Anda di halaman 1dari 38

PERAN KEPOLISIAN TERHADAP PENANGANAN

KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK DI ERA PANDEMI


COVID-19
MATA KULIAH: METODE PENELITIAN KUALITATIF DAN KUANTITATIF
Dosen: Prof. Dr. Subagyo Adam, Drs.,M.S.

OLEH:

FRANSISCA FEBRINA SIBURIAN NIM : 092114853010

PROGRAM STUDI MAGISTER


KAJIAN ILMU KEPOLISIAN
SEKOLAH PASCARJANA
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2021
1. LATAR BELAKANG
Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang
senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak
sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari
hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dalam Pasal 28b
ayat 2 menyatakan bahwa “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan
berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi dan
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak”. Dari sisi kehidupan
berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-
cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan
berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan
diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan. Berdasarkan UU tentang Perlindungan
Anak maka semua pihak baik pemerintah, orang tua, keluarga maupun masyarakat
wajib memberikan perlindungan kepada anak dari segala tindakan yang akan
merugikan anak. Meskipun sudah adalah peraturan yang memberikan jaminan untuk
melindungi anak, namun fakta membuktikan bahwa peraturan tersebut belum dapat
melindungi anak dari tindakan kekerasan. Hal ini dapat kita lihat bahwa kekerasan
yang terjadi terhadap anak tiap tahun mengalami peningkatan.
Menurut WHO, kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan,
ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang
(masyarakat) yang mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan memar
atau trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan, atau perampasan
hak.10 Kekerasan merupakan perilaku yang tidak sah atau perlakuan yang salah.
Kekerasan dapat diartikan sebagai perbuatan yang menyebabkan cedera atau matinya
orang lain dan menyebabkan kerusakan fisik pada orang lain. Kekerasan yang
mengakibatkan terjadinya kerusakan adalah kekerasan yang bertentangan dengan
hukum. Oleh karena itu, kekerasan dapat dikatakan sebuah kejahatan.
Kekerasan umumnya ditujukan kepada kelompok yang dianggap lemah.
Anak merupakan salah satu kelompok yang rentan mendapatkan perilaku kekerasan.
Manusia disebut sebagai anak dengan pengukuran atau batasan usia. Kondisi ini
tercermin dari perbedaan batasan usia di setiap negara. Setiap negara diberikan
peluang untuk menentukan berapa usia manusia yang dikategorikan sebagai anak. Di
Amerika Serikat menentukan batas umur antara 8-18 tahun dikatakan anak, Australia
di menentukan batas umur 8-16 tahun dikatakan anak, Inggris menentukan antara 12-
16 tahun disebut sebagai anak, Srilangka anak 8-16 tahun, Jepang dan Korea 14-20
tahun, Taiwan menentukan batasan anak 14-18 tahun, Kamboja batas usia anak 15-18
tahun, dan negara-negara ASEAN untuk Malaysia 7-18 tahun, Singapura 7-16
tahun.13 Sedangkan di negara Indonesia, berdasarkan Undang-Undang Perlindungan
Anak No 23 Tahun 2002, bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun
termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Kekerasan terhadap anak adalah semua bentuk/tindakan perlakuan


menyakitkan secara fisik ataupun emosional, penyalahgunaan seksual, trafiking,
penelantaran, eksploitasi komersial termasuk eksploitasi seksual komersial anak yang
mengakibatkan cidera/kerugian nyata ataupun potensial terhadap kesehatan anak,
kelangsungan hidup anak, tumbuh kembang anak atau martabat anak, yang dilakukan
dalam konteks hubungan tanggung jawab, kepercayaan atau kekuasaan. Kekerasan
terhadap anak termasuk dalam perbuatan disengaja yang dapat menimbulkan
kerugian atau bahaya terhadap anak secara fisik maupun emosional. Menurut Baker,
kekerasan terhadap anak adalah tindakan melukai yang berulang - ulang secara fisik
maupun emosi terhadap anak yang ketergantungan, melalui desakan hasrat, hukuman
badan yang tak terkendali, degradasi dan cemoohan permanen atau kekerasan
seksual, biasanya dilakukan para orang tua atau pihak lain yang seharusnya merawat
anak. Berdasarkan uraian tersebut, kekerasan terhadap anak merupakan perilaku yang
dengan sengaja menyakiti secara fisik dan atau psikis dengan tujuan untuk merusak,
melukai, dan merugikan anak.
Di Indonesia kasus kekerasan seksual setiap tahun mengalami peningkatan,
korbannya bukan hanya dari kalangan dewasa saja sekarang sudah merambah ke
remaja, anakanak bahkan balita. Fenomena kekerasan seksual terhadap anak semakin
sering terjadi dan menjadi global hampir di berbagai negara. Kasus kekerasan seksual
terhadap anak terus meningkat dari waktu ke waktu. Peningkatan tersebut tidak hanya
dari segi kuantitas atau jumlah kasus yang terjadi, bahkan juga dari kualitas. Dan
yang lebih tragis lagi pelakunya adalah kebanyakan dari lingkungan keluarga atau
lingkungan sekitar anak itu berada, antara lain di dalam rumahnya sendiri, sekolah,
lembaga pendidikan, dan lingkungan sosial anak.

Berdasarkan info dari KPAI, Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir bisa
dikatakan menjadi tahun yang sangat memprihatinkan bagi anak Indonesia. KPAI
atau Komisi Perlindungan Anak Indonesia menemukan ratusan kasus kekerasan
seksual terhadap anak yang diduga dilakukan oleh orang terdekat anak. Jasra Putra
selaku Komisioner KPAI mengungkapkan bahwa terdapat data yang menunjukan
bahwa terdapat 218 kasus kekerasan seksual anak pada tahun 2015, 120 kasus
kekerasan seksual pada anak di tahun 2016, dan pada tahun 2017, terdapat 116
kasus. Dari data tersebut KPAI menyatakan bahwa pelaku kekerasan seksual pada
anak ialah orang terdekat seperti orangtua korban/ayah tiri dan kandung, keluarga
terdekat dan teman korban.Dalam kasus kekerasan seksual yang marak terjadi,
anak menjadi kelompok yang sangat rentan terhadap kekerasan seksual karena
anak selalu diposisikan sebagai sosok yang lemah dan tidak berdaya.

Secara umum, Kekerasan seksual terhadap anak menurut ECPAT (End


Chlid Prostitution In Asia Tourism) Internasional merupakan suatu hubungan atau
interaksi antar seorang anak dan seorang yang lebih tua atau anak yang lebih
banyak nalar atau orang dewasa seperti orang asing, saudara sekandung atau
orangtua dimana anak tersebut dipergunakan sebagai objek pemuas untuk kebutuhan
seksual si pelaku. Undang-Undang Perlindungan anak telah memberikan batasan
bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun
termasuk anak yang masih dalam kandungan. Maraknya kasus kekerasan seksual
pada anak yang terdapat di keluarga dapat menunjukkan bahwa betapa dunia yang
aman bagi anak semakin sempit dan sulit ditemukan. Dunia anak yang seharusnya
diisi dengan keceriaan yang ia dapatkan dari lingkungan sosial dan keluarga justru
memberikan gambaran buram dan potret ketakutan karena pada saat ini anak telah
banyak menjadi subjek pelecehan seksual yang berasal dari keluarganya sendiri.

Namun kekerasan seksual anak yang terjadi di keluarga jarang sekali


terekspos masyarakat. Data yang terdapat pada KPAI hanya data yang didapatkan
dari masyarakat mengenai kekerasan seksual anak di keluarga hanya dari beberapa
korban yang melapor dan masih banyak korban kekerasan seksual terutama anak
yang tidak berani melaporkan dan tidak tau harus melapor kepada siapa. Kasus ini
cenderung dirahasiakan oleh korban dan pelaku. Korban kekerasan seksual pada
keluarga cenderung merasa malu karena menganggap hal tersebut sebagai aib yang
harus disembunyikan rapat-rapat terlebih lagi ia mendapatkan kekerasan tersebut
dari keluarga mereka sendiri, selain itu ancaman juga kerap korban dapatkan dari
pelaku kekerasan seksual.

Hampir dari setiap kasus yang diungkap, pelakunya adalah orang yang dekat
korban. Tak sedikit pula pelakunya adalah orang yang memiliki dominasi atas
korban, seperti orang tua dan guru. Tidak ada satupun karakteristik khusus atau tipe
kepribadian yang dapat diidentifikasi dari seorang pelaku kekerasan seksual terhadap
anak. Dengan kata lain, siapa pun dapat menjadi pelaku kekerasan seksual terhadap
anak atau pedofilia. Kemampuan pelaku menguasai korban, baik dengan tipu daya
maupun ancaman dan kekerasan, menyebabkan kejahatan ini sulit dihindari. Dari
seluruh kasus kekerasan seksual pada anak baru terungkap setelah peristiwa itu
terjadi, dan tak sedikit yang berdampak fatal. Secara umum pengertian kekerasan
seksual pada anak adalah keterlibatan seorang anak dalam segala bentuk aktivitas
seksual yang terjadi sebelum anak mencapai batasan umur tertentu yang ditetapkan
oleh hukum negara yang bersangkutan dimana orang dewasa atau anak lain yang
usianya lebih tua atau orang yang dianggap memiliki pengetahuan lebih dari anak
memanfaatkannya untuk kesenangan seksual atau aktivitas seksual (CASAT
Programme, Child Development Institute; Boyscouts of America; Komnas PA).

Sementara Lyness (Maslihah, 2006) kekerasan seksual terhadap anak


meliputi tindakan menyentuh atau mencium organ seksual anak, tindakan seksual
atau pemerkosaan terhadap anak, memperlihatkan media/benda porno, menunjukkan
alat kelamin pada anak dan sebagainya. Undang-Undang Perlindungan Anak
memberi batasan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum
berusia 18 (delapan belas tahun), termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Kekerasan seksual pada anak baik perempuan maupun laki-laki tentu tidak boleh
dibiarkan. Kekerasan seksual pada anak adalah pelanggaran moral dan hukum, serta
melukai secara fisik dan psikologis. Kekerasan seksual terhadap anak dapat dilakukan
dalam bentuk sodomi, pemerkosaan, pencabulan, serta incest. Oleh karena itu,
menurut Erlinda (Seketaris Jenderal KPAI) kasus kekerasan seksual terhadap anak itu
ibarat fenomena gunung es, atau dapat dikatakan bahwa satu orang korban yang
melapor dibelakangnya ada enam anak bahkan lebih yang menjadi korban tetapi tidak
melapor (http://indonesia.ucanews.com, diakses pada 20 Mei 2014).

Kebanyakan korban kekerasan seksual pada anak berusia sekitar 5-11 tahun.
Bagi pelaku jenis kelamin tidak berpengaruh dalam melakukan kekerasan seksual
yang penting bagi pelaku hasrat seksual mereka dapat tersalurkan. Modus pelaku
dalam mendekati korban sangatlah bervariasi misalnya mendekati korban dan
mengajak ngobrol, membujuk korban, merayu dan memaksa korbanya. Serta modus
yang lebih canggih yakni pelaku menggunakan jejaring social dengan berkenalan
dengan korban, mengajak bertemu dan memperkosa ataumelakukan kekerasan
seksual. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tahun 2010-2014
menyebutkan bahwa, sekitar 42%-62% dari seluruh KtA merupakan kasus kekerasan
seksual dan tempat kejadian terbanyak ada dirumah dan sekolah, sehingga rumah dan
sekolah bukan lagi menjadi tempat yang aman bagi anak.

Banyak negara di seluruh dunia yang telah menerapkan pembatasan sosial


(lockdown), anjuran untuk tetap di rumah, dan menjaga jarak fisik untuk mencegah
penyebaran COVID-19. Tetapi rumah tidak selalu merupakan tempat yang aman
untuk anak-anak, remaja, perempuan, dan lansia yang mengalami atau berisiko
mengalami kekerasan. Bukti-bukti menunjukkan bahwa kekerasan dapat meningkat
selama dan setelah terjadinya wabah penyakit.

Seluruh dunia sedang menghadapi berbagai macam tantangan terkait dengan


pandemi COVID-19, tetapi risiko terkait keselamatan dan kesejahtaraan anak-anak –
sebagai salah satu kelompok yang paling rentan menjadi jauh lebih tinggi dan
intensif dalam keadaan darurat kesehatan. Meskipun isu-isu kesehatan umum tetap
menjadi salah satu risiko utama untuk anak-anak, tantangan yang lain terkait
perlindungan anak dapat diperburuk oleh krisis tersebut, dan setiap keputusan yang
diambil oleh pemerintah memiliki potensi untuk menambahkan risiko dan dampak
pada anak-anak. Statistik dan temuan-temuan dari negara lain seperti Tiongkok,
Amerika Serikat, Australia dan Brasil mencerminkan kekhawatiran-kekhawatiran dari
pelaksana perlindungan anak, dan menyoroti beberapa hal yang memerlukan
perhatian yang signifikan untuk anak-anak Indonesia. .

Selama masa pandemi COVID-19, kasus kekerasan terhadap anak


jumlahnya cukup tinggi. Berdasarkan data SIMFONI (Sistem Informasi Online
Perlindungan Perempuan dan Anak) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak, per 1 Januari  hingga 19 Juni 2020 telah terjadi  3.087 kasus
kekerasan terhadap anak, diantaranya 852 kekerasan fisik, 768 psikis, dan 1.848
kasus kekerasan seksual.  Pandemi COVID-19 memberikan dampak pada berbagai
aspek kehidupan masyarakat baik dari sisi kesehatan, ekonomi, sosial, pendidikan,
dan juga politik. Dampak yang signifikan juga terjadi pada kehidupan anak dan
keluarganya.

Untuk meningkatkan perlindungan anak, maka dibutuhkan upaya-upaya


yang harus dilaksanakan secara terkoordinasi sebagai upaya perlindungan dari
Eksploitasi dan Pelecehan Seksual terhadap Anak selama masa pandemi COVID-19.
Anak yang menjadi korban kekerasan membutuhkan bantuan terkait perawatan
kesehatan, dukungan psikologi dan sosial, keamanan dan perlindungan hukum. Pada
saat yang sama, tindakan-tindakan pencegahan harus dilakukan untuk mengenali
penyebab dan faktor-faktor pendukung terjadinya kekerasan dalam keadaan tertentu.
Lembaga/ instansi atau orang-orang  yang menyediakan pelayanan haruslah memiliki
pengetahuan luas, terampil, dan bersungguh-sungguh menolong korban, dan
mengambil tindakan-tindakan pencegahan yang efektif. Pencegahan dan penanganan
kekerasan terhadap anak, membutuhkan tindakan terkoordinasi dari para pekerja
perlindungan anak di banyak sektor/instansi terkait. 

Memahami kerentanan dan permasalahan perlindungan anak dalam situasi


COVID-19 anak memiliki kerentanan yang sangat tinggi untuk mengalami gangguan
di dalam berbagai aspek kehidupannya akibat dampak yang ditimbulkan oleh situasi
kondisi selama Pandemi COVID-19. Anak-anak merupakan populasi yang
mengalami dampak terburuk dari terjadinya bencana, terutama di negara-negara
berkembang (Fothergill, 2017). Banyak hal yang menjadikan penyebab mengapa
anak begitu rentan dalam kondisi darurat maupun kondisi pandemi COVID-19. Hal
ini disebabkan karena; anak masih sangat bergantung pada orang-orang dewasa demi
kelangsungan hidup mereka, anak juga rentan dimanfaatkan oleh pihak yang tidak
bertanggungjawab. Anak-anak juga belum mampu berupaya untuk memperoleh hak-
hak mereka, karena perkembangan yang belum matang dan pengetahuan anak- anak
mengenai hak-hak yang mereka miliki masih terbatas.
Masa pandemi COVID-19, juga menimbulkan persoalan lain. Misalnya anak
menjadi rentan terhadap terjadinya kekerasan dan pelecehan, baik kekerasan fisik
maupun kekerasan seksual. Ruang-ruang privasi sangat terbatas, bahkan tidak ada.
Sistem isolasi dan tetap di rumah, makin meningkatkan risiko bagi anak. Selain itu,
Penggunaan media daring juga meningkatkan risiko anak mengalami pemanfaatan
seksual secara online. Meski tahu bahwa dirinya mengalami kejadian yang tidak
menyenangkan, namun banyak anak yang diam dan tidak menceritakan peristiwa
yang dialami kepada siapapun. Kompleksitas kekerasan seperti bujuk rayu, serta
pemanfaatan relasi kuasa dan kontrol oleh pelaku memengaruhi kondisi psikologis
korban.

Selain kasus kekerasan yang dialami anak, angka Perkawinan Usia Anak
juga meningkat. Kondisi ini terjadi karena tekanan ekonomi yang meningkat, tidak
adanya rutinitas, paksaan dari orang tua, kehamilan di luar nikah.  Menurut data
Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama yang diolah KPPPA, sejak Januari
hingga Juni 2020, terdapat sekitar 34.000 permohonan dispensasi perkawinan yang
masuk ke pengadilan agama. Sekitar 97% permohonan dispensasi itu dikabulkan,
yang berarti perkawinan diizinkan. Permohonan dispensasi pada semester pertama
tahun 2020 itu sendiri meningkat drastis dibanding dengan data keseluruhan tahun
2019, yakni dengan 23.700 permohonan. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak (PPPA) juga menerima 3.087 laporan kekerasan anak sejak 1
Januari 2020 hingga 19 Juni 2020. Kekerasan terhadap anak perempuan lebih
dominan dibandingkan anak laki-laki. Sebanyak 2.454 anak perempuan menjadi
korban kekerasan. Sementara itu, 965 anak laki-laki menjadi korban. Jenis kekerasan
beragam, 852 anak mengalami kekerasan fisik, 768 anak mengalami kekerasan psikis,
dan 1.848 anak mengalami kekerasan seksual. Selanjutnya, 50 anak menjadi korban
eksploitasi, 60 anak menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO), dan
228 anak menjadi korban penelantaran.
Setiap anak yang mengalami kekerasan seksual memerlukan trauma healing.
Pendamping perlu menguasai keterampilan dalam melakukan trauma healing agar
kondisi psikologis korban dan keluarga kembali pulih. Tujuan dukungan psikososial
adalah agar korban melupakan kekerasan. Dukungan psikososial adalah dukungan
(dalam bentuk berbagai bentuk kegiatan) yang diberikan untuk memulihkan
kesejahteraan psikologis dan sosial dari individu atau komunitas yang mengalami
peristiwa traumatis. Bertujuan untuk meningkatkan resiliensi anak, mencegah resiko
mengalami kondisi kesehatan mental/psikologis yang menjadi lebih buruk,
memberikan layanan yang lebih baik, termasuk merujuk anak ke layanan lain yang ia
butuhkan.

Menurut beberapa penelitian yang dilansir oleh Protective Service for


Children and Young People Department of Health and Community Service (1993)
keberadaan dan peranan keluarga sangat penting dalam membantu anak memulihkan
diri pasca pengalaman kekerasan seksual mereka. Orang tua (bukan pelaku
kekerasan) sangat membantu proses penyesuaian dan pemulihan pada diri anak pasca
peristiwa kekerasan seksual tersebut. Pasca peristiwa kekerasan seksual yang sudah
terjadi, orang tua membutuhkan kesempatan untuk mengatasi perasaannya tentang
apa yang terjadi dan menyesuaikan diri terhadap perubahan besar yang terjadi. Selain
itu juga, orang tua membutuhkan kembali kepercayaan diri dan perasaaan untuk dapat
mengendalikan situasi yang ada. Proses pemulihan orang tua berkaitan erat dengan
resiliensi yang dimiliki oleh orang tua sebagai individu dan juga resiliensi keluarga
tersebut.

Sehingga untuk menghindari hal ini diperlukan adanya pemahaman terkait


tentang peran kepolisian terhadap kekerasan seksual pada anak terutama di era
pandemi Covid-19 ini.
2. RESEARCH QUESTION
1. Bagaimana peran Kepolisian terhadap Kekerasan Seksual pada Anak di
Era Pandemi Covid-19 ?
2. Bagaimana Kekerasan Seksual pada Anak di Era Pandemi Covid-19 ?
3. Bagaimana Penanganan Kekerasan Seksual pada anak di era pandemi
Covid-19 ?

3. TUJUAN PENELITIAN
1. Untuk mengetahui peran Kepolisian terhadap Kekerasan Seksual pada
Anak di Era Pandemi Covid-19.
2. Untuk mengetahui Kekerasan Seksual pada Anak di Era Pandemi Covid-
19.
3. Untuk mengetahui penanganan Kekerasan Seksual pada anak di Era
Pandemi Covid-19.

4. MANFAAT PENELITIAN

Dengan melihat latar belakang permasalahan serta rumusan masalah yang


telah dirumuskan diatas, maka diharapkan mampu memberikan manfaat. Dan manfaat
penelitian ini dibedakan menjadi dua, yaitu sebagai berikut.

4.1 Manfaat Teoritis


1. Penelitian ini bisa dijadikan sebagai referensi atau rujukan untuk penelitian
sejenis yang dilakukan di masa yang akan datang.
2. Penelitian ini dapat menjadi pedoman teoritis serta acuan dalam rangka
pembinaan personel Polri dalam menangani Kekerasan Seksual pada Anak di Era
Pandemi Covid-19.
3. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmu pengetahuan
kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia terutama pengetahuan di bidang
fungsi Reskrim dalam melakukan penanganan Kekerasan seksual pada anak.

4.2 Manfaat Praktis


1. Sebagai bahan pertimbangan bagi pimpinan untuk menentukan kebijakan dan
tindakan yang tepat yang dapat dilakukan oleh Polri dalam menangani kekerasan
seksual pada anak di era pandemic Covid-19.
2. Memberikan masukan kepada Polresta Mataram khususnya tentang penanganan
kekerasan seksual pada anak di era pandemi Covid-19.
3. Diharapkan dapat dijadikan sebagai kajian maupun evaluasi bagi kepolisian
Reskrim dalam melakukan tindakan penanganan kekerasan seksual pada anak di
era pandemi Covid-19.
4. Penelitian ini juga diharapkan mampu meningkatkan kemampuan dan
keterampilan anggota dalam melakukan penanganan kekerasan seksual pada
anak sehingga mampu meningkatkan mutu, kualitas, serta profesionalisme
sebagai pelayan masyarakat.

5. TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan kepustakaan merupakan unsur penting yang dijadikan sebagai landasan


berfikir atau pedoman dalam memberi batasan mengenai informasi yang ada di suatu
penelitian. Di dalam tinjauan kepustakaan ini digunakan konsep dan teori yang akan
digunakan sebagai pisau untuk menganalisis masalah dan fenomena yang diangkat
untuk mendapatkan jawaban dan solusi atas permasalahan tersebut. Tinjauan
kepustakaan akan dijabarkan ke dalam sub bagian, yang mana di setiap sub memiliki
peranan yang sangat penting guna menunjang keberhasilan sebuah penelitian yang
dilakukan.

5.1 Kepustakaan Penelitian


Kepustakaan penelitian merupakan literatur yang memuat informasi tentang hasil
penelitian yang dilaksanakan sebelumnya, yang memiliki kaitan dengan penelitian
yang dilaksanakan. Oleh sebab itu, sebuah penelitian memerlukan sebuah referensi
berupa tulisan sebelumnya yang mencakup informasi sebagai pembanding untuk
memperoleh data awal yang mendukung pelaksanaan penelitian yang dilakukan yang
dapat berupa dokumen laporan hasil penelitian dan sebuah pandangan kritis. Tinjauan
kepustakaan merupakan suatu kegiatan yang peneliti lakukan guna memperkaya ilmu
terkait dengan permasalahan-permasalahan yang menjadi suatu objek penelitian.
Melalui tinjauan yang diperoleh maka penulis dapat mengumpulkan data dan
informasi sementara mengenai hal-hal yang sudah diteliti oleh peneliti terdahulu.
Tinjauan kepustakaan ini juga mempermudah penulis untuk lebih fokus dalam
melakukan penelitian sehingga tidak melebar ke permasalahan yang lain.

5.1.1 Jurnal Iva Noviana (2015)

Dengan judul “Kekerasan Seksual Terhadap Anak: Dampak Dan


Penanganannya Child Sexual Abuse: Impact And Hendling”. Maksud dari penelitian
ini adalah mendeskripsikan dampak trauma akibat kekerasan seksual yang dialami
oleh anak-anak, antara lain: pengkhianatan atau hilangnya kepercayaan anak terhadap
orang dewasa (betrayal); trauma secara seksual (traumatic sexualization); merasa
tidak berdaya (powerlessness); dan stigma (stigmatization)., serta Penanganan dan
penyembuhan trauma psikis akibat kekerasan seksual haruslah mendapat perhatian
besar dari semua pihak yang terkait, seperti keluarga, masyarakat maupun Negara.
Persamaan penelitian Iva Noviana (2015) dengan penelitian ini adalah mengangkat
masalah mengenai kasus kekerasan/pelecehan seksual pada anak, dan lebih fokus
pada penanganan kekerasan seksual pada anak serta menggunakan pendekatan
kualitatif. Sedangkan yang menjadi perbedaan dalam penelitian Iva Noviana (2015)
adalah pada peran Kepolisian, lokasi dan waktu penelitian yang berbeda, serta
Kekerasan seksual pada anak di Era Pandemi Covid-19. Hasil penelitian Iva Noviana
menemukan bahwa masih maraknya kasus kekerasan seksual pada anak terutama di
Era Pendemi Covid-19, serta akan didalami bagaimana peran Kepolisian dalam
menangani Kekerasan Seksual pada anak di era pendemi Covid-19.

5.1.2 Jurnal Nirva Diana (2017)

Dengan judul “Decicion Making Sebagai Solusi Kekerasan Terhadap Anak


Melalui Play Therapy”. Maksud dari penelitian ini adalah mendeskripsikan
Pengambilan keputusan (decision making) proses identifikasi masalah dan
kesempatan kemudian memecahkannya. Pengambilan keputusan yang baik,
manajemen yang baik, karena keputusan-keputusan yang baik akan menentukan hasil
yang baik terutama pada kekerasan seksual pada anak. Persamaan penelitian oleh
Nirva Diana (2017) dengan penelitian ini adalah sama-sama mengangkat masalah
mengenai kasus kekerasan seksual pada anak dan menggunakan pendekatan
kualitatif. Sementara yang menjadi perbedaan adalah dalam penelitian Nirva Diana
(2017) membahas mengenai bagaimana peran Kepolisian dalam menangani
kekerasan seksual pada anak di era pandemic Covid-19. Selain itu lokasi yang
dijadikan tempat penelitian pun berbeda. Hasil penelitian Nirva Diana (2017)
menemukan bahwa Play therapy atau terapi bermain adalah suatu metode konseling
dalam menanggulangi kekerasan terhadap anak. Bermain merupakan media natural
bagi anak untuk dapat bercerita dan membagi perasaannya. Dalam sesi terapi, anak
yang memerlukan bantuan dalam mengatasi masalah emosi, perilaku, sosial dan
kesehatan mentalnya bahkan kekerasan akan dibebaskan untuk mengekspresikan dan
menyalurkan emosinya dengan cara yang dia rasa baik dan tepat dengan
menggunakan alat-alat permainan yang ada di ruangan dalam situasi yang aman dan
nyaman. Sedangkan pada penelitian ini akan dibahas peran kepolisian terhadap
penanganan kekerasan seksual pada anak di era pandemi Covid-19.

5.1.3 Jurnal Iin Kandedes (2020)


Dengan judul “Kekerasan Terhadap Anak di Masa Pandemi Covid-19”.
Maksud dari penelitian ini adalah masalah kekerasan yang terjadi terhadap anak dan
memberikan perlindungan hukum terhadap anak di Indenesia di masa pandemi
Covid-19. Persamaan penelitian Iin Kandedes (2020) dengan penelitian ini adalah
mengangkat masalah mengenai kasus kekerasan pada anak, dan lebih fokus pada
berbagai jenis persoalan kekerasan pada anak dan mengatasi perlindungan terhadap
anak di masa pandemi Covid-19 serta menggunakan pendekatan kualitatif.
Sedangkan yang menjadi perbedaan dalam penelitian Iin Kandedes (2020) adalah
pada peran Kepolisian, lokasi dan waktu penelitian yang berbeda, serta penelitian ini
lebih membahas kepada Kekerasan seksual pada anak di Era Pandemi Covid-19.
Hasil penelitian Iin Kandedes (2020) menemukan bahwa masih maraknya kasus
kekerasan seksual pada anak terutama di Era Pendemi Covid-19, serta akan didalami
bagaimana peran Kepolisian dalam menangani Kekerasan Seksual pada anak di era
pendemi Covid-19.

5.2 Teori
5.2.1 TEORI PERAN
Menurut Biddle dan Thomas dalam Sarwono (2006 : 215) bahwa teori peran
(role theory) dapat digolongkan menjadi 4 (empat) yaitu:
1. Orang-orang yang mengambil bagian dalam interaksi sosial
Orang-orang tersebut merupakan aktor atau pemeran utama yang sedang
berperilaku menurut suatu peran tertentu dan tan target (sasaran) atau orang lain yang
mempunyai hubungan dengan aktor atau perilaku.
2. Perilaku yang muncul dalam interaksi tertentu
a. Harapan
Harapan tentang peran adalah harapan-harapan orang lain tentang perilaku
yang pantas yang ditunjukkan oleh seseorang yang punya peran tertentu.
Masyarakat sebagai inividu mempunyai harapan tertentu perilaku yang pantas
yang ditunjukkan dari seorang polisi.
b. Norma
Norma merupakan salah satu dari harapan. Menurut Secord dan Backman
dalam Sarwono (2006 : 217) bahwa harapan pada norma bersifat normatif.
c. Wujud perilaku
Peran diwujudkan dalam perilaku nyata oleh aktor. Perilaku aktor dapat
berbeda antara yang satu dengan lainnya sesuai dengan sifat asal dan
tujuannya.
d. Penilaian dan sanksi
Penilaian dan sanksi didasarkan pada harapan masyarakat tentang norma.
Berdasarkan hal tersebut maka orang akan memberi kesan positif atau negatif
terhadap suatu perilaku. Kesan tersebut yang disebut sebagai penilaian peran,
sedangkan sanksi adalah usaha seseorang untuk mempertahankan suatu nilai
atau perwujudan peran yang diubah sedemikian rupa sehingga hal tersebut
menjadi positif.
3. Kedudukan orang-orang dalam perilaku
Kaitan kedudukan aktor dapat mempengaruhi perilakunya.
4. Kaitan antara kedudukan orang dan perilaku
a. Derajat kesamaan atau ketidaksamaan antara bagian-bagian yang saling
terkait
b. Derajat saling menentukan atau saling ketergantungan antara bagian-bagian
tersebut
c. Gabungan antara derajat kesamaan dan saling ketergantungan.
Menurut Soekanto (2009:212-213), peran merupakan aspek dinamis
kedudukan (status), apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai
dengan kedudukannya, maka ia menjalankan suatu peranan. Hakekatnya peran juga
dapat dirumuskan sebagai suatu rangkaian perilaku tertentu yang ditimbulkan oleh
suatu jabatan tertentu. Kepribadian seseorang juga mempengaruhi bagaimana peran
itu harus dijalankan. Peran yang dimainkan hakekatnya tidak ada perbedaan, baik
yang dimainkan/diperankan pimpinan tingkat atas, menengah maupun bawah akan
mempunyai peran yang sama.
Peran lebih menunjukkan pada fungsi penyesuaian diri, dan sebagai sebuah
proses. Menurut Levinson dalam Soekanto (2009 : 213) peran yang dimiliki oleh
seseorang mencakup tiga hal antara lain:
1. Peran meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi seseorang di
dalam masyarakat. Jadi, peran di sini bisa berarti peraturan yang membimbing
seseorang dalam masyarakat.
2. Peran adalah sesuatu yang dilakukan seseorang dalam masyarakat.
3. Peran juga merupakan perilaku seseorang yang penting bagi struktur sosial
masyarakat.

Sejumlah peran disebut sebagai perangkat peran (role-set). Dengan


demikian perangkat peran adalah kelengkapan dari hubungan-hubungan
berdasarkan peran yang dimiliki oleh orang karena menduduki status-status sosial
khusus. Peran memberikan suatu kerangka konseptual dalam studi perilaku di dalam
organisasi. Dengan peran yang dimainkan oleh seseorang dalam organisasi, maka
akan terbentuk suatu komponen penting dalam hal identitas dan kemampuan orang
itu untuk bekerja. 

5.2.2 TEORI KOMUNIKASI


Pada sub bab ini akan dikaji terkait teori komunikasi untuk menjabarkan
permasalahan yang ada. Menurut Harold Lasswell dalam bukunya Ilmu, Teori, dan
Filsafat Komunikasi (2003 : 253), teori komunikasi memiliki 5 unsur, yaitu: Who,
Says What, In Which Channel, To Whom, With What Effect (Siapa, Mengatakan Apa,
Melalui Saluran Apa, Kepada Siapa, Dengan Efek Apa). Unsur ini menyatakan
bahwa cara terbaik untuk menerangkan proses komunikasi adalah dengan menjawab
kelima unsur pertanyaan tersebut. Berikut adalah pertanyaan paradigmatik
(paradigmatic question), Laswell itu merupakan unsur-unsur komunikasi, yaitu:
Komunikator (Communicator), Pesan (Message), Media (Media),
Komunikan/Penerima (Receiver), dan Efek (Effect). Sehingga, disimpulkan bahwa
pesan yang disampaikan kepada komunikan (penerima) dari sumber (komunikator)
melalui saluran-saluran tertentu baik secara langsung ataupun tidak langsung dengan
maksud memberikan efek/dampak kepada komunikan sesuai dengan yang diinginkan
komunikator.
1. Siapa (Who)
Diartikan sebagai komunikator atau sumber yaitu, sebagai pelaku utama atau
pihak yang mempunyai kebutuhan untuk berkomunikasi dan yang memulai suatu
komunikasi, bisa seorang individu, kelompok, organisasi, maupun suatu negara
sebagai komunikator.
2. Pesan (Says What)
Menjelaskan apa yang akan disampaikan atau dikomunikasikan komunikan
(penerima), dari komunikator (sumber) atau isi informasi. Apa yang akan
disampaikan kepada penerima (komunikan), dari sumber (komunikator) isi informasi
merupakan simbol verbal/non verbal yang mewakili perasaan, nilai, maksud/gagasan
sumber tadi.
3. Saluran/media (In Which Channel)
Merupakan suatu alat penyampaian message dari sumber kepada penerima
secara langsung ataupun tidak langsung.
4. Siapa/penerima (To Whom)
Merupakan seseorang yang menerima pesan dari sumber atau target
(destination), sipendengar (listener), masyarakat (audience), sikomunikan, sipenafsir,
sipenyandi balik (decoder).
5. Dampak/efek (With What Effect)
Merupakan efek kepada sipenerima (komunikan) setelah memperoleh
message dari komunikator misalnya adanya perubahan-perubahan.

WHO CHANNEL WHO


WHAT (AUDIENCE
(Or
Or EFFECT
(SPEAKER) (MESSAGE) MEDIUM)
LISTENER)
Gambar 2.1 Model Komunikasi Lasswell
6 METODE PENELITIAN
Metode penelitian merupakan strategi peneliti untuk mendapatkan data dan
informasi yang dibutuhkan dalam penelitian. Salah satu cara untuk memperoleh data
penelitian sesuai dengan prosedur dan tata cara penelitian adalah dengan
menggunakan irancangan dani laporan pelaksanaani ipenelitian. Dengan rancangani
i dan laporan pelaksanaani ipenelitian diharapkan hasil penelitiani yang telah diperoleh
dapat dipertanggungjawabkan dan dapat ditelusuri kembali jika ada kendala dalam
pelaksanaan penelitian dilapangan. Padai ibagian inii iakan dibahas imengenai
rancangan penelitian dani waktu pelaksanaan penelitiani sebagai pedoman dalam
melaksanakan penelitian. Yang terdiri dari pendekatan penelitian dan metode
penelitian, tekniki ipengumpulan idata, tekniki ianalisis data, serta tempat dani iwaktu
penelitian.

6.1.2 Konsep Penanganan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) penanganan memiliki satu


arti yaitu penanganan dan berasal dari kata dasar tangan. Penanganan memiliki arti
yang menyatakan sebuah tindakan yang dilakukan dalam melakukan sesuatu.
Penanganan juga dapat berarti proses, cara, perbuatan menangani sesuatu yang
sedang dialami.

6.1.3 Konsep Kekerasan Seksual pada anak


Kekerasan seksual (sexual abuse) menunjuk pada setiap aktivitas seksual.
Kekerasan seksual (sexual abuse) merupakan jenis penganiayaan yang biasanya
dibagi dalam kategori berdasar identitas pelaku. (Tower, 2002), terdiri dari:
1. Familial Abuse Incest
Merupakan sexual abuse yang masih dalam hubungan darah, menjadi bagian
dalam keluarga inti. Seseorang yang menjadi pengganti orang tua, misalnya ayah tiri,
atau kekasih, termasuk dalam pengertian incest. Mayer (dalam Tower, 2002)
menyebutkan kategori incest dalam keluarga dan mengaitkan dengan kekerasan pada
anak. Kategori pertama, sexual molestation (penganiayaan). Hal ini meliputi interaksi
noncoitus, petting, fondling, exhibitionism, dan voyeurism, semua hal yang berkaitan
untuk menstimulasi pelaku secara seksual. Kategori kedua, sexual assault
(perkosaan), berupa oral atau hubungan dengan alat kelamin, masturbasi, fellatio
(stimulasi oral pada penis), dan cunnilingus (stimulasi oral pada klitoris). Kategori
terakhir yang paling fatal disebut forcible rape (perkosaan secara paksa), meliputi
kontak seksual.
2. Extrafamilial Abuse
Extrafamilial Abuse, dilakukan oleh orang lain di luar keluarga korban dan
hanya 40% yang melaporkan peristiwa kekerasan. Kekerasan seksual yang dilakukan
oleh orang dewasa disebut pedophile, yang menjadi korban utamanya adalah anak-
anak. Pedophilia diartikan ”menyukai anak-anak” (deYong dalam Tower, 2002).
Pedetrasy merupakan hubungan seksual antara pria dewasa dengan anak laki-laki
(Struve & Rush dalam Tower, 2002). Pornografi anak menggunakan anak-anak
sebagai sarana untuk menghasilkan gambar, foto, slide, majalah, dan buku (O’Brien,
Trivelpiece, Pecora et al., dalam Tower, 2002).
Menurut Midwife (2015 , URL) bentuk-bentuk pelecehan/kekerasan seksual
pada anak, yaitu :
1.    Pelecehan seksual yang berupa sentuhan:
a. Pelaku memegang-megang, meraba atau mengelus organ vital anak seperti
alat kelamin (vagina, penis), bagian pantat, dada/payudara;
b. Pelaku memasukkan bagian tubuhnya atau benda lain ke mulut, anus, atau
vagina anak;
c. Pelaku memaksa anak untuk memegang bagian tubuhnya sendiri, bagian
tubuh pelaku, atau bagian tubuh anak lain.
2.    Pelecehan seksual yang tidak berupa sentuhan:
a. Pelaku mempertunjukkan bagian tubuhnya (termasuk alat kelamin) pada
anak/remaja secara cabul, tidak pantas, atau tidak senonoh;
b. Pelaku mengambil gambar (memfoto) atau merekam anak/remaja dalam
aktivitas yang tidak senonoh, dalam adegan seksual yang jelas nyata, maupun
adegan secara tersamar memancing pemikiran seksual. Contohnya pelaku
merekam anak yang sedang membuka bajunya;
c. Kepada anak pelaku memperdengarkan atau memperlihatkan visualisasi
(gambar, foto, video, dan semacamnya) yang mengandung muatan seks dan
pronografi. Misalnya, pelaku mengajak anak menonton film dewasa (film
porno);
d. Pelaku tidak mengahargai privasi anak/remaja, misalnya tidak menyingkir dan
justru menonton ketika ada seorang anak mandi atau berganti pakaian;
e. Pelaku melakukan percakapan bermuatan seksual dengan anak/remaja, baik
eksplisit (bahasa lugas) maupun implisit (tersamar). Percakapan ini bisa
dilakukan dengan melalui telepon, chatting, internet, surat, maupun sms.
Dampak kekerasan seksual terhadap anak diantaranya adanya perasaan
bersalah dan menyalahkan diri sendiri, bayangan kejadian dimana anak menerima
kekerasan seksual, mimpi buruk, insomnia, takut hal yang berhubungan dengan
penyalahgunaan (termasuk benda, bau, tempat, kunjungan dokter, dll), masalah harga
diri, disfungsi seksual, sakit kronis, kecanduan, keinginan bunuh diri cedera, bunuh
diri, keluhan somatik, depresi (deYong dalam Tower, 2002).

Dalam masyarakat terdapat pandangan yang menempatkan anak sebagai


makhluk yang rawan. Disebut rawan karena anak berada di kedudukan yang kurang
menguntungkan, dimana anak memiliki resiko yang besar untuk mengalami
gangguan atau masalah dalam perkembangannya baik secara fisik maupun psikologi
atau mental. Pada hakikatnya anak tidak dapat melindungi diri mereka sendiri dari
berbagai macam tindakan yang menimbulkan kerugian fisik, mental, sosial dalam
berbagai bidang kehidupan dan penghidupan. (Gultom : 2018 , 69)

6.1 Pendekatan dan Jenis Penelitian


Penelitian dapat diartikan sebagai rangkaian kegiatan yang sistematik dilakukan
dengan cara-cara tertentu dan terencana dalam mengkaji, mempelajari, atau
menyelidiki suatu permasalahan untuk mengetahui pengetahuan teoritik yang dapat
memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dan atau digunakan untuk memecahkan
permasalahan yang dihadapi. Pengetahuan teoritik hasil penelitian memiliki
kebenaran ilmiah karena didukung oleh justifikasi teoritik yang logis dan data empiris
yang sahih. Oleh karena itu, penelitian dapat juga dikatakan sebagai cara mencari
atau menemukan kebenaran melalui metode ilmiah, yaitu melalui rangkaian kegiatan
teoritik dan empiric. (Farouki iMuhammad dan iDjaali, 2005i : 1).

6.1.1 Pendekatan Penelitian


Pada penelitian ini penulis menggunakan pendekatan penelitian kualitatif
dengan melihat suatu permasalahan secara menyeluruh (holistic), menghubungkan
semua variabel dan memahami fungsi hakekatnya, kegiatan, proses kerja, dan seluruh
kegiatan yang berhubungan dengan peran Kepolisian terhadap penanganan Kekerasan
Seksual pada Anak di Era Pandemi Covid-19. Objek penelitian kualitatif adalah
seluruh aspek kehidupan manusia dan segala sesuatu yang dipengaruhi manusia.
Objek itu diungkapkan kondisinya sebagaimana adanya atau dalam keadaan
sewajarnya. Data kualitatif tentang objeknya dinyatakan dalam kalimat, yang
pengolahannya dilakukan melalui proses berpikir yang bersifat kritik, analisis, dan
tuntas:
Metode Penelitian Kualitatif yaitu metode penelitian yang berlandaskan pada
filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang
alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah
sebagai instrumen kunci, pengambilan sampel sumber data dilakukan secara
purposive dan snowbaal, teknik pengumpulan dengan triangulasi
(gabungan), analisis data bersifat induktif / kualitatif, dan hasil penelitian
kualitatif lebih menekan makna dari pada generalisasi. (Akademi Kepolisian,
Metodologi Penelitian 2019 : 83).
Ciri-ciri metode penelitan kualitatif itui idilakukan secaraiiintensif, peneliti
ikuti iberpartisipasi dilapangan untuk mengamati,imencatat, bertanya, menggali
sumber, mencatat secara hati-hati apa yang terjadi, melakukan analisis terhadap
berbagai dokumen yang ditemukan dilapangan, dan membuat laporan penelitian
secara mendetail. (Akademi Kepolisian, Metodologi Penelitian 2019 : 83). Sehingga
pendekatan kualitatif ini diharapkan mampu memberi gambaran tentang peran
Kepolisian terhadap penanganan Kekerasan Seksual pada Anak di Era Pandemi
Covid-19.

6.1.2 Jenisi iPenelitian

Terdapat berbagai jenisi ipenelitian idalam pendekatan kualitatif, diantaranya


adalah normatif , ideskriptif, survey, eksploratif, studi kasus, dan lainnya. Penelitian
yang peneliti ambil dilakukan dengan jenis penelitian deskriptif analisis artinya
penelitian ini bertujuan menggambarkan dan mendeskripsikan secara verbal atau
diungkapkan dalam bentuk verbal dengan merujuk pada permasalahan yang telah
dirumuskan secara mendalam berupa gambaran tentang peran Kepolisian terhadap
penanganan Kekerasan Seksual pada Anak di Era Pandemi Covid-19. Dengan
menggambarkan secara umum melalui hasil wawancara dan pengamatan serta
mengkajinya lebih dalam menggunakan teori dan konsep sehingga penulis
mendapatkan data-data yang akurat mengenai peran Kepolisian terhadap penanganan
Kekerasan Seksual pada Anak di Era Pandemi Covid-19.
Menurut Soekanto (1986 : 9-10) penelitian deskriptif adalah penelitian yang
dilakukan untuk memberikan data seteliti mungkin tentang manusia, keadaan, atau
gejala-gejala lainnya. Metode ini digunakan dengan tujuan untuk:

1. Mengumpulkan informasi aktual secara rinci yang melukiskan gejala yang ada.
2. Mengidentifikasi masalah atau memeriksa kondisi dan praktek-praktek yang
berlaku.
3. Membuat perbandingan atau evaluasi.
4. Menentukan apa yang seharusnya dilakukan jika menghadapi masalah yang sama
dan belajar dari pengalaman untuk menetapkan rencana dan keputusan pada
waktu yang akan datang.

Dengan jenis penelitian ini, diharapkan mampu memberikani iinformasi


secara lengkapi isesuai dengan ikeadaan yangi isebenarnya dan ditujukan agar
diperoleh hasil penelitian yang jelas terkait dengan peran Kepolisian terhadap
penanganan Kekerasan Seksual pada Anak di Era Pandemi Covid-19.

6.2 Fokus Penelitiani


Pada dasarnya penentuan masalah dalam penelitian kualitatif bertumpu pada
suatu fokus. Menurut Sugiyono (2007:34), pembatasan permasalahan dan topik
dalam penelitian kualitatif lebih didasarkan pada tingkat kepentingan, urgensi dan
feasibility masalah yang akan dipecahkan, selain juga ada faktor keterbatasan tenaga,
dana, dan waktu. Variabel/fokus penelitian harus diungkap secara eksplisit untuk
mempermudah peneliti sebelum melaksanakan observasi. Dalam penelitian kualitatif
penetuan fokus lebih didasarkan pada tingkat kebaruan informasi yang akan diperoleh
dari situasi sosial (lapangan).

Kebaruan informasi itu bisa berupa upaya untuk memahami secara luas dan
mendalam tentang situasi sosial daerah penelitian, tetapi juga ada keinginan untuk
menghasilkan hipotesis ataupun ilmu baru dari situasi sosial yang diteliti. Fokus yang
sebenarnya dalam penelitian kualitatif diperoleh setelah peneliti melakukan
penjelajahan umum. Dari penjelajahan umum ini peneliti akan memperoleh gambaran
umum menyeluruh yang masih pada tahap permukaan tentang situasi sosial. Untuk
dapat memahami secara lebih luas dan mendalam, maka diperlukan pemilihan fokus
penelitian.
Spradleyi idalam Sanaplah Faisali (1998) dalam Sugiyono (2017:57)
mengemukakani iempat alternatifi iuntuk menetapkani ifokus yaitu:

1. Menetapkan fokus pada permasalahan yang disarankan oleh informan.


2. Menetapkani ifokus berdasarkani idomain-domaini itertentu organizing idomain.
3. Menetapkani ifokus yangi imemiliki nilaii itemuan untuki ipengembangan IPTEK.
4. Menetapkani ifokus berdasar permasalahani iyang terkait dengani iteori-teori yangi
i telah iada.

Fokus penelitian yang peneliti ambil pada skripsi ini adalah peran Kepolisian
terhadap penanganan Kekerasan Seksual pada Anak di Era Pandemi Covid-19. Hal
tersebut séhubungan dengan masih maraknya kekerasan seksual yang terjadi pada
anak. Sehingga diharapkan penelitian ini dapat membantu Kepolisian dalam
meningkatkan penanganan Kekerasan Seksual pada Anak di Era Pandemi Covid-19.

6.3 Lokasi Penelitian


Lokasi penelitian adalah tempat suatu penelitian dilakukan. Lokasi penelitian
yang digunakan dalam penelitian ini adalah wilayah Mataram. Penelitian difokuskan
pada peran Kepolisian dalam menangani Kekerasan seksual pada anak di Era
Pandemi Covid-19. Sedangkan, untuk memperoleh data yang sesuai dengan persoalan
yang diteliti maka perlu dilakukan penelitian di seluruh wilayah Polresta Mataram
terutama terhadap lokasi yang marak terjadi kekerasan seksual pada anak serta lokasi
yang menjadi sasaran petugas dalam mewujudkan penanganan kekerasan seksual
pada anak di era Pandemi Covid-19.
6.4 Sumber Datai
Datai atau informasi yangi dibutuhkan dalami ipenelitian tentang peran
Kepolisian terhadap penanganan Kekerasan Seksual pada Anak di Era Pandemi
Covid-19 dapat diperolehi idari berbagai sumberi idata. Sumber data yang diperlukan
dalam penelitian ini telah berkumpul dalam bentuk data primer, data sekunder, dan
data tersier. Data primeri idiperoleh secara imentah kemudian dikajii lebihi ilanjut, datai
i ini dipaparkani isesuai yang dilihati dan sesuaii dengan keadaani ilapangan. Datai
i sekunder diperolehi imelalui studi kepustakaani idengani imempelajari literatur, tulisani
i ilmiah,iperaturan perundang-undangani sertai idokumen yang diperolehi iinstansi yang
terkait dengan objeki ipenelitiani idan permasalahani penelitian. Moleong (2015:157)
mengatakani ibahwa sumber datai iutama dalam suatu penelitiani ikualitatif adalahi
i kata-kata, dani itindakan, selebihnyai adalah datai itambahan seperti dokumeni idan
i lain-lain.
Berikut adalah alasan pemilihan sumber yang didasarkan pada persyaratan
bahwa:

1. Sumberi idata merupakani pihak yang dapati imemberikan suatu informasi maupun
datai yang bersifat nyata dan dapat dipertanggungjawabkan.
2. Sumber data/informasi yang dianggapi imemiliki kapasitasi dalam menjawabi
i pertanyaan-pertanyaan yangi diberikan dengani pertimbangan bahwai mereka
memiliki banyak pengetahuan, wawasan, serta pengalaman i idalam menjalankani
itugasi dani itanggung jawabnya yang memiliki kesesuaian dengan obyek
penulisan.

6.4.1 Sumber Data Primer


Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber pertama dan
dicatat pertama kali dari informan. Informan dalam hal ini diartikan sebagai orang-
orang yang terlibat langsung maupun orang-orang yang memiliki keterkaitan
langsung dengani ipenelitian. Adapun informani iyang dipilih dalami ipenelitian
ini,iyaitu:
1. Kapolreta Mataram, Kombes Pol Heri Wahyudi,S.IK.,M.M.bertujuan untuk
mendapatkan informasi mengenai gambaran umum tentang situasi keamanan dan
ketertiban masyarakat di wilayah Mataram terutama terkait dengan masalah
kekerasan seksual pada anak serta kebijakan yang diambil sebagai pimpinan
dalam penanganan kekerasan seksual tersebut.
2. Kasat Reskrim Polresta Mataram, Kompol Kadek Adi Budi Astawa, S.T.,S.IK.
bertujuan untuk mendapat informasi mengenai kasus kekerasan seksual yang
terjadi pada anak, upaya represif serta perlindungan hukum yang dilakukan serta
hambatan yang dihadapi dalam menangani kasus tersebut .
3. Kasat Intelkam Polreta Mataram, AKP Refindo Pradikta Rulando Chaniago,S.IK.
bertujuan untuk mendapat informasi mengenai kerawanan-kerawanan yang ada
di Mataram, terutama daerah yangi isering terjadii ikasus kekerasani iseksual pada
anak.
4. Kaurbinopsnal SatReskrim Polresta Mataram, Ipda Fransisca Febrina Siburian,
S.Tr.K bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai pembagian kerja dalam
setiap kegiatan unit Sat Reskrim.
5. Kanit PPA Polreta Mataram, Iptu Dwi Narni bertujuan untuk mendapatkan
informasi bagaimana tugas sebagai perwira atasan langsung Sat Reskrim dalam
mengendalikan dan mengawasi kinerja Unit PPA dalam menangani kekerasan
seksual pada anak di era Pandemi Covid-19.
6. Kasubnit PPA Polresta Mataram, bertujuan untuk mendapatkan informasi
mengenai bagaimana tugas sebagai atasan langsung anggota PPA dalam
mengendalikan serta mengevaluasi kinerja anggota PPA dalam menangani
kekerasan seksual pada anak di era Pandemi Covid-19.
7. Masyarakat, informasi yang dicari tentang bagaimana ketersediaan masyarakat
dalam merespon kinerja Kepolisian dalam melakukan penanganan kekerasan
seksual pada anak di era Pandemi Covid-19.

Sumberi iinformasi tersebuti iberperan pentingi idalam memberii keterangan


dani iinformasi yang dibutuhkani idalam penelitian karena mereka imerupakan orang-
orangi iyang mengetahuii ilebih mendalami itentang topiki ipenulisan secara iakurat dan
mampui imewakili kelompoki iatau lembaganya.

Sugiyono (2017 : 221) mengatakan bahwa sumber data atau sampel ataupun
sumber informani isebaiknya memenuhi beberapai kriteriai isebagai berikut:
1. Merekai iyang menguasaii iatau memahamii isesuatu melalui proses enkulturasi,
sehinggai isesuatu itu bukan sekedari idiketahui, tetapii ijuga dihayati.
2. Merekai iyang tidaki icenderung menyampaikani iinformasi ihasil “kemasannya”
i sendiri.
3. Merekai iyang tergolongi masih terlibat dalam kegiatan yang tengah diteliti.
4. Merekai iyang mulanyai masih tergolongi “cukup asing” dengani penulis sehinggai
i lebih menggairahkani iuntuk dijadikani sebagai gurui iatau narasumber.
5. Mereka yangi mempunyai waktu untuk dimintai informasi.

6.4.2 Sumber Data Sekunderi

Datai isekunder yang mendukung penelitian i iini adalah dokumen. Sumber


informasi dokumen adalah semua produk administrasi yang dibuat oleh
Bhabinkamtibmas yang menyangkut masalah yang diteliti meliputi:

a. Intel Dasar Polresta Mataram tahun 2021


b. Data-datai iyang diperolehi idari Satuani iReskrim Polresta Mataram
c. Data-data Sat Reskrim Polresta Mataram
d. Data-data sarana dan prasarana Sat Reskrim
e. Struktur organisasi Polresta Mataram
f. Undang-Undangi Nomor 23i iTahun 2002 Perubahan atas Undang-Undangi No.
34 Tahuni i2014 tentangi iPerlindungan anaki
g. Foto-foto yangi berkaitan idengan kegiatan iBhabinkamtibmas dalam melakukan
kegiatan binluh.

Dengan demikian tujuan penelitian untuk mendiskripsikan bagaimana peran


Kepolisian terhadap penanganan Kekerasan Seksual pada Anak di Era Pandemi
Covid-19 dapat didukung oleh data-data yang valid dan objektif yang dapat
dipertanggung jawabkan.

6.4.3 Sumber Data Tersier


Sumberiidata tersier adalah sumberi idata yang idiperoleh dari iinformasi yang
berasal darii pendapat orang lain dan termasuk jurnal ilmiah yang telah
dipublikasikan.
6.5 Teknik Pengumpulan Datai
Tekniki yang idigunakan idalam pelaksanaan ipengumpulan data iberkait
erati dengani pendekatani i penelitian yang digunakan dan
i pelaksanaannya
i

disesuaikani i dengan jenis i penelitiannya.iDalam suatu ipenelitian kualitatif


secaraiumumIterdapati3iteknikii pengumpulan idatai yakni:Iobservasi atau
pengamatan, wawancara idan studii dokumen. Penulis dalam penelitian ini
menggunakan 3 tekniki ipengumpulan datai itersebut berupa :
6.5.1 Wawancarai
Menurut Moleong (2011 : 186) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan
oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan
terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.
Menurut Agustiova (2015 : 34) terdapat 3 jenis wawancara,yaitu:

1. Wawancara terstruktur
Digunakan sebagai teknik pengumpulan data, bila pengumpul data atau
peneliti telah mengetahui pasti informasi apa yang akan diperoleh sehingga, peneliti
telah menyiapkan instrumen penelitian berupa pertanyaan-pertanyaan tertulis yang
alternatif jawabannya pun telah disiapkan. Peneliti juga dapat membawa alat bantu
seperti tape recorder, gambar, brosur, dan lainnya yang dapat membantu pelaksanaan
wawancara.
2. Wawancara tidak terstruktur
Wawancara yang bebas yang mana peneliti tidak menggunakan pedoman
wawancara yang telah tersusun sistematis dan lengkap untuk pengumpulan datanya.
Peneliti lebih banyak mendengarkan responden, baik yang dilakukan secara facei ito
i face imaupun melalui itelepon,iakan selalu terjadiiikontak ipribadi sehingga peneliti
dapati imemilih waktui iyang tepati dan kapani iharus dilakukan iwawancara tersebut.
3. Wawancara semi terstruktur
Wawancara mendalam (indepth interview) dimana pelaksanaanya lebih
bebas dari wawancara terstruktur. Bertujuan untuk menemukan permasalahan secara
lebih terbuka dimana narasumber dimintai pendapat dan ide-idenya.
Dalam proses wawancarai ini peneliti menggunakaniipedoman wawancarai
yaitu dengani mengajukan ipertanyaan-pertanyaani yang berhubungani dengani
masalah penelitianii atau idengan kata lain peneliti menggunakan wawancara
terstruktur.
Penelitiiimemberikan Ikesempatan dan ikebebasan yang iseluas-luasnya
bagii sumberi untuki memberikani jawabani yangi sesuai idengan ikeadaan yangi
isesungguhnya, sehingga dengani demikiani idata yangi idikumpulkan adalahi idata
yangi iobjektif yang idapat digunakani sebagai ibahan dalam memecahkani masalahi
i penelitian.

6.5.2 Pengamatan (observasi)

Menuruti Farouki dani Djaalii (2005 : 31), observasii adalahiicara


menghimpuniibahan-bahan keterangani yangi dilakukani dengani cara mengadakani
pengamatani dani pencatatani secarai sistematisiiterhadap ifenomena-fenomenai yangi
dijadikani objeki ipengamatan. Observasii sebagai metodei pengumpulani yang
dijadikan objekiipengamatan. Observasii sebagai metodei pengumpulani data
banyakiidigunakan untuk Imengamati itingkah lakui iindividu atau prosesi iterjadinya
suatu ikegiatan yang idiamati.
Sejalan dengan hal demikian, observasi adalah pengamatan dan pencatatan
secara sistematik terhadap unsur-unsur yang tampak dalam suatu gejala-gejala dalam
objek penelitian. Observasi dibutuhkan untuk memahami proses terjadinya
wawancara dan hasil wawancara dapat dipahami dalam konteksnya. Observasi
dilakukan terhadap subjek, perilaku subjek selama wawancara, interaksi subjek
dengan peneliti, dan hal-hal yang dianggap relevan sehingga dapat memberikan data
tambahan terhadap hasil wawancara. (Dikutip dari Nawawi dan Martini dalam
Afifudin, 2012 :134).
Pandangan Patton dalam Nasution (1988 : 67) manfaat yang diperoleh dari
teknik pengumpulan data dengan observasi adalah:

1. Penulis lebih mampu memahami konteks data dalam keseluruhan situasi sosial,
sehingga diperoleh pandangan yang holistik (menyeluruh)
2. Memperoleh pengalaman langsung
3. Penulis mampu melihat hal yang kurang atau yang tidak diamati oleh orang lain
yang berada di lingkungan yang sama
4. Penulis menemukan hal yang yang sedianya tidak akan terungkap dalam
wawancara
5. Memperoleh gambaran yang lebih komprehensif
6. Melaui observasi tidak hanya mengumpulkan data, tetapi juga menambah kesan-
kesan pribadi, dan merasakan situasi sosial yang diteliti.

Ada beberapa macam observasi yang dapat dilakukan oleh peneliti dalam
penelitian kualitatif, yaitu sebagai berikut:

1. Observasi parsiatif
Dalam observasi parsiatif dalam melakukan penelitian, peneliti ikut
melibatkan diri ke dalam kehidupan sehari-hari di lokasi penelitian.
2. Observasi terus terang atau tersamar
Dalam observasi terus terang atau tersamar, peneliti dalam melakukan
penelitiannya berterus terang bahwa dirinya sedang melakukan penelitian, dan hal itu
diketahui oleh masyarakat atau orang yang sedang diteliti, sejak awal, dari datang
hingga selesainya penelitian. Di sisi lain, peneliti juga merahasiakan dirinya sebagai
peneliti mana kala ada data yang akan dikumpulkan, tetapi topiknya dirahasiakan.
3. Observasi tak berstruktur
Observasi ini dilakukan secara acak dan multidimensi sehingga tidak
memerlukan penjadwalan yang tepat. Bahkan fokus penelitian dapat berubah
bergantung pada hasil penjelajahan umum di lokasi penelitian.

Dalam skripsi mengenai peran Kepolisian terhadap penanganan Kekerasan


Seksual pada Anak di Era Pandemi Covid-19 ini peneliti menggunakan teknik
pengumpulan data dengan dengan observasi terus terang, dimana peneliti berterus
terang sedang melakukan penelitian sejak awal kedatangan hingga selesai penelitian.

6.5.3 Telaah Dokumen


Guba dan Lincoln (dalam Moleong, 2007 : 216-217) menjelaskan istilah
dokumen yang dibedakan dengan record. Defenisi dari record adalah pernyataan
tertulis yang disusun oleh seseorang/lembaga untuk keperluan pengujian suatu
peristiwa. Sedangkan dokumen adalah setiap bahan tertulis ataupun film lain dari
record yang tidak dipersiapkan karena adanya permintaan seorang penyidik.
Dari pengertian di atas, maka dapat ditarik benang merahnya bahwa
dokumen merupakan sumber data yang digunakan untuk melengkapi penelitian, baik
berupa sumber tertulis, film, gambar, dan karya-karya monumental, yang semuanya
itu memberikan informasi bagi proses penelitian. Dalami penelitiani inii tekniki
telaah dokumen digunakani iuntuk mendapatkan informasii darii dokumen yang
dimiliki oleh Kepolisian mengenai penanganan kasusi kekerasani seksuali
terhadapiianak di Era Pandemi Covid-19. Dokumen yang akan di telaah adalah
sebagai berikut:

1. Buku register laporan polisi tahun 2017-2021


2. Peta wilayah hukum Polresta Mataram tahun 2021
3. Register Laporan Polisi dari tahun 2017-2021 tentang kasus kekerasan seksual
pada anak
4. Pemetaan dan identifikasi daerah

6.6 Validitas Data


Validitas merupakan derajat ketepatan antara data yang terjadi pada objek
penelitian dengan data yang dapat dilaporkan oleh peneliti. Dengan demikian data
yang valid adalah data yang sama antara yang dilaporkan oleh peneliti dengan data
yang sepenuhnya terjadi pada objek penelitian. Triangulasi sumber data adalah
menggali kebenaran informasi tertentu melalui berbagai macam metode dan sumber
pengolahan data. Selain melalui wawancara dan observasi, peneliti juga
menggunakan observasi terlibat (participant observation), dokumen tertulis, arsip dan
gambar atau foto. Masing-masing cara tersebut akan menghasilkan bukti atau data
yang berbeda, yang selanjutnya akan memberikan pandangan yang berbeda pula
mengenai permasalahan yang diteliti. Berbagai pandangan itu akan melahirkan
keluasan pengetahuan untuk memperoleh kebenaran.
Triangulationi iis iqualitative icross-validation. Iti assessesi thei isufficienct
ofiithe idata iaccording ito ithe iconvergenceiof imultiple dataissources ior multiplei
datai collectioni proceduresi (William Wiersmai dalami Soegiyono 2017 : i273).
Triangulasii dalami pengujiani kredibilitasi iniiidiartikan isebagai ipengecekan datai
dari iberbagai isumber denganiiberbagai icara idan iberbagai iwaktu. Analisis data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah model analisis interaksi (interactive
analysis models). Dalam model ini komponen reduksi data dan sajian data dilakukan
bersamaan dengan proses pengumpulan data. Setelah data terkumpul, maka tiga
komponen analisis (reduksi data, sajian data, penarikan kesimpulan) saling
berinteraksi.

Menurut Denzin (Moleong 2006:330) terdapat 4 teknik triangulasi, yaitu:

1. Triangulasi sumber
Merupakan teknik pengecekan kredibilitas data yang dilakukan dengan cara
memeriksa data yang didapatkan melalui beberapa sumber yang mana peneliti tidak
hanya akan menggunakan satu anggota namun peneliti akan menggunakan beberapa
anggota Unit PPA.
2. Triangulasi teknik
Merupakan teknik yang dilakukan dengan cara mengecek data kepada
sumber yang sama namun, dengan teknik yang berbeda. Peneliti akan mengecek
mengecek dokumen yang telah ada, lalu peneliti melakukan observasi yang diiringi
dengan wawancara ke berbagai sumber termasuk pula anggota Kepolisiam untuk
melakukan Crosscheck terhadap suatu kebenaran informasi.
3. Triangulasi waktu
Merupakan teknik yang dilakukan dengan wawancara, observasi, atapun
teknik lain namun dalam waktu yang berbeda. Penelitian akan dilaksanakan baik pada
pagi, siang, sore, maupun malam hari menyesuaikan dengan kegiatan yang akan kita
ikuti sesuai informasi yang peneliti butuhkan.
4. Triangulasi teori
Peneliti menggunakan teori komunikasi (Harold Lasweel) serta teori
manajemen (George Terry) dengan konsep Kepolisian, konsep penanganan, konsep
kekerasan seksual, serta konsep anak.

6.7 Teknik Analisis Data


Analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke
dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar yang dilakukan mulai sejak
pengumpulan data dan dikerjakan secara intensif, yaitu sesudah meninggalkan
lapangan. (Afaifudin, 2012 : 146).
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik model Miles and
Huberman. Miles and Huberman (1984), mengemukakan bahwa aktivitas dalam
analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus
menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh. Aktivitas dalam analisis data,
yakni data reduksi data (reduction idata), isajian datai (dataiidisplay), serta
penarikani kesimpulani (conclusioni approaches to choose).

6.1.1 Reduksii Datai


Reduksii datai merupakan suatu prosesiipemilihan,Ipemusatan, dan
perhatiani padaiipenyederhanaan,Ipengabstrakan, dan itransformasi data kasari yangi
munculi dari catatani tertulisi diilapangan. Proses ini berlangsung selama penelitian
dalam bentuk memusatkan tema wawancara, menentukan batas-batas persoalan yang
akan diteliti, dan sebagainya (Milesi dan Hubermani 1992i : 16). Dalami sebuah
penelitian,idata-data yang ditemukan bukan hanya data yang mendukung penelitian
namun berbagai data lainnya yang tidak berhubungan dengan penelitian tersebut.
Sehingga untuk menghindari kerancuan dalam penelitian, dibutuhkan reduksi data.
Sehingga data yang ditampilkan hanya datai yang pentingi dan iberhubungani
idengan penelitiani tersebut saja. Adapun datai yangi ditentukan oleh peneliti melalui
kegiatan penelitian adalah sebagai berikut:
a. Laporan Situasi Kamtibmas Polresta Mataram;
b. Intel dasar Kota Mataram;
c. Laporan terkait kekerasan seksual pada anak oleh Unit PPA;
d. Hasil Wawancara;
e. Hasil Observasi.

Data diatas kemudian direduksi menjadi data tabel, gambar, grafik dan
penjelasan dalam tulisan ilmiah ini.

6.1.2 Sajian Data


Sajian data adalah suatu susunan informasi yang memungkinkan dapat
ditariknya suatu kesimpulan penelitian. Dengan melihat sajian data, memiliki
kegunaan memudahkan dalam melihat dan memahami informasi yang berkaitan
dengan masalah yang diteliti. Penyajian i datai dilakukan dalam
i

bentukiimatriks,igambar,iskema,ijaringan kerja,idanitabel. Kondisi demikian


kemudian memudahkan peneliti untuk melakukan tahap selanjutnya pada penarikan
kesimpulan penelitian serta mempermudah pembaca tulisan ini dalam mengambil
simpulan terkait permasalahan yang dibahas.
Farouki dan iDjaali (2005i : 97) menyatakan ibahwa:
penyajiani datai tersebut idalam bentuki matriksi dan itabel yang dapati
membantuiimenganalisa, mendapatkani gambari yangi ijelas sertai
sistematikii igunai imemudahkan iidalam iimenyusun ikesimpulan. Penyajian
datai ini dilakukan dengan mendeskripsikan dan menganalisa secara
sistematis mengenai objek dari penelitian ini yaitu peran Kepolisian terhadap
penanganan Kekerasan Seksual pada Anak di Era Pandemi Covid-19.

6.7.3 Penarikani Kesimpulani atau Verifikasi

Sejaki melakukani pengumpulaniidata, penelitii iharus isudah imulai


memahamii maknai darii informasi-informasi iyang diterimanya, idengan cara
mencatati ipola-pola, keteraturan, ipernyataan idari iberbagai sumber yang diteliti.
Kesimpulan pada penelitian kualitatif akan ditarik setelah proses pengumpulan data
berakhir. Kesimpulan yang didapatkan melalui penelitian ini dituangkan dalam bab
pembahasan. Data hasil penelitian dibandingkan dengan teori dan konsep guna
mencapai nilai kebenaran terkait dengan penanganan kekerasan seksual pada anak di
Era Pandemi Covid-19 oleh kepolisian dii wilayahi hukumi Polresta Mataram.

Farouki dan Djaalii (2005i : 98) menyatakan bahwa:

prosesi menafsirkani dalami penelitiani kualitatifi berlangsungi dalam satui


siklusi modeli interaktifi yang prosesnyai mulaii sejaki tahapi awali penelitian,
bahkani sebelumi mengumpulkani idata, yaitui iketika merancangi proposali
penelitiani dan terusi berlanjuti isepanjang prosesi ipenelitian.`Kesimpulan
akhir pada penelitian kualitatif, tidak akan ditarik kecuali setelah proses
pengumpulan data berakhir. Kesimpulan yang dibuat perlu diverifikasi
dengan cara melihat dan mempertayakan kembali, sambil meninjau secara
sepintas pada catatan lapangan untuk memperoleh pemahaman yang lebih
tepat.

Pengumpulani iData
Reduksi Datai Sajian Datai

Penarikani iKesimpulan

Gambar 3.2 Analisisi idata oleh Milesi idan HubermanI

7. DAFTAR PUSTAKA
Rolandas Paulauskas (2013). Sexual Deviance And Child Abuse. Teacher Education.
21, 10-23.

Elizabeth M. Molyneux, Neil Kennedy, Asefa Dano, Yabwile Mulambia (2013).


Sexual abuse of children in low-income settings: time for action. Paediatrics
and International Child Helath. 33, 239-246

Tower, Cynthia Crosson. (2002). Understanding Child Abuse and Neglect. Boston:
Allyn & Bacon.

UNICEF. (2012). Perlindungan Anak. Ringkasan Kajian – UNICEF, Oktober 2012.

Wahyuni, Dinar. (2014). Kejahatan Seksual Anak dan Gerakan Nasional Anti-
Kejahatan Seksual Terhadap Anak. Info Singkat Kesejahteraan Sosial Vol.
VI, No. 12/II/ P3DI/Juni/2014.
Weber, Mark Reese., Smith, Dana M.(2010). Outcomes of Child Sexual Abuse as
Predictors of laters Sexual Victimization. Dalam Journal of International
Violence. (Online). 26 (9): 1899-1905.

Whealin, Julia. (2007). Child Sexual Abuse. National Center for Post Traumatic
Stress Disorder. US Department of Veterans Affair (Online). Diunduh dari
http://www. answers.com/topic/child-abuse.

Wismayanti, Farida Yanuar. (2012). Perlindungan Anak Berbasis Komunitas di


Wilayah Perbatasan: Penelitian Aksi di Desa Entikong, Kecamatan
Entikong, Kabupaten Sanggau, Propinsi Kalimantan Barat. Sosiokonsepsia
Vol. 17, No. 01 tahun 2012. Jakarta.

Yantzi, Mark. (2009). Kekerasan Seksual dan Pemulihan: Pemulihan Bagi Korban,
Pelaku & Masyarakat. Diterjemahkan oleh Timur Citra Sari dan Mareike
Bangun. Jakarta: Gunung Mulia.

Anda mungkin juga menyukai