Febrian Tiranita
102016236
Abstrak
Kata Kunci
Abstract
Keywords
Pendahuluan
Kekerasan seksual merupakan kejahatan yang universal. Kejahatan ini dapat ditemukan
di seluruh dunia, pada tiap tingkatan masyarakat, tidak memandang usia maupun jenis kelamin.
Besarnya insiden yang dilaporkan di setiap negara berbeda-beda.
Dalam beberapa tahun terakhir, kasus kekerasan seksual anak di Indonesia mengalami
peningkatan. KPAI menyebutkan pornografi, kekerasan seksual, dan eksploitasi seksual
komersial pada anak, pada tahun 2011 tercatat sebanyak 329 kasus, atau 14,46 persen dari
jumlah kasus yang ada. Sementara tahun 2012 jumlah kasus pun meningkat sebanyak 22,6
persen menjadi 746 kasus. Kemudian di tahun 2013 sampai dengan bulan Oktober, kekerasan
seksual pada anak yang dipantau mencapai 525 kasus atau 15,85 persen. 1 Data ini diperoleh
melalui pengaduan masyarakat, berita di media massa, dan investigasi kasus kekerasan seksual
anak. Terdapat dugaan kuat bahwa angka-angka tersebut merupakan fenomena gunung es, yaitu
jumlah kasus yang dilaporkan jauh lebih sedikit daripada jumlah kejadian sebenarnya di
masyarakat. Banyak korban enggan melapor, mungkin karena malu, takut disalahkan, mengalami
trauma psikis, atau karena tidak tahu harus melapor ke mana. Seiring dengan meningkatnya
kesadaran hukum di Indonesia, jumlah kasus kekerasan seksual yang dilaporkan pun mengalami
peningkatan.
Huraerah, A. (2008). Kekerasan terhadap Anak: Fenomena Masalah Sosial Kritis di
Indonesia (1st ed.). Jakarta: Nuansa.
Pelaporan tentu hanya merupakan langkah awal dari rangkaian panjang dalam
mengungkap suatu kasus kekerasan seksual. Salah satu komponen penting dalam pengungkapan
kasus kekerasan seksual adalah visum et repertum yang dapat memperjelas perkara dengan
pemaparan dan interpretasi buktibukti fisik kekerasan seksual. Dokter, sebagai pihak yang
dianggap ahli mengenai tubuh manusia, tentunya memiliki peran yang besar dalam pembuatan
visum et repertum dan membuat terang suatu perkara bagi aparat penegak hukum. Karena itu,
hendaknya setiap dokter – baik yang berada di kota besar maupun di daerah terpencil, baik yang
berpraktik di rumah sakit maupun di tempat praktik pribadi – memiliki pengetahuan dan
keterampilan yang mumpuni dalam melakukan pemeriksaan dan penatalaksanaan korban
kekerasan seksual.
Definisi kekerasan seksual pada anak adalah pelibatan anak dalam kegiatan seksual. Pada
kondisi ini anak sendiri tidak sepenuhnya memahami atau tidak mampu memberikan
persetujuan, atau karena anak belum siap perkembangannya. Kekerasan seksual ditandai dengan
adanya aktivitas seksual antara anak dengan orang dewasa atau anak lain, yang baik usia ataupun
perkembangannya, memiliki hubungan tanggungjawab, kepercayaan atau kekuasaan; aktivitas
tersebut ditujukan untuk memberikan kepuasan bagi orang tersebut. Bentuk kekerasan ini
meliputi: memperlihatkan kemaluan kepada anak untuk tujuan kepuasan seksual, stimulasi
seksual, perabaan (molestation, fondling), eksploitasi seksual dalam prostitusi atau pornografi,
pemaksaan anak untuk melihat kegiatan seksual, memaksa anak untuk memegang kemaluan
orang lain, bentuk hubungan seksual, incest, perkosaan, dan sodomi. Bentuk kekerasan terhadap
anak dapat diklasifikasikan menjadi kekerasan secara fisik, kekerasan secara psikologi,
kekerasan secara seksual, dan kekerasan secara sosial. Dampak pelecehan seksual yang terjadi
ditangdai dengan powerlessness, dimana korban merasa tidak berdaya dan tersiksa ketika
mengungkapkan peristiwa pelecehan seksula tersebut. Menurut Finkelhor dan Browne
mengkategorikan empat jenis dampak trauma akibat kekerasan seksual yang dialami oleh anak-
anak, yaitu:
Merasa tidak berdaya (powerlessness), rasa takut menembus kehidupan korban. Mimpi
buruk, fobia, dan kecemasan dialami oleh korban disertai dengan rasa sakit. Perasaan tidak
berdaya mengakibatkan individu merasa lemah. Korban merasa didinya tidak mampu dan kurang
efektif dalam bekerja.
Stigmatization, kekrasan seksusal merasa bersalah, malu, memiliki gambaran diri yang
buru. Rasa bersalah dan malu terbentuk akibat ketidakberdayaan dan merasa bahwa mereka tidak
memiliki kekuatan untuk mengontrol dirinya. Anak sebagai korban sering merasa berbeda
dengan orang lain, dan beberapa korban marah pada tubuhnya akibat penganiayaan yang
dialaminya.
Faktor Resiko
Faktor risiko terjadinya kekerasan pada anak adalah faktor yang berkontribusi terhadap
terjadinya suatu tindakan kekerasan dan berasosiasi dengan hasil akhir yang buruk. Faktor risiko
tersebut antara lain: faktor masyarakat/sosial, keluarga/orangtua, dan faktor anak itu sendiri.
Faktor masyarakat/sosial yang berhubungan dengan kekerasan, antara lain lingkungan dengan
tingkat kriminalitas, kemiskinan, dan pengangguran yang tinggi, adat istiadat mengenai pola
asuh anak yang berpotensi menyebabkan kekerasan, pengaruh pergeseran budaya, budaya
memberikan hukuman fisik kepada anak, layanan sosial yang rendah, serta pengaruh media
massa. Faktor risiko orang tua/keluarga, antara lain mempunyai banyak anak balita, kurangnya
dukungan sosial dan ekonomi keluarga, riwayat kekerasan pada anak dan kekerasan lain dalam
keluarga, stres saat kelahiran anak, kehamilan yang tidak diinginkan, orang tua tunggal, riwayat
penggunaan zat dan obat-obatan terlarang (NAPZA) atau alkohol, ibu merokok, riwayat depresi,
gangguan mental lainnya (ansietas, skizoprenia), dan riwayat bunuh diri pada orang tua/
keluarga, pola dan mendidik anak, nilai-nilai hidup yang dianut orangtua, dan kurangnya
pengertian mengenai perkembangan anak. Anak yang tinggal bukan dengan orangtuanya
memiliki risiko 50 kali lebih besar untuk mengalami kekerasan dibandingkan jika tinggal dengan
kedua orangtua kandungnya. Faktor anak antara lain “vulnerable children”, yaitu anak yang
tidak diinginkan, anak yang memiliki riwayat kekerasan, anak dari orang tua pecandu obat-
obatan terlarang, dan anak dengan kepercayaan diri serta prestasi yang rendah. Selain itu, anak
dengan riwayat prematur dan berat lahir rendah juga memiliki risiko lebih besar untuk
memperoleh kekerasan. Anak dengan cacat fisik dan mental berisiko 2,1 kali lebih sering
mengalami kekerasan fisik dibanding anak normal.
Terdapat aspek hukum dan medikolegal yang perlu diperhatikan dalam pemeriksaan dan
penatalaksanaan korban kekerasaan seksual. Karena korban juga berstatus sebagai pasien, dan
yang akan diperiksa adalah daerah “sensitif”, hal utama yang harus diperhatikan adalah
memperoleh informed consent.
Informasi tentang pemeriksaan harus diberikan sebelum pemeriksaan dimulai dan antara
lain, mencakup tujuan pemeriksaan dan kepentingannya untuk pengungkapan kasus, prosedur
atau teknik pemeriksaan, tindakan pengambilan sampel atau barang bukti, dokumentasi dalam
bentuk rekam medis dan foto, serta pembukaan sebagian rahasia kedokteran guna pembuatan
visum et repertum. (Ilmu Kedokteran Forensik . Bagian kedokteran forensic Fakultas
kedokteran Universitas Indonesia. Hal 147-158)
Apabila korban cakap hukum, persetujuan untuk pemeriksaan harus diperoleh dari
korban. Syarat-syarat cakap hukum adalah berusia 21 tahun atau lebih, atau belum 21 tahun tapi
sudah pernah menikah, tidak sedang menjalani hukuman, serta berjiwa sehat dan berakal sehat.
Apabila korban tidak cakap hukum persetujuan harus diminta dari walinya yang sah. Bila korban
tidak setuju diperiksa, tidak terdapat ketentuan undangundang yang dapat memaksanya untuk
diperiksa dan dokter harus menghormati keputusan korban tersebut.
Selain itu, karena pada korban terdapat barang bukti (corpus delicti) harus diperhatikan
pula prosedur legal pemeriksaan. Setiap pemeriksaan untuk pembuatan visum et repertum harus
dilakukan berdasarkan permintaan tertulis (Surat Permintaan Visum/SPV) dari polisi penyidik
yang berwenang. Korban juga harus diantar oleh polisi penyidik sehingga keutuhan dan
originalitas barang bukti dapat terjamin.(Huraerah A,2008) Apabila korban tidak diantar oleh
polisi penyidik, dokter harus memastikan identitas korban yang diperiksa dengan mencocokkan
antara identitas korban yang tercantum dalam SPV dengan tanda identitas sah yang dimiliki
korban, seperti KTP, paspor, atau akta lahir. Catat pula dalam rekam medis bahwa korban tidak
diantar oleh polisi. Hal ini harus dilakukan untuk menghindari kemungkinan kesalahan
identifikasi dalam memeriksa korban. (Buku UI)
Seorang dokter yang memeriksa kasus kekerasan seksual harus bersikap objektif-
imparsial, konfi densial, dan profesional.(Buku UI dan Huraerah) Objektif-imparsial artinya
seorang dokter tidak boleh memihak atau bersimpati kepada korban sehingga cenderung
mempercayai seluruh pengakuan korban begitu saja. Hal yang boleh dilakukan adalah berempati,
dengan tetap membuat penilaian sesuai dengan bukti-bukti objektif yang didapatkan secara
sistematis dan menyeluruh. Tetap waspada terhadap upaya pengakuan atau tuduhan palsu (false
allegation) dari korban. Hindari pula perkataan atau sikap yang “menghakimi” atau menyalahkan
korban atas kejadian yang dialaminya. Dokter juga harus menjaga konfi densialitas hasil
pemeriksaan korban. Komunikasikan hasil pemeriksaan hanya kepada yang berhak mengetahui,
seperti kepada korban dan/atau walinya (jika ada), serta penyidik kepolisian yang berwenang.
Tuangkan hasil pemeriksaan dalam visum et repertum sesuai keperluan saja, dengan tetap
menjaga kerahasiaan data medis yang tidak terkait dengan kasus. Profesionalitas dokter dalam
melakukan P3K kekerasan seksual ditunjukkan dengan melakukan pemeriksaan sesuai dengan
kaidah-kaidah ilmu kedokteran yang umum dan mutakhir, dengan memperhatikan hak dan
kewajiban korban (sekaligus pasien) dan dokter.
Idealnya, wawancara dilakukan dengan pengasuh atau sesorang yang berkenalan dengan
anak, bukan dari anak secara langsung; namun hal ini tidak selalu memungkinakan. Meskipun
demikian penting untunk mengumpulkan informasi sebanyak mungkin. Anak-anak yang lebih
tua, terutama remaja sering malu ketika diminta membicarakan masalah seksual. Merupakan ide
yang baik untuk menanyakan kepada anak apakah mereka ingin orang dewasa atau orang tua
hadir atau tidak; remaja cenderung berbicara lebih bebas ketika sendirian. Dalam anamnesis
kepada anak diperlukan ketermapilan spesifik. Pertanyaan harus disesuaikan dengan usia atau
pemahaman anak. Saat melakukan wawancara langsung dengan anak, mungkin ada baiknya
memulaisejumlah pertanyaan umum, yang tidak mengancam, misalnya, “Kelas berapa Anda di
sekolah? "dan" Berapa saudara dan saudari yang Anda miliki? ", sebelum beralih untuk
membahas masalah yang berpotensi lebih menyusahkan. Beberapa contoh ungkapan pertanyaan
yang ditujukan pada anak-anak :
Kejadian terakhir dari dugaan pelecehan (anak-anak yang lebih muda mungkin tidak
dapat menjawabini tepatnya). Kapan hal ini terjadi?
Pertama kali dugaan penyalahgunaan terjadi. Kapan pertama kali hal ini terjadi ?
Ancaman yang dibuat.
Sifat serangan, yaitu penetrasi anal, vagina dan / atau oral. Area apa tubuhmu yang
disentuh atau terluka? (Anak itu mungkin tidak memahami arti penetrasi tetapi
mungkin dapat diterangkan dengan cara menunjuk. Ini merupakan indikasi
untukmemeriksa daerah genital dan anal dalam semua kasus.)
Apakahterdapat cedera atau anak mengeluh sakit.
Nyeri pada vagina atau anus, pendarahan dan / atau kepulangan setelah kejadian.
Apakah kamuada rasa sakit di bagian bawah atau daerah kelamin Anda? Apakah ada
darah di celana Anda atau di dalam toilet? (Gunakan istilah apa pun yang dapat
diterima atau dimengerti oleh anak untuk menerangkan bagaian antomi ini)
Kesulitan atau rasa sakit saat buang air kecil atau buang air besar. Apakah sakit ketika
Anda pergi kekamar mandi?
Inkontinensia urin atau feses
Periode menstruasi pertama dan tanggal periode menstruasi terakhir (khusus anak
perempuan).
Rincian aktivitas seksual sebelumnya (jelaskan mengapa Anda perlu bertanya tentang
ini).Pernahkah Anda berhubungan seks dengan seseorang karena Anda
menginginkannya?
Riwayat mencuci / mandi sejak penyerangan (baru-baru ini)
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan dapat dibagi menjadi pemeriksaan umum dan khusus.
Pemeriksaan fisik umum mencakup: tingkat kesadaran, keadaan umum, tanda vital, penampilan
(rapih atau tidak, dandan, dan lain-lain), afek (keadaan emosi, apakah tampak sedih, takut, dan
sebagainya), pakaian (apakah ada kotoran, robekan, atau kancing yang terlepas), status generalis,
tinggi badan dan berat badan, rambut (tercabut/rontok) , gigi dan mulut (terutama pertumbuhan
gigi molar kedua dan ketiga), kuku (apakah ada kotoran atau darah di bawahnya, apakah ada
kuku yang tercabut atau patah), tanda-tanda perkembangan seksual sekunder, tanda-tanda
intoksikasi NAPZA, serta status lokalis dari luka-luka yang terdapat pada bagian tubuh selain
daerah kemaluan.
Pada kasus ini, khususnya anak laki-laki, pemeriksaan genital harus mencakup struktur dan
jaringan berikut, memeriksa tanda-tanda cedera (mis. Memar, laserasi, perdarahan, dan pus)
Untuk memeriksa daerah anal (pada anak laki-laki dan perempuan), posisikan anak dalam
posisi lateral dan oleskan lubrikan di sekitar lubang anus (part the buttock cheeks) . Selama
jalannya pemeriksaan anal, periksa tanda-tanda cedera pada struktur berikut dan tentukan apakah
terdapat memar, luka, perdarahan, fissures serta pus
lepuh akut, laserasi atau memar pada labia, jaringan perihymenal,penis, skrotum atau
perineum;
Selaput dara membentang hingga lebih dari 50% dari lebar ujung selaput dara;
jaringan parut atau laserasi baru di fourchette posterior yang tidak melibatkan selaput
dara (tetapi trauma yang tidak disengaja harus dihilangkan);
kondiloma pada anak di atas usia 2 tahun;
pelebaran atau jaringan parut anal yang signifikan.
Pemeriksaan Penunjang
Pada kasus kekerasan seksual, perlu dilakukan pemeriksaan penunjang sesuai indikasi
untuk mencari bukti-bukti yang terdapat pada tubuh korban. Sampel untuk pemeriksaan
penunjang dapat diperoleh dari, antara lain:
pakaian yang dipakai korban saat kejadian; diperiksa lapis demi lapis untuk mencari
adanya trace evidence yang mungkin berasal dari pelaku, seperti darah dan bercak mani,
atau dari tempat kejadian, misalnya bercak tanah atau daun-daun kering;
rambut pubis; yaitu dengan menggunting rambut pubis yang menggumpal atau
mengambil rambut pubis yang terlepas pada penyisiran;
kerokan kuku; apabila korban melakukan perlawanan dengan mencakar pelaku maka
mungkin terdapat sel epitel atau darah pelaku di bawah kuku korban;
swab; dapat diambil dari bercak yang diduga bercak mani atau air liur dari kulit sekitar
vulva, vulva, vestibulum, vagina, forniks posterior, kulit bekas gigitan atau ciuman,
rongga mulut (pada seks oral), atau lipatan-lipatan anus (pada sodomi), atau untuk
pemeriksaan penyakit menular seksual;
darah; sebagai sampel pembanding untuk identifi kasi dan untuk mencari tanda-tanda
intoksikasi NAPZA; dan
urin; untuk mencari tanda kehamilan dan intoksikasi NAPZA. Hal yang harus
diperhatikan pada tahap ini adalah keutuhan rantai barang bukti dari sampel yang diambil
(chain of custody). Semua pengambilan, pengemasan, dan pengiriman sampel harus
disertai dengan pembuatan berita acara sesuai ketentuan yang berlaku. Hal ini lebih
penting apabila sampel akan dikirim ke laboratorium dan tidak diperiksa oleh dokter
sendiri.
Pemeriksaan Laboratorium
1. Pemeriksaan cairan mani (Semen)
Cairan mani merupakan cairan agak kental, berwarna putih kekuningan, keruh dan
berbau khas. Cairan mani pada saat ejakulasi kental kemudian akibat enzim proteolitik menjadi
cair dalam waktu yang singkat (10–20 menit). Dalam keadaannormal, volume cairan mani 3–5
ml pada 1 kali ejakulasi dengan pH 7,2 – 7,6. Cairan mani mengandung spermatozoa, sel – sel
epitel dan sel – sel lain yang tersuspensi dalam cairan yang disebut plasma seminal yang
mengandung spermin dan beberapa enzim seperti fosfatase asam. Spermatozoa mempunya
bentuk khas untuk spesies tertentu dengan jumlah yang bervariasi, biasanya 60 sampai 120 juta
per ml.1
Pada orang yang hidup, sperma masih dapat diketemukan (tidak bergerak) sampai
sekitar 24-36 jam setelah persetubuhan; sedangkan pada orang mati sperma masih dapat
diketemukan dalam vagina paling lama sampai 7-8 hari setelah persetubuhan.5
a. Penentuan cairan mani (Kimiawi)
Untuk membuktikan adanya cairan mani dalamsekret vagina, perlu dideteksi adanya zat–zat
yang banyak terdapat dalam cairan mani dengan pemeriksaan laboratorium berikut:
- Reaksi fosfatase asam
Dasar reaksi: adanya enzim fosfatase dalam kadar tinggi yang dihasilkan oleh kelenjar
prostat. Aktivitas enzim fosfatase asam rata–rata adalah sebesar 2500 U.K.A (kaye). Dalam
sekret vagiana setelah 3 hari absistensi seksualis ditemukan aktivitas 0 – 6 unit
(Risfeld).Dengan menentukan secara kuantitatif aktifitas fosfatase asam per 2 cm 2 bercak, dapat
ditentukan apakah bercak tersebut adalah bercak mani atau bukan. Aktifitas 25 U.K.A per 1 cc
ekstrak yang diperoleh dari 1 cm2 bercak dianggap spesifik sebagai bercak mani.
Cara pemeriksaan: bahan yang dicurigai ditempelkan pada kertas saring yang telah terlebih
dahulu dibahsai dengan akuades selama beberapa menit. Kemudian kertas saring diangkat dan
disemprot dengan reagens.Ditentukan waktu reaksi dari saat penyemprotan sampai timbul
warna ungu.Perlu diperhatikan bahwa intensitas warna maksimal tercapai secara berangsur-
angsur dan test ini tidak spesifik. Hasil positif semu dapat terjadi dengan feses, air teh,
kontraseptik, sari buah dan tumbuh-tumbuhan.
Bercak yang tidak megnandung enzim fosfatase memberi warna dengan serentak dengan
intensitasnya tetap, sedangkan bercak yang mengandung enzim fosfatase memberikan warna
secara berangsur-angsur.
- Reaksi Berberio
Dasar reaksi: untuk menentukan adanya spermin dalam semen.Reagens: larutan asam pikrat
jenuh.Cara pemeriksaan: sama seperti pada reaksi Florence.Hasil positif memperlihatkan
adanya kristal spermin pikrat yang kekuning-kuningan berbentuk jarum dengan ujung tumpul,
dan kadang-kadang terdapat garis refraksi yang terletak longitudinal. Kristal mungkin pula
berbentuk ovoid.reaksi tersebut mempunyai arti bila mikroskopik tidak ditemukan
spermatozoa.1
- Reaksi Florence
Reaksi ini dilakukan bila terdapat azoospermia/tidak ditemukan spermatozoa atau cara lain
untuk menentukan semen tidak dapat dilakukan.Dasarnya untu menentukan adanya kolin.
Reagen (larutan lugol) dapat dibuat dari :
a) Kalium yodida 1,5 g
b) Yodium 2,5 g
c) Akuades 30 ml
Cara pemeriksaan :Cairan vaginal ditetesi larutan reagen, kemudian lihat dibawah mikroskop.
Hasil :
Bila terdapat mani, tampak kristal kolin periodida coklat berbentuk jarum dengan ujung sering
terbelah.Test ini tidak khas untuk cairan mani karena bahan yang berasal dari tumbuhan atau
binatang akan memperlihatkan kristal yang serupa tetapi hasil postif pada test ini dapat
menentukan kemungkinan terdapat cairan mani dan hasil negative menentukan kemungkinan
lain selain cairan mani.
b. Pemeriksaan bercak mani pada pakaian
Visual Bercak mani berbatas tegas dan lebih gelap dari sekitarnyaa. Bercak yang sudah agak tua
berwarna agak kekuning-kuningan. Pada bahan sutera/nylon batasnya sering tidak jelas, tetapi
selalu lebih gelap dari sekitarnya. Pada tekstil yang tidak menyerap, bercak yang segar akan
menunjukkan permukaan mengkilat dan transiusen, kemudian akan mengering. Dalam waktu
kira-kira 1 bulan akan berwarna kuning sampai coklat. Pada tekstil yang menyerap, bercak yang
segar tidak berwarna atau bertepi kelabu yang berangsur-berangsur akan berwarna kuning
sampai cokiat dalam waktu 1 bulan. Di bawah Sinar ultra violet, bercak semen menunjukkan
fluoresensi putih.
Secara taktil (perabaan) bercak mani teraba memberi kesan kaku seperti kanji. Pada tekstil yang
tidak menyerap, bila tidak teraba kaku, kita masih dapat mengenalinya karena permukaan
bercak akan teraba kasar. Dapat pula dilakukan uji pewarnaan Baecchi. Serabut pakaian tidak
mengambil warna, spermatozoa dengan kepala berwarna merah dan ekor berwarna merah muda
terlihat banyak menempel pada serabut benang. Skrining dapat dilakukan dengan reagens
Fosfatase Asam. Sehelai kertas saring yang telah dibasahi dengan akuades ditempelkan pada
bercak yang dicurigai selama 5-10 menit. Keringkan lalu semprot dengan reagens. Bila terlihat
bercak berwarna ungu, kertas saring diletakkan kembali pada pakaian sesuai dengan letaknya
semula. Dengan demikian letak bercak pada kain dapat diketahui.
2. Penentuan spermatozoa (mikroskopis)
- Tanpa pewarnaan (Langsung)
Pemeriksaan ini berguna untuk melihat apakah terdapat motilitas spermatozoa ini paling
bermakna untuk memperkirakan saat terjadinya persetubuhan.Umumnya disepakati bahwa
dalam 2–3 jam setelah persetubuhan masih dapat ditemukan spermatozoa yang bergerak dalam
vagina. Haid akan memperpanjang waktu ini menjadi 3 – 4 jam. Setelah itu spermatozoa tidak
bergerak lagi dan akhirnya ekornya akan menghilang (lisis), sehingga harus dilakukan
pemeriksaan dengan pewarnaan.1Cara pemeriksaan : satu tetes lendir vagina diletakkan pada
kaca objek, dilihat dengan pembesaran 500 x serta kondesor diturunkan. Perhatikan pergerakan
sperma.Bila sperma tidak ditemukan, belum tentu dalam vagina tidak ada ejakulat mengingat
kemungkinan azospermia atau pasca vasektomi sehingga perlu dilakukan penentuan cairan mani
dalam cairan vagina.1
- Dengan pewarnaan (Malachite Green)
Dibuat sediaan apus dan difikasi dengan melewatkan gelas sediaan apus tersebut
pada nyala api. Pulas dengan HE, MethyleneBlue atau Malachite Green.Cara pewarnaan yang
mudah dan baik untuk kepentingan forensik adalah dengan pulasan malachite green dengan
prosedur sebagai berikut:Warnai dengan larutan malachite Green 1% selama 10 – 15 menit, lalu
cuci dengan air mengalir dan setelah itu lakukan counter stain dengan larutan Eosin Yellowish
1% selama 1 menit, terakhir cuci lagi dengan air.Keuntungan dengan pulasan ini adalah inti sel
epitel dan leukosit tidak terdiferensi, sel epitel berwarna merah muda merata dan leukosit tidak
terwarnai.Kepala sperma tampak merah dan lehernya merah muda, ekornya bewarna hijau.
- Pewarnaan Baecchi
Kekerasan seksual terhadap anak akan memberikan dampak atau efek yang tidak ringan
kepada anak sebagai korban. Kebanyakan korban perkosaan mengalami psychological disorder
yang disebut post-traumatic stress disorder (PTSD) yang simtomnya berupa ketakutan yang
intens, kecemasan yang tinggi, dan emosi yang kakus pascaperistiwa. Korban yang mengalami
kekerasan membutuhkan waktu satu hingga tiga tahun untuk terbuka pada orang lain.
Pencegahan
Anak korban kekerasan merupakan bagian dari children in need of special protection.
Oleh sebab itu, pencegahan kasus kekerasan pada anak harus melibatkan anak, keluarga, dan
lingkungannya. Pencegahan tingkat pertama (primary prevention) meliputi pendidikan kesehatan
untuk anak dan keluarga, dan perlindungan pada anak dengan membantu keluarga
mengantisipasi hal yang dapat menimbulkan kekerasan pada anak. Salah satu contoh upaya
pencegahan primer adalah pada kasus jumlah balita yang banyak dalam satu keluarga dapat
menjadi faktor risiko kekerasan pada anak. Program Keluarga Berencana (KB) berperan penting
untuk mencapai kelangsungan hidup anak agar mencapai tumbuh kembang yang optimal.
Konsep kelangsungan hidup anak ini dikembangkan menjadi konsep Kelangsungan Hidup,
Perkembangan dan Perlindungan Anak. Perlindungan anak dianggap perlu ditambahkan karena
menyangkut pengakuan hak anak, terutama dalam penanganan secara utuh golongan ‘anak dalam
situasi teramat sulit’ (children in especially difficult situations). Sehingga perlu edukasi pada
keluarga untuk mengikuti program KB.Secondary prevention atau pencegahan tingkat kedua
meliputi deteksi dini anak dengan kekerasan, konseling pada anak dan keluarga, dan perawatan
anak korban kekerasan dengan memenuhi kebutuhan fisik dan psikologis. Pencegahan tingkat
tersier, antara lain membantu pemulihan kesehatan anak, dan membantu anak untuk kembali ke
lingkungannya dengan percaya diri.
Kesimpulan
Penatalaksanaan yang baik dan sesuai prosedur terhadap korban akan sangat membantu
pengungkapan kasus kekerasan seksual. Pemeriksaan yang dilakukan oleh dokter hendaknya
sistematis, menyeluruh, dan terarah untuk menemukan bukti-bukti kekerasan seksual yang
terdapat pada tubuh korban untuk dituangkan dalam visum et repertum. Dalam melakukan
pemeriksaan dan penatalaksanaan korban kekerasan seksual, dokter harus memperhatikan aspek
etika dan medikolegal agar dapat membantu korban seoptimal mungkin dalam mendapatkan
keadilan, tanpa menambah penderitaan korban
Daftar Pustaka