RUU KUHP Nasional merupakan suatu pembaruan undang-undang pidana yang diarahkan kepada misi tunggal yang mengandung makna “dekolonisasi” Kita Undang-Undang Hukum Pidana dalam bentuk “rekodifikasi”. Kemudian, perjalanan sejarah bangsa pada akhirnya juga mengandung berbagai misi yang lebih luas sehubungan dengan perkembangan, baik nasional maupun internasional. Adapun misi kedua adalah misi “demokratisasi hukum pidana”. Misi ketiga adalah misi “konsolidasi hukum pidana” karena sejak kemerdekaan, perundang- undangan hukum pidana mengalami perkembangan yang pesat baik di dalam maupun di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan berbagai keakhasannya sehingga perlu ditata dalam Buku I Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Di samoing itu, penyusunan Undang- Undang ini dilakukan atas dasar misi keempat, yaitu misi adaptasi dan hermonisasi terhadap berbagai perkembangan hukum yang terjadi, baik sebagai akibat perkembangan di bidang ilmu hukum maupun perkembangan nilai-nilai, standar, dan norma yang diakui oleh bangsa- bangsa di dunia internasional. Diterangkan pada Penjelasan Umum RUU KUHP bahwa msiis tersebut di atas diletakkan dalam kerangka politik hukum dengan melakukan penyusunan Undang-Undang ini dalam bentuk kodifikasi dan unifikasi yang dimaksudkan untuk menciptakan dan menegakkan konsistensi, keadilam, kebenaran, ketertibanm kemanfaatan, dan kepastian hukum dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan nasional, kepentingan masyarakat, dan kepentingan individu dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskanpada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Secara ringkas usaha untuk terwujudnya KUHP Nasional dapat Penulis rangkum dalam penejlasan Mardjono Reksodiputro, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Ketua Tim Penyusunan RUU KUHP, yaitu sebagai berikut : 1. Tim penyusunan draf RUU KUHP Nasional mulai bekerja pada tahun 1981/1982 dan ditempatkan di Departemen Kehakiman. Ketua tim sejak semula dipegang oleh Prof. Sudarto, S.H. dan setelah beliau meninggal berturut-turut oleh Prof. Mr. Roeslan Saleh dan Mardjono Reksodiputro. 2. Bahan-bahan lain yang dipergunakan Tim untuk Menyusun Rancangan KUHP Nasional adalah antara lain berasal dari beberapa seminar seperti Seminar “Penelaahan Pembaruan Hukum Nasional” (BPHN, 14-16 Juni 1982 di Jakarta). Seminar memuat suatu rancangan awal Buku-I RUU KUHP. Dalam menyusun rancangan awal Buku-I ini Tim memperhatikan konsep (rancangan) yang pernah disusun oleh tim lain dan juga mengacu pada hasil diskusi-diskusi tim ahli BPHN. Rancangan awal ini merupakan dasar pekerjaan Tim dalam tahun-tahun berikutnya. 3. Beberapa seminar juga menjadi masukan bagi Tim Penyusun Draf RUU KUHP Nasional, seperti Lokakarya “Masalah Pembangun Kodifikasi Hukum Nasional Buku I”(BPHN, 13-15 Desember 1982 di Jakarta). Lokakarya ini menghasilkan “Konsep 1982 Buku-I”. konsep ini mengikuti jumlah pokok pikiran yang diajukan oleh Prof. Soedarto, Prof. Roeslan Saleh, dan Prof. Oemar Seno Adji. Sistematika Buku-I tersebut disusun dengan memuat asas-asas yang berlaku untuk tiga pokok persoalan dalam hukum pidana, yakni mengenai : perbuatan yang dilarang, orang yang melanggar larangan, dan pemidanaan dan pidananya. 4. Lokakarya tentang “Bab-bab Kodifikasi Hukum Pidana II”(BPHN, 23-25 Julo 1985 di Jakarta). Dalam lokakarya ini diajukan suatu rancangan awal buku-II RUU KUHP. Lokaakrya berikutnya membahas “Bab-bab Kodifikasi Hukum Pidana tentang Sanksi Pidana”(BPHN, 5-7 Februari 1986 di Jakarta). Selanjutnya adalah Lokakarya Hukum Pidana oleh BPHN di Jakarta (Januari 1988) tentang : “contempt of court”,konvensi internasional, kejahatan computer, pemberlakian KUHP Baru, dan system pemidanaan. 5. Dalam Buku I, Konsep 1982 Buku-I menjabarkan sistematiknuya secara garis besar dlaam tujuh bab, yaitu : berlakukanya perundangan-undangan pidana; tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana;pidana, tindak dan pemidanaan; ketentuan khusus bagi anak; gugurnya hak penuntutan dan pelaksanaan pidana; pengertian-pengertian; dna ketentuan penutup. Konsep 1982 inilah yang kemudian dikembangkan menjadi 163 pasal, dengan enam bab karenan bab tentang ketentuan khusus anak dimasukkan dalam baba tentang pemidanaan, pidana, dan Tindakan. 6. Tim telak membakukan sejumlah kesepakatan teoretis (doktrin) yang berkembang dalam dunia ilmu pengetahuan hukum pidana (khususnya di Indonesia) agar dapat lebih mudah dipergunakan sebagai pedoman oleeh para ahli hukum dalam praktik. Beberapa pokok pikiran tersebut, adalah antara lain : (a) dihapuskannya oerbedaan antara “kejahatan” (misdrijven) dengan “pelanggaran” (overtrendingen); (b) dipergunakan istilah “tindak pidana” untuk apa yang kita kenal dengan istilah “stradbaar fei”, (c) meskipun tetap mengakui atas legalitas, hukum (pidana) adat yang berlaku terus diberi tempat; (d) pengertian bentuk-bentuk “kesalahan” (schuld) dalam “kesengajaan” (opzet) dan “kealpaan” (culpa) ditegaskan maknanya; (e) pertanggungjawaban korporasi dicantumkan; (f) kurang kemamouan bertanggungjawab (verminderdetoerekeningsvatbaarheid) dicantumkan; (g) alasan penghapusan sifat melawan hukumnya perbuatan (alasan pembenar) yang di luar undang-undang (buiternwettijke strafyusluttingsgsround) perlu diatur; (h) stelsel pidana (dan jenis pidana) yang mencerminkan ideologi negara Pancasila harus tercermin (pidana mati, pidana penjara, pidana denda, dan Tindakan;double-track system); (i) pidana tambahan agar memuat pula: pembayaran ganti rugi dan pemenuhan kewajiban adat; (j) diperlukan ketentuan tujuan pemidanaan yang dapat merupakan pedoman bagi hakim (straftiemetingledraad). Rancangan KUHP Nasional telah diserahkan kepada Menteri Kehakiman Ismail Saleh, S.H. pada tanggal 17 Marret 1993 oleh Tim RUU Hukum Pidanqa dan Buku II tentang Tindak Pidana. Kedua buku ini tidak saja memuat perumusan pasal-pasal hukum pidana materiil, tetapi juga penejlasan pasal demi pasal secara rinci. Berkaitan dengan Buku Kesatu RUU KUHP dijelaskan bahwa Buku Kesatu itu berisi aturan umum sebagai pedoman bagi penerapan Buku Kedua serta Undang-Undang di luar Undang-Undang ini, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, kecuali ditentukan lain menurut Undang-Undnag diluar KUHP. Pengertian istilah dalam Buku Kesatu ditempatkan dalam Bab V karena pengertian istilah tersebut tidak hanya berlaku bagi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana melainkan berlaku pula bagi Undang-Undang yang bersifat lex specialis, kecuali ditentukan lain menurut Undang-Undang Buku Kesatu ini memuat substansi, antara lain ruang lingkip berlakunya hukum pidana Tindak Piddana dan pertanggungjawaban pidana, pemidaan, pidana, diversi, dan Tindakan, juga tujuan dan pedoman pemidanaan; factor yang memperingan, factor memperberat pidana, pebarengan, serta gugurnya kewenangan penuntut dan pelaksanaan pidana, pengertian, istilah, dan aturan penutup. Secara keseluruhan perbedaan yang mendasar antara Wetboek van Strafrecht dan RUU KUHP ini adalah filosofi yang mendasarinya, Wetboek van Strafrecht dilandasi oleh pemikiran Aliran Klasik yang berkembang dpada abad ke-18 yang memusatkan perhatian hukum pidana pada perbuatan atau tindak pidana. RUU KUHP mendasarkan diri pada pemikiran aloran neo-klasik yang menjaga keseimbangan anatara factor objektif (perbuatan/lahirian) dan factor subjektif (orang/batiniah/sikap batin). Aliran ini berkembang pada abad ke-19 yang memusatkan perhatian tidak hanya pada perbuatan atau tindak pidana Pemikiran mendasar lain yang memengaruhi penyusunan undang-undang ini adalah perkembangan ilmu pengetahuan tentang korban kejahatan (victimology) yang berkembang setelah Perang Dunia II, yang menaruh perhatian besar pada perlakuan yang adil terhadap korban kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan. Falsafah daad-dader strafrecht dan viktimologi akan mempengaruhi perumusan tiga permasalahan pokok dalam hukum pidana, yaitu perumusan perbuatan yang bersifat melawan hukum, pertanggungjawaban pidana atau kesalahan, dan sanksi (pidana dan Tindakan) yang dapat dijatuhkan beserta asas hukum pidana yang mendasarinya. Karakter daad-dader strafreccht yang lebih manusiawi tersebut secara sistemik mewarnai undang-undang ini, yang antara lain juga tersurat dan tersirat dengan adanya berbagai pengaturan yang berusaha menjaga keseimbangan anatara unsur atau factor objektif dan unsur atau factor subjektif. Hal itu antara lain tercermin dan berbagai pengaturan tentang tujuan pemidaan, syarat pemidanaan, pasangan sanksi berupa pidana dan Tindakan, pengembangan alternative pidana parampasan kemerdekaan jangka pendek, pedoman atau aturan pemidanaan, pidana mati yang merupakan pidana yang bersifat khusus dan selalu dialternatifkan dengqan penjara seumur hidup atau 20 (dua puluh) tahun, serta pengaturan batas minimum usia pertanggungjawaban pidana, pidana, dana Tindakan bagi Anak. Karena kemajuan yang terjadi dalam bidang keungan, ekonomi, dan perdagangan, terutama di era globalisasi serta berkembangnya tindak pidana yang terorganisuasu, baik yang bersifat domestic maupun transnasional, subjek hukum pidana tidak dapay dibatasi hanya pada manusia secara alamiah, tetapi mencakup pula korporasi, yaitu kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Dalam hal ini korporasi dapat dijadikan sarana untuk melakukan tindak pidana, dan dapat pula memperoleh keuntungan dari suatu tindak pidana. Dengan dianutnya paham korporasi adalah subjek tindak pidana, hal ini berarti bahwa korporasi, baik sebagai badan hukum maupun bukan badan hukum, dianggap mampu melakukan tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. Dalam RUU KUHP Nasional diatur jenis pidana yang berupada pidana pokok, pidana tambahan, dan pidana yang bersifat khusus (pidana mati) untuk tindak pidana tertentu yang ditentukan dalam undang-undang. Jenis pidaana pokok terdiri atas pidana penjara, pidana tutupan, pidana pengawasan, pidana denda, dan pidana kerja sosisal. Dalam pidana pokok diatur jenis pidana baru berupa pidana pengawas pidana kerja sosial. Pidana pengawasan, pidana denda, dan pidana kerja sosial perlu dikembangkan sebagai alternative dari pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek yang akan dijqqatuhkan oleh hakim dibantu untuk membebaskan diri atas rasa bersalah. Demikian pula masyarakatdapat berinteraksi dan berperan serta aktid membantu terpidana dalam menjalankan kehidupan sosial secara wajar dengan melakukan hal bermanfaat. Pidana mati tidak terdapat dalam urutan jenis pidana pokok. Pidana mati ditentukan dalam pasal tersendiri untuk menunjukkan bahwa jenis pidana ini benar-benar bersifat khusus sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat. Pidana mati adalah pidana yang paling berat dan harus selalu diancamkan secara alternative dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun. Pidana mati dapat diajtuhkan secara bersyarat dengan memberikan masa percobaan. Dalam tenggang waktu masa percobaan tersebut terpidana diharapkan dapat memperbaiki diri sehingga pidana mati tidak perlu dilaksanakan dan dapat diganti dengan pidana penjara. Pengesahan RUU KUHP Nasionla sudah dirancangkan tanggal 24 September 2019. Namun, hal ini kemudian batal ketika Presiden Joko Widodo meminta penundaan pengesahana RKUHP karena ada sejumlah isu yang beluem tuntas dan perlu dibahas oleh DPR. Sebenarnya cita-cita mempunyai KUHP Nasional hampir sama umurnya dengan umur negara ini. Pada tahun 1946, Pemerintah Republik Indonesia di Yogyakarta mengesahkan UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang menyatakan berlakunya KUHP tahun 1915 dengan berbagai perubahan. Pada bagian akhir UU itu dikatakan bahwa akan segera disusun KUHP baru. Setelah 74 tahun, cita-cita itu belum juga diwujudkan dan kita masih menggunakan KUHP yang asalnya dari Wetboek van Strafrecht (WvS) tahun 1915 (yang berlaku mulai 1918) dengan berbagai perubahannya. Pemerintah Hindia Belanda melakukan perubahan atas Wv Situ tidak kurang dari 82 kali sejak 1918. Ketika Indonesia merdeka tidak kurang dari 12 kali perubahan telah dilakukan atas KUHP itu. Berdasarkan UU No. 1 Tahun 1946 dan UU No. 73 Tahun 1958, nyatalah bahwa bahasa resmi KUHP kit aitu masih bahasa Belanda dengan berbagai perubahan. Sebagian masih menggunakan bahasa Belanda dan sebgaian lagi menggunakan bahsa Indonesia. Maka, kalua kita baca KUHP yang beredar saat ini, itu merupakan terjemahan KUHP resmi, jadi bukan KUHP-nya sendiri. Meski sudah banyak berubah, berkurang dan bertambah, postur KUHP kita sebagian terbesarnya masihlan WvS yang usianya sudah lebih dari 100 tahun. Kalua kita teliti lebih cermat, sebagian dari penambahan itu dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda antara tahun 1918-1942 untuk mengukuhkan kedudukannya di negeri ini. Bahkan dulu banyak pasal melindungi Raja/Ratu dan keluarganya dari penghinaan baik terang-terangan maupun dengan sendirian. Memang pasal-pasal terkait penguasa Belanda atau Hindia Belanda sudah banyak dihapus atau diubah. Namun, mau tidak mau konteks penyusunan KUHP itu tidak lepas dari konyeks Negeri Belanda setya konteks Hindia Belanda. Penyusunannya pun orang-orang Belanda dan WvS itu dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Sumber utama KUHP itu adalah WvS Belanda tahun 1881 (pasca bebabsnya Negeri Belanda dari Prancis). Belanda sendiri menyusun WvS-nya hanya sekitar enam tahun setelah sebelumnya menggunakan Penal Code dari Prancis. Sementara itu, kita telah menysuusn hampir 40 tahun 1981-2020) dan hingga kini belum juga disahkan, walau telah lama dibahas, para ahli hukum kita telah menyusun draf tersebut dengan luar biasa. Sebagian besar bersumber dari KUHP lama. Ini wajar karena banyak juga tindak pidananya memang secara umum diterima sebagai tindak pidana (dikenal dengan mala per se). Jadi, bukan berarti hanya menyalin hal itu dari KUHP lama. Sejumlah perbuatan, di amna pun kita berada tetap dipandang sebagai tindak pidana. Sebagian isi RUU KUHP bersumber dari masukan dan aspirasi masyarakat melalui berbagai cara, seminar, penelitian, knderensi, workshop, dan sebagainya. Sebagian bersumber dari hasil-hasil perbandingan dengan hukum pidana negara lain yang dianggap baik dan tepat digunakan. Berbagai perkembangan dan kemajuan masyarakat ikut juga menjadi masukan bagi para penyusun RUU KUHP. Dalam alam demokrasi, tentu RUU KUHP telah dibahas sesuia dengan semestinya. Masyarakat kita dari bebrbagai kalangan telah menyuarakan pendapat dan kritikannya atas RUU KUHP, kepada penyusun, DPR, dan pemerintah sehingga bisa dikatakan bahwa penyusun, telah partispatoris. Ini meurpakan hal yang sangat penting. Hukum oidana membawa konsekuensi yang berat, yakni sanksi pidana. Oleh sebab itu, pembuat UU tidak boleh terlalu mudah menjadikan perbuatan tertentu menjadi tindak pidana. Di sinilah partisipasi masyarakat menjadi sangat penting. Sanksi pidana pun tidak bisa dimuat di setiap peraturan perundang-undangan. Hanya saja dalam peraturan perundang-undangan yang melibatkan partisipasi masyarakat, khususnya melalui wakil-wakilnya yang dipilih dalam Pemilu yang membahas hal itu dengan pemerintah, ketentuan pidana boleh dibuat. Jika kita menelusuri sejarah penyusunan naskah RUU KUHP sejak sekitar tahun 1981 hingga tahun 1993, dan seterusnya hingga naskah diserahkan kepada Pemerintah, kemudai dibahas di DPR, aspirasi dan partisipasi masyatakat itu cukup diperhatikan dan didengarkan. Namun, kini kesempatan dan mimpi kita memiliki KIHP Nasional, KUHP yang disusun oleh bangsa sendiri memperhatikan sungguh-sungguh kepribadian bangsa kita sendiri, nilai-nilai bangsa kita sendiri, menjadi tertunda lagi, entah sampai kapan. Ada sejumlah isu yang masih cukup a lot diperdebatkan baik antara pemerintah DPR, maupun di masyarakat. Salah satunya adalah penghinaan presiden. Pasal tentang penghinaan presiden di WvS memang sudah ada, tetapi penghinaan terhadap Raja/Ratu Negeri Belanda. Bahkan di WvS penghinaannya sangat banyak, termasuk keluarga atau kerabat kerjaan, gubernur atau wakil gubernur jenderal, dan sebagian yang dilindungi, bahkan sampai penghinaan dengan cara sindirian juga menjadi tindak pidana. Ketika Indonesia merdeka, melalui UU No. 1 Tahun 1946 banyak dari pasal tadi yang dihapus, namun penghinaan terhadap raja/ratu telah diubah menjadi pengginaan pada presiden. Selama pasal itu ada terjadi perdebatan, yakni mana batas anatara kritik dan menghina presiden. Maka, tidak heran oposisi atau masyarakat yang mengkritik presiden dengan berbagai cara bisa jadi pesakitan dituduh melanggar pasal penghinaan presiden. Ini bisa menimbulkan sikap otoriter dan antikritik. Maka, Mahkamah Konstitusi dalam putusannya yang membatalkan pasal penghinaan presiden, bukan berarti boleh menghina presiden sebab bisa kena pasal penghinaan (umum). Dewasa ini ternyata muncul juga sikap yang keterlaluan dan bisa merendahkan martabat presiden, yang adalah kepala negara kita. Menurut hemat Penulis, ini emmang dilemma, namun penyusun KUHp, pemerintah dan DPR, telah membahas isu dengan sangat serius. Isuu lainnya adalah tentang delik kesusilaan yang di KUHP saat ini pun banyak pasal mengatur soal kesusilaa. Dalam RKUHP dicoba diakomodasi nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Namun, jsutru pasal-pasal ini mendapat penolakan juga daru sebagian masyarakat lainnya. Ini pun bisa dipahami sebab di mana pun delik kesusilaan itu paling rumit mulai dari perumusannya, masih ada sejumlah isu lainnya, yang sebenarnya sudah mengerucut menjadi dua isu saja. Namun, kini menjadi mundur jauh lagi. Sampai akpanpun tidak mungkin menunggu semua pihak bersepakat dalam semua isu dala KUHP. Bukankah, ketika KUHP berjalanm ada sarana buat mengubahnya? KUHP bukanlah kita suci. Masih ada legislative review dan judiciak review untuk mengoreksinya jika ternyata salah dan bertentangan dengan konstitusi kita sebagai ukuran terakhir. Namun, urgensi memiliki KUHP Nasional sangatlah penting.