Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Anak merupakan karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang harus
dijaga dengan baik. Anak juga merupakan generasi penerus bangsa yang perlu
diawasi tumbuh kembangnya agar nantinya dapat menjadi anak yang bermanfaat
bagi bangsa. Anak juga memiliki harkat dan martabat sebagai manusia
seutuhnya, yang perlu mendapat perlindungan dan perhatian secara khusus, agar
anak dapat bertumbuh kembang secara baik dan berkualitas. Anak sangat
memerlukan perhatian dan pemenuhan hak dari orangtuanya untuk memenuhi
kebutuhannya agar tumbuh kembangnya berjalan dengan baik.
Perkembangan anak adalah bertambahnya kemampuan(skill) dalam
struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan dapat
diramalkan, sebagai hasil dari pematangan. Di sini menyangkut adanya proses
diferensiasi dari sel-sel tubuh, jaringan tubuh, organ-organ dan sistem yang
berkembang sedemikian rupa per- kembangan emosi, intelektual dan tingkah
laku sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya.. Perkembangan anak sangat
bergantung pada lingkungan keluarga maupun masyarakat yang dapat
mempengaruhi tumbuh kembang anak.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut:
1. Bagaimana konsep tentang anak?
2. Bagaimana perkembangan anak?

1
C. Tujuan Penulisan Makalah
Berdasarkan perumusan masalah yang dikemukakan tersebut, maka
tujuan dari makalah ini adalah:
1. Mengetahui konsep tentang anak.
2. Memahami konsep tentang anak.
3. Mengetahui perkembangan anak
4. Memahami perkembangan anak.

2
BAB 2
PEMBAHASAN

A. Konsep Anak
1. Definisi anak dari berbagai perspektif
Secara umum dikatakan anak adalah seorang yang dilahirkan dari
perkawinan antara seorang perempuan dengan seorang laki-laki dengan tidak
menyangkut bahwa seseorang yang dilahirkan oleh wanita meskipun tidak
pernah melakukan pernikahan tetap dikatakan anak.
a. Pengertian Anak dari Perspektif Undang-Undang
Konvensi Hak Anak dan UU No 35 Tahun 2014 sebagai
perubahan atas UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Anak
adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk
anak yang masih dalam kandungan. Pada UU No 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak, Pasal 1 ayat 2 mengatakan bahwa Anak adalah
sesorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin.
b. Pengertian Anak dari Perspektif Psikologi
Anak merupakan mahkluk sosial, yang membutuhkan
pemeliharaan, kasih sayang dan tempat bagi perkembangannya, anak
juga mempunyai perasaan, pikiran, kehendak tersendiri yang
kesemuanya itu merupakan totalitas psikis dan sifat-sifat serta struktur
yang berlainan pada tiap-tiap fase perkembangan pada masa kanak-
kanak (anak). Menurut John Locke (dalam Gunarsa, 1986) anak adalah
pribadi yang masih bersih dan peka terhadap rangsangan-rangsangan
yang berasal dari lingkungan.
Berdasarkan aspek kejiwaan, secara psikologis digambarkan
dengan berpijak pada batasan-batasan usia dan relevansinya dengan
rentang perkembangan jiwa seseorang. Elisabeth B Hurlock
memaparkan tentang klasifikasi tahapan usia seseorang dihubungkan

3
dengan perkembangan jiwanya menjadi 4 (empat) tahapan, sebagai
berikut:

1) Anak, seseorang yang berusia di bawah 12 tahun;


2) Praremaja, seseorang yang berusia antara 12-15 tahun;
3) Remaja, seseorang yang berusia antara 15-18 tahun;
4) Dewasa, seseorang yang berusia di atas 18 tahun.
c. Pengertian Anak dari Perspektif Sosiologi
Sosiologi memandang bahwa anak merupakan bagian dari
masyarakat. Dimana keberadaan anak sebagai bagian yang berinteraksi
dengan lingkungan sosialnya, baik dengan keluarga, komunitas, atau
masyarakat pada umumnya. Sosiologi menjelaskan tugas atau peran
yang oleh anak pada masa perkembangannya:
1) Pada usia 5-7 tahun, anak mulai mencari teman untuk bermain
2) Pada usia 8-10 tahun, anak mulai serius bersama-sama dengan
temannya lebih akrab lagi
3) Pada usia 11-15 tahun, anak menjadikan temannya menjadi
sahabatnya.
Perspektif sosiologis terdiri dari empat dinamika yaitu:
1) Dinamika sosial
a) Relasi anak dengan orang dewasa sering bersifat hierarkis
yang cenderung berujung pada eksploitasi.
b) Anak dianggap ‘milik’ orangtua (power yang tidak sebanding
antara orang dewasa terhadap anak).
c) Proses diferensisasi sosial mengakibatkan beralihnya tugas-
tugas orangtua terhadap anak pada institusi sehingga relasi
sosial dan emosional keduanya menurun.
d) Riwayat kekerasan masyarakat cenderung menurun pada
anak, terutama jika anak mengalaminya. Jika tersimpan lama,

4
tanpa rehabilitasi sosial, cenderung menyebabkan praktek
kekerasan berlanjut.
e) Kemiskinan merupakan faktor dominan permasalahan anak.
Anak kehilangan hak-haknya dan muncul masalah lebih
serius.
f) Akses pendidikan masih dianggap sulit bagi sebagian
masyarakat.
2) Dinamika Budaya
a) Anak adalah harapan bangsa, penerus generasi bangsa,
penyambung keturunan/keluarga.
b) Anak dipandang sebagai manusia yang lemah, “belum jadi”.
c) Anak adalah sosok yang pasif, tanpa suara, dan hanya diminta
untuk menurut saja.
d) Anak dianggap sosok yang irrasional (belum mampu berpikir
dan bertindak secara rasional), sehingga tidak perlu terlibat
dari “pergaulan” orang dewasa.
e) Budaya anak bekerja dan membantu orangtua.
3) Dinamika Ekonomi
a) Dunia kerja sebagai faktor penarik anak-anak terlibat dalam
dunia kerja untuk mengatasi kemiskinan.
b) Tenaga kerja anak menguntungkan: dibayar rendah, menurut,
tidak menuntut, dan dapat di PHK kapan saja.
c) Pekerja anak: perbudakan modern?
d) Kapitalisme mendorong kejahatan kemanusiaan seperti dalam
perdagangan anak.
4) Dinamika Politik
a) Politik fokus pada distribusi dan alokasi power. Tidak hanya
soal ketatanegaraan, tetapi juga di keluarga, ayah dan anak,
dosen dan mahasiswa, dst.

5
b) Power anak tidak sebanding dengan orang dewasa dalam
aspek kehidupan apapun: dalam kepartaian maupun proses-
proses politik, pemerintahan, maupun di keluarga.
c) Anak hanya penggembira pada saat kampanye atau hanya
menuruti keputusan orangtua.
d) Pada Pemilu 2004, jumlah pemilih berumur 17 - 18 tahun
sekitar 8% dari jumlah pemilih.
e) Menurut KHA, anak mempunyai hak bersuara dan
berpartisipasi, termasuk terlibat dalam politik, sesuai dengan
kematangannya.
f) Segala keputusan yang menyangkut orang dewasa wajib
memperhatikan pandangan anak, terutama yang menyangkut
kepentingan mereka.
g) Advokasi jilid kedua untuk propinsi dan kabupaten mengenai
kesejahteraan dan perlindungan anak.
d. Pengertian Anak dari Perspektif Antropologi
Anak menurut perspektif antropologi sebagai individu yang
merupakan bagian suatu kebudayaan, yang dibentuk melalui pola
pengasuhan orang tua, dan melakukan sosialisasi dengan lingkungan
sosialnya. Dari perspektif tersebut dapat diambil tiga garis besar yakni:
1) Bagian dari kebudayaan, anak berhadapan langsung dengan
budaya yang diwariskan oleh nenek moyang melalui orang tua
atau yang mengasuhnya. Anak yang diasuh oleh dua subyek
(ayah-ibu) yang berlatar belakang budaya yang berbeda akan
mempengaruhi budaya anak tersebut. inilah yang disebut
dengan istilah asimilasi. Dimana budaya anak merupakan hasil
bertemunya dua budaya yang berbeda.
2) Pola pengasuhan yang dilakukan oleh kedua orang tua, bukan
salah satu.

6
3) Anak dipengaruhi oleh budaya yang ada di lingkungan sosial
tempat ia bersosialisasi.
2. Karakteristik Anak
Anak adalah sosok individu yang sedang menjalani suatu proses
perkembangan sangat pesat dan sangat fundamental bagi kehidupan
selanjutnya. Ia memiliki dunia dan karakteristik sendiri yang jauh berbeda
dari dunia dan karakteristik orang dewasa. Ia sangat aktif, dinamis, antusias,
dan hamper selalu ingin tahu terhadap apa yang dilihat dan didengarnya,
serta seolah-olah tak pernah berhenti belajar.
Karakteristik anak usia dini yang khas tersebut seperti yang
dikemukakan oleh Richard D, Kellough (1996) adalah :
a. Anak itu bersifat egosentris
Pada umumnya anak masih bersifat egosentris. Ia cenderung
melihat dan memahami sesuatu dari sudut pandang dan
kepentingannya sendiri. Hal ini dapat dilihat dari perilakunya seperti
masih berebut alat-alat mainan, menangis bila menghendaki sesuatu
yang tidak dipenuhi oleh orang tuanya, atau memaksakan sesuatu
terhadap orang lain. Karakteristik seperti ini terkait dengan
perkembangan kognitifnya yang menurut Piaget disebutkan bahwa
anak usia dini sedang berada pada fase transisi dari fase praoperasional
(2-7 tahun) ke fase operasional konkret (7-11 tahun). Pada fase
operasional pola berfikir anak bersifat egosentrik dan simbolik
sementara pada fase operasional konkret anak sudah mulai
menerapkan logika unutuk memahami persepsi-persepsi. Menurut
Berg (1988) anak pada masa transisi ini masih berfikir menurut kedua
pola tersebut di atas secara bergantian atau kadang-kadang secara
simultan. Dalam memahami suatu fenomena, anak sering memahami
sesuatu dari sudut pandangnya sendiri sehingga seringkali ia merasa
asing dalam lingkungannya. Karena tugas guru adalah membantu anak

7
dalam memahami dan menyesuaikan diri dengan dunianya dengan cara
positif. Keterampilan yang sangat diperlukan dalam mengurangi
egosentris di antaranya adalah dengan mengajarkan anak untuk
mendengarkan orang lain, serta dengan cara memahami dan berempati
pada anak.
b. Anak Memiliki Rasa Ingin Tahu Yang Besar
Menurut presepsi anak, dunia ini dipenuhi dengan hal-hal yang
menarik dan menakjubkan. Hal ini menimbulkan rasa keingintahuan
anak yang tinggi. Rasa keingintahuan sangatlah bervariasi, tergantung
dengan apa yang menarik perhatiannya. Sebagai contoh, anak lebih
tertarik dengan benda yang menimbulkan akibat daripada benda yang
timbul dengan sendirinya. Dalam Brooks and Brooks, dikemukakan
bahwa keuntungan yang dapat diambil dari rasa keingintahuannya
adalah dengan menggunakan fenomena atau kejadian yang tidak biasa.
Kejadian yang tidak biasa tersebut dapat menimbulkan ketidakcocokan
kognitif, sehingga dapat memancing keinginan anak untuk tekun
memecahkan permasalahan atau ketidakcocokan tersebut. Meskipun
terkadang sulit dikenali hubungan di antara ketidaksesuaian tersebut,
namun hal ini dapat membantu mengembangkan motivasi anak untuk
belajar sains. Untuk membantu mengembangkan kemampuan anak
dalam mengelompokan dan memahami dunianya sendiri, guru perlu
untuk membantu untuk menemukan masalahnya.
c. Anak adalah Makhluk Sosial
Anak senang diterima dan berada dengan teman sebayanya.
Mereka senang bekerja sama dalam membuat rencana dan
menyalesaikan pekerjaanya. Mereka secara bersama saling
memberikan semangat dengan sesama temannya. Anak membangun
konsep diri melalui interaksi sosial disekolah. Ia akan membangun
kepuasan melalui penghargaan diri ketika diberiakn kesempatan untuk

8
bekerja sama dengan temannya. Untuk itu pembelajaran dilakukan
untuk membantu anak dalam perkembangan penghargaan diri. Hal ini
dapat dilaksanakan dengan cara menyatukan strategi pembelajaran
sosial seperti bekerja sama, simulasi guru dari teman sebaya, dan
pembelajaran silang usia.
d. Anak Bersifat Unik
Anak merupakan individu yang unik di mana masing-masing
memiliki bawaan, minat, kapabilitas, dan latar belakang kehidupan
yang berbeda satu sama lain. Disamping memiliki kesamaan, menurut
Bredekamp (1987) anak juga memiliki keunikan tersendiri seperti
dalam gaya belajar, minat, latar belakang keluarga. Meskipun terdapat
pola urutan umum dalam perkembangan anak yang da dan belajarnya
tetap memiliki perbedaan satu sama lain.
e. Anak Umumnya Kaya dengan Fantasi
Anak senang dengan hal-hal yang bersifat imajinatif, sehingga
pada umumnya ia kaya dengan fantasi. Anak dapat bercerita melebihi
pengalama-pengalaman aktualnya atau kadang bertanya tentang hal-
hal gaib sekalipun. Hal ini disebabkan imajinasi anak berkembang
melebihi apa yang dilihatnya. Sebagai contoh, ketika anak melihat
gambar sebuah robot, maka imajinasinya berkembang bagaimana
robot itu berjalan dan bertempur dan seterusnya. Jika dibimbing
dengan beberapa pertanyaan, maka ia dapat menceritakan melebihi apa
yang mereka dengar dan lihat sesuai dengan imajinasi yang sedang
berkembang pada pikirannya. Cerita atau dongeng merupakan
kegiatan yang banyak digemari oleh anak sekaligus dapat melatih
mengembangkan imajinasi dan kemampuan bahasa anak.
f. Anak Memiliki Daya Konsentrasi yang Pendek
Pada umumnya anak sulit untuk berkonsentrasi pada suatu
kegiatan dlam jangka waktu yang lama. Ia selalu cepat mengalihkan

9
perhatian pada kegiatan lain, kecuali memang kegiatan tersebut selain
menyenangkan juga bervariasi dan tidak membosankan. Menurut Berg
disebutkan bahwa sepuluh menit adalah waktu yang wajar bagi anak
usia sekitar 5 tahun untuk dapat duduk dan memperhatikan sesuatu
secara nyaman. Daya perhatian yang pendek membuat ia masih sangat
sulit untuk duduk dan memperhatikan sesuatu untuk jangka waktu
yang lama, kecuali terhadap hal-hal yang menyenangkan.
Pembelajaran dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan yang
bervariasi dan menyenangkan, sehingga tidak membuat anak terpaku
di tempat dan menyimak dalam jangka waktu lama.
g. Anak merupakan masa belajar yang paling potensial
Masa anak usia dini disebut sebagai masa golden age atau
magic years. NAEYC (1992) mengemukakan bahwa masa-masa awal
kehidupan tersebut sebagai masa-masanya belajar dengan slogannya
sebagai berikut: “early years are Learning years”. Hal ini disebabkan
bahwa selama rentang waktu usia dini, anak mengalami berbagai
pertumbuhan dan perkembangan yang sangat cepat dan berpusat pada
berbagai aspek. Pada periode ini hampir seluruh potensi anak
mengalami masa peka untuk tumbuh dan berkembang secara cepat dan
hebat. Oleh karena itu, pada masa ini anak sangat membutuhkan
stimulasi dan rangsangan dari lingkungannya. Pembelajaran pada
periode ini merupakan wahana yang memfsilitasi pertumbuhan dan
perkembangan anak guna mencapai tahapan sesuai dengan tugas
perkembangannya.
B. Masa Perkembangan Anak
1. Makna Perkembangan Kepribadian Menurut Freud
Makna perkembangan kepribadian menurut Freud adalah
belajarnya individu dalam setiap tahap perkembangannya dalam
mengatasi kematangan dan ketegangan yang dialaminya. Adapun tahapan

10
perkembangan menurut Freud disebut tahapan-tahapan perkembangan
psikoseksual Freud.
a. Tahap-Tahap Perkembangan Psikoseksual Freud
Tahap-tahap perkembangan psikoseksual Freud adalah tahap
oral, anal, phallik, laten dan genital.
Tahapa Usia Pusat Pengalaman atau Tugas
n Erotis Kunci
Oral 0-1 Tahun Mulut Penyapihan dari menyusu
Anal 1-3 Tahun Anus Toilet Training
Phallik 3-5 Tahun Penis Identifikasi kepada model-
model peranan orang
dewasa dan mengatasi
krisis oedipal
Latensi 6-12 Tahun Tidak ada Memperluas kontak social
Genital 12 Tahun ke Genital Membangun hubungan
Atas yang lebih intim (akrab)
dan memberikan kontribusi
kepada masyarakat melalui
bekerja

b. Menurut teori psikososial Erikson


Perkembangan manusia dibedakan berdasarkan kualitas ego
dalam 8 tahap perkembangan, yaitu :
1) Masa Bayi
Tahap psikososial pertama adalah masa bayi. Menurut
Erikson, masa bayi adalah masa memasukan (incorporation),
dimana bayi bukan hanya memasukkan benda-benda leat
mulut, tetapi juga lewat beragam organ indra mereka. Lewat

11
mata, contohnya, bayi memasukkan beragam stimulus visual.
Ketika memasukkan makanan dan informasi indrawi, bayi
belajar untuk percaya atau tidak percaya kepada dunia
luar,sebuah situasi yang memberi mereka harapan yang
realistik. Masa bayi, kalau begitu, ditandai oleh mode
psikoseksual oral-penginderaan, krisis psikososialnya rasa
percaya mendasar versus rasa tidak percaya mendasar, dan
kekuatan dasarnya harapan.
Trust versus Mistrust (Kepercayaan vs Kecurigaan)
Tahap ini berlangsung pada masa oral, kira-kira terjadi
pada umur 0-1 atau 1 ½ tahun. Pada tahap ini bayi mengalami
konflik antara percaya dan tidak percaya. Tugas yang harus
dijalani pada tahap ini adalah menumbuhkan dan
mengembangkan kepercayaan tanpa harus menekan
kemampuan untuk hadirnya suatu ketidakpercayaan. dan
merasa terancam terus menerus. Rasa percaya tersebut
menuntut perasaan nyaman secara fisik. Pada saat itu,
hubungan bayi dengan ibu menjadi sangat penting. Ketika
sadar bahwa ibu selalu menyediakan makanan secara teratur,
mereka pun mulai belajar rasa percaya dasar. Jika mereka
terus belajar mendengarkan secara konsisten suara ibu yang
menyenangkan dan ritmis, mereka mengembangkan lebih
banyak lagi rasa percaya mendasar. Ketika mereka dapat
bersandar kepada lingkungan visual yang menyenangkan,
mereka dapat memadatkan rasa percaya dasar mereka lebih
kuat lagi. Dengan kata lain, jika pola mereka menerima hal-
hal yang berkaitan dengan cara budaya memberikan hal-hal,
maka bayi dapat belajar rasa percaya dasar. Sebaliknya, bayi
akan belajar rasa tidak percaya mendasar jika tidak

12
menemukan kaitan anatar kebutuhan-kebutuhan oral-
pengindraan mereka dengan lingkungan tempat mereka
tinggal.
Rasa percaya dasar biasanya bersifat sitonik,
sedangkan rasa tidak percaya mendasar bersifat distonik.
Meskipun begitu bayi harus mengembangkan kedua sikap ini.
Terlalu banyak rasa percaya membuat mereka naif dan rapuh
terhadap tipu muslihat dunia, sementara terlalu sedikit rasa
percaya membawa kepada rasa frustasi, kemarahan,
kebencian, sinisme atau depresi.
Keduanya rasa percaya dan tidak percaya mendasar
merupakan pengalaman yang tidak terelakkan bagi bayi.
Semua bayi yang bertahan hidup sudah medapatkan makan
dan perawatan yang baik sehingga mereka cukup memiliki
alasan untuk percaya. Selain itu, semua bayi yang sudah
difrustasikan oleh rasa sakit, lapar, dan tidak nyaman
memiliki alasan yang cukup untuk tidak percaya. Erikson
yakni bahwa rasio percaya dan tidak percaya cukup kritis bagi
kemampuan manusia untuk beradaptasi. Dia mengatakan
kepada Richard Evans (1967) bahwa “saat kita memasuki
sebuah situasi, kita harus sanggup membedakan seberapa
banyak kita dapat percaya dan seberapa banyak kita harus
tidak percaya dan saya menggunakan rasa tidak percaya
dalam pengertian kesiapan menghadapi bahaya dan sebuah
antisipasi bagi rasa tidak nyaman”.
Konflik tak terelakkan antara rasa percaya mendasar
dan rasa tidak percaya mendasar menghasilkan krisis
psikososial pertama manusia. Jika manusiaberhasil

13
menyelesaikan krisis ini, mereka akan mendapatkan kekuatan
dasar pertama mereka harapan.
2) Masa Kanak-kanak Awal
Tahap psikososial kedua adalah masa kanak-kanak
adalah masa kanak-kanak awal, sebuah periode yang paralel
dengan tahap anal Freud dan mencakup kira-kira tahun ke-2
sampai ke-3. Sekali lagi, sejumlah perbedaan muncul antara
pendapat Freud dan Erikson. Sebelumnya kita sudah melihat
Freud menganggap anus sebagai zona erogen utama periode
ini dan selama fase anal-sadistik awal, di mana yang pertama
anak-anak menerima raa senang dalam merusak atau
menghilangkan objek-objek, sementara yang kedua mereka
mencari kepuasan dengan buang air besar. Sekali lagi,
Erikson mengambil sebuah pandangan yang lebih luas.
Baginya, anak kecil menerima kesenangan bukan hanya dari
menguasai otot-otot anus dan perut namun, juga dari
menguasai fungsi-fungsi tubuh lainnya seperti buang air kecil,
berjalan,melempar,dan sebagainya. Selain itu, anak-anak
mengembangkan perasaan kontrol atas lingkungan
antarpribadi mereka, sama seperti mengukur kontrol diri
mereka. Meskipun begitu, masa kanak-kanak awal juga
merupakan waktu untuk mengalami keraguan dan rasa malu
ketika anak belajar bahwa sebagian besar upaya mereka
mencapai otonomi tidak berhasil.
Autonomy vs Shame and Doubt (Otonomi vs Perasaan
Malu dan Ragu-ragu)
Pada tahap kedua adalah tahap anus-otot (anal-
mascular stages), masa ini biasanya disebut masa balita yang
berlangsung mulai dari usia 18 bulan sampai 3 atau 4 tahun

14
atau pada akhir masa bayi dan masa mulai berjalan. Setelah
memperoleh kepercayaan, bayi mulai menemukan bahwa
perilaku mereka adalah milik mereka sendiri. Mereka mulai
menyatakan rasa mandiri atau otonomi mereka. Mereka
menyadari kemauan mereka. Tugas yang harus diselesaikan
pada masa ini adalah kemandirian (otonomi) sekaligus dapat
memperkecil perasaan malu dan ragu-ragu. Pada tahap ini bila
orang tua selalu memberikan dorongan kepada anak agar
dapat berdiri diatas kaki mereka sendiri, sambil melatih
kemampuan mereka, maka anak akan mampu
mengembangkan pengendalian atas otot, dorongan,
lingkungan dan diri sendiri. Sebaliknya, jika orang tua
cenderung menuntut terlalu banyak atau terlalu membatasi
anak untuk menyelidiki lingkungannya, maka anak akan
mengalami rasa malu dan ragu-ragu.
3) Usia Bermain
Tahap ketiga perkembangan Erikson adalah usia
bermain, sebuah periode yang meliputi masa yang sama
dengan fase falik Freud.
Initiative versus Guilt (Inisiatif vs Kesalahan)
Tahap ketiga adalah tahap kelamin-lokomotor
(genital-locomotor stage) atau yang biasa disebut tahap
bermain. Tahap ini pada suatu periode tertentu saat anak
menginjak usia 3 sampai 5 atau 6 tahun (pra sekolah). Tugas
yang harus diemban seorang anak pada masa ini ialah untuk
belajar punya gagasan (inisiatif) tanpa banyak terlalu
melakukan kesalahan. Pada umumnya di tahap ini anak
terlihat sangat aktif, suka berlari, berkelahi, memanjat dan
suka menantang lingkungannya. Dengan menggunakan

15
bahasa, fantasi dan permainan khayalan, dia memperoleh
perasaan harga diri. Bila orangtua berusaha memahami,
menjawab pertanyaan anak, dan menerima keaktifan anak
dalam bermain, maka anak akan belajar untuk mendekati apa
yang diinginkan, dan perasaan inisiatif menjadi semakin kuat.
Sebaliknya bila orangtua kurang memahami, kurang sabar,
suka memberi hukuman dan menganggap bahwa pengajuan
pertanyaan, bermain dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan
anak tidak bermanfaat, maka anak akan merasa bersalah dan
menjadi enggan untuk mengambil inisiatif untuk mendekati
apa yang diinginkannya.
4) Usia Sekolah
Industry versus Inferiority (Kerajinan vs Inferioritas)
Tahap keempat adalah tahap laten yang terjadi pada
usia sekolah dasar antara umur 6 sampai 12 tahun. Salah satu
tugas yang diperlukan dalam tahap ini ialah dengan
mengembangkan kemampuan bekerja keras dan menghindari
perasaan rasa rendah diri. Pada tahap ini anak mulai
memasuki dunia yang baru, yaitu sekolah dengan segala
aturan dan tujuan. Anak mulai mengarahkan energi mereka
menuju penguasaan pengetahuan dan ketrampilan intelektual.
Alat-alat permainan dan kegiatan bermain berangsur-angsur
digantikan oleh perhatian pada situasi produktif serta alat-alat
yang dipakai untuk bekerja. Akan tetapi, bila anak tidak
berhasil menguasai ketrampilan dan tugas-tugas yang
dipilihnya atau yang diberikan oleh guru dan orangtuanya,
maka anak akan mengembangkan perasaan rendah diri.

16
5) Masa Remaja
Masa remaja merupakan salah satu tahap
perkembangan yang krusial, karena di akhir periode ini
seseorang harus mencapai perasaan identitas ego yang teguh.
Identity versus Identity Confusion (Identitas vs
Kekacauan Identitas)
Tahap kelima merupakan tahap adolesen (remaja),
yang dimulai pada saat masa puber dan berakhir pada usia 18
atau 20 tahun atau selama masa remaja. Pencapaian identitas
pribadi dan menghindari peran ganda merupakan bagian dari
tugas yang harus dilakukan dalam tahap ini. Menurut Erikson,
“masa ini merupakan masa yang mempunyai peranan penting,
karena melalui tahap ini orang harus mencapai tingkat
identitas ego, dalam pengertiannya identitas pribadi berarti
mengetahui siapa dirinya dan bagaimana cara seseorang
terjun ke tengah masyarakat.” Ia mulai merasakan suatu
perasaan tentang identitasnya sendiri, perasaan bahwa ia
adalah individu unik yang siap memasuki suatu peran yang
berarti di tengah masyarakat, baik peran yang bersifat
menyesuaikan diri maupun yang bersifat memperbaharui.
Tetapi, karena peralihan yang sulit dari masa kanak-kanak ke
masa dewasa di satu pihak dan karena kepekaan terhadap
perubahan social dan histories di pihak lain, maka anak akan
mengalami krisis identitas. Bila krisis ini tidak segera diatasi,
maka anak akan mengalami kebingungan peran atau
kekacauan identitas, yang dapat menyebabkan anak merasa
terisolasi, cemas, hampa dan bimbang.

17
c. Teori Perkembangan Kognitif Piaget
Menurut Piaget, perkembangan kognitif mempunyai empat
aspek, yaitu 1) kematangan, sebagai hasil perkembangan susunan
syaraf; 2) pengalaman, yaitu hubungan timbal balik antara orgnisme
dengan dunianya; 3) interaksi sosial, yaitu pengaruh-pengaruh yang
diperoleh dalam hubungannya dengan lingkungan sosial, dan 4)
ekuilibrasi, yaitu adanya kemampuan atau sistem mengatur dalam
diri organisme agar dia selalu mempau mempertahankan
keseimbangan dan penyesuaian diri terhadap lingkungannya.

1) Kematangan
Kematangan sistem syaraf menjadi penting karena
memungkinkan anak memperoleh manfaat secara maksimum
dari pengalaman fisik. Kematangan membuka kemungkinan
untuk perkembangan sedangkan kalau kurang hal itu akan
membatasi secara luas prestasi secara kognitif. Perkembangan
berlangsung dengan kecepatan yang berlainan tergantung pada
sifat kontak dengan lingkungan dan kegiatan belajar sendiri.
2)   Pengalaman
Interaksi antara individu dan dunia luar merupakan
sumber pengetahuan baru, tetapi kontak dengan dunia fisik itu
tidak cukup untuk mengembangkan pengetahuan kecuali jika
intelegensi individu dapat memanfaatkan pengalaman tersebut.
3) Interaksi Sosial
Lingkungan sosial termasuk peran bahasa dan
pendidikan, pengalaman fisik dapat memacu atau menghambat
perkembangan struktur kognitif

18
4) Ekuilibrasi

Proses pengaturan diri dan pengoreksi diri (ekuilibrasi),


mengatur interaksi spesifik dari individu dengan lingkungan
maupun pengalaman fisik, pengalaman sosial dan
perkembangan jasmani yang menyebabkan perkembangan
kognitif berjalan secara terpadu dan tersusun baik.
Dalam pandangan Piaget, anak-anak secara aktif
membangun dunia kognitif mereka dengan menggunakan
skema untuk menjelaskan hal-hal yang mereka alami. Skema
adalah struktur kognitif yang digunakan oleh manusia untuk
mengadaptasi diri terhadap lingkungan dan menata lingkungan
ini secara intelektual. Piaget (1952) mengatakan bahwa ada dua
proses yang bertanggung jawab atas seseorang menggunakan
dan mengadaptasi skema mereka:

a) Asimilasi adalah proses menambahkan informasi baru ke


dalam skema yang sudah ada. Proses ini bersifat
subjektif, karena seseorang akan cenderung memodifikasi
pengalaman atau informasi yang diperolehnya agar bisa
masuk ke dalam skema yang sudah ada sebelumnya.
b) Akomodasi adalah bentuk penyesuaian lain yang
melibatkan pengubahan atau penggantian skema akibat
adanya informasi baru yang tidak sesuai dengan skema
yang sudah ada. Dalam proses ini dapat pula terjadi
pemunculan skema yang baru sama sekali.

19
Piaget membagi perkembangan kognitif anak ke dalam 4
periode utama yang berkorelasi dengan dan semakin canggih
seiring pertambahan usia:

1) Periode Sensorimotor (usia 0–2 tahun)


Bagi anak yang berada pada tahap ini, pengalaman
diperoleh melalui fisik (gerakan anggota tubuh) dan sensori
(koordinasi alat indra). Pada mulanya pengalaman itu bersatu
dengan dirinya, ini berarti bahwa suatu objek itu ada bila ada
pada penglihatannya. Perkembangan selanjutnya ia mulai
berusaha untuk mencari objek yang asalnya terlihat kemudian
menghiang dari pandangannya, asal perpindahanya terlihat.
Akhir dari tahap ini ia mulai mencari objek yang hilang bila
benda tersebut tidak terlihat perpindahannya. Objek mulai
terpisah dari dirinya dan bersamaan dengan itu konsep objek
dalam struktur kognitifnya pun mulai dikatakan matang. Ia
mulai mampu untuk melambungkan objek fisik ke dalam
symbol-simbol, misalnya mulai bisa berbicara meniru suara
kendaraan, suara binatang, dll.
2) Periode praoperasional (usia 2–7 tahun)
Tahap ini adalah tahap persiapan untuk
pengorganisasian operasi konkrit. Pada tahap ini pemikiran
anak lebih banyak berdasarkan pada pengalaman konkrit
daripada pemikiran logis, sehingga jika ia melihat objek-ojek
yang kelihatannya berbeda, maka ia mengatakanya berbeda
pula. Pada tahap ini anak masih berada pada tahap pra
operasional belum memahami konsep kekekalan
(conservation), yaitu kekekalan panjang, kekekalan materi,
luas, dll. Selain dari itu, cirri-ciri anak pada tahap ini belum

20
memahami dan belum dapat memikirkan dua aspek atau lebih
secara bersamaan.
3) Periode operasional konkrit (usia 7–11 tahun)
Pada umumnya anak-anak pada tahap ini telah
memahami operasi logis dengan bantuan benda benda konkrit.
Kemampuan ini terwujud dalam memahami konsep kekekalan,
kemampuan untuk mengklasifikasikan dan serasi, mampu
memandang suatu objek dari sudut pandang yang berbeda
secara objektif. Anak pada tahap ini sudah cukup matang
untuk menggunakan pemikiran logika, tetapi hanya objek fisik
yang ada saat ini (karena itu disebut tahap operasional
konkrit). Namun, tanpa objek fisik di hadapan mereka, anak-
anak pada tahap ini masih mengalami kesulitan besar dalam
menyelesaikan tugas-tugas logika.
4) Periode operasional formal (usia 11 tahun sampai dewasa)
Anak pada tahap ini sudah mampu melakukan
penalaran dengan menggunakan hal-hal yang abstrak dan
menggunakan logika. Penggunaan benda-benda konkret tidak
diperlukan lagi. Anak mampu bernalar tanpa harus berhadapan
dengan dengan objek atau peristiwa berlangsung. Penalaran
terjadi dalam struktur kognitifnya telah mampu hanya dengan
menggunakan simbol-simbol, ide-ide, astraksi dan
generalisasi. Ia telah memiliki kemampuan-kemampuan untuk
melakukan operasi-operasi yang menyatakan hubungan di
antara hubungan-hubungan, memahami konsep promosi.

21
DAFTAR PUSTAKA

Desmita. 2012. Psikologi Perkembangan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Hurlock, E.B. (1999). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang


Rentang Kehidupan. Edisi kelima. Jakarta: Erlangga.

UU No 35 Tahun 2014 sebagai perubahan atas UU No 23 Tahun 2002 tentang


Perlindungan Anak.

UU No 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

Adek. “Teori Perkembangan Kognitif Vigotsky”. Online.


http://valmband.multiply.com/journal/item/11?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal
%2Fitem. Diakses 28 Januari 2017.

Anonim. “Teori Piaget Tentang Perkembangan Kognitif”. Online.


http://edukasi.kompasiana.com/2011/01/01/teori-piaget-dan-vygotsky/.
Diakses 28 Januari 2017.

Nur Azizah Fadhillah. “Teori Pendidikan: Teori Perkembangan Sosial Kognitif Lev
Vygotsky”. Online. http://edukasi.kompasiana.com/2011/03/03/teori-
pendidikan-teori-perkembangan-sosial-kognitif-lev-vygotsky/. Diakses 28
Januari 2017.

http://bambang-rustanto.blogspot.co.id/2014/04/pekerjaan-sosial-dengan-anak.html
Diakses 28 Januari 2017
http://cndyoktavia.wordpress.com/2011/02/19/teori-psikoanalisa-freud-dan-erikson/
Diakses 28 Januari 2017.

22

Anda mungkin juga menyukai