TERHADAP ANAK
(Studi Kasus putusan hakim Nomor 11/Pid.Sus/2022/PN Wno)
SKRIPSI
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONOROGO
2022
BAB I
PENDAHULUAN
anak atas hak-hak nya yang mencakup kesempatan akan kehidupan, pertumbuhan
dan perkembangan atasnya. Selain itu, anak juga diharapkan mampu berpartisipasi
secara optimal dalam bermasyarakat, serta mendapat perlindungan penuh dari
segala bentuk kekerasan dan diskriminasi.
Seiring dengan perkembangan teknologi dan era digital yang sangat tidak
terkontrol dan bebas, hal itu bisa mempengaruhi pola tingkah laku manusia.
Cepatnya perkembangan teknologi di era digital ini, dapat menimbulkan dampak
positif dan juga dampak negatif tergantung dari pengguna teknologi itu sendiri.
Contoh dampak negatifnya adalah nilai-nilai kebaikan sudah semakin tergerus,
mengalami kemerosotan/kemunduran (dekadensi).
Nilai moral dan etika menjadi semakin sulit didapatkan bahkan semakin
lagka. Pemberitaan mendominasi hal-hal negatif seperti tentang tindakan kriminal
dan anarkis, tindakan kriminal dan anarkis meliputi contoh seperti pembunuhan
sadis, pemerkosaan, pencurian, pembegalan. Hal ini juga banyak terjadi dan
dilakukan oleh pelaku yang tergolong di bawah umur (anak-anak).
Salah satu dampak dari teknologi yang semakin pesat adalah munculnya
internet. Internet dapat diakses dengan sangat bebas dan oleh siapa saja, sehingga
sering terjadi konten-konten yang ada diinternet menjadi konsumsi bagi anak-
anak yang seharusnya belum cukup umur untuk melihatnya, seperti konten yang
mengandung unsur kekerasan atau pornografi. Seharusnya konten tersebut
diperuntukkan pada orang tua yang telah memiliki ikatan pernikahan.
Anak berperan sebagai generasi penerus bangsa seharusnya memang
mendapat perhatian khusus dalam rangka meningkatkan kualitas dari sumber daya
manusia. Sehubungan untuk pembimbingan anak dibutuhkan sarana serta
prasarana hukum yang dapat mencegah segala persoalan yang akan muncul, yaitu
berkaitan dengan keterlibatan anak maupun yang berkaitan dengan sikap dan
perilaku yang menyimpang dikalangan anak yang menyebabkan anak harus
terlibat dan berhadapan dengan pidana.
Anak merupakan aset berharga yang memiliki peran penting dalam
pembangunan kehidupan berbangsa dan bernegara. Mereka merupakan tunas
bangsa dan generasi pewaris yang perlu mendapatkan pendidikan, perlindungan,
dan perhatian yang baik. Pembentukan karakter anak sangat dipengaruhi oleh
perlakuan yang diberikan oleh keluarga. Karakter seseorang mulai terbentuk sejak
usia dini, dan peran orangtua memiliki pengaruh yang signifikan dalam hal ini.
Kekurangan perhatian serta kurangnya kasih dan sayang oleh orangtua
merupakan satu dari sekian banyak faktor yang menjadi penyebab munculnya
perilaku negatif yang ditimbulkan oleh anak. Selain daripada itu, lingkungan yang
baik merupakan faktor penting dalam upaya membentuk pertumbuhan dan
perkembangan anak dengan dampak yang positif, sementara lingkungan yang
buruk dapat berdampak negatif pada anak.
Kasus kekerasan dan pelanggaran terhadap hak anak seringkali tidak
mendapatkan perhatian yang memadai dari masyarakat. Hal ini terjadi karena
kurangnya data dan laporan mengenai kasus-kasus kekerasan terhadap anak, serta
adanya stigma di masyarakat yang menganggap masalah ini sebagai urusan
pribadi keluarga yang tidak patut atau dianggap tabu untuk dibicarakan secara
terbuka. Seperti yang diungkapkan oleh Harkristuti Harkrisnowo (1998),
rendahnya angka kasus kekerasan terhadap anak yang diketahui publik salah
satunya disebabkan oleh penyelesaian kasus secara internal dalam keluarga pada
tahap penyidikan. Dampaknya, kasus-kasus kekerasan, eksploitasi, dan bahkan
pelecehan seksual terhadap anak tidak hanya terjadi di lingkungan jalanan di kota-
kota besar yang terkenal rawan, atau di sektor industri dan ekonomi yang
diketahui memiliki sifat eksploitatif, tetapi juga dapat terjadi dalam konteks
pendidikan, kehidupan sehari-hari masyarakat, bahkan di lingkungan keluarga
yang seharusnya dianggap sebagai tempat yang paling aman bagi anak.
Keluarga memegang peran yang sangat penting dalam menjaga kehidupan
dan perkembangan anak. Sesuai dengan Pasal 45 Undang-Undang No.1 Tahun
1974 tentang Pokok-Pokok Perkawinan, orang tua memiliki tanggung jawab
untuk merawat dan mendidik anak-anak yang belum dewasa hingga mereka
mencapai kematangan dan kemandirian. Orang tua memiliki tanggung jawab
utama dalam memastikan kesejahteraan anak, termasuk dalam aspek rohani,
jasmani, dan sosial, karena anak-anak belum memiliki kemampuan untuk
melindungi diri mereka sendiri dari bahaya tanpa campur tangan orang tua.
Namun, kenyataannya seringkali berbeda dengan harapan, di mana
kejahatan seksual sering terjadi di dalam lingkungan keluarga yang seharusnya
menjadi tempat pertumbuhan dan perlindungan bagi anak-anak. Pelaku kejahatan
sering kali merupakan anggota keluarga itu sendiri. Dalam konteks ini, peran
keluarga tidak berjalan sebagaimana mestinya sebagai pelindung bagi seluruh
anggota keluarga. Keluarga yang baik akan memberikan pengaruh positif pada
perkembangan anak, sementara keluarga yang tidak harmonis dapat memberikan
pengaruh negatif.
Tindak pidana persetubuhan yang dilakukan oleh anak merupakan bagian
dari tindakan yang bertentangan dengan kesusilaan yang diatur dalam Undang-
Undang (UU) No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang mengubah
UU No. 23 Tahun 2002. Seperti yang kita ketahui, pemerkosaan merupakan
tindakan yang melanggar norma-norma sosial, termasuk norma-norma kesopanan,
agama, dan moral. Kasus-kasus seperti ini menimbulkan kekhawatiran di
masyarakat dan mencapai tingkat yang mengkhawatirkan, karena kita sering
menemui dan menyaksikan kasus tindak pidana persetubuhan yang melibatkan
anak sebagai korban dalam berbagai laporan media massa setiap harinya.
Banyak kasus tindak pidana persetubuhan yang melibatkan anak sebagai
pelaku terjadi bukan hanya di lingkungan sekolah, tetapi juga di lingkungan
rumah (termasuk tetangga), bahkan terjadi di dalam lingkungan keluarga. Untuk
menjaga perlindungan anak dari berbagai tindak kejahatan ini, adalah wajar jika
kita terus mencari solusi terbaik untuk mencegah dan menanggulangi masalah ini.
Salah satu contoh kasus kekerasan seksual terhadap anak adalah kasus
yang terjadi di wilayah yuridis Pengedilan Negeri Wonosari, tepatnya di
kecamatan wonosari, Kabupaten Gunungkidul, Provinsi DI Yogyakarta. Peristiwa
tersebut terjadi pada sebuah keluarga, dimana ayah dari korban adalah pelaku
kekerasan seksualnya.
Berdasarkan permasalhan yang telah dipaparkan diatas, penulis merasa
terdorong untuk mengangkat judul tentang ”TINJAUAN YURIDIS TINDAK
PIDANA KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK (Studi Kasus
Putusan Hakim Nomor 11/Pid.Sus/2022/PN Wno”
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis paparkan, penelitian ini
akan mengambil 2 rumusan masalah. Dua rumusan masalah tersebut antara lain :
1. Faktor apa yang menyebabkan terjadinya tindak pidana kekerasan seksual
terhadap anak?
2. Bagaimana penegakan hukum tindak pidana kekerasan seksual terhadap
anak?
1.3 Tujuan Penelitian
Dengan adanya permasalahan dari rumusan masalah yang telah
dikemukakan diatas, maka pada dasarnya penelitian ini bertujuan untuk :
1. Untuk mengetahui apa saja faktor-faktor terjadinya kekerasan seksual dan
bagaimana sanksi pidana yang diatur bagi pelaku perkosaan terhadap anak.
2. Untuk mengetahui bagaimana keputusan hakim dalam menjatuhkan sanksi
pidana terhadap pelaku perkosaan terhadap anak.
1.4 Manfaat Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini, harapannya adalah dapat memberikan
manfaat baik bagi penulis maupun masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu,
penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan manfaat sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis Dari segi teoritis, penelitian ini dapat memberikan
kontribusi pemikiran di bidang hukum pidana dan memperkaya literatur
pengetahuan hukum, terutama dalam pemidanaan pelaku perkosaan
terhadap anak kandung, baik bagi dosen maupun mahasiswa.
2. Manfaat Praktis
a. Penelitian hukum ini diharapkan dapat membantu dan memberikan
masukan serta kontribusi pemikiran kepada pihak-pihak yang
terlibat dalam masalah yang diteliti, serta bermanfaat dalam
menyelesaikannya.
b. Selain itu, penelitian ini juga dapat menjadi bahan diskusi dalam
mengkaji kondisi hukum khususnya dalam bidang tindak pidana
perkosaan.
Dengan demikian, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
yang nyata baik secara teoritis maupun praktis, serta menjadi sumbangan
pemikiran yang berharga bagi para stakeholders yang terkait dengan masalah yang
diteliti.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Teori Pemindaian
Teori Pemidanaan dikelompokkan dalam tiga golongan besar, yaitu
(E. Utrecht, 1958).
a. Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien)
Menurut pandangan teori ini, hukuman pidana diberikan
sebagai konsekuensi atas melakukan tindak kejahatan. Pidana
dianggap sebagai suatu keharusan dan balasan yang mutlak bagi
pelaku kejahatan. Dasar pembenarannya terletak pada keberadaan
tindak kejahatan itu sendiri. Teori absolut ini menekankan tujuan
utama pidana sebagai pemenuhan keadilan, dengan pengaruh
positif dianggap sebagai tujuan sekunder. Pandangan keadilan yang
bersifat absolut ini tercermin dalam pandangan Imanuel Kant
dalam karyanya Filosophy of Law, di mana pidana tidak digunakan
semata-mata sebagai sarana untuk mencapai tujuan atau kebaikan
lain, baik bagi pelaku kejahatan maupun masyarakat.
Menurut teori pembalasan ini, yang dinyatakan oleh Andi
Hamzah, pidana tidak memiliki tujuan praktis, seperti memperbaiki
pelaku kejahatan. Tindak kejahatan itu sendiri memiliki unsur-
unsur yang membenarkan penerapan pidana, sehingga pidana
menjadi mutlak karena adanya tindak kejahatan. Tidak perlu
mempertimbangkan manfaat dari penjatuhan pidana (Hamzah,
1993).
Apabila manfaat penjatuhan pidana tidak perlu
dipertimbangkan, seperti yang dikemukakan oleh pendukung teori
absolut atau teori pembalasan ini, maka sasaran utama teori ini
adalah pembalasan dendam. Dengan mempertahankan teori
pembalasan yang pada dasarnya mengusung prinsip "pidana untuk
pidana", hal tersebut mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan.
Artinya, teori pembalasan tidak memperhatikan upaya pembinaan
terhadap pelaku kejahatan.
Tingkat keberatan atau ringannya pidana bukanlah ukuran
untuk menentukan apakah narapidana memiliki kesadaran atau
tidak. Pidana yang berat tidak menjamin bahwa pelaku akan
menjadi sadar, bahkan mungkin akan semakin menjadi-jahat.
Pidana yang ringan kadang-kadang dapat mendorong narapidana
untuk melakukan tindak pidana lagi. Oleh karena itu, upaya untuk
menyadarkan narapidana harus mempertimbangkan berbagai
faktor, seperti apakah pelaku tindak pidana memiliki pekerjaan
atau tidak. Jika pelaku tindak pidana tidak memiliki pekerjaan,
maka masalahnya akan tetap menjadi siklus yang sulit dihentikan,
di mana setelah menjalani pidana, ada kecenderungan untuk
kembali melakukan tindak pidana. Teori pembalasan atau absolut
ini dapat dibagi menjadi pembalasan subjektif dan pembalasan
objektif. Pembalasan subjektif adalah balasan terhadap kesalahan
yang dilakukan oleh pelaku. Pembalasan objektif adalah balasan
terhadap dampak yang diciptakan oleh pelaku di masyarakat
(Hamzah, 1994).
Dilihat dari sudut pandang sejarahnya, mungkin teori ini
dianggap tepat pada masanya. Namun, dalam konteks sistem
hukum pidana di Indonesia, karakteristik teori tentu saja tidak
sesuai atau bisa dikatakan bertentangan dengan filosofi
pemidanaan berdasarkan sistem pemasyarakatan yang dianut di
Indonesia (UU No. 12 Tahun 1995). Begitu juga dengan konsep
yang dibangun dalam RUU KUHP, yang secara tegas menyebutkan
terkait pemidanaan, bahwa “Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk
menderitakan dan merendahkan martabat manusia”
b. Teori Relatif atau Teori Tujuan
Teori relatif, juga dikenal sebagai teori tujuan atau teori
utilitarian, muncul sebagai respons terhadap teori absolut. Secara
umum, menurut teori relatif, tujuan pidana bukan hanya
pembalasan semata, tetapi juga untuk menciptakan ketertiban
dalam masyarakat.
Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief, dalam konteks
teori relatif ini, pidana tidak hanya berfungsi untuk membalas atau
membalaskan tindak kejahatan, tetapi juga memiliki tujuan-tujuan
tertentu yang memberikan manfaat. Oleh karena itu, teori ini sering
disebut sebagai teori tujuan (utilitarian theory). Dalam pandangan
ini, pembenaran atas penggunaan pidana terletak pada tujuan yang
ingin dicapai. Pidana diberlakukan bukan hanya "karena adanya
kejahatan," melainkan "agar kejahatan tidak terjadi" (Arief, 2012).
Dengan demikian, tujuan pidana menurut teori relatif
adalah mencegah gangguan terhadap ketertiban masyarakat.
Artinya, hukuman pidana yang diberikan kepada pelaku kejahatan
bukan semata-mata untuk membalas perbuatannya, tetapi untuk
menjaga ketertiban umum.
Teori relatif dibagi menjadi dua aspek, yaitu prevensi
umum (generale preventie) dan prevensi khusus (speciale
preventie). E. Utrecht menjelaskan bahwa "prevensi umum
bertujuan mencegah agar orang secara umum tidak melanggar
hukum. Prevensi khusus bertujuan mencegah agar pelaku kejahatan
tidak melakukan tindakan kriminal lagi." Prevensi umum
menekankan bahwa tujuan pidana adalah menjaga ketertiban
masyarakat dari gangguan yang disebabkan oleh para pelaku
kejahatan. Dengan memberlakukan hukuman kepada pelaku
kejahatan, diharapkan anggota masyarakat lainnya tidak akan
melanggar hukum. Di sisi lain, teori prevensi khusus menekankan
bahwa tujuan pidana adalah agar narapidana tidak mengulangi
perbuatannya. Dalam hal ini, pidana berfungsi sebagai sarana untuk
mendidik dan memperbaiki narapidana agar dapat menjadi anggota
masyarakat yang baik dan berguna.
Sistem hukum pidana yang berlaku di Indonesia dapat
dikatakan dekat dengan teori tujuan ini. Hal ini dapat dilihat dari
perkembangan teori pemasyarakatan dan sistem pemasyarakatan
yang kemudian diimplementasikan dalam Undang-Undang No. 12
Tahun 1995 tentang Sistem Pemasyarakatan. Kesamaan gagasan
dengan teori relatif juga terlihat dalam rumusan rancangan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
c. Teori Menggabungkan (verenigings theorien)
Selain keuda teori yang telah dijelaskan sebelumnya, ada
juga teori ketiga yang mengakui adanya unsur pembalasan dalam
hukum pidana, namun juga mengakui unsur pencegahan dan
perbaikan terhadap pelaku kejahatan.
Teori ketiga ini muncul sebagai respons terhadap
kelemahan yang ada dalam teori absolut dan teori relatif.
Kelemahan atau kekurangan dari teori absolut antara lain adalah
sebagai berikut (Hanafi, 1976):
1. Dapat memunculkan ketidakadilan. Contohnya, tidak semua
pelaku pembunuhan dihukum mati, tetapi harus
dipertimbangkan secara matang dan harus berdasarkan
bukti yang ada.
2. Jika dasar teori ini hanya pembalasan, mengapa hanya
negara yang memberikan hukuman pidana?
Sedangkan kelemahan teori tujuan antara lain adalah
sebagai berikut (Hanafi, 1976):
1. Dapat memunculkan ketidakadilan juga. Misalnya, untuk
menghalangi kejahatan dengan cara mengintimidasi, pelaku
kejahatan ringan mungkin dijatuhi hukuman berat hanya
untuk efek jera, yang menyebabkan ketidakseimbangan. Hal
ini bertentangan dengan prinsip keadilan.
2. Memperhatikan kepuasan masyarakat justru malah sering
diabaikan. Jika tujuan utama hukuman adalah memperbaiki
pelaku kejahatan, kepuasan masyarakat yang membutuhkan
keadilan akan diabaikan.
3. Sulit dilaksanakan dalam praktik. Menerapkan tujuan
pencegahan kejahatan dengan cara mengintimidasi sulit
dilaksanakan dalam praktik, terutama dalam kasus residivis.
Teori gabungan, juga dikenal sebagai teori modern,
menganggap bahwa tujuan pemidanaan bersifat plural dengan
menggabungkan prinsip-prinsip relatif (tujuan) dan absolut
(pembalasan) sebagai satu kesatuan. Teori ini mengadopsi
pendekatan ganda di mana pemidanaan mencakup karakteristik
pembalasan dalam bentuk kritik moral terhadap tindakan yang
salah. Namun, tujuannya terletak pada gagasan bahwa kritik moral
tersebut bertujuan untuk reformasi atau perubahan perilaku pelaku
kejahatan di masa depan.
Teori ini diperkenalkan oleh Prins, Van Hammel, dan Van
List dengan pandangan sebagai berikut (Prakoso, 1988):
1. Tujuan utama pemidanaan adalah memberantas kejahatan
sebagai gejala masyarakat.
2. Ilmu hukum pidana dan perundang-undangan pidana harus
mempertimbangkan hasil studi antropologi dan sosiologi.
3. Pemidanaan merupakan salah satu alat yang paling efektif
yang dapat digunakan pemerintah untuk memberantas
kejahatan.
4. Pemidanaan bukanlah satu-satunya sarana yang ada; oleh
karena itu, pemidanaan tidak boleh digunakan sendirian,
tetapi harus digabungkan dengan upaya sosial.
Menurut teori ini, pemidanaan tidak hanya menyebabkan
penderitaan fisik, tetapi juga psikologis, dan yang terpenting adalah
memberikan pemahaman dan pendidikan. Dengan demikian, tujuan
pemidanaan adalah mencapai perbaikan dalam diri manusia atau
pelaku kejahatan, terutama dalam kasus-kasus tindak pidana
ringan. Dalam konteks penelitian ini, penulis berpendapat bahwa
teori relatif atau teori tujuan adalah teori yang paling tepat untuk
diterapkan.
Teori ini dipilih sebagai alat analisis dalam mempelajari
sanksi pidana yang diberikan kepada pelaku kejahatan dengan
tujuan memberikan keadilan bagi korban dan memastikan bahwa
pelaku merasa jera, menyesal, dan tidak mengulangi perbuatannya
lagi. Secara umum, tujuan pemidanaan menurut teori relatif bukan
hanya pembalasan semata, tetapi juga untuk menciptakan
ketertiban dalam masyarakat. Dengan demikian, dasar pembenaran
pemidanaan dalam teori ini terletak pada tujuannya.
Pada teori ini, penjatuhan pidana tidak semata-mata karena
seseorang melakukan suatu tindak kejahatan (quia peccatum est),
melainkan agar orang tersebut tidak melakukan kejahatan lagi
(nepeccetur). Dalam teori ini, tujuan lain yang diharapakan bisa
dicapai adalah pencegahan, di mana hukuman diberikan untuk
mencegah masyarakat umum agar tidak mencontoh perbuatan atau
kejahatan yang telah diperbuat (prevensi umum), serta untuk
membuat pelaku merasa jera dan tidak mengulangi perbuatannya
lagi (prevensi khusus). Pemidanaan dalam kasus yang diangkat
pada penelitian ini diharapakan dapat menjadi alternatif hukuman
yang memberikan efek jera bagi pelaku. Hal ini disebabkan oleh
adanya hubungan darah antara pelaku dan korban, sehingga pelaku
tidak akan mengulangi perbuatannya.
2.2 Landasan Konseptual
2.2.1 Tindak Pidana
Istilah "tindak pidana" dalam Bahasa Indonesia berasal dari bahasa
Belanda, yaitu "strafbaar feit". Istilah "strafbaar feit" digunakan oleh
pembuat undang-undang untuk merujuk pada apa yang dikenal sebagai
"tindak pidana". Namun, dalam Undang-Undang Hukum Pidana tidak ada
penjelasan yang jelas mengenai arti sebenarnya dari "strafbaar feit".
Akibatnya, dalam doktrin hukum muncul berbagai pendapat mengenai
makna yang sebenarnya dari "strafbaar feit" (Sofyan & Nur Azisa, 2016).
Menurut Simons, "strafbaar feit" dapat diartikan sebagai tindakan
yang dengan sengaja dilakukan oleh seseorang yang bertanggung jawab
atas tindakannya, dan tindakan tersebut telah ditetapkan sebagai tindakan
yang dapat dihukum oleh undang-undang. Sedangkan menurut Moeljatno,
tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum, dan
pelanggaran terhadap larangan tersebut diancam dengan sanksi pidana
(Rahmanuddin, 2019).
Selanjutnya, Simons menjelaskan unsur-unsur suatu perbuatan agar
dapat dikategorikan sebagai tindak pidana, yaitu:
1. Perbuatan manusia (baik berupa tindakan positif, negatif, atau
kelalaian)
2. Diancam dengan pidana (statbaar gesteld)
3. Melanggar hukum (onrechtmatig)
4. Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband stand)
5. Oleh orang yang bertanggung jawab (toerekenings vatoaar person).
Simons juga menyebutkan adanya unsur objektif dan subjektif
dalam tindak pidana (strafbaar feit). Unsur objektif tindak pidana meliputi:
1. Perbuatan manusia, yang dapat berupa tindakan positif (seperti
pencurian, penggelapan, pembunuhan) atau tindakan negatif
(seperti tidak melaporkan kegiatan kriminal yang diketahui).
2. Akibat yang terlihat dari perbuatan tersebut, seperti merusak atau
membahayakan kepentingan hukum yang harus ada sesuai dengan
norma hukum pidana. Akibat ini dapat terjadi seketika atau dalam
jangka waktu tertentu setelah perbuatan dilakukan.
3. Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan tersebut,
seperti kepemilikan barang yang dicuri oleh orang lain.
Misalnya, keadaan “barang yang dicuri adalah milik orang lain”
yang diatur dalam Pasal 362 KUHP adalah keadaan yang sudah ada pada
saat terjadinya perilaku “mengambil”, dan dapat juga muncul setelah
terjadinya perilaku “mengambil”. terjadi. Misalnya, Pasal 345 KUHP
mengatur bahwa "jika orang itu bunuh diri", itu akibat hasutan untuk
bunuh diri. Oleh karena itu, pengertian kejahatan (strafbaar feit)
melibatkan unsur-unsur tersebut.
Selain unsur-unsur obyektif di atas, perbuatan yang merupakan tindak
pidana juga mempunyai unsur-unsur subyektif:
1. Orang yang bertanggung jawab Orang yang bertanggung jawab
melibatkan dua faktor, yaitu:
a. Faktor rasional, yaitu kemampuan membedakan perbuatan
baik dan perbuatan jahat menurut hukum pidana..
b. Faktor perasaan/kehendak, yaitu kemampuan untuk
menentukan kehendaknya berdasarkan kesadaran tentang
baik dan buruknya perbuatan tersebut.
2. Adanya kesalahan (dolus atau culpa) Kesalahan (schuld) adalah
unsur yang berkaitan dengan keadaan atau pemikiran seseorang
sebelum atau pada saat melakukan suatu perbuatan. Unsur ini
melekat pada aktor dan bersifat objektif. Kesalahan dalam hukum
pidana menyangkut pertanggungjawaban pidana, baik kesengajaan
(dolus) maupun kelalaian (culpa). Misalnya, Pasal 338 KUHP
menyebutkan bahwa pembunuhan dilakukan dengan sengaja,
sedangkan Pasal 359 KUHP menyatakan bahwa penyebab
kematian adalah karena kelalaian.
3. Perilaku harus bersalah Seseorang yang dikenakan sanksi pidana
harus bersalah (no fault without fault). Kesalahan tersebut
termasuk yang disebabkan oleh kesengajaan atau kelalaian.
Selain itu, Indonesia memiliki berbagai hukum pidana lain yang diantara
adalah sebagai berikut:
1. Pidana pokok
a. Hukuman Mati: Indonesia memberlakukan hukuman mati
untuk berbagai kejahatan seperti pelanggaran Pasal 104
KUHP, Pasal 111(2) KUHP, Pasal 124(3) KUHP, dan Pasal
140(1) Butir ( 4) KUHP Pasal 340 KUHP Ayat (4) Pasal
365 KUHP Pasal 444 KUHP Ayat (2) Pasal 479 KUHP
Ayat (2) KUHP Pasal 368 KUHP, dan Pasal 2(2) UU No.2.
Hal ini diubah dan ditambah dengan UU No. 31 Tahun
1999. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2002 tentang Penghapusan Tindak Pidana
Teroris juga mengatur tentang hukuman mati.
b. Penjara: Suatu bentuk kejahatan yang menyebabkan
hilangnya kebebasan. Hukuman penjara berkisar dari
setidaknya satu hari penjara hingga penjara seumur hidup.
c. Penjara: Membatasi kebebasan bergerak penjahat dengan
mengurungnya di lembaga sosial. Hukuman penjara pendek
dibandingkan dengan hukuman pidanaPidana Tambahan
2. Pidana Tambahan
a. Pencabutan hak-hak tertentu Pencabutan hak-hak tertentu
berlaku sejak hari putusan hakim diberlakukan. Namun,
hakim tidak memiliki wewenang untuk memberhentikan
seorang pejabat dari jabatannya jika dalam peraturan khusus
diatur bahwa penguasa lain yang bertanggung jawab atas
pemecatan tersebut.
b. Perampasan barang-barang tertentu Perampasan barang-
barang tertentu yang sebelumnya tidak disita akan diganti
dengan pidana kurungan jika barang-barang tersebut tidak
diserahkan atau nilainya, menurut penilaian hakim, tidak
dibayarkan. Durasi pidana kurungan pengganti ini minimal
satu hari dan maksimal enam bulan. Pidana kurungan
pengganti ini akan dihapus jika barang-barang yang
dirampas akhirnya diserahkan.
Pengumuman putusan hakim Pasal 43 KUHP mengatur tentang
pengumuman putusan hakim. Pasal ini mengatur: “Dalam hal hakim
memerintahkan untuk mengumumkan putusan menurut Undang-undang
Pidana ini atau ketentuan umum lainnya, ia juga menentukan cara
pelaksanaan perintah itu dan biaya yang harus ditanggung oleh pelaku.
putusan” Putusan hakim hanya dapat dibuat dalam suatu perkara yang
berada di bawah yurisdiksi hukum. dibuat” (Hanafi, 1976).
Kelayakan dan urutan jenis hukuman tergantung pada tingkat
keberatan yang ditetapkan. Pidana tambahan merupakan tambahan dari
pidana pokok dan biasanya bersifat opsional (dapat dijatuhkan atau tidak).
Namun, ada pengecualian untuk pelanggaran berdasarkan Pasal 250 bis,
261 dan 275 KUHP, di mana hukuman tambahan menjadi wajib atau perlu
Terdapat perbedaan antara pidana pokok dan pidana tambahan, sebagai
berikut:
1. Pidana tambahan hanya bisa ditambahkan pada pidana pokok,
kecuali dalam kasus perampasan barang-barang tertentu kepada
anak-anak yang kemudian diserahkan oada pemerintah.
2. Pidana tambahan tidak memiliki kewajiban seperti pidana pokok,
sehingga bersifat fakultatif (dapat atau tidak dijatuhkan). Namun,
terdapat pengecualian pada kejahatan yang diatur dalam Pasal 250
bis, 261, dan Pasal 275 KUHP, di mana pidana tambahan menjadi
wajib atau bersifat imperatif (Tolip, 2010).
2.2.3 Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Pemerkosaan
Pasal 285 sampai 288 KUHP mendefinisikan tindak pidana
pemerkosaan (KUHP) dalam KUHP. Meskipun istilah "perkosaan" hanya
terdapat dalam Pasal 285 KUHP, namun istilah "hubungan seksual"
digunakan dalam pasal-pasal lain.
Menurut Wirjono Prodjodikoro, terjemahan bahasa Belanda dari
kata "verkrachting" asli kata "perkosaan" adalah salah. Dalam bahasa
Belanda, kata "verkrachting" sudah mencakup perkosaan dan
persetubuhan. Namun dalam bahasa Indonesia, kata "rape" sendiri tidak
sepenuhnya mengacu pada konsep pemerkosaan untuk berhubungan seks.
R. Soesilo Menurut penangkapan Hooge Raad pada tanggal 5
Februari 1912, pengertian persetubuhan adalah persetubuhan antara alat
kelamin laki-laki dan perempuan untuk melahirkan anak, dimana alat
kelamin laki-laki harus masuk ke dalam alat kelamin perempuan agar air
mani dapat keluar. diusir. Bebaskan.. Jika syarat tersebut tidak terpenuhi,
maka perbuatan tersebut akan digolongkan sebagai perbuatan cabul
Wirjono Prodjodikoro memberikan pendapat terkait perbedaan lain
antara tindak pidana perkosaan dan pencabulan. Menurutnya, perkosaan
untuk bersetubuh hanya dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap seorang
perempuan, sedangkan pencabulan dapat dilakukan oleh seorang
perempuan terhadap seorang laki-laki.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1994: 766), perkosaan
didefinisikan sebagai "menundukkan dengan kekerasan, memaksa dengan
kekerasan, menggagahi". Definisi ini bersifat luas karena tidak membatasi
karakteristik pelaku, korban, atau bentuk perilaku. Terdapat kesamaan
antara definisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dengan KUHP, yaitu
penggunaan kata "memaksa dengan kekerasan".
Namun, dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Undang-Undang
No.35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak, istilah "perkosaan" digantikan dengan
istilah "kekerasan seksual". Istilah "kekerasan seksual" lebih luas daripada
istilah "perkosaan", karena mencakup berbagai bentuk perilaku seksual
yang melibatkan kekerasan, seperti perbuatan cabul, pelecehan seksual,
dan lainnya.
Di sisi lain, istilah yang digunakan dalam KUHP adalah "kejahatan
terhadap kesusilaan" bukan "kejahatan seksual". Istilah "kejahatan
terhadap kesusilaan" merujuk pada perbuatan pidana yang berhubungan
dengan seksualitas dan dapat dilakukan terhadap laki-laki maupun
perempuan. Penggunaan istilah "kesusilaan" seringkali menyebabkan
masyarakat, terutama aparat hukum, terjebak dalam memandang pasal-
pasal kesusilaan semata-mata sebagai pelanggaran nilai budaya, norma
agama, atau sopan santun yang berkaitan dengan nafsu birahi, bukan
sebagai kejahatan terhadap tubuh dan jiwa seseorang.
Undang-Undang Perlindungan Anak ini menegaskan pentingnya
melaksanakan tanggung jawab secara berkelanjutan oleh orang tua,
keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara untuk melindungi hak-hak
anak. Tujuan utamanya adalah memastikan pertumbuhan dan
perkembangan anak dalam segi fisik, mental, spiritual, dan sosial yang
optimal. Pasal 76D dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014
menyatakan larangan penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan
dalam memaksa anak untuk terlibat dalam hubungan seksual dengan
mereka atau orang lain. Hal ini bertujuan untuk menciptakan kehidupan
yang terbaik bagi anak-anak sebagai generasi penerus bangsa yang
memiliki potensi, kekuatan, nasionalisme yang diperkuat oleh akhlak
mulia, dan nilai-nilai Pancasila.
Anak-anak diartikan sebagai individu yang belum mencapai usia
l l l l l l l l l l l l
kepada anak-anak. l l l l l l
melawan hukum.
l l
mencakup: l
1. Suami, istri, beserta anak, termasuk anak angkat dan anak tiri. l l l l l l l l l l l l
tangga. l l
atap. l l
keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera (Amanda & Krisnani,
l l l l l l l l l l l l l
2019).
Berikut adalah beberapa bentuk kekerasan dalam rumah tangga l l l l l l l l l l l l
yang dilarang:
l l l
(Lukar, 2013). l
usia 21 tahun.
l l
menjelaskan kriteria anak dalam Pasal 1 angka (1) sebagai berikut: "anak
l l l l l l l l l l l l l l l
adalah seseorang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai usia 8
l l l l l l l l l l l l l l l l l
tahun tetapi belum mencapai usia 18 tahun dan belum pernah menikah."
l l l l l l l l l
Manusia Anak, pada Pasal 1 ayat (5) dinyatakan bahwa "anak adalah
l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l
termasuk anak yang masih dalam kandungan jika hal itu demi
l l l l l l l l l l l
kepentingannya." l l
"anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 21 tahun dan belum
l l l l l l l l l l l l
pernah menikah." l l
Anak korban tindak pidana adalah anak yang belum berusia 18 tahun dan
l l l l l l l l l l l l l l l
tindak pidana. Sementara itu, anak yang berkonflik dengan hukum adalah
l l l l l l l l l l l l
anak yang berusia 12 tahun namun belum mencapai usia 18 tahun dan
l l l l l l l l l l l
anak merupakan hak yang melekat pada setiap anak dan merupakan bagian
l l l l l l l l l l l l l l l l l
satu memiliki sifat khusus sedangkan yang lain memiliki, yang satu
l l l l l l l l
bersifat khusus dari yang lain dan yang satu bersifat umum dari yang
l l l l l l l l l l
lainnya yang biasa dikenal dengan lex specialis derogat lex generalis.
l l l l l l l l l l
Undang-Undang Perlindungan Anak bersifat lex spesialis dan KUH Pidana
l l l l l l l l l l
sesuai dengan apa yang tercatat dalam dakwaan yang sudah diajukan oleh
l l l l l l l l l l l l l l l l
penuntut umum. Pelaku tidak dapat dianggap bersalah dan dikenai pidana l l l l l l l l l l l l
begitu saja, tetapi harus disertai dan didukung oleh minimal dua alat bukti l l l l l l l l l l
yang sah. Alat bukti minimum tersebut harus dapat meyakinkan hakim
l l l l l l l l l l
merupakan segala hal yang terkait dengan suatu tindak pidana, yang dapat
l l l l l l l l l l l l l l l
dengan ketentuan Pasal 183 KUHAP yang menyatakan bahwa hakim tidak
l l l l l l l l l l l l l
jika setidaknya dengan dua alat bukti yang sah, hakim yakin bahwa suatu
l l l l l l l l l l l l l l
tindak pidana secara sah dan meyakinkan benar-benar terjadi dan bahwa
l l l l l l l l l l l l l l l
menentukan bahwa minimal dua alat bukti yang sah diperlukan untuk l l l l l l l l l l
pada minimal dua alat bukti yang diakui sah menurut KUHAP. Pasal 184
l l l l l l l l l l l l
ayat (1) KUHAP menyebutkan bahwa alat bukti yang sah meliputi
l l l l l l l l l l
keterangan dari saksi, keterangan dari para ahli, surat, petunjuk, dan
l l l l l l l l l l l l
masih muda, sikap sopan, dan pengakuan atas perbuatan yang dilakukan.
l l l l l l l l l l l l l l
Faktor-faktor meringankan ini mengakibatkan pengurangan hukuman
l l l l l l l l l l
Pidana: l l
hukuman. l
3. Dalam kasus recidive, berdasarkan Pasal 486, 487, dan 488 KUH
l l l l l l l l l
Pidana: l l
penadahan. l l l
atas, tidak dapat dikatakan bahwa terdapat recidive jika seseorang yang
l l l l l l l l l l l l l l l
KUHP.
Hal yang menarik untuk diperhatikan juga adalah dalam Pasal 487
l l l l l l l l l l l l l
perkosaan dalam Pasal 104 dan semua delik kesusilaan (Pasal 281-303)
l l l l l l l l l l l l
memberatkan pidana). l l l l
sebagai berikut:
l l
bahwa tidak semua kejahatan berat dapat dianggap sebagai recidive dan
l l l l l l l l l l l l l l l
dijadikan alasan untuk memberatkan pidana. Oleh karen itu, hakim harus
l l l l l l l l l l l l
METODE PENELITIAN l
yang berfokus pada analisis dokumen. Data sekunder yang digunakan meliputi
l l l l l l l l l l
hukum, serta pendapat para sarjana hukum. Pendekatan normatif dalam penelitian l l l l l l l l l l l l l l
ini bertujuan untuk menemukan aturan hukum, prinsip hukum, dan doktrin hukum l l l l l
upaya untuk menemukan aturan hukum, prinsip hukum, dan doktrin hukum
l l l l l l
hukum hanya terdiri dari aturan tertulis yang tercantum dalam perundang- l l l l l l l l l l
undangan atau norma-norma yang menjadi pedoman dalam perilaku manusia agar
l l l l l l l l l l l l l l l l
dianggap pantas oleh orang lain (Amiruddin & Asikin, H. Z., 2006).
l l l l l l l l
informasi yang relevan dari berbagai aspek yang terkait dengan isu yang sedang
l l l l l l l l l l l l
diteliti. Pendekatan ini sesuai dengan penelitian berbasis normatif, karena objek l l l l l l l l l
undang yang berkaitan dengan akibat hukum isbat nikah dalam pencatatan
l l l l l l l l l l l l l l
Pidana Kekerasan Seksual terhadap Anak” ini, ruang lingkup penelitian yang
l l l l l l l l l l l l
anak dan faktor apa saja yang menyebabkan tindakan tersebut terjadi.
l l l l l l l l l l l l l l
Pada dasarnya, dalam penelitian hukum terdapat dua jenis data yang dapat
l l l l l l l l l l l l l l l l
digunakan, yaitu data primer yang diperoleh langsung dari masyarakat, dan data
l l l l l l l l l l l l l l l
sekunder yang bersumber dari bahan pustaka (Soekanto, 2011). Data primer l l l l l l l l l
merupakan data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat, baik melalui
l l l l l l l l l l l l l l l
dari sumber-sumber kepustakaan. Data sekunder juga dapat berupa data primer
l l l l l l l l l l l l
yang telah diolah dan disajikan secara sistematis oleh pihak pengumpul data atau
l l l l l l l l l l l l l l
pihak lain. l l
batasan terhadap landasan teori, definisi, arti atau istilah yang digunakan dalam
l l l l l l l l l l l l l l l l l
kelompok, yaitu: l
2. Data sekunder umum, seperti arsip, dokumen resmi pemerintah, atau data l l l l l l l l
lainnya. l l
yang bersumber dari berbagai bahan pustaka, seperti buku, peraturan perundang-
l l l l l l l l l l l
undangan, karya ilmiah, artikel, dan berbagai sumber literatur terkait. Beberapa
l l l l l l l l l l l l l
digunakan dalam penelitian hukum normatif, seperti dalam skripsi ini, adalah
l l l l l l l l l l l
studi pustaka yang melibatkan bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. l l l l l l l l
Dalam penelitian ini, teknik analisis data yang digunakan adalah analisis
l l l l l l l l l l l l l l l
yang telah dilakukan. Selanjutnya, data yang telah diperoleh dari penelitian ini
l l l l l l l l l l l l
dari studi kepustakaan. Penyusunan data akan dilakukan secara sistemik, dan
l l l l l l l l l l l l l l
Pelaku, pada sekitar pertengahan bulan Juni 2020 sekira pukul 21.00 wib
l l l l l l l l
dan pada sekitar awal bulan Juli 2020 sekira pukul 20.00 wib atau
l l l l l l l l l l
dirumah Pelaku yang beralamat di, Gunungkidul dan di rumah Sdr. Pelaku
l l l l l l l l l
Korban adalah anak yang berusia kurang lebih 14 tahun. Korban lahir pada
l l l l l l l l l l l l l l
Pelaku dan Saksi 1 (mantan istri Pelaku dan ibu korban). Pelaku telah
l l l l l l l l l l
resmi berpisah (bercerai) dengan ibu kandung anak korban pada tahun l l l l l l l l l l
2014 dan setelah itu anak korban diasuh oleh neneknya (dari pihak ibu) di l l l l l l l l l
Gunungkidul.
berawal pada pertengahan bulan Juni 2020 ketika kakek dari korban (dari
l l l l l l l l l l l l
meninggal, sekitar pukul 21.00 wib anak korban tidur di lincak ruang tamu l l l l l l l l
rumah Pelaku dengan berselimut jarik. Sekitar pukul 01.00 wib, anak
l l l l l l l
korban terbangun karena merasa ada sesuatu yang menindih dirinya, dan
l l l l l l l l l l l l
ketika anak korban membuka mata , Pelaku telah menindih anak korban
l l l l l l l l l l l l
dan berada diatas badan anak korban sambil memegangi kedua tangan
l l l l l l l l l l l l l l l
anak korban dengan menggunakan tangan kiri Pelaku. Saat itu kondisi
l l l l l l l l l l l
gesekkan alat kelamin Pelaku diatas alat kelamin anak korban sambil l l l l l l l l l l l l l l
mengulum bibir bawah anak korban selama kurang dari 1 (satu) menit, l l l l l l l l l l
setelah itu Pelaku langsung jongkok dengan posisi badan anak korban
l l l l l l l l l
berada diantara kaki kanan dan kaki kiri Pelaku, lalu Pelaku menurunkan
l l l l l l l l l l l l l l
celana dan celana dalam yang digunakan oleh anak korban sampai ke lutut
l l l l l l l l l l l l l l l
kasur untuk menyangga badan Pelaku, setelah itu Pelaku melipat kedua
l l l l l l l l l l
kaki anak korban, lalu anak korban mengatakan “ojo pak (jangan pak)” ,
l l l l l l l l l l l l l l l
namun Pelaku hanya diam saja dan tetap melanjur aksi bejatnya dan pada
l l l l l l l l l l l l l l l l
dan mengatakan “ ayo pisan meneh bar kui bapak janji ora bakal baleni”
l l l l l l l l l l l l l l
(Ayo sekali lagi setelah itu bapak janji tidak mengulangi lagi). Kelakuan
l l l l l l l l l l l l
bejat dari pelaku pun terjadi lagi. Setelah menyetubuhi korban sebanyak
l l l l l l l l l
dua kali, Pelaku mengatakan “ maaf yo nok, bapak nglakokke iki neng
l l l l l l l l l l l
kowe” (maaf ya nak, bapak melakukan ini ke kamu), pelaku pun pergi l l l l l l l l l l
Tidak berhenti disitu, sekira bulan Juli 2020 sekira pukul 20.00 wib saat
l l l l l l
badan miring ke kanan, kemudian timbul niat pada diri Pelaku untuk
l l l l l l l l l
tidur disebelahnya, lalu mencium pipi kiri dan meraba kedua payudara l l l l l l l l l l
anak korban menggunakan tangan kanan, dan saat anak korban terbangun,
l l l l l l l l l l l l l l l l
korban “ngapuro sek gede nok, bapak salah, ora arep baleni meneh, bapak
l l l l l l l l l l l
khilaf” (maaf nak, bapak salah tidak mau mengulangi lagi, bapak khilaf).
l l l l l l l l l l l l l l l
31 November 2021 korban bercerita kepada saksi (mantan istri dan ibu l l l l l l l l
korban) untuk tidak bersekolah dan mau bersekolah jika ikut dengan saksi
l l l l l l l l l
Dari keterangan saksi 1 yang merupakan mantan istri pelaku dan ibu dari
l l l l l l l l l l l l
anak pertama mereka yang dalam kasus ini juga berperan menjadi saksi 3.
l l l l l l l l l l l l l
Jadi sebenarnya ini bukan kali pertama pelaku melakukan tindak pidana
l l l l l l l l l l l l l
Sekitar awal tahun 2021, saksi curiga terhadap perilaku anak korban yang
l l l l l l l l l l l l l
berubah menjadi anak yang pendiam dan tidak bersemangat. Hal tersebut l l l l l l l l l l l
didasarkan pada pengalaman saksi dimana pada tahun 2014 saksi pernah
l l l l l l l l l l l l l l l l
Pelaku. l
penybebab terjadi kekerasan seksual terjadi karena dua jenis faktor penyebab.
l l l l l l l l l l l
Kedua faktor tersebut adalah faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal
l l l l l l l l l l l l
merupakan faktor-faktor yang asalnya berasal dari dalam diri pelaku. Lebih
l l l l l l l l l l l l l l
dengan baik atau dalam hal ini pelaku sulit untuk mengontrol rangsangan
l l l l l l l l l l l
seks yang tidak bisa terpenuhi atau tidak dapat disalurkan sebagaimana
l l l l l l l l l l l l l l
dilihat pada kasus ini, dimana pelaku telah cukup lama bercerai dengan
l l l l l l l l l l l l
diri pelaku. l
faktor yang berasal dari luar pelaku. Lebih jelasnya, berikut adalah klasifikasi dari
l l l l l l l l l l l l l l l
1. Faktor Ekonomi
l
hal demikian didasari pada asumsi bahwa dengan taraf hidup yang rendah
l l l l l l l l l l l l l l
2. Faktor Lingkungan
l l
tanpa diketahui oleh siapapun. Hal serupa terjadi dalam kasus ini, di mana
l l l l l l l l l l l l l
pelecehan seksual terjadi di rumah pelaku yang tidak ada orang selain l l l l l l l l l l l
Selain faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, ada faktor lain yang
l l l l l l l l l l l l l
perilaku yang baik, dan hal ini sangat berperan dalam menentukan tingkah laku
l l l l l l l l l l l l l
seseorang. Oleh karena itu, jika seseorang tidak memiliki moralitas yang baik,
l l l l l l l l l l
mereka cenderung melakukan perbuatan jahat. Hal serupa terjadi dalam kasus
l l l l l l l l l l l l l
Selain itu, faktor media sosial juga berperan dalam meningkatkan risiko
l l l l l l l l l l
kekerasan seksual terhadap anak. Dalam era globalisasi saat ini, akses terhadap
l l l l l l l l l l l l l l l l l
konten pornografi melalui internet semakin mudah. Hal ini memiliki dampak l l l l l l l
buruk karena rangsangan dan pengaruh dari konten pornografi tersebut dapat
l l l l l l l l l l l
Terhadap Anak l l l l
seksual adalah individu yang suka mencemooh atau meremehkan orang lain
l l l l l l l l l l l
dalam konteks seksual atau hubungan seksual antara pria dan wanita. Penegakan
l l l l l l l l l l l l l l l l
Peradilan Pidana Anak, UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, dan
l l l l l l l l l l l
tindakan yang mereka lakukan. Di sisi lain, Undang-Undang No. 35 Tahun 2014
l l l l l l l l l l
dilindungi dalam kasus yang melibatkan anak-anak. Selain itu, perubahan penting l l l l l l l l l l l l l
terjadi dalam hal unsur pemberat dan penambahan sanksi bagi pelaku kekerasan
l l l l l l l l l l l l l l
sanksi yang cukup efektif dalam mengurangi kasus kekerasan seksual terhadap
l l l l l l l l l l l
anak, mengingat masih banyaknya kasus yang terjadi, diperlukan perubahan atau
l l l l l l l l l l l l l l l
1. Pasal 81 menyatakan: l l l l l
2. Pasal 82 menyatakan: l l l l l
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau
l l l l l l l l l l l l
maksimum 15 (lima belas) tahun dan minimal 3 (tiga) tahun serta denda
l l l l l l l l l l
maksimum Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan minimal Rp.
l l l l l l l
1. Pasal 81 berbunyi:
l l
(3) Jika tindak pidana sebagaimana dijelaskan pada ayat (1) dilakukan
l l l l l l l l l l l l l l l l
2. Pasal 82 berbunyi :
l l
(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan dendal l l l l l l l l l l
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
l l l l l l l l l l l l l l l
minimal 5 tahun penjara dan maksimal 15 tahun penjara, serta denda maksimal
l l l l l l l l l l l l l l
Rp. 5.000.000.000,00.
Selain itu, di Indonesia, pelecehan seksual juga dikenal dengan istilah
l l l l l l l l
289 KUHP. Isi pasal tersebut adalah sebagai berikut: "Barangsiapa dengan l l l l l l l l l l l l
kesusilaan. l l
tindak pidana pelecehan seksual yang tercantum dalam Pasal 289 KUHP. Untuk
l l l l l l l l l l l
informasi lebih rinci, KUHP menjela skan lebih rinci dalam pasal-pasal
l l l l l l l l l
berikutnya, termasuk Pasal 290 KUHP. Pasal 290 KUHP mengancam pelaku l l l l l l l l l
dengan pidana penjara maksimal tujuh tahun, dengan ketentuan sebagai berikut:
l l l l l l l l l l l l
1. Pelaku yang melakukan perbuatan cabul dengan seseorang yang
l l l l l l l l l l
diketahuinya atau patut diduga bahwa orang tersebut belum mencapai usia
l l l l l l l l l l l l
15 tahun atau jika usianya tidak jelas, belum mencapai usia yang
l l l l l l l l l l l l
patut diduga bahwa orang tersebut belum mencapai usia 15 tahun atau jika
l l l l l l l l l l l l
usianya tidak jelas, belum mencapai usia yang memenuhi syarat untuk
l l l l l l l l l l
perbuatan cabul pada dirinya sendiri atau untuk berhubungan seks dengan
l l l l l l l l l l
Selanjutnya itu, terdapat pasal-pasal lain yang juga membahas mengenai perkara
l l l l l l l l l l l l l l l l
cabul dengan orang yang belum dewasa dari jenis kelamin yang sama,
l l l l l l l l l l l
lima tahun. l l
dengan anak kandungnya, anak tiri, anak angkat, anak yang dipeliharanya,
l l l l l l l l l l l l l l l l l
atau dengan seseorang yang belum dewasa yang menjadi tanggungannya
l l l l l l l l l l l l
laki-laki yang belum dewasa atau bawahannya yang belum dewasa, akan
l l l l l l l l l l l l l l l l
orang lain. l l
atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan
l l l l l l l l l l l l l
Wno
orang. l
orang l
akta kelahiran Anak Korban dan Kartu Keluarga dari Pelaku, dan
l l l l l l l l l l l l l l
kongklusi, sikap Pelaku yang melipat kedua kaki anak korban, lalu l l l l l l l l l l
anak korban mengatakan “ojo pak (jangan pak)”, namun Pelaku
l l l l l l l l l l l l
itu, dalam hal ini dapat menunjukkan bahwa paksaan yang dialami
l l l l l l l l l l l l l l
sekira pukul 21.00 wib peristiwa hukum yang kedua terjadi bulan
l l l l l l
Juni 2020 sekira pukul 21.05 wib di rumah Pelaku yang beralamat l l l l l l l
bulan Juli 2020 sekira pukul 20.00 wib bertempat di rumah Sdr. A
l l l l l
dari tiga peristiwa hukum itu Pelaku telah memenuhi seluruh unsur
l l l l l
peristiwa hukum yang kedua terjadi bulan Juni 2020 sekira pukul l l l l l l
peristiwa hukum yang ketiga terjadi awal bulan Juli 2020 sekira l l l l l l l l
hal ini dapat pula dilakukan satu penjatuhan pidana terhadap diri
l l l l l l l l l l l l l
terhadap Korban. l l l
2) Perbuatan Pelaku menimbulkan tekanan psikis yang sangat l l l l l l l l l
untuk memulihkannya. l l
dakwaan primair.
l l l l
(enam) bulan. l l
tersebut sudah sangat tepat, dimana pelaku menerima vonis penjara selama l l l l l l l l l l l l
milyar tujuh ratus lima puluh juta rupiah). Hukuman pidana tersebut sudah
l l l l l l l l l
diakui sebagai individu yang berusia di bawah 18 tahun, kecuali jika undang-
l l l l l l l l l l l
undang suatu negara menentukan usia dewasa yang lebih awal. KHA menganut
l l l l l l l l l l l l l
empat prinsip utama, yaitu prinsip bebas dari diskriminasi, prinsip mengutamakan
l l l l l l l l l l
kepentingan yang terbaik bagi anak, prinsip menjunjung tinggi hak untuk hidup,
l l l l l l l
Salah satu pelanggaran terhadap hak anak menurut Konvensi Hak Anak
l l l l l l l l l l l l l l
(KHA) adalah pelecehan seksual yang terjadi pada anak di bawah umur. Pasal 19
l l l l l l l l l l l l l l l l
administratif, sosial, dan pendidikan untuk melindungi anak dari segala bentuk
l l l l l l l l l l
perlakuan atau eksploitasi. Pasal 34 KHA juga menegaskan kewajiban dan tugas
l l l l l l l l l l l l l l l
negara untuk melindungi anak dari segala bentuk eksploitasi seksual dan
l l l l l l l l l l
penyalahgunaan seksual. l l l l l
No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang mengacu pada ketentuan
l l l l l l l l l l
KHA. Sebelum disahkannya Undang-Undang No. 23 Tahun 2002, terdapat
l l l l l l l l l
terhadap anak dianggap sebagai salah satu bentuk kejahatan yang merugikan
l l l l l l l l l l l l l l l l
perbuatan cabul dengan orang lain dari jenis kelamin yang sama, yang l l l l l l l l l l l l
diketahui atau seharusnya harus diduga belum cukup umur, dapat dihukum l l l l l l l l l
oleh mereka. l
3. Pasal 289 KUHP mengatur tentang perbuatan cabul yang dilakukan oleh
l l l l l l l l l l
terhadap pelanggar atau pelaku tindak pidana tersebut. Namun, meskipun ada
l l l l l l l l l l l l l
ketentuan tersebut, ketiga pasal tersebut tidak secara jelas menjelaskan batasan
l l l l l l l l l l l l l
usia seseorang yang dapat dikategorikan sebagai anak di bawah umur. Selain itu,
l l l l l l l l l l l l l l
ancaman hukuman pidana dianggap kurang efektif dalam memberikan efek jera
l l l l l l l l l l l l l
kepada pelaku yang telah menyebabkan kerugian baik secara fisik maupun mental
l l l l l l l l l l l l l
individu yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam l l l l l l l l l l
dianggap belum efektif. Untuk mengatasi hal ini, dilakukan perubahan dalam
l l l l l l l l l l l
No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Perubahan formulasi ini dimulai l l l l l l l l l
Kekerasan terhadap anak dapat terjadi dalam berbagai lingkup masyarakat, mulai
l l l l l l l l l l l l l l l l l l
terhadap anak tidak hanya terkait dengan jenis tindakan, subjek, dan lingkungan
l l l l l l l l l l l l l
khusus yang diberikan kepada anak dengan HIV/AIDS, anak korban kejahatan l l l l l l l l l l l l l l
menyimpang, dan anak yang menjadi korban stigmatisasi terkait kondisi orang tua l l l l l l l l l l l l
mereka. l
hal-hal yang dapat memberikan ketenangan kepada anak sebagai korban. Salah
l l l l l l l l l l l l l l l l l
satunya
l l adalah l l l pengaturan l l mengenai l pihak-pihak l l seperti pembimbing
kemasyarakatan, pekerja sosial profesional, penyidik, penuntut umum, hakim,
l l l l l l l l l
pengacara, dan pihak lain yang bertujuan menjaga suasana yang bersifat keluarga,
l l l l l l l l l l l l l l l l l
dan untuk tidak menggunakan toga atau atribut kedinasan seperti yang diatur
l l l l l l l l l l l l
dalam Pasal 18 dan Pasal 22 UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
l l l l l l l l l l l
Pidana Anak. Sidang peradilan pidana bagi anak diselenggarakan secara tertutup,
l l l l l l l l l l l l l l l l l
namun terkadang suasana di ruang sidang dapat membuat anak merasa tidak
l l l l l l l l l l l l l l l l
nyaman. l l
memerintahkan anak keluar dari ruang sidang sesuai dengan Pasal 58 ayat (1) UU l l l l l l l l l l l l l l
tetap diberikan jika anak korban tidak dapat hadir untuk memberikan keterangan
l l l l l l l l l l l l l
di pengadilan, seperti yang diatur dalam Pasal 58 ayat (3) UU No. 11 Ta hun 2012. l l l l l l l l l l l
lainnya. Hal ini sesuai dengan ketetapan dalam Inpres No. 5 Tahun 2014 tentang
l l l l l l l l l l l
masyarakat dan daerah, hingga masyarakat dan dunia untuk kemudian bersatu dan
l l l l l l l l l l l l l l l l l
Hak-hak lain yang diberikan kepada anak sebagai korban telah diatur
l l l l l l l l l l l l l l
dengan jelas dalam UU No. 11 Tahun 2012 Pasal 90 ayat (1), yang menyatakan
l l l l l l l l l l l l l
bahwa anak berhak mendapatkan upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial,
l l l l l l l l l l l l l l l l
jaminan keselamatan fisik, mental, dan sosial, serta akses mudah untuk
l l l l l l l l l l l
bentuk restitusi atas hak-hak yang telah dicabut dari anak agar mereka dapat l l l l l l l l l l l l l l l
terhadap identitas anak, terutama anak korban, telah diatur dengan penghindaran
l l l l l l l l l l l l l l l
kewajiban untuk merahasiakan identitas anak yang telah diatur dalam Pasal 61
l l l l l l l l l l l l l l l l
ayat (2) UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Pasal
l l l l l l l l l l l l
tersebut menyatakan bahwa "Identitas Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi l l l l l l l l l l l l l l l l l
harus tetap dirahasiakan oleh media massa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
l l l l l l l l l l l l l l l l l l
hingga persidangan, sebagaimana diatur dalam Pasal 69A UU No. 35 Tahun 2014. l l l l l l l l l l l l l l
pidana yang lebih berat bagi pelaku dan upaya perlindungan khusus bagi korban
l l l l l l l l l l l l
anak, terutama dalam kasus pelecehan seksual. Pemberatan sanksi pidana yang
l l l l l l l l l l l l l l l
diberikan kepada pelaku bertujuan untuk melindungi hak dan kepentingan anak l l l l l l l l l l
dalam mencapai keadilan yang pantas, tanpa mengurangi hak asasi lain yang
l l l l l l l l l l l l l l l l l
yang diatur dalam Pasal 21 UU No. 35 Ta hun 2014. Salah satu lembaga yang
l l l l l l l l l l l l l
Pasal 76 UU No. 35 Tahun 2014. KPAI dapat meminta bantuan dari lembaga lain,
l l l l l l l l l l l l l
perlindungan terhadap anak korban adalah untuk mengembalikan hak yang telah l l l l l l l l l l l l l l
hilang akibat tindak pidana yang dialami oleh anak tersebut, serta mencegah
l l l l l l l l l l l l l
adanya penambahan hak anak yang dapat terenggut. Hal ini sejalan dengan Pasal
l l l l l l l l l l l l l l l l l l
5 ayat (1) huruf a UU No. 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan
l l l l l l l l
perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas l l l l l l l l l l l l l l l l
dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah
l l l l l l l l l l l l l l l l l
diberikan". l
dialami oleh anak serta meminimalkan ketakutan yang mungkin dirasakan oleh
l l l l l l l l l l l l l
anak. Sesuai dengan Pasal 23 ayat (2) UU No. 11 Ta hun 2012, anak harus
l l l l l l l l l l l l
didampingi oleh orang tua mereka dan/atau orang kepercayaan anak atau pekerja
l l l l l l l l l l l l l l l l
pelecehan seksual terbagi menjadi dua, yaitu perlindungan anak secara yuridis
l l l l l l l l l l l
dihadapi oleh anak sebagai korban dan perlunya perhatian khusus, Pasal 59 UU
l l l l l l l l l l l l l
5.1 Kesimpulan l
faktor yang menyebabkan terjadinya kasus kekerasan seksual pada anak yang
l l l l l l l l l l l l l l l
tersebut terdiri faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor l l l l l l l l l l l
yang berasal dari dalam diri pelaku yang terdiri dari keadaan psikis pelaku dan
l l l l l l l l l l l l l l
kondisi biologis pelaku. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang berasal l l l l l l l l l l l l
dari luar yang terdiri dari keadaan ekonomi dan keadaan lingkungan pelaku.
l l l l l l l l l l l l l
sudah cukup tepat. hal tersebut bisa dilihat dari hakim yang memberikan vonis
l l l l l l l l l
maksimal terhadap pelaku, yaitu hukuman 15 tahun penjara dan denda denda
l l l l l l l l l l l l l
sejumlah Rp 3.750.000.000,00 (tiga milyar tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
l l l l l l l
pidana kekerasan seksual terhadap anak dibawah umur seperti yang tercantum
l l l l l l l l l l l l l
5.2 Saran l l
bertujuan untuk memberikan efek jera kepada pelaku dan supaya orang lain
l l l l l l l l l l l
terutama kepada para orang tua supaya mereka paham benar mengenai peran
l l l l l l l l l l l l l l l l
Jakarta: PTIK. l l l
Rajawali Pers. l l l
Grafindo Persada. l l l
Djamil, M. Nasir. 2013. Anak Bukan Untuk Dihukum. Jakarta: Sinar Grafika.
l l l l l l l l l l l
Harahap, Krisna. 2008. Hukum Acara Pidana. Bandung: PT.Grafitri Budi Utami.
l l l l l l l l l l l l
Hasanudddin, Makassar. l l l l l