Anda di halaman 1dari 50

Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan

bangsa dan merupakan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional ke


depan[2], sehingga diperlukan langkah-langkah strategis untuk melakukan
perlindungan baik dari segi hukum maupun segi pendidikan serta bidang-bidang lain
yang terkait.

Sebagai ‘kertas putih dan bersih’, seorang anak rentan akan pengaruh-pengaruh
negatif yang bukan hanya berasal dari ruang lingkup lingkungannya saja, namun juga
dari ruang lingkup di luar lingkungannya, maka sudah menjadi kewajiban bagi semua
elemen masyarakat untuk menjaga perkembangan fisik dan psikisnya.

Namun pada kenyataannya, masalah perilaku delinkuensi anak kini semakin


menggejala di masyarakat, baik di negara maju maupun negara sedang berkembang.
Perkembangan masyarakat yang berawal dari kehidupan agraris menuju kehidupan
industrial telah membawa dampak signifikan terhadap kehidupan tata nilai
sosiokultural pada sebagian besar masyarakat. Nilai-nilai yang bersumber dari
kehidupan industrial semakin menggeser nilai-nilai kehidupan agraris dan proses
tersebut terjadi secara berkesinambungan sehingga pada akhirnya membawa
perubahan dalam tata nilai termasuk pola-pola perilaku dan hubungan masyarakat.

Kenakalan anak setiap tahun selalu meningkat, apabila dicermati perkembangan


tindak pidana yang dilakukan anak selama ini, baik dari kualitas maupun modus
operandi yang dilakukan, kadang-kadang tindakan pelanggaran yang dilakukan anak
dirasakan telah meresahkan semua pihak khususnya para orang tua. Fenomena
meningkatnya perilaku tindak kekerasan yang dilakukan anak seolah-olah tidak
berbanding lurus dengan usia pelaku.[3]

Pesatnya perkembangan dunia saat ini telah merubah wajah dunia menjadi tanpa
batas, yang ditandai dengan kemajuan tehnologi, baik alat transportasi maupun
komunikasi. Sehingga proses perpindahan budaya dan nilai-nilai sosial dari satu
wilayah ke wilayah lain menjadi sangat cepat. Khususnya di Indonesia, perubahan
nilai-nilai sosial semakin nyata dalam jangka waktu yang sangat singkat. Pergaulan
anak-anak dan remaja di era 80-an sangat jauh berbeda dengan era 90-an bahkan pada
saat sekarang ini. Hal yang dahulu dianggap tabu, menjadi hal yang biasa pada saat
ini. Perubahan nilai-nilai tersebut, kemudian menjadi pemicu atau merupakan salah
satu kriminogen dari munculnya perilaku menyimpang dari seorang Anak.

Anak sebagai salah satu komponen penggerak generasi muda, menjadikannya sangat
penting untuk diperlakukan secara khusus. Menurut Zakiah Daradjat, bahwa
generasi muda dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu sebagai berikut:[4]

1. Kanak-kanak             : 0 – 12 tahun

Masa ini dibagi menjadi 3 (tiga) tahap, yaitu:

1. Masa bayi : 0 – menjelang 2 tahun


2. Masa Kanak-Kanak I : 2 – 5 tahun
3. Masa kanak-Kanak II : 5 – 12 tahun

1. Masa Remaja             : 13 – 20 tahun


2. Masa Dewasa Muda             : 21 – 25 tahun

Pada masa-masa inilah, seorang anak berada dalam kondisi labil dan dalam posisi
pencarian jati diri. Proses pembentukan pola pikir yang tidak stabil menjadikannya
mudah terintimidasi oleh apa pun, artinya kondisi dan suasana apapun dapat saja
menjadi pemicu munculnya behavioral deviation (penyimpangan perilaku), yang
kemudian mengarah kepada  juvenile delinquency (kenakalan remaja).

Menurut Kartini Kartono[5], kenakalan Remaja merupakan gejala patologis sosial


pada remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial. Akibatnya, mereka
mengembangkan bentuk perilaku yang menyimpang. Sedangkan menurut
Santrock bahwa kenakalan remaja merupakan kumpulan dari berbagai perilaku
remaja yang tidak dapat diterima secara sosial hingga terjadi tindakan kriminal.

Tentang normal tidaknya perilaku kenakalan atau perilaku menyimpang, pernah


dijelaskan dalam pemikiran Emile Durkheim[6] dalam bukunya “Rules of
Sociological Method” bahwa perilaku menyimpang atau jahat kalau dalam batas-batas
tertentu dianggap melanggar fakta sosial yang normal dan dalam batas-batas tertentu
kenakalan adalah normal karena tidak mungkin menghapusnya secara tuntas, dengan
demikian perilaku dikatakan normal sejauh perilaku tersebut tidak menimbulkan
keresahan dalam masyarakat, perilaku tersebut terjadi dalam batas-batas tertentu dan
melihat pada sesuatu perbuatan yang tidak disengaja.

Kenakalan remaja (juvenile delinquency) sebagai salah satu bentuk penyimpangan


perilaku (behavioral deviation) merupakan salah satu akibat kegagalan pertumbuhan
intelegensia dalam diri anak tersebut, yang memang harus diakui karena masih dalam
masa pertumbuhan. Kemampuan intelegensi tersebut, menurut Alfed Biner, memuat
3 (tiga) aspek, yaitu:

1. Direction; Kemampuan untuk memusatkan kepada suatu masalah yang harus dipecahkan.
2. Adaptation; Kemampuan untuk mengadakan adaptasi terhadap masalah yang dihadapinya
atau fleksibel didalam menghadapi masalah.
3. Criticisem; Kemampuan untuk mengadakan kritik, baik terhadap masalah yang dihadapi
maupun terhadap dirinya sendiri.

Berdasarkan uraian tersebut, maka nampak jelas bahwa perkembangan seorang anak,
baik dari sisi fisik maupun non-fisik, masih sangat jauh dari stabilitas. Kemampuan
intelegensi seorang anak tidak akan mampu menganalisa dan menelaah problem sosial
dan perkembangan sosial serta perubahan sosial karena pesatnya globalisasi industri
komunikasi, sehingga faktor eksternal, sebagaimana diungkapkan oleh Soerjono
Soekanto, menjadi faktor utama dalam memicu sifat-sifat negatif yang alamiah ada
pada diri manusia dini.

Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang
merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa di masa yang akan
datang, yang memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus,
memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan
perkembangan fisik, mental, dan sosial secara seimbang.[7] Masa kanak-kanak
merupakan periode penaburan benih, pendirian tiang pancang, pembuatan pondasi,
yang dapat disebut juga sebagai periode pembentukan watak, kepribadian dan
karakter diri seorang manusia, agar mereka kelak memiliki kekuatan dan kemampuan
serta berdiri tegar dalam meniti kehidupan.[8]

Kasus-kasus kejahatan yang melibatkan anak sebagai pelaku tindak kejahatan


membawa fenomena tersendiri. Mengingat anak adalah individu yang masih labil
emosi sudah menjadi subyek hukum, maka penanganan kasus kejahatan dengan
pelaku anak perlu mendapat perhatian khusus, dimulai dari hukum acara pidana yang
berlaku terhadap anak. Hukum acara Pidana Anak mengatur secara khusus kewajiban
dan hak yang diperoleh anak.

Penanganan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana dari tahun ke tahun selalu
menuai kritikan baik dari akademisi, praktisi maupun masyarakat. Hal ini lebih
banyak disebabkan kepada kultur yang dipelihara dari generasi ke generasi dalam
pola pikir penegak hukum dalam menangani pelaku tindak pidana.

Perilaku menyimpang yang dilakukan oleh anak-anak banyak dipengaruhi oleh


beberapa faktor, mengingat tingkat kelabilan yang masih ada dalam diri anak,
menurut Romli Atmasasmita dibagi menjadi 2 (dua) kelompok motivasi, yaitu :[9]

1. Yang termasuk motivasi intrinsik dari pada kenakalan anak-anak adalah :

1. Faktor intelegentia
2. Faktor usia
3. Faktor kelamin
4. Faktor kedudukan anak dalam keluarga.

2. Yang termasuk motivasi ekstrinsik adalah :

1. Faktor rumah tangga


2. Faktor pendidikan dan sekolah
3. Faktor pergaulan anak
4. Faktor mass media

Faktor-faktor tersebutlah yang mendominasi dalam memotivasi seorang anak


melakukan kenakalan, namun demikian menurut Penulis, kebijakan legislatif dapat
pula muncul sebagai salah satu faktor kriminogen dalam hal terciptanya perilaku
menyimpang dari anak berupaka kenakalan anak (juvenile delinquency). Walaupun
memang kebijakan legislatif bukanlah faktor yang secara langsung bersinggungan
dengan maraknya kenakalan anak. Namun demikian, istilah law as a tools of social
engineering pada tujuan dari pembentukan suatu Undang-undang tertentu, juga dapat
menimbulkan efek samping negatif bagi masyarakat. Dimana Undang-undang sebagai
instrumen dalam melakukan pembangunan bagi masyarakat dapat menimbulkan rasa
ketidakadilan, sehingga memunculkan perilaku menyimpang.

Dari berbagai Kongres PBB yang membicarakan “Crime Trends and Crime
Prevention Strategies”, antara lain disimpulkan bahwa:[10]
1. Pembangunan pada hakikatnya tidak bersifat kriminogen, khususnya apabila hasil-hasil
pembangunan itu didistribusikan secara pantas dan adil kepada semua rakyat serta
menunjang kemajuan seluruh kondisi sosial;
2. Pembangunan dapat besifat kriminogen atau meningkatkan kriminalitas, apabila
pembangunan itu direncanakan secara tidak rasional, timpang atau tidk seimbang,
mengabaikan nilai-nilai kultural dan moral serta tidak mencakup strategis perlindungan
masyarakat yang intergral.

Ketidakjelasan redaksional pasal yang menimbulkan beragam penafsiran mampu


menimbulkan peluang munculnya calon-calon pelaku kejahatan/tindak pidana.
Sebagai contoh pada Sistem Peradilan Pidana (SPP), dimana sebagai bentuk
subproses sosial, SPP tak lepas dari sifat kriminogen lantaran adanya praktik-praktik
yang tidak konsisten, yang justru bisa “menciptakan” kejahatan. Sebuah tindak pidana
bisa saja menjadi bukan tindak pidana atau sebaliknya. Persepsi masing-masing
penegak hukum, profesionlisme, infrastruktur, budaya – bahkan kepentingan politik
— dapat membawa pandangan bahwa hukum adalah sebatas pembalasan semata.
Penerapan pidana yang berbeda-beda terhadap (pelaku) tindak pidana yang sama
adalah kriminogen.

Adapun bentuk-bentuk dari kenakalan anak dikategorikan sebagai berikut:[11]

1. Kenakalan Anak sebagai status offences, yaitu segala prilaku anak yang dianggap
menyimpang, tetapi apabila dilakukan oleh orang dewasa tidak dianggap sebagai tindak
pidana, misalnya membolos sekolah, melawan orang tua, lari dari rumah, dan lain-lain.
2. Kenakalan anak sebagai tindak pidana (Juvenile delinquency), yaitu segala prilaku anak yang
dianggap melanggar aturan hukum dan apabila dilakukan oleh orang dewasa juga
merupakan tindak pidana, tetapi pada anak dianggap belum bertanggung jawab penuh atas
perbuatannya.

Lebih terinci kenakalan anak ini bisa berbentuk :

1. Kebut-kebutan di jalanan yang menggangu keamanan lalu lintas dan membahayakan jiwa
sendiri dan orang lain;
2. Prilaku ugal-ugalan, berandal, urakan yang mengacaukan ketentraman lingkungan
sekitarnya. Tingkah ini bersumber pada kelebihan energi dan dorongan primitif yang tidak
terkendali serta kesukaan menteror lingkungan;
3. Perkelahian antar geng, antar kelompok, antar sekolah, antar suku (tawuran), sehingga
kadang-kadang membawa korban jiwa;
4. Membolos sekolah lalu bergelandangan sepanjang jalan atau bersmbunyi ditempat-tempat
terpencil sambil melakukan eksperimen bermacam-macam kedurjanaan dan tindakan a-
susila;
5. Kriminalitas anak, remaja dan adolesens antara lain berupa perbuatan mengancam,
intimidasi, memeras, mencuri, mencopet, merampas, menjambret, menyerang, merampok,
menggangu, menggarong, melakukan pembunuhan dengan jalan menyembalih korbannya,
mencekik, meracun, tindak kekerasan dan pelanggaran lainnya;
6. Berpesta-pora sambil mabuk-mabukan, melakukan hubungan seks bebas, atau orgi (mabuk-
mabukan yang menimbulkan keadaan kacau balau) yang mengganugu sekitarnya;
7. Perkosaan, agresivitas seksual, dan pembunuhan dengan motif sosial atau didorong oleh
reaksi-reaksi kompensatoris dari perasaan inferior, menuntut pengakuan diri, defresi, rasa
kesunyian, emosi, balas dendam, kekecewaan ditolak cintanya oleh seorang wanita dan lain-
lain;
8. Kecanduan dan ketagihan narkoba (obat bisu, drug, opium, ganja) yang erat berkaitan
dengan tindak kejahatan;
9. Tindakan-tindakan imoral sosial secara terang-terangan tanpa tedeng aling-aling, tanpa malu
dengan cara kasar. Ada seks dan cinta bebas tanpa kendali (promiscuity) yang didorong oleh
hyperseksualitas, dorongan menuntut hak, dan usaha-usaha kompensasi lainnnya yang
kriminal sifatnya;
10. Homoseksualitas, erotisme anak dan oral serta gangguan seksualitas lainnya pada anak
remajadisertai dengan tindakan-tindakan sadis;
11. Perjudian dan bentuk-bentuk permainan lain dengan taruhan sehingga menimbulkan akses
kriminalitas;
12. Komersialisasi seks, pengguguran janin oleh gadis-gadis delinkuen dan pembunuhan bayi-
bayi oleh ibu-ibu yang tidak kawin;
13. Tindakan radikal dan ekstrim dengan jalan kekerasan, penculikan dan pembunuhan yang
dilakukan oleh anak-anak remaja;
14. Perbuatan a-sosial yang disebabkan oleh gangguan kejiwaan pada anak-anak dan remaja
psikopatik, neurotik, dan menderita gangguan kejiwaan lainnya;
15. Tindak kejahatan yang disebabkan oleh penyakit tidur (encephaletics lethargoical) dan
ledakan maningitis serta post-encephalitics, juga luka-luka di kepala dengan kerusakan pada
otak ada kalanya membuahkan kerusakan mental, sehingga orang yang bersangkutan tidak
mampu melakukan kontrol diri;
16. Penyimpangan tingkah laku disebabkan oleh kerusakan pada karakter anak yang menuntut
kompensasi, disebabkan adanya organ-organ yang inferior.

Kenakalan anak disebut juga dengan Juvenile Deliquency. Juvenile atau yang (dalam
bahasa Inggris) dalam bahasa Indonesia berarti anak-anak; anak muda, sedangkan
Deliquency artinya terabaikan atau mengabaikan yang kemudian diperluas menjadi
jahat, kriminal, pelanggar peraturan dan lain-lain. Kamus Besar Bahasa Indonesia,
delikuensi diartikan sebagai tingkah laku yang menyalahi secara ringan norma dan
hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat.[12]

Perbuatan dikatakan delinkuen apabila perbuatan-perbuatan tersebut bertentangan


dengan norma yang ada dalam masyarakat dimana ia hidup atau suatu perbuatan yang
anti sosial yang didalamnya terkandung unsur-unsur anti normatif.[13]

Pengertian Juvenile Deliquency menurut Kartini Kartono adalah sebagai berikut :


Juvenile Deliquency yaitu perilaku jahat / dursila, atau kejahatan / kenakalan anak-
anak muda, merupakan gejala sakit (patologi) secara sosial pada anak-anak dan
remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian sosial sehingga mereka itu
mengembangkan bentuk pengabaian tingkah laku yang menyimpang.[14]

Menurut Romli Atmasasmita, Juvenile Deliquency adalah setiap perbuatan atau


tingkah laku seseorang anak dibawah umur 18 tahun dan belum kawin yang
merupakan pelanggaran terhadap norma-norma hukum yang berlaku serta dapat
membahayakan perkembangan pribadi si anak yang bersangkutan.[15]

Menurut Paul Mudikdo memberikan perumusan mengenai Juvenile Delinquency,


sebagai:[16]

1. Semua perbuatan yang dari orang-orang dewasa merupakan suatu kejahatan, bagi anak-anak
merupakan Jadi semua tindakan yang dilarang oleh hukum pidana, seperti mencuri,
menganiaya, membunuh dan lain sebagainya;
2. Semua perbuatan penyelewengan dari norma kelompok tertentu yang menimbulkan
keonaran dalam masyarakat;
3. Semua perbuatan yang menunjukkan kebutuhan perlindungan bagi sosial termasuk
gelandangan, pengemis dan lain-lain.

Di Amerika Serikat perbuatan yang dilakukan anak-anak dengan perbuatan yang


dilakukan oleh orang dewasa dibedakan pengertiannya. Suatu perbuatan tindakan anti
sosial yang melanggar hukum pidana, kesusilaan dan ketertiban umum bila dilakukan
oleh seseorang yang berusia diatas 21 tahun disebut dengan kejahatan (crime), namun
jika yang melakukan perbuatan tersebut adalah seseorang yang berusia di bawah 21
tahun maka disebut dengan kenakalan (Deliquency).

1. Perlindungan Hukum Terhadap Anak

Berkaitan dengan perlindungan terhadap anak, dalam sistem hukum pidana di


Indonesia, Pemerintah menunjukkan itikad baik sebagai implementasi dari
peratifikasian dari beberapa konvensi Internasional yang berkaitan dengan
perlindungan hukum terhadap anak di Indonesia, dengan membentuk Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Dimana sebelum adanya undang-undang tersebut telah ada beberapa undang-undang


sebelumnya yaitu pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 merupakan hukum acara khusus yang
diberlakukan terhadap anak yang bermasalah dengan hukum pidana, yang sebelumnya
masih mengacu pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana.

Mengenai klasifikasi tindak pidana yang terhadap tindak .pidana yang dilakukan
terhadap anak, jauh sebelumnya, para penegak hukum menggunakan Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP). Berkaitan dengan peraturan perundang-undangan
tersebut, maka seharusnya para penagak hukum, juga melihat ke belakang kembali.
Bahwa masih terdapat undang-undang peraturan yang lain yaitu Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.

Dalam perkembangannya, Undang-Undang tentang Kesejahteraan Anak ini sering


terabaikan dalam praktek penegakkan hukum. Padahal undang-undang tersebut belum
lah dicabut atau dibekukan keberlakuannya. Mengenai perlindungan hukum terhadap
anak masih terdapat di dalam beberapa undang-undang lain, misalnya pada Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 1999 tentang Peratifikasian Konvensi ILO Mengenai Usia
Minimum Anak Untuk Diperbolehkan Bekerja, dan Keputusan Presiden Nomor 39
Tahun 1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) (yang disahkan Majelis
Umum PBB 20 November 1989) yang merupakan cikal bakal terbentuknya Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Selain ketentuan-ketentuan tersebut di atas, terdapat pula ketentuan yang mengatur


mengenai perlindungan terhadap anak dari tindak pidana kekerasan seksual khusus
yang berada dalam lingkungan rumah tangga, yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Dimana pada tanggal 22 September 2004, disahkanlah Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yang tertuang
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 95 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 4419. Undang-undang ini
merupakan pengaturan secara khusus, di luar KUHP, mengenai kekerasan yang terjadi
dalam rumah tangga yang korbannya adalah anggota keluarga tersebut.

Kekerasan yang dimaksud dalam Undang-undang ini termuat dalam Pasal 1 angka 1
UU No. 23 Tahun 2004 yang menyebutkan sebagai berikut:

“Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat


timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau
penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup
rumah tangga.”

Sedangkan ruang lingkup dari Undang-undang ini menurut Pasal 2 huruf a adalah
suami, istri dan anak. Sedangkan berdasarkan penjelasan pasal tersebut menjelaskan
bahwa yang dimaksud dengan anak dalam ketentuan ini adalah termasuk Anak
Angkat dan Anak Tiri. Selain dari ketentuan tersebut juga termasuk anak yang berada
dalam pengawasan dan perwalian.

BAB II

ASPEK HUKUM PERADILAN ANAK

1. Kompetensi Pengadilan Anak di Indonesia

John Gray dalam “Children are from Heaven”[17] menuturkan betapa anak-anak
dilahirkan baik dan tidak berdosa. Namun kita bertanggungjawab untuk secara
bijaksana mendukung mereka sehingga potensi dan bakatnya tertarik keluar.
Karenanya, anak-anak membutuhkan kita (maksudnya orang dewasa) untuk
membetulkan mereka atau membuat mereka lebih baik. Anak bergantung pada
dukungan kita untuk tumbuh. Anak-anak yang masih dependen, sudah barang tentu
berbeda dengan orang dewasa yang pada umumnya secara teoritis dan praktis tidak
lagi dikualifikasikan sebagai kelompok rentan. Berbeda dengan orang dewasa, dalam
dunia kenyataan anak-anak kerap menjadi sasaran dan korban kekerasan dengan
dampak yang panjang dan permanen.

Masuknya anak ke dalam klasifikasi pelaku suatu tindak pidana, dimana kasus-kasus
kejahatan yang melibatkan anak sebagai pelaku tindak kejahatan membawa fenomena
tersendiri. Mengingat anak adalah individu yang masih labil emosi sudah menjadi
subyek hukum, maka penanganan kasus kejahatan dengan pelaku anak perlu
mendapat perhatian khusus, dimulai dari hukum acara pidana yang berlaku terhadap
anak. Hukum acara Pidana Anak mengatur secara khusus kewajiban dan hak yang
diperoleh anak.
Perlu diakui bersama bahwa Anak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah Bangsa dan Negara.
Dimana dalam konstitusi Indonesia anak memiliki peran strategis, hal ini secara tegas
dinyatakan dalam konstitusi bahwa Negara menjamin setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi. Oleh karena itu kepentingan terbaik bagi anak patut
dihayati sebagai kepentingan terbaik bagi kelangsungan hidup umat manusia.
Konsekwensi dari ketentuan Pasal 28 B Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 perlu ditindaklanjuti dengan membuat kebijakan pemerintah
yang bertujuan untuk melindungi anak.

Perhatian terhadap anak sudah ada sejak lama ada sejalan dengan peradapan manusia
itu sendiri, yang dari ke hari semakin berkembang. Anak adalah putra kehidupan,
masa depan bangsa dan negara. Oleh karena itu, anak memerlukan pembinaan,
bimbingan khusus agar dapat berkembang fisik, mental dan spiritualnya secara
maksimal.

Apabila ditinjau dari sisi sejarah dan perkembangan dari pengaturan tentang
pengadilan anak maka dapat dilihat mulai dari sebelum berlakunya Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1997 (Lembaran Negara Republik Indonesia 1997 Nomor 3,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3668);[18]

Sejak tahun 1901, di dalam KUHP Belanda telah ditambahkan beberapa ketentuan
pidana yang baru khusus mengatur masalah tindak pidana anak yang dilakukan oleh
anak-anak beserta akibat hujumnya. Ketentuan-ketentuan pidana itu oleh para penulis
Belanda disebut sebagai hukum pidana anak.

Dalam perundang-undangan perhatian terhadap anak sudah dirumuskan sejak 1925,


ditandai dengan lahirnya Stb. 1925 Nomor 647 jo Ordonansi 1949 Nomor 9 yang
mengatur Pembatasan Kerja Anak dan Wanita. Kemudian tahun 1926 lahir pula Stb.
1926 Nomor 87 yang mengatur Pembatasan Anak dan Orang Muda bekerja di atas
kapal.[19]

Ternyata ketentuan-ketentuan pidana tersebut hanya sebagian saja telah dimasukan


kedalam KUHP, sebagaimana diatur dalam Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang merupakan konkordansi dari Wetboek
van Strafrecht voor Nederlandsc Indie dengan Firman Raja Belanda tanggal 15
Oktober 1915 dan berlaku sejak 1 Januari 1918. Selanjutnya, dengan Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1946 tanggal 26 Februari 1946 termuat dalam Berita Negara RI
Nomor 9 dan Undang-undang Nomor 73 Tahun 1958 tanggal 29 September 1958
diberlakukan di seluruh Indonesia.[20]

Dalam beberapa pasalnya seperti Pasal 45, 46, dan 47 KUHP memberikan
perlindungan terhadap anak yang melakukan tindak pidana. Sebaliknya Pasal 285,
287, 290, 292, 293, 294, 295, dan 297 KUHP memberikan perlindungan anak di
bawah umur, dengan memperberat hukuman, atau mengkualifikasi sebagai tindak
pidana perbuatan-perbuatan tertentu terhadap anak. Padahal adakalanya tindakan
tersebut bukan merupakan tindak pidana bila dilakukan terhadap orang dewasa. [21]
Sebelum lahir Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak, hukum pidana anak diatur dalam KUHP hanya meliputi tiga pasal
tersebut diatas, sedangkan Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) hanya
sedikit  sekali menyinggung tentang anak, yaitu Pasal 153 (3), Pasal 153 (5), Pasal
171 sub a.

Surat Kejaksaan Agung kepada Mahkamah Agung No. P.1/20, tanggal 30 Maret 1951
menjelaskan bahwa Anak Nakal adalah mereka yang menurut hukum pidana
melakukan perbuatan yang dapat dihukum yang belum berusia 16 (enam belas) tahun.
Dalam surat ini, Jaksa Agung menekankan bahwa menghadapkan anak-anak kedepan
pengadilan, hanya sebagai langkah terakhir (ultimum remedium). Bagi anak nakal
masih dimunginkan ada penyelesaian lain yang dipertimbangkan secara masak
faedahnya. Lembaga yang dianggap tepat untuk menyelesaikan hal ini adalah Kantor
Pejabat Sosial dan Pro Juventute. Pro Juventute didirikan pada tahun 1957 oleh
Departemen Kehakiman yang selanjutnya bernama Pra Yuwana.

Bahwa ide tentang lahirnya peradilan anak di Indonesia sudah ada sejak tahun 1970,
seperti termaksud dalam penjelasan Pasal 27 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman (untuk selanjutnya disebut UU Kekuasaan
Kehakiman). Dimana dalam pasal tersebut membuka peluang bagi badan-badan
peradilan yang sudah ada untuk membentuk peradilan khusus sebagai pengkhususan
pada masing-masing peradilan.

Di dalam Pasal 10 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman memang tidak dijelaskan


peradilan anak, namun dapat kita lihat di dalam penjelasan Pasal 8 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum[22] (untuk selanjutnya disebut UU
Peradilan Umum) yang menyatakan bahwa: “Yang dimaksud dengan “diadakan
pengkhususan” ialah adanya diferensiasi/spesialisasi di lingkungan Peradilan Umum,
misalnya Pengadilan Lalu lintas Jalan, Pengadilan Anak, Pengadilan Ekonomi,
sedangkan yang dimaksud dengan “yang diatur dengan undang-undang” adalah
susunan, kekuasaan, dan hukum acaranya”.

Untuk merealisir lahirnya Undang-undang Peradilan Anak di Indonesia pada tanggal


10 November 1995 pemerintah dengan Amanat Presiden Nomor R.12/PU/XII/1995
mengajukan Rancangan Undang-undang Peradilan Anak kepada Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) untuk mendapat persetujuannya.[23]

Akhirnya dengan diundangkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang


Pengadilan Anak maka berdasarkan ketentuan Pasal 67 UU Pengadilan Anak tersebut
secara jelas memuat ketentuan bahwa Pasal 45, 46, dan 47 KUHP dinyatakan tidak
berlaku lagi sedangkan ditinjau dari aspek analogis peraturan-peraturan lainnya tetap
berlaku dalam praktik peradilan penanganan sidang anak di Indonesia sepanjang tidak
bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997.[24]

Dengan diundangkannya UU Pengadilan Anak, maka telah berakhirlah suatu


perjalanan panjang dari Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak yang telah
dibahas sejak tahun 1970.

Dengan melihat latar belakang lahirnya Undang-Undang Pengadilan Anak yang


termuat dalam konsiderannya, tampak bahwa sesungguhnya kita hendak mewujudkan
sebuah penanganan terhadap perkara anak yang terlibat tindak pidana yang lebih baik
dari yang terdahulu.

Lahirnya UU Pengadilan Anak menjadi acuan pertama peradilan terhadap anak nakal,
selain itu undang-undang ini ditujukan untuk memperbaiki hukum pidana anak di
Indonesia, agar putusan pengadilan anak menjadi lebih baik dan berkualitas, karena
putusan hakim akan mempengaruhi kehidupan anak di masa yang akan datang.
Apabila dikaji dasar pertimbangan sosiologis maupun filofofis dibentuknya UU
Pengadilan Anak, antara lain karena disadari bahwa anak merupakan generasi penerus
cita-cita perjuangan bangsa, serta sebagai sumber daya insansi bagi pembangunan
nasional. Atas dasar hal itu, terhadap anak diperlukan pembinaan yang terus menerus
baik fisik, mental, maupun kondisi sosialnya, serta perlindungan dari segala
kemungkinan yang akan membahayakan mereka dan bangsa di masa depan.
Termasuk, munculnya fenomena penyimpangan perilaku di kalangan  anak, bahkan
perbuatan melanggar hukum yang dapat merugikan baik bagi dirinya sendiri, maupun
masyarakat.

Namun yang perlu digarisbawahi adalah bahwa munculnya UU Pengadilan Anak


bukanlah menandakan adanya institusi baru dalam dunia peradilan. Tidak seperti
halnya pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR)[25] ataupun Pengadilan
Hubungan Industrial (PHI)[26] merupakan institusi yang terpisah berdasarkan
Undang-undang khusus.

Pendapat Penulis ini didasarkan kepada ketentuan Pasal 2 UU Pengadilan Anak yang
menegaskan sebagai berikut:

“Pengadilan Anak adalah pelaksana kekuasaan kehakiman yang berada di


lingkungan Peradilan Umum.”

Dan pula termuat dalam Pasal 3 UU Pengadilan Anak yang menegaskan sebagai
berikut:

“Sidang Pengadilan Anak yang selanjutnya disebut Sidang Anak, bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara anak sebagaimana
ditentukan dalam Undang-undang ini.”

Melihat dari penyebutan istilah Sidang Anak sebagai representatif dari Sidang
Pengadilan Anak, hal tersebut menandakan bahwa walaupun Undang-Undangnya
tersebut menggunakan penamaan ‘Pengadilan Anak’, namun bukan berarti ada
institusi khusus pengadilannya, namun Undang-undang tersebut sejatinya hanya
merupakan Undang-undang yang memuat hukum acara dari suatu proses peradilan
anak.

UU Pengadilan Anak hanya menampilkan secara simbolis adanya Hakim Anak


menandakan keberadaan Pengadilan Anak, namun secara institusi TIDAK ADA.

Oleh karena tindak pidana yang pelakunya adalah anak, maka sesuai Penjelasan Pasal
27 UU Kekuasaan Kehakiman, Pengadilan Anak itu berada di bawah Badan Peradilan
Umum. Jadi yang diatur secara istimewa dalam UU Pengadilan Anak itu hanyalah
masalah acara sidangnya yang berbeda dengan acara sidang orang dewasa. Dengan
demikian kewenangan mutlak (Kompetensi Absolut) Pengadilan Anak, ada pada
peradilan umum.[27]

Sepanjang perjalanan UU Pengadilan Anak mulai dari tahun 1997 hingga 2012, telah
banyak kritikan-kritikan yang dilontarkan oleh para pegiat LSM Perlindungan Anak,
dimana di dalam prakteknya UU Pengadilan Anak tidak sepenuhnya merupakan
Undang-undang yang bersifat lex specialist dikarenakan terdapat beberapa bagian
hukum acaranya masih mengacu kepada KUHAP. Sehingga semangat pembaharuan
hukum (legal reform) dalam peradilan anak menjadi tidak ada perubahan yang
signifikan dalam proses peradilan anak.[28]

Sehingga bergulirlah wacana untuk meng-amandemen UU Pengadilan Anak. Setelah


melalui pembahasan lama  di DPR, Rancangan Undang-Undang (RUU) Sistem
Peradilan Anak akhirnya disahkan dalam Sidang Paripurna di Gedung DPR
Senayan,Jakarta, pada hari Selasa tanggal 3 Juli 2012 menjadi Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak (untuk selanjutnya disebut UU
SPA).

Dari sisi penamaan, UU SPA lebih jelas bermakna bahwa Undang-undang tersebut
merupakan pengaturan secara formil atau hukum acara dalam proses peradilan pidana
dimana anak sebagai pelaku tindak pidana. Hal ini kemudian justru memperjelas
bahwa di Indonesia memang belum memiliki institusi khusus Pengadilan Anak.
Sehingga dalam memproses anak sebagai pelaku tindak pidana tidak lagi mengacu
kepada KUHAP.

1. Anak Dalam Sistem Hukum Nasional


2. Batasan Usia Anak Secara Umum

Apabila ditinjau dari aspek yuridis, maka pengertian “anak” dimata hukum positif
Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa (minderjaring atau
person under age), orang yang di bawah umur atau keadaan di bawah umur
(minderjaringheid atau inferionity) atau kerap juga disebut sebagai anak yang di
bawah pengawasan wali (minderjarige onvervoodij).[29]

Pada tingkat Internasional rupanya tidak terdapat keseragaman dalam perumusan


batasan tentang anak, tingkatan umur seseorang dikategorikan sebagai anak anatara
satu negara dengan negara lain cukup beraneka ragam yaitu: [30]

“Dua puluh tujuh negara bagaian di Amerika Serikat menentukan batasan umur
antara 8-17 tahun, ada pula negara bagian lain yang menentukan btas umur antara
8-16. Di Inggris ditentukan batas umur antara 12-16 tahun. Australia, dikebanyakan
negara bagian menentukan batas umur antara 8-16 tahun. Negeri Belanda mentukan
bata umur antara 12-18 tahun. Negara Asia anatara lain : Srilanka mentukan batas
umur antara 8-16 tahun, Iran 6-18 tahun, Jepang dan Korea mentukan batas umur
antara 14-18 tahun, Kamboja mentukan antara 15-18 tahun sedangkan Negara Asean
antara lain Filipina menentukan batasan umur antara 7-16 tahun.”

Maka bertitik tolak dari aspek tersebut ternyata hukum positif Indonesia (ius
constitutum) tidak mengatur adanya unifikasi hukum yang baku dan berlaku universal
untuk menentukan kriteria batasan umur bagi soeorang anak. Terdapat beraneka
ragam pendapat mengenai pengertian anak, dan pada umur berapa seorang itu
dikategorikan anak-anak. Pengertian anak dapat dilihat dalam perumusan berbagai
peraturan perundang-undangan maupun pendapat para pakar dengan batasan yang
dapat berbeda antara satu dengan yang lainnya.

Menurut Convention on the Right of the Child (Konvensi Hak Anak) pada tanggal 20
November 1989 yang telah diratifikasikan oleh Indonesia, disebutkan dalam pasal 1
pengertian anak, adalah:

“Semua orang yang di bawah umur 18 tahun. Kecuali undang-undang menetapkan


kedewasaan dicapai lebih awal.”

Menurut UU Pengadilan Anak pada Pasal 1 menyatakan anak adalah :

“Orang yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18
(delapan belas) tahun dan belum kawin”

Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak (untuk


selanjutnya disebut UU Kesejahteraan Anak) bahwa yang dimaksud dengan definisi
Anak termuat di dalam Pasal 1, anak adalah:

“Seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum kawin.”

Disahkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak


(untuk selanjutnya disebut UU Perlindungan Anak) ternyata pula memberikan
pengertian tentang anak yang berbeda pula, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1
angka 1 sebagai berikut:

“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak
yang masih dalam kandungan.”

Sedangkan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP, berkaitan


dengan anak sebagai subyek hukum pada peradilan pidana, maka Pasal 45 KUHP
memberikan definisi anak yang belum dewasa apabila belum berumur 16 (enam
belas) tahun. Oleh karena itu, apabila ia tersangkut dalam perkara pidana maka hakim
boleh memerintahkan supaya si tersalah tersebut dikembalikan kepada orang tuanya;
walinya ataupun pemeliharanya dengan tidak dikenakan hukuman atau
memerintahkannya supaya diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan
suatu hukuman. Ketentuan Pasal 45, 46, dan 47 KUHP ini sudah dihapus dengan
lahirnya UU Pengadilan Anak.[31]

Pengertian-pengertian tersebut di atas menekankan, bahwa selama seseorang yang


masih dikategorikan anak-anak, seharusnya masih dalam tanggung jawab orang tua
wali ataupun negara tempat si anak tersebut menjadi warga negara tetap.

Dalam ranah Hukum Perdata, pengertian anak dan batasan usia anak pun diatur dalam
berbagai peraturan perundang-undangan, misalnya dalam Pasal 1 angka 26 Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (untuk selanjutnya disebut
UUK), yang menegaskan sebagai berikut:
“Anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun.”

Selain itu diatur pula dalam Pada Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata) menyatakan bahwa:

“Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu dan
tidak lebih dahulu kawin.

Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu
tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa, mereka yang
belum dewasa dan tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah
perwalian atas dasar dan dengan cara sebagaimana diatur dalam bagian ketiga,
keempat, kelima, dan keenam bab ini.”

Pengaturan lebih lanjut dapat pula dijumpai pada 47 ayat (1) dan pasal 50 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang memberikan
batasan-batasan untuk disebut anak adalah belum mencapai umur 18 (delapan belas)
tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan

Sedangkan dewasa dan belum dewasa menurut Romli Atmasasmita adalah:[32]

“Selama di tubuhnya berjalan proses pertumbuhan dan perkembangan, orang itu


masih menjadi anak dan baru menjadi dewasa bila proses perkembangan dan
pertumbuhan itu selesai, jadi batas umur, anak-anak adalah sama dengan permulaan
menjadi dewasa, yaitu 18 tahun untuk wanita dan 20 tahun untuk laki-laki, seperti
halnya di Amerika, Yugoslavia, dan negara-negara barat lainnya”

Menurut Zakiah Daradjat, batas usia anak dan dewasa berdasarkan pula remaja yang
menyatakan pula bahwa : Masa sembilan tahun antara tiga belas dan dua puluh satu
tahun sebagai masa remaja (adolensi) merupakan masa peralihan antara masa anak-
anak mengalami pertumbuhan yang cepat di segala bidang dan mereka bukan lagi
anak-anak bentuk badan, sikap berpikir dan bertindak tetapi bukan pula orang dewasa.
[33]

Sedangkan dalam Pasal 1 Children Rights Convention (CRC) atau Konvensi Hak
Anak yang telah diratifikasi Indonesia pada tahun 1990, mendefinisikan bahwa anak
adalah:[34]

“………..Setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun kecuali berdasarkan


undang-undang yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih
awal”.

Di dalam Pasal 2.2 huruf (a) The Beijing Rules menegaskan sebagai berikut: [35]

“Seorang anak adalah adalah seorang anak atau orang muda yang menurut sistem
hukum masing-masing dapat diperlakukan atas suatu pelanggaran hukum dengan
cara yang berbeda dari perlakukan terhadap orang dewasa.”

Berbagai kriteria untuk batasan usia anak pada dasarnya adalah pengelompokan usia
maksimum sebagai perwujudan kemampuan seorang anak dalam status hukum
sehingga anak tersebut akan beralih status menjadi usia dewasa atau menjadi seorang
subyek hukum yang data bertanggungjawab secara mandiri terhadap perbuatan-
perbuatan dan tindakan-tindakan hukum yang dilakukan oleh anak itu.[36]

Dari berbagai literatur mengenai Hukum Perlindungan Anak, hampir seluruh ahli
hukum Anak selalu mengutarakan berbagai macam dasar hukum serta berbagai
definisi mengeni Anak, sehingga memunculkan kebingungan bukan hanya dalam diri
masyarakat, bahkan Mahasiswa Fakultas Hukum pun tak jarang menjadi dilematis
ketika berkaitan dengan definisi Anak. Pemahaman yang perlu ditanamkan adalah
bahwa perbedaan usia anak tersebut bergantung kepada perbuatan hukum yang
bersinggungan dengan si Anak. Batasan usia anak pada ranah hukum pidana tidak
dapat diterapkan dalam batasan Anak dalam ranah hukum Perdata, karena berbeda
perbuatan hukumnya.

Menurut Penulis batasan tersebut bukanlah merupakan definisi atau pengertian dari
Anak, namun batasan tersebut adalah batasan usia yang merupakan wilayah
kewenangan bagi penegak hukum untuk melakukan tindakan hukum. Sehingga jika
seorang anak, diluar batasan usia tersebut dalam artian beum mencapai batas minimal,
khususnya dalam ranah hukum pidana, maka aparat hukum tidak memiliki
kewenangan untuk melakukan tindakan hukum.

Jika si Anak melakukan tindak pidana dalam batasan usia yang telah ditentukan, maka
menimbulkan kewajiban hukum bagi aparat penegak hukum untuk menerapkan
hukum acara khusus anak, dan terlarang baginya untuk menerapkan hukum acara
yang bersifat umum. Namun, jika si Anak dalam melakukan tindak pidana, sudah
berada di luar batasan usia tersebut, maka memberikan kewenangan bagi aparat
penegak hukum untuk menerapkan hukum acara yang bersifat umum.

1. Pengertian Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum

Di dalam sistem Hukum Perlindungan Anak, ditemukan 2 (dua) istilah yang berbeda
berkaitan dengan Anak yang berkonflik dengan hukum. Pada UU Pengadilan Anak,
menggunakan istilah Anak Nakal sedangkan pada UU SPA menggunakan istilah
Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum.

Pada Pasal 1 angka 2 UU Pengadilan Anak ditegaskan sebagai berikut:

Anak Nakal adalah:


a. anak yang melakukan tindak pidana; atau
anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang
bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan
b.
maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan
berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

UU Pengadilan Anak menggunakan istilah ‘Anak Nakal’ bagi seorang anak baik
karena melakukan tindak pidana ataupun karena melakukan penyimpangan perilaku.
Penggunaan istilah ‘Anak Nakal’ merupakan bagian dari proses labeling atau
stigmatisasi bagi seorang anak, yang dalam kajian sosiologis dan psikologis
dikhawatirkan justru akan menimbulkan efek negatif bagi pertumbuhan dan
perkembangan fisik dan mental si Anak.
Sejalan dengan semangat legal reform dalam UU SPA, maka istilah ‘Anak Nakal’
sudah tidak lagi dipergunakan. Pasal 1 UU SPA menggunakan istilah ‘Anak yang
Berhadapan dengan Hukum’, dimana istilah ‘Anak yang Berhadapan dengan Hukum’
merupakan istilah yang memuat 3 (tiga) kriteria, yaitu sebagai berikut:

1. Anak yang Berkonflik dengan Hukum atau disebut Anak;[37]

Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18
(delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.

1. Anak yang menjadi korban tindak pidana atau disebut Anak Korban;[38]

Anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan
fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.

1. Anak yang menjadi saksi tindak pidana atau disebut Anak Saksi.[39]

Anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan
keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya
sendiri.

Sedangkan menurut UNICEF, bahwa Anak yang Berhadapan dengan Hukum (child in
conflict with law) adalah:[40]

“Seseorang yang berusia di bawah 18 tahun yang berhadapan dengan sistem


peradilan pidana dikarenakan yang bersangkutan disangka atau dituduh melakukan
tindak pidana.”

Dan pada Pasal 2.2 huruf (c) the Beijing Rules menggunakan istilah ‘a juvenile
offender’ (pelaku/pelanggar hukum berusia remaja) yang menegaskan sebagai berikut:
[41]

“Seorang pelanggar hukum berusia remaja adalah seorang anak atau seorang anak
muda yang diduga telah melakukan suatu pelanggaran hukum.”

Dengan memperbandingan definisi berkaitan mengenai istilah ‘Anak yang


Berhadapan dengan Hukum’, maka Indonesia telah selangkah lebih maju. Dimana
pada UU Pengadilan Anak, digunakan istilah yang mengandung makna labeling yaitu
Anak Nakal. Sehingga berdampak baik pelaku, secara psikologis menjadi penghambat
bagi perkembangan mental, maupun masyarakat dan korban, secara psikologis terpola
dengan pemahaman ‘Anak Nakal’ memberikan efek negatif bagi masyarakat secara
umum. Sehingga pembinaan sebagai tujuan dari UU Pengadilan Anak tidak pernah
tercapai.

1. Asas-Asas dan Hak-Hak Anak dalam Hukum Perlindungan Anak

Pada hakikatnya sasaran studi hukum adalah kaedah hukum, yang meliputi asas
hukum, kaedah hukum dalam arti sempit (norma atau nilai), dan peraturan hukum.
Doktrin memberikan banyak pengertian mengenai asas hukum ini.[42]
Asas hukum merupakan sebuah aturan dasar atau merupakan prinsip hukum yang
masih bersifat abstrak. Dapat pula dikatakan bahwa asas hukum merupakan dasar
yang melatarbelakangi suatu peraturan yang bersifat kongkrit dan bagaimana hukum
itu dapat dilaksanakan.

Asas dalam bahasa inggris disebut dengan istilah ‘principle’ sedangkan di dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia asas dapat berarti hukum dasar atau dasar yakni
sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat. Selain itu, asas juga
diartikan sebagai dasar cita-cita.

Menurut Bellefroid, bahwa asas hukum adalah norma dasar yang dijabarkan dari
hukum positif dan yang oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan-aturan
yang lebih umum. Jadi asas hukum merupakan pengendapan hukum positif di dalam
masyarakat. Demikian pula yang diungkapkan oleh Paul Scholten, yang menyatakan
bahwa Asas Hukum adalah kecenderungan-kecenderungan yang disyaratkan oleh
pandangan kesusilaan kita pada hukum, merupakan sifat-sifat umum dengan segala
keterbatasannya sebagai pembawaan umum itu, tetapi yang tidak boleh tidak harus
ada. [43]

Sedangkan Asas Hukum menurut Van der Velden yakni tipe putusan yang digunakan
sebagai tolak ukur untuk menilai situasi atau digunakan sebagai pedoman berperilaku.
Sejalan dengan pemikiran Bellefroid, maka Van Eikema Hommes memberikan
pengertian bahwa Asas Hukum bukanlah norma-norma hukum konkrit tetapi adalah
dasar pikiran umum atau petunjuk bagi hukum yang berlaku.

Sejalan dengan pendapat tersebut, sebagaimana diungkapkan pula oleh Asser[44],


yang menyatakan bahwa Asas Hukum berisikan penilaian susila, pemisahan yang
baik dari yang buruk yang menjadi landasan hukum, sehingga di dalam asas hukum
terdapat sifat etis.

Sedangkan menurut Sudikno Mertokusumo[45], menyatakan bahwa Asas Hukum


bukan merupakan hukum konkrit melainkan merupakan pikiran dasar yang umum dan
abstrak atau merupakan latar belakang peraturan konkrit yang terdapat di dalam dan
di belakang setiap sistem hukum yang menjelma dalam peraturan perundang-
undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat ditemukan
dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan kongkrit tersebut.

Dari berbagai batasan tersebut, menurut Siti Ismijati Jenie[46], dapat disimpulkan
bahwa asas hukum itu mengandung ciri-ciri sebagai berikut:

1. Asas hukum merupakan pikiran dasar atau norma dasar;


2. Asas hukum itu bukan peraturan hukum konkrit melainkan latar belakang dari peraturan
hukum konkrit;
3. Asas hukum itu mengandung penilaian kesusilaan, jadi mempunya dimensi etis;
4. Asas hukum itu dapat ditemukan pada peraturan perundang-undangan dan putusan hakim.

Berkaitan dengan pengertian dari asas hukum tersebut, maka dapat diketahui fungsi
dari asas hukum, menurut Klanderman, dalam suatu sistem hukum, yaitu:[47]
1. Bersifat mengesahkan dan mempunyai pengaruh yang normatif dan mengikat para pihak,
karena eksistensinya didasarkan pada rumusan pembentuk undang-undang dan hakim;
2. Melengkapi sistem hukum dan membuat sistem hukum tersebut luwes.

Selanjutnya Paul Scholten membagi asas hukum menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu sebagai
berikut:

1. Asas Hukum yang bersifat universal, yaitu asas hukum yang berlaku kapan saja dan dimana
saja tidak terpengaruh oleh waktu dan tempat;
2. Asas Hukum umum, yaitu asas hukum yang berlaku pada semua bidang hukum;
3. Asas Hukum khusus, yaitu asas hukum yang berlaku hanya pada satu bidang hukum saja.

Apabila kita membaca suatu peraturan hukum mungkin kita tidak menemukan
pertimbangan etis disitu tetapi azas hukum menunjukkan adanya tuntutan etis
(setidak-tidaknya kita bisa merasakan adanya petunjuk kearah itu). Karena azas
hukum mengandung tuntutan etis maka azas hukum merupakan jembatan antara
peraturan-peraturan hukum dengan cita-cita sosial dan pandangan etis masyarakatnya.
Oleh karena itu untuk memahami hukum suatu bangsa tidak bisa hanya melihat
peraturan-peraturan hukumnya saja melainkan harus menggalinya sampai kepada
azas-azas hukumnya.

Sebagaimana diungkapkan oleh Mochtar Kusuma-atmadja, dimana beliau


menegaskan bahwa hukum adalah salah satu dari kaidah sosial (di samping kaidah
moral, agama, susila, kesopanan, adat kebiasaan, dan lain-lain), yang merupakan
cerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat, sehingga hukum yang baik
adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup.[48]

Dalam kajian hukum internasional, maka pengakuan terhadap hak anak mengacu
kepada Konvensi Hak anak (KHA) yang merupakan turunan dari instrument bills of
right. Sehingga pembahasan mengenai asas-asas hukum yang termuat di dalam KHA
tidak terlepas dari asas-asas hukum yang termuat di dalam instrument bills of right.
Dimana secara umum asas hukum internasional memuat 3 (tiga) jenis asas hukum,
yaitu sebagai berikut:

1. Kesetaraan
2. Non Diskriminasi
3. Kewajiban Negara

Dari ketiga asas tersebut, kemudian dijabarkan ke dalam berbagai konvensi


internasional yang sifatnya merupakan asas hukum khusus. Namun pada umumnya
baik KHA maupun the Beijing Rules, memuat asas-asas sebagai berikut:

1. Kepentingan terbaik bagi anak;


2. Penghargaan terhadap pendapat anak.
3. Ulitimum Remidium

Berkaitan dengan prinsip the best interest for children tersebut, sebagaimana diatur
dalam Pasal 5.1 the Beijing Rules, maka dapat disimpulkan adanya dua sasaran
dibentuknya peradilan anak, yaitu:[49]
1. Memajukan kesejahteraan anak (the promotion of the well being of the juvenile), Artinya,
Prinsip kesejahteraan anak ini harus dipandang sebagi fokus utama dalam sistem peradilan
anak. Prinsip ini dapat dijadikan dasar untuk tidak menerapkan penggunaan sanksi yang
semata-mata bersifat pidana, atau yang bersifat menghukum.

Sedapat mungkin sanksi pidana, terutama pidana penjara harus dipandang sebagai
‘the last resort’ dalam peradilan anak, seperti yang telah ditegaskan dalam Resolusi
PBB 45/113 tentang UN Rules For The Protection Of Juveniles Deprived Of Their
Liberty.[50];

1. Mengedepankan prinsip proporsionalitas (the principle of proporsionality). Prinsip yang


kedua ini merupakan sarana untuk mengekang penggunaan sanksi yang bersifat menghukum
dalam arti memabalas. Paul H. Hann dalam hal ini mengemukakan pendapatnya bahwa
pengadilan anak janganlan semata-mata sebagai suatu peradilan pidana bagi anak dan tidak
pula harus berfungsi semata-mata sebagai suatu lembaga sosial.[51]

Dalam konteks keindonesiaan, asas hukum pada perlindungan anak dimuat dalam
beberapa peraturan perundang-undangan, yaitu:

1. UU Perlindungan Anak

Asas Perlindungan Anak di dalam UU Perlindungan Anak, termuat di dalam Pasal 2,


yang menegaskan sebagai berikut:

1. Non diskriminasi;
2. Kepentingan yang terbaik bagi anak;
3. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan
4. Penghargaan terhadap pendapat anak.

Berkaitan dengan asas tersebut, maka dapat kita cermati penjelasan dari Pasal 2 UU
Perlindungan Anak tersebut, yang menegaskan sebagai berikut:

“Asas perlindungan anak di sini sesuai dengan prinsip-prinsip pokok yang


terkandung dalam Konvensi Hak-Hak Anak.

Yang dimaksud dengan asas kepentingan yang terbaik bagi anak adalah bahwa
dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh pemerintah,
masyarakat, badan legislatif, dan badan yudikatif, maka kepentingan yang terbaik
bagi anak harus menjadi pertimbangan utama.

Yang dimaksud dengan asas hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan
perkembangan adalah hak asasi yang paling mendasar bagi anak yang dilindungi
oleh negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua.

Yang dimaksud dengan asas penghargaan terhadap pendapat anak adalah


penghormatan atas hak-hak anak untuk berpartisipasi dan menyatakan pendapatnya
dalam pengambilan keputusan terutama jika menyangkut hal-hal yang mempengaruhi
kehidupannya.”

1. UU Pengadilan Anak
Undang-undang pengadilan anak dalam pasal-pasalnya mengaut beberapa asas yang
membedakannya dengan siding pidana untuk orang dewasa. Adapun asas-asas itu
adalah sebagai berikut:[52]

1. Pembatasan umum (pasal 1 butir 1 jo pasal 4 ayat (1))

Adapun orang yang dapat disidangkan dalam acara pengadilan anak ditentukan secara
limitatif, yaitu minimum berumur 8 (delapan) tahun dan maksumum 18 (delapan belas
tahun) dan belum pernah kawin

1. ruang lingkup masalah di batasi (pasal 1 ayat 2)

Masalah yang dapat diperiksa dalam siding pengadilan anak hanyalah terbatas
menyangkut perkara anak nakal.

1. Ditangani pejabat khusus (pasal 1 ayat 5, 6, dan 7)

UU Pengadilan Anak menentukan perkara anak nakal harus ditangani oleh pejabat-
pejabat khusus seperti :

 Ditigkat penyidikan oleh penyidik anak


 Di tingkat penuntutan oleh penutut umum
 Di pengadilan oleh hakim anak, hakim banding anak, & hakim kasasi anak.

1. Peran pembimbing kemasyarakatan (pasal 1 ayat 11)

UU Pengadilan Anak mengakui peranan dari:

 Pembimbing Kemasyarakatan
 Pekerja Sosial dan
 Pekerja Sosial Sukarela

1. Suasana Pemeriksaan Kekeluargaan

Pemeriksaan perkara di pengadilan dilakkan dalam suasana kekeluargaan. Oleh


karena itu Hakim, Penuntut Umum Dan Penasihat Hukum tidak memakai toga.

1. Keharusan splitsing (pasal 7)

Anak tidak boleh diadili bersama dengan orang dewasa baik yang berstatus sipil
maupun militer, kalau terjadi anak melakukan tindak pidana bersama orang dewasa,
maka si anak diadili dalam siding pengadilan anak, sementara orang dewasa diadilan
dalam siding biasa, atau apabila ia berstatus militer di peradilan militer.

1. Acara Pemeriksaan Tertutup (pasal 8 ayat (1))

Acara pemeriksaan di siding pengadilan anak dilakukan secara tertutup. Ini demi
kepentingan si anak sendiri. Akan tetapi putusan harus diucapkan dalam siding yang
terbuka untuk umum.
1. Diperiksa Hakim Tunggal (pasal 11, 14, dan 18)

Hakim yang memeriksa perkara anak, baik ditingkat pengadilan negeri, banding atau
kasasi dilakukan dengan hakim tunggal.

1. Masa penahanan lebih singkat (pasal 44 -49)

Masa penahanan terhadap anak lebih singkat disbanding masa penahanan menurut
KUHAP

1. Hukuman lebih ringan (pasal 22 – 32)

Hukuman yang dijatuhkan terhadap anak nakal lebih ringan daripada ketentuan yang
diatur dalam KUHP. Hukuman maksimal untuk anak nakal adalah sepuluh tahun.

1. UU Sistem Peradilan Anak

Sistem Peradilan Pidana Anak dilaksanakan berdasarkan asas:[53]

1. Perlindungan;

Yang dimaksud dengan ”perlindungan” meliputi kegiatan yang bersifat langsung dan
tidak langsung dari tindakan yang membahayakan Anak secara fisik dan/atau psikis.

1. Keadilan;

Yang dimaksud dengan “keadilan” adalah bahwa setiap penyelesaian perkara Anak
harus mencerminkan rasa keadilan bagi Anak.

1. Non diskriminasi;

Yang dimaksud dengan ”non diskriminasi” adalah tidak adanya perlakuan yang
berbeda didasarkan pada suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan
bahasa, status hukum Anak, urutan kelahiran Anak, serta kondisi fisik dan/atau
mental.

1. Kepentingan terbaik bagi anak;

Yang dimaksud dengan ”kepentingan terbaik bagi Anak” adalah segala pengambilan
keputusan harus selalu mempertimbangkan kelangsungan hidup dan tumbuh kembang
Anak.

1. Penghargaan terhadap pendapat anak;

Yang dimaksud dengan ”penghargaan terhadap pendapat Anak” adalah penghormatan


atas hak Anak untuk berpartisipasi dan menyatakan pendapatnya dalam pengambilan
keputusan, terutama jika menyangkut hal yang memengaruhi kehidupan Anak.

1. Kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak;


Yang dimaksud dengan ”kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak” adalah hak
asasi yang paling mendasar bagi Anak yang dilindungi oleh negara, pemerintah,
masyarakat, keluarga, dan orang tua.

1. Pembinaan dan pembimbingan anak;

Yang dimaksud dengan ”pembinaan” adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas,


ketakwaan kepadaTuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, pelatihan
keterampilan, profesional, serta kesehatan jasmani dan rohani Anak baik di dalam
maupun di luar proses peradilan pidana.

Yang dimaksud dengan ”pembimbingan” adalah pemberian tuntunan untuk


meningkatkan kualitas ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap
dan perilaku, pelatihan keterampilan, profesional, serta kesehatan jasmani dan rohani
klien pemasyarakatan.

1. Proporsional;

Yang dimaksud dengan ”proporsional” adalah segala perlakuan terhadap Anak harus
memperhatikan batas keperluan, umur, dan kondisi Anak.

1. Perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir;

Yang dimaksud dengan “perampasan kemerdekaan merupakan upaya terakhir” adalah


pada dasarnya Anak tidak dapat dirampas kemerdekaannya, kecuali terpaksa guna
kepentingan penyelesaian perkara.

1. Penghindaran pembalasan.

Yang dimaksud dengan “penghindaran pembalasan” adalah prinsip menjauhkan


upaya pembalasan dalam proses peradilan pidana.

Dalam konsep perlindungan hukum terhadap korban kejahatan, terkandung pula


beberapa asas hukum yang memerlukan perhatian. Hal ini disebabkan dalam konteks
hukum pidana, sebenarnya asas hukum harus mewarnai baik hukum pidana materiil,
hukum pidana formil, maupun hukum pelaksanaan pidana.[54]

Adapun asas-asas yang dimaksud sebagai berikut:

1. Asas manfaat.

Artinya perlindungan korban tidak hanya ditujukan bagi tercapainya kemanfaatan


(baik materiil maupun spiritual) bagi korban kejahatan, tetapi juga kemanfaatan bagi
masyarakat secara luas, khususnya dalam upaya mengurangi jumlah tindak pidana
serta menciptakan ketertiban masyarakat.

Asas inimengingatkan kita kepada salah satu tokoh filosuf, Jeremy Betham melalui
utility theory atau Utilitarianisme, yang mengutamakan bahwa tujuan pembentukan
hukum adalah kebahagiaan dan kemanfaatan yang sebesar-besarnya bagi masyarakat.
Demikian pula sebagaimana diungkapkan oleh Hans Kelsen, dimana Fungsi hukum
menurut Hans Kelsen adalah untuk menciptakan keadilan bagi masyarakat dimana
konsep adil dipahami sebagai suatu penciptaan terhadap sebanyak-banyaknya
kebahagiaan dalam masyarakat.[55]

Bahwa pembentukan hukum tersebut hendaknya mencerminkan adanya manfaat yang


sebesar-besarnya baik bagi masyarakat maupun individu dalam tataran
implementasinya. Sehingga, masih menurut Betham, bahwa tindakan pemerintah
dalam tataran implementasi baru dapat dikatakan selaras dengan hukum jika
memberikan kemanfaatan dan kebahagiaan bagi masyarakat. Dalam hal ini, Betham
tidak hanya menekankan adanya utility pada ranah peraturan perundang-undangan
namun juga utility pada ranah tindakan.[56]

1. Asas keadilan.

Artinya, penerapan asas keadilan dalam upaya melindungi korban kejahatan tidak
bersifat mutlak karena hal ini dibatasi pula oleh rasa keadilan yang harus juga
diberikan pada pelaku kejahatan.

Keadilan hanya bisa dipahami jika ia diposisikan sebagai keadaan yang hendak
diwujudkan oleh hukum. Upaya untuk mewujudkan keadilan dalam hukum tersebut
merupakan proses yang dinamis yang memakan banyak waktu. Upaya ini seringkali
juga didominasi oleh kekuatan-kekuatan yang bertarung dalam kerangka umum
tatanan politik untuk mengaktualisasikannya.[57]

Pemberian rasa keadilan kepada masyarakat tidak dapat serta merta diakui secara
umum hanya berlandaskan kepada konsepsi hak kodrati atau hukum alam yang
menegaskan bahwa dalam diri manusia telah terdapat hak-hak kodrati yang suka atau
tidak suka harus diakui baik adanya pengakuan ataupun tidak, sebagaimana
ditegaskan dalam prinsip universalisme dalam ranah Hak Asasi Manusia (HAM).

Namun, sebagaimana bentuk kritik dari Aliran Positivisme kepada Teori Hak Kodrati
dan Teori Hukum Alam, dimana pengakuan terhadap hak-hak seseorang haruslah
berasal institusi yang berwenang dan memiliki kekuasaan.

Untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat berkaitan hal-hal mana yang


dibatasi oleh keadilan dari pihak lain, maka mutlak diperlukannya suatu pengaturan
yang bersifat tegas dan jelas. Hal ini sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan terhadap rasa keadilan, sehingga diperlukan sarana untuk melakukan
perubahan perilaku di dalam masyarakat (law as a tools of social engineering)
sehingga menurut Mochtar Kusuma-Atmadja, sangat diperlukan sarana berupa
peraturan perundang-undangan.[58]

Namun, dikarenakan pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut


diserahkan dan menjadi tanggung jawab lembaga politik yaitu Dewan Perwakilan
Rakyat, sehingga produk perundang-undangan seringkali diintervensi oleh kekuatan-
kekuatan politik dan kepentingan pihak ketiga.

Sehingga Mochtar Kusuma-Atmadja memberikan batasan yang tegas bahwa Hukum


adalah salah satu dari kaidah sosial (di samping kaidah moral, agama, susila,
kesopanan, adat kebiasaan, dan lain-lain), yang merupakan cerminan dari nilai-nilai
yang berlaku dalam masyarakat, sehingga hukum yang baik adalah hukum yang
sesuai dengan hukum yang hidup (living law).

Oleh karena itu, seyogyanya, penerapan hukum dalam memberikan rasa keadilan
tidak terkekang oleh Ajaran Legisme[59], maka seharusnya Hakim sebagai institusi
terakhir dalam penegakan hukum, mampu membaca the living law yang ada di
masyarakat melalui instrumen rechtsvinding dan rechtschepping sebagaimana
diamanatkan oleh UU Kekuasaan Kehakiman[60], yang menegaskan sebagai berikut:

“Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”

Sehingga antara peraturan perundang-undangan dengan putusan pengadilan


seharusnya tidak menunjukan posisi yang lebih superior antara satu dengan lainnya.
Dikarenakan keduanya diharapkan dapat berkolaborasi dengan satu tujuan yaitu
memberikan rasa keadilan.

1. Asas keseimbangan.

Karena tujuan hukum di samping memberikan kepastian dan perlindungan terhadap


kepentingan manusia, juga untuk memulihkan keseimbangan tatanan masyarakat yang
terganggu menuju pada keadaan yang semula (restitutio in integrum), asas
keseimbangan memperoleh tempat yang penting dalam upaya pemulihan hak-hak
korban.

Asas ini secara tidak langsung ingin menjelaskan bahwa pemidanaan badan yang
dikenal dalam sistem kepenjaraan dan sistem pemasyarakatan, dewasa ini, tidaklah
berjalan dengan sebagaimana mestinya.

Sistem pemidanaan yang didasarkan kepada retributive theory (pidana absolut) tidak
memberikan pemenuhan hak-hak korban, sehingga seringkali putusan pengadilan
memicu rasa ketidakpuasan dari masyarakat. Kondisi ini sudah terjadi puluhan tahun
di Indonesia bahkan hampir diseluruh dunia. Sehingga para ahli hukum mencoba
menggali konsep-konsep yang ada untuk memunculkan konsep baru dalam hal
pemidanaan yang memberikan rasa keseimbangan tersebut guna pemenuhan hak-hak
korban.

Konsep terakhir yang muncul adalah diwacanakannya konsep restorative justice.


Menurut John Braitwaite, bahwa restorative justice adalah proses yang melibatkan
semua pihak yang memiliki kepentingan dalam masalah pelanggaran tertentu untuk
datang bersama-sama menyelesaikan secara kolektif bagaimana menyikapi dan
menyelesaikan akibat dari pelanggaran dan implikasinya untuk masa depan.[61]

Sejalan dengan pemikiran John Braitwaite, maka Marian Liebmann dengan bahasa
yang lebih sederhana, mengatakan sebagai berikut:[62] “restorative justice  sebagai
suatu sistem hukum yang “bertujuan untuk mengembalikan kesejahteraan korban,
pelaku dan masyarakat yang rusak oleh kejahatan, dan untuk mencegah pelanggaran
atau tindakan kejahatan lebih lanjut.”
Konsep tersebut kemudian diadopsi dalam Pasal 1 angka 6 UU SPA yang
menegaskan sebagai berikut:

“Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan


pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-
sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada
keadaan semula, dan bukan pembalasan.”

Melalui konsep restorative justice ini lah kemudian diharapkan dapat memenuhi
keseimbangan hak antara pelaku tindak pidana, korban tindak pidana dan masyarakat
sebagai komunitas yang terganggu sistem sosialnya.

1. Asas Kepastian Hukum.

Dalam konsep hukum di Indonesia, asas kepastian hukum atau asas legalitas tersebut
termuat di dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, yang menegaskan sebagai berikut:

“Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan


perundang-undangan pidana yang telah ada.”

Walaupun redaksional dari Pasal 1 ayat (1) KUHP lebih menekankan kepada suatu
kepastian pemidanaan berdasarkan peraturan perundang-undangan, namun jika kita
cermati pada frase “…………..kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-
undangan pidana yang telah ada”, maka frase tersebut mengidikasikan bahwa suatu
perbuatan/tindakan adalah sah apabila terdapat pengaturannya di dalam peraturan
perundang-undangan.

Sehingga Asas ini dapat pula memberikan dasar pijakan hukum yang kuat bagi aparat
penegak hukum pada saat melaksanakan tugasnya dalam upaya memberikan
perlindungan hukum pada korban kejahatan, sepanjang ketentuan mengenai
perlindungan terhadap korban tertuang di dalam suatu redaksional dalam sebuah pasal
pada peraturan perundang-undangan.

Terkait dengan pembahasan asas-asas hukum yang diakui secara universal tersebut,
maka kemudian memunculkan hak-hak bagi subyek hukum. Dalam kaitannya dengan
penulisan ini, maka Hak-hak terhadap subyek hukum anak terdapat dalam KHA bisa
dikelompokkan ke dalam 4 (empat) kategori hak-hak anak, yaitu:[63]

1. Hak terhadap kelangsungan hidup (survival rights);

Hak kelangsungan hidup berupa hak-hak anak untuk melestarikan dan


mempertahankan hidup dan hak untuk memperoleh standar kesehatan tertinggi dan
perawatan yang sebaik-baiknya.

Konsekwensinya menurut Konvensi Hak Anak negara harus menjamin kelangsungan


hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan anak (Pasal 6). Disamping itu
negara berkewajiban untuk menjamin hak atas tarap kesehatan tertinggi yang bisa
dijangkau, dan melakukan pelayanan kesehatan dan pengobatan, khusuSnya
perawatan kesehatan primer. (Pasal 24).
Implementasinya dari Pasal 24, negara berkewajiban untuk melaksanakan program-
program (1) melaksanakan upaya penurunan angka kematian bayi dan anak, (2)
menyediakan pelayanan kesehatan yang diperlukan, (3) memberantas penyakit dan
kekurangan gizi, (4) menyediakan pelayanan kesehatan sebelum dan sesudah
melahirkan bagi ibu, (5) memperoleh imformasi dan akses pada pendidikan dan
mendapat dukungan pada pengetahuan dasar tentang kesehatan dan gizi, (6)
mengembangkan perawatan kesehatan pencegahan, bimbingan bagi orang tua, serta
penyuluhan keluarga berencana, dan, (7) mengambil tindakan untuk menghilangkan
praktik tradisional yang berprasangka buruk terhadap pelayanan kesehatan.

Terkait dengan itu, hak anak akan kelangsungan hidup dapat berupa (1) hak anak
untuk mendapatkan nama dan kewarganegaraan semenjak dilahirkan (Pasal 7), (2)
hak untuk memperoleh perlindungan dan memulihkan kembali aspek dasar jati diri
anak (nama, kewargnegaraan dn ikatan keluarga) (Pasal 8), (3) hak anak untuk hidup
bersama (Pasal 9), dan hak anak untuk memperoleh perlindungan dari segala bentuk
salah perlakuan (abuse) yang dilakukan orang tua atau orang lain yang bertangung
jawab atas pengasuhan (Pasal 19), (4) hak untuk mmemperoleh perlindungan khusus
bagi bagi anak- anak yang kehilangan lingkungan keluarganya dan menjamin
pengusahaan keluarga atau penempatan institusional yang sesuai dengan
mempertimbangkan latar budaya anak (Pasal 20), (5) adopsi anak hanya dibolehkan
dan dilakukan demi kepentingan terbaik anak, dengan segala perlindungan yang
disahkan oleh pejabat yang berwenang (Pasal 21), (6) hak-hak anak penyandang cacat
(disabled) untuk memperoleh pengasuhan, pendidikan dan latihan khusus yang
dirancang untuk membantu mereka demi mencapai tingkat kepercayaan diri yang
tinggi (Pasal 23), (7) hak anak menikmati standar kehidupan yang memadai dan hak
atas pendidikan (Pasal 27 dan 28).

1. Hak terhadap perlindungan (protection rights);

Hak perlindungan yaitu perlindungan anak dari diskriminasi, tindak kekerasan dan
keterlantaran bagi anak yang tidak mempunyai keluarga, dan bagi anak pengungsi.
Hak perlindungan dari diskriminasi, termasuk (1) perlindungan anak penyandang
cacat untuk memperoleh pendidikan, perwatan dan latihan khusus, dan (2) hak anak
dari kelompok masyarakat minoritas dan penduduk asli dalam kehidupan masyarakat
negara.

Perlindungan dari ekploitasi, meliputi (1) perlindungan dari gangguan kehidupan


pribadi, (2) perlindungan dari keterlibatan dalam pekerjaan yang mengancam
kesehatan, pendidikan dan perkembangan anak, (3) perlindungan dari penyalahgunaan
obat bius dan narkoba, perlindungan dari upaya penganiayaan seksual, prostitusi, dan
pornografi, (4) perlindungan upaya penjualan, penyelundupan dan penculikan anak,
dan (5) perlindungan dari proses hukum bagi anak yang didakwa atau diputus telah
melakukan pelanggaran hukum.

1. Hak untuk Tumbuh Berkembang (development rights);

Hak tumbuh berkembang meliputi segala bentuk pendidikan (formal maupun non
formal) dan hak untuk mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik,
mental, spiritual, moral dan sosial anak. Hak anak atas pendidikan diatur pada Pasal
28 Konvensi Hak Anak menyebutkan, (1) negara menjamin kewajiban pendidikan
dasar dan menyediakan secara cuma-cuma, (2) mendorong pengembangan macam-
macam bentuk pendidikan dan mudah dijangkau oleh setiap anak, (3) membuat
imformasi dan bimbingan pendidikan dan ketrampIlan bagi anak, dan (4) mengambil
langkah-langkah untuk mendorong kehadirannya secara teratur di sekolah dan
pengurangan angka putus sekolah.

Terkait dengan itu, juga meliputi (1) hak untuk memperoleh informasi, (2) hak untuk
bermain dan rekreasi, (3) hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan budaya, (4) hak
untuk kebebasan berpikir dan beragama, (5) hak untuk mengembangkan kepribadian,
(6) hak untuk memperoleh identitas, (7) hak untuk didengar pendapatnya, dan (8) hak
untuk memperoleh pengembangan kesehatan dan fisik.

1. Hak untuk Berpartisipasi (participation rights).

Hak untuk berpartisipasi yaitu hak untuk menyatakan pendapat dalam segala hal yang
mempengaruhi anak. Hak yang terkait dengan itu meliputi (1) hak untuk berpendapat
dan memperoleh pertimbangan atas pendapatnya, (2) hak untuk mendapat dan
mengetahui informasi serta untuk mengekpresikan, (3) hak untuk berserikat menjalin
hubungan untuk bergabung, dan (4) hak untuk memperoleh imformasi yang layak dan
terlindung dari imformasi yang tidak sehat.

Terhadap anak yang melakukan perbuatan pidana, penangkapan dan penahanan anak
harus sesuai dengan hukum yang ada, yang digunakan hanya sebagai upaya terakhir.
Anak yang dicabut kebebasannya harus memperoleh akses bantuan hukum, dan hak
melawan keabsahan pencabutan kebebasan.

Berkenaan dengan hak-hak yang termuat dalam KHA tersebut, maka pada UU
No.39/1999 tentang HAM telah merumuskan seperangkat hak sipil, politik, sosial,
ekonomi dan sosial bagi anak adalah sebagai berikut:

1. Hak untuk dilindungi orang tua, keluarga, misalnya dan negara


2. Hak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan tariff kehidupan
3. Hak atas nama dan status kewarganegaraan
4. Hak anak cacat untuk perawatan, pendidikan dan pelatihan khusus
5. Hak untuk beribadah, berpikir dan berekspresi sesuai dengan usia dan tingkat
intelektualitasnya.
6. Hak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuk orangtuanya sendiri
7. Hak untuk mengetahui orang tuanya angkat atau angkat atau wali bila mereka meninggalkan
atau tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai orang tua
8. Hak untuk mendapatkan perlindungan dari berbagai perlakuan buruk
9. Hak untuk dipisahkan dari orang tua bertentangan dengan kehendak anak sendiri
10. Hak untuk mendapatkan perlindungan dengan kehendak anak sendiri
11. Hak untuk mencari, menerima dan memberikan informasi sesuai dengan tingakat
intelektualitas dan usianya serta nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan
12. Hak untuk beristirahat, bergaul dengan anak sebaya dan sesuai dengan minatnya
13. Hak atas pelayanaan kesehatan dan jaminan sosial yang layak
14. Hak untuk tidak dilibatkan dalam pristiwa yang mengandung kesehatan
15. Hak untuk dilindungi dari eksploitasi seksual, perdagangan anak, narkoba
16. Hak untuk bebas dari penyiksaan dan penghukuman yang tidak manusiawi
17. Hak untuk tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum
18. Hak untuk diperlakukan secara manusiawi dalam proses peradilan pidana
19. Hak atas bantuan hukum, untuk memebela dari dan memperoleh keadilan di pengadilan
anak yang bebas dan tidak memihak.

Sedangkan hak-hak Anak dalam proses peradilan pidana, adalah sebagai berikut:

1. Hak untuk diperiksa dalam suasana kekeluargaan pada Sidang Anak;


2. Hak untuk diadili secara khusus berbeda dengan orang dewasa;
3. Hak untuk diperiksa dalam sidang tertutup untuk umum;
4. Hak untuk dipisahkan dari tempat tahanan orang dewasa, dan selama masa tahanan
kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial anak harus tetap dipenuhi;
5. Hak untuk dikeluarkan dari tahanan demi hukum apabila jangka waktu penahanan telah
habis;
6. Hak untuk mendapatkan bantuan hukum dari seorang atau lebih Penasihat Hukum sejak
ditangkap atau ditahan dan pada setia tingkat pemeriksaan;
7. Hak untuk berhubungan langsung dengan Penasihat Hukum dengan diawasi tanpa didengar
oleh pejabat yang berwenang pada saat ditangkap atau ditahan;
8. Hak untuk didampingi oleh orang tua, wali, atau orang tua asuh, penasihat hukum dan
Pembimbing Kemasyarakatan selama proses pemeriksaan;
9. Hak untuk menjalani pidana atau dididik di Lembaga Pemasyarakatan Anak yang harus
terpisah dari orang dewasa, serta memperoleh pendidikan dan latihan sesuai bakat dan
kemampuannya
10. Hak untuk menembuh proses divertion (diversi/pengalihan).

Terkait dengan adanya hak-hak tersebut, maka mendapatkan perlindungan merupakan


hak dari setiap anak, dan diwujudkannya perlindungan bagi anak berarti terwujudnya
keadilan dalam suatu masyarakat. Asumsi ini diperkuat dengan pendapat Age, yang 
telah mengemukakan dengan tepat bahwa “melindungi anak  pada hakekatnya
melindungi keluarga, masyarakat, bangsa dan negara di masa depan”.[64]

Dari ungkapan tersebut nampak betapa pentingnya upaya perlindungan anak demi
kelangsungan masa depan sebuah komunitas, baik komunitas yang terkecil yaitu
keluarga, maupun komunitas yang terbesar yaitu negara. Artinya, dengan
mengupayakan perlindungan bagi anak komunitas-komunitas tersebut tidak hanya
telah menegakkan hak-hak anak, tapi juga sekaligus menanam investasi untuk
kehidupan mereka di masa yang akan datang. Di sini, dapat dikatakan telah terjadi
simbiosis mutualisme antara keduanya.

Perlindungan anak adalah suatu usaha yang mengadakan situasi dan kondisi yang
memungkinkan pelaksanaan hak dan kewajiban anak secara manusiawi positif. Ini
berarti dilindunginya anak untuk memperoleh dan mempertahankan haknya untuk
hidup, mempunyai kelangsungan hidup, bertumbuh kembang dan perlindungan dalam
pelaksanaan hak dan kewajibannya sendiri atau bersama para pelindungnya.[65]

Menurut Pasal 1 angka 2 , Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang


Perlindungan anak disebutkan bahwa:

“Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak
dan hak-haknya agar dapat  hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara
optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.

Pada umumnya, upaya  perlindungan anak dapat dibagi menjadi perlindungan


langsung dan tidak langsung, dan  perlindungan yuridis dan non-yuridis. Upaya-upaya
perlindungan secara langsung di antaranya meliputi: [66]

1. Pengadaan sesuatu agar anak terlindungi dan diselamatkan dari  sesuatu yang
membahayakannya,
2. Pencegahan dari segala sesuatu yang dapat merugikan atau mengorbankan anak,
3. Pengawasan,
4. Penjagaan terhadap gangguan dari dalam dirinya atau dari luar dirinya,
5. Pembinaan (mental, fisik, sosial),
6. Pemasyarakatan pendidikan formal dan informal,
7. Pengasuhan (asah, asih, asuh),
8. Pengganjaran (reward),
9. Pengaturan dalam peraturan perundang-undangan.

Sedangkan, upaya perlindungan tidak langsung antara lain meliputi: [67]

1. Pencegahan orang lain merugikan,


2. Mengorbankan kepentingan anak melalui suatu peraturan perundang-undangan,
3. Peningkatan pengertian yang tepat mengenai manusia anak serta hak dan kewajiban,
4. Penyuluhan mengenai pembinaan anak dan keluarga,
5. Pengadaaan sesuatu yang menguntungkan anak,
6. Pembinaan (mental, fisik dan sosial) para partisipan selain anak yang bersangkutan dalam
pelaksanaan perlindungan anak,
7. Penindakan mereka yang menghalangi usaha perlindungan anak.

Kedua upaya perlindungan di atas sekilas nampak sama dalam hal bentuk upaya
perlindungannya. Perbedaan antara keduanya terletak pada objek dari perlindungan
itu sendiri. Objek dalam upaya perlindungan langsung  tentunya adalah anak secara
langsung. Sedangkan upaya perlindungan tidak langsung, lebih pada para partisipan
yang berkaitan dan berkepentingan terhadap perlindungan anak, yaitu orang tua,
petugas dan pembina.

Demi menimbulkan hasil yang optimal, seyogyanya upaya perlindungan ini ditempuh
dari dua jalur, yaitu dari jalur pembinaan para partisipan yang berkepentingan dalam
perlindungan anak, kemudian selanjutnya pembinaan anak secara langsung oleh para
partisipan tersebut.

Upaya-upaya ini lebih merupakan upaya yang integral, karena bagaimana mungkin
pelaksanaan perlindungan terhadap anak dapat berhasil, apabila para partisipan yang
terkait seperti orang tua, para petugas dan pembina, tidak terlebih dahulu dibina dan
dibimbing serta diberikan pemahaman mengenai cara melindungi anak dengan baik.

Ditinjau dari sifat perlindungannya, perlindungan anak juga dapat dibedakan dari
menjadi: perlindungan yang bersifat yuridis, meliputi perlindungan dalam bidang
hukum perdata dan dalam hukum pidana; perlindungan yang bersifat non-yuridis,
meliputi perlindungan di bidang sosial, bidang kesehatan dan bidang pendidikan.[68]

Perlindungan yang bersifat yuridis atau yang lebih dikenal dengan perlindungan
hukum. Menurut Barda Nawawi Arief adalah upaya perlindungan hukum terhadap
berbagai kebebasan dan hak asasi anak (fundamental rights and freedoms of children)
serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak.[69]

Perlindungan hukum dalam bidang keperdataan, terakomodir dalam ketentuan dalam


hukum perdata yang mengatur mengenai anak seperti:[70]

1. Kedudukan anak sah dan hukum waris;


2. Pengakuan dan pengesahan anak di luar kawin;
3. Kewajiban orang tua terhadap anak;
4. Kebelumdewasaan anak dan perwaliaan.

Dalam hukum pidana, perlindungan anak selain diatur dalam pasal 45, 46, dan 47
KUHP (telah dicabut dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Peradilan Anak). Kemudian, terdapat juga beberapa pasal yang secara
langsung atau tidak langsung berkaitan dengan perlindungan anak, yaitu antara Lain
Pasal 278, Pasal 283, Pasal 287, Pasal 290, Pasal 297, Pasal 301, Pasal 305, Pasal
308, Pasal 341 dan Pasal 356 KUHP.

Selanjutnya, dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan


anak yang pada prinsipnya mengatur mengenai perlindungan hak-hak anak. Dalam
Undang-undang Nomor 4 tahun 1979, tentang Kesejahteraan Anak, pada prinsipnya
diatur mengenai upaya-upaya untuk mencapai kesejahteraan anak. Pada Undang-
undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak, yang pada prinspnya mengatur
mengenai perlindungan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana dalam konteks
peradilan anak. Dan yang terakhir melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Anak (UU SPA), yang merupakan bentuk legal reform dari
konsepsi perlindungan anak, dimana lembaga divertion telah diperkenalkan dalam
proses pemeriksaan perkara pidana anak.

Perlindungan anak yang bersifat non-yuridis dapat berupa, pengadaan kondisi sosial
dan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan anak, kemudian upaya  peningkatan
kesehatan dan gizi anak-anak, serta peningkatan kualitas pendidikan melalui berbagai
program bea siswa dan pengadaan fasilitas pendidikan yang lebih lengkap dan
canggih.

Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, berbagai upaya perlindungan


anak tersebut tidak lain diorientasikan sebagai upaya untuk menciptakan
kesejahteraan anak.

 
BAB III

PELAKSANAAN RESTRORATIVE JUSTICE

DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA ANAK

1. Pembaharuan Hukum Pidana (legal reform) dalam Sistem Peradilan Anak di Indonesia

Secara umum diketahui bahwa arus pembaharuan hukum pidana dimulai seiring
dengan bergulirnya fase reformasi tahun 1998 bersamaan dengan pembaharuan di
bidang politik, ekonomi, serta bidang-bidang lainnya. Sebagaimana telah Penulis
ungkapkan sebelumnya bahwa wacana pembaharuan hukum pidana telah dimulai
semenjak pelaksanaan Seminar Hukum Nasional Tahun 1964 dengan diusulkannya
perubahan KUHP dan HIR.

Rasanya sudah tidak sedikit para pakar hukum baik dalam bidang akademisi maupun
praktisi hukum,dalam hal ini diwakilkan oleh unsur Advokat/Pengacara, yang
melontarkan ide pembaharuan hukum pidana. KUHP Nasional merupakan sesuatu
yang sangat diidam-idamkan oleh berbagai kalangan. Harapan adanya KUHP yang
diciptakan sendiri oleh potensi anak bangsa merupakan suatu terobosan kebuntuan
antara law in book dan law in action. Implementasi KUHP versi Belanda, walaupun
telah disahkan melalui Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946, namun secara substansi
adalah merupakan produk bangsa penjajah. Soedarto menjelaskan bahwa tidaklah
banyak Sarjana Hukum bahkan Guru Besar yang paham secara benar berkaitan
dengan bahasa Asli dari KUHP versi Belanda yang merupakan induk dari KUHP
yang saat ini digunakan oleh Indonesia. Sehingga menimbulkan pemahaman yang
berbeda-beda dikalangan para sarjana baik akademisi maupun praktisi. Dikarenakan
minimnya akademisi dan praktisi serta penegak hukum yang menguasai teks asli dari
KUHP sehingga menimbulkan penfasiran yang berbeda-beda, yang pada akhirnya
tercipta ketidakpraktisan dan ketidak-efesiensi-an dalam penegakan hukum. Yang
akhirnya menimbulkan ketidakseragaman pelayanan hukum di berbagai wilayah.

Soedarto menjelaskan lebih lanjut bahwa urgensinya KUHP Nasional dilandaskan


kepada alasan sosiologis dimana W.v.S berdasarkan substansi/materi muatan bukan
merupakan cerminan Bangsa Indonesia. Menurut Soedarto, bahwa suatu KUHP pada
dasarnya adalah pencerminan dari nilai-nilai kebudayaan dari suatu bangsa, karena ia
memuat perbuatan-perbuatan yang tidak ia kehendaki dan mengikatkan kepada
perbuatan-perbuatan itu suatu sanksi (yang negatif) yaitu berupa pidana. Ukuran
untuk menentukan perbuatan mana yang dilarang itu tentunya tergantung dari
pandangan kolektif yang terdapat dalam masyarakat tentang apa yang baik, yang
benar dan sebaliknya.[71]

Dari alasan-alasan diatas, bahwa urgensi keberadaan KUHP nasional menjadi sangat
menentukan dalam law enforcement. Namun pada kenyataannya, proses pembaharuan
hukum berjalan sangat lambat. Bahkan di era reformasipun politicall will pembentuk
Undang-undang sama sekali tidak nampak. Hal tersebut dapat dicermati dengan
kualitas pembentukan Undang-undang atau peraturan hukum yang saling bertabrakan
satus sama lainnya. Pelayanan hukum terhadap masyarakat tidak dilaksanakan dalam
satu atap, sehingga masyarakat harus berhadapan dengan, bahkan terjebak dalam,
pusaran setan sistem koordinasi antar institusi penegak hukum.

Nampaknya baik legislatif maupun eksekutif banyak yang tidak memahami secara
hakiki, tingkat seberapa pentingnya melakukan pembaharuan hukum, khususnya
hukum pidana. DPR tak lebih jauh berbeda dengan penonton pertandingan sepak bola,
yang selalu mengkritik bagaimana seharusnya Pemerintah bertindak dalam
melaksanakan law enforcement.

1. Yahya Harahapmenyatakan, sistem peradilan pidana yang digariskan KUHAP merupakan


sistem terpadu (integrated criminal justice system)yang diletakkan di atas landasan prinsip 
“diferensiasi fungsional” di antara aparat penegak hukum sesuai dengan  “tahap proses
kewenangan” yang diberikan undang-undang  kepada masing-masing. Berdasarkan kerangka
landasan dimaksud, maka  aktifitas  pelaksanaan criminal justice system merupakan fungsi
gabungan (collection of function) dari legislator, dalam hal ini adalah DPR; Eksekutif, dalam
hal ini adalah Pemerintah yang diwakilkan oleh organ Pemerintah yaitu Kepolisian Republik
Indonesia, Kejaksaan, dan Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS), dan Yudikatif yaitu Mahkamah
Agung beserta pengadilan yang berada dibawah koordinasinya, serta badan-badan yang
berkaitan, baik yang ada di lingkungan pemerintahan atau di luar.[72]

Nampaknya pembentuk Undang-undang, dalam hal ini adalah legislatif, kurang


memahami betapa pentingnya posisi mereka sebagai legislator dalam sistem peradilan
pidana berdasarkan kajian politik hukum pidana. Bahwa ketidakharmonisan dan
ketidaksinkronan dalam sistem peradilan pidana saat ini merupakan kontribusi para
legislator pula di DPR. Sehingga sangat tidak etis ketika DPR sebagai bagian yang
tidak terpisahkan dari sebuah sistem, justru mengkritik tanpa solusi.

Sebelum menjelaskan lebih jauh, perlu Penulis sampaikan mengenai perisitilah Politik
Hukum Pidana atau Kebijakan Pidana atau Penal Policy. Sebagaimana diungkapkan
oleh Barda Nawawi Arief[73], bahwa Penal Policy adalah sebagai berikut:

“Suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk
memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk
memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada
pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara
atau pelaksana putusan pengadilan.”

Sedangkan Sudarto mempergunakan istilah Politik Kriminal, dimana beliau


mengartikan Politik kriminal ke dalam 3 (tiga) pengertian yaitu:[74]

1. Dalam pengertian yang sempit, dimana politik kriminal digambarkan sebagai keseluruhan
asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa
pidana;
2. Dalam arti luas adalah dimana politik kriminal merupakan keseluruhan fungsi dari aparatur
penegak hukum termasuk di dalamnya cara kerja dari polisi dan pengadilan;
3. Dalam arti paling luas adalah dimana politik kriminal merupakan keseluruhan kebijakan yang
dilakukan melalui peraturan perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan
untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.

Dari pengertian penal policy tersebut, maka diketahui bahwa dalam legal drafting
tidak hanya diperlukan kecakapan dalam merancang kata-kata dalam bentuk undang-
undang semata. Bahwa undang-undang seyogyanya bukan hanya dibuat untuk
memberantas suatu tindak pidana semata, namun hendaknya juga mampu
memunculkan upaya pencegahan sebelum terjadinya suatu tindak pidana. Dan bukan
hanya itu saja, dalam membentuk sebuah Undang-undang, sisi kelemahan yang paling
fatal di Indonesia, tidak pernah ada sinkronisasi dalam tingkat Undang-undang.
Seolah-olah, pembentuk Undang-undang hanya terfokus dengan Rancangan Undang-
Undang yang akan bahasnya tanpa ada pengkajian lebih mendalam.

Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Marc Ancel, sebagai berikut:[75]

“Di antara studi mengenai faktor-faktor kriminologis di satu pihak dan studi
mengenai tehnik perundang-undangan di lain pihak, ada tempat bagi suatu ilmu
pengetahuan yang mengamati dan menyelidiki fenomena legislatif dan bagi suatu seni
yang rasional, di mana para sarjana dan praktisi, para ahli kriminologi dan sarjana
hukum dapat bekerja sama tidak sebagai pihak yang saling berlawanan atau saling
berselisih, tetapi sebagai kawan sekerja yang terikat di dalam tugas bersama, yaitu
terutama untuk menghasilkan suatu kebijakan pidana yang realistic, humanis dan
berpikiran maju (progresif) lagi sehat.”

Berdasarkan pendapat tersebut, maka diketahui bahwa pembentukan sistem peradilan


pidana yang baik hendaknya melewati tahap sinkronisasi antara Undang-undang yang
terkait. Namun pada kenyataannya, Pembentuk Undang-undang khususnya Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), kurang memperhatikan keselarasan antara peraturan satu
dengan peraturan yang lain.

Di dalam Pasal 5 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011[76] dijelaskan bahwa dalam


membentuk peraturan perundang-undangan maka harus di dasarkan pada kepada asas
kesesuaian antara jenis, hierarkhi dan materi muatan. Dimana dalam membentuk
suatu peraturan perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi
muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki dari Peraturan Perundang-
undangan. Undang-undang pun mensyaratkan bahwa keserasian tersebut hendaknya
memperhatikan asas keseimbangan, keserasian dan keselarasan dalam setiap materi
muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan,
keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan
bangsa dan negara.

Permasalahan pokok yang terkait dengan insinkronisasi dalam pembentukan peraturan


perundang-undangan, terutama adalah masih terjadinya tumpang tindih dan
pertentangan antara peraturan perundang-undangan bukan hanya di tingkat pusat dan
daerah, namun juga terhadap peraturan setingkat Undang-undang. Sebagai contoh,
Departemen Keuangan hampir tiap hari membatalkan sekitar 5 hingga 10 usulan
Peraturan Daerah (PERDA) tentang usulan pajak dan retribusi daerah yang
disampaikan oleh pemerintah daerah. Pertimbangan pembatalan perda tersebut, antara
lain, karena dinilai melanggar ketentuan umum, peraturan daerah yang semula dibuat
untuk kepentingan daerah. Namun dalam pelaksanaannya, seringkali bersifat
diskriminatif dan tidak berperspektif gender, tidak ramah investasi, tidak ramah
lingkungan, serta tidak berperspektif hak asasi manusia. Hal itu mengakibatkan terjadi
ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban dari subjek yang diatur sehingga belum
dapat memberikan upaya perlindungan serta menjamin hak-hak setiap warga negara
untuk setara dan adil di hadapan hukum.[77]
Permasalahan sinkronisasi bukan hanya terbatas dengan insinkronisasi antar peraturan
perundang-undangan semata, namun terkait dengan keseluruhan sistem hukum yang
berlaku di Indonesia. Berbicara mengenai legal policy dalam kaitannya dengan
kerangka pembaharuan hukum, maka perlu diteliti keseluruhan sistem[78] hukum
yang terkait.

Dalam konteks ini sistem hukum nasional sebagai suatu himpunan bagian hukum atau
subsistem hukum yang saling berkaitan yang membentuk satu keseluruhan yang rumit
atau kompleks tetapi merupakan satu kesatuan.[79] Menurut Friedmann, bahwa
Menurut Friedmann, sistem hukum terdiri atas struktur hukum (structure),
substansi/materi hukum (substance), dan budaya hukum (legal culture).[80] Sehingga
ketika berbicara pembaharuan sistem peradilan pidana dalam kajian legal policy, tidak
hanya kebijakan Undang-undang, namun juga kebijakan yang berkaitan dengan
struktur dan budaya hukum yang berkembang baik secara struktural maupun di
masyarakat.

Sebenarnya pembaharuan hukum pidana tidak identik dengan pembaharuan KUHP.


Pembaharuan hukum pidana lebih bersifat komprehensif dari pada sekedar mengganti
KUHP. Pembaharuan hukum pidana meliputi pembaharuan dalam bidang struktur,
kultur dan materi hukum. Sedangkan pembaharuan KUHP hanya berarti pembaharuan
materi hukum pidana.[81]

Barda Nawawi Arief menyebutkan bahwa tidak ada artinya hukum pidana (KUHP)
diganti/diperbaharui, apabila tidak dipersiapkan atau tidak disertai dengan perubahan
ilmu hukum pidananya. Dengan kata lain criminal law reform atau legal substance
reform harus disertai pula dengan pembaharuan ilmu pengetahuan tentang hukum
pidananya (legal/criminal science reform).

Bahkan harus disertai pula dengan pembaharuan budaya hukum masyarakat (legal
culture reform) dan pembaharuan struktur atau perangkat hukumnya (legal structure
reform).[82] Sedangkan menurut Sudarto, pembaharuan hukum pidana yang
menyeluruh itu harus meliputi pembaharuan hukum pidana material, hukum pidana
formal dan hukum pelaksanaan pidana.[83]

Kenyataan inilah yang menyebabkan kebutuhan untuk melakukan pembaharuan


hukum pidana (penal reform) di Indonesia. Kebutuhan untuk melakukan
pembaharuan hukum pidana sejalan dengan hasil dari Kongres PBB tahun 1976
tentang pencegahan kejahatan dan perlakuan kepada pelaku kejahatan. Dalam kongres
tersebut dinyatakan bahwa hukum pidana yang ada selama ini di berbagai negara yang
sering berasal dari hukum asing dari zaman kolonial yang pada umumnya telah asing
dan tidak adil (obsolete and unjustice) serta ketinggalan zaman dan tidak sesuai
dengan kenyataan (outmoded and unreal) karena tidak berakar dan pada nilai-nilai
budaya dan bahkan ada diskrepansi dengan aspirasi masyarakat serta tidak responsif
terhadap kebutuhan sosial masa kini.[84]

Kondisi perubahan hukum yang adil dan sesuai dengan kenyataan yang berakar dari
nilai-nilai yang ada dalam masyarakat kemudian secara tegas juga dinyatakan dalam
konsideran Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang
menyatakan bahwa materi hukum pidana nasional harus disesuaikan dengan politik
hukum, keadaan, dan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara bangsa
Indonesia. Sementara tujuan penyusunan hukum pidana dinyatakan sebagai
perwujudan upaya pembaharuan hukum nasional Negara Republik Indonesia yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, serta untuk menghormati dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.

Menurut Penulis, munculnya wacana law reform merupakan reaksi atas lemahnya law
enforcement dalam sistem hukum pidana di Indonesia. KUHAP sebagai Undang-
undang yang merupakan hukum acara bagi pelaksanaan hukum pidana materiil justru
berpotensi melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) melalui institusi penegak hukum
(impunitas). Impunitas merupakan salah satu pelanggaran HAM yang terjadi karena
selama ini pembangunan hukum di Indonesia selalu menggunakan Security
Approach[85].

Pemerintah melalui tangan-tangan institusi penegak hukum dipergunakan untuk


melancarkan jalannya pembangunan. Hal ini merupakan suatu kewajaran yang terjadi
pada Negara-Negara Dunia Ketiga seperti di Indonesia. Dengan adanya kebutuhan
seperti hal tersebut, sehingga political will dari Pembentuk Undang-Undang, hingga
saat ini masih belum terbentuk untuk melakukan pembaharuan terhadap sistem hukum
di Indonesia.

Terkait dengan legal reform, dalam ranah Hukum Perlindungan Anak, pembentuk
Undang-undang mencoba mengakomodir berbagai masukan dari berbagai pihak
terkait dengan kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam UU Pengadilan Anak,
sehingga disahkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Anak (UU SPA).

UU SPA ini merupakan salah satu wujud dari hukum sebagai sarana perubahan sosial
(law as a tools of social engineering), dimana semua pihak harus mulai mereformasi
pola pikirnya ketika berkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh Anak.

Pemberlakuan lembaga divertion (diversi) menjadi tolak ukur utama dalam


melakukan proses pemeriksaan terhadap anak sebagai pelaku, pun konsep
keseimbangan antara kebutuhan korban turut diatur sebagai wujud dari asas
keseimbangan.

Pembaharuan yang mendasar terlihat pula pada batasan usia dari anak sebagai pelaku
tindak pidana, dimana pada UU Pengadilan Anak batasan usia dimulai dari usia 8
tahun hingga 18 tahun, namun pasal terkait telah dilakukan uji materiil melalui
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 1/PUU-VIII/2010 Tahun 2010 yang menaikkan
batas minimal usia anak yang dapat dituntut pertanggung jawaban pidana menjadi 12
Tahun.

Pembaharuan lainnya adalah berkaitan dengan stigma Anak Nakal yang termuat di
dalam UU Pengadilan Anak, pada UU SPA diubah menjadi Anak yang Berhadapan
dengan Hukum (ABH). Ini merupakan pembaharuan yang sangat signifikan dalam
konsep Hukum Perlindungan Anak. Anak sebagai bagian dari kelompok yang rentan
dan labil, wajib dihindakan dari stigmatisasi negatif sehingga diharapkan tidak
mengganggu perkembangan mental dari si Anak.

 
1. Penerapan Konsep Keadilan Restorasi (Restorative Justice) Dalam Peradilan Anak

Semenjak diterapkannya Sistem Pemasyarakatan dalam melakukan pembinaan


terhadap pelaku-pelaku kejahatan yang sudah divonis bersalah melalui Pengadilan,
tingkat kejahatan tidak juga menurun, justru semakin bertambah dan terus bertambah.
Tidak sedikit pelaporan tindak pidana yang dilaporkan ke Kepolisian di seluruh
wilayah Indonesia.

Perimbangan antara jumlah SDM Polisi dengan pelaporan yang masuk menjadi salah
satu faktor terlukainya nilai-nilai keadilan di negeri ini. Pemerintah belum mampu
untuk memberikan dana operasional yang memadai bagi para Penyidik POLRI guna
menyelesaikan permasalahan yang dilaporkan, sehingga memunculkan kebiasaan-
kebiasaan yang kurang pantas di dalam proses penyidikan, misalnya dengan meminta
biaya tambahan kepada si pelapor, bahkan juga kepada Terlapor. Sehingga tak heran
jika terdapat perkara-perkara sepele yang dilaporkan namun tetap akan diproses
karena si Pelapornya termasuk golongan orang-orang “ber-Uang”.

Namun, perilaku tersebut tidak bisa disalahkan sepenuhnya kepada POLRI, hal ini
merupakan satu kesatuan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan.
Dimana sistem hukum di Indonesia, memang telah menciptakan aparat penegak
hukum hanya sebagai “toa masjid” saja. Apa isi undang-undang, itulah yang mereka
jalankan. Dan dapat dimaklumi, bahwa tidak semua polisi adalah lulusan sarjana
hukum pada awalnya. Sehingga sangat susah untuk diharapkan penanganan perkara
yang humanis.

Problematika tersebut bukan hanya ditingkat Kepolisian saja, bahkan hingga sampai
kepada tingkat Mahkamah Agung. Kewenangan untuk mengambil langkah-langkah
yang humanis, pada saat ini, telah diamanatkan oleh masing-masing payung
hukumnya. Namun kultur budaya di masing-masing institusi yang susah untuk
dirubah.

Kepolisian dan Kejaksaan telah diberikan kewenangan untuk melakukan diskresi


terhadap permasalahan-permasalahan yang bisa diselesaikan tanpa memperpanjang
konflik atau sengketa, namun sangat jarang digunakan kecuali ada keuntungan
finansial yang nyata. Hakim-hakim telah memiliki kewenangan untuk melakukan
penemuan dan penciptaan hukum, baik melalui Undang-undangnya maupun melalui
asas-asas ilmu hukum, namun sangat jarang Hakim mempergunakannya.

Pembahasan mengenai konsep restorative justice telah disinggung sedikit pada bab-
bab awal, dimana pengertian Restorative Justice (Keadilan Restoratif) adalah suatu
pendekatan keadilan yang memfokuskan kepada kebutuhan daripada para korban,
pelaku kejahatan, dan juga melibatkan peran serta masyarakat, dan tidak semata-mata
memenuhi ketentuan hukum atau semata-mata penjatuhan pidana. Dalam hal ini
korban juga dilibatkan di dalam proses, sementara pelaku kejahatan juga didorong
untuk mempertanggungjawabkan atas tindakannya, yaitu dengan memperbaiki
kesalahan-kesalahan yang telah mereka perbuat dengan meminta maaf,
mengembalikan uang telah dicuri, atau dengan melakukan pelayanan
masyarakat. Pendekatan Restorative justice memfokuskan kepada kebutuhan baik
korban maupun pelaku kejahatan. Di samping itu, pendekatan Restorative
Justice (Keadilan Restoratif) membantu para pelaku kejahatan untuk menghindari
kejahatan lainnya pada masa yang akan datang.

Hal ini didasarkan pada sebuah teori keadilan yang menganggap kejahatan dan


pelanggaran, pada prinsipnya adalah pelanggaran terhadap individu atau masyarakat
dan bukan kepada negara. Restorative Justice (Keadilan Restoratif)
menumbuhkan dialog antara korban dan pelaku akan menunjukan tingkat tertinggi
kepuasan korban dan akuntabilitas pelaku.

Konsep Restorative Justice (Keadilan Restoratif) pada dasarnya sederhana. Ukuran


keadilan tidak lagi berdasarkan pembalasan setimpal dari korban kepada pelaku (baik
secara fisik, psikis atau hukuman); namun perbuatan yang menyakitkan itu
disembuhkan dengan memberikan dukungan kepada korban dan mensyaratkan pelaku
untuk bertanggungjawab, dengan bantuan keluarga dan masyarakat bila diperlukan.

Dalam ke-Indonesia-an, maka diartikan bahwa Restorative Justice sendiri berarti


penyelesaian secara adil yang melibatkan pelaku, korban, keluarga dan pihak lain
yang terkait dalam suatu tindak pidana dan secara bersama mencari penyelesaian
terhadap tindak pidana dan implikasinya dengan menekankan pemulihan kembali
pada keadaan semula.

Pengenalan Restorative Justice (Keadilan Restoratif) di dalam sistem hukum


Indonesia masih bersifat parsial dan tidak komprehensif. Hal tersebut sebagaimana
diungkapkan oleh DS. Dewi sebagai berikut:

Penerapan Retorative Justice (keadilan restoratif) juga terlihat pada beberapa


kebijakan penegak hukum, diantaranya:

1. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 6 Tahun 1959, menyebutkan bahwa persidangan
anak harus dilakukan secara tertutup.
2. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 6 Tahun 1987, tanggal 16 November 1987
tentang Tata Tertib Sidang Anak.
3. Surat Edaran Jaksa Agung RI SE-002/j.a/4/1989 tentang Penuntutan terhadap Anak
4. Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum B-532/E/11/1995, 9 Nov 1995 tentang
Petunjuk Teknis Penuntutan Terhadap Anak
5. MOU 20/PRS-2/KEP/2005 DitBinRehSos Depsos RI dan DitPas DepKumHAM RI tentang
pembinaan luar lembaga bagi anak yang berhadapan dengan hukum
6. Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung RI MA/Kumdil/31/I/K/2005 tentang kewajiban setiap
PN mengadakan ruang sidang khusus & ruang tunggu khusus untuk anak yang akan
disidangkan
7. Himbauan Ketua MARI untuk menghindari penahanan pada anak dan mengutamakan
putusan tindakan daripada penjara, 16 Juli 2007
8. Peraturan KAPOLRI 10/2007, 6 Juli 2007 tentang Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA)
dan 3/2008 tentang pembentukan RPK dan tata cara pemeriksaan saksi&/korban TP
9. TR/1124/XI/2006 dari Kabareskrim POLRI, 16 Nov 2006 dan TR/395/VI/2008 9 Juni 2008,
tentang pelaksaan diversi danrestorative justice dalam penanganan kasus anak pelaku dan
pemenuhan kepentingan terbaik anak dalam kasus anak baik sebagai pelaku, korban atau
saksi
10. Kesepakatan Bersama antara Departemen Sosial RI Nomor : 12/PRS-2/KPTS/2009,
Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia RI Nomor : M.HH.04.HM.03.02 Th 2009,
Departemen Pendidikan Nasional RI Nomor 11/XII/KB/2009, Departemen Agama RI Nomor :
06/XII/2009, dan Kepolisian Negara RI Nomor : B/43/ XII/2009 tentang Perlindungan dan
Rehabilitasi Sosial Anak Yang Berhadapan dengan Hukum , tanggal 15 Desember 2009
11. Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI, Jaksa Agung RI, Kepala Kepolisian
Negara RI, Menteri Hukum Dan HAM RI, Menteri Sosial RI, Menteri Pemberdayaan
Perempuan Dan Perlindungan Anak RI, NO.166/KMA/SKB/XII/2009, NO.148 A/A/JA/12/2009,
NO. B/45/XII/2009, NO.M.HH-08 HM.03.02 Tahun 2009, NO. 10/PRS-2/KPTS/2009, NO.
02/Men.PP dan PA/XII/2009 tanggal 22 Desember 2009 tentang Penanganan Anak Yang
Berhadapan Dengan Hukum.
12. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak

Dalam hal ini, justru Penulis melihat bahwa penerapan Restorative Justice juga


terlihat dari Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Dimana
Sistem Pemasyarakatan bertujuan untuk mengembalikan Warga Binaan
Pemasyarakatan sebagai warga yang baik dan untuk melindungi masyarakat terhadap
kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh warga binaan serta merupakan
penerapan dan bagian yang tak terpisahkan dari nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila.

Namun, dari seluruh ketentuan yang ada, tidak lah merupakan satu kesatuan yang
utuh dan terkesan berdiri sendiri, serta tidak menyeluruh pada setiap tingkatan
pemeriksaan pada proses perkara pidana. Dimana hanya pada tindak pidana tertentu
saja ditekankan pendekatan Restorative Justice tersebut, dalam hal ini adalah
permasalahan hukum yang berkaitan dengan subyek hukumnya adalah Anak.

Salah satu wujud dari Restorative Justice adalah dimunculkannya lembaga penal


mediation, yaitu penyelesaian perkara pidana melalui jalur mediasi. Namun demikian,
tidaklah semua jenis tindak pidana yang dapat diselesaikan melalui penal mediation.

Penal Mediation sebagai konsekuensi dianutnya konsep reastorative justice lebih


memfokuskan kepada penyelesaian perkara pidana di luar persidangan yang berskala
kecil atau memiliki nominal yang kecil. Hal ini pada dasarnya juga sudah berlaku
namun hanya pada perkara-perkara yang tergolong kepada tindak pidana ringan,
namun hingga saat ini, dalam praktek yang termasuk ke dalam tindak pidana ringan
hanyalah pelanggaran lalu lintas. Dimana Polri cq Polantas, lebih sering
menggunakan diskresi dalam menyelesaikan pelanggaran lalu lintas.

Penal mediation juga nampak pada perkara-perkara yang bersifat aduan atau delik
aduan. Dimana pencabutan pengaduan oleh pihak Pelapor, tak jarang, pihak Penyidik
memberikan saran agar tercipta perdamaian, sehingga laporan dapat dicabut.
Walaupun inisiatif tersebut tetap dilatarbelakangi oleh nilai nominal yang diharapkan
oleh Penyidik hanya sebagai penggantian uang lelah dan uang kertas, namun hal-hal
tersebut patut diapresiasi.

Fenomena hukum yang terjadi sepanjang tahun 2010 s/d tahun 2012 ini, dimana
muncul perkara-perkara yang bernilai kecil namun tetap dilanjutkan proses
penyidikannya, dengan dalih pihak pelapor enggan mencabut laporannya, sehingga
tidak dapat diselesaikan dengan damai. Kita tentu masih ingat perkara Sandal Jepit di
Palu, perkara pencurian buah Cacao oleh Nenek Minah ataupun perkara pencurian
piring di Bekasi. Perkara-perkara tersebut tentu sangat berbanding terbalik dengan
perkara-perkara korupsi yang marak dibicarakan. Sangat sedikit orang-orang akan
membicarakan perkara tersebut karena nominalnya sangat kecil, namun dikarenakan
media massa berani meng-ekspose, sehingga ramai dibicarakan oleh banyak pihak.

Penyidik seharusnya dapat menempatkan dirinya sebagai seorang mediator dalam


membangun komunikasi antara pelaku dengan korban demi mencapai rasa keadilan
dan kemanfaatan bagi semua pihak. Namun, Penyidik lebih senang larut dalam emosi
balas dendam (retributive justice theory) dari korban dengan berlindung pada dua hal
yaitu:

1. Apa yang dilakukan oleh Penyidik sudah sesuai dengan amanat Undang-undang; dan
2. Kewenangan Penyidik dalam menghentikan perkara dibatasi syaratnya oleh KUHAP

Disertai dalil pembenaran, yaitu:

1. Seberapa seringkah pelaku melakukan tindak pidana secara berulang-ulang?


2. Penal Mediationakan menjadi preseden yang buruk bagi calon pelaku lainnya.

Secara yuridis formal, apa yang dilakukan oleh Penyidik memang memenuhi asas
kepastian hukum. Bahwa baik KUHAP maupun UU Kepolisian tidak memberikan
kewenangan untuk menghentikan perkara, kecuali atas 3 (tiga) syarat, yaitu:

1. Perkara tersebut bukanlah merupakan tindak pidana;


2. Tindak pidana yang terjadi tidak cukup bukti untuk dilanjutkan pemeriksaannya; dan
3. Tersangka atau Terlapor meninggal dunia.

Namun demikian, baik KUHAP maupun UU Kepolisian memberikan ruang gerak


yang cukup untuk melakukan diskresi dengan dasar demi kepentingan umum.[86]

Kondisi yang sama juga terjadi pada ranah penuntutan yaitu pada lembaga Kejaksaan.
Sebagaimana layaknya lembaga pemerintahan, dalam ranah Hukum Administrasi
Negara, Kejaksaan pun memiliki kewenangan untuk menghentikan penuntutan
dengan alasan demi kepentingan umum, yaitu melalui Surat Keputusan Penghentian
Penuntutan (SKP2).

Karena syarat untuk melakukan diskresi baik pada Penyidikan dan Penuntutan adalah
“demi kepentingan umum” maka seringkali terjadi penafsiran negatif yang
dilandaskan kepada kepentingan “finansial”.

Karena hingga saat ini, baik melalui peraturan perundang-undangan nasional maupun
internasional, tidak pernah ada definisi yang mampu menggambarkan secara
gamblang dengan apa yang dimaksud dengan “demi kepentingan umum” tersebut.

Restorative Justice pada prinsipnya memberikan batasan yang cukup bagi para
penegak hukum untuk mendeskripsikan frase “demi kepentingan umum” tersebut,
yaitu dengan membangun komunikasi antara pelaku, korban dan penegak hukum agar
menghasilkan output yang bermanfaat bagi semua pihak.

Integrated Criminal Justice System (ICJS) atau dikenal dengan nama Sistem Peradilan
Pidana Terpadu (SPPT) merupakan suatu sistem peradilan pidana yang merupakan
pemukhtahiran Sistem Peradilan Pidana (SPP). Perbedaan antara SPPT dengan SPP
tersebut terletak pada kata “Terpadu”. Sehingga menunjukkan bahwa SPP yang
selama ini dianut oleh seluruh institusi penegak hukum, tidaklah mampu memberikan
akses kepada pihak-pihak yang terkait.

Di dalam SPP merupakan suatu sistem peradilan perkara pidana yang antara satu
institusi dengan institusi yang lainnya tidak terkoneksi/terhubung, sehingga seolah-
olah masing-masing pihak berjalan sendiri-sendiri berdasarkan platform-nya masing-
masing. Dimana dalam SPP hanya dibatasi kepada institusi penegak hukum secara
formal, yaitu Kepolisian, Kejaksaan dan Mahkamah Agung.

Prinsip-prinsip dasar dari ICJS sebenarnya sudah mulai diperkenal oleh para pakar
hukum masa lampau. Dimana yang paling terkenal adalah pendapat dari Soerjono
Soekanto dengan faktor-faktor yang mempengaruhi law enforcement, yaitu terdiri
dari:

1. Hukum itu sendiri;


2. Sarana dan Prasarana;
3. Institusi Penegak Hukum;
4. Masyarakat; dan
5.

Dari kelima elemen tersebut tidaklah berjalan masing-masing, namun harus


terintegrasi dan saling bekerja sama dalam sistem koordinasi yang dibangun pada
landasan yuridis yang kuat.

Berdasarkan pendapat Beliau, kita sudah jelas melihat adanya susupan dari
teori restorative justice, dimana perlu dibangunanya kerjasama antara intitusi penegak
hukum dengan masyarakat disertai dengan alasan sosiologis (unsur budaya) yang
mempengaruhi proses law enforcement.

Sehingga di dalam ICJS, Penulis melihat adanya penghormatan terhadap budaya lokal
yang hidup dan berkembang di masyarakat yang patut untuk dijadikan bahan
pertimbangan.

Salah satu fenomena hukum yang menarik dalam mewujudkan ICJS melalui
penerapan restorative justice adalah dengan dikeluarkannya Peraturan Mahkamah
Agung RI Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan
Dan Jumlah Denda Dalam KUHP. PERMA ini dikeluarkan atas dasar berbagai
fenomena hukum yang mengusik rasa keadilan masyarakat berkaitan dengan perkara
tindak pidana yang memiliki kualifikasi ringan, namun masih terus diproses
pemeriksaannya.

Namun, jika kita baca PERMA tersebut, maka PERMA tersebut hanya bertitik berat
kepada apakah pelaku dapat dilakukan penahanan atau tidak? PERMA tersebut hanya
mengikat Hakim untuk melakukan penahanan bagi pelaku tindak pidana ringan (lichte
misdrijven). Bahwa Hakim dilarang memberikan perpanjangan penahanan ataupun
menahan. Namun pada pemeriksaan tingkat Penyidikan dan Penuntutan, masih dapat
dilakukan penahanan.
Konsep law enforcement dari Soerjono Soekanto, yang Penulis yakini sebagai
penjabaran dalam bentuk lain dari konsep restoratif justice, pada saat ini hanya
diadopsi secara parsial. Dimana legal reform hanya terjadi pada UU SPA, namun
tidak menyeluruh di dalam sistem hukum pidana di Indonesia. Hal ini patut
dimaklumi, bahwa merubah sistem peradilan Anak memang nampak lebih mudah
dibandingkan merubah keseluruhan sistem peradilan pidana. Hal tersebut dikarenakan
penerapan restorative justice dan penal mediation, dalam bentuk divertion
(diversi/pengalihan), hanya berkaitan dengan anak baik sebagai pelaku, korban
ataupun saksi. Tidak ada kepentingan yang lebih besar dari tindak pidana anak, selain
menyelamatkan masa depan si anak.

Sehingga Penulis lebih memandang bahwa penerapan restorative justice dalam UU


SPA hanya merupakan bargaining dari tuntutan yang lebih besar, yaitu legal reform
SPP menuju SPPT.

Pada Pasal 1 angka 7 UU SPA ditegaskan bahwa Diversi adalah pengalihan


penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan
pidana. Namun demikian, penerapan lembaga Diversi ini tetap dilakukan secara
terbatas.

Dalam setiap proses pemeriksaan, pada Kepolisian, kejaksaan dan Pengadilan, harus
diterapkan terlebih dahulu proses Diversi. Namun terbatas kepada tindak pidana yang
diancam di bawah 7 (tujuh) tahun. Penerapan lembaga Diversi hanya kepada tiga
lembaga, kecuali Pengadilan Banding dan Kasasi, dapat dimaklumi. Hal tersebut
dikarenakan sifat dari Pengadilan Negeri yang merupakan lembaga judex facti
sedangkan pada tingkat Banding dan Kasasi merupakan lembaga judex jurist.

Namun demikian terdapat kelemahan dari penerapan lembaga Diversi tersebut,


dimana dalam setiap proses nya wajib dilakukan Diversi yang berakibat berlarut-
larutnya pemeriksaan perkara anak. Hal ini akan nampak pada kewajiban melakukan
Diversi dan kemungkinan gagalnya proses Diversi dari tiap-tiap tingkat pemeriksaan.

Penulis lebih sependapat jika proses Diversi hanya ada di dua tingkat proses, yaitu
tingkat Penyidikan Kepolisian dan tingkat Pengadilan Negeri. Hal ini dilandaskan
kepada adanya kewajiban bagi Kejaksaan untuk memantau proses penyidikan di
Kepolisian berdasarkan adanya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP)
dari Penyidik ke Kejaksaan. Sehingga peranan Jaksa dapat ditarik sebagai pihak
dalam proses Diversi dalam proses Penyidikan di Kepolisian.

Sedangkan proses Diversi pada Pengadilan Negeri dapat kita jumpai pula dalam
sistem Hukum Acara Perdata, yang mewajibkan adanya mediasi sebelum perkara
pokok diperiksa. Sehingga karena kemiripan ini, kemudian UU SPA mensyaratkan
pelaksanaan Diversi dilakukan pada ruang mediasi di Pengadilan Negeri.

DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku

Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2002.
__________________, dan Muladi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung,
Penerbit Alumni, 1992.

________________, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan


Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998

Atmasasmita, Romli, Problem Kenakalan Anak-anak Remaja, Bandung: Armico,


1983.

Braitwaite, John, Restorative Justice and Responsive Regulation, London: Oxford


University Press, 2002.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:


Balai Pustaka, 1991

Friedman, Lawrence M., American Law, New York: W.W. Norton & Company, 1930

Friedrich, Carl Joachim, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Bandung: Nuansa dan
Nusamedia, 2004.

Gray, John, Children are from Heaven, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001.

Gultom, Maidin, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan


Pidana Anak di Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2008.

Gosita, Arif, Masalah Korban Kejahatan, Jakarta: Akademika Pressindo, 1993

Goesniadhie, Kurnu, Harmonisasi Hukum Dalam Perspektif Perundang-Undangan


(Lex Spesialis Suatu Masalah), Surabaya: JP Books, 2006.

Hadisuprapto, Paulus, Juvenile Deliquency Pemahaman Dan Penanggulangannya,


Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997.

Hartono, Siti Sumarti, Penuntunan Dalam Mempelajari Hukum Perdata Belanda.


Bagian Umum, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1993.

Hasan, Wadong, Maulana, Advokasi Dan Hukum Perlindungan Anak, Jakarta:


Grasindo, 2000.

Joni, M., dan Zulchaina Z.Tanamas, Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam
Perspektif Konvensi Hak Anak, Bandung: Citra Adytia Bakti, 1999.

Kartono, Kartini, Psikologi Remaja. Bandung : Rosda Karya, 1988

_____________, Pathologi Sosial (2). Kenakalan Remaja, Jakarta: Rajawali Pers,


1992.

Liebmann, Marian, Restorative Justice: How it Works, London and Philadelphia:


Jessica Kingsley Publishers, 2007
Mertokusumo, Sudikno, Penemuan Hukum, Yogyakarta: Liberty, 2004.

Mulyadi, Lilik, Pengadilan Anak di Indoneia. Teori, Praktek dan Permasalahannya,


Bandung: Mandar Maju, 2005

Muladi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: Penerbit Alumni, 1992

Prakoso, Djoko, Kedudukan Justisiabel di dalam KUHAP, Jakarta: Ghalia Indonesia,


1986

Prinst, Darwin, Hukum Anak Indonesia, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003

Rover, C. De, To Serve And To Protect, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000

Sambas, Nandang, Pembaharuan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia, Yogyakarta:


Graha Ilmu, 2010.

Setyowati, Irma, Aspek Hukum Perlindungan anak di Indonesia, Jakarta: Bumi


Aksara, 1990.

Soekanto, Soerjono, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: RajaGrafindo, 1997.

_______________, Bahan Bacaan Teoritis Dalam Sosiologi Hukum, Jakarta: Ghalia


Indonesia, 1985.

Soetodjo, Wagiati, Hukum Pidana Anak, Bandung: PT. Refika Aditama, 2006

Shidarta, et.al., Mochtar Kusuma-Atmadja Dan Teori Hukum Pembangunan.


Eksistensi dan Implikasi, Jakarta: Epistema Institute, 2012.

Sudarto, Hukum Dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1986

______, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1986.

______, Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia, Jakarta: Bina Cipta, 1986.

Sudarsono, Kenakalan Remaja, Jakarta: Rineka Cipta, 1991.

Supramono, Gatot, Hukum Acara Pengadilan Anak, Jakarta: Djambatan, 2005

Sutanto, Retnowulan, Hukum Acara Peradilan Anak, Makalah Seminar Nasional


Peradilan Anak, Bandung: Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Hotel Panghegar,
5 Oktober 1996

UNICEF, Child Protection Information Sheet, Child Protection INFORMATION


Sheet, 2006.

Artikel & Makalah


Ediwarman, Peradilan Anak di Persimpangan Jalan dalam Prespektif Victimology
(belajar dari kasus Raju), Vol.18 No. 1, April 2006, Jurnal Mahkamah, Pekan baru,
2006.

Barda Nawawi Arief, “Masalah perlindungan anak “, Makalah Seminar Nasional


Perlindungan anak, diselenggarakan UNPAD, Bandung: Hotel Panghegar, tanggal 5
Oktober 1996.

Absori, Perlindungan Hukum Hak-Hak Anak Dan Implementasinya di Indonesia pada


Era Otonomi Daerah, Jurnal Jurisprudence, Vol. 2, No. 1, Maret 2005.

Siti Ismijati Jenie, Itikad Baik, Perkembangan Dari Asas Hkm Khusus Menjadi Asas
Hukum Umum di Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas
Hukum Universitas Gadjah Mada, diucapkan di depan Rapat Terbuka Majelis Guru
Besar Universitas Gadjah Mada pada tanggal 10 September 2007 di Yogyakarta

Varia Peradilan No. 122 Tahun 1999

Ahmad Bahiej, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia. (Telaah atas Rancangan


Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia), Makalah ini disampaikan pada
kajian rutin Pusat Studi dan Konsultasi Hukum (PSKH) Fakultas Syari’ah IAIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta tanggal 29 Desember 2003.

Setyo Utomo, Sistem Pemidanaan Dalam Hukum Pidana Yang Berbasis Restorative
Justice, Makalah disampaikan dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD) tentang
“POLITIK PERUMUSAN ANCAMAN PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG
DI LUAR KUHP”, diselenggarakan oleh Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum
Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan
HAM (Kemenkumham), di Jakarta, tanggal 21 Oktober 2010

Arief Gosita, Pengembangan Aspek Hukum Undang-undang Peradilan Anak dan


Tanggung Jawab Bersama, Makalah Seminar Nasional Perlindungan Anak,
diselenggarakan Oleh UNPAD, Bandung, 5 Okober 1996.

Internet

Rusmilawati Windari, Perlindungan Anak Berdasarkan Undang-Undang Di


Indonesia Dan Beijing Rules, Sumber:
http://rusmilawati.wordpress.com/2010/01/25/perlindungan-anak-berdasarkan-
undang-undang-di-indonesia-dan-beijing-rules-oleh-rusmilawati-windarish-mh/,
diakses 5 Desember 2012.

Jeremy Betham, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation, 1781,


Sumber: http://www.utilitarianism.com/jeremy-bentham/index.html, diakses tanggal 5
Desember 2012.

Lilik Mulyadi, Teori Hukum Pembangunan. Sebuah Kajian Deskriptif Analitis,


Sumber: http://www.pn-pandeglang.go.id/attachments/125_kajian%20deskriptif
%20analitis%20teori% 20hukum%20pembangunan.pdf, diakses tanggal 5 Desember
2012.
Muchamad Iksan, Dasar-Dasar Kebijakan Hukum Pidana Berperspektif Pancasila,
Sumber: http://hukum.ums.ac.id/index.php?
pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=45#_ftn1, diakses tanggal 26 Juni 2012

“Pembenahan Sistem Dan Politik Hukum”, Sumber: www.bappenas.go.id/get-file-


server/node/152/, diakses tanggal 12 Juli 2012.

Rachmayanthy, Litmas Pengadilan Anak Berkaitan Dengan Proses Penyidikan,


Sumber: http://bimkemas.kemenkumham.go.id/attachments/article/247/LITMAS
%20PENGADILAN%20ANAK%20BERKAITAN%20DENGAN%20PROSES
%20PENYIDIKAN.pdf, diakses pada tanggal 21 November 2012.

MaPPI FHUI, “Pengadilan Anak”, dapat diakses pada:


http://www.pemantauperadilan.com/detil/detil.php?id=203&tipe=kolom

“Kriminogen”, Sumber: http://crimecare.blogspot.com/2008/06/kriminogen.html,


diakses tanggal 17 November 2012.

“Sejarah Hukum Convention on the Rights of the Child (Konvensi Hak Anak)”,
Sumber: http://ngobrolinhukum.wordpress.com/2011/05/12/sejarah-hukum-
convention-on-the-rights-of-the-child-konvensi-hak-hak-anak/, diakses tanggal 17
November 2012.

“Quo Vadis Implementasi Restorasi Justice Dalam Penanganan Anak Bermasalah


Dengan Hukum”, Sumber: http://komnaspa.wordpress.com/2012/04/05/quo-vadis-
implementasi-restorasi-justice-dalam-penanganan-anak-bermasalah-dengan-hukum/,
diakses tanggal 17 November 2012.

“Asas Hukum”, sumber : http://statushukum.com/asas-hukum.html, diakses tanggal 28


November 2012.

Rudi Pradisetia, “Asas-Asas Hukum Di Indonesia”, Sumber:


http://rudipradisetia.blogspot.com/2010/09/asas-asas-hukum-di-indonesia-
dianjukan.html, diakses pada tanggal 28 November 2012.

Rocky Marbun, “Membangun restorative justice dan penal mediation dalam sistem
peradilan pidana di Indonesia”, Sumber:
http://forumduniahukumblogku.wordpress.com/2012/08/22/membangun-restorative-
justice-dan-penal-mediation-dalam-sistem-peradilan-pidana-di-indonesia/#more-642

Lushiana Primasari, Keadilan Restoratif Dan Pemenuhan Hak Asasi Bagi Anak Yang
Berhadapan Dengan Hukum, Sumber:
http://lushiana.staff.uns.ac.id/files/2010/07/keadilan-restoratif-bagi-anak-yang-
berhadapan-dengan-hukum.pdf, diakses tanggal 17 November 2012.

“Peranan BAPAS Dalam Menangangi Anak Serta Hubungannya Dengan


PihakPEnegak Hukum Terkait”, Sumber:
http://bimkemas.kemenkumham.go.id/berita/bapas-dan-lapas-anak/111-bapas-klas-ii-
bogor/192-peranan-bapas-dalam-menangani-anak-serta-hubungannya-dengan-pihak-
penegak-hukum-terkait, diakses tanggal 5 Desember 2012.
Abhy Maulana, “Peranan Hakim Dalam Peradilan Pidana”, Sumber:
http://abhymaulana-initulisanku.blogspot.com/2012/03/peran-hakim-dalam-peradilan-
pidana.html, diakses tanggal 5 Desember 2012.

Undang-Undang

UU No. 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2


Tahun 1986 tentang Peradilan Umum,sedangkan perubahan pertama melalui Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2004.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-


Undangan.

International Covenant of Civil and Political Rights (ICCPR) yang diratifikasi dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005

International Covenant of Economis, Social and Cultural Rights (ICESCR) yang


diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005

[1] Soerjono Soekamto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: RajaGrafindo,


1997), hlm. 99.

[2] Ediwarman, Peradilan Anak di Persimpangan Jalan dalam Prespektif Victimology


(belajar dari kasus Raju), Vol.18 No. 1, April 2006, Jurnal Mahkamah, Pekan baru,
2006, hlm.8.

[3] Nandang Sambas, Pembaharuan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia,


(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), hlm. 103.

[4] Gatot Supramono, Hukum Acara Pengadilan ANak, (Jakarta: Djambatan, 2005),
hlm. 1

[5] Kartini Kartono, Psikologi Remaja. (Bandung : Rosda Karya, 1988), hlm. 93

[6] Soerjono Soekanto, Bahan Bacaan Teoritis Dalam Sosiologi Hukum, (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1985), hlm. 73.

[7] Lushiana Primasari, Keadilan Restoratif Dan Pemenuhan Hak Asasi Bagi Anak
Yang Berhadapan Dengan Hukum, Sumber:
http://lushiana.staff.uns.ac.id/files/2010/07/keadilan-restoratif-bagi-anak-yang-
berhadapan-dengan-hukum.pdf, diakses tanggal 17 November 2012.

[8] Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan
Pidana Anak di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2008), hlm. 1.

[9] Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2006),
hlm. 17
[10] Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2002), hlm. 9

[11] Rachmayanthy, Litmas Pengadilan Anak Berkaitan Dengan Proses Penyidikan,


Sumber: http://bimkemas.kemenkumham.go.id/attachments/article/247/LITMAS
%20PENGADILAN%20ANAK%20BERKAITAN%20DENGAN%20PROSES
%20PENYIDIKAN.pdf, diakses pada tanggal 21 November 2012.

[12] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,


(Jakarta: Balai Pustaka, 1991), hlm. 219

[13] Sudarsono, Kenakalan Remaja, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), hlm. 10.

[14] Kartini Kartono, Pathologi Sosial (2). Kenakalan Remaja, (Jakarta: Rajawali
Pers, 1992), hlm. 7

[15] Romli Atmasasmita, Problem Kenakalan Anak-anak Remaja, (Bandung: Armico,


1983), hlm.40

[16] Gatot Supramono, Op.cit, hlm. 9

[17] John Gray, Children are from Heaven, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2001), hlm. 1.

[18] Lilik Mulyadi, Pengadilan Anak di Indoneia. Teori, Praktek dan


Permasalahannya, (Bandung: Mandar Maju, 2005), hlm. 8

[19] Darwin Prinst, Hukum Anak Indonesia, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003),
hlm. 4

[20] Lilik Mulyadi, Op.cit, hlm. 9.

[21] Darwin Prinst, Op. cit., hlm. 5

[22] Saat ini UU Peradilan Umum telah mengalami perubahan yang kedua melalui
UU No. 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1986 tentang Peradilan Umum,sedangkan perubahan pertama melalui Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2004.

[23] Darwan Prinst, Op.cit, hlm. 8

[24] Lilik Mulyadi, Op. cit., hlm. 11

[25] Dibentuk dengan Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan


Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR)

[26] Dibentuk dengan Undang- Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang


Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI)

[27] Darwin Prinst, Op. Cit., hlm. 13


[28] Penulis berpendapat bahwa sistem peradilan tersebut merupakan satu kesatuan
rangkaian proses mulai dari proses penyidikan di Kepolisian hingga eksekusi putusan
pengadilan.

[29] Lilik Mulyadi, Op.cit., hlm.

[30] Paulus Hadisuprapto, Juvenile Deliquency Pemahaman Dan


Penanggulangannya, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hlm. 8

[31] Djoko Prakoso, Kedudukan Justisiabel di dalam KUHAP, (Jakarta: Ghalia


Indonesia, 1986), hlm. 3

[32] Romli Atmasasmita Problema Kenakalan Anak-Anak dan Remaja, (Bandung,


Amico, 1986), hlm. 34

[33] Djoko Prakoso, Kedudukan Justisiabel di dalam KUHAP, (Jakarta: Ghalia


Indonesia, 1986), hlm. 84

[34] C. De Rover, To Serve And To Protect, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000),
hlm. 369

[35] “A juvenile is a child or young person who, under the respective legal systems,
may bedealt with for an offence in a manner which is different from an adult.”

[36] Maulana Hasan Wadong, Advokasi Dan Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta:
Grasindo, 2000), hlm. 24.

[37] Indonesia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan


Anak, Pasal 1 angka 3

[38] Ibid., Pasal 1 angka 4

[39] Ibid., Pasal 1 angka 5

[40] UNICEF, Child Protection Information Sheet, Child Protection INFORMATION


Sheet, 2006, hlm. 19.

[41] Teks Asli: A juvenile offender is a child or young person who is alleged to have
committed or who has been found to have committed an offence

[42] Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 2004), hlm. 4.

[43] Ibid., hlm. 5.

[44] Siti Sumarti Hartono, Penuntunan Dalam Mempelajari Hukum Perdata Belanda.
Bagian Umum, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1993), hlm. 89.

[45] Sudikno Mertokusumo, Loc.cit


[46] Siti Ismijati Jenie, Itikad Baik, Perkembangan Dari Asas Hkm Khusus Menjadi
Asas Hukum Umum di Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, diucapkan di depan Rapat Terbuka
Majelis Guru Besar Universitas Gadjah Mada pada tanggal 10 September 2007 di
Yogyakarta, hlm. 3

[47] Sudikno Mertokusumo, Op.cit., hlm. 6.

[48] Shidarta, et.al., Mochtar Kusuma-Atmadja Dan Teori Hukum Pembangunan.


Eksistensi dan Implikasi, (Jakarta: Epistema Institute, 2012), hlm. 19.

[49] Muladi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: Penerbit Alumni, 1992, hlm.
113

[50] Barda Nawawi Arief, “Masalah perlindungan anak “, Makalah Seminar Nasional
Perlindungan anak, diselenggarakan UNPAD, Bandung: Hotel Panghegar, tanggal 5
Oktober 1996, hlm. 13

[51] Muladi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: Penerbit Alumni, 1992, hlm.
114

[52] Darwin Prinst, Hukum Anak Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2003),
hlm. 15.

[53] Lihat Pasal 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Anak

[54] Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1993),
hlm. 50

[55] Roscoe Pound, An Introduction to the Philosophy of Law, (terj. Mohamad


Radjab), (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1982), hlm. 6-7.

[56] Jeremy Betham, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation,


1781, Sumber: http://www.utilitarianism.com/jeremy-bentham/index.html, diakses
tanggal 5 Desember 2012.

[57] Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, (Bandung: Nuansa
dan Nusamedia, 2004), hlm. 239.

[58] Lilik Mulyadi, Teori Hukum Pembangunan. Sebuah Kajian Deskriptif Analitis,
Sumber: http://www.pn-pandeglang.go.id/attachments/125_kajian%20deskriptif
%20analitis%20teori% 20hukum%20pembangunan.pdf, diakses tanggal 5 Desember
2012.

[59] Ajaran Legismen berpendapat bahwa kedudukan pengadilan adalah pasif dan
hanya sebagai “terompet undang-undang” (la bounche de la loi).

[60] Lihat Pasal 5 ayat (1) UU No. 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang
menegaskan sebagai berikut:
[61] John Braitwaite, Restorative Justice and Responsive
Regulation, (London: Oxford University Press, 2002), hlm. 10.
[62] Marian Liebmann, Restorative Justice: How it Works, (London and Philadelphia:
Jessica Kingsley Publishers, 2007), hlm. 25

[63] Absori, Perlindungan Hukum Hak-Hak Anak Dan Implementasinya di Indonesia


pada Era Otonomi Daerah, Jurnal Jurisprudence, Vol. 2, No. 1, Maret 2005, hlm. 80.

[64] Arief Gosita, Pengembangan Aspek Hukum Undang-undang Peradilan Anak dan
Tanggung Jawab Bersama, Makalah Seminar Nasional Perlindungan Anak,
diselenggarakan Oleh UNPAD, Bandung, 5 Okober 1996, hlm. 1

[65] Ibid., hlm. 14

[66] Ibid, hlm. 6

[67] Ibid, hlm. 7

[68] Maulana Hassan Wadong, Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak,
(Jakarta: Gramedia Indonesia, 2000), hlm. 40

[69] Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Dan


Pengembangan Hukum Pidana, (Bandung:  Citra Aditya Bakti, 1998), hlm. 156

[70] Retnowulan Sutanto, Hukum Acara Peradilan Anak, Makalah Seminar Nasional
Peradilan Anak, Bandung: Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Hotel Panghegar,
5 Oktober 1996, hlm. 3

[71] Sudarto, Hukum Dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986), hlm. 62

[72] Muchamad Iksan, Dasar-Dasar Kebijakan Hukum Pidana Berperspektif


Pancasila, Sumber: http://hukum.ums.ac.id/index.php?
pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=45#_ftn1, diakses tanggal 26 Juni 2012

[73] Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2002), hlm. 21-22

[74] Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986), hlm. 113-114

[75] Barda Nawawi Arief, Loc.cit

[76] Lihat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan


Perundang-Undangan, perhatikan Pasal 5 huruf c jo Pasal 6 ayat (1)huruf j.

[77] “Pembenahan Sistem Dan Politik Hukum”, Sumber: www.bappenas.go.id/get-


file-server/node/152/, diakses tanggal 12 Juli 2012.

[78] Suatu sistem adalah suatu susunan atau tatanan yang teratur, suatu keseluruhan
yang terdiri dari bagian-bagian berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu
rencana atau pola, hasil dari suatu pemikiran untuk mencapai suatu tujuan. Sistem
berarti tatanan dimana segenap unsur dan segenap bagian yang adadari sesuatu terkait
dalam kesatuan yang logis. Lihat dalam Varia Peradilan No. 122 Tahun 1999, hlm.
146

[79] Kurnu Goesniadhie, Harmonisasi Hukum Dalam Perspektif Perundang-


Undangan (Lex Spesialis Suatu Masalah), (Surabaya: JP Books, 2006), hlm. 72.

[80] Lawrence M. Friedman, American Law, (New York: W.W. Norton & Company,
1930), hlm. 5-6

[81] Ahmad Bahiej, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia. (Telaah atas


Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia), Makalah ini
disampaikan pada kajian rutin Pusat Studi dan Konsultasi Hukum (PSKH) Fakultas
Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tanggal 29 Desember 2003.

[82] Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan
Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998), hlm. 133

[83] Sudarto, Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia, (Jakarta: Bina Cipta,1986),


hlm. 27.

[84] Setyo Utomo, Sistem Pemidanaan Dalam Hukum Pidana Yang Berbasis
Restorative Justice, Makalah disampaikan dalam kegiatan Focus Group Discussion
(FGD) tentang “Politik Perumusan Ancaman Pidana Dalam Undang-Undang Di Luar
KUHP”, diselenggarakan oleh Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional
Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan HAM
(Kemenkumham), di Jakarta, tanggal 21 Oktober 2010

[85] Pendekatan pembangunan yang mengutamakan “Security Approach” selama


lebih kurang 32 tahun orde baru berkuasa “Security Approach” sebagai kunci menjaga
stabilitas dalam rangka menjaga kelangsungan pembangunan demi pertumbuhan
ekonomi nasional. Pola pendekatan semacam ini, sangat berpeluang menimbulkan
pelanggaran hak asasi manusia oleh pemerintah, karena stabilitas ditegakan dengan
cara-cara represif oleh pemegang kekuasaan.

[86] Diskresi tidak dapat dilakukan dengan alasan kekosongan hukum. Asas diskresi
hanya dapat digunakan untuk mengisi kekosongan dalam tataran tehnis semata, dan
bukan bersifat yuridis formal.

Anda mungkin juga menyukai