Anda di halaman 1dari 13

“PERLINDUNGAN HUKUM PELECEHAN SEKSUAL YANG

DILAKUKAN TERHADAP ANAK”

EVAND ALANDINO
EAA 117 227

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
2021
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb

Alhamdulillah. Puji syukur kehadirat Allah SWT senantiasa kita ucapkan. Atas
karunia-Nya berupa nikmat iman dan kesehatan ini akhirnya saya bisa menyelesaikan
makalah ini tepat waktu. Tidak lupa shawalat serta salam tercurahkan bagi Baginda Agung
Rasulullah SAW yang syafaatnya akan kita nantikan kelak.

Makalah berjudul “PERLINDUNGAN HUKUM PELECEHAN SEKSUAL YANG


DILAKUKAN TERHADAP ANAK” merupakan sedikit contoh kekerasan yang dilakukan
terhadap anak dan bagaimana perlindungan hukumnya.

Dengan kerendahan hati, saya memohon maaf apabila ada ketidaksesuaian kalimat dan
kesalahan. Meskipun demikian, saya terbuka pada kritik dan saran dari pembaca demi
kesempurnaan makalah yang akan saya buat selanjutnya.

Wassalamualaikum wr.wb

Palangka Raya, 23 Juli 2021

Evand Alandino
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I

I.I Latar Belakang

I.II Rumusan Masalah

I.II Tujuan

BAB II

II.I Pengertian Pelecehan Seksual Terhadap Anak

II.II Faktor Penyebab Kekerasan Seksual Terhadap Anak

II.III Perlindungan Hukum Kekerasan Seksual Terhadap Anak

BAB III

III.I Kesimpulan
BAB I

PENDAHULUAN

I.I Latar Belakang

Kekerasan seksual adalah segala kegiatan yang terdiri dari aktivitas seksual yang
dilakukan secara paksa oleh orang dewasa pada anak atau oleh anak kepada anak lainnya.
Kekerasasan seksual meliputi penggunaaan atau pelibatan anak secara komersial dalam
kegiatan seksual, bujukan ajakan atau paksaan terhadap anak untuk terlibat dalam kegiatan
seksual, pelibatan anak dalam media audio visual dan pelacuraran anak (UNICEF, 2014).
Pelecehan seksual dapat terjadi dimana saja dan kapan saja serta dapat menimpa siapa saja
(UNESCO, 2012). Anak - anak merupakan salah satu kelompok rentan menjadi korban
kekerasan seksual (Wilkins ,2014).

Kekerasan seksual tidak hanya dalam bentuk kekerasan seksual fisik, namun dapat
berupa pelecehan yang berkonteks seksual melalui media sosial dan internet (Komisi
Perlindungan Anak, 2016). Salah satu tindak kejahatan yang menjadi fenomena akhir-akhir
ini adalah kekerasan seksual terutama terjadi terhadap anak-anak. Anak adalah anugerah yang
tak ternilai yang dikaruniakan oleh Tuhan pada setiap pasangan manusia untuk dipelihara,
dilindungi, dan dididik dengan baik. Ia adalah manusia yang mempunyai kemampuan fisik,
mental, dan sosial yang masih terbatas untuk mengatasi berbagai resiko dan bahaya yang
dihadapinya dan juga secara otomatis masih bergantung pada pihak-pihak lain terutama
anggota keluarga yang berperan aktif untuk melindungi dan menjaganya. Perlindungan
terhadap hidup dan penghidupan anak masih menjadi tanggung jawab kedua orangtua,
keluarganya, masyarakat, dan juga negara.

Perlindungan ini dapat berupa pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, dan papan.
Tidak hanya itu, perlindungan yang diberikan terhadap seorang anak juga dapat berupa
perlindungan terhadap kondisi psikologis atau mental dari anak yaitu terutama perkembangan
kejiwaannya. Tanggung jawab orang tua terhadap anak sangat penting dibandingkan dengan
orang lain, namun harus ada dukungan masyarakat dalam menjaga antar sesama dan peduli
dengan masalah kekerasan ini agar dapat mencegah kekerasan seksual terhadap anak.

Maka dari itu harus ada upaya untuk mangajak orang tua agar mengajarkan pendidikan
seksual yang baik pada anak dan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya
menjaga anak dari kekerasan seksual. Fenomena perilaku negatif terhadap anak saat ini
sangat memprihatinkan. Kasus-kasus kekerasan terhadap anak terus meningkat dalam
beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2010 Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA)
menyatakan 80% anak yang mengalami tindak kekerasan berusia di bawah 15 tahun,
kekerasan tersebut meliputi kekerasan fisik, psikologis, dan kekerasan seksual.

Menurut Risty Justicia dalam jurnal yang ditulisnya, Kenyataan di Indonesia, orangtua
masih menganggap taboo membicarakan pendidikan seks pada anak (Sciaraffa & Randolph,
2011; Pitkoff:2008; Counterman & Kirkwood: 2013). Orang tua yang meragukan dalam
memberikan pendidikan seks pada anak karena menurut orangtua pendidikan seks yang
diberikan terlalu dini akan semakin membuat anak penasaran dalam seks dan akan melakukan
penyimpangan-penyimpangan seksual (Coleman & Charles : 2009). Namun hal ini tidak
dibenarkan dalam peneltian manapun. Malahan sebaliknya, pendidikan seks yang diberikan
pada anak usia dini akan membuat anak mengetahui batasan mereka sebagai seseorang laki-
laki dan seseorang perempuan.

I.II Rumusan Masalah

1. Pengertian Pelecehan Seksual

2. Apasaja Faktor Penyebab Pelecehan Seksual Terhadap Anak

3. Bagaimana Perlindungan Hukum Kekerasan Seksual Terhadap Anak

I.III Tujuan

1. Menyelesaikan Tugas yang diberikan oleh Dosen Mata Kuliah

2. Menambah wawasan mengenai pelecehan seksual yang terjadi terhadap anak


BAB II

PEMBAHASAN

II.I Pengertian Pelecehan Seksual

Pelecehan seksual terhadap anak adalah suatu bentuk penyiksaan anak di mana orang
dewasa atau remaja yang lebih tua menggunakan anak untuk rangsangan seksual. Bentuk
pelecehan seksual anak termasuk meminta atau menekan seorang anak untuk melakukan
aktivitas seksual (terlepas dari hasilnya), memberikan paparan yang tidak senonoh dari alat
kelamin untuk anak, menampilkan pornografi untuk anak, melakukan hubungan seksual
terhadap anak-anak, kontak fisik dengan alat kelamin anak (kecuali dalam konteks non-
seksual tertentu seperti pemeriksaan medis), melihat alat kelamin anak tanpa kontak fisik
(kecuali dalam konteks non-seksual seperti pemeriksaan medis), atau menggunakan anak
untuk memproduksi pornografi anak.

Efek kekerasan seksual terhadap anak antara lain depresi, gangguan stres pascatrauma,
kegelisahan, kecenderungan untuk menjadi korban lebih lanjut pada masa dewasa, dan dan
cedera fisik untuk anak di antara masalah lainnya, Pelecehan seksual oleh anggota keluarga
adalah bentuk inses, dan dapat menghasilkan dampak yang lebih serius dan trauma
psikologis jangka panjang, terutama dalam kasus inses orang tua.

Berdasarkan hukum, "pelecehan seksual anak" merupakan istilah umum yang


menggambarkan tindak kriminal dan sipil di mana orang dewasa terlibat dalam aktivitas
seksual dengan anak di bawah umur atau eksploitasi anak di bawah umur untuk tujuan
kepuasan seksual. Asosiasi Psikiater Amerika menyatakan bahwa "anak-anak tidak bisa
menyetujui aktivitas seksual dengan orang dewasa", dan mengutuk tindakan seperti itu oleh
orang dewasa: "Seorang dewasa yang terlibat dalam aktivitas seksual dengan anak adalah
melakukan tindak pidana dan tidak bermoral yang tidak pernah bisa dianggap normal atau
perilaku yang dapat diterima secara sosial.

Pelecehan seksual anak telah mendapatkan perhatian publik dalam beberapa dekade
terakhir dan telah menjadi salah satu profil kejahatan yang paling tinggi. Sejak tahun 1970-an
pelecehan seksual terhadap anak-anak dan penganiayaan anak telah semakin diakui sebagai
sesuatu yang sangat merusak bagi anak-anak dan dengan demikian tidak dapat diterima bagi
masyarakat secara keseluruhan. Sementara penggunaan seksual terhadap anak oleh orang
dewasa telah hadir sepanjang sejarah dan hanya telah menjadi objek perhatian publik
signifikan pada masa sekarang.

Pelecehan seksual terhadap anak menjadi isu publik pada 1970-an dan 1980-an.


Sebelum titik waktu ini pelecehan seksual tetap agak dirahasiakan dan menurut masyarakat
ini merupakan hal yang amat buruk. Studi tentang penganiayaan anak yang tidak ada sampai
tahun 1920-an dan estimasi nasional pertama jumlah kasus pelecehan seksual anak
diterbitkan pada tahun 1948. Pada 1968, 44 dari 50 negara bagian Amerika Serikat telah
memberlakukan hukum yang mewajibkan dokter untuk melaporkan kasus penganiayaan anak
mencurigakan. Tindakan hukum mulai menjadi lebih umum pada tahun 1970-an dengan
diberlakukannya Undang-Undang Pencegahan dan Perawatan terhadap Kekerasan Anak pada
tahun 1974 dalam hubungannya dengan pendirian Pusat Nasional untuk Pelecehan dan
Pengabaian Anak. Sejak pembuatan Undang-Undang Pencegahan dan Perawatan terhadapa
Kekerasan Anak kasus pelecehan terhadap anak yang dilaporkan telah meningkat secara
dramatis. Akhirnya, Koalisi Nasional untuk Tindak Kekerasan didirikan pada tahun 1979
untuk menciptakan tekanan yang lebih besar di Kongres untuk membuat undang-undang
pelecehan seksual yang lebih banyak.

Gelombang kedua feminisme membawa kesadaran yang lebih besar terhadap pelecehan


seksual anak dan kekerasan terhadap perempuan, dan yang berhasilnya kepada masyarakat,
isu-isu politik. Judith Lewis Herman, profesor psikiatri Harvard, menulis buku pertama yang
pernah terjadi pada inses ayah dan anak ketika ia menemukan selama residensi medis bahwa
sejumlah besar perempuan dia yang telah ia lihat menjadi korban inses antara ayah dan anak.
Herman mencatat bahwa pendekatan ke pengalaman klinisnya tumbuh dari keterlibatannya
dalam gerakan hak-hak sipil. Buku keduanya Trauma dan Pemulihan, dianggap sebagai
karya klasik dan latar belakang diciptakan istilah gangguan stres pasca trauma kompleks dan
termasuk pelecehan seksual anak sebagai penyebabnya.

Pelecehan seksual anak dapat mengakibatkan kerugian baik jangka pendek dan jangka
panjang, termasuk psikopatologi di kemudian hari. Dampak psikologis, emosional, fisik dan
sosialnya meliputi depresi, gangguan stres pasca trauma, kegelisahan, gangguan makan, rasa
rendah diri yang buruk, gangguan identitas pribadi dan kegelisahan; gangguan psikologis
yang umum seperti somatisasi, sakit saraf, sakit kronis, perubahan perilaku seksual, masalah
sekolah/belajar; dan masalah perilaku termasuk penyalahgunaan obat terlarang, perilaku
menyakiti diri sendiri, kekejaman terhadap hewan, kriminalitas ketika dewasa dan bunuh diri.
Pola karakter yang spesifik dari gejala-gejalanya belum teridentifikasi, dan ada beberapa
hipotesis pada asosiasi kausalitas ini.

II.II Faktor Penyebab Kekerasan Seksual Terhadap Anak

Kejahatan terhadap anak-anak ini dilakukan oleh pelaku yang lebih dewasa dengan
modus yang beraneka ragam. Ada yang menggunakan cara membujuk korban dengan diberi
sejumlah uang, membelikan sesuatu yang diinginkan korban, atau memang sengaja diajak
pelaku untuk bermain bersama kemudian pelaku melakukan kekerasan terhadap mereka.
Dengan modus-modus tersebut pelaku kemudian melakukan kejahatan di tempat yang dirasa
aman. Dari sekian banyak kasus, mayoritas peristiwa kekerasan dialami oleh anak di rumah
korban ataupun di tempat tinggal pelaku.

Multifaktor diyakini oleh banyak ahli dalam memandang penyebab terjadinya


kekerasan seksual pada anak. Posisi anak sebagai pihak yang lemah dan tidak berdaya,
moralitas masyarat khususnya pelaku kekerasan seksual yang rendah, kontrol dan kesadaran
orangtua dalam mengantisipasi tindak kejahatan pada anak, kurangnya program edukasi dari
pihak pemerintah yang bisa diakses oleh masyarakat, dan masih banyak lagi faktor lain.
Psikologi lingkungan memandang bahwa seting lingkungan suatu masyarakat tidak hanya
berpengaruh secara fisik tetapi juga secara psikologis dan sosial bagi masyarakat yang
menempatinya.

Seting lingkungan dapat meliputi tata ruang secara fisik, kepadatan, ketersediaan
ruang publik, ruang personal, hingga menyangkut privacy pada setiap orang. Seting
lingkungan yang ideal hendaknya memperhatikan berbagai dimensi kebutuhan masyarakat
yang menempatinya. Seting lingkungan yang tepat tentunya akan mendukung kesejahteraan
masyarakat yang tinggal di lingkungan tersebut. Sebaliknya, seting lingkungan yang kurang
tepat akan mengurangi kesejahteraan masyarakatnya dan menghambat berbagai proses yang
seharusnya dialami. Anak-anak merupakan salah satu pihak yang menempati suatu lingkup
sosial.

Pada usianya, mereka sedang mengalami proses tumbuh kembang yang sangat pesat
baik secara fisik maupun psikologis. Seting lingkungan yang tepat akan sangat mendukung
proses tersebut. Sayangnya, saat ini di Indonesia masih begitu banyak dijumpai lingkungan
yang tidak berpihak pada tumbuh kembang anak secara sehat, namun justru menempatkan
anak pada kondisi penuh resiko. Situasi semacam itu banyak dijumpai di daerah yang
masyarakatnya berada pada tingkat sosial ekonomi bawah. Rumah ukuran kecil yang dipadati
oleh penghuni, tidak adanya pembagian ruang, sehingga satu ruangan digunakan bersama
untuk berbagai aktivitas oleh banyak orang di rumah. Berbagai hasil penelitian menyebutkan
bahwa kepadatan di rumah berkaitan erat dengan berbagai patologi sosial dan gangguan
mental, angka kematian, serta tingginya pembunuhan (Galle & Gove, 1979; Booth & Welch,
1973; dalam Gifford, ????).

Penelitian lain memfokuskan pada hubungan antara anak-orangtua pada keluarga


yang memiliki kepadatan tinggi. Ditemukan bahwa anak lebih sedikit menerima perhatian
yang konstruktif, anak lebih sering keluar rumah tanpa pengawasan orang tua sehingga
memiliki resiko yang lebih tinggi untuk menjadi nakal dan mengalami masalah perilaku dan
masalah belajar (Booth & Edwards, 1976; Booth & Johnson, 1975; Saegert, 1980; dalam
Gifford, ??). Selain kepadatan secara fisik di rumah, psikologi lingkungan juga membahas
mengenai ketersediaan ruang personal yang sifatnya lebih abstrak namun sangat dibutuhkan
oleh setiap individu. Ruang personal (personal space) mengacu pada area dengan batas yang
tidak tampak di sekitar tubuh seseorang dimana orang asing/orang lain tidak dapat
sembarangan masuk (Sommer, 1969). Ruang personal menyangkut komponen jarak dari
suatu hubungan interpersonal, yang menjadi indikator dan bagian integral dari proses
pertumbuhan, pemeliharaan, dan kemunduran dari hubungan interpersonal.

Para korban pedophilia sendiri kerap tidak berdaya meski telah dilecehkan secara
seksual berkali-kali karena sejumlah alasan sebagai berikut:

Pertama karena si pelaku selalu pandai menawarkan berbagai imig-iming, terutama


uang kepada korban yang notabene anak-anak yang masih polos dan berasal dari kelas social
menengah ke bawah. Dengan adanya imbalan melalui umpan-umpan yang memabukkan,
seperti dibelikkan baju bagus dan mahal,dibelikkan sepatu yang keren dan diajak tidur di
hotel mewah-mewah tak sedikit korban akhirnya bersedia melayani hasrat menyimpang kaum
pedophilia secara sukarela.

Kedua, karena para pedophile biasanya sejak awal telah memikirkan caracara tertentu
untuk mencegah agar korban tidak melaporkan peristiwa yang mereka alami. Salah satu ciri
pedophilia adalah mereka mendata para korban,mengumpulkan foto hingga celana dalam
korban untuk memuaskan hasrat seksual mereka yang nyeleneh, dan sekaligus menjadikan
semua itu sebagai alat untuk memeras korban agar tidak di lapor ke aparat. Ketiga, karena
secara social hubungan antara pelaku dan korban cenderung bersifat asimetris, yang sedikit
banyak menyebabkan posisi psikologis korban menjadi mudah ditekan. Praktek pedophilia
ini bias berupa:

1. Perbuatan ekshibisionistis dengan memperlihatkan alat kelaminnya sendiri pada anak-


anak. 2. Memanipulasikan tubuh anak-anak .

3. Sampai melakukan coitus dengan anak-anak.

Dimata para pedophile, selaim secara psikologis merea memang menyinpang dan
lebih senang berhubungan seks dengan anak laki-laki, pertimbangan mereka memilih korban
anak-anak adalah kesadaran bahwa anak-anak lebih aman tidak beresiko menularkan
AIDS/HIV atau PMS

II.III Perlindungan Hukum Kekerasan Seksual Terhadap Anak

Anak-anak membutuhkan perlindungan dan perawatan khusus termasuk perlindungan


hukum yang berbeda dari orang dewasa. Hal ini didasarkan pada alasan fisik dan mental
anak-anak yang belum dewasa dan matang. Anak perlu mendapatkan suatu perlindungan
yang telah termuat dalam suatu peraturan perundang-undangan. Setiap anak kelak mampu
memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya
untuk tumbuh dan berkembang secara optimal baik fisik, mental, sosial, berakhlak mulia
perlu di dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan
memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa
dikriminatif.

Tindak kekerasan pada anak Indonesia masih sangat tinggi. Salah satu penyebabnya
adalah paradigma atau cara pandang yang keliru mengenai anak. Hal ini menggambarkan
seolah-olah kekerasan terhadap anak sah-sah saja karena anak dianggap sebagai hak milik
orang tua yang dididik dengan sebaik-baiknya termasuk dengan cara yang salah sekalipun.

Perlindungan hukum terhadap anak korban kejahatan perkosaan dalam pemberitaan


media massa menurut undang-undang diatur dalam Pasal 64 Undang-Undang 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, Pasal 48 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran, Pasal 14 dan 29 Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standart Program Siaran
(P3SPS) Tahun 2012, Pasal 5 Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, dan
Pasal 4 dan 5 Kode Etik Jurnalistik Tahun 2006.
Indonesia telah membentuk Undang-Undang Nomor 23 Nomor 2002 tentang
Perlindungan Anak sebagai bentuk perhatian serius dari pemerintah dalam melindungi hak-
hak anak. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah
ditentukan adanya perlindungan terhadap pemberitaan identitas anak sebagai korban
kejahatan.

Perlindungan hukum terhadap anak korban kejahatan perkosaan dalam pemberitaan


media massa Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Sebagaimana yang disebutkan pada pasal 1 angka (2) Ketentuan Umum Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, perlindungan anak adalah segala
kegiatan yang menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh
berkembang dan berpartisipasi, secara optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan, serta
medapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Tujuan perlindungan anak menurut undang-undang adalah untuk menjamin


terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh berkembang dan berpartisipasi secara
optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskrimisasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak
mulia dan sejahtera.

Di dalam pasal 59 Undang-Undang Perlindungan Anak, disebutkan bahwa


perlindungan khusus wajib diberikan kepada anak yang berhadapan dengan hukum. Dalam
pasal 64 ayat 1 dan 2 menyebutkan bahwa anak-anak yang berhadapan dengan hukum adalah
anak-anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban kejahatan.

Perlindungan anak secara nasional telah memperoleh dasar pijakan yuridis


diantaranya Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional serta Pasal 21
sampai 24 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Adapun
pengertian anak menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk
anak yang masih dalam kandungan. Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak juga mengatur bahwa “setiap anak yang menjadi korban atau
pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan. Selain
itu, Pasal 64 ayat (2) huruf g juga mengatur “Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui
media massa dan untuk menghindari labelisasi”.
Berdasarkan konteks Pasal 17 ayat (2) dapat diartikan bahwa kerahasiaan identitas
anak tidak hanya ditujukan kepada pelaku kekerasan seksual, namun juga kepada korban
kekerasan seksual serta setiap anak yang berhadapan dengan hukum. Perlindungan terhadap
anak sebagai korban, maupun pelaku atau yang 10 Pasal 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak berhadapan dengan hukum diberikan secara merata
terhadap semua jenis perkosaan.

Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban perkosaan sangat berkaitan
dengan perlindungan identitas si anak dari pemberitaan media massa. Hal itu diatur dalam
Pasal 64 ayat (3) butir b yang berbunyi, “upaya perlindungan dari pemberitaan identitas
melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi”. 

Dalam Pasal 59 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak


diatur perihal kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan lembaga negara lainya, untuk
memberikan perindungan khusus kepada :

a. Anak dalam situasi darurat;

b. Anak yang berhadapan dengan hukum;

c. Anak dari kelompok minoritas dan terisolasi;

d. Anak tereksploitasi secara ekonomi dan atau atau seksual ;

e. Anak yang diperdagangkan;

f. Anak anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat
adiktif lainnya (NAPZA);

g. Anak korban penculikan, penjualan, dan perdagangan;

h. Anak korban kekerasan, baik fisik dan atau atau mental;

i. Anak yang menyandang cacat; dan

j. Anak korban perlakuan salah dan penelantaran.

Pasal 17 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan


Anak menyebutkan bahwa:

1. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk:


a. Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang
dewasa;

b. Memperoleh bantuan hukum atau bantan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya
yang berlaku; dan

c. Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak
memihak dalam sidang tertutup untuk umum.

BAB III

PENUTUP

III.I Kesimpulan

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan hal-hal berikut:

1. Kekerasan seksual dapat berawal dari tidak adanya kesempatan bagi individu untuk
mempertahankan batas-batas ruang personalnya dan tidak terpenuhinya kebutuhan akan
privacy

2. Akibat dari kekerasan seksual terhadap anak antara lain:

- Ketidakmampuan menentukan batas-batas ruang personal yang wajar sehingga tidak berani
menjalin relasi dengan jarak intim, hal ini dapat muncul dalam bentuk perilaku menarik diri,
tidak percaya pada orang lain, mengisolasi diri, gangguan kecemasan, dan depresi.

- Hambatan dalam penemuan identitas diri yang positif akibat tidak terpenuhinya privacy, hal
ini dapat muncul dalam bentuk perilaku dependen, tidak memiliki otonomi, sehingga
identitas diri yang positif lebih sulit untuk dicapai.

Anda mungkin juga menyukai