OLEH:
Berdasarkan info dari KPAI, Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir bisa
dikatakan menjadi tahun yang sangat memprihatinkan bagi anak Indonesia. KPAI
atau Komisi Perlindungan Anak Indonesia menemukan ratusan kasus kekerasan
seksual terhadap anak yang diduga dilakukan oleh orang terdekat anak. Jasra Putra
selaku Komisioner KPAI mengungkapkan bahwa terdapat data yang menunjukan
bahwa terdapat 218 kasus kekerasan seksual anak pada tahun 2015, 120 kasus
kekerasan seksual pada anak di tahun 2016, dan pada tahun 2017, terdapat 116
kasus. Dari data tersebut KPAI menyatakan bahwa pelaku kekerasan seksual pada
anak ialah orang terdekat seperti orangtua korban/ayah tiri dan kandung, keluarga
terdekat dan teman korban.Dalam kasus kekerasan seksual yang marak terjadi,
anak menjadi kelompok yang sangat rentan terhadap kekerasan seksual karena
anak selalu diposisikan sebagai sosok yang lemah dan tidak berdaya.
Hampir dari setiap kasus yang diungkap, pelakunya adalah orang yang dekat
korban. Tak sedikit pula pelakunya adalah orang yang memiliki dominasi atas
korban, seperti orang tua dan guru. Tidak ada satupun karakteristik khusus atau tipe
kepribadian yang dapat diidentifikasi dari seorang pelaku kekerasan seksual terhadap
anak. Dengan kata lain, siapa pun dapat menjadi pelaku kekerasan seksual terhadap
anak atau pedofilia. Kemampuan pelaku menguasai korban, baik dengan tipu daya
maupun ancaman dan kekerasan, menyebabkan kejahatan ini sulit dihindari. Dari
seluruh kasus kekerasan seksual pada anak baru terungkap setelah peristiwa itu
terjadi, dan tak sedikit yang berdampak fatal. Secara umum pengertian kekerasan
seksual pada anak adalah keterlibatan seorang anak dalam segala bentuk aktivitas
seksual yang terjadi sebelum anak mencapai batasan umur tertentu yang ditetapkan
oleh hukum negara yang bersangkutan dimana orang dewasa atau anak lain yang
usianya lebih tua atau orang yang dianggap memiliki pengetahuan lebih dari anak
memanfaatkannya untuk kesenangan seksual atau aktivitas seksual (CASAT
Programme, Child Development Institute; Boyscouts of America; Komnas PA).
Kebanyakan korban kekerasan seksual pada anak berusia sekitar 5-11 tahun.
Bagi pelaku jenis kelamin tidak berpengaruh dalam melakukan kekerasan seksual
yang penting bagi pelaku hasrat seksual mereka dapat tersalurkan. Modus pelaku
dalam mendekati korban sangatlah bervariasi misalnya mendekati korban dan
mengajak ngobrol, membujuk korban, merayu dan memaksa korbanya. Serta modus
yang lebih canggih yakni pelaku menggunakan jejaring social dengan berkenalan
dengan korban, mengajak bertemu dan memperkosa ataumelakukan kekerasan
seksual. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tahun 2010-2014
menyebutkan bahwa, sekitar 42%-62% dari seluruh KtA merupakan kasus kekerasan
seksual dan tempat kejadian terbanyak ada dirumah dan sekolah, sehingga rumah dan
sekolah bukan lagi menjadi tempat yang aman bagi anak.
Selain kasus kekerasan yang dialami anak, angka Perkawinan Usia Anak
juga meningkat. Kondisi ini terjadi karena tekanan ekonomi yang meningkat, tidak
adanya rutinitas, paksaan dari orang tua, kehamilan di luar nikah. Menurut data
Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama yang diolah KPPPA, sejak Januari
hingga Juni 2020, terdapat sekitar 34.000 permohonan dispensasi perkawinan yang
masuk ke pengadilan agama. Sekitar 97% permohonan dispensasi itu dikabulkan,
yang berarti perkawinan diizinkan. Permohonan dispensasi pada semester pertama
tahun 2020 itu sendiri meningkat drastis dibanding dengan data keseluruhan tahun
2019, yakni dengan 23.700 permohonan. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak (PPPA) juga menerima 3.087 laporan kekerasan anak sejak 1
Januari 2020 hingga 19 Juni 2020. Kekerasan terhadap anak perempuan lebih
dominan dibandingkan anak laki-laki. Sebanyak 2.454 anak perempuan menjadi
korban kekerasan. Sementara itu, 965 anak laki-laki menjadi korban. Jenis kekerasan
beragam, 852 anak mengalami kekerasan fisik, 768 anak mengalami kekerasan psikis,
dan 1.848 anak mengalami kekerasan seksual. Selanjutnya, 50 anak menjadi korban
eksploitasi, 60 anak menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO), dan
228 anak menjadi korban penelantaran.
Setiap anak yang mengalami kekerasan seksual memerlukan trauma healing.
Pendamping perlu menguasai keterampilan dalam melakukan trauma healing agar
kondisi psikologis korban dan keluarga kembali pulih. Tujuan dukungan psikososial
adalah agar korban melupakan kekerasan. Dukungan psikososial adalah dukungan
(dalam bentuk berbagai bentuk kegiatan) yang diberikan untuk memulihkan
kesejahteraan psikologis dan sosial dari individu atau komunitas yang mengalami
peristiwa traumatis. Bertujuan untuk meningkatkan resiliensi anak, mencegah resiko
mengalami kondisi kesehatan mental/psikologis yang menjadi lebih buruk,
memberikan layanan yang lebih baik, termasuk merujuk anak ke layanan lain yang ia
butuhkan.
3. TUJUAN PENELITIAN
1. Untuk mengetahui peran Kepolisian terhadap Kekerasan Seksual pada
Anak di Era Pandemi Covid-19.
2. Untuk mengetahui Kekerasan Seksual pada Anak di Era Pandemi Covid-
19.
3. Untuk mengetahui penanganan Kekerasan Seksual pada anak di Era
Pandemi Covid-19.
4. MANFAAT PENELITIAN
5. TINJAUAN PUSTAKA
5.2 Teori
5.2.1 TEORI PERAN
Menurut Biddle dan Thomas dalam Sarwono (2006 : 215) bahwa teori peran
(role theory) dapat digolongkan menjadi 4 (empat) yaitu:
1. Orang-orang yang mengambil bagian dalam interaksi sosial
Orang-orang tersebut merupakan aktor atau pemeran utama yang sedang
berperilaku menurut suatu peran tertentu dan tan target (sasaran) atau orang lain yang
mempunyai hubungan dengan aktor atau perilaku.
2. Perilaku yang muncul dalam interaksi tertentu
a. Harapan
Harapan tentang peran adalah harapan-harapan orang lain tentang perilaku
yang pantas yang ditunjukkan oleh seseorang yang punya peran tertentu.
Masyarakat sebagai inividu mempunyai harapan tertentu perilaku yang pantas
yang ditunjukkan dari seorang polisi.
b. Norma
Norma merupakan salah satu dari harapan. Menurut Secord dan Backman
dalam Sarwono (2006 : 217) bahwa harapan pada norma bersifat normatif.
c. Wujud perilaku
Peran diwujudkan dalam perilaku nyata oleh aktor. Perilaku aktor dapat
berbeda antara yang satu dengan lainnya sesuai dengan sifat asal dan
tujuannya.
d. Penilaian dan sanksi
Penilaian dan sanksi didasarkan pada harapan masyarakat tentang norma.
Berdasarkan hal tersebut maka orang akan memberi kesan positif atau negatif
terhadap suatu perilaku. Kesan tersebut yang disebut sebagai penilaian peran,
sedangkan sanksi adalah usaha seseorang untuk mempertahankan suatu nilai
atau perwujudan peran yang diubah sedemikian rupa sehingga hal tersebut
menjadi positif.
3. Kedudukan orang-orang dalam perilaku
Kaitan kedudukan aktor dapat mempengaruhi perilakunya.
4. Kaitan antara kedudukan orang dan perilaku
a. Derajat kesamaan atau ketidaksamaan antara bagian-bagian yang saling
terkait
b. Derajat saling menentukan atau saling ketergantungan antara bagian-bagian
tersebut
c. Gabungan antara derajat kesamaan dan saling ketergantungan.
Menurut Soekanto (2009:212-213), peran merupakan aspek dinamis
kedudukan (status), apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai
dengan kedudukannya, maka ia menjalankan suatu peranan. Hakekatnya peran juga
dapat dirumuskan sebagai suatu rangkaian perilaku tertentu yang ditimbulkan oleh
suatu jabatan tertentu. Kepribadian seseorang juga mempengaruhi bagaimana peran
itu harus dijalankan. Peran yang dimainkan hakekatnya tidak ada perbedaan, baik
yang dimainkan/diperankan pimpinan tingkat atas, menengah maupun bawah akan
mempunyai peran yang sama.
Peran lebih menunjukkan pada fungsi penyesuaian diri, dan sebagai sebuah
proses. Menurut Levinson dalam Soekanto (2009 : 213) peran yang dimiliki oleh
seseorang mencakup tiga hal antara lain:
1. Peran meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi seseorang di
dalam masyarakat. Jadi, peran di sini bisa berarti peraturan yang membimbing
seseorang dalam masyarakat.
2. Peran adalah sesuatu yang dilakukan seseorang dalam masyarakat.
3. Peran juga merupakan perilaku seseorang yang penting bagi struktur sosial
masyarakat.
1. Mengumpulkan informasi aktual secara rinci yang melukiskan gejala yang ada.
2. Mengidentifikasi masalah atau memeriksa kondisi dan praktek-praktek yang
berlaku.
3. Membuat perbandingan atau evaluasi.
4. Menentukan apa yang seharusnya dilakukan jika menghadapi masalah yang sama
dan belajar dari pengalaman untuk menetapkan rencana dan keputusan pada
waktu yang akan datang.
Kebaruan informasi itu bisa berupa upaya untuk memahami secara luas dan
mendalam tentang situasi sosial daerah penelitian, tetapi juga ada keinginan untuk
menghasilkan hipotesis ataupun ilmu baru dari situasi sosial yang diteliti. Fokus yang
sebenarnya dalam penelitian kualitatif diperoleh setelah peneliti melakukan
penjelajahan umum. Dari penjelajahan umum ini peneliti akan memperoleh gambaran
umum menyeluruh yang masih pada tahap permukaan tentang situasi sosial. Untuk
dapat memahami secara lebih luas dan mendalam, maka diperlukan pemilihan fokus
penelitian.
Spradleyi idalam Sanaplah Faisali (1998) dalam Sugiyono (2017:57)
mengemukakani iempat alternatifi iuntuk menetapkani ifokus yaitu:
Fokus penelitian yang peneliti ambil pada skripsi ini adalah peran Kepolisian
terhadap penanganan Kekerasan Seksual pada Anak di Era Pandemi Covid-19. Hal
tersebut séhubungan dengan masih maraknya kekerasan seksual yang terjadi pada
anak. Sehingga diharapkan penelitian ini dapat membantu Kepolisian dalam
meningkatkan penanganan Kekerasan Seksual pada Anak di Era Pandemi Covid-19.
1. Sumberi idata merupakani pihak yang dapati imemberikan suatu informasi maupun
datai yang bersifat nyata dan dapat dipertanggungjawabkan.
2. Sumber data/informasi yang dianggapi imemiliki kapasitasi dalam menjawabi
i pertanyaan-pertanyaan yangi diberikan dengani pertimbangan bahwai mereka
memiliki banyak pengetahuan, wawasan, serta pengalaman i idalam menjalankani
itugasi dani itanggung jawabnya yang memiliki kesesuaian dengan obyek
penulisan.
Sugiyono (2017 : 221) mengatakan bahwa sumber data atau sampel ataupun
sumber informani isebaiknya memenuhi beberapai kriteriai isebagai berikut:
1. Merekai iyang menguasaii iatau memahamii isesuatu melalui proses enkulturasi,
sehinggai isesuatu itu bukan sekedari idiketahui, tetapii ijuga dihayati.
2. Merekai iyang tidaki icenderung menyampaikani iinformasi ihasil “kemasannya”
i sendiri.
3. Merekai iyang tergolongi masih terlibat dalam kegiatan yang tengah diteliti.
4. Merekai iyang mulanyai masih tergolongi “cukup asing” dengani penulis sehinggai
i lebih menggairahkani iuntuk dijadikani sebagai gurui iatau narasumber.
5. Mereka yangi mempunyai waktu untuk dimintai informasi.
1. Wawancara terstruktur
Digunakan sebagai teknik pengumpulan data, bila pengumpul data atau
peneliti telah mengetahui pasti informasi apa yang akan diperoleh sehingga, peneliti
telah menyiapkan instrumen penelitian berupa pertanyaan-pertanyaan tertulis yang
alternatif jawabannya pun telah disiapkan. Peneliti juga dapat membawa alat bantu
seperti tape recorder, gambar, brosur, dan lainnya yang dapat membantu pelaksanaan
wawancara.
2. Wawancara tidak terstruktur
Wawancara yang bebas yang mana peneliti tidak menggunakan pedoman
wawancara yang telah tersusun sistematis dan lengkap untuk pengumpulan datanya.
Peneliti lebih banyak mendengarkan responden, baik yang dilakukan secara facei ito
i face imaupun melalui itelepon,iakan selalu terjadiiikontak ipribadi sehingga peneliti
dapati imemilih waktui iyang tepati dan kapani iharus dilakukan iwawancara tersebut.
3. Wawancara semi terstruktur
Wawancara mendalam (indepth interview) dimana pelaksanaanya lebih
bebas dari wawancara terstruktur. Bertujuan untuk menemukan permasalahan secara
lebih terbuka dimana narasumber dimintai pendapat dan ide-idenya.
Dalam proses wawancarai ini peneliti menggunakaniipedoman wawancarai
yaitu dengani mengajukan ipertanyaan-pertanyaani yang berhubungani dengani
masalah penelitianii atau idengan kata lain peneliti menggunakan wawancara
terstruktur.
Penelitiiimemberikan Ikesempatan dan ikebebasan yang iseluas-luasnya
bagii sumberi untuki memberikani jawabani yangi sesuai idengan ikeadaan yangi
isesungguhnya, sehingga dengani demikiani idata yangi idikumpulkan adalahi idata
yangi iobjektif yang idapat digunakani sebagai ibahan dalam memecahkani masalahi
i penelitian.
1. Penulis lebih mampu memahami konteks data dalam keseluruhan situasi sosial,
sehingga diperoleh pandangan yang holistik (menyeluruh)
2. Memperoleh pengalaman langsung
3. Penulis mampu melihat hal yang kurang atau yang tidak diamati oleh orang lain
yang berada di lingkungan yang sama
4. Penulis menemukan hal yang yang sedianya tidak akan terungkap dalam
wawancara
5. Memperoleh gambaran yang lebih komprehensif
6. Melaui observasi tidak hanya mengumpulkan data, tetapi juga menambah kesan-
kesan pribadi, dan merasakan situasi sosial yang diteliti.
Ada beberapa macam observasi yang dapat dilakukan oleh peneliti dalam
penelitian kualitatif, yaitu sebagai berikut:
1. Observasi parsiatif
Dalam observasi parsiatif dalam melakukan penelitian, peneliti ikut
melibatkan diri ke dalam kehidupan sehari-hari di lokasi penelitian.
2. Observasi terus terang atau tersamar
Dalam observasi terus terang atau tersamar, peneliti dalam melakukan
penelitiannya berterus terang bahwa dirinya sedang melakukan penelitian, dan hal itu
diketahui oleh masyarakat atau orang yang sedang diteliti, sejak awal, dari datang
hingga selesainya penelitian. Di sisi lain, peneliti juga merahasiakan dirinya sebagai
peneliti mana kala ada data yang akan dikumpulkan, tetapi topiknya dirahasiakan.
3. Observasi tak berstruktur
Observasi ini dilakukan secara acak dan multidimensi sehingga tidak
memerlukan penjadwalan yang tepat. Bahkan fokus penelitian dapat berubah
bergantung pada hasil penjelajahan umum di lokasi penelitian.
1. Triangulasi sumber
Merupakan teknik pengecekan kredibilitas data yang dilakukan dengan cara
memeriksa data yang didapatkan melalui beberapa sumber yang mana peneliti tidak
hanya akan menggunakan satu anggota namun peneliti akan menggunakan beberapa
anggota Unit PPA.
2. Triangulasi teknik
Merupakan teknik yang dilakukan dengan cara mengecek data kepada
sumber yang sama namun, dengan teknik yang berbeda. Peneliti akan mengecek
mengecek dokumen yang telah ada, lalu peneliti melakukan observasi yang diiringi
dengan wawancara ke berbagai sumber termasuk pula anggota Kepolisiam untuk
melakukan Crosscheck terhadap suatu kebenaran informasi.
3. Triangulasi waktu
Merupakan teknik yang dilakukan dengan wawancara, observasi, atapun
teknik lain namun dalam waktu yang berbeda. Penelitian akan dilaksanakan baik pada
pagi, siang, sore, maupun malam hari menyesuaikan dengan kegiatan yang akan kita
ikuti sesuai informasi yang peneliti butuhkan.
4. Triangulasi teori
Peneliti menggunakan teori komunikasi (Harold Lasweel) serta teori
manajemen (George Terry) dengan konsep Kepolisian, konsep penanganan, konsep
kekerasan seksual, serta konsep anak.
Data diatas kemudian direduksi menjadi data tabel, gambar, grafik dan
penjelasan dalam tulisan ilmiah ini.
Pengumpulani iData
Reduksi Datai Sajian Datai
Penarikani iKesimpulan
7. DAFTAR PUSTAKA
Rolandas Paulauskas (2013). Sexual Deviance And Child Abuse. Teacher Education.
21, 10-23.
Tower, Cynthia Crosson. (2002). Understanding Child Abuse and Neglect. Boston:
Allyn & Bacon.
Wahyuni, Dinar. (2014). Kejahatan Seksual Anak dan Gerakan Nasional Anti-
Kejahatan Seksual Terhadap Anak. Info Singkat Kesejahteraan Sosial Vol.
VI, No. 12/II/ P3DI/Juni/2014.
Weber, Mark Reese., Smith, Dana M.(2010). Outcomes of Child Sexual Abuse as
Predictors of laters Sexual Victimization. Dalam Journal of International
Violence. (Online). 26 (9): 1899-1905.
Whealin, Julia. (2007). Child Sexual Abuse. National Center for Post Traumatic
Stress Disorder. US Department of Veterans Affair (Online). Diunduh dari
http://www. answers.com/topic/child-abuse.
Yantzi, Mark. (2009). Kekerasan Seksual dan Pemulihan: Pemulihan Bagi Korban,
Pelaku & Masyarakat. Diterjemahkan oleh Timur Citra Sari dan Mareike
Bangun. Jakarta: Gunung Mulia.