EVAND ALANDINO
EAA 117 227
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
2021
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr.wb
Alhamdulillah. Puji syukur kehadirat Allah SWT senantiasa kita ucapkan. Atas
karunia-Nya berupa nikmat iman dan kesehatan ini akhirnya saya bisa menyelesaikan
makalah ini tepat waktu. Tidak lupa shawalat serta salam tercurahkan bagi Baginda Agung
Rasulullah SAW yang syafaatnya akan kita nantikan kelak.
Dengan kerendahan hati, saya memohon maaf apabila ada ketidaksesuaian kalimat dan
kesalahan. Meskipun demikian, saya terbuka pada kritik dan saran dari pembaca demi
kesempurnaan makalah yang akan saya buat selanjutnya.
Wassalamualaikum wr.wb
Evand Alandino
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I
I.II Tujuan
BAB II
BAB III
III.I Kesimpulan
BAB I
PENDAHULUAN
Kekerasan seksual adalah segala kegiatan yang terdiri dari aktivitas seksual yang
dilakukan secara paksa oleh orang dewasa pada anak atau oleh anak kepada anak lainnya.
Kekerasasan seksual meliputi penggunaaan atau pelibatan anak secara komersial dalam
kegiatan seksual, bujukan ajakan atau paksaan terhadap anak untuk terlibat dalam kegiatan
seksual, pelibatan anak dalam media audio visual dan pelacuraran anak (UNICEF, 2014).
Pelecehan seksual dapat terjadi dimana saja dan kapan saja serta dapat menimpa siapa saja
(UNESCO, 2012). Anak - anak merupakan salah satu kelompok rentan menjadi korban
kekerasan seksual (Wilkins ,2014).
Kekerasan seksual tidak hanya dalam bentuk kekerasan seksual fisik, namun dapat
berupa pelecehan yang berkonteks seksual melalui media sosial dan internet (Komisi
Perlindungan Anak, 2016). Salah satu tindak kejahatan yang menjadi fenomena akhir-akhir
ini adalah kekerasan seksual terutama terjadi terhadap anak-anak. Anak adalah anugerah yang
tak ternilai yang dikaruniakan oleh Tuhan pada setiap pasangan manusia untuk dipelihara,
dilindungi, dan dididik dengan baik. Ia adalah manusia yang mempunyai kemampuan fisik,
mental, dan sosial yang masih terbatas untuk mengatasi berbagai resiko dan bahaya yang
dihadapinya dan juga secara otomatis masih bergantung pada pihak-pihak lain terutama
anggota keluarga yang berperan aktif untuk melindungi dan menjaganya. Perlindungan
terhadap hidup dan penghidupan anak masih menjadi tanggung jawab kedua orangtua,
keluarganya, masyarakat, dan juga negara.
Perlindungan ini dapat berupa pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, dan papan.
Tidak hanya itu, perlindungan yang diberikan terhadap seorang anak juga dapat berupa
perlindungan terhadap kondisi psikologis atau mental dari anak yaitu terutama perkembangan
kejiwaannya. Tanggung jawab orang tua terhadap anak sangat penting dibandingkan dengan
orang lain, namun harus ada dukungan masyarakat dalam menjaga antar sesama dan peduli
dengan masalah kekerasan ini agar dapat mencegah kekerasan seksual terhadap anak.
Maka dari itu harus ada upaya untuk mangajak orang tua agar mengajarkan pendidikan
seksual yang baik pada anak dan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya
menjaga anak dari kekerasan seksual. Fenomena perilaku negatif terhadap anak saat ini
sangat memprihatinkan. Kasus-kasus kekerasan terhadap anak terus meningkat dalam
beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2010 Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA)
menyatakan 80% anak yang mengalami tindak kekerasan berusia di bawah 15 tahun,
kekerasan tersebut meliputi kekerasan fisik, psikologis, dan kekerasan seksual.
Menurut Risty Justicia dalam jurnal yang ditulisnya, Kenyataan di Indonesia, orangtua
masih menganggap taboo membicarakan pendidikan seks pada anak (Sciaraffa & Randolph,
2011; Pitkoff:2008; Counterman & Kirkwood: 2013). Orang tua yang meragukan dalam
memberikan pendidikan seks pada anak karena menurut orangtua pendidikan seks yang
diberikan terlalu dini akan semakin membuat anak penasaran dalam seks dan akan melakukan
penyimpangan-penyimpangan seksual (Coleman & Charles : 2009). Namun hal ini tidak
dibenarkan dalam peneltian manapun. Malahan sebaliknya, pendidikan seks yang diberikan
pada anak usia dini akan membuat anak mengetahui batasan mereka sebagai seseorang laki-
laki dan seseorang perempuan.
I.III Tujuan
PEMBAHASAN
Pelecehan seksual terhadap anak adalah suatu bentuk penyiksaan anak di mana orang
dewasa atau remaja yang lebih tua menggunakan anak untuk rangsangan seksual. Bentuk
pelecehan seksual anak termasuk meminta atau menekan seorang anak untuk melakukan
aktivitas seksual (terlepas dari hasilnya), memberikan paparan yang tidak senonoh dari alat
kelamin untuk anak, menampilkan pornografi untuk anak, melakukan hubungan seksual
terhadap anak-anak, kontak fisik dengan alat kelamin anak (kecuali dalam konteks non-
seksual tertentu seperti pemeriksaan medis), melihat alat kelamin anak tanpa kontak fisik
(kecuali dalam konteks non-seksual seperti pemeriksaan medis), atau menggunakan anak
untuk memproduksi pornografi anak.
Efek kekerasan seksual terhadap anak antara lain depresi, gangguan stres pascatrauma,
kegelisahan, kecenderungan untuk menjadi korban lebih lanjut pada masa dewasa, dan dan
cedera fisik untuk anak di antara masalah lainnya, Pelecehan seksual oleh anggota keluarga
adalah bentuk inses, dan dapat menghasilkan dampak yang lebih serius dan trauma
psikologis jangka panjang, terutama dalam kasus inses orang tua.
Pelecehan seksual anak telah mendapatkan perhatian publik dalam beberapa dekade
terakhir dan telah menjadi salah satu profil kejahatan yang paling tinggi. Sejak tahun 1970-an
pelecehan seksual terhadap anak-anak dan penganiayaan anak telah semakin diakui sebagai
sesuatu yang sangat merusak bagi anak-anak dan dengan demikian tidak dapat diterima bagi
masyarakat secara keseluruhan. Sementara penggunaan seksual terhadap anak oleh orang
dewasa telah hadir sepanjang sejarah dan hanya telah menjadi objek perhatian publik
signifikan pada masa sekarang.
Pelecehan seksual anak dapat mengakibatkan kerugian baik jangka pendek dan jangka
panjang, termasuk psikopatologi di kemudian hari. Dampak psikologis, emosional, fisik dan
sosialnya meliputi depresi, gangguan stres pasca trauma, kegelisahan, gangguan makan, rasa
rendah diri yang buruk, gangguan identitas pribadi dan kegelisahan; gangguan psikologis
yang umum seperti somatisasi, sakit saraf, sakit kronis, perubahan perilaku seksual, masalah
sekolah/belajar; dan masalah perilaku termasuk penyalahgunaan obat terlarang, perilaku
menyakiti diri sendiri, kekejaman terhadap hewan, kriminalitas ketika dewasa dan bunuh diri.
Pola karakter yang spesifik dari gejala-gejalanya belum teridentifikasi, dan ada beberapa
hipotesis pada asosiasi kausalitas ini.
Kejahatan terhadap anak-anak ini dilakukan oleh pelaku yang lebih dewasa dengan
modus yang beraneka ragam. Ada yang menggunakan cara membujuk korban dengan diberi
sejumlah uang, membelikan sesuatu yang diinginkan korban, atau memang sengaja diajak
pelaku untuk bermain bersama kemudian pelaku melakukan kekerasan terhadap mereka.
Dengan modus-modus tersebut pelaku kemudian melakukan kejahatan di tempat yang dirasa
aman. Dari sekian banyak kasus, mayoritas peristiwa kekerasan dialami oleh anak di rumah
korban ataupun di tempat tinggal pelaku.
Seting lingkungan dapat meliputi tata ruang secara fisik, kepadatan, ketersediaan
ruang publik, ruang personal, hingga menyangkut privacy pada setiap orang. Seting
lingkungan yang ideal hendaknya memperhatikan berbagai dimensi kebutuhan masyarakat
yang menempatinya. Seting lingkungan yang tepat tentunya akan mendukung kesejahteraan
masyarakat yang tinggal di lingkungan tersebut. Sebaliknya, seting lingkungan yang kurang
tepat akan mengurangi kesejahteraan masyarakatnya dan menghambat berbagai proses yang
seharusnya dialami. Anak-anak merupakan salah satu pihak yang menempati suatu lingkup
sosial.
Pada usianya, mereka sedang mengalami proses tumbuh kembang yang sangat pesat
baik secara fisik maupun psikologis. Seting lingkungan yang tepat akan sangat mendukung
proses tersebut. Sayangnya, saat ini di Indonesia masih begitu banyak dijumpai lingkungan
yang tidak berpihak pada tumbuh kembang anak secara sehat, namun justru menempatkan
anak pada kondisi penuh resiko. Situasi semacam itu banyak dijumpai di daerah yang
masyarakatnya berada pada tingkat sosial ekonomi bawah. Rumah ukuran kecil yang dipadati
oleh penghuni, tidak adanya pembagian ruang, sehingga satu ruangan digunakan bersama
untuk berbagai aktivitas oleh banyak orang di rumah. Berbagai hasil penelitian menyebutkan
bahwa kepadatan di rumah berkaitan erat dengan berbagai patologi sosial dan gangguan
mental, angka kematian, serta tingginya pembunuhan (Galle & Gove, 1979; Booth & Welch,
1973; dalam Gifford, ????).
Para korban pedophilia sendiri kerap tidak berdaya meski telah dilecehkan secara
seksual berkali-kali karena sejumlah alasan sebagai berikut:
Kedua, karena para pedophile biasanya sejak awal telah memikirkan caracara tertentu
untuk mencegah agar korban tidak melaporkan peristiwa yang mereka alami. Salah satu ciri
pedophilia adalah mereka mendata para korban,mengumpulkan foto hingga celana dalam
korban untuk memuaskan hasrat seksual mereka yang nyeleneh, dan sekaligus menjadikan
semua itu sebagai alat untuk memeras korban agar tidak di lapor ke aparat. Ketiga, karena
secara social hubungan antara pelaku dan korban cenderung bersifat asimetris, yang sedikit
banyak menyebabkan posisi psikologis korban menjadi mudah ditekan. Praktek pedophilia
ini bias berupa:
Dimata para pedophile, selaim secara psikologis merea memang menyinpang dan
lebih senang berhubungan seks dengan anak laki-laki, pertimbangan mereka memilih korban
anak-anak adalah kesadaran bahwa anak-anak lebih aman tidak beresiko menularkan
AIDS/HIV atau PMS
Tindak kekerasan pada anak Indonesia masih sangat tinggi. Salah satu penyebabnya
adalah paradigma atau cara pandang yang keliru mengenai anak. Hal ini menggambarkan
seolah-olah kekerasan terhadap anak sah-sah saja karena anak dianggap sebagai hak milik
orang tua yang dididik dengan sebaik-baiknya termasuk dengan cara yang salah sekalipun.
Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban perkosaan sangat berkaitan
dengan perlindungan identitas si anak dari pemberitaan media massa. Hal itu diatur dalam
Pasal 64 ayat (3) butir b yang berbunyi, “upaya perlindungan dari pemberitaan identitas
melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi”.
f. Anak anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat
adiktif lainnya (NAPZA);
b. Memperoleh bantuan hukum atau bantan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya
yang berlaku; dan
c. Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak
memihak dalam sidang tertutup untuk umum.
BAB III
PENUTUP
III.I Kesimpulan
1. Kekerasan seksual dapat berawal dari tidak adanya kesempatan bagi individu untuk
mempertahankan batas-batas ruang personalnya dan tidak terpenuhinya kebutuhan akan
privacy
- Ketidakmampuan menentukan batas-batas ruang personal yang wajar sehingga tidak berani
menjalin relasi dengan jarak intim, hal ini dapat muncul dalam bentuk perilaku menarik diri,
tidak percaya pada orang lain, mengisolasi diri, gangguan kecemasan, dan depresi.
- Hambatan dalam penemuan identitas diri yang positif akibat tidak terpenuhinya privacy, hal
ini dapat muncul dalam bentuk perilaku dependen, tidak memiliki otonomi, sehingga
identitas diri yang positif lebih sulit untuk dicapai.