Anda di halaman 1dari 13

1

TUGAS MAKALAH
MATA KULIAH METODE PENELITIAN KUALITATIF DAN KUATITATIF

MENELITI VONIS EKS MENSOS JULIARI DALAM KASUS


KORUPSI DANA BANSOS ISU WAJAH PENEGAKKAN
HUKUM DOGMATIS DI INDONESIA

OLEH :

MUHAMMAD GIFARI SYARIFUDDIN

NIM. 092114853008

SEKOLAH PASCA SARJANA


PROGRAM STUDI S2 KAJIAN ILMU KEPOLISIAN UNIVERSITAS
AIRLANGGA SURABAYA
TAHUN 2021
2

MENELITI VONIS EKS MENSOS JULIARI DALAM KASUS


KORUPSI DANA BANSOS ISU WAJAH PENEGAKKAN
HUKUM DOGMATIS DI INDONESIA

A. Latar Belakang
Korupsi berasal dari bahasa latin yaitu Corruption dari kata kerja
corrumpere yang maknanya adalah busuk, rusak, menggoyahkan, mengoyok,
dan memutarbalik. Secara harifiah, korupsi merupakan suatu cerminan perilaku
pejabat publik, baik pegawai negeri maupun politis, yang secara tidak legal dan
tidak wajar yang ingin memperkaya diri sendiri dengan menyalahgunakan
kekuasaannya yang sudah diamanahkan kepada mereka. Perilaku korupsi akan
dihadapkan pada kenyataan yang menyangkut moral seseorang, sifat dan suatu
keadaan yang buruk, penyelewangan ini biasa terjadi karena suatu kekuasaan
pemberian, faktor ekonomi dan politik, serta keluarga atau kedinasan dibawah
kekuasaan jabatannya.
Di Indonesia korupsi sudah menjadi sebuah fenomena. Tindak pidana
korupsi merupakan suatu perbuatan yang dapat merugikan keuangan negara
tetapi juga dapat menimbulkan kerugian terhadap perekonomian rakyat.
Perkembangan korupsi di Indonesia masih tergolong sangat tinggi, sedangkan
pemberantasannya masih sangat lambat. Tindakan korupsi di Indonesia sudah
merupakan sebuah virus yang menyebar luas ke seluruh pemerintahan, langkah-
langkah pemberantasannya pun masih lambat sampai sekarang. Korupsi juga
sering berakaitan dengan kekuasaan karena dengan itu penguasa dapat
menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadinya.
Tindak pidana korupsi tidak dapat lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa
karena telah menjadi suatu kejahatan yang luar biasa (extraordinary crime). Hal
ini disebabkan, metode konvensional yang selama ini digunakan, terbukti tidak
bisa menyelesaikan suatu persoalan korupsi yang ada di masyarakat. Dengan ini,
dalam penanganannya juga harus dengan menggunakan cara yang luar biasa
(extra-ordinary). Sementara itu, penanganan tindak korupsi di Indonesia masih
3

sering dihadapkan pada beberapa kondisi, yakni masih lemahnya upaya


penegakkan hukum tindak pidana korupsi, kualitas SDM penegak hukum masih
rendah, lemahnya koordinasi penegakkan hukum tindak pidana korupsi, serta
sering terjadinya tindak pidana korupsi dalam penangananya tersebut (Khobid,
M., & Gunarto, G. 2018).
Guna terwujudnya good governance harus didukung dengan penegakkan
hukum terhadap tindak pidana korupsi. Hal ini sejalan dengan tujuan yang
diamanatkan oleh UndangUndang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara
Negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Selanjutnya,
beberapa peraturan perundang-undangan dibentuk dalam upaya menangani
korupsi tersebut, yaitu: UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selanjutnya Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dan Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi.
Tindak pidana korupsi merupakan suatu kejahatan yang luar biasa, karena
dapat merusak kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun pada kenyataannya,
penjatuhan hukuman kepada pelakunya sangat ringan dibandingkan dengan
ancaman pidananya, sehingga menimbulkan anggapan bahwa kejahatan
meningkat dikarenakan para hakim memberikan hukuman ringan atas pelaku
koruptor. Oleh karena itu, sebaiknya tindakan yang diambil pengadilan
merupakan “ultimum remedium” terhadap pelanggar. Perkara tindak pidana
korupsi merupakan suatu perkara yang digolongkan ke dalam kejahatan yang
disebut “White collor crime” yaitu suatu kejahatan yang dilakukan oleh
seseorang yang mempunyai kedudukan tinggi dalam masyarakat dan dilakukan
karena tugas atau pekerjaannya (Wuarlela, B. S.2021).
Berkembang dan meluasnya tindak pidana korupsi tidak hanya terjadi pada
modus operandi atau kuantitas dan kualitasnya saja, melainkan sudah mencapai
4

akibat suatu kemunduran negara baik secara politik, sosial, ekonomi, budaya dan
pertahanan keamanan seperti yang terjadi di Indonesia pada saat ini dimana suatu
pemberantasan atau penanggulan tindak pidana korupsi sering kali mengalami
kegagalan baik dalam upaya preventif maupun represif dan hukum berdiri tegak
hanya dalam batas mencari kewibawaan (Pratiwi, A. 2019).
Pada umumnya penggolongan korupsi digolongkan menjadi dua bentuk
atau ruang lingkup yaitu:
1. Administratif corruption (penyalahgunaan kewenangan);
2. Against the rule of corruption (penyimpangan terhadap peraturan perundang-
undangan).

Pembagian ruang lingkup tersebut berarti korupsi terjadi pada tatanan


administrasi tertentu yang berhubungan dengan kedudukan, jabatan, atau
departemen yang biasa disebut penyalah-gunaan wewenang yang dikaitkan
dengan suatu proses administrasi. Korupsi juga dapat merupakan penentangan
atau penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam hal ini korupsi berarti pelanggaran terhadap undang-undang.

Fenomena korupsi menjadi menarik bila ditelaah bila dikaitkan dengan


struktur kenegaraan dan perpolitikan bangsa. Sentralisasi kekuasaan terjadi di
pusat terhadap daerah, yang bagi beberapa elite politik merupakan surga. Hal ini
merupakan lahan basah bagi terjadinya suatu korupsi. Sentralitas kekuasaan
mengakibatkan korupsi dari berbagai macam sisi. Baik di pusat yang melakukan
fungsi kontrol dengan daerah yang terpisah, maupun daerah bawahan yang
menggunakan hierarkinya atas nama pusat. Sentralitas kekuasaan mengalami
keterlambatan atas posisi pengatur daeah. Praktik korupsi mempunyai peluang
besar untuk dapat terjadi, bahkan mungkin berjalan mulus tanpa adanya suatu
hambatan.

Salah satu kasus korupsi yang menjadi sorotan publik adalah kasus korupsi
Bansos yang dilakukan oleh mantan Menteri Sosial Juliari ditengah sulitnya
masyarakat menghadapi pandemic covid-19. Perbuatan Juliari tergolong berat
5

karena terjadi di tengah pandemi. Juliari melakukan korupsi danan bansos untuk
bencana non alam, itu artinya lebih berat dibanding dari bencana alam. Di tengah
wabah, bekas politikus PDI Perjuangan itu menerima suap lebih dari Rp32 miliar
dari rekanan penyedia bansos di Kemensos. Jatah bansos yang mestinya utuh
diterima warga ditilap tiap paketnya. Sedangkan warga yang mati-matian
bertahan di tengah wabah, mendapati jatah bansosnya berkurang, kualitas yang
sudah buruk kian memburuk, dan terpaksa mengolahnya karena hanya itu yang
mereka punya.

Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, Mahfud Md,


mengatakan, pejabat pusat dan daerah yang melakukan tindak korupsi berkaitan
dengan anggaran bencana Covid-19 terancam hukuman mati. Menurut Undang-
Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), diancam dengan paling tinggi seumur
hidup atau 20 tahun penjara. Namun, dalam keadaan bencana seperti saat Covid-
19 ini, maka ancaman hukuman mati ini diberlakukan berdasarkan UU yang
berlaku. Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berbunyi: "Dalam hal tindak pidana
korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu,
pidana mati dapat dijatuhkan. Ketua KPK Firli Bahuri pada Agustus lalu
menuturkan, kondisi pandemi Covid-19 masuk atau memenuhi unsur 'dalam
keadaan tertentu' sesuai ayat 2 pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sehingga, hukuman mati layak
menjadi hukuman bagi pelaku koruptor bansos.

Tapi kenyataan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi


(Tipikor) mengganjar mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara Senin (23/08)
dengan vonis 12 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsidair enam bulan
kurungan. Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menilai
Juliari terbukti melanggar Pasal 12 huruf a Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dalam
UU RI Nomor 20 Tahun 2021. Alasan dari majelis hakim dengan pemberian
6

hukuman hanya 12 tahun penjara karena majelis hakim menilai bahwa Juliari
sudah cukup menderita karena mendapatkan "bullying" dari masyarakat berupa
caci maki dan penghinaan.

Hukuman yang diterima Juliari dinilai terlalu ringan dan mencederai wajah
penegakkan hukum Indonesia. Menjadi menarik untuk dibuat pembahasan
berdasarkan proposisi hukum karena majelis hakim memberi hukuman tidak
sesuai dengan Undang-Undang Hukum Pidana dengan asumsi Juliardi sudah
mendapat hukuman sosial.

B. Proposisi
Berdasarkan latar belakang isu kasus korupsi yang dilakukan oleh Juliari
yang dilakukan saat menjabat Menteri Sosial dan dilakukan dalam kondisi
pandemic maka proposisi yang bisa dibuat adalah :
1. Korupsi oleh Juliari sebagai bentuk penyalahgunaan kedudukan (jabatan),
kekuasaan, kesempatan untuk memenuhi kepentingan diri sendiri dan atau
kelompoknya yang melawan kepentingan bersama (masyarakat).
2. Korupsi yang dilakukan pejabat saat kondisi masyarakat dalam keadaaan
krisis adalah bentuk kejahatan luar biasa ((extraordinary crime) yang harus
dihukum berat.
3. Penegakkan hukum yang dilakukan secara tidak adil pada pejabat pelaku
korupsi saat kondisi krisis berdampak pada kepercayaan masyarakat pada
hukum dan sistem peradilan di Indonesia
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan kasus hukum terhadap tindak pidana korupsi dana Bansos
pandemic Covid-19 yang dilakukan mantan Menteri Sosial Juliardi menjadi satu
hal yang menarik untuk dibahas. Majelis hakim menjatuhkan hukuman sangat
ringan bila disbanding dengan ketentuan Undang-Undang. Jikalau dilihat secara
mendalam, sebenarnya hukum merupakan dogma yang dilakukan oleh sang
pembuat hukum. Karena bagaimanapun hukum merupakan suatu keniscayaan
untuk ditaati, dan bilamana dilanggar maka akan dikenai hukuman atau sangsi
7

dari sang pembuat hukum. Hukum merupakan peraturan-peraturan yang bersifat


memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam linkungan masharakat
yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, jika terjadi pelanggarang
terhadap peraturan-peraturan tersebut maka dikenakan hukuman tertentu (sanksi
hukum). Sehingga memunculkan pertanyaan yang perlu dibuat suatu
pembahasan:
1. Bagaimana Juliari malakukan tindak pidana korupsi dana bansos saat
menjabat sebagai Menteri sosiasl ?
2. Bagaimana gambaran tingkat kejahatan yang dilakukan oleh Juliari dalam
melakukan tindak pidana korupsi dana bansos saat menjabat sebagai Menteri
sosial menurut tinjauan Undang-Undang Pemberantasan Korupsi ?
3. Bagaimana penegakkan hukum terhadap kasus korupsi dana Bansos pandemi
covid-19 oleh mantan Menteri Sosial Juliardi menurut tinjuan dogmatis
hukum ?”
D. Tujuan
Menganalisis kasus penegakkan hukum terhadap kasus korupsi dana
Bansos pandemi covid-19 oleh mantan Menteri Sosial Juliardi maka tujuan
penelitian adalah :
1. Mendapatkan gambaran sebab, actor dan proses Juliari malakukan tindak
pidana korupsi dana bansos saat menjabat sebagai Menteri sosiasl.
2. Mendapatkan gambaran tingkat kejahatan yang dilakukan oleh Juliari dalam
melakukan tindak pidana korupsi dana bansos saat menjabat sebagai Menteri
sosial menurut tinjauan Undang-Undang Pemberantasan Korupsi
3. Menganalisis penegakkan hukum terhadap kasus korupsi dana Bansos
pandemi covid-19 oleh mantan Menteri Sosial Juliardi menurut tinjuan
dogmatis hukum.
E. Isu Kasus Korupsi Dana Bansos
Pada 6 Desember 2020, KPK menetapkan Mantan Menteri Sosial Juliari
Batubara sebagai tersangka kasus dugaan suap bantuan sosial penanganan
pandemi Covid-19 untuk wilayah Jabodetabek tahun 2020.  Kasus ini
8

bermula dari adanya program pengadaan bansos penanganan Covid-19 berupa


paket sembako di Kemensos tahun 2020 dengan nilai sekitar Rp 5,9 Triliun
dengan total 272 kontrak dan dilaksanakan dengan 2 periode. Juliari sebagai
menteri sosial saat itu menunjuk Matheus dan Adi sebagai Pejabat Pembuat
Komitmen (PPK) dalam pelaksanaan proyek tersebut dengan cara penunjukkan
langsung para rekanan dan diduga disepakati ditetapkan adanya fee dari tiap-tiap
paket pekerjaan yang harus disetorkan para rekanan kepada Kemensos.
Untuk setiap paket bansos, fee yang disepakati oleh Matheus dan Adi
sebesar Rp 10.000 per paket sembako dari nilai Rp 300.000 per paket bansos.
Pada pelaksanaan paket bansos sembako periode pertama diduga diterima fee Rp
12 miliar yang pembagiannya diberikan secara tunai oleh Matheus kepada Juliari
melalui Adi. Dari jumlah itu, diduga total suap yang diterima oleh Juliari sebesar
Rp 8,2 miliar. Uang tersebut selanjutnya dikelola Eko dan Shelvy N selaku orang
kepercayaan Juliari untuk digunakan membayar berbagai keperluan pribadi
Juliari. Kemudian pada periode kedua pelaksanaan paket bansos sembako,
terkumpul uang fee dari Oktober sampai Desember 2020 sekitar Rp 8,8 miliar. 
Sehingga, total uang suap yang diterima oleh Juliari menurut KPK adalah sebesar
Rp 17 miliar. Seluruh uang tersebut diduga digunakan oleh Juliari untuk
keperluan pribadi.
F. Isu Penegakkan Hukum Korupsi Dana Bansos
Atas perbuatannya itu, Juliari disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau
Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Juliari divonis 12 tahun penjara dan denda Rp 500 juta oleh majelis hakim
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Selain itu, hakim juga menjatuhkan
pidana tambahan untuk membayar uang pengganti sejumlah Rp 14.590.450.000
atau sekitar Rp 14,59 miliar. Jika tidak diganti, bisa diganti pidana penjara
9

selama dua tahun. Hak politik atau hak dipilih terhadap Juliari pun dicabut oleh
hakim selama empat tahun.
Hukuman yang diterima Juliardi tentu tidak sesuai dengan pernyataan
Menkopolhukan atau Ketua KPK bahwa pelaku korupsi dana korupsi dapat
dikenai hukuman mati apalagi dilakukan oleh seorang pejabat. Salah satu alas an
yang meringankan hukuman Juliari menurut majelis hakim adalah Juliari sudah
cukup menderita karena mendapatkan "bullying" dari masyarakat berupa caci
maki dan penghinaan. Hal lain yang meringankan adalah Terdakwa telah divonis
oleh masyarakat telah bersalah, padahal secara hukum terdakwa belum tentu
bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap
Penilaian majelis hakim yang menganggap bahwa reaksi publik terhadap
kasus Juliari sebagai bullying menurut penulis adalah pandangan yang mengada-
ada. Bullying itu selalu melibatkan relasi kuasa superioritas, atau dominasi dari
pelaku kepada korbannya. Dalam tindakan bullying, superioritas itu
diekspresikan dalam tindakan verbal dan nonverbal yang merendahkan atau
menyakiti, baik fisik maupun psikis. Pemberantasan korupsi, justru diperlukan
sanksi sosial dari masyarakat terhadap koruptor, misalnya dengan pengucilan di
bidang politik. Banyak pakar hukum yang mengatakan hukuman yang diterima
Juliari terlalu ringan. Karena korupsi dilakukan saat pandemi dan terkait
langsung dengan penanganan dampak pandemi. merujuk pada UU
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kejahatan yang dilakukan Juliari bisa
diinterpretasikan sebagai korupsi dalam keadaan krisis, yang hukumannya mesti
diperberat.
G. Problem Hukum Kasus Dana Bansos Dalam Dogmatik Hukum
Keputusan majelis hakim dalam penetapan hukuman Juliari dalam kasus
korupsi dana bansos dianggap banyak pihak kecewa dan tidak sesuai dengan
harapan. Karena korupsi dilakukan saat pandemi dan terkait langsung dengan
penanganan dampak pandemi. Sedangkan majelis hakim mendasarkan
keringanan karena Juliari telah menderita dengan caci maki dari masyarakat. Ada
10

perbedaan pendapat yang tajam antara masyarakat terkait keinganan penjatuhan


hukuman yang berat dengan keputusan majelis hakim yang meringankan.
Lawrence M. Friedman menggambarkan betapa rumitnya dan luasnya serta
sangat bervariasi apa yang disebut dengan hukum, sehingga kebanyakan orang
tidak menemukan secara pasti definisi hukum (Achmad.A.2009). Karena hukum
tidak hanya bergelut pada teorisasi saja melainkan juga berperan dalam tataran
praktis. Apa yang ada dalam teori tidak selamanya identik dengan praktik yang
sesungguhnya. Pengalaman hukum yang diperoleh di lapangan dapat
memberikan definisi sesuai dengan apa yang telah dialami oleh praktisi hukum.
Itulah yang kemudian terdapat dua macam hukum yang telah dikenal yaitu law
in book (hukum dalam teori) dan law action (hukum dalam praktik pelaku
hukum).
Jikalau dilihat secara mendalam, sebenarnya hukum merupakan dogma
yang dilakukan oleh sang pembuat hukum. Karena bagaimanapun hukum
merupakan suatu keniscayaan untuk ditaati, dan bilamana dilanggar maka akan
dikenai hukuman atau sangsi dari sang pembuat hukum. Pernyataan ini dapat
dianalisis pada pengertian hukum secara umum yang dinyatakan oleh
Simorangkir dan Warjono Sastropranoto yang dikutip Suhaimi (2018), yaitu
hukum merupakan peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan
tingkah laku manusia dalam linkungan masharakat yang dibuat oleh badan-badan
resmi Yang berwajib, jika terjadi pelanggarang terhadap peraturan-peraturan
tersebut maka dikenakan hukuman tertentu (sanksi hukum).
Dogmatik hukum selama ini dinyatakan sebagai kaidah-kaidah yang benar
yang dijadikan sebagai pedoman dalam mengatur tingkah laku manusia dalam
pergaulan masharakat. Pernyataan ini memang sangat idealis, bahwa dalam
kaidah hukum tidak terdapat kesalahan sedikitpun, karena hukum tersebut
sebelumnya telah diteliti secara objektif, tidak perlu dipertanyakan lagi
kebenarannya. Pendekatan ideologis tersebut memang ada kepentingannya,
karena bagaimanapun juga kaidah-kaidah ideal tersebut merupakan petunjuk bagi
kegiatankegiatan manusia. Akan tetapi kenyataan membuktikan, bahwa
11

seringkali terjadi ketidak sesuaian antara kaidah-kaidah tersebut dengan


kenyataan hukum yang terjadi dalam masharakat (Soerjono Soekanto.2004).
Sehingga menimbulkan problem atau konflik dalam kehidupan masharakat. Oleh
karena itu diperlukan penelitian hukum secara objektif dengan menggunakan
metodologi penelitian. Yang dimaksudkan disini adalah metodologi penelitian
hukum yang menurut Soerjono Soekanto harus dilakukan menurut prosedur
ilmiah dengan berdasar pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu.
Dogmatik hukum mempelajari peraturan dari segi teknis yuridis dan
berbicara hukum dari segi hukum dan problem hukum yang konkrit, aktual,
maupun potensial serta melihat hukum dari perspektif internal. Disamping itu
dogmatik hukum hanya bersifat spesifik pada hukum positif tertentu, artinya
hanya memiliki batas-batas tertentu dalam memandang suatu hukum, dan
menutup diri terhadap hukum-hukum yang lain.
Melihat vonis hukum terkait dengan kasus hukum korupsi dana bansos
mantan Menteri sosial berdasarkan teori fraud adalah teori yang menjelaskan
tindakan illegal yang ditandai dengan tipu daya, penyembunyian atau
pelanggaran kepercayaan. Kecurangan dapat berakibat merugikan negara dan
kaum masyarakat kalangan bawah. Penerapan sistem good governance di
Indonesia didasari oleh dua hal: yang pertama yaitu tuntunan eksternal karena
munculnya pengaruh globalisasi internasional. Kedua, tuntutan internal yakni
tuntuan dari masyarakat yang merasa salah satu penyebab krisis adalah KKN
(Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Dan untuk mencegah terjadinya KKN
khususnya adalah korupsi, maka praktek good governance harus diterapkan
secara baik dan benar (Nurhasanah.2016).
H. Penutup
Tindak pidana korupsi dana bansos oleh mantan Menteri sosial Juliari tidak
dapat lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa karena telah menjadi suatu
kejahatan yang luar biasa (extraordinary crime). Hal ini disebabkan, metode
konvensional yang selama ini digunakan, terbukti tidak bisa menyelesaikan suatu
persoalan korupsi yang ada di masyarakat. Dengan ini, dalam penanganannya
12

juga harus dengan menggunakan cara yang luar biasa (extra-ordinary). Upaya
memberantas korupsi itu dibutuhkan hukum yang tegas dan juga kordinasi yang
baik dalam penanganan korupsi. Tetapi adakalanya terkait dengan berbagai
situasi termasuk situasi politik penegakkan hukum kasus korupsi tidak sesuai
dengan harapan. Pembuat keputusan hukum dapat menggunakan berbagai dalaih
untuk membuat keputusan hukum yang berbeda.
I. Daftar Pustaka
Achmad Ali. (2009) Menguak Teori Hukum Dan Teori Peradilan. Jakarta:
Kencana.hlm. 30

AndiHamzah. (2015). Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional


dan Hukum Internasional, Jakarta : Rajawali Pers

Andjeng Pratiwi. (2019). Penegakan Hukum Korupsi Politik Di Indonesia


Permasalahan Dan Isu-Isu Kontemporer. Jurnal Hukum Mimbar Justitia
Fakultas Hukum Universitas Suryakancana Vol. 5No. 2–Desember 2019,
hlm. 144-163.ISSN: 2477-5681

Febari, Rizki. (2015). Politik Pemberantasan Korupsi. Jakarta: Yayasan Pustaka


Obor Indonesia, hlm. 50-54;

Indriati, Etty, (2014). Pola dan Akar Korupsi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama., hlm. 45-47

Khobid, M., & Gunarto, G. (2018). Analisa Kebijakan Formulasi Hukum Pidana
Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi. Jurnal Hukum Khaira
Ummah, 13(1), 37-44.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang


Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan


Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi

Soerjono Soekanto. (2004). Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: Raja


Grafindo Persada, hlm.158-159.

Suhaimi, S. (2018). Problem Hukum Dan Pendekatan Dalam Penelitian Hukum


Normatif. Jurnal Yustitia, 19(2).
13

Wuarlela, B. S. (2021). Kepastian Hukum dan Budaya Korupsi di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai