Anda di halaman 1dari 36

PENGARUH POLA ASUH ORANG TUA DALAM KEMAMPUAN

SOSIAL ANAK DI KELURAHAN WONGKADITI TIMUR

PROPOSAL

OLEH

SAPRIN HASYIM
121419020

UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

JURUSAN PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH

2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Pendidikan Anak Usia Dini adalah salah satu bentuk penyelenggara
pendidikan yang menitik beratkan pada pelekatan dasar kearah pertumbuhan dan
perkembangan anak. Secara umum tujuan pendidikan Anak Usia Dini adalah
memberikan stimulisasi atau rangsangan bagi perkembangan agar menjadi
manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, kritis, mandiri, dan percaya diri. Tujuan pendidikan anak
usia dini adalah meletakkan dasar-dasar kearah perkembangan perilaku,
pengetahuan, keterampilan dan daya cipta anak sehingga berkembanglah semua
potensi yang dimiliki anak.
Pada saat anak memasuki usia pra sekolah atau 3-6 tahun, anak siap mengikuti
kegiatan belajar di pendidikan anak usia dini. Kegiatan belajar di pendidikan anak
usia dini tujuan memberikan fondasi bagi seluruh aspek perkembangan
perkembangan yang dimiliki anak, salah satunya yakni perkembangan bahasa.
Perkembangan merupakan hal yang sangat dinantikan, seperi kemampuan baaca
tulis. Sebelum anak mampu memproduksi bahasa berupa baca tulis, anak perlu
untuk mengembangkan kemampuan dalam bahasa reseptif. Bahasa reseptif adalah
kemampuan untuk memahami kata dan bahasa yang melibatkan perolehan
informasi dan makna. Bahasa reseptif pada anak 3-6 tahun menjadi dasar baginya
untuk mengungkapkan emosi, pesan, bersosialisasi, dan belajar ketahap
perkembangan berikutnya (Dini, 2021:1860-1869).
Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional Berkaitan dengan Pendidikan Anak Usia Dini tertulis pada pasal 28 ayat
1 yang berbunyi “Pendidikan Anak Usia Dini diselenggarakan bagi anak sejak
lahir sampai dengan usia enam tahun dan bukan merupakan prasyarat untuk
mengikuti pendidikan dasar”. Selanjutnya pada Bab 1 pasal 1 ayat 14 ditegaskan
bahwa Pendidikan Anak Usia Dini adalah suatu upaya pembinaan yang
ditunjukkan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang
dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan anak untuk membantu
pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan
dalam memasuki pendidikan lebih lanjut (Cahyanto,2010 : 5-6)
Dengan demikian dapat dipahami bahwa pada intinya anak usia dini
merupakan masa yang sangat menentukan dalam pembentuk karakter dan
kepribadian seorang anak. Artinya usia itu, sebagai usia pengembangan potensi
yang dimiliki anak, yang dianggap sangat penting dalam membantu meletakkan
dasar kemampuan sumber daya manusia yang berkualitas. Tidak hanya kemajuan
dalam aspek bahasa, fisik, kognitif, nilai agama dan moral, namun juga aspek
emosi dan sosial.
Keluarga merupakan lembaga pertama dalam kehidupan anak, tempat ia
belajar dan menyatakan diri sebagai makhluk sosial. Dalam keluarga umumnya
anak ada dalam hubungan interaksi yang intim. Keluarga memberikan dasar
pembentukan tingkah laku, watak, moral dan pendidikan anak.

Keluarga adalah miniature masyarakat, keluarga adalah sebuah institute


yang kaya akan nilai. Keluarga sebagai satuan unit sosial terkecil merupakan
lingkungan pendidikan yang paling utama dan pertama. Artinya, keluarga
merupakan lingkungan yang paling bertanggung jawab untuk mendidik anak-
anak. Mengasuh dan membesarkan anak secara umum merupakan tanggung jawab
kedua orang tua.

Orang tua mempunyai peran penting dan tanggung jawab besar bagi
pertumbuhan dan perkembangan anak-anaknya. Anak tumbuh dan berkembang
dibawah pengasuhan orang tua. Melalui orang tua, anak beradaptasi dan mengenal
dunia sekitarnya.

Orang tua adalah pendidik pertama dan utama dalam keluarga. Bagi anak,
orang tua adalah model yang harus ditiru dan diteladani. Sebagai model, orang tua
harus memberikan contoh yang terbaik bagi anak dalam lingkungan keluarga.
Sikap dan perilakau orang tua harus mencerminkan akhlak yang mulia.

Dapat disimpulkan bahwa

Perkembangan sosial anak sangat tergantung pada individu anak, peran


orang tua, dewasa lingkungan masyarakat dan termasuk Taman Kanak-kanak.
Adapun yang dimaksud dengan perkembangan sosial anak adalah bagaimana anak
usia dini berinteraksi dengan teman sebaya, orang dewasa dan masyarakat luas
agar dapat menyesuaikan diri dengan baik sesuai apa yang diharpkan oleh bangsa
dan negara. Ada kaitan erat antara keterampilan bergaul dengan masa bahagia
dimasa kanak-kanak. Kemampuan anak untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungan. Penerimaan lingkungan serta pengalaman-pengalaman positif lain
selama melakukan aktivitas sosial merupakan modal dasar yang sangat penting
untuk satu kehidupan sukses dan menyenangkan dimasa yang akan dating, apa
anak dipupuk dimasa kanak-kanak akan mereka petik buahnya dimasa dewasa
kelak. Namun, kita semua tahu keterampilan bergaul harus dipelajari, dan masa
awal kehidupan, anak belajar dari orang-orang yang terdekat dengan dalam hal
ini, orang tua. Itu sebabnya, selain membimbing dan mengajarkan anak
bagaimana cara bergaul dengat tepat, orang tua juga dituntut untuk menjadi model
yang baik bagi anaknya. Betapat tidak, anak-anak usia dini yang senang meniru
akan meniru apa saja yang dilakukan orang tuanya, termasuk cara bergaul mereka
dengan lingkungan. Peran orang tua dalam mengembangkan keterampilan bergaul
anak memang benar selain memberi kepercayaan dan kesempatan, orang tua juga
diharapkan memberikan penguatan lewat pemberian rangsangan ganjaran atau
hadiah kalau anak bertingkah laku tidak positif atau hukuman kalau ia melakukan
kesalahan. Dengan begit anak bisa berkembang menjadi makhluk sosial yang
sehat dan bertanggung jawab oleh karena itu, anak yang cerdas, walaupun
umurnya 6 tahun, tetapi sudah mampu mengikuti permainan yang membutuhkan
strategi berfikir seperti catur. Oleh karena itu, biasanya anak yang cerdas lebih
suka bermain dengan anak yang kurang cerdas merasa lebih cocok dengan anak
lebih muda usianya.

Perkembangan sosialisasi anak bermula dari semenjak bayi, sejalan


dengan pertumbuhan badannya, bayi yang telah menjadi anak dan seterusnya
menjadi orang dewasa itu, akan mengenal lingkungannya yang lebih luas,
mengenal banyak manusia, perkenalan dengan orang lain dimulai dengan
mengenal ibunya, kemudian mengenal ayah dan keluarganya. Selanjutnya
manusia yang dikenal semakin banyak dan amat hitrogen akan bisa menyesuaikan
diri untuk masyarakat lebih luas. Akhirnya manusia mengenal kehidupan
bersama, kemudian bermasyarakat atau bernegara dalam berkehidupan sosial.
Dalam perkembangan anak (manusia) akhirnya mengetahui bahwa manusia itu
saling membantu, dan saling member dan menerima.

Pola asuh orang dari orang tua sangatlah erat hubungannya dengan
kemampuan bersosialisasi pada anak. Sosialisasi itu sendiri merupakan suatu
proses dalam kehidupan seseorang untuk menyesuaikan dirinya menerimaa
kebiasaan, tingkah laku, serta norma yang berlaku dalam kehidupan
bermasyarakat. Dengan membiasakan anak melakukan interaksi di dalam keluarga
maka anak akan terbiasa berinteraksi dengan orang di luar keluarga sehingga anak
mampu menjalin persahabatan dengan teman sebayanya. Maka selain hubungan
sosial pada keluarga, anak juga akan menjalin suatu hubungan atau ikatan baru
dengan teman sebayanya baik itu di lingkungan di tempat tinggal maupun di
lingkungana sekolah sehingga ruang gerak sosialnya semakin luas. Anak yang
dikatakan memiliki kemampuan sosial yang baik dapat dilihat melalui cara anak
berperilaku dengan orang lain seperti, cara anak dalam bermain dengan teman
sebayanya, menghormati orang tua, menghormati guru dan menyayangi teman
sebayanya. Peran orang tua sangatlah penting dalam memberikan pemahaman
terhadap anak akan pentingnya bersosialisasi, karena anak belum memiliki
pengalaman untuk membimbing perkembangannya sendiri kearah kematangan.
Banyak anak yang belum memahami pentingnya berinteraksi sosial dengan teman
sebayanya terutama di lingkungan sekolah, sehingga anak yang tidak dapat
berinteraksi dengan baik di lingkungannya dapat menyebabkan anak dijauhi oleh
lingkungan dan sulit mendapatkan teman sebayanya dalam bermain maupun
kelompok (Susanti,2015:247).

Berdasarkan pengamatan yang di lakukan peneliti di Kelurahan


Wongkaditi Timur terdapat masalah yang timbul berkaitan dengan pola asuh
orang tua dalam kemampuan sosial anak. Menurut data yang peneliti dapatkan
dari kantor kelurahan jumlah anak di Kelurahan Wongkaditi Timur sebanyak 134
orang anak yang dimulai dari usia 4 tahun sampai dengan tahun. Dimana masing-
masing dari anak sering kali memberikan perilaku yang kurang baik terhadap
orang yang ada di sekitarnya.
Peran orang tua dalam mendidik anak masih sangat kurang, masih banyak
anak-anak yang belum bisa bersosialisasi dengan baik terhadap teman atau pun
dengan orang-orang yang disekitarnya. Anak menunjukkan perilaku yang tidak
sosial seperti : memukul,berteriak, dan mengganggu teman dengan tujuan agar
dapat diterima oleh lingkungan sosial melalui cara yang salah. Mengembangkan
kemampuan sosial anak membutuhkan orang lain dalam perkembanganya dan
orang yang paling pertama bertanggung jawab adalah orang tua. Pendidikan anak
usia dini sesungguhnya adalah tanggung jawab bersama antara keluarga,
masyarakat dan pemerintah.
Usaha orang tua untuk mebantu mengembangkan kemampuan sosial anak
terhadap lingkungan sehari-hari, baik di masyarakat maupun lingkungan sekolah
yaitu dengan memberikan pengasuhan yang tepat. Pola pengasuhan orang tua
biasanya dapat digolongkan menjadi tiga jenis, yaitu pengasuhan demokratis,
otoriter, dan permisif. Pola asuh tersebut akan memberikan kesempatan pada anak
untuk mengembangkan seluruh aspek kemampuannya dan akan berdampak pula
pada perkembangan kemapuan sosial yang mempunyai fungsi sebagai sarana
untuk memperoleh hubungan yang baik dalam berinteraksi dengan orang lain.

Karena anak memiliki pola perilaku yang berbeda sesuai dengan


pengalaman sosial awal yang diterima oleh anak sehingga anak dapat
mengembangkan kemampuan sosialnya dalam bentuk sosialisasi yang baik.
Kemampuan sosial merupakan kecakapan tentang perilaku anak dan proses
antarpribadi, kemampuan sosial yang ditunjukkan oleh anak melalui perilaku ada
dua, yaitu perilaku sosial dan perilaku tidak sosial. Perilaku prososial (prosocial
behavior) berkembang sejalan dengan pengalaman dan kematangan oleh anak
dengan menunjukkan sikap yang positif. Perilaku sosial ditunjukkan cenderung
yang tinggi melalui meniru, persaingan, kerja sama, simpati, empati, dukungan
sosial, membagi dan perilaku akrab, sedangkan perilaku tidak sosial ditunjukkan
dengan pola negativism, agresif, perilaku berkuasa, memikirkan diri sendiri,
mementingkan diri sendiri, merusak, pertentangan seks, dan prasangka terhadap
teman bermain.

Agar kemampuan sosial anak dapat berkembang dengan baik anak


diharapkan mampu mengatasi segala permasalahan yang timbul sebagai hasil dari
interaksi dengan lingkungan sosial dan anak mampu menampilkan diri sesuai
dengan aturan yang berlaku seperti menolong, bekerja sama dan berunnding.
Konsep utama dalam pemecahan masalah yang harus dimiliki oleh anak dapat
menerima diri dan orang lain, berkomunikasi efektif, memecahkan masalah dan
memahami perbedaan budaya yang ada dilingkungan sosial anak tinggal.
Keluarga merupakan lingkungan sosialisasi pertama yang ditemui individu
sejak mereka lahir ke dunia. Lingkungan keluarga pertama adalah ayah, ibu dan
individu itu sendiri. Hubungan antara individu dengan kedua orangtuanya
merupakan hubungan timbale balik dimana terdapat interaksi di dalamnya.
Setiap orangtuanya ingin yang terbaik bagi anak-anak mereka. Keinginan
ini kemudian akan membentuk pola asuh yang akan ditanamkan orangtua kepada
anak-anak.
Ada beberapa dampak buruk yang akan bisa diterima si kecil dengan pola
asuh yang menitikberatkan controlling dan punishment. “ Anak tidak belajar
melakukan sesuatu berdasarkan dorongan dirinya sendiri tapi lebih karena faktor
eksternal seperti ancaman orang tua”.

Jika seperti itu, si kecil berarti tidak mampu mengelola dirinya secara
emosi. Ia juga sulit menjadi anak yang mandiri baik dalam pikiran, perkataan,serta
tindakannya. Hal ini, disebabkan anak bergantung banyak pada panduan dari hal-
hal di luar dirinya. Anak juga jadi sangat dipengaruhi oleh pandangan lingkungan
sekitarnya.

Jika si kecil punya pengalaman tidak dihargai, kemungkinan anak juga


tidak bisa menghargai orang lain. Meskipun demikian, pada kenyataannya
memang ada beberapa orang yang justru ketika mengalami hukuman fisik bisa
mengelola dirinya sehingga mampu meregulasi diri dengan baik. Namun, tidak
semua anak akan memunculkan respons seperti itu karena hukuman fisik
cenderung membuat anak terluka baik secara psikologis ataupun emosi.
Menjadi orang tua adalah impian setiap pasangan suami istri. Terlebih jika
memiliki anak, maka orang tua bakal punya tugas lebih besar di dalam keluarga.
Peran serta orang tua dalam mendidik anak adalah kunci keberhasilan
orang tua dala dalam membentuk kepribadian anak. Anak cenderung meniru
setiap hal yang dilihat dari orang tuanya. Namun yang paling penting, orang tua
adalah pendidik yang utama dan pertama di dalam keluarga. Terlebih di era
“zaman now” ini, pendidikan di keluarga sangat penting sebagai pondasi tumbuh
kembang anak.
Konsekuensi yang akan kita terima jika pola asuh orang tua terhadap anak
di abaikan itu akan membuat anak menjadi tidak bisa mengharagai orang yang ada
disekitarnya, anak akan menjadi pembangkang bahkan akan sering menunjukkan
perilaku yang tidak baik seperti, suka memukuli orang atau teman yang ada
disekitarnya, sering melawan perintah orang tuanya, ketahuan mencuri, dan masih
banyak lagi hal-hal negatif yang akan kita temui jika pola asuh orang tua terhadap
anak di sepelekan atau diabaikan.
Di Kelurahan Wongkaditi Timur terdapat beberapa anak yang tidak bisa
bersosialisasi dengan baik pada masyarakat ataupun teman-teman seumurannya
skarena cara bersosialisasinya kurang baik sehingga tidak dapat diterima oleh
masyarakat. Anak tersebut suka sekali berkata kasar, berperilaku yang tidak baik
dan ini menyebabkan anak tersebut tidak memiliki teman bermain dan tidak
sayangi oleh banyak orang.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk pola asuh yang
diterapkan orang tua dan bagaimana pola asuh orang tua terhadap kemampuan
bersosialisasi pada anak serta untuk mengetahui bagaimana upaya orang tua
dalam mengatasi anak yang kesulitan dalam bersosialisasi. Peneliti berharap
penelitian ini dapat bermanfaat bagi orang tua sebagai acuan dan kajian ilmu
pengetahuan tentang peranan orang tua sangatlah penting dalam kemampuan
bersosialsasi pada anak, dan diharapkan berguna untuk pembentukan perilaku dan
kemampuan sosial anak secara tepat dan berkesinambungan dalam rangka
meningkatkan kualitas peranan pola asuh orang tua agar mampu menerapkan pola
asuh yang sesuai dengan nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan tata bahasanya pola asuh terdiri dari kata pola dan asuh. Pola
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti model, system, cara kerja, bentuk
(struktur) yang tetap. Sedangkan kata asuh berarti menjaga (merawat dan
mendidik), membimbing (membantu, melatih, dan sebagainya) supaya dapat
berdiri sendiri. Nisa (2018:20) pola asuh merupakan berbagai mode atau cara
orang tua dalam mengasuh, mendidik dan mengajari anak sesuai tujuan orang tua
hingga mencapai tahap kedewasaan. Dalam melakukan upaya mendidik, pola asuh
orang tua akan tercermin dari perilaku, sikap, serta innteraksi antara orang tua
dengan anak dalam kehidupan sehari-hari seperti, bagaimana cara orang tua
memberikan dukungan terhadap keberhasilan anak, memberikan hukuman, dan
bagaimana orang tua menunjukkan kekuasaannya sebagai orang tua menunjukkan
kekuasaanya sebagai orang orang tua kepada anak. Pola asuh adalah sebuah cara
orang tua dalam berinteraksi dengan anaknya dengan tujuan memberikan
penjagaan, perawatan, pendidikan, serta memberikan bimbingan dalam intensitas
waktu yang cukup konstan dengan maksud mengarahkan anak sesuai dengan
tujuan yang diharapkan orang tua (Rachmadtullah, 2017:81).

1.2 Identifikasi Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka dapat
diidentifikasi masalah sebagai berikut :
1. Masih terdapat 5 sampai 7 orang anak yang tidak bisa bersosialisasi dengan baik
dengan teman sebayanya, orang tua dan masyarakat.
2. Orang tua kurang memahami pola asuh sehingga anak kurang mendapatkan
bimbingan dari orang tua.
3. Orang tua kurang memberi bimbingan yang sesuai dengan perkembangan anak.
1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah yang ada maka peneliti merumuskan
masalah sebagai berikut: “Pengaruh pola asuh orang tua dalam kemampuan
sosialisasi anak usia dini di kelurahan wongkaditi timur”
1.4 Tujuan Penelitian
Berdasarkan Runusan masalah diatas, maka tujuan yang hendak dicapai
dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pola asuh orang tua dalam
kemampuan sosialisasi anak usia dini di Kelurahan Wongkaditi Timur.
1.5 Manfaat Penelitian
Dan hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik dari segi teoritis
maupun praktis sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
a) Secara teoritis penelitian ini akan memberikan sumbangan pemikiran tentang teori
pola asuh orang tua dan perkembangan sosialisasi bagi anak usia dini.
b) Hasil penelitian ini diharapkan mampu menambah wawasan untuk orang tua
dalam mengembangkan kemampuan sosialisasi anak.
2. Manfaat Praktis
a) Bagi Peneliti,
Hasil penelitian ini menambah dan memperkarya pengetahuan peneliti, serta
memberikan wawasan baru mengenai pentingnya pola asuh orang tua dalam
mengembangkan kemampuan sosialisasi anak usia dini.
b) Bagi orang tua
Hasil penelitian ini dapat memberikan masukan yang positif yaitu sebagai bahan
pertimbangan dalam menentukan langkah-langkah inovatif dalam
mengembangkan kemandirian anak.
c) Bagi anak
Sebagai pedoman bagi anak agar bisa bersosialisasi dengan baik kepada
teman,atau masyarakat yang ada disekitarnya.
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Hakikat Pendidikan Anak Usia Dini


2.1.1 Pengertian Anak Usia Dini
Anak usia dini memiliki batasan usia tertentu, karakteristik yang unik, dan
berada pada suatu proses perkembangan yang sangat pesat dan fundamental bagi
kehidupan berikutnya. Selama ini orang dewasa mengidentifikasi anak usia dini
sebagai orang dewasa mini, masih polos dan beluum bisa berbuat apa-apa karena
belum mampu berpikir. Pandangan ini berdampak pada pola perlakuan yang
diberikan pada anak, antara laian sering memperlakukan anak sebagaimana orang
dewasa. Saat mendidik atau membimbing anak dipaksa mengikuti pola piker dan
aturan orang dewasa. Namun, seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan
dan banyaknya studi tentang anak usia dini, orang dewasa semakin memahami
bahwa anak usia dini bukanlah orang dewasa mini, dan berbeda dengan orang
dewasa.
National Association For The Education Of Young Children (NAEYC)
Yaitu asosiasi para pendidik anak yang berpusat di amerika, mendefinisikan
rentang usia anak usia dini berdasarkan perkembangan hasil penelitian di bidang
psikologi perkembangan anak yang mengidentifikasi bahwa terdapat pola umum
yang dapat diprediksi menyangkut perkembangan yang terjadi selama 8 Tahun
pertama kehidupan anak. NAEYC membagi anak usia dini menjadi 0-3 Tahun,3-5
Tahun, dan 6-8 Tahun. Menurut definisi ini anak usia dini merupakan kelompok
manusia yang berada pada proses pertumbuhan dan perkembangan. Hal ini
mengisyaratkan bahwa anak usia dini adalah individu yang unik yang memiliki
pola pertumbuhan dan perkembangan fisik, kognitif, sosio-emosional,
kreativitas,bahasa dan komunikasi yang khusus sesuai dengan tahapan yang
sedang dilakui oleh anak tersebut.
Beberapa ahli pendidikan anak usia dini mengategorikan anak usia dini
sebagai berikut : (1) kelompok bayi (infancy) berada pada usia 0-1 tahun, (2)
kelompok awal berjalan (toddler) berada pada rentang usia 1-3 tahun, (3)
kelompok per-sekolah (preschool) berada pada rentang usia 3-4 tahun, (4)
kelompok usia sekolah (kelas awal SD) berada pada rentang usia 5-6, tahun (5)
kelompok usia sekolah (kelas lanjut SD) berada pada rentang usia 78 tahun.
Namun,ada juga yang membagi rentang masa anak usia dini berdasarkan
penelitian perkembangan motorik halus, motorik kasar,sosial,dan kognitif serta
perkembangan perilaku bermain dan minat permainan. Sementara itu terdapat
enam tahap perkembangan anak usia dini menurut Bronon, Yaitu (1) young
infants (lahir hingga usia 6 bulan) ; (2) oldet infants (7 hingga 12 bulan ) ; (3)
young toddlers (usia satu tahun ) ; (4) older toddlers (usia 2 tahun ) ; (5)
prasekolah dan kondergarten (usia 3 hingga 5 tahun) ; serta (6) anak dasar kelas
rendah atau primary school (usia 6 hingga 8 tahun).
Anak usia dini, dilihat dari rentang usia menurut undang-undang nomor 20
tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional ialah anak sejak lahir sampai usia
enam tahun. Anak usia dini menurut undang-undang ini berada pada rentang usia
lahir sampai usia taman kanak-kanak.
Perlu diketahui bahwa batasan usia yang dikemukakan oleh undang-
undang tersebut memiliki kelemahan yang cukup mendasar, dan hal itu
berdampak terhadap pelayanan program perawatan, pengasuhan, pendidikan dan
pembelajaran yang tidak sesuai dengan tahap perkembangan anak. Menurut
undang-undang,anak usia tujuh dan delapan tahun tidak termasuk dalam kategori
usia dini karena mereka dianggap sudah masuk pada usia sekolah dasar. Oleh
karena itu itu program perawatan, pengasuhan,pendidikan dan pembelajaran
untuknya diberikan seperti layaknya untuk orang dewasa. Hal itu berdampak juga
pada proses pembelajaran anak usia dini. Kenyataan di lapangan menunjukan
anak usia dini dilatih supaya mampu membaca,menulis,dan berhitung tanpa
menggunakan metode yang tepat serta tidak memperhatikan tahap perkembangan
dan tahap kemampuan anak usia dini, dengan alasan untuk menghadapi seleksi
masuk sekolah dasar (SD)
Jika dilakukan melalui pembelajaran yang tepat, maka anak akan mampu
membaca,menulis dan berhitung tanpa ada kesan dipaksa. Untuk mencapai target
anak mampu membaca,seringkali orang tua memasukan anak ke lemabaga
menulis, dan berhitung. Anak yang di drill (dilatih) untuk membaca, menulis dan
berhitung dengan tanpa kemampuan anak, dikhwatirkan akan merasa, bahwa
belajar itu melelahkan,membosankan dan tidak mengasyikkan. Anak akan dengan
mudah mencapai kemampuan membaca,menulis, dan berhitung jika kita
menggunakan metodeyang tepat dan cara-caranya sesuai dengan tahap
perkembangan anak, seperti melalui permainan,belajar langsung dari alam dan
sekitarnya,bernyanyi,demonstrasi (praktek langsung). Proses-proses pembelajaran
yang demikian akan menjadikan anak menyenangi belajar dan berdampak pada
hasil belajarnya. Tidak salah anak diajari membaca,menulis dan berhitung sejak
dini, namun harus dengan metode yang sesuai dengan tahap perkembangan dan
kemampuan anak usia dini. Pada usia kelas 1 sampai dengan kelas 3 SD
pembelajaran anak harus dilakukan sesuai dengan tahap perkembangan anak usia
dini.
Dengan demikian rentang anak usia dini menurut undang-undang tersebut
perlu dikaji ulang berdasar pada hasil studi dan penelitian yang valid sehingga
akan bermanfaat bagi anak-anak indonesia dan tidak senaliknya mematikan
potensi yang dimiliki anak.
2.1.2 Tinjauan Historis Persepsi Anak Usia Dini
Berdasarkan catatan sejarah,telah berlangsung beberapa abad lamanya
anak-anak dipandang sebagai miniatur orang dewasa. Anak-anak dianggap telah
terbentuk sepenuhnya sebagaimana orang dewasa pada umumnya. Diperkirakan
paham ini telah merata dan mendominasi abad pertengahan. Pandangan tersebut
tercermin pada lukisan-lukisan yang dibuat pada abad pertengahan, di mana
seacara umum anak-anak,bahkan anak baru lahir diilustrasikan dengan proporsi
tubuh dan karakteristik wajah sebagaimana orang dewasa. Anak-anak dan orang
dewasa dibedakan hanya pada ukuran tubuhnya saja. Fakta ini merupakan bukti
bahwa anak-anak dianggap telah mencapai bentuk sempurna. Mereka sejak awal
sudah dalam cetakan orang deawasa. Pandangan demikian juga berlaku dalam
aspek sosial,di mana anak-anak diperlukan sebagai orang dewasa. Pada usia enan
atau tujuh tahun, biasanya mereka telah memasuki masyarakat orang
dewasa,bekerja,berbaur,dan bermain dengan orang-orang dewasa.
Sebagaimana ahli sejarah tidak setuju terhadap pandangan tersebut yang
dinilai berlebihan karena memandang anak sebagai orang dewasa kecil. Namun
demikian,paham performansi yang memandang anak sebagai miniatur orang
dewasa ini juga banyak didukung oleh banyak kalangan.
Mengapa orang mempertahankan pandangan kaum parformansi? Ada
dugaan bahwa dalam waktu yang panjang orang-orang tidak memberikan
perhatian serius terhadap kekhususan yang dimiliki anak. Oleh karena angka
kematian anak amat tinggi, mereka menyadari bahwa kematian dapat menimpa
anak-anak setiap saat. Mereka mengalami kesulitan untuk mengerti faktor
penyebab yang sebenarnya. Akibatnya,peristiwa misterius ini membuat mereka
ragu-ragu untuk mengasuh dan merawat anak-anak mereka yang umik ini.
Menurut ausabel, hal ini terjadi juga disebabkan pembawaann orang dewasa yang
bertindak terlalalu egosentris. Orang dewasa cenderung berpandangan bahwa
manusia dalam kehidupannya mempunyai bentuk dan fungsi yang sama sesuai
dengan sifat diri mereka masing-masing. Sifat kekhususan setiap orang membuka
peluang adanya pemikiran untuk memandang sifat-sifat keunikan hidup pada
waktu yang berbeda, dan sesyatu yang ada pada seorang individu jarang
ditemukan pada individu lainnya.

2.1.3 Karakteristik Anak Usia Dini


Anak usia dini memiliki karakteristik yang unik karena mereka berada
pada proses tumbuh kembang yang sangat pesat dan fundmental bagi kehidupan
berikutnya. Secara psikologi anak usia dini memiliki karateristik yang khas dan
berbeda dengan anak uang usianya di atas delapan tahun. Anak usia dini yang
unik memiliki karakteristik sebagai berikut.
1. Anak Bersifat Egosentris
Pada umumnya anak masih bersifat egosentris, ia melihat dunia dari sudut
pandanag dan kepentingannya sendiri. Hal itu bia diamati ketika anak
saling berebut mainan, atau menangis ketika menginginkan sesuatu namun
tidak dipenuhi oleh orang tuanya. Karakteristik ini berkaitan dengan
perkembangan kongnitif anak. Menurut piaget,anak usia dini berada pada
tahapan-tahapan sebagai berikut : (1) tahap sensorimotorik yaitu usia 0-2
tahun, (2) tahap praoperasional yaitu usia 2-6 tahun, (3) tahap operasi
konkret yaitu usia 6-11 tahun. Pada fase praoperasional pola berfikir anak
bersifat egosentris dan simbolis,karena anak melakukan operasi-operasi
mental atas pengetahuan yang mereka miliki, belum dapat bersikap sosial
yang melibatkan orang yang ada di sekitarnya,asyik dengan kegiatan
sendiri dengan memuaskan diri sendiri. Mereka dapat menambah dan
mengurangi serta mengubah sesuatu sesuai dengan pengetahuan yang
mereka miliki. Operasi ini memungkinkannya untuk dapat memecahkan
masalah secara logis sesuai dengan sudut pandang anak. (Vasta Ross, et
all:1999).
2. Anak Memiliki Rasa Ingin Tahu (Curiosity)
Anak berpandangan bahwa dunia ini dipenuhi hal-hal menarik dan
menakjubkan. Hal ini mendoron rasa ingin tahu (curyosity) yang tinggi.
Rasa ingin tahu anak sangat bervariasi tergantung apa yang menarik
perhatiannya. Sebagai contoh, anak akan tertarik dengan warna, perubahan
yang terjadi dalam benda itu sendiri. Bola yang berbentuk bulat dapat
digelindingkan dengan warna-warni serta kontur bola yang baru dikenal
oleh anak sehingga anak suka dengan bola. Rasa ingin tahu ini sangat baik
dikembangkan untuk memeberikan pengetahuan yang baru bagi anak
dalam rangka mengembangkan kognitifnya. Semakin banyak pengetahuan
yang didapat berdasar kepada rasa ingin tahu anak yangg tinggi, semakin
kaya daya pikir anak.

3. Anak Bersifat Unik


Menurut Bredekamp (1987), anak memiliki keunikan sendiri
seperti dalam gaya belajar, minat, dan latar belakang keluarga. Keunikan
memiliki oleh masing-masing anak sesuai dengan bawaan, minat,
kemampuan dan latar belakang budaya serta kehidupan yang berbeda satu
sama lain. Mekipun terdapat pola aturan umum dalam perkembangan anak
yang dapat diprediksi, namun pola berkembangnya dan belajarnya tetap
memiliki perbedaan satu sama lain.

4. Anak Memiliki Imajinasi Dan Fantasi


Anak memiliki dunia sendiri, berbeda dengan orang di atas
usianya. Mereka tertarik dengan hal-hal yang bersifat imajinatif sehingga
mereka kaya dan fantasi. Terkadang mereka bertanya tentang sesuatu yang
tidak dapat di tebak oleh orang dewasa, hal ini disebabkan mereka
memiliki fantasi yang luar biasa dan berkembang melebihi dari apa yang
dilihatnya. Untuk memperkaya imajinasi dan fantasi anak, perlu diberikan
pengalaman-pengalaman yang merangsang kemampuanya untuk
berkembang.

5. Anak Memiliki Daya Konsentasi Pendek


Pada umumnya anak sulit untuk berkonsentrasi pada suatu kegiatan
dalam jangka yang lama. Ia selalu cepat mengalihkan perhatian pada
kegiatan lain, keucali memang kegiatan tersebut, selain menyenagkan juga
bervariasi dan tidak membosankan. Rentang konsentrasi anak usia lima
tahun umumnya adalah sepuluh menit untuk dapat duduk dan
memperhatikan sesuatu secara nyaman. Daya perhatian yang pendek
membuat ia masih sangat sulit untuk duduk dan memperhatikan sesuatu
untuk jangka waktu yang lama, kecuali terhadap hal-hal yang menarik dan
menyenangkan bagi mereka. Pembelajaran dapat dilakukan dengan
menggunakan pedekatan yang bervariasi dan menyenangkan,sehingga idak
membuat anak terpaku di tempat dan menyimak dalam jangka waktu lama.

2.1.4 Prinsip-Prinsip Perkembangan Anak


Untuk mencapai pembelajaran yang efektif, maka pada pelaksanaannya
harus memperhatikan beberapa prinsip-prinsip perkembangan seperti yang
dikemukakan Bredekamp (1987), yaitu sebagai berikut.

1. Aspek-aspek perkembangan anak seperti fisik, sosial emosional, dan


kognitif satu sama lain saling terkait erat. Perkembangan dalam satu ranah
berpengaruh dan dipengaruhi oleh perkembangan dalam ranah-ranah yang
lain. Perkembangan dalam satu ranah dapat membatasi atau mendukung
perkembangan yang lain. Sebagai contoh, keterampilan intelektual akan
mempengaruhi keterampilan bahasa anak, begitu juga keterampilan bahasa
dapat mempengaruhi perkembangan intelektual anak. Implikasi dari
fenomena ini adalah bahwa para pendidik sebaiknya menggunkan jalinan

2.2 Perilaku Sosial

2.2.1 Pengertian Perilaku Sosial

Secarah potensial (fitrah) manusia dilahirkan sebagai makhluk sosial,


sebagaimana kata Plato bahwa manusia sebagai zoon politicon. Untuk
mewujudkan potensi tersebut manusia perlu berinteraksi dengan lingkungan
manusia lainnya. Proses sosialisasi merupakan suatu proses di mana individu
(terutama anak) melatih kepekaan dirinya terhadap rangsangan-rangsangan sosial
terutama tekanan-tekanan dan tuntutan kehidupan (kelompoknya), belajar bergaul
dengan dan bertingkah laku seperti orang lain, bertingkah laku di dalam
lingkungan sosio-kulturalnya (Lilik Sriyanti, 2014:47).

Perilaku sosial merupakan aktivitas dalam berhubungan dengan orang lain,


baik dengan teman sebaya, guru, orang tua maupun saudara-saudaranya
(Aphroditta M, 2013). Menurut A.A Schneider berpendapat bahwa, sosialisasi
merupakan proses mental dan tingkah laku yang mendorong seseorang untuk
menyesuaikan diri sesuai dengan keinginan yang berasal dari tingkah laku yang
ditiru dari dalam keluarganya serta mengikuti contoh-contoh serupa yang ada
diseluruh dunia (Hasnida,2014:34).

Menurut Ahmad Susanto, 2011: 137 perilaku sosial adalah kegiatan yang
berhubungan dengan orang lain, kegiatan ini berkaitan dengan pihak lain yang
memerlukan sosialisasi dalam bertingkah laku yang dapat diterima oleh orang
lain, belajar memainkan peran sosial yang layak diterima oleh orang lain.
Perilaku sosial pada anak usia dini ini diarahkan untuk perkembangan sosial yang
baik, seperti kerja sama, tolong-menolong, berbagi, simpati, empati, dan saling
membutuhkan satu sama lain.

Menurut Bar-Tal dalam Martini Jamaris 2004: 29 (Ahmad Susanto


2011:138), perilaku sosial diartikan sebagai perilaku yang dilakukan secara suka
rela (voluntary) yang dapat menguntungkan aau menyenangkan orang lain tanpa
antisipasi reward eksternal. Perilaku sosial ini dilakukan dengan tujuan yang baik,
seperti tolong menolong, membantu, berbagi, dan menyumbang atau menderma.

Proses sosialisasi merupakan proses dimana individu (terutama anak)


melatih kepekaan dirinya terhadap rangsangan-rangsangan sosial terutama
tekanan-tekanan dan tuntutan kehidupan (kelompoknya); belajar bergaul dengan
bertingkah laku seperti orang lain, bertingkah laku di dalam lingkungan sosio-
kulturalnya (Lilik Sriyanti,2014).

Berdasarkan uraian diatas penulis dapat simpulkan bahwa perilaku sosial


merupakan kemampuan seseorang dalam bertingkah laku dan berinteraksi dengan
orang lain yang berasal dari keinginan dalam diri sendiri yang sesuai dengan
norma yang berlaku dalam lingkungan masyarakat sehingga dapat diterima
dengan baik dengan cara tolong menolong, berbagi, saling menghargai.
Bagaimana anak bersosialisasi dan berinteraksi dengan orang lain, seperti dengan
orang tua, teman, guru, keluarga, dan lingkungan sekitar dimana anak berada,
sehingga anak akan diterima dengan baik dalam lingkungan. Bentuk perilaku
sosial yang diterapkan pada anak usia dini ialah perilaku tolong menolong,
berbagi, kerja sama, tanggung jawab.

2.2.2 Bentuk Perilaku Sosial


Menurut Ahmad Susanto 2011:41 bentuk-bentuk perilaku sosia sebagai berikut :

1) Pembangkangan (negativisme)
Terjadi pada anak mulai usia 18 bulan sampai tiga tahun, yaitu semua bentuk
tingkah laku melawan. Tingkah laku ini terjadi sebagai reaksi terhadap penerapan
disiplin dan tuntutan orang tua atau lingkungan yang tidak sesuai dengan
kehendak anak. Dalam hal ini, sebaiknya orang tua mau memahami tentang proses
perkembangan anak, yaitu bahwa secara naluriah anak itu mempunyai dorongan
untuk berkembang dari posisi dependent (ketergantungan) ke posisi independent
(bersikap mandiri).
2) Agresi (aggression)
Agresi merupakan perilaku menyerang baik secara fisik (noverbal) maupun kata-
kata (verbal). Agresi ini merupakan salah satu bentuk dari reaksi terhadap frustasi
(rasa kecewa karena tidak terpenuhi kebutuhan atau keinginannya). Orang tua
yang menghukum anak yang agresi, menyebabkan meningkatnya agrisivitas anak.
Untuk itu, sebaiknya orang tua berusaha untuk mereduksi, mengurangi agrisivitas
anak ini dengan cara mengalihkan perhatian atau keinginan anak, memberikan
mainan atau sesuatu yang diinginkannya (sepanjang tidak membahayakan
keselamatannya).
3) Berselisih atau bertengkar (quarrelling)
Berselisih atau bertengkar ini terjadi apabila seorang anak merasa tersinggung
atau terganggu oleh sikap dan perilaku anak lain, seperti diganggu pada saat
mengerjakan sesuatu atau direbut barang atau mainannya.
4) Menggoda (teasing)
Menggoda merupakan bentuk lain dari tingkah laku agresi. Menggoda merupakan
serangan mental terhadap orang lain dalam bentuk verbal (kata-kata ejekan atau
cemoohan). Sehingga menimbulkan reaksi marah pada orang yang diserangnya.
5) Persaingan (rivalry)
Persaingan yaitu keinginan untuk melebihi orang lain dan selalu didorong atau
distimulasi oleh orang lain.
6) Kerja sama (coopration)
Kerja sama merupakan sikap mau bekerja sama dengan kelompok.
7) Tingkah laku berkuasa (selfishness), yaitu sikap egosentris dalam memenuhi
keinginannya.
8) Simpati (sympathy), yaitu sikap emosional yang mendorong individu untuk
menaruh perhatian terhadap orang lain, mau mendekati atau bekerja sama
dengannya.

Menurut Elizabeth B. Hurlock, 1978 bentuk pola perilaku dalam situasi


sosial pada masa kanak-kanak awal atau usia 2 tahun sampai 6 tahun dibagi
menjadi dua kelompok yaitu pola perilaku sosial dan pola perilaku tidak sosial,
berikut penjelasannya :
1) Pola perilaku sosial
a) Kerja sama
Sejumlah anak kecil belajar bermain atau bekerja secara bersama dengan anak lain
sampai mereka berumur 4 tahun. Semakin banyak kesempatan yang mereka miliki
untuk melakukan sesuatu bersama-sama, semakin cepat mereka belajar melakukan
dengana cara bekerja sama.
b) Persaingan
Jika persaingan merupakan dorongan bagi anak-anak untuk berusaha sebaik-
baiknya, hal itu akan menambah sosialisasi mereka, jika hal itu diekspresikan
dalam pertengkarang dan kesombongan, akan mengakibatkan timbulnya
sosialisasi yang buruk.
c) Kemurahan hati
Kemurahan hati, sebagai mana terlihat pada kesediaan untuk berbagi sesuatu
dengan anak lain, meningkat dan sikap mementingkan diri sendiri semakin
berkurang setelah anak belajar bahwa kemurahan hati menghasilkan penerimaan
sosial.
d) Hasrat akan penerimaan sosial
Jika hasrat anak untuk diterima kuat, hal itu mendorong anak untuk menyesuaikan
diri dengan tuntutan sosial.
e) Simpati
Anak kecil berperilaku simpati sampai mereka pernah mengalami situasi yang
mirip dengan dukacita. Mereka mengespresikan simpati dengan berusaha
mendorong atau menghibur orang yang sedang bersedih.
f) Empati
Empati merupakan meletakkan diri sendiri dalam posisi orang lain dan
menghayati pengalaman orang tersebut. Hal ini mengembang jika anak
memahami ekspresi wajah untuk maksud pembicaraan orang lain.
g) Ketergantungan
Ketergantungan terhadap orang lain dalam hal bantuan, perhatian, dan kasih
sayang mendorong anak untuk berperilaku dalam cara yang diterima secara sosial.
h) Sikap tidak mementingkan diri sendiri
Anak yang mempunyai kesempatan dan mendapat dorongan untuk membagi apa
yang mereka memiliki dan yang tida terus menerus menjadi pusat perhatian
keluarga, belajar memikirkan orang lain.
i) Meniru
Dengan meniru seseorang yang diterima baik oleh kelompok sosial, anak-anak
akan mengembangkan sifat yang menambah perhatian kelompok terhadap diri
mereka.
j) Perilaku kelekatan (attachment behaviour)
Dari landasan yang dilekatkan pada masa bayi, yaitu tatkala bayi mengembangkan
suatu kelekatan yang hangat dan penuh cinta kasih kepada ibu atau pengganti ibu,
anak kecil mengalihkan pola perilaku kepada anak/orang lain dan belajar
membina persahabatan dengan mereka.
2) Pola perilaku tidak sosial
a) Negativisme
Negativism adalah perlawanan terhadap tekanan dari pihak lain untuk berperilaku
tertentu. Biasanya hal ini dimulai pada usia dua tahun dan mencapai puncaknya
antara umur 3 tahun dan 6 tahun. Ekspresi fisiknya mirip dengan ledakan
kemarahan, tetapi secara setahap demi setahap diganti dengan penolakan lidah
untuk menuruti perintah.
b) Agresi
Agresi adalah tindakan perumusan yang nyata atau mengancam permusuhan,
biasanya ditimbulkan oleh orang lain. Anak-anak mungkin mengespresikan sikap
agresi mereka berupa penyerangan secara fisik atau lisan terhadap pihak lain,
biasanya terhadap anak yang lebih kecil.
c) Pertengkaran
Pertengkaran merupakan perselisihan pendapat yang mengundang kemarahan
yang umumnya dimulai apabila seseorang tidak melakukan penyerangan yang
tidak beralasan.
d) Mengejek dan menggertak
Mengejek merupakan serangan secara lisan terhadap orang lain, tetapi merengek
merupakan serangan yang bersifat fisik. Dalam kedua hal tersebut si penyerang
memperoleh keputusan dengan menyiksakan ketidak enakan korban atau hanya
untuk membalas dendam.
e) Perilaku yang sok kuasa
Perilaku sok kuasa adalah kecenderungan untuk mendominasi orang lain atau
menjadi “majikan”, jikan diarahkan secara tepat ini dapat menjadi sifat
kepemimpinan, tetapi umumnya tidak demikian, dan biasanya hal ini
mengakibatkan timbulnya penolakan dari kelompok sosial.
f) Egosentrisme
Hamper semua anak kecil bersifat egosentris dalam arti bahwa mereka cenderung
berfikir dan berbicara tentang diri mereka sendiri. Apakah kecenderungan ini akan
hilang, menetap, atau akan berkembang semakin kuat, sebagian bergantung pada
kesadaran anak bahwa hal itu membuat mereka tidak popular dan sebagian lain
bergantung pada kuat lemahnya keinginan mereka menjadi popular.
g) Prasangka
Landasan prasangka terbentuk pada masa kanak-kanak awal yaiu tatkala anak
menyadari bahwa senbagian orang berbeda dari mereka dalam hal penampilan dan
perilaku dan bahwa perbedaan ini oleh kelompok sosial dianggap sebagai tanda
kerendahan. Bagi anak kecil tidaklah umum mengekspresikan prasangka dengan
bersikap membedakan orang-orang yang mereka kenal.
h) Antagonism jenis kelamin
Pada umur ini anak laki-laki tidak melakukan perbedaan terhadap anak
perempuan, tetapi menghindari mereka dan menghindari aktivitas yang dianggap
sebagai aktivitas anak perempuan.

Menurut Suyadi (2009:277) perilaku bermasalah pada aspek sosial


emosional setidak-tidaknya mencakup beberapa permasalahan yaitu, pendiam,
pemalu, citra diri (self esteem) yang negatif, egois, sulit berteman (bersosialisai),
menolak realitas (suka berbuat kegaduhan), bersikap kaku (tidak objektif), dan
membenci guru tertentu.

2.2.3 Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Sosial

Menurut Soerjono Sekanto 2009:114, ada beberapa faktor yang


berpengaruh pada perilaku sosial seseorang, yaitu :

1) Kebutuhan anak sandang, pangan dan papan


2) Kebutuhan anak keselamatan jiwa dan harta benda
3) Kebutuhan harga diri
4) Kebutuhan anak kesempatan untuk dapat mengembangkan poensi
5) Kebutuhan anak kasih sayang.

Sedangkan menurut Dini P. Daeng S. 1996 (Aphroditta M, 2013), ada


empat faktor yang mempengaruhi kemampuan bersosialisasi, yakni :

1) Adanya kesempatan untuk bergaul dengan orang-orang di sekitarnya dari berbagi


usia dan latar belakang. Semakin banyak dan bervariasi pengalaman dalam
bergaul dengan orang-orang di lingkungannya, akan semakin banyak pula hal-hal
yang dapat dipelajarinya, untuk menjadi bekal dalam meningkatkan keterampilan
bersosialisasi tersebut.
2) Adanya minat dan motivasi untuk bergaul. Semakin banyak pengalaman yang
menyenangkan yang diperoleh melalui pergaulan dan aktivitas sosialnya, minat
dan motivasi bergaul juga dan semakin berkembang. Keadaan ini akan memberi
peluang yang lebih besar untuk meningkatkan keterampilan sosialnya.
3) Adanya bimbingan dan pengajaran dari orang lain, yang biasanya menjadi
“model” bagi anak. Walaupun kemampuan sosialisasi ini dapat pula berkembang
melalui “coba salah” (trial and error) yang dialami oleh anak, melalui
pengalaman bergaul atau dengan meniru perilaku orang lain dalam bergaul, tetapi
akan lebih efektif bila ada bimbingan dan pengajaran yang secara sengaja
diberikan oleh orang yang dapat dijadikan “model” bergaul baik bagi anak.
4) Adanya kemampuan berkomunikasi yang baik hang dimiliki. Dalam
berkomunikasi dengan orang lain, anak tidak hanya dituntut berkomunikasi
dengan kata-kata yang dapat dimengerti dan menarik bagi orang lain yang
menjadi lawan bicaranya.
Menurut Ahmad Susanto (2011: 154) secara garis besarnya terdapat dua
faktor yang mempengaruhi proses perkembangan yang optimal bagi seorang anak,
yaitu :

1) Faktor internal
Faktor internal ialah faktor-faktor yang terdapat dalam diri anak itu sendiri, baik
yang berupa bawaan maupun yang diperoleh dari pengalaman anak. Menurut
Depkes faktor internal ini meliputi :
a) Hal-hal yang diturunkan dari orang tua.
b) Unsure berfikir dan kemampuan intelektual.
c) Keadaan kelenjar zat-zat dalam tubuh (hormonal).
d) Emosi dan sifat-sifat (temperamen) tertenu.
2) Faktor eksternal
Faktor eksternal atau faktor luar ialah faktor-faktor yang diperoleh anak dari luar
dirinya, seperti faktor keluarga, faktor gizi, faktor budaya, dan teman bermain atau
teman di sekolah.
a) Keluarga
Sikap dan kebiasaan keluarga dalam mengasuh dan mendidik anak, hubungan
orang tua dengan anak, dan hubungan antara anggota keluarga. Keluarga yang
beresiko tinggi merupakan lingkungan keluarga yang tidak menunjang proses
pertumbuhan dan perkembangan anak secara optimal.
b) Kekurangan gizi
Kekurangan gizi dalam pola makanan menyebabkan petumbuhan anak terganggu,
tingkat kecerdasan dan daya tahan tubuhnya menurun, pada akhirnya anak
mempengaruhi perkembangan seluruh dirinya.
c) Budaya
Begitu juga dengan budaya, tradisi, dan kebiasaan yang berlaku dalam suatu
masyarakat, di mana tempat tinggal dapat mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan anak.
d) Teman bermain
Anak yang memiliki teman bermain yang mempunyai perangai kasar, akan
membawa dampak kepada temannya dengan berperilaku yang sama. Begitu juga
anak yang berteman dengan anak yang berperilaku lembut, maka ia pun akan
terbawa lembut, karena anak mudah untuk mengikuti dan meniru orang lain.

Sedangkan menurut Bino Walgito, 1991:66 menjelaskan faktor yang


mempengaruhi perilaku sosial seorang, berikut faktor yang mempengaruhi
perilaku sosial, yaitu:

1) Faktor Imitasi
Imitasi merupakan dorongan unntuk menirukan orang lain. Untuk mengadakan
imitasi atau meniru ada faktor psikologis lain yang berperan. Dengan kata lain
imitasi tidak berlangsung secara otomatis, tetapi ada faktor lain yang ikut
berperan, sehingga seseorang mengadakan imitasi. Dalam mengimitasi seseorang
harus ada sikap menerima, ada sikap mengagumi terhadap apa yang diimitasi itu,
karena itu imitasi tidak berlangsung dengan sendirinya.
2) Faktor Sugesti
Yang dimaksud dengan sugesti adalah pengaruh psikis, baik yang dating dari diri
sendiri, maupun yang dating dari orang lain, yang pada umumnya diterima tanpa
adanya kritik dari individu yang bersangkutan.
3) Faktor identifikasi
Faktor lain yang memegang peran dalam interaksi sosial ialah faktor identifikasi.
Identifikasi merupakan dorongan untuk identik (sama) dengan orang lain.
Sehubungan identifikasi ini Freud menjelaskan bagaimana anak mempelajari
norma-norma sosial dari orang tuanya. Dalam garis besar dapat ditempuh dengan
dua cara, yaitu:
a) Anak mempelajari dan menerima norma-norma sosial itu karena orang tua
mendidiknya.
b) Kesadaran akan norma-norma sosial juga dapat diperoleh anak dengan jalan
identifikasi, yaitu anak mengidentifikasikan diri pada orang tua, baik ibu maupun
pada ayah. Karena itu kedudukan orang tua sangat penting sebagai tempat
identifikasi anak-anaknya.
4) Faktor Simpati
Simpati merupakan rasa tertarik kepada orang lain. Dengan timbulnya simpati,
akan terjalin pengertian yang mendalam antara individu satu dengan individu
yang lain.

2.2.4 Ciri Sosial Anak Usia Dini

Anak-anak usia dini biasanya mudah bersosialisasi dengan orang


sekitarnya. Umumnya anak usia ini memiliki satu atau dua sahabat, tetapi sahabat
ini mudah bergantian. Mereka pada umumnya mudah dan cepat menyesuaikan diri
secara sosial. Sahabat yang dipilih biasanya yang memiliki jenis kelamin yang
sama, kemudian berkembang kepada jenis kelamin yang berbeda, kelompok
bermain anak usia dini ini cenderung kecil tidak terorganisasi secara baik, oleh
karena itu kelompok ini cepat berganti. Paten dalam susanto, 2011: 148,
mengamati tingkah laku sosial anak usia dini ketika mereka sedang bermain bebas
sebagai berikut:

1) Tingkah laku unoccupied. Anak tidak bermain dengan sesungguhnya. Ia mungkin


berdiri di sekitar anak lain dan memandang temannya tanpa melalkukan kegiatan
apa pun.
2) Bermain soliter. Anak bermain sendiri dengan menggunakan alat permainan
berbeda dengan apa yang dimainkan oleh teman yang ada di dekatnya. Mereka
tidak berusaha untuk saling berbicara.
3) Tingkah laku oniooker. Anak menghabiskan waktu dengan mengamati. Kadang
member komentar tentang apa yang dimainkan anak lain, tetap tidak berusaha
untuk bermain bersama.
4) Bermain parallel. Anak bermain dengan saling berdekatan, tetapi tidak
sepenuhnya bermain bersama dengan anak yang lain. Mereka menggunakan alat
mainan yang sama, berdekatan tetapi dengan cara yang tidak saling bergantung.
5) Bermain asosiatif. Anak bermain dengan anak lain tetapi tanpa organisasi. Tidak
ada peran tertentu, masing-masing anak bermain dengan caranya sendiri-sendiri.
6) Bermain kooperatif. Anak bermain dalam kelompok di mana ada organisasi, ada
pemimpinnya. Masing-masing anak melakukan kegaiatan bersama-sama,
misalnya perang-perangan, sekolah-sekolahan, dan lain-lain.

2.3 Pola Asuh Orang Tua


2.3.1 Pengertian Pola Asuh Orang Tua
Secara etimologi, pengasuhan berasal dari kata “asuh” yang artinya
pemimpin, pengelola, pembimbing, sehingga “pengasuh” adalah oran g yang
melaksanakan tugas membimbing, memimpin, atau mengelola. Pengasuhan yang
dimaksud di sini adalah mengasuh anak. Mengasuh anak adalah mendidik dan
memelihara anak, seperti mengurus makannya, minumnya, pakaiannya, dan
keberhasilnnya dalam periode yang pertama sampai dewasa. Dengan pengertian
tersebut, dapat dipahami bahwa pengasuhan anak yang dimaksud adalah
kepemimpinan dan bimbingan yang dilakukan terhadap anak yang berkaitan
dengan kepentingan hidupnya. (Maimun Hasan,2011).
Menurut pendapat Casmini pola asuh orang tua adalah bagaiman orang tua
memperlakukan anak, mendidik, membimbing, dan mendisiplinkan anak dalam
mencapai proses kedewasaan sehingga pada upaya pembentukan norma-norma
yang dipelihara masyarakat pada umumnya. Sedangkan Sears merumuskan
pengertian pengasuhan anak sebagai keseluruhan interaksi antara orang tua
dengan anak-anaknya yang melibatkan sikap, nilai, dan kepercayaan orang tua
dalam memelihara anaknya.
`Pola asuh terdiri dari dua kata yaitu pola dan asuh, menurut kamus besar
Indonesia, pola berarti corak, model, system, cara kerja, bentuk (sturktur) yang
tetap. Sedangkan kata asuh dapat berarti menjaga (merawat dan mendidik) anak
kecil, membimbing (membantu dan menyelenggarakan) sau badan atau lembaga.
Dari arti kata pola asuh dapat diartikan bahwa pola asuh orang tua adalah interaksi
pengasuhan orang tua terhadap anaknya, sikap orang tua dalam berinteraksi
dengan anaknya, pola perilaku orang tua untuk berhubungan dengan anak-
anaknya (Jarot Wijanarko dan Ester Setiawan, 2016).
Pola asuh adalah cara-cara orang tua mengasuh anaknya untuk menolong
dan membimbing supaya anak hidup mandiri. Pola asuh yang tepat dari orang tua
kepada anaknya dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak anak
mempunyai hubungan yang sangat kuat terhadap pembentukan karakter anak
ketika ia dewasa. Pola asuh pada dasarnya merupakan sikap dan kebiasaan orang
tua yang diterapkan saat mengasuh, merawat, dan membesarkan anak dalam
kehidupan sehari-hari.
Pola asuh orang tua dalam mendidik anak pada usia dini mencakup
pemberian rangsangan fisik, mental, emosional, moral, maupun sosial yang akan
mendorong tumbuh kembang anak secara optimal.
Pola asuh yang diberikan orang tua terhadap anak adalah mengasuh dan
mendidik dengan penuh pegertian. Banyak orang tua merasa tidak yakin apakah
pola asuh untuk anak usia dini orang tua harus mengukur kemampuan diri,
waspada dan berhati-hati dalam menentukan pola asuh anak. Pola asuh anak
mempunyai dampak secara psikologis dan sosial bagi anak. Pola asuh juga sangat
menentukan pertumbuhan anak yang baik menyangkut psikomotorik, sosial
maaupun efektif yang sesuai dengan perkembangan anak.
Khon (Krisnawati, 1997, dalam Muazar Habibi, 2018) menyatakan bahwa
pola asuh merupakan sikap orang tua dalam berinteraksi dengan anak-anaknya.
Sikap orang tua ini meliputi cara orang tua memberikan aturan-aturan, hadiah
ataupun hukuman, cara orang tua menunjukkan otoritasnya dan juga cara orang
tua memberikan pehatian serta tanggapan terhadap anaknya.Dari uraian diatas
dapa disimpulkan bahwa pola asuh adalah cara orang tua berinteraksi dan cara
orang tua dalam membimbing anaknya, dimana orang tua memberikan dorongan
kepada anak untuk mengubah nilai-nilai yang dianggap penting dalam diri anak
seperti tingkah laku, kemandirian anak, pengetahuan. Cara orang tua ini yang
membentuk anak menjadi pribadi anak yang baik ataupun menjadi pribadi yang
kurang baik terhadap teman sebaya, dan lingkungan sekitar anak. Orang tua
memberikan aturan-aturan yang dapat dipatuhi oleh anak, orang tua menunjukkan
otoritasnya, dan cara orang tua menunjukkan kasih sayang terhadap anaknya.

2.3.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pola Asuh


Menurut Jarot Wijanarko dan Ester Setiawan, 2016 terdapat beberapa
faktor yang mempengaruhi pola asuh orang tua, yaitu :
1) Pendidikan orang tua
Pendidikan orang tua dan pengalaman orang tua dalam perawatan anak akan
mempengaruhi persiapan mereka dalam menjalankan pengasuhan. Ada beberapa
cara yang dapat dilakukan untuk menjadi lebih siap dalam menjalankan peran
pengasuhan antara lain : terlibat akif dalam setiap pendidikan anak, mengamati
segala sesuatu dengan berorientasi pada masalah anak, selalu berupaya
menyediakan waktu untuk anak-anak dan menilai perkembangan fungsi keluarga
dan kepercayaan anak.
1) Lingkungan
Lingkungan banyak mempengaruhi perkembangan anak, maka tidak mustahil jika
lingkungan juga ikut serta mewarnai pola-pola pengasuhan yang diberi orang tua
terhadap anaknya. Orang tua lahir tidak dengan pengalaman mendidik anak, maka
cara termudah adalah meniru dari lingkungannya.
2) Budaya
Sering kali orang tua mengikuti cara-cara yang dilakukan oleh masyarakat dalam
pengasuhan anak, kebiasaan-kebiasaan masyarakat sekitarnya dalam pengasuhan
anak. Karena pola-pola tersebut dianggap berhasil dalam mendidik anak kea rah
kematangan. Orang tua berharap anaknya kelak dapat diterima di masyarakat
dengan baik, oleh karena itu kebudayaan atau kebiasaan masyarakat dalam
mengasuh anak juga mempengaruhi stiap orang tua dalam memberikan pola asuh
terhadap anaknya.

2.3.3 Tipe-Tipe Pola Asuh Orang Tua


Menurut Hurlock, Hardy & Heyes (Agus Wibowo, 2012), ada tiga jenis
pola asuh yang dilakukan terhadap anak-anaknya, yaitu:
1) Pola asuh otoriter
Orang tua dengan pola asuh otoriter adalah orang tua dengan pola asuh
yang kaku, tanpa kehangatan, bimbingan, komunikasi, dictator,
memaksakan anak untuk selalu mengikuti perintah orang tua tanpa
kompromi, selalu menuntut dan mengendalikan semata-mata Karena
kekuasaan dan tak jarang disertai hukuman fisik bila anak melanggar/tidak
patuh (Hasnida, 2014).
Pola asuh otorier ini cirri utamanya adalah orang tua membuat
hamper semua keputusan. Anak-anak mereka dipaksa tunduk, patuh, tidak
boleh bertanya apalagi membantah. Berikut cirri pola asuh otoriter sebagai
berikut :
a) Kekuasaan orang tua amat dominan
b) Anak tidak diakui secara pribadi
c) Kontrol terhadap tingkah laku anak sangat ketat
d) Orang tua akan sering menghukum anak jika tidak patuh
MA. Muazar Habibi, 2018 berpendapat bahwa tipe pola asuh otoriter dapat
menimbulkan akibat terhadap anak, berikut akibat yang terjadi terhadap
anak dengan tipe pola asuh otoriter:
a) Anak merasa tidak bahagia
b) Ketakutan
c) Tidak terlaih berinisiatif
d) Terlalu tegang
e) Tidak mampu menyelesaikan masalah
f) Anak tidak mampu mengendalikan diri
g) Kurang dapat berfikir
h) Kurang percaya diri
i) Tidak bisa mandiri
j) Kurang kreatif
k) Kurang dewasa dalam pengembangan moral
l) Rasa ingin tahunya rendah
2) Pola asuh demokratis
Orang tua yang demokratis biasanya bersikap hangat, belas kasih,
bisa menerima alasan dari semua tindakan anak. Orang tua akan menerima
dan akan melibatkan anak sepenuhnya, orang tua memiliki tingkat
pengendalian yang tinggi dan mengharuskan anak-anaknya bertindak pada
tindak intelektual dan sosial sesuai dengan usia dan kemampuan mereka.
Orang tua member kesempatan kepada anak untuk berpendapat,
menentukan pilihan sendiri sesuai dengan usaha serta menyampaikan
keberatan sekitarnya ada hal yang tidak disukainya. Namun sekiranya
pendapat/usulan anak kurang tepat, orang tua akan meluruskan dengan
cara yang bijak, mereka memberikan penjelasan dan alasan atas hukuman
dan larangan.
Beriku cirri-ciri pola asuh demokratis sebagai berikut ;
a) Orang tua senantiassa mendorong anak untuk membicarakan apa yang
menjadi cita-cita, harapan dan kebutuhan mereka.
b) Pola asuh demokratis ada kerja sama yang harmonis antara orang tua
dan anak.
c) Anak diakui sebagai pribadi, sehingga segenap kelebihan dan potensi
mendapat dukungan serta dipupuk dengan baik.
d) Karena sifat orang tua yang demokratis, mereka akan membimbing
dan mengarahkan anak-anak mereka.
e) Ada kontrol dari orang tua dan tidak kaku.
MA. Muazar Habibi, 2018 berpendapat bahwa tipe pola asuh
demokratis dapat menimbulkan akibat terhadap anak, berikut akibat yang
terjadi terhadap anak dengan tipe pola asuh demokratis :
a) Mendorong anak untuk mandiri
b) Anak akan merasa bahagia
c) Mempunyai kontrol diri dan rasa percaya dirinya terpupuk
d) Bisa mengatasi stress
e) Punya keinginan berprestasi dan bisa berkomunikasi
f) Baik dengan teman-teman dan orang dewasa
g) Anak lebih kreatif
h) Problem sloving-nya baik
i) Komunikasi lancar
j) Berjiwa besar
3) Pola asuh permisif
Orang tua dengan tipe pola asuh permisif adalah orang tua yang
memperbolehkan apa pun yang diinginkan anak, ini bisa jadi karena orang
tua sangat cinta atau sangat acuh. Orang tua member semua yang
diinginkan anak tanpa berfikir apakah baik atau tidak ke depannya.
Ciri-cir tipe pola asuh permisif sebagai berikut :
a) Orang tua memberikan kebebasan penuh kepada anak untuk berbuat
b) Dominasi kepada anak
c) Sikap longgar atau kebebasan kepada anak
d) Kurangnya bimbingan dan pengarahan dari orang tua terhadap anak,
bahkan tidak ada.
MA. Muazar Habibi, 2018 berpendapat bahwa tipe pola asuh
permisif dapat menimbulkan akibat terhadap anak, berikut akibat yang
terjadi terhadap anak dengan tipe pola asuh permisif:
a) Anak akan mempunyai harga diri yang rendah
b) Tidak mempunyai kontrol diri yang baik
c) Kemampuan sosialnya buruk
d) Merasa bukan bagian yang penting untuk orang tuanya
Dari uraian di atas tentang macam-macam pola asuh dapat
disimpulkan bahwa ada tiga macam pola asuh, yaitu pola asuh authoriter
(otoriter), pola asuh demokratis, dan pola asuh permissive (permisif).
Pola asuh demokratis merupakan perlakuan yang mementingkan
kepentingan anak. Ciri-ciri pola asuh ini yaitu anak diberi kebebasan
dalam berpendapat, anak diakui secara pribadi serta dilibatkan dalam
pengambilan keputusan, memprioritaskan kepentingan anak akan tetapi
tidak ragu untuk mengendalikan anak, dalam pengasuhan tidak kaku.
Pola asuh otoriter (authoriter), pola asuh yang mengharuskan anak
untuk tunduk dan patuh terhadap apa yang diharuskan oleh orang tua. Ciri-
ciri pola asuh ini yaitu adanya hukuman fisik bila anak tidak patuh,
pengasuhan yang kaku, dominan orang tua, anak tidak diakui secara
pribadi tanpa dilibatkan dalam pengambilan keputusan.
Pola asuh permisif (permissive) pola asuh yang memberikan
kesempatan kepada anak untuk melakukan apapun tanpa memberikan
pengawasan yang cukup. Ciri-ciri pola asuh ini yaitu orang tua
memberikan kebebasan yang lebih kepada anak, orang tua kurang
memperhatikan keinginan-keinginan anak, dominan kepada anak, orang
tua jarang memberikan hukuman kepada anak.

2.4 Kajian Penelitian Yang Relevan

Ada beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini yang terdiri
dari beberapa judul diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Dalam Penelitian Lisna Lulu Annikmah (2018) “Pola Asuh Orang Tua dalam
Membimbing Perilaku Sosial Anak Di TK Islam Assalam Desa Tlogo Kecamatan
Tuntang Kabupaten Semarang . Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif
kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Dalam pengumpulan data, peneliti
menggunakan dengan cara wawancara terhadap sumber data, observasi, dan
dokumentasi. Penelitian deskriptif pada dasarnya dipersiapkan untuk memperoleh
informasi mengenai suatu phenomena. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan
bahwa pengaruh pola asuh orang tua terhadap perkembangan perilaku sosial anak
berdampak secara signifikan dan positif, hal ini di tunjukkan dengan nilai
pengaruh dalam uji determinasi sebesar 37,69%.
Dari penelitian yang dilakukan oleh Lisna Lulu dengan penulis maka
perbedaannya terletak di penelitian kualitatif dengan jenis deskriptif. Berdasarkan
hasil penelitian menunjukkan bahwa pola asuh orang tua berpengaruh besar
terhadap perkembangan sosial perilaku anak 83,3% dan hanya sebesar 0,17%
dipengaruhi faktor lain.
Persamaan dari penelitian ini yaitu sama-sama meneliti pola asuh orang tua.
2. Hasil penelitian Mila Karmila (2018) “ Pengaruh Pola Asuh Orang Tua Terhadap
Perilaku Sosial Anak di KBI Al Madina Sampangan”. Penelitian ini menggunakan
metode deskriptif kuantitatif. Desain penelitian ini menggunakan metode
penelitian asosiatif kausal. Dengan hasil perkembangan perilaku sosial anak baik
sebesar 83,3%. Hasil uji statistika dengan Spearman

2.5 Kerangka Berfikir


Kerangka pemikiran merupakan sintesa tentang hubungan anatara
variabel yang disusun dari berbagai teori yang telah dideskripsikan,
kemudian dianalisis secara kritis dan sistematis, sehingga menghasilkan
sintesa tentang hubungan variabel tersebut yang selanjutnya digunakan
untuk merumuskan hipotesis (Sugiyono, 2009). Hal ini merupakan
jaringan hubungan antara variabel yang secara logis diterangkan,
dikembangkan, dan dielaborasi dari perumusan masalah yang telah
diidentifikasi (Kuncoro, 2013).

Pola asuh orang tua adalah bagaimana orang tua memperlakukan anak,
mendidik, membimbing, dan mendisiplinkan anak dalam mencapai proses
kedewasaan sehingga pada upaya pembentukan norma-norma yang dipelihara
masyarakat pada umumnya.

Menurut pendapat Casmini pola asuh orang tua adalah bagaimana orang
tua memperlakukan anak, membimbing, dan mendisiplinkan anak dalam
mencapai proses kedewasaan sehingga pada upaya pembentukan norma-norma
yang dipelihara masyarakat pada umumnya.

Sedangkan Sears merumuskan pengertian pengasuhan anak sebagai


keseluruhan interaksi antara orang tua dengan anak-anaknya yang melibatkan
sikap, nilai, dan kepercayaan orang tua dalam memelihara anaknya.

Dari pendapat para pakar dapat penulis simpulkan bahwa pola asuh orang
tua adalah bagaimana orang tua dalam memperlakukan anak, mendidik,
membimbing, dan mendisiplinkan anal dalam mencapai proses kedewasaan yang
melibatkan sikap, nilai, dan kepercayaan orang tua dalam memelihara anaknya.

Perkembangan sosial adalah suatu proses untuk membentuk nilai,


keterampilan, kelakuan, dan sikap seseorang. Perkembangan sosial adalah tingkat
jalinan interaksi anak dengan orang lain, mulai dari orang tua, saudara, teman
bermain, hingga masyarakat secara luas. Menurut Elizabeth B. Hurlock
perkembangan sosial berarti perolehan kemampuan berperilaku yang sesuai
dengan tuntutan sosial, menjadi orang yang mampu bermasyarakat.

Perkembangan sosial dapat diartikan sebagai sequence dari perubahan


berkesinambungan dalam perilaku indevidu untuk menjadi makhluk sosial.
Makna sosial dipahami sebagai upaya pengenalan (sosialisasi) anak terhadap
orang lain yang ada diluar dirinya dan lingkungannya baik dalam bentuk
perorangan maupun kelompok.

Schneider berpendapat bahwa perkembangan sosial itu adalah suatu proses


kemampuan belajar dan tingkah laku yang berhubungan dengan individu untuk
hidup sebagai bagian dari keluarganya serta mengikuti contoh serupa yang sudah
ada. Menurut Gordon dan Browne yang dikutip oleh Yudrik Jahja dalam bukunya
Psikologi Perkembangan, bahwasannya untuk mengembangkan keterampilan
sosial perlu dipelajari anak di TK yaitu membina hubungan dengan anak lain,
membina hubungan dengan kelompok, dan membina diri sebagai individu. Jadi
perkembangan sosial adalah suatu proses kemampuan belajar dan tingkah laku
yang berhubungan dengan individu dalam membina hubungan dengan kelompok.

Menurut Pamela Minet, perkembangan sosial adalah suatu proses


kemampuan belajar dari tingkah laku yang ditiru dari dalam keluarganya serta
mengikuti contoh serupa yang ada di seluruh dunia. Sedangkan menurut Sriyanti
Rachmatunisa sosiobilitas adalah diperolehnya kemampuan untuk bertingkah laku
sesuai dengan harapan yang berlaku dimasyarakat. Jadi perkembangan sosial
adalah suatu proses untuk berperilaku yang sesuai dengan tuntutan dan harapan
sosial yang berlaku dimasyarakat.

Dalam kajian sosiologis, Soerjono Soekanto memberikan definisi sosial ini


yang disebut dengan proses sosial yaitu : cara-cara berhubungan yang dilihat
apabila perorangan dan kelompok-kelompok sosial saling bertemu dan
menentukan system serta bentuk-bentuk hubungan ini, atau apa yang akan terjadi
apabila ada perubahan yang menyebabkan goyahnya pola-pola kehidupan yang
telah ada.

Setiap makhluk hidup akan berkembang sesuai dengan tingkat


kebutuhannya, perkembangan terjadi pada manusia akibat dari proses kematangan
dan pengalaman yang terjadi pada manusia akibat dari proses kematangan dan
pengalaman yang terjadi pada serangkaian perubahan yang progresif, sistematis
dan berkesinambungan. Perkembangan dapat diartikan sebagai suatu proses yang
tetap dan kekal, yaitu tetap dalam arti bahwa setiap individu pasti melalui proses
perkembangan yang menuju kearah tingkatan yang lebih tinggi. Sehingga dapat
dikatakan bahwa suatu perkembangan merupakan proses yang terjadi terus
menerus tak terhenti dari pria lahir dan pasca lahir hingga ia meninggal dunia.
Dapat disimpulkan bahwa suatu perkembangan merupakan proses yang terjadi
terus menerus hingga ia meninggal dunia.

Perkembangan sosial anak bermula dari semenjak bayi, sejalan dengan


pertumbuhan badannya, bayi yang telah menjadi anak dan seterusnya menjadi
orang dewasa itu, akan mengenal lingkungannya yang lebih luas, mengenai
banyak manusia, perkenalan dengan orang lain dimulai dengan mengenal ibunya,
kemudian mengenal ayahnya dan keluarganya. Selanjutnya manusia yang
dikenalnya semakin banyak dan amat hitrogen akan bisa menyesuaikan diri untuk
masyarakat lebih luas. Akhirnya manusia mengenal kehidupan bersama,
kemudian bermasyarakat atau bernegara dalam berkehidupan sosial. Dalam
perkembangan anak (manusia) akhirnya mengetahui bahwa manusia itu saling
bantu membantu, dan saling member dan menerima.

Perlu dipahami dari studi Carsaro (Rizzo, 1990) mengungkapkan bahwa


disaat anak berinteraksi dengan kelompok teman sebaya, anak-anak prasekolah
saling berbagi (sharing) dalam dua hal. Pertama adalah berupa partisipasi sosial
(sosial participation) yakni keterlibatan anak dalam aktivitas bermain bersama
atau berupaya mengikuti kegiatan kelompok teman yang sedang berlangsung.
Kedua adalah berupa perlindungan terhadap kawasan pergaulan kelompok (the
protection of interactive space). Yakni kecenderongan anak yang terlibat dalam
suatu episode kegiatan bermain yang sedang berlangsung untuk menolak upaya
atau gangguan dari anak lain yang sedang berpartisipasi.

Jadi dapat disimpulkan bahwa perkembangan sosial merupakan


pencapaian kematanga dalam hubungan sosial. Dapat juga diartikan sebagai
proses belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma, moral, dan tradisi :
meleburkan diri menjadi suatu kesatuan yang saling berkomunikasi dan
bekerjasama.

2.6 Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah


penelitian, dimana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk
kalimat pertanyaan. Menurut Abdurrahmat Fathoni hipotesis adalah jawaban
terhadap masalah penelitian yang secara teoritis dianggap paling tinggi kebenaran.
Berdasarkan pengertian diatas, hipotesis penelitian ini adalah pola asuh otoriter
berpengaruh positif dan signifikan terhadap perkembangan sosialisasi anak usia 4-
5 tahun di Kelurahan Wongkaditi Timur, Kecematan Kota Utara.
Dalam bentuk hipotesis statistic, dirumuskan sebagai berikut:

Ho : Tidak ada pengaruh yang positif dan signifikan pola asuh orang tua terhadap
kemampuan sosialisasi anak usia dini di Kelurahan Wongkaditi Timur,
Kecamatan Kota Utara.

HI : Terdapat pengaruh yang positif dan signifikan pola asuh orang tua terhadap
kemampuan sosialisasi anak usia dini di Kelurahan Wongkaditi Timur,
Kecematan Kota Utara.
BAB III

METODE PENELITIAN

2.1 Metode Penelitian


Metodologi penelitian berasal dari kata “Metode” yang artinya cara
yang tepat untuk melakukan sesuatu; dan “Logos” yang artinya ilmu atau
pengetahuan. Jadi metodologi adalah cara melakukan sesuatu dengan
menggunakan pemikiran untuk suatu tujuan. Sedangkan “penelitian” adalah
kegiatan untuk mencari, mencatat, merumuskan, dan menganalisis sampai
menyusun laporan.
Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk
mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Metode penelitian ini
difokuskan untuk memperoleh gambaran yang terjadi di lapangan. Jadi dapat
diambil kesimpulan bahwa metodologi penelitian adalah suatu ilmu pengetahuan
mengenai cara melaksanakan penelitian meliputi adalah suatu ilmu pengetahuan
mengenai cara melaksanakan penelitian meliputi kegiatan mencari, mencatat,
merumuskan, menganalisis sampai menyusun laporannya berdasarkan fakta dan
gejala-gejala secara ilmiah.
Penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif, dengan metode
penelitian Ex-post Facto yaitu jenis penelitian yang variabel independennya
merupakan peristiwa yang sudah terjadi. Menurut Syamsudin, metode Ex-post
Facto merupakan penelitian yang variabel-variabel telah terjadi perlakuan atau
treatmen tidak dilakukan pada saat penelitian berlangsung, sehingga penelitian ini
biasanya dipisahkan dengan penelitian eksperimen. Dengan demikian penelitian
ek-post facto hanya mengungkap gejala yang ada atau telah terjadi.
2.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat penelitian dilaksanakan di Kelurahan Wongkaditi Timur,
Kecematan Kota Utara, dengan waktu penelitian dilaksanakan sejak pengambilan
judul mengenai pola asuh orang tua dalam kemampuan sosialisasi anak usia dini
di Kelurahan Wongkaditi Timur dari bulan April 2021 sampai dengan selesai.
2.3 Desain Penelitian (Ex-pos Facto)
Penelitan ini menggunakan pendekatan Ex-post Facto untuk mengetahui
hubungan yang terdapat pada variabel (X) yaitu Pola Asuh Orang Tua dan
variabel (Y) yaitu Kemampuan Sosial Anak variabel terikat dengan
penelitian sebagai berikut :

sosi (Variabel X) (Variabel Y)

Pola Asuh Orang Tua Kemampuan Sosial Anak

Gambar 3.1 Desain Penelitian

2.4 Variabel Penelitian


Variabel penelitian pada dasarnya adalah segala sesuatu yang berbentuk
apa saja yang berupa suatu atribut, atau sifat, atau nilai dari orang, objek atau
kegiatan yang telah ditentukan oleh peneliti untuk dipelajari dan dicari
informasinya serta ditarik kesimpulan dalam suatu penelitian. Dalam penelitian ini
pola asuh orang tua adalah variabel bebas (X) dan akan dilihat pengaruhnya
terhadap kemampuan sosialisasi anak usia dini sebagai variabel terikat (Y).
1. Variabel Bebas (Independen variabel)
Variabel bebas atau independen merupakan variabel yang mempengaruhi
atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependen
(terikat). Variabel bebas merupakan variabel yang mempengaruhi disebut variabel
(X). Dalam penelitian ini variabel bebas adalah pola asuh orang tua.
2. Variabel Terikat (Dependen variabel)
Variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi
akibat, karena adanya variabel bebas. Dalam penelitian ini yang menjadi variabel
terikat (Y) adalah kemampuan sosialisasi anak usia dini.
2.5 Populasi dan Sampel
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas : objek/subjek
yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti
untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Populasi yang diteliti yaitu
seluruh orang tua di Kelurahan Wongkaditi Timur, Kecamatan Kota Utara yang
memiliki anak usia 4-5 tahun.
2.6 Teknis Analisis Data
1. Angket
Angket merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara
member seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk
dijawabnya. Kuesioner dapat berupa pertanyaan/pernyataan tertutup atau terbuka
yang dapat diberikan kepada responden dengan langsung maupun tidak langsung.
Adapun angket ini diberikan kepada orang tua anak guna mengetahui pola
asuh yang diterapkan oleh orang tua dan angket yang diisi oleh peneliti guna
mengetahui kemampuan sosialisasi anak usia dini. Angket dalam penelitian ini
seperangkat pertanyaan tertulis dengan menggunakan Skala Likert.
2. Observasi
Metode observasi ialah metode pengumpulan data yang dilakukan melalui
pengamatan dan pencatatan terhadap fenomena yang diteliti. Dalam arti luas
observasi berarti pengamatan yang dilaksanakan secara tidak langsung dengan
menggunakan alat-alat bantu yang sudah dipersiapkan sebelumnya, sedangkan
dalam arti sempit observasi berarti pengamatan secara langsung terhadap
fenomena yang diselidiki.
3. Dokumentasi
Dokumentasi dari asal dokumen yang artinya barang-barang tertulis. Di dalam
melaksanakan metode dokumentasi peneliti menyelidiki benda-benda tertulis
seperti buku-buku, majalah, dokumen, dan catatan harian.
Adapun data tertulis tentang profil Kelurahan Wongkaditi Timur.
2.7 Hipotesis Statistik

Menurut Erwan Agus Purwanto dan Dyah Ratih Sulistyatuti (2007)


menjelaskan bahwa hipotesis diartikan sebagai tuduhan sementara terhadap suatu
masalah yang dijadikan subyek penelitian. Permasalahan yang dijadikan sebagai
subyek penelitian hendaknya dicari kebenarannya yang masih lemah. Maka untuk
menguatkan asumsi yang masih belum pasti kebenarannya, dibutuhkan bukti
secara empiris. Hipotesis statistic memiliki dua bentuknya, yaitu hipotesis nol
(H0) dan hipotesis (Ha).

H0 :
Ha :

H0 : tidak terdapat pengaruh signifikan antar lingkungan sosialisasi terhadap


peningkatan sosialisai anak usia dini yang baik.

Ha : tidak terdapat pengaruh signifikan antar lingkungan sosialisasi terhadap


peningkatan sosialisasi anak usia dini yang baik.

Anda mungkin juga menyukai