DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 2
RAHMI SEPTIANI_B20121184
ALAN RIADI_B20121023
NABILA BULQIS S. P_2102500052
RIFALDI_B20121007
KARYN AFRISA_B20121037
ELLEN_B20121218
Korupsi, seperti kita tahu, ada dua macam, pertama, penyalahgunaan dana anggaran
untuk keperluan yang tidak semestinya atau mark-up dari kebutuhan riil. Kedua,
penarikan upeti pada rakyat yang membutuhkan layanan atau bantuan. Kedua tipe
korupsi ini sudah sangat merata di Indonesia. Indonesia adalah negara yang kaya, tetapi
pemerintahnya banyak utang dan rakyatnya pun terlilit dalam kemiskinan permanen.
Sejak zaman pemerintahan kerajaan, kemudian zaman penjajahan, dan hingga zaman
modern dalam pemerintahan NKRI dewasa ini, kehidupan rakyatnya tetap saja miskin.
Akibatnya, kemiskinan yang berkepanjangan telah menderanya bertubi-tubi sehingga
menumpulkan kecerdasannya dan masuk terjerembab dalam kurungan keyakinan mistik,
fatalisme, dan selalu ingin mencari jalan pintas. Kepercayaan terhadap pentingnya kerja
keras, kejujuran, dan kepandaian semakin memudar karena kenyataan dalam kehidupan
masyarakat menunjukkan yang sebaliknya, banyak mereka yang kerja keras, jujur dan
pandai, tetapi ternyata bernasib buruk hanya karena mereka datang dari kelompok yang
tak beruntung, seperti para petani, kaum buruh, dan guru. Sementara itu, banyak yang
dengan mudahnya mendapatkan kekayaan hanya karena mereka datang dari kelompok
elite atau berhubungan dekat dengan para pejabat, penguasa, dan para tokoh masyarakat.
Akibatnya, kepercayaan rakyat terhadap rasionalitas intelektual menurun karena hanya
dipakai para elite untuk membodohi masyarakat. Sebaliknya, masyarakat menjadi lebih
percaya adanya peruntungan yang digerakkan oleh nasib sehingga perdukunan dan
perjudian dalam berbagai bentuknya semakin marak di mana-mana. Mereka memuja dan
selalu mencari jalan pintas untuk mendapatkan segala sesuatu dengan mudah dan cepat,
baik kekuasaan maupun kekayaan.
Korupsi lalu menjadi budaya jalan pintas dan masyarakat pun menganggap wajar
memperoleh kekayaan dengan mudah dan cepat. Jika sudah sampai pada tahap ini, maka
perilaku korupsi dapat dikategorikan sebagai perilaku patologis. Dan patologis yang
bersifat sosial karena korupsi dapat menimbulkan efek domino (mudahnya perilaku ini
menular) dan menyebabkan terjadinya perilaku-perilaku negatif yang lain. Permasalahan
korupsi di Indonesia merupakan masalah yang kompleks. Karena itu pemberantasan
praktek korupsi ini harus dilakukan secara menyeluruh dengan memahami persoalannya
secara komprehensif melalui faktor penyebab dan menganalisa akibatnya. Yang menjadi
pertanyaan kemudian adalah Faktor Apakah yang menyebabkan individu melakukan
korupsi? Bagaimana perilaku korupsi menular dan menjangkiti individu di setiap elemen
masyarakat? Yang kemudian menjadi penyakit patologis sosial. Faktor-faktor patologis
apa yang berkaitan dengan perilakukorupsi? Bagaimana dampak serta penanggulangan
terhadap perilakukorupsi di Indonesia? Dalam konteks psiko-sosial, hobi korupsi
disebabkan oleh banyak halantara lain; reposisi kemiskinan yg berakibat pada ketamakan
luar biasa, pandangan martabat diri artifisial (tidak hakiki) yang didasari oleh pola piki
rmaterialistik, dan lain-lain. Yang pada gilirannya mengarah pada ketidakpedulian atas
akibat perbuatan terkutuknya pada nasib negara, bangsa dan individu rakyat secara
keseluruhan. Para Koruptor di Indonesia juga diuntungkan dengan produk hukum
penjajah Belanda yang sangat memihak oknum tersebut (sangat wajar mengingat mereka
dahulu adalah pelaku dari tindakan tersebut). Sebagian besar produk hukum kolonial
yang menjadi acuan tersebut tidak jelas dan sudah sangat ketinggalan jaman.
Ibarat penyakit, korupsi di Indonesia telah berkembang dalam tiga tahap, yaitu
elitis, endemic dan sistemik. Pada tahap elitis, korupsi menjadi patologi sosial yang khas
di lingkungan para pejabat. Pada tahap endemic, korupsi mewabah
menjangkau masyarakat luas. Lalu ditahap kritis, ketika korupsi menjadi sistemik,
setiap individu dalam sistem terjangkit penyakit yang serupa. Boleh jadi di bangsa ini
telah sampai pada tahap sistemik. Korupsi di Indonesia telah membawa
disharmonisasi politik-ekonomi-sosial. Bahkan bisa jadi sebuah budaya baru di
negeri tercinta ini, grafik pertumbuhan jumlah rakyat miskin terus naik karena
korupsi. Dalam kehidupan demokrasi di Indonesia, praktek korupsi makin mudah
ditemukan diberbagai bidang kehidupan. Pertama, karena melemahnya nilai-nilai
sosial, kepentingan pribadi menjadi pilihan lebih utama dibandingkan
kepentingan umum, serta kepemilikan benda secara individual menjadi etika pribadi
yang melandasi perilaku sosial sebagian besar orang. Kedua, tidak ada transparansi
dan tanggung gugat sistem integritas public. Biro pelayanan publik justru
digunakan oleh pejabat publik untuk mengejar ambisi politik pribadi, semata-mata
demi promosi jabatan dan kenaikan pangkat. Sementara kualitas dan kuantitas
pelayanan publik semakin terabaikan, bukan prioritas dan orientasi yang utama. Dan dua
alasan ini menyeruak di Indonesia, pelayanan publik tidak pernah maksimal karena
praktik korupsi dan demokratis justru memfasilitasi korupsi
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA