Program Studi Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Padjadjaran
putri19011@mail.unpad.ac.id1
ABSTRAK
Anak adalah anugerah yang dititipkan oleh Tuhan kepada orang tua. Sebagai generasi penerus bangsa,
anak membutuhkan jaminan kesejahteraan dalam hidupnya salah satunya yaitu terpenuhinya hak
dasar anak sehingga dengan begitu anak dapat tumbuh dan berkembang dengan semestinya. Namun
kenyataan yang terjadi berbanding terbalik dengan harapan dari adanya hak dasar anak. Salah satu
permasalahan yang popular dan masih eksis sampai saat ini adalah bullying. Oleh karena itu, kita
akan melihat bagaimana peran orang tua sebagai pendidik dalam pembentukan karakter seorang anak
yang nantinya berpengaruh pada bagaimana anak tersebut melakukan interaksi sosial. Hasil yang
didapat terlihat bahwa pola asuh dari orang tua masih mengalami kesalahan presepsi dimana
parenting yang diterapkan berlandaskan kepada ego dan kemauan pribadi orang tua bukan tentang
apa yang dibutuhkan oleh seorang anak sehingga mengakibatkan tidak optimalnya bimbingan orang
tua terhadap pembentukan karakter anak. Maka dari itu, dibutuhkan peran pekerja sosial lainnya
dalam rangka membenahi pola asuh yang ada dan turun tangan langsung dalam mengawasi
perkembangan karakter pada anak, dengan demikian kasus bullying dapat dihindari karena telah
adanya pemahaman yang tepat tentang etika atau cara berperilaku dengan sesama manusia.
Kata-kata kunci: Anak, karakter, orang tua, bullying.
I. PENDAHULUAN
Anak merupakan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang harus kita lindungi agar
masa pertumbuhan dan perkembangannya tercapai dan mampu menjadi seorang manusia
dewasa yang akan melanjutkan masa depan bangsa. Di Indonesia sendiri permasalahan
yang sering muncul adalah kurangnya kualitas hidup manusia dapat dilihat dari rendahnya
angka pembangunan manusia di Indonesia jika dibandingkan dengan negara lain termasuk
perkembangan anak. Setiap anak membutuhkan kesempatan sebanyak mungkin untuk
tumbuh dan berkembang secara optimal baik fisik, mental, kehidupan sosial, maupun
akhlak dan budi pekertinya, dengan begitu diperlukan jaminan dalam upaya pemenuhan
hak-haknya serta perlakuan yang sama bagi setiap anak atau dengan kata lain tidak adanya
diskriminasi (Fajaruddin, 2014:23).
Pada saat ini, dampak dari rendahnya kualitas hidup manusia yang terjadi di
Indonesia dapat dilihat dari maraknya kasus bullying pada anak-anak, remaja, hingga
orang dewasa. Kasus bullying menjadi permasalahan yang sudah cukup lama ada dan
masih eksis hingga saat ini. Anak-anak yang seharusnya mendapat perlindungan dan
jaminan untuk tumbuh serta berkembang belajar mengenal dan memahami dunia malah
menjadi sasaran empuk bagi para pelaku kasus bullying. Mereka yang melakukan bullying
tidak memandang umur dan tidak memikirkan dampak jangka panjang yang akan diterima
oleh korban. Banyak faktor yang mendorong terjadinya bullying dikalangan anak-anak
salah satunya adalah kurang baiknya pendidikan karakter yang diterima oleh si pelaku.
Pendidikan karakter adalah faktor yang sangat esensial dan menentukan kehidupan
manusia selama hidupnya di dunia dan juga bagi kehidupan suatu bangsa. Suatu bangsa
dibentuk dan ditingkatkan sebagai salah satu proses perubahan pada pembentukan sikap,
kepribadian, dan keterampilan manusia untuk menghadapi masa depan (Alimin Purba,
2019:14).
Walaupun pada kenyataannya, Pendidikan karakter sendiri merupakan pendidikan
yang tidak formal atau dengan kata lain tidak diajarkan secara detail dalam bangku
sekolah. Namun, lembaga-lembaga pendidikan tetap berperan dalam memberikan
pendidikan karakter kepada para siswanya secara teoritis dan untuk pelaksanaan atau
aplikasinya memang tidak ada lembaga atau organisasi manapun yang akan mengontrol
hal tersebut karena pada hakikatnya karakter akan terbentuk seiring dengan tumbuh
kembang seorang anak dan dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Mendidik anak dapat
diibaratkan seperti merawat batang pohon, ketika pohon tersebut masih kecil akan lebih
mudah membentuk batang pohon atau ranting-ranting pohon sesuai dengan harapan kitaa.
Namun sebaliknya, jika pohon tersebut sudah tumbuh besar dan batangnya sudah keras
maka akan lebih sulit untuk membentuknya sesuai dengan harapan kita. Bahkan terkadang
ketika kita mencoba meluruskan batang pohon yang sudah tumbuh besar, alih-alih
menjadi lurus, batang pohon tersebut malah menjadi patah karena diberikan tekanan atau
paksaan yang terlalu kuat (Sri Mulyanti, 2013:7).
Para pelaku bullying pada anak-anak pun pasti pernah dan telah mengalami masa
kanak-kanaknya, masa dimana seorang anak seharusnya dapat dengan bebas melakukan
eksplorasi terhadap dunia dan selalu dibimbing serta diberikan ilmu pengetahuan yang
dibutuhkan untuk hidup dalam lingkungan sosial di suatu bangsa. Seperti perumpamaan
pohon tadi, bisa jadi salah satu faktor pelaku tindak bullying ini tidak mendapatkan
pendidikan karakter yang tepat semasa kecilnya sehingga ketika dewasa mereka
melakukan hal-hal yang tidak sepatutnya dilakukan terhahadap anak-anak yang masih
polos dan belum mengerti banyak hal. Namun menariknya, seiring perkembangan zaman
khsusnya dalam dunia teknologi informasi, pelaku bullying pada anak-anak tidak hanya
orang dewasa melainkan juga anak-anak lainnya. Hal ini tentunya juga dipengaruhi oleh
beberapa faktor salah satunya yaitu kurangnya pengawasan dari orang tua atau lingkungan
dimana mereka melakukan interaksi sosial.
Anak-anak yang melakukan bullying terhadap temannya sendiri melakukan hal
tersebut dengan perasaan bangga bahwa dirinya memiliki power atau kekuasaan yang
lebih tinggi disbandingkan dengan korbannya. Banyaknya perbedaan antara manusia yang
satu dengan yang lainnya juga menjadi pemicu hadirnya bullying ditengah kehidupan
kanak-kanak. Maka dari itu pendidikan karakter sangat dibutuhkan untuk menjadi
pengetahuan dasar yang digunakan bagi generasi penerus bangsa agar tidak melakukan
bullying. Berbicara tentang pendidikan karakter, sudah seharusnya keluarga terutama
orang tua sebagai sekelompok orang atau organisasi kecil yang pertama kali dikenal oleh
seorang individu saat lahir ke dunia menjalankan peran dalam pembentukan karakter pada
anak-anak sebelum nantinya mereka mengenal dunia luar lainnya seperti sekolah dan
lingkungan masyarakat di sekitar rumah.
II. METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang dilakukan dalam penulisan artikel ini adalah metode
deskriptif. Artinya penelitian dilakukan dengan cara melakukan studi kepustakaan dengan
didasari pada beberapa bahan bacaan seperti buku, jurnal, beberapa dokumen dan
peraturan perundang-undangan serta beberapa referensi lainnya.
Perilaku pada anak dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu perilaku normal dan
perilaku abnormal. Seorang anak dikatakan berperilaku normal dinilai dari tindakannya
yang sesuai dengan ajaran norma-norma pada umumnya yang berlaku di tengah
masyarakat. Begitu juga sebaliknya, seorang anak dikatakan berperilaku abnormal ketika
tindakan mereka menyebabkan kerusuhan dan bertentangan dengan nila-nilai yang
diajarkan di masyarakat. Bullying sendiri memiliki arti dalam Bahasa Indonesia yaitu
penindasan, intimidasi, menggertak. Segala bentuk penindasan atau kekerasan yang
dilakukan oleh orang atau kelompok yang lebih kuat atau berkuasa dengan sengaja
terhadap orang lain yang lebih lemah dan tidak berkuasa dengan tujuan untuk menyakiti
atau menyiksa dan dilakukan secara terus menerus. Definisi lain dari bullying yang
dikemukakan oleh para ahli yaitu pendapat Olweus (dalam Murphy, 2009) menyatakan
bahwa seorang anak dikatakan sebagai korban bullying jika ia diberi perlakuan secara
negative dan dilakukan berulang kali oleh satu atau lebih orang dalam berbagai
kesempatan. Menurut Randall (1997a, dalam Randall, 2002), bullying ialah perilaku
agresif yang dilakukan secara sengaja untuk menimbulkan ketidaknyamanan fisik
maupun psikologis terhadap orang lain. Definisi ini menegaskan pada motivasi dari si
pelaku bullying dan menggambarkan tujuan dari tindakan mereka.
Para peneliti menemukan bahwa pada 30 tahun terakhir kasus bullying telah
menjadi ancaman yang serius terhadap perkembangan anak dan merupakan penyebab dari
kemungkinan adanya kekerasan dalam sekolah (Olweus, 1978, dalam Smokowski &
Kopase, 2005). Bullying pada anak dianggap sebagai bentuk awal dari kekerasan yang
terjadi di masa remaja dan bisa berdampak kepada sebuah gangguan perilaku yang serius
contohnya seperti antisosial. Riauskina, Djuwita, dan Soesetio (2005) menjelaskan
definisi dari school bullying sebagai bentuk perilaku agresif yang dilakukan berulang kali
oleh satu orang ataupun kelompok siswa yang memiliki kekuasaan terhadap siswa lainnya
yang lebih lemah dengan tujuan menyakiti orang tersebut. Kasus bullying khususnya yang
terjadi di kalangan anak-anak di Indonesia semakin memprihatinkan. Konsorsium
Nasional Pengembangan Sekolah Karakter tahun 2014 menyebutkan bahwa hampir
setiap sekolah di Indonesia terdapat kasus bullying meskipun hanya bullying melalui
perkataan dan menyerang mental korban. Namun seiring berjalannya waktu, kasus
bullying di Indonesia semakin beragam bentuknya dan bahkan terdapat kekerasan fisik.
Statistic kasus pengaduan anak di sektor pendidikan dimulai dari Januari 2011 hingga
Agustus 2014 tergambar sebagai berikut: Tahun 2011 terdapat 61 kasus, tahun 2012
terdapat 130 kasus, tahun 2013 terdapat 91 kasus, dan tahun 2014 terdapat 87 kasus.
Fenomena bullying telah dikenal dengan baik oleh masyarakat Indonesia apa dan
bagaimana hal tersebut dapat terjadi dan bahkan keberadaannya semarik marak akhir-
akhir ini. Namun, wakaupun masyarakat telah paham dengan bullying, masih banyak dari
mereka yang menganggap enteng masalah ini. Tidak hanya itu, kekerasan yang dilakukan
pada anak dengan usia yang masih kecil terhadap teman sebayanya sering kali dianggap
normal oleh masyarakat. Bentuk bullying berkembang seiring dengan berjalannya waktu.
Jika dilihat dari bentuknya, bullying yang dipahami oleh masyarakat pada umumnya
adalah bentuk direct bullying dimana para pelaku melakukan penghinaan, mengolok-
olok, mengganggu ataupun melakukan kekerasan fisik kepada korban. Bentuk lain dari
bullying yaitu indirect bullying yang diartikan bullying secara tidak langsung dimana
rumor atau kabar yang tidak benar disebarluaskan oleh pelaku yang berdampak pada
diskriminasi terhadap korban. Baik direct bullying maupun indirect bullying sama sama
memberikan dampak yang signifikan bagi para korbannya. Kedua bentuk bullying ini
dapat melebar kepada bentuk lainnya yaitu cyber bullying yaitu penyalahgunaan media
internet untuk melancarkan aksi bullying. Berbagai macam bentuk cyber bullying yang
sedang marak terjadi diantaranya yaitu memposting sesuatu yang mengandung informasi
tidak benar tentang korban dan menggiring opini publik untuk menyudutkan korban
ataupun mempermalukan korban, mengirim pesan singkat melalu segala macam bentuk
teknologi informasi yang mengandung ancaman atau perkataan yang menghina. Dampak
bagi siswa lainnya yang menyaksikan bullying diluar korban dan pelaku salah satunya
adalah mereka berpikir bahwa bullying adalah hal yang dapat diterima di lingkumgan
sosial, bahkan lebih parahnya hal ini membuka kemungkinan dimana siswa yang tadinya
hanya menjadi penonton juga ikut melakukan bullying karena merasa tertarik dan berpikir
bahwa itu merupakan sebuah hiburan yang seru. Kebanyakan pelaku bullying memiliki
sikap yang mendukung kekerasan sebagai sarana untuk menyelesaikan permasalahan atau
untuk memperoleh suatu hal yang mereka inginkan (Carney & Merrel, 2001; Glew dkk,
2000, dalam Smokowski & Kopasz, 2005). Sedangkan pada korban bullying biasanya
terdapat karakteristik yang khas seperti penampilan atau cara bergaya mereka dalam
kehidupan sehari-hari yang berbeda, fisik yang lebih kecil atau besar dari standar yang
ada, gangguan kesehatan baik fisik maupun mental bawaan sejak lahir, memiliki
keterbatasan tertentu atau juga anak-anak yang memiliki bakat istimewa yang
menimbulkan rasa iri dengki terhadap pencapaian orang lain sehingga para pelaku
menargetkan korban dalam tindakan bullying.
Sering kali masyarakat menganggap yang terjadi di media sosial adalah hal yang
normal dan bertujuan hanya untuk hiburan semata. Hal ini lah yang perlu ditekankan
kepada masyarakat, tidak hanya anak-anak dan remaja tetapi juga orang dewasa
bagaimana bahayanya dampak dari menyebarluaskan sesuatu di media sosial jika kita
tidak memilah dan memikirkan terlebih dahulu apakah konten tersebut pantas untuk
dipost atau tidak. Selain itu, kekerasan fisik yang cukup sering terjadi di kalangan anak-
anak dianggap bukan hal serius yang perlu ditindak lanjuti dengan alasan memang begitu
cara mereka untuk berinteraksi dan membiarkan anak-anak untuk melakukan eksplorasi
serta mengekspresikan emosi atau perasaannya sebebas yang mereka mau. Perlu digaris
bawahi, mendukung anak untuk tumbuh dan berkembang salah satunya memang dengan
cara memberikan kesempatan yang seluas-luasnya pada anak untuk mengetahui hal baru
dan belajar dari pengalaman yang mereka dapatkan nantinya, namun tetap dengan
bimbingan dari para pekerja sosial yang memberikan arahan serta pengetahuan tentang
apa saja yang boleh dan tidak boleh, pantas dan tidak pantas, baik dan buruk yang
dilakukan oleh anak-anak beserta dengan penjelasannya mengapa hal tersebut tidak boleh
dilakukan.
Peran Orang Tua
Orang tua sebagai tenaga pendidik uatama dalam pendidikan karakter memegang
peranan penting bagaimana pola asuh yang mereka terapkan kepada anak-anak dapat
memberikan pemahaman yang tepat tentang bullying. Pola asuh yang dilakukan orang tua
atau yang biasa dikenal juga dengan sebutan parenting yang sebenarnya fokus utamanya
adalah anak itu sendiri. Ketika para orang tua diberikan pertanyaan tentang apa yang
penting dari parenting mereka menjawab anak itu sendiri. Disinilah letak permasalahan
tentang pola asuh yang berlarut larut dan tidak selesai hingga saat ini, para orang tua
menyadari bahwa hal utama atau fokus dari parenting adalah bagaimana anak itu dapat
tumbuh dan berkembang secara optimal. Kebanyakan orang tua menjadikan anak sebagai
alasan atas keputusan-keputusan yang diambil baik untuk kepentingan seluruh keluarga
ataupun untuk kepentingan pribadi anak itu sendiri. Oleh karena itu, sudah seharusnya
orang tua sadar dimana letak kesalahan parenting yang terjadi dan mengevaluasi pola
asuh dengan menggunakan pendekatan yang mengutamakan manfaat maksimal untuk
anak, tidak mengedepankan ego atau keinginan dan kebutuhan pribadi sebagai orang tua
dengan berlindung dibalik alasan orang tua lebih mengetahui yang terbaik untuk anak
karena mereka lebih dulu lahir ke dunia.
Orang tua selalu berlomba dalam membesarkan anaknya tumbuh menjadi
individu yang bekualitas tanpa menyadari dalam proses pola asuhnya mereka
menyelipkan obsesi yang berlebihan dibanding dengan memikirkan kenyamanan serta
apa yang anaknya inginkan. Hal ini tentu saja melanggar hak partisipasi anak yang
seharusnya dapat dipenuhi oleh orang tua sebagai orang terdekat dan sering melakukan
interaksi dengan anak. Masih banyak orang yang berpikir bahwa segala hal yang dipilih
oleh orang tua adalah yang terbaik, padahal kenyataannya apa yang ditentukan oleh orang
tua belum tentu menjadi pilihan paling tepat terlebih lagi jika itu berkaitan dengan
kehidupan seorang anak. Sudah seharusnya orang tua juga mengikut sertakan anak dalam
proses diskusi dengan mendengar serta menghargai pendapatnya dan melibatkan anak
dalam pengambilan suatu keputusan. Berangkat dari pola asuh yang belum cukup optimal
berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan karakter anak-anak tidak sejalan
dengan yang seharusnya.
Contoh yang dapat diambil dari fenomena terdekat yang sering terjadi di sekitar
kita yaitu ketika anak merasa tidak dihargai saat meberikan pendapat atau pandangannya
dan dipaksa untuk melakukan hal yang menurut orang tua adalah yang terbaik untuk
mereka. Ketika anak-anak tersebut mulai melakukan interaksi sosial di lingkungan
sekolah, ada dua kemungkinan karakter yang terbentuk, pertama anak akan mencari
media dimana mereka bisa menyampaikan pendapat dan menggunakan hak partisipasinya
namun ketika anak memiliki rasa kepercayaan diri yang terlalu berlebihan sehingga
merasa dirinya memiliki kekuasaan yang lebih tinggi daripada teman-temannya yang lain
maka bullying pun dapat terjadi dan yang kedua anak merasa tersudutkan dan merasa
dirinya tidak penting serta tidak dianggap keberadaannya karena hilangnya rasa percaya
diri sehingga mereka akan merasa bahwa dirinya lemah dan tidak memiliki kekuasaan
dan juga kekuatan untuk melawan orang yang lebih dominan yang akhirnya menjadi
sasaran empuk bagi para pelaku bullying. Maka dari itu, orang tua perlu menegaskan dan
menanamkan dipikirannya bahwa parenting atau pola asuh yang baik dan optimal adalah
pola asuh yang mengedepankan apa yang anak butuhkan, bukan apa yang orang tua
inginkan ataupun apa yang anak inginkan. Alih-alih mencocokkan anak ke jalan, lebih
baik mencocokkan jalan dengan anak.
Orang tua sebagai pemeran utama dalam pembentukan karakter anak sudah
seharusnya mengubah pola asuh yang hanya berdasarkan ego dan ambisi pribadi dengan
tujuan membentuk anak yang luar biasa. Orang tua maupun anggota keluarga lainnya
wajib berperan aktif dalam memberikan bimbingan tentang hal apa saja yang dapat
mendukung tumbuh kembang anak agar dapat didterima dengan baik di tengah
masyarakat dengan tetap memberikan ruang untuk anak mencari tahu sendiri hal-hal yang
belum mereka ketahui sebagai salah satu upaya dalam rangka memenuhi hak partisipasi
yang merupakan hak dasar anak. Khususnya tentang bullying, anak perlu ditanamkan rasa
toleransi dan rendah hati agar terhindar dari perilaku mengejek dan menyuduktkan
seseorang hanya karena perbedaan atau minoritas. Menanamkan nilai-nilai realigi,
menciptakan lingkungan yang penuh cinta dan kasih sayang, membangun rasa percaya
diri pada anak sesuai porsinya dan digunakan untuk situasi yang benar, mengajarkan etika
atau tata cara berinteraksi dengan teman sebaya, individu yang lebih kecil, dan orang
dewasa, serta selalu memberikan pemahaman berupa alasan atau argument yang logis
kepada anak terhadap ajaran-ajaran yang kita berikan.
IV. KESIMPULAN
Anak-anak sebagai makhluk yang rentan sudah sepatutnya diberikan pengawasan
serta bimbingan extra oleh para pekerja sosial terutama orang tua sebagai orang terdekat
yang sedikit banyak lebih mampu memahami apa yang anak mereka butuhkan. Peran
keluarga, pihak sekolah, lingkungan masyarakat, dan juga para ahli yang menangani
tentang tumbuh kembang anak harus bekerja sama dalam mewujudkan kesejahteraan bagi
anak salah satu caranya dengan memastikan setiap anak tanpa terkecuali mendapatkan hak
dasarnya secara penuh dan adil. Dengan adanya sinergisitas dari segala pihak, maka
diharapkan kasus bullying dapat segera ditangani dengan tepat baik bagi korban maupun
pelaku sehingga angka laporan kasus bullying khususnya di Indonesia dapat menurun.
Karena bullying juga dapat dilihat sebagai culture atau kebudayaan yang telah turun
menurun keberadaannya, maka untuk benar benar menghapuskan kasus bullying
membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Penanaman nilai-nilai realigi dan etika pada
anak zaman sekarang juga menjadi salah satu upaya untuk menghilangkan kasus bullying
kedepannya karena jika anak-anak generasi saat ini telah memahami bahaya dari dampak
bullying dan bagaimana pencegahannya bukan tidak mungkin angka kasus bullying di
masa depan turun signifikan dibandingkan dengan masa sekarang. Terlebih lagi jika kita
semua mampu memanfaatkan perkembangan teknologi dan informasi dengan baik untuk
tujuan menjamin kesejahteraan anak yang berkelanjutan.
V. DAFTAR PUSTAKA
Jurnal
Fajaruddin, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Pornografi, Jurnal Varia
Justicia, Vol. 10, No. 2, 2014
Alimin Purba, Evi Liaty Siburian, & Rosma Nababan, Hubungan Pendidikan dalam
Lingkungan Keluarga dengan Karakter, Jurnal Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan, Vol. 1, No. 2, 2019; 14
Sri Mulyanti. 2013. Perkembangan Psikologi Anak. Yogyakarta: Laras Media Prima.
Annisa Nur Fitri, Agus Wahyudi Riana, & Muhammad Fedryansyah, Perlindungan Hak-
Hak Anak dalam Upaya Peningkatan Kesejahteraan Anak, Prosiding KS: Risek &
PKM, Vol. 2, No. 1; 46 – 47
Ikin Asikin, Pengembangan Model Pendidikan Karakter di Lingkungan Keluarga, Jurnal
Pendidikan Islam, Vol. 7, No. 1, 2018; 435
Hardianto Djanggih, Konsepsi Perlindungan Hukum Bagi Anak Sebagai Korban
Kejahatan Siber Melalui Pendekatan Penal Dan Non Penal. Mimbar Hukum-
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Vol. 30, No. 2, 2018.
Sri Ismawati, Mekanisme Penyelesaian Perkara Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum
Pada Masyarakat Dayak Kanayatn (Kajian Perbandingan Terhadap Sistem
Peradilan Pidana Anak), Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 13, No. 2, 2013.
Tedy Sudrajat, Perlindungan Hukum Terhadap Hak Anak Sebagai Hak Asasi Manusia
dalam Perspektif Sistem Hukum Keluarga di Indonesia, Kanun Jurnal Ilmu Hukum,
No. 54, Agustus 2011
Muhammad Fachri Said, Perspektif Hak Asasi Manusia, Jurnal Cendekia Hukum, Vol. 4,
No. 1, September 2018
Nurul Hidayati, Bullying pada Anak: Analisis dan Alternatif Solusi, INSAN, Vol. 14, No.
1, April 2012
Putu Yulia Angga Dewi, Perilaku School Bullying pada Siswa Sekolah Dasar, Edukasi:
Jurnal Pendidikan Dasar, Vol. 1, No. 1, Maret 2020; 39 – 48
Smokowski, P.R. & Kopasz, K.H. (2005). Bullying in school: An overview of types,
effects, family charateristics, and intervention strategies. Children & School Journal,
27 (2): 101-109.
Twemlow, S.W. & Sacco, F.C. (2008). Why school antibullying programs don't work.
Playmouth UK: Rowman& Littlefield Publishers.
Buku
Shefali Tsabary, Ph.D., 2016, The Awakened Family: a revolution in parenting, Penguin
Random House LLC, 375 Hudson Street, New York 10014
Internet
https://www.kemenpppa.go.id/lib/uploads/list/8e022-januari-ratas-bullying-kpp-pa.pdf
https://www.kpai.go.id/publikasi/kpai-pelaku-kekerasan-terhadap-anak-tiap-tahun-
meningkat