hakim l l

Berikut adalah poin-poin yang menjadi putusan hakim: l l l l l l l

1. Menyatakan Pelaku, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah


l l l l l l l l l l l l

atas beberapa tindak pidana yang dipandang berdiri sendiri sebagai


l l l l l l l l l l l l

orang tua dengan kekerasan memaksa anak untuk melakukan


l l l l l l l l l l l

hubungan seksual dengannya sebagaimana didakwakan dalam l l l l l l l l l l l l l

dakwaan primair.
l l l l

2. Menjatuhkan hukuman pidana kepada Pelaku dengan pidana


l l l l l l l l l l l

penjara selama 15 (lima belas) tahun dan denda dengan jumlah Rp


l l l l l l l l l l l

3.750.000.000,00 (tiga milyar tujuh ratus lima puluh juta rupiah) l l l l l l

dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak mampu untuk


l l l l l l l l

dibayar, maka akan diganti dengan pidana kurungan selama 6


l l l l l l l l l l l l l

(enam) bulan. l l

3. Menjatuhkan hukuman tambahan berupa mengumumkan identitas


l l l l l l l l l

Pelaku sebagai Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak selama 1


l l l l l l l l l l l l l

(satu) bulan kalender melalui media cetak maupun online


l l l l l l l

4. Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani


l l l l l l l l l l l l l l l

Pelaku dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;


l l l l l l l l l l

5. Menetapkan Pelaku tetap ditahan; l l l l l l

6. Menetapkan barang bukti berupa : l l l l l

1) (satu) potong Kaos lengan pendek motif garis berwarna l l l l l l

putih kombinasi ungu dengan merk COTTON CLUB. l l

2) 1 (satu) potong Bra warna cokelat dengan motif bunga l l l l l l l

warna hitam”. Dimusnahkan;


l l l l l
7. Membebankan kepada Pelaku untuk membayar biaya perkara l l l l l l l l l l l

sejumlah Rp.5000.- (lima ribu rupiah). l l l

Berdasarkan analisis dari penulis, keputusan akhir dari hakim l l l l l l l l l l

tersebut sudah sangat tepat, dimana pelaku menerima vonis penjara selama l l l l l l l l l l l l

15 (lima belas) tahun dan denda sejumlah Rp 3.750.000.000,00 (tiga l l l l l l l

milyar tujuh ratus lima puluh juta rupiah). Hukuman pidana tersebut sudah
l l l l l l l l l

merupakan hukuman maksimal dari tindak pidana kekerasan seksual l l l l l l l l l l l l

terhadap anak dibawah umur seperti yang tercantum pada Undang-Undang


l l l l l l l l l l l l

Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor l l l l l l l l

23 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. l l l l l

4.3 Perlindungan Hukum Bagi Korban l l l

Konvensi Hak-hak Anak (KHA) adalah sebuah kesepakatan di mana anak l l l l l l l l l l l l l l l l

diakui sebagai individu yang berusia di bawah 18 tahun, kecuali jika undang-
l l l l l l l l l l l

undang suatu negara menentukan usia dewasa yang lebih awal. KHA menganut
l l l l l l l l l l l l l

empat prinsip utama, yaitu prinsip bebas dari diskriminasi, prinsip mengutamakan
l l l l l l l l l l

kepentingan yang terbaik bagi anak, prinsip menjunjung tinggi hak untuk hidup,
l l l l l l l

dan prinsip menjunjung tinggi kebebasan berpendapat.


l l l l l

Salah satu pelanggaran terhadap hak anak menurut Konvensi Hak Anak
l l l l l l l l l l l l l l

(KHA) adalah pelecehan seksual yang terjadi pada anak di bawah umur. Pasal 19
l l l l l l l l l l l l l l l l

KHA menyatakan bahwa negara harus mengambil langkah-langkah legislatif,


l l l l l l l l l l l l l l l

administratif, sosial, dan pendidikan untuk melindungi anak dari segala bentuk
l l l l l l l l l l

kekerasan fisik, kekerasan mental, cedera atau penyalahgunaan, penelantaran, atau


l l l l l l l l l l l l l l l l l

perlakuan atau eksploitasi. Pasal 34 KHA juga menegaskan kewajiban dan tugas
l l l l l l l l l l l l l l l

negara untuk melindungi anak dari segala bentuk eksploitasi seksual dan
l l l l l l l l l l

penyalahgunaan seksual. l l l l l

Indonesia telah mengikatkan diri dengan KHA melalui Keputusan l l l l l l l l

Presiden Nomor 36 tahun 1990, yang mengakibatkan adanya kewajiban sesuai l l l l l l l l l l l

dengan kesepakatan yang tercantum dalam KHA dan diimplementasikan melalui


l l l l l l l l l l l l l

hukum nasional Indonesia melalui perundang-undangan. Sebagai wujud l l l l l l l l l

komitmen negara terhadap KHA, Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang l l l l l l l l l l l

No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang mengacu pada ketentuan
l l l l l l l l l l
KHA. Sebelum disahkannya Undang-Undang No. 23 Tahun 2002, terdapat
l l l l l l l l l

beberapa peraturan kebijakan perundang-undangan yang menjadi pedoman


l l l l l l l l l l l l

perlindungan anak, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan l l l l l l l l l l

Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.


l l l l l l l l l

Dalam hukum pidana Indonesia, tindakan seksual oleh orang dewasa


l l l l l l l l l l l

terhadap anak dianggap sebagai salah satu bentuk kejahatan yang merugikan
l l l l l l l l l l l l l l l l

korban, sehingga tindakan tersebut dapat diancam dengan hukuman pidana.


l l l l l l l l l l l l

Perlindungan hukum diberikan bagi korban pelecehan seksual yang merupakan l l l l l l l l l

anak berdasarkan KUHP, antara lain:


l l l l l l l l l

1. Pasal 292 KUHP menyatakan bahwa orang dewasa yang melakukan


l l l l l l l l l l l l l

perbuatan cabul dengan orang lain dari jenis kelamin yang sama, yang l l l l l l l l l l l l

diketahui atau seharusnya harus diduga belum cukup umur, dapat dihukum l l l l l l l l l

dengan pidana penjara maksimal lima tahun. l l l l l l l l l

2. Pasal 281 KUHP mengatur tentang perbuatan sengaja melakukan atau


l l l l l l l l l l l l

menyuruh melakukan persetubuhan di muka umum atau di hadapan orang l l l l l l l l l l

lain. Perbuatan tersebut dilakukan di hadapan orang lain dan disaksikan


l l l l l l l l l l l l l

oleh mereka. l

3. Pasal 289 KUHP mengatur tentang perbuatan cabul yang dilakukan oleh
l l l l l l l l l l

seseorang terhadap orang lain dengan ancaman kekerasan atau kekerasan l l l l l l l l l l l l l l l

yang menyebabkan serangan terhadap kesusilaan korban karena kurangnya


l l l l l l l l l l l l l l

kemauan atau paksaan untuk melaksanakan tindakan tersebut dan sanksi


l l l l l l l l l l l l l l l

pidana penjara 9 tahun. l l l l l

Pengaturan mengenai tindakan yang telah dikategorikan sebagai tindak l l l l l l l l l l l l

pidana pelecehan seksual dalam KUHP mengatur pemberian sanksi pidana


l l l l l l l l l l l

terhadap pelanggar atau pelaku tindak pidana tersebut. Namun, meskipun ada
l l l l l l l l l l l l l

ketentuan tersebut, ketiga pasal tersebut tidak secara jelas menjelaskan batasan
l l l l l l l l l l l l l

usia seseorang yang dapat dikategorikan sebagai anak di bawah umur. Selain itu,
l l l l l l l l l l l l l l

ancaman hukuman pidana dianggap kurang efektif dalam memberikan efek jera
l l l l l l l l l l l l l

kepada pelaku yang telah menyebabkan kerugian baik secara fisik maupun mental
l l l l l l l l l l l l l

kepada korban yang merupakan anak di bawah umur.


l l l l l l l l l l
Dalam upaya melindungi anak sesuai dengan Konvensi Hak Anak (KHA),
l l l l l l l l l l l l

Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang l l l l l l l l

Perlindungan Anak. Undang-Undang ini menetapkan batasan usia anak sebagai l l l l l l l l l l l l l l l

individu yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam l l l l l l l l l l

kandungan. Namun, seiring berjalannya waktu, Undang-Undang No. 23 Tahun


l l l l l l l l l l

2002 menimbulkan kekhawatiran di masyarakat karena perlindungan yang l l l l l l l l l l l l

dianggap belum efektif. Untuk mengatasi hal ini, dilakukan perubahan dalam
l l l l l l l l l l l

beberapa pasal Undang-Undang tersebut, yang kemudian diwujudkan dalam


l l l l l l l l l l l

Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang


l l l l l l l l l l

No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Perubahan formulasi ini dimulai l l l l l l l l l

dengan definisi kekerasan yang menyatakan bahwa kekerasan adalah setiap


l l l l l l l l l l l l l l l

perbuatan terhadap anak yang menyebabkan penderitaan atau kesengsaraan secara


l l l l l l l l l l l l l l l l l l

fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan l l l l l l l l l l l l l

perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.


l l l l l l l l l l l l l l l l

Dalam ketentuan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002, tidak secara tegas


l l l l l l l l l l

dijelaskan bahwa definisi kekerasan terhadap anak dapat digolongkan sebagai


l l l l l l l l l l l l l l l

tindakan pelanggaran yang melawan hukum. Dampak dari tindakan kekerasan


l l l l l l l l l l l l l l l

tersebut kemudian dijelaskan dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2014. l l l l l l l l

Kekerasan terhadap anak dapat terjadi dalam berbagai lingkup masyarakat, mulai
l l l l l l l l l l l l l l l l l l

dari lingkungan pelayanan kesehatan, lingkungan akademik, rumah tangga,


l l l l l l l l l l l l l

hingga dalam lingkungan bermain anak. l l l l l l l

Menyadari keberadaan kekerasan dan pelecehan seksual yang dilakukan l l l l l l l l l l l l l

oleh tenaga akademik atau pekerja di lingkungan pertumbuhan anak, terdapat l l l l l l l l l l l l l

penambahan pihak yang bertanggung jawab dalam kegiatan perlindungan anak


l l l l l l l l l l l l l l l

dalam kebijakan Undang-Undang No. 35 tahun 2014. Terdapat pengaturan


l l l l l l l l l l l

tambahan yang menetapkan tanggung jawab dan kewajiban bagi akademisi,


l l l l l l l l l l l l l l l

organisasi kemasyarakatan, dan individu yang peduli terhadap anak dalam


l l l l l l l l l l l l l l l

melaksanakan perlindungan anak, selain tanggung jawab masyarakat yang diatur


l l l l l l l l l l l l l l l l l

dalam Pasal 25 ayat (2) Undang-Undang No. 35 tahun 2014.


l l l l l l l l l

Penambahan tanggung jawab ini bertujuan untuk melindungi anak dari l l l l l l l l l l

tindakan yang merugikan kesehatan dan perkembangannya, seperti yang baru


l l l l l l l l l l l l
ditambahkan dalam Pasal 45B UU No. 35 tahun 2014. Selain itu, perlindungan
l l l l l l l l l l

terhadap anak tidak hanya terkait dengan jenis tindakan, subjek, dan lingkungan
l l l l l l l l l l l l l

tempat anak berada. Terdapat penambahan yang jelas mengenai perlindungan


l l l l l l l l l l l l l l

khusus yang diberikan kepada anak dengan HIV/AIDS, anak korban kejahatan l l l l l l l l l l l l l l

seksual, anak korban jaringan terorisme, anak dengan perilaku sosial l l l l l l l l l l l

menyimpang, dan anak yang menjadi korban stigmatisasi terkait kondisi orang tua l l l l l l l l l l l l

mereka. l

Dalam penanganan kasus yang melibatkan anak, terutama dalam proses


l l l l l l l l l l l l l l l

peradilan pidana yang sedang berlangsung, terdapat beberapa perlindungan terkait


l l l l l l l l l l l l l

hal-hal yang dapat memberikan ketenangan kepada anak sebagai korban. Salah
l l l l l l l l l l l l l l l l l

satunya
l l adalah l l l pengaturan l l mengenai l pihak-pihak l l seperti pembimbing
kemasyarakatan, pekerja sosial profesional, penyidik, penuntut umum, hakim,
l l l l l l l l l

pengacara, dan pihak lain yang bertujuan menjaga suasana yang bersifat keluarga,
l l l l l l l l l l l l l l l l l

dan untuk tidak menggunakan toga atau atribut kedinasan seperti yang diatur
l l l l l l l l l l l l

dalam Pasal 18 dan Pasal 22 UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
l l l l l l l l l l l

Pidana Anak. Sidang peradilan pidana bagi anak diselenggarakan secara tertutup,
l l l l l l l l l l l l l l l l l

namun terkadang suasana di ruang sidang dapat membuat anak merasa tidak
l l l l l l l l l l l l l l l l

nyaman. l l

Hakim dalam peradilan pidana anak memiliki wewenang untuk l l l l l l l l l l

memerintahkan anak keluar dari ruang sidang sesuai dengan Pasal 58 ayat (1) UU l l l l l l l l l l l l l l

No. 11 Tahun 2012. Selain perlindungan di dalam ruang sidang, perlindungan l l l l l l l l

tetap diberikan jika anak korban tidak dapat hadir untuk memberikan keterangan
l l l l l l l l l l l l l

di pengadilan, seperti yang diatur dalam Pasal 58 ayat (3) UU No. 11 Ta hun 2012. l l l l l l l l l l l

Hakim dapat memerintahkan anak korban dan/atau saksi untuk memberikan


l l l l l l l l l l l l l

keterangan di luar sidang pengadilan melalui perekaman elektronik yang


l l l l l l l l l l

dilakukan oleh pembimbing kemasyarakatan di daerah hukum setempat dengan


l l l l l l l l l l l

kehadiran penyidik atau penuntut umum, penasehat hukum, atau melalui


l l l l l l l l l

pemeriksaan jarak jauh dengan menggunakan alat komunikasi audiovisual dengan l l l l l l l l l l l l l l

pendampingan orang tua/wali, pembimbing kemasyarakatan, atau pendamping


l l l l l l l l l l l l l

lainnya. Hal ini sesuai dengan ketetapan dalam Inpres No. 5 Tahun 2014 tentang
l l l l l l l l l l l

Gerakan Nasional Anti Kejahatan Seksual (GN-AKSA) yang ditujukan kepada


l l l l l l l l l l l l l l l
penegak hukum, yaitu pihak Jaksa Agung dan pihak Kepala Kepolisian Negara
l l l l l l l l l l l l l

Republik Indonesia, untuk mempercepat penanganan dan penyelesaian perkara l l l l l l l l l l

yang berkaitan dengan kejahatan seksual terhadap anak. GN-AKSA juga


l l l l l l l l l l l l l l l

mengajak semua pihak yang terlibat, baik lembaga dibawah naungan


l l l l l l l l l l l l l

pemerintahan kementerian maupun non-kementerian, pusat dan daerah, serta l l l l l l l l l l

masyarakat dan daerah, hingga masyarakat dan dunia untuk kemudian bersatu dan
l l l l l l l l l l l l l l l l l

saling bahu-membahu dalam upaya memerangi kejahatan seksual anak.


l l l l l l l l l l l l l l

Hak-hak lain yang diberikan kepada anak sebagai korban telah diatur
l l l l l l l l l l l l l l

dengan jelas dalam UU No. 11 Tahun 2012 Pasal 90 ayat (1), yang menyatakan
l l l l l l l l l l l l l

bahwa anak berhak mendapatkan upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial,
l l l l l l l l l l l l l l l l

jaminan keselamatan fisik, mental, dan sosial, serta akses mudah untuk
l l l l l l l l l l l

mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara. Hak-hak ini merupakan


l l l l l l l l l l l l l

bentuk restitusi atas hak-hak yang telah dicabut dari anak agar mereka dapat l l l l l l l l l l l l l l l

tumbuh dan berkembang dengan baik. l l l l

Berdasarkan Pasal 64 UU No. 35 Tahun 2014, perlindungan khusus l l l l l l l

terhadap identitas anak, terutama anak korban, telah diatur dengan penghindaran
l l l l l l l l l l l l l l l

publikasi yang mencantumkan identitas mereka. Ketentuan ini sejalan dengan l l l l l l l l l l

kewajiban untuk merahasiakan identitas anak yang telah diatur dalam Pasal 61
l l l l l l l l l l l l l l l l

ayat (2) UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Pasal
l l l l l l l l l l l l

tersebut menyatakan bahwa "Identitas Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi l l l l l l l l l l l l l l l l l

harus tetap dirahasiakan oleh media massa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
l l l l l l l l l l l l l l l l l l

dengan hanya menggunakan inisial tanpa gambar." Perlindungan khusus ini


l l l l l l l l l l l

diberikan kepada anak korban kejahatan kekerasan seksual untuk melindungi l l l l l l l l l l l l

mereka dari kerugian yang timbul, termasuk dampak negatif terhadap l l l l l l l l l l

perkembangan dan pertumbuhan anak akibat tindakan kejahatan tersebut. l l l l l l l l l l l l l

Kebijakan perundang-undangan telah menetapkan berbagai upaya dalam l l l l l l l l l l l l l l

rangka memberikan perlindungan yang lebih baik akibat terjadinya tindak


l l l l l l l l l l l

kejahatan terhadap anak. Upaya tersebut mencakup edukasi mengenai reproduksi,


l l l l l l l l l l l l

nilai agama, nilai kesusilaan, rehabilitasi sosial, pendampingan psikososial selama


l l l l l l l l l l l l l l l

pengobatan dan pemulihan, serta pemberian perlindungan dan pendampingan l l l l l l l l l l


pada setiap tahapan sistem peradilan pidana, mulai dari penyidikan, penuntutan,
l l l l l l l l l l l l l l

hingga persidangan, sebagaimana diatur dalam Pasal 69A UU No. 35 Tahun 2014. l l l l l l l l l l l l l l

Dalam formulasi kebijakan UU No. 35 Tahun 2014, diperkenalkan sanksi


l l l l l l l l l

pidana yang lebih berat bagi pelaku dan upaya perlindungan khusus bagi korban
l l l l l l l l l l l l

anak, terutama dalam kasus pelecehan seksual. Pemberatan sanksi pidana yang
l l l l l l l l l l l l l l l

diberikan kepada pelaku bertujuan untuk melindungi hak dan kepentingan anak l l l l l l l l l l

dalam mencapai keadilan yang pantas, tanpa mengurangi hak asasi lain yang
l l l l l l l l l l l l l l l l l

dimiliki oleh pelaku. Perlindungan anak tidak terlepas dari pelaksanaan l l l l l l l l l l l

perlindungan yang dilakukan oleh berbagai pihak sesuai dengan kewenangan l l l l l l l l l l l

yang diatur dalam Pasal 21 UU No. 35 Ta hun 2014. Salah satu lembaga yang
l l l l l l l l l l l l l

memiliki kewajiban dalam melaksanakan perlindungan terhadap hak-hak anak l l l l l l l l l l l l l l l

adalah Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).


l l l l l l l l

Dalam melaksanakan perlindungan terhadap anak korban, KPAI memiliki


l l l l l l l l l l l l l

tugas sebagai pengawas dan penyelenggara perlindungan anak sesuai dengan


l l l l l l l l l l l l l

Pasal 76 UU No. 35 Tahun 2014. KPAI dapat meminta bantuan dari lembaga lain,
l l l l l l l l l l l l l

termasuk Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), dalam memberikan


l l l l l l l l l l

perlindungan kepada anak korban dan/atau saksi. Tujuan dari pelaksanaan l l l l l l l l l l l l l l l l

perlindungan terhadap anak korban adalah untuk mengembalikan hak yang telah l l l l l l l l l l l l l l

hilang akibat tindak pidana yang dialami oleh anak tersebut, serta mencegah
l l l l l l l l l l l l l

adanya penambahan hak anak yang dapat terenggut. Hal ini sejalan dengan Pasal
l l l l l l l l l l l l l l l l l l

5 ayat (1) huruf a UU No. 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan
l l l l l l l l

Korban yang menyatakan bahwa "Saksi dan Korban berhak memperoleh l l l l l l l l l l l

perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas l l l l l l l l l l l l l l l l

dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah
l l l l l l l l l l l l l l l l l

diberikan". l

Dalam konteks pemberian perlindungan bagi saksi dan korban, terutama


l l l l l l l l l l

korban anak yang harus memberikan keterangan saat berlangsungnya, akan


l l l l l l l l l l l l l l

berlangsungnya, atau telah berlangsungnya persidangan dalam sistem peradilan


l l l l l l l l l l l l l

pidana, langkah-langkah harus diambil untuk menghindari ancaman yang dapat


l l l l l l l l l l l l l l l

dialami oleh anak serta meminimalkan ketakutan yang mungkin dirasakan oleh
l l l l l l l l l l l l l

anak. Sesuai dengan Pasal 23 ayat (2) UU No. 11 Ta hun 2012, anak harus
l l l l l l l l l l l l
didampingi oleh orang tua mereka dan/atau orang kepercayaan anak atau pekerja
l l l l l l l l l l l l l l l l

sosial sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.


l l l l l l l

Perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi korban tindak pidana


l l l l l l l l l l l

pelecehan seksual terbagi menjadi dua, yaitu perlindungan anak secara yuridis
l l l l l l l l l l l

yang mencakup perlindungan hukum baik dalam hukum publik maupun


l l l l l l l

keperdataan, serta perlindungan anak secara non yuridis yang meliputi


l l l l l l l l l l

perlindungan sosial, kesehatan, dan pendidikan. Mengingat adanya kesulitan yang


l l l l l l l l l l l l

dihadapi oleh anak sebagai korban dan perlunya perhatian khusus, Pasal 59 UU
l l l l l l l l l l l l l

No. 35 Tahun 2014 memperkuat ketentuan mengenai perlindungan khusus bagi


l l l l l l

korban anak tindak pidana pelecehan seksual.


l l l l l l l l
BAB V l

KESIMPULAN DAN SARAN l l l l

5.1 Kesimpulan l

Berdasarkan hasil pembahasan diatas, bisa disimpulkan bahwa faktor-


l l l l l l l l l l l l l l

faktor yang menyebabkan terjadinya kasus kekerasan seksual pada anak yang
l l l l l l l l l l l l l l l

terjadi di Kecamatan Wonosari terjadi karena beberapa faktor. Faktor-faktor


l l l l l l l l l l l l l

tersebut terdiri faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor l l l l l l l l l l l

yang berasal dari dalam diri pelaku yang terdiri dari keadaan psikis pelaku dan
l l l l l l l l l l l l l l

kondisi biologis pelaku. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang berasal l l l l l l l l l l l l

dari luar yang terdiri dari keadaan ekonomi dan keadaan lingkungan pelaku.
l l l l l l l l l l l l l

Untuk penegakan hukumnya sendiri, berdasarkan analisis dari penulis l l l l l l l l l

sudah cukup tepat. hal tersebut bisa dilihat dari hakim yang memberikan vonis
l l l l l l l l l

maksimal terhadap pelaku, yaitu hukuman 15 tahun penjara dan denda denda
l l l l l l l l l l l l l

sejumlah Rp 3.750.000.000,00 (tiga milyar tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
l l l l l l l

Hukuman pidana tersebut sudah merupakan hukuman maksimal dari tindak l l l l l l l l l l l

pidana kekerasan seksual terhadap anak dibawah umur seperti yang tercantum
l l l l l l l l l l l l l

pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-


l l l l l l l l l l l

Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.


l l l l l l

5.2 Saran l l

Hukum normatif di Indonesia sudah mengatur tentang tindak pidana l l l l l l l l

kekerasan seksual terhadap anak dibawah umur. Undang-undang tersebut


l l l l l l l l l l l

bertujuan untuk memberikan efek jera kepada pelaku dan supaya orang lain
l l l l l l l l l l l

merasa takut untuk melakukan tindak pidana tersebut. Penulis menyarankan,


l l l l l l l l l l l

seharusnya pemerintah juga memperhatikan upaya-upaya yang sifatnya prefentif,


l l l l l l l l l l l l l

seperti melakukan sosialisasi tentang pelecehan seksual kepada masyarakat l l l l l l l l l l l l l

terutama kepada para orang tua supaya mereka paham benar mengenai peran
l l l l l l l l l l l l l l l l

mereka dan tidak melakukan penyimpangan. l l l l l l l


DAFTAR PUSTAKA l l l l

Abdussalam, R. dan Andri Desasfuryanto. 2016. Hukum Perlindungan Anak.


l l l l l l l l l l

Jakarta: PTIK. l l l

Adonara, Firman Floranta. 2015. Prinsip Kebebasan Hakim dalam Memutus


l l l l l l l l l l l

Perkara sebagai Amanah Konstitusi. Jurnal Konstitusi.. l l l l l l l l

Al-Kasani , ‘Ala’ Ad-Din. 1996. Kitab Bada’ Ash-Shanai’ fi Tartib Asy-Syarai’.


l l l l l l l l l l l l l l l l

Beirut: Dar Al-Fikr. l l

Amrunsyah. 2017. Tindak Pidana Perlindungan Anak (Perspektif Hukum Tentang


l l l l l l l l l

Undang-Undang Anak). Jurnal AL-QADHA. l l l l l l l l

Audah, Abdul Al-Qadir. Tanpa Tahun. At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islami. Beirut:


l l l l l l l l l l l l l l

Dar Al-Kitab Al-‘Araby l l l l l l

Azikin, Amiruddin, Zainal. 2013. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta:


l l l l l l l l l l

Rajawali Pers. l l l

Bassar, M. Sudrajat. 1986. Tindak-Tindak Pidana Tertentu Didalam Kitab


l l l l l l l l l l l

Undang-Undang Hukum Pidana. Bandung: Remaja Rosda Karya. l l l l l l l l l l

Chazawi Adami. 2007. Tindak Pidana mengenai Kesopanan, Jakarta: PT Raja


l l l l l l l l l l l l l l l

Grafindo Persada. l l l

Darmawan, Deni. 2014. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Rosdakarya.


l l l l l l l l l l

Djamil, M. Nasir. 2013. Anak Bukan Untuk Dihukum. Jakarta: Sinar Grafika.
l l l l l l l l l l l

Djazuli, A. 2000. Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam).


l l l l l l l l l l l l l l

Jakarta: PT Raja Grafindo. l l l l l l

Fauzi’ah, S. (2016). Faktor Penyebab Pelecehan Seksual Terhadap Anak. Jurnal


l l l l l l l l l l l

Studi Gender dan Islam, 09(2). l l

Harahap, Krisna. 2008. Hukum Acara Pidana. Bandung: PT.Grafitri Budi Utami.
l l l l l l l l l l l l

Hartini. 2018. Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Persetubuhan Yang Dilakukan


l l l l l l l l l l

Dengan Kekerasan Oleh Anak Terhadap Anak. Skripsi, Universitas l l l l l l l l l l

Hasanudddin, Makassar. l l l l l

Nainggolan, L. H. (2008). Bentuk-Bentuk Kekerasan Seksual Terhadap Anak di


l l l l l l l l l

Bawah Umur. Jurnal Equality, 13(1). l l l l

Anda mungkin juga menyukai