Anda di halaman 1dari 10

Jurnal Pembumian Pancasila Volume I, Nomor 2, Desember 2021

MARHAENISME, PANCASILA, DAN TRISAKTI: ANTITESIS KORUPSI


DALAM PERSPEKTIF AGAMA BUDDHA
Gunawan Djayaputra
Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara
Ketua DPD GPP DKI Jakarta
e-mail: gunawandjayaputra@gmail.com

Abstrak

Korupsi sampai saat ini telah merasuk dan merajalela ke dalam berbagai elemen penyelenggara negara dan
swasta merupakan tindak pidana yang masih sulit diberantas. Tulisan ini akan mengkaji perspektif Agama
Buddha dikaitkan dengan Pancasila sebagai dasar Negara, ideologi dan spiritualitas bangsa, Marhaenisme dan
Trisakti, dengan mengangkat tiga permasalahan yaitu: Apakah penyebab tindakan korupsi? Mengapa korupsi
masih sukar diberantas? dan solusi strategis apakah yang digunakan untuk memberantas korupsi? Tulisan ini
dilakukan dengan metode penelitian yuridis normatif melalui penelusuran kepustakaan dengan menggunakan
data sekunder. Korupsi termasuk salah satu tindak pidana yang extra ordinary yang sampai saat ini masih
belum ditegakkan secara baik. Tindakan korupsi sangat dipengaruhi oleh moral yang tidak baik sebagai akibat
dari adanya tiga akar kejahatan yang di dalam agama Buddha disebut Lobha, Dosa dan Moha. Korupsi sebagai
tesisnya dan antitesisnya adalah Pancasila, Marhaenisme dan Trisakti dengan sintesis Sosialisme Indonesia,
Korupsi hanya bisa diberantas dengan Sila/Kemoralan yang baik agar tercipta Hiri dan Ottapa. Perlu adanya
strong politicall will dari Presiden sebagai Kepala Negara untuk memberantas korupsi. Marhaenisme sebagai
akar historis Pancasila merupakan ujung tombak untuk memberantas korupsi demi terwujudnya Trisakti
menuju sosialisme Indonesia. Perjuangan kaum Marhaen hanya akan terwujud jika berlandaskan pada sosio-
nasionalisme dan sosio-demokrasi.
Kata kunci: Korupsi, Marhaenisme, Pancasila, Trisakti, Lobha, Dosa, dan Moha

Pendahuluan
Korupsi berasal dari bahasa latin “corruption” atau “ corruption” atau corrupt, dalam Bahasa
Inggris. Korup berarti busuk, buruk; suka menerima uang sogok dengan menggunakan
kekuasaannya untuk kepentingan pribadi. (lihat juga Kemeristekdikti: 2018: 3)
Korupsi merupakan salah satu penyebab runtuhnya moral bangsa, bahkan sudah pada taraf
menghancurkan sendi-sendi kehidupan masyarakat yang seharusnya sejahtera dengan kekayaan
alam yang melimpah. Korupsi bukan hanya menimbulkan kerugian secara materiil bagi negara,
tetapi turut menciderai hak sosial masyarakat. Selama pandemi COVID-19 saja, di mana Indonesia
sedang pontang-panting menghadapi wabah tersebut, korupsi justru semakin menjamur menjadi
“wabah baru”. Situasi serba sulit ini dimanfaatkan oleh para koruptor untuk kepentingan pribadi.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001. Ada 30 delik tindak pidana korupsi yang dikategorikan menjadi 7 jenis. Kerugian
keuangan negara, penyuapan, pemerasan, penggelapan dalam jabatan, kecurangan, benturan
kepentingan dalam pengadaan barang dan jasa, serta gratifikasi.
Korupsi merupakan tindak pidana kejahatan yang merugikan masyarakat, dan anehnya
masih saja ada yang melakukannya. Kementerian dalam negeri mencatat bahwa pada tahun 2013
sebanyak 309 kepala daerah terjerat kasus korupsi. Berdasarkan rilis Transparency International

102
Jurnal Pembumian Pancasila Volume I, Nomor 2, Desember 2021

2015 sebagaimana dikutip oleh Yasona H. Laoly, Indonesia menempati posisi 79 dari 167 daftar
Negara terkorup di dunia (Laoly, 2019:155)
Pada tahun 2017 berdasarkan indeks persepsi Korupsi yang dikeluarkan oleh Transparency
Internasional, Indonesia memiliki Indeks sebesar 37 dari 100 dan menempati posisi 96 dari 180
negara yang disurvei. (Kemeristekdikti, 2018: 110)
Pada tanggal 6 Desember 2020, KPK menetapkan Mantan Menteri Sosial Juliari Batubara
sebagai tersangka kasus dugaan suap bantuan sosial penanganan pandemi Covid-19 untuk wilayah
Jabodetabek tahun 2020. Penetapan tersangka Juliari saat itu merupakan tindak lanjut atas operasi
tangkap tangan yang dilakukan KPK pada Jumat, 5 Desember 2020. Selain Juliari, KPK juga
menetapkan Matheus Joko Santoso, Adi Wahyono, Ardian I M dan Harry Sidabuke sebagai tersangka
selalu pemberi suap. KPK Tetapkan Mensos Juliari Batubara Tersangka Kasus Dugaan Suap Bansos
COVID-19.
Kasus ini bermula dari adanya program pengadaan bansos penanganan Covid-19 berupa
paket sembako di Kemensos tahun 2020 dengan nilai sekitar Rp 5,9 Triliun dengan total 272 kontrak
dan dilaksanakan dengan 2 periode. Juliari sebagai menteri sosial saat itu menunjuk Matheus dan Adi
sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam pelaksanaan proyek tersebut dengan cara
penunjukkan langsung para rekanan dan diduga disepakati ditetapkan adanya fee dari tiap-tiap
paket pekerjaan yang harus disetorkan para rekanan kepada Kemensos melalui Matheus. Ketua
KPK Firli Bahuri mengemukakan kepada CNNIndonesia.com di Gedung Transmedia, Jakarta, pada
tanggal 29 Juli 2020 akan menerapkan ancaman hukuman mati bagi pelaku kasus korupsi dana
bencana dan covid-19 (https://www.cnnindonesia.com/nasional/20211025180416-12-
712165/korupsi-bansos-covid-19-aa-umbara-dituntut-7-tahun-bui.)
Berbagai upaya pemerintah untuk meminimalisasi penyebaran tindak pidana ini tampaknya
belum memperoleh hasil yang signifikan walaupun telah ada hukum positif Indonesia yang
mengatur pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
Isu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dilemahkan pasca revisi UU KPK 2019
menjadi puncak kemarahan masyarakat. Arah pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini menjadi
tanda tanya besar. Oleh karena itu tulisan ini bertujuan untuk meminimalisasi dan memberikan
solusi serta strategi yang harus dilakukan untuk memberantas maraknya tindakan korupsi dengan
menggunakan metode penelitian yuridis-normatif dan menganalisisnya secara deskriptif kualitatif
berdasarkan data sekunder berupa bahan hukum sekunder melalui penelitian kepustakaan.

Penyebab Korupsi
Korupsi dapat disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal merupakan
faktor yang berasal dari dalam diri seseorang sebagai akibat adanya pandangan salah atau
pemahaman seseorang mengenai korupsi. Kualitas moral atau batin seseorang sangat berperan
penting sebagai penyebab terjadinya tindakan korupsi. Adanya sifat serakah dalam diri manusia dan
himpitan ekonomi juga menjadi pemicu seseorang melakukan korupsi.
Dapat saja terjadi bahwa Korupsi dilakukan bukan karena kebutuhan primer atau kebutuhan
pokok, tetapi semata-mata hanya karena seseorang memiliki sifat tamak, rakus, untuk memperkaya
diri dan kelompok akibat lemahnya iman atau bejatnya moral yang dimilikinya didukung dengan

103
Jurnal Pembumian Pancasila Volume I, Nomor 2, Desember 2021

gaya hidup yang konsumtif. Perilaku konsumtif yang tidak diimbangi dengan pendapatan yang
sesuai, menciptakan peluang bagi seseorang untuk melakukan tindakan korupsi, terutama akibat
pengaruh kapitalis. Nafsu akan rejekilah sumber utama terjadinya Korupsi (Sukarno, 1930:14).
Faktor eksternal sebagai penyebab terjadinya korupsi Antara lain faktor keluarga.
Keluarga dapat menjadi pendorong seseorang untuk berperilaku korup. Lingkungan keluarga justru
dapat menjadi pendorong seseorang bertindak korupsi, mengalahkan sifat baik yang sebenarnya
telah menjadi karakter pribadinya. Lingkungan justru memberi dorongan, bukan hukuman atas
tindakan koruptif seseorang. Faktor eksternal lainnya adalah sistem hukum di Indonesia untuk
memberantas korupsi masih sangat lemah. Hukum tidak dijalankan sesuai prosedur yang benar dan
masih tebang pilih, aparat mudah disogok sehingga pelanggaran sangat mudah dilakukan oleh
masyarakat. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang masih sangat tinggi dan tidak adanya sistem
kontrol yang baik menyebabkan masyarakat menganggap bahwa korupsi merupakan suatu hal yang
sudah biasa terjadi. Lingkungan sosial juga dapat mempengaruhi seseorang untuk melakukan
korupsi. Korupsi merupakan budaya dari pejabat lokal dan adanya tradisi memberi yang
disalahgunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Korupsi dalam Perspektif Agama Buddha


Korupsi yang telah merasuk ke berbagai unsur penyelenggara negara (legislatif, eksekutif
dan yudikatif, bahkan para penegak hukum seperti Polisi dan Jaksa) telah merajalela di mana-mana
disebabkan oleh moral atau kualitas batin yang tidak baik sebagai akibat dari adanya tiga akar
kejahatan yang di dalam agama Buddha disebut Lobha, Dosa, dan Moha.
Lobha, Dosa, Moha (Tiga akar kejahatan) penyebab Tindakan Korupsi
Lobha berarti menginginkan barang orang lain, atau yang lebih sederhana lagi adalah tidak puas
dengan apa yang dimiliki. Sikap lobha dapat bermanifestasi dalam bentuk mencari kesenangan atau
kepuasan indrawi tanpa henti, hingga keinginannya terpenuhi. Keserakahan (lobha) muncul ketika
batin mencengkeram atau menggenggam objek dan tidak mau melepaskannya. Kebencian (dosa)
sikap batin yang ganas, kasar dan bengis. Batin yang seperti ini ingin menghancurkan objeknya,
meskipun hanya secara mental. Ada perilaku batin yang menolak objek. Pokoknya “tidak mau”.
Delusi (Moha) adalah kebodohan batin. Karakteristik delusi adalah keadaan batin yang buta, dungu
atau ketiadaan pengetahuan (Kheminda, 2018)
Jadi, lobha dapat dimanifestasikan dalam bentuk menginginkan sesuatu yang bukan menjadi
haknya atau mengambil hak atau barang orang lain, atau tidak puas dengan apa yang dimiliki. Lobha
sangat terkait dengan kesenangan atau kepuasan indrawi tanpa henti, hingga keinginannya
terpenuhi.
Lobha, Dosa dan Moha merupakan suatu system yang saling berpengaruh satu sama lain,
artinya bahwa keserakahan bisa disertai dengan kebodohan batin, dan dosa juga bisa disertai dengan
kebodohan batin, sedangkan lobha tidak bisa bersekutu dengan dosa. (Rodjali, 2014:230) Lobha atau
keserakahan melekat dengan obyek, sedangkan dosa atau kebencian menolak obyek, sedangkan
moha atau kebodohan batin dapat menyertai keserakahan dan kebencian.
Mengapa seseorang memiliki sifat serakah, karena adanya ketidaktahuan/kebodohan batin
(moha) bahwa apa yang dilakukannya dianggap sesuatu yang benar. Korupsi dianggap sebagai suatu
kebenaran baru atau way of life.

104
Jurnal Pembumian Pancasila Volume I, Nomor 2, Desember 2021

Moha adalah kebodohan batin. Pengertian bodoh disini bukan bodoh karena tidak bisa
menulis, bukan bodoh karena tidak bisa membaca, tetapi bodoh yang dimaksud adalah bodoh
batinnya. Ia tidak bisa membedakan perbuatan baik yang harus dilakukan dan perbuatan jahat yang
semestinya ditinggalkan. Perbuatannya cenderung pada hal-hal yang jahat. Karena bodoh batinnya,
ia menganggap kejahatan wajar dilakukan, termasuk juga dalam kebodohan batin ini adalah malas
melakukan kebajikan, malas bergotong royong, sifat egois, menindas sesame manusia, intoleransi,
gengsi, sombong, keangkuhan, dan kemunafikan.
Dengan demikian keserakahan atau lobha merupakan salah satu penyebab terjadinya
tindakan korupsi yang disertai kebodohan batin yang menganggap bahwa korupsi adalah suatu
tindakan yang benar. Jika dikaitkan dengan dosa atau kebencian, maka dosa juga merupakan
penyebab terjadinya tindakan korupsi, karena para pelaku korupsi menolak objek berupa
kemiskinan, tidak mau hidup susah dan kerja keras bahkan menolak kejujuran.
Untuk terhindar dari tindakan korupsi seseorang harus memiliki moral atau Sila yang baik
sebagai bagian dari Jalan Mulia Berunsur Delapan ajaran Sang Buddha.
Menurut Sayadaw, 2021:89-90, jalan mulia/utama berunsur delapan terdiri dari tiga bagian
yaitu:
a. Sila (Kemoralan) yang meliputi:
1) Ucapan Benar (sammä-väcä)
2) Perbuatan Benar (sammä-kammanta)
3) Mata Pencaharian Benar (sammä-ajiva)
b. Samädhi (Konsentrasi) yang meliputi:
1) Daya-upaya Benar (sammä-väyäma)
2) Perhatian Benar (sammä-sati)
3) Konsentrasi Benar (sammä-samädhi)
c. Pañña (Kebijaksanaan) yang meliputi:
1) Pengertian Benar (sammä-ditthi)
2) Pikiran Benar (sammä-sankappa)

Sila merupakan dasar utama dalam agama Buddha sebagai landasan moral dan etika yang
baik yang sangat berpengaruh pada perilaku atau sikap tindak seseorang. Salah satu dari kelompok
Sila adalah perbuatan benar. (Sikkhananda:2012:11). Oleh karena itu jika seseorang melakukan
tindakan korupsi yang termasuk kategori perbuatan tidak benar, itu berarti bahwa orang tersebut
telah melakukan pelanggaran Sila atau kemoralan.
Dengan demikian jika seseorang memiliki moral yang baik, maka tidak mungkin akan
melakukan perbuatan tercela. Perbuatan Benar (sammā-kammanta) juga dapat diartikan sebagai
"tindakan benar". Praktisi (dalam hal ini penganut agama Buddha) diharapkan untuk bertindak
benar secara moral, tidak melakukan perbuatan yang dapat mencelakakan diri sendiri maupun orang
lain.
Sebab munculnya sila atau kemoralan yang baik adalah adanya Hiri dan Ottapa. Hiri adalah
malu berbuat salah dan Ottapa adalah takut pada akibat perbuatan salah. Hiri bersumber dari dalam
diri sendiri, yang berbentuk rasa malu untuk berbuat jahat. Seseorang yang memiliki Hiri akan
berpikir: “Hanya orang-orang “bodoh”, dan anak-anak yang tidak berpendidikan yang tidak memiliki
rasa malu untuk berbuat jahat”. Oleh karena itu ia akan menghindari pandangan yang salah dan

105
Jurnal Pembumian Pancasila Volume I, Nomor 2, Desember 2021

melakukan perbuatan baik. Dengan Hiri, seseorang bercermin pada kehormatan dirinya, gurunya,
pendidikannya, atau masyarakat di lingkungannya. Apabila seseorang memiliki Hiri, maka dirinya
sendirilah yang paling tepat menjadi guru dan pengawasan yang terbaik.
Ottapa berarti memiliki rasa takut untuk berbuat jahat yang bersumber dari luar diri kita dan
lebih dipengaruhi oleh lingkungan sekitar. Jika Hiri terbentuk oleh rasa malu, maka Ottapa di bentuk
oleh rasa takut. Ottapa ditandai dengan adanya kemampuan mengenal bahaya dan takut melakukan
kesalahan (Sikkhananda, 2012:21-22)
Hiri-ottapa disebut juga Dhamma pelindung dunia (Lokapaladhamma). Jika setiap orang di
dunia ini selalu mengembangkan rasa Hiri dan Ottappa maka tidak akan ada tindakan yang membuat
kerugian bagi orang lain. Karena merasa malu untuk berbuat hal yang tidak baik dan takut akan
akibat dari perbuatannya.
Dengan demikian Hiri dan Ottapa tersebut merupakan pengendali bagi seseorang untuk tidak
melakukan tindakan korupsi. Hiri dan Ottapa inilah yang tidak dimiliki oleh para koruptor, apalagi
akibat dari perbuatan korupsi hanya dihukum sangat ringan, sedangkan di dalam Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sangat jelas hukumannya adalah hukuman mati bagi
koruptor yang melakukan korupsi pada saat terjadinya bencana walaupun sampai saat ini belum
pernah diterapkan.
Pasal 2 ayat (1) UU 31/1999 menyatakan, 'Setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit
Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.'
Sementara Pasal 2 ayat (2) menyebutkan, 'Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.'
Sedangkan penjelasan Pasal 2 Ayat (2) menyatakan, 'Yang dimaksud dengan 'keadaan tertentu' dalam
ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak
pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang
diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan
akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan
tindak pidana korupsi'.
Berdasarkan perumusan pasal tersebut menurut penafsiran hukum secara teleologis,
ancaman hukuman mati bagi pelaku kasus korupsi dana bantuan sosial penanganan bencana
pandemi COVID-19 seharusnya dapat dilaksanakan.

Pancasila sebagai Ideologi Terapan dalam Memecahkan Kompleksitas Permasalahan Bangsa


Korupsi sebagai salah satu realitas obyektif bagi bangsa Indonesia merupakan suatu bentuk
dan manifestasi “penindasan dan penghisapan manusia atas manusia; karena telah mengambil hak
orang lain, terutama dalam masa pandemi COVID 19.
Korupsi sangat terkait dan dipengaruhi oleh merosotnya moral bangsa akibat adanya
fundamentalisme-radikalisme, penjajahan ekonomi neo-liberalisme-kapitalisme/neo-kolonialisme-
imperialisme yang merasuk ke sendi-sendi perekonomian, yang sangat mengganggu eksistensi
Indonesia sebagai sebuah bangsa, sehingga pada akhirnya akan menghambat tercapainya Sosialisme

106
Jurnal Pembumian Pancasila Volume I, Nomor 2, Desember 2021

Indonesia yang berpedoman pada Trisakti yaitu : berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang
ekonomi, dan berkepribadian di bidang kebudayaan”.
Pancasila sebagai ideologi terapan untuk memberantas korupsi dapat dilakukan melalui dua
pendekatan yaitu:
a. Model pendekatan strategis, yaitu dengan menggunakan Trisakti sebagai dasar/pedoman dalam
mewujudkan amanat penderitaan rakyat. Salah satu isi Trisakti yaitu berdaulat di bidang politik
dilakukan melalui upaya membangun strong political will dari negara dalam melahirkan
kebijakan yang tegas terhadap segala bentuk dan manifestasi Korupsi. Oleh karena itu Pancasila
sebagai dasar negara, khususnya sebagai sumber tertib hukum nasional harus benar-benar
dilaksanakan sebagaimana telah diatur dalam UU No. 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana
Korupsi (Tipikor) yang di dalam Pasal 2=nya dimungkinkan adanya hukuman mati.
b. Model pendekatan taktis, yaitu dengan mengembangkan indeks sikap dan perilaku Pancasila
dalam indicator yang bersifat generik dan spesifik. Indeks sikap dan perilaku Pancasilais harus
mengacu pada Trisakti, jika tidak maka hanya akan bersifat normatif dan administratif bukan
substantif yang dapat dilakukan dengan cara-cara yang adaftif dengan situasi, kondisi, dan
kebutuhan masyarakat bangsa, seperti diskursus ideologi, pelatihan “nation and personal
character building”, sekolah kader dan pamong Pancasila (Manurung & Kanumoyoso: 2021:
104-5)
Membangun Gerakan pembumian Pancasila sebagai Gerakan nasional anti korupsi, diawali
dengan melahirkan kebijakan nasional dan disosialisasikan secara progresif revolusioner ke seluruh
elemen bangsa sebagai tindakan preventif. Mengkontektualisasikan nilai dasar ke dalam nilai-nilai
instrumental dan praktis sebagai upaya mewujudkan cita-cita Proklamasi, yaitu tercapainya
masyarakat Sosialisme Indonesia yang berdaulat, berkeadilan, dan berkemakmuran rakyat tanpa
penindasan dan penghisapan manusia atas manusia. Hal ini tidak akan terwujud selama korupsi
masih merajalela di bumi Indonesia. Menurut Roeslan Abdulgani Filsafah Sosialisme adalah filsafah
yang bersumber kepada adanya kemiskinan di masyarakat, adanya penindasan dan penghisapan
(Abdulgani, 1964:20). Dengan demikian sebagai spiritualitas bangsa Pancasila menjadi kekuatan
pembebasan bangsa Indonesia dalam bingkai keadilan dan kemanusiaan lewat cara memahami
realitas bersama dalam kesatuan bersama Tuhan yang dapat berimplikasi pada usaha untuk
mempersatukan dan memerdekakan bangsa.
Selanjutnya, perlu dibangun karakter Spiritual Pancasila dengan memperhatikan ketegaran
jati diri anak bangsa, peta moral keindonesiaan dalam membangun moral keindonesiaan, memahami
spiritual Pancasila seutuhnya, sehingga terbangun karakter keindonesiaan yang utuh. Hal ini sangat
penting karena pelaku korupsi sangat lemah imannya dan tidak baik Sila atau kemoralannya
(Manurung & Kanumoyoso, 2021: 102-105).
Marhaenisme, Pancasila, dan Trisakti Antitesis Korupsi
Marhaenisme adalah paham ideologi, teori dan praktik perjuangan untuk mengangkat
derajat dan martabat kaum marhaen Indonesia dari penindasan dan penghisapan penjajahan politik,
ekonomi dan kebudayaan dalam segala bentuk dan manifestasinya agar dapat hidup merdeka dan
berdaulat. Marhaenisme merupakan ideologi perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialisme
asing. Dengan semangat Marhaen Sukarno berharap bangsa terjajah akan segera bangkit dari
keterpurukan. Kemudian mampu mengolah, menikmati hasil jerih payahnya sendiri tanpa harus
tunduk pada orang lain. Marhaenisme tidak hanya sekedar simbol kebangkitan wong cilik melainkan

107
Jurnal Pembumian Pancasila Volume I, Nomor 2, Desember 2021

sebuah semangat jiwa seluruh rakyat Indonesia yang bebas dari penjajahan fisik dan mental yang
datang dari luar. Marhaenisme adalah Sosialisme Indonesia dalam praktik (Adams, 2018:48)
Untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur, yang tidak ada penindasan dan
penghisapan, yang tidak ada kapitalisme dan imperialism, harus melakukan pergerakan
sebagaimana yang dikemukakan Bung Karno:
“Marhaen tidak saja harus mengikhtiarkan Indonesia Merdeka, tidaksaja harus
mengikhtiarkan kemerdekaan-nasional, tetapi juga harus menjaga yang di dalam
kemerdekaan-nasional itu kaum Marhaenlah yang memegang kekuasaan,–dan bukan kaum
borjuis Indonesia, bukan kaum ningrat Indonesia, bukan kaum musuh-Marhaen bangsa
Indonesia yang lain-lain. Kaum Marhaenlah yang di dalam Indonesia Merdeka itu harus
memegang teguh-teguh politieke macht, jangan sampai bisa direbut oleh lain-lain golongan
bangsa Indonesia yang musuh kaum Marhaen. pertama tujuannya pergerakan Marhaen
haruslah suatu masyarakat zonder kapitalisme dan imperialisme,kedua jembatan kearah
masyarakat itu adalah kemerdekaan negeri Indonesia. ketiga Marhaen harus menjaga, yang di
dalam Indonesia Merdeka itu Marhaenlah yang menggenggam politieke macht, menggenggam
kekuasan kekuasaan-pemerintahan. Inilah bentukan-bentukan dari kita punya pergerakan,
yang harus sangat kita perhatikan. Politieke macht sampai kini adalah di dalam tangannya
kaum kapitalisme sendiri, di dalam tangannya kaum borjuis sendiri, di dalam tangannya
justru itu kaum yang menjadi tulang punggungnya sistem yang mereka lawan itu. Segenap
aparatnya politieke macht itu adalah dipakai senjata oleh kaum borjuis untuk memagari
sistem kapitalisme dan untuk menghantam aksinya kaum Marhaen yang mau meruntuhkan
kapitalisme” (Soekarno:1933:38-9).
Istilah Marhaen juga digunakan oleh Sukarno dalam pleidoinya pada tanggal 18 agustus 1930
untuk mengganti istilah proletar. Marhaenisme pada esensinya adalah sebuah ideologi perjuangan
yang terbentuk dari Sosio-Nasionalisme dan Sosio-Demokrasi dan Ketuhanan yang Berkebudayaan.
Hal ini yang menjadi landasan pemikiran Marhaenisme yang mencoba akan diterapkan pada
masyarakat Indonesia. (Laboratorium Studi Sosial Politik Indonesia: 1997).
Sosio-Nasionalisme adalah nasionalisme yang berperikemanusiaan, nasionalisme yang
lapang dada, nasionalisme yang internasionalisme, nasionalisme yang bergetar hatinya untuk
membela apabila melihat masih ada bangsa yang terjajah. Sosio-nasionalisme bukanlah nasionalisme
yang berpandangan sempit dan menumbuhkan chauvinisme, intoleran atau disebut xeno phobia
(Sukarno:1963:10). Sosio-nasionalisme juga bukan nasionalisme yang hanya berorientasi pada
internasionalisme minded saja, tanpa memperhatikan harga diri atau identitas nasional atau disebut
xeno mania. Dalam Pidato Bung Karno 1 Juni 1945 mengatakan “Internasionalisme tidak dapat hidup
subur kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur,
kalau tidak dalam tamansarinya internasionalisme”. (Noorsena:2020:3-4. Dalam Marhaenisme,
internasionalisme harus dibarengi oleh nasionalisme atau patriotisme dan disebut sosio-
nasionalisme.
Sosio-nasionalisme diartikan sebagai nasionalisme masyarakat yang mencari keselamatan
bagi seluruh masyarakat. Jelas nasionalisme Marhaen sangat anti terhadap sistem borjuisme yang
menjadi penyebab kepincangan sistem dalam masyarakat. Sosio-nasionalisme juga merupakan
nasionalisme politik dan ekonomi yang berusaha untuk mencari kemapanan politik dan kemapanan
ekonomi. Kaum Marhaen harus terlepas dari gencatan kapitalisme dan mengobarkan semangat
perlawanan kaum buruh dan mengorganisasikannya ke dalam badan-badan serikat sekerja yang
kuat.
Sukarno menegaskan bahwa nasionalisme di dunia Timur itu lantas terpadu dengan
Marxisme menjadi satu nasionalisme baru. Nasionalisme Baru inilah yang kini hidup di kalangan

108
Jurnal Pembumian Pancasila Volume I, Nomor 2, Desember 2021

rakyat Marhaen Indonesia yang harus tumbuh berkembang untuk mewujudkan kedaulatan yang
sepenuhnya mampu menyelesaikan masalah-masalah kebangsaan yang dari dulu hingga sekarang
tidak pernah kunjung usai seperti kemiskinan, penganguran, kebodohan, ketidakadilan,
ketergantungan kepada asing, korupsi dan masalah-masalah kebangsaan lainnya yang itu mutlak
harus diperangi.
Apabila Marhaenisme dikembangkan maka akan melahirkan Sosio-Nasionalisme menjadi
nasionalisme, perikemanusiaan dan Sosio-Demokrasi menjadi demokrasi, kedaulatan politik dan
keadilan sosial. Sosio-demokrasi akan hanya akan terwujud jika Sosio-Nasionalisme telah
diwujudkan. Menurut pemikiran Sukarno, Sosio-Nasionalisme meliputi nasionalisme politik dan
nasionalisme ekonomi. Sosio-Nasionalisme akan menjadi nasionalisme kerakyatan apabila
dihadapkan pada sistem feodal dan akan menjadi nasionalisme kemanusiaaan apabila dihadapkan
pada kolonialisme dan imperialism serta ideology yang menindas lainnya. (Manurung &
Kanumoyoso, 2021:32).
Terkait dengan hal ini, Bung Karno menyampaikan amanatnya di muka Kongres Besar
Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia di Tawang Mangu pada bulan Pebruari 1959. Bunyi amanat
itu adalah:
“Azas Marhaenisme adalah suatu azas jang paling tjotjok untuk gerakan rakjat di Indonesia.
Marhaenisme adalah azas, jang menghendaki susunan masjarakat kaum Marhaen.
Marhaenisme adalah tjara-perdjoangan jang revolusioner sesuai dengan watak kaum
Marhaen pada umumnja. Marhaenisme adalah azas dan tjara-perdjoangan menudju kepada
hilangnja kapitalisme, imperialism dan kolonialisme” (Abdulgani:1964:36)
Demokrasi masyarakat tumbuh karena Sosio-Nasionalisme yang merangkul semua seluruh
kepentingan masyarakat Indonesia. Sosio-Demokrasi sebagai reaksi dari demokrasi Barat. Menurut
Sukarno demokrasi Barat dianggap lebih bersifat liberalis. Sementara pergerakan rakyat Marhaen
lebih disebabkan karena kemerlaratan yang menginginkan kehidupan yang lebih baik dan sempurna.
Perbaikan dalam sendi-sendi kehidupan bisa tercapai jika imperialisme dan kapitalisme telah hilang
di negeri ini dengan syarat kemerdekaan dan kekuasaan ditangan Marhaen. Tantangan yang begitu
besar bagi kaum Marhaen untuk melakukan sebuah pergerakan massa yang ingin mengubah sifat
masyarakat sampai kepada akar-akarnya. Perubahan itu harus didukung oleh kemauan yang besar
dari masyarakat sendiri dengan melakukan massa aksi.
Sukarno selalu memperingatkan kepada massa Marhaen untuk tidak meniru demokrasi yang
dipraktikkan di luar negeri. Dia yakin demokrasi seperti itu (parlementer) tidak akan menjamin hak-
hak politik, tidak menjamin kesejahteraan rakyat, dan menambah keterpurukan dalam bidang
ekonomi. Mengenai bahaya Demokrasi barat (parlementer) Sukarno justru mengkritisi perjuangan
kaum proletar yang tidak mendapatkan haknya setelah kemerdekaan karena demokrasi parlemen
itu hanya semboyan untuk membakar semangat massa namun setelah tujuan tercapai massa tidak
mendapatkan haknya karena kapitalisme tetap subur dan memihak golongan atas.
Trisakti buah pemikiran Sukarno sebagai pedoman mewujudkan amanat penderitaan rakyat,
sudah jauh dari kenyataan, dimana bangsa dan negara Indonesia saat ini sesungguhnya sudah tidak
lagi berdaulat di bidang politik, sudah tidak lagi berdikari di bidang ekonomi, dan sudah tidak lagi
berkepribadian di bidang kebudayaan.
Untuk memahami Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara diperlukan gambaran
objektif, menyeluruh, dan utuh terkait dengan keberadaan Trisakti dalam kaitan dengan Pancasila
dan marhaenisme. Marhaenisme merupakan akar historis Pancasila. Tanpa marhaenisme bangsa

109
Jurnal Pembumian Pancasila Volume I, Nomor 2, Desember 2021

Indonesia tidak mampu memahami Pancasila secara baik, benar dan utuh. Trisakti merupakan tiga
kaukus sakti sebagai wujud konkrit marhaenisme dan Pancasila.
Trisakti menegaskan kembali arah politik Indonesia yang pernah ditegaskan oleh Bung
Hatta” mendayung di antara dua karang”, sehingga Indonesia menjalankan politik bebas aktif. Hal ini
sangat relevan dengan salah satu isi Trisakti yaitu” berdaulat di bidang politik”. Kedaulatan poltik
seyogyanya terwujud dalam kebijakan yang menempatkan Pancasila sebagai sumber tertib hukum
nasional, sehingga tidak boleh ada satu pun peraturan perundang-undangan yang bertentangan
dengan Pancasila (Manurung & Kanumoyoso, 2021:93-94)
Pancasila berakar dari nilai-nilai yang hidup tumbuh dan berkembang dalam masyarakat
yang terdiri atas manusia-manusia sebagai individu, keluarga-keluarga, kelompok-kelompok,
golongan-golongan, suku bangsa-suku bangsa, kelompok-kelompok yang hidup dalam suatu wilayah
yang terdiri atas beribu-ribu pulau yang memiliki kekayaan budaya yang beraneka ragam.
keseluruhannya itu merupakan suatu kesatuan integral baik lahir maupun batin. Inilah yang
menyebabkan kokohnya Pancasila karena berakar pada nilai-nilai yang hidup, tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat yang beraneka ragam suku agama, adat-istiadat, bahasa dalam
Bhineka Tunggal Ika.
Dasar-dasar Marhaenisme dan Pancasila yang bertujuan untuk memperjuangkan
kesejahteraan kaum marhaen pun berkaitan erat dengan salah satu isi Trisakti yaitu “berdikari di
secara ekonomi”. Masyarakat marhaen Indonesia (Petani, buruh, nelayan, pekerja sektor informal,
komunitas miskin kota/desa, dan lain-lain) harus dimerdekakan dari segala bentuk penindasan dan
ketertindasan sistem kapitalisme, liberalisme, kolonialisme dan imperialisme dalam bentuk baru.
Untuk memahami Marhaenisme secara sempurna harus menguasai pengetahuan tentang Marxisme.
Marhaenisme dan Pancasila sebagai nilai kearifan dan keluhuran sesungguhnya dapat
membangun kepribadian dalam memuliakan Indonesia sebagai sebuah bangsa yang beradab dan
bermartabat, sesuai denga isi Trisakti yang ketiga, :berkepribadian di bidang kebudayaan”.
Kesimpulan
Korupsi sebagai tesis dan antithesisnya adalah Pancasila, Marhaenisme dan Trisakti untuk
mencapai sintesis Sosialisme Indonesia hanya bisa diberantas dengan Sila/Kemoralan yang baik agar
tercipta Hiri dan Ottapa.
Pancasila sebagai Ideologi Terapan bagi para penyelenggara Negara yang melakukan korupsi
harus ditindak dengan tegas tanpa tebang pilih. Oleh karena itu diperlukan adanya strong political
will dari Presiden sebagai Kepala Negara untuk memberantasnya.
Marhaenisme sebagai akar historis Pancasila merupakan ujung tombak untuk memberantas
korupsi demi terwujudnya Trisakti menuju Sosialisme Indonesia. Memahami Marhaenisme harus
memahami pengetahuan tentang Marxisme sebagai cara berpikir, karena apabila Marhaenisme
dikembangkan, maka akan melahirkan Sosio-nasionalisme menjadi nasionalisme, perikemanusiaan
dan Sosio-demokrasi menjadi demokrasi, kedaulatan politik dan keadilan sosial. Perjuangan kaum
Marhaen hanya akan terwujud jika berlandaskan pada sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi.

Daftar Pustaka

Abdulgani, R. (1964). Sosialisme Indonesia. Djakarta: Jajasan Prapantja.

110
Jurnal Pembumian Pancasila Volume I, Nomor 2, Desember 2021

Adams, C. (2018). Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Biography As Told To Cindy
Adams.
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. (2018). Pendidikan Anti Korupsi untuk
Perguruan Tinggi. Jakarta: Sekretaris Jenderal Kemenristekdikti
Kheminda, A. (2018). Kamma Pusaran Kelahiran dan Kematian Tanpa Awal. Jakarta: Dhammavihari
Buddhist Studies.
Laboratorium Studi Sosial Politik Indonesia. (1997). Lahirnya Pancasila. Jogjakarta: Guntur.
Laoly, Y.H. (2019). Birokrasi Digital. Jakarta: Pustaka Alvabet.
Mahasi S. (2020). Khotbah Utama Tentang Pemutaran Roda Dhamma. Cet.1. Penerjemah Suwendah
Su. Jakarta: Yayasan Dhammavihari.
Manurung, A.D.R. & Kanumoyoso, B. (2021). Pancasila sebagai Dasar Negara, Ideologi, dan
Spiritualitas Bangsa. Bekasi: Media Maxima.
Noorsena, B. (2020). Pancasila, Trisila, Ekasila: Benarkah Pengkhianatan terhadap Bangsa dan
Negara? (Catatan Refleksi dalam Menyambut 50 Tahun Haul Bung Karno). Jakarta: Et’Patah
ISCS.
Sayadaw U.S. (2021). Buku Pedoman Studi Abhidhamma. (Volume 1). Jakarta: Yayasan
Dhammavihari.
Sikkhananda (2012). .Sila Penjelasan disertai dengan cerita.
Sukarno (1933). Mentjapai Indonesia Merdeka.
Sukarno (1963). Nasionalisme, Islamisme, Dan Marxisme. Djakarta: Jajasan “Pembaruan”.
Sukarno (1930). Indonesia Menggugat. Departemen Penerangan Republik Indonesia.
Sukarno (1964). Dibawah Bendera Revolusi. Djakarta: Panitya Penerbit Dibawah Bendera Revolusi.
Sukarno (1964), Tjamkan Pantja Sila. Departemen Penerangan Republik Indonesia.
Susila, S.(2017). Mengungkap Misteri Batin dan Jasmani melalui Abhidhamma. Jakarta: Dhammavihari
Buddhist Studies.
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20211025180416-12-712165/korupsi-bansos-covid-
19-aa-umbara-dituntut-7-tahun-bui

111

Anda mungkin juga menyukai