Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN
I.1.LATAR BELAKANG

Anak merupakan kelompok yang memerlukan perhatian dalam upaya


pembinaan kesehatan masyarakat, karena mereka akan berperan sebagai calon orang
tua, tenaga kerja, bahkan pemimpin bangsa di masa depan. Dalam rangka
meningkatkan derajat kesehatan anak di Indonesia diperlukan upaya pembinaan
kesehatan anak yang komprehensif dan terarah pada semua permasalahan kesehatan
akibat penyakit maupun masalah lainnya. Kekerasan dan penelantaran anak
mengakibatkan terjadinya gangguan proses pada tumbuh kembang anak. Keadaan ini
jika tidak ditangani secara dini dengan baik, akan berdampak terhadap penurunan
kualitas sumber daya manusia.[9]
Definisi kekerasan terhadap anak menurut Centers for Disease Control and
Prevention adalah setiap tindakan atau serangkaian tindakan wali atau kelalaian oleh
orang tua atau pengasuh lainnya yang dihasilkan dapat membahayakan, atau berpotensi
bahaya, atau memberikan ancaman yang berbahaya kepada anak.. Kekerasan pada anak
menurut keterangan WHO dibagi menjadi lima jenis, yaitu kekerasan fisik, kekerasan
seksual, kekerasan emosional, penelantaran anak, eksploitasi anak.[5]
Selama beberapa tahun terakhir kecenderungan terjadinya kekerasan seksual
pada anak semakin meningkat jumlahnya. Peningkatan jumlah kasus yang terlaporkan
dan dilaporkan meningkat secara akumulatif hingga 100 kasus setiap tahunnya antara
tahun 2004 ke tahun 2007. Secara umum yang dimaksud dengan kekerasan seksual
pada anak adalah keterlibatan seorang anak dalam segala bentuk aktivitas seksual yang
terjadi sebelum anak mencapai batasan umur tertentu yang ditetapkan oleh hukum
negara yang bersangkutan di mana orang dewasa atau anak lain yang usianya lebih tua
atau orang yang dianggap memiliki pengetahuan lebih dari anak memanfaatkannya
untuk kesenangan seksual atau aktivitas seksual. Di Indonesia UU Perlindungan Anak
memberi batasan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum
berusia 18 (delapan belas tahun), termasuk anak yang masih dalam kandungan.[8]

1
Kekerasan seksual adalah setiap aktivitas pada anak, di mana umur belum
mencukupi menurut izin hukum, yang digunakan untuk sumber kepuasan seksual orang
dewasa atau anak yang sangat lebih tua. Belakangan ini banyak muncul kasus perilaku
seks bebas yang melanda anak-anak di bawah umur, dimana anak merupakan
kelompok yang rentan baik fisik maupun mental. Seksual abuse termasuk oral-genital,
genital-genital, genital-rektal, tangan-genital, tangan-rektal atau kontak tangan-
payudara; pemaparan anatomi seksual, melihat dengan paksa anatomi seksual, dan
menunjukkan pornografi pada anak atau menggunakan anak dalam produksi
pornografi. Penelitian tentang “Kekerasan Pada Anak” yang dilakukan oleh Sudaryono
menyatakan selama tiga dasawarsa masalah anak baik sebagai pelaku maupun korban
kekerasan (kekerasan) dapat dikatakan kurang mendapat perhatian.[1]
Beberapa bulan terakhir ini, kasus kekerasan seksual pada anak kembali marak
terjadi di Indonesia. Kekerasan seksual pada anak ini sangatlah memprihatinkan
banyak pihak terutama bagi sekolah-sekolah serta ibu-ibu yang memiliki anak.
Kebanyakan korban kekerasan seksual pada anak berusia sekitar 5 hingga 11 tahun.[2]
Dari sekian ratus kasus yang pernah terjadi, kekerasan seksual pada anak
diibaratkan sebagai fenomena “gunung es”. Laporan LBH (Lembaga Badan Hukum)
Apik Jakarta menyebutkan dari 239 kasus kekerasan seksual yang terjadi pada Januari-
Oktober 2003, sekitar 50% di antaranya menimpa anak-anak. Data itu mencakup kasus
perkosaan, sodomi, pedofilia, pencabulan, dan pelecehan seksual. Sementara itu, dari
32 kasus kekerasan seksual yang terjadi pada bulan April 2002, 28 kasus atau 87,5% di
antaranya terjadi pada anak di bawah umur.[3]
Menurut Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Biro Pusat Statistik
Tahun 2007, angka kejadian tindak kekerasan terhadap anak di Indonesia adalah 3,02%
yang artinya setiap 10.000 anak terdapat 302 anak korban kekerasan. Kekerasan pada
anak itu sendiri terdiri dari kekerasan seksual, fisik, emosional, eksploitasi anak,
perdagangan anak, dan penelantaran anak.[4]
Berdasarkan data Komisi Nasional perlindungan anak, pada tahun 2009 kasus
kekerasan seksual pada anak sudah mencapai 1298 kasus.[2]
Sebelumnya, pada tahun 2008 kasus kekerasan seksual pada anak sudah
meningkat 30 persen menjadi 1.555 kasus dari 1.194 kasus pada tahun 2007. Dengan
kata lain setiap harinya terdapat 4,2 kasus. Hal yang memprihatinkan adalah untuk
kasus jenis perkosaan dan percabulan, tersangkanya masih berusia anak-anak 10 hingga
17 tahun.[2]
Kasus pemerkosaan dan kekerasan terhadap anak di wilayah Nusa Tenggara
Timur (NTT) sangat tinggi. Bahkan kasus pemerkosaan anak di NTT
tertinggi/terbanyak di Indonesia.[6]
Komisi Perlindungan Anak Indonesia menemukan banyak aduan kekerasan pada
anak pada tahun 2010. Dari 171 kasus pengaduan yang masuk, sebanyak 67,8 persen
terkait dengan kasus kekerasan. Dan dari kasus kekerasan tersebut yang paling banyak
terjadi adalah kasus kekerasan seksual yaitu sebesar 45,7 persen (53 kasus).[7]
Maka dari itu, hal yang penting dilakukan adalah memberikan pendidikan
seksual atau pendidikan kesehatan reproduksi bagi anak-anak sedini mungkin, perlu
dilakukan oleh orangtua dan pihak sekolah agar anak tidak mendapatkan informasi
yang salah dari teman, internet, maupun media lainnya.[2]

I.2. Perumusan Masalah


Melihat uraian diatas, maka timbul pertanyaan yang hendak dijawab dengan
penelitian ini yaitu :
I.2.1. Apakah yang dimaksud dengan kekerasan seksual pada anak-anak
I.2.2. Peraturan apa yang mengatur perlindungan terhadap kekerasan seksual pada
anak-anak
I.2.3. Bagaimanakah mengetahui tanda-tanda kekerasan seksual pada anak
I.2.4. Bagaimanakah efek psikologi pada anak korban kekerasan seksual

I.3. TUJUAN DAN MANFAAT


I.3.1. TUJUAN
Mengetahui peranan dokter umum dalam menangani kasus kekerasan seksual
terhadap anak.
I.3.2. MANFAAT
Dari hasil referat yang dilakukan ini diharapkan dapat diperoleh beberapa
manfaat, antara lain :
1. Memberikan informasi yang bermanfaat untuk mengembangkan dan meningkatkan
pengetahuan tentang tanda-tanda kekerasan seksual terhadap anak serta tanda-tanda
psikologisnya.
2. Untuk menambah wawasan tentang ilmu kedokteran forensik, khususnya tentang
kekerasan seksual pada anak-anak dan bagaimana cara menangani kasus tersebut.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Kekerasan Pada Anak (Child Abuse)
Secara umum kekerasan didefinisikan sebagai suatu tindakan yang dilakukan
satu individu terhadap individu lain yang mengakibatkan gangguan fisik dan atau
mental. Anak ialah individu yang belum mencapai usia 18 tahun, termasuk anak yang
masih dalam kandungan seperti tertera dalam pasal 1 UU No 23 tahun 2002 tentang
perlindungan anak. Kekerasan pada anak adalah tindakan yang di lakukan seseorang
atau individu pada mereka yang belum genap berusia 18 tahun yang menyebabkan
kondisi fisik dan atau mentalnya terganggu.
Kekerasan pada anak atau perlakuan salah pada anak adalah suatu tindakan
semena-mena yang dilakukan oleh seseorang yang seharusnya menjaga dan melindungi
anak (caretaker) pada seorang anak baik secara fisik, seksual, maupun emosi. Pelaku
kekerasan di sini karena bertindak sebagai caretaker, maka mereka umumnya
merupakan orang terdekat di sekitar anak. Ibu dan bapak kandung, ibu dan bapak tiri,
kakek, nenek, paman, supir pribadi, guru, tukang ojek pengantar ke sekolah, tukang
kebun, dan seterusnya.
Seringkali istilah kekerasan pada anak ini dikaitkan dalam arti sempit dengan
tidak terpenuhinya hak anak untuk mendapat perlindungan dari tindak kekerasan dan
eksploitasi. Kekerasan pada anak juga sering kali dihubungkan dengan lapis pertama
dan kedua pemberi atau penanggung jawab pemenuhan hak anak yaitu orang tua (ayah
dan ibu) dan keluarga. Kekerasan yang disebut terakhir ini di kenal dengan perlakuan
salah terhadap anak atau child abuse yang merupakan bagian dari kekerasan dalam
rumah tangga (domestic violence). (Hobbs CJ,1998)
Menurut WHO (World Health Organization) kekerasan dan penelantaran pada
anak merupakan semua bentuk perlakuan menyakitkan secara fisik ataupun emosional,
penyalahgunaan seksual, penelantaran, eksploitasi komersial atau eksploitasi lain, yang
mengakibatkan cedera atau kerugian nyata ataupun potensial terhadap kesehatan anak,
kelangsungan hidup anak, tumbuh kembang anak, atau martabat anak, yang dilakukan
dalam konteks hubungan tanggung jawab, kepercayaan atau kekuasaan.
Banyak teori yang berusaha menerangkan bagaimana kekerasan ini terjadi,
salah satu di antaranya teori yang berhubungan dengan stress dalam keluarga (family
stress). Stres dalam keluarga tersebut bisa berasal dari anak, orang tua, atau situasi
tertentu. (Bittner S,1998)
1. Stres berasal dari anak misalnya anak dengan kondisi fisik, mental, dan
perilaku yang terlihat berbeda dengan anak pada umumnya. Bayi dan usia balita, serta
anak dengan penyakit kronis atau menahun juga merupakan salah satu penyebab stres.
2. Stres yang berasal dari orang tua misalnya orang tua dengan gangguan jiwa
(psikosis atau neurosa), orang tua sebagai korban kekerasan di masa lalu, orang tua
terlampau perfek dengan harapan pada anak terlampau tinggi, orang tua yang terbiasa
dengan sikap disiplin.
3. Stres berasal dari situasi tertentu misalnya terkena PHK (Pemutusan Hubungan
Kerja) atau pengangguran, pindah lingkungan, dan keluarga sering bertengkar.
Dengan adanya stres dalam keluarga dan faktor sosial budaya yang kental
dengan ketidaksetaraan dalam hak dan kesempatan, sikap permisif terhadap hukuman
badan sebagai bagian dari mendidik anak, maka para pelaku makin merasa sah untuk
menyiksa anak. Dengan sedikit faktor pemicu, biasanya berkaitan dengan tangisan
tanpa henti dan ketidakpatuhan pada pelaku, terjadilah penganiayaan pada anak yang
tidak jarang membawa malapetaka bagi anak dan keluarganya. (Bittner S,1998)
Perlukaan bisa berupa cedera kepala (head injury), patah tulang kepala, geger
otak, atau perdarahan otak. Perlukaan pada badan, anggota gerak dan alat kelamin,
mulai dari luka lecet, luka robek, perdarahan atau lebam, luka bakar, patah tulang.
Perlukaan organ dalam (visceral injury) tidak dapat dideteksi dari luar sehingga perlu
dilakukan pemeriksaan dalam dengan melakukan otopsi. Perlukaan pada permukaan
badan seringkali memberikan bentuk yang khas menyerupai benda yang digunakan
untuk itu, seperti bekas cubitan, gigitan, sapu lidi, setrika, atau sundutan rokok. Karena
perlakuan seperti ini biasanya berulang maka perlukaan yang ditemukan seringkali
berganda dengan umur luka yang berbeda-beda, ada yang masih baru ada pula yang
hampir menyembuh atau sudah meninggalkan bekas (sikatriks). Di samping itu lokasi
perlukaan dijumpai pada tempat yang tidak umum sepertihalnya luka-luka akibat jatuh
atau kecelakaan biasa seperti bagian paha atau lengan atas sebelah dalam, punggung,
telinga, langit langit rongga mulut, dan tempat tidak umum lainnya. (Philip SL,1993)
Saat perlakuan salah pada anak terjadi, lantaran perbuatan itu, pelaku tidak
sadar bahkan mungkin tidak tahu bahwa tindakannya itu akan diancam dengan pidana
senjata atau denda yang tidak sedikit, bahkan jika pelaku ialah orang tuanya sendiri
maka hukuman akan ditambah sepertiganya yakni pada pasal 80 Undang-Undang
Republik Indonesia No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, sebagai berikut :
1. Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau
penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
tahun 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 72.000.000.00.
2. Dalam hal anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling
banyak Rp. 100.000.000.00.
3. Dalam hal anak yang dimaksud ayat 2 mati, maka pelaku dipidana penjara paling
lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak RP. 200.000.000.004. Pidana dapat
ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2)yat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya).

Tabel 1. Undang-undang no 23/2002 Perlindungan Anak


Pasal Tindakan Hukuman
77 Diskriminasi Penelantaran Anak 5 tahun, 100 juta
78 Sengaja anak dalam situasi darurat 5 tahun, 100 juta
Kekerasan terhadap anak, 3,5 tahun, denda 72 juta
80 luka berat, 5 tahun, 100 juta
mati 10 tahun, 200 juta
83 Menjual, menculik 3-15 tahun, 60-300 juta
88 Eksploitasi ekonomi/seksual 10 tahun, 200 juta

II.1.1. Bentuk Kekerasan pada Anak


Terdapat lima bentuk kekerasan pada anak (1999 WHO Consultation on child abuse
prevention) yaitu : (Meadow R,1993)
1. Kekerasan fisik (Physical abuse)
Merupakan kekerasan yang mengakibatkan cedera fisik nyata ataupun potensial
terhadap anak, sebagai akibat dari interaksi atau tidak adanya interaksi, yang layaknya
berada dalam kendali orang tua atau orang dalam posisi hubungan tanggung jawab,
kepercayaan atau kekuasaan. Bentuk kekerasan yang sifatnya bukan kecelakaan yang
membuat anak terluka.
Contoh: menendang, menjambak (menarik rambut), menggigit, membakar, menampar.
2. Kekerasan seksual (sexual abuse)
Merupakan pelibatan anak dalam kegiatan seksual dimana ia sendiri tidak
sepenuhnya memahami, tidak mampu memberikan persetujuan atau oleh karena
perkembangannya belum siap atau tidak dapat memberi persetujuan, atau yang
melanggar hukum atau pantangan masyarakat, atau merupakan segala tingkah laku
seksual yang dilakukan antara anak dan orang dewasa.
Contoh, pelacuran anak-anak, intercourse, pornografi, eksibionisme, oral sex, dan lain-
lain.
3. Mengabaikan (Neglect)
Merupakan kegagalan dalam menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkan
untuk tumbuh kembangnya, seperti kesehatan, perkembangan emosional, nutrisi, rumah
atau tempat bernaung dan keadaan hidup yang aman di dalam konteks sumber daya
yang layaknya dimiliki oleh keluarga atau pengasuh, yang mengakibatkan atau sangat
mungkin mengakibatkan gangguan kesehatan atau gangguan perkembangan fisik,
mental, moral dan sosial, termasuk didalamnya kegagalan dalam mengawasi dan
melindungi secara layak dari bahaya gangguan.
4. Kekerasan emosi (Emotional Abuse)
Merupakan kegagalan penyediaan lingkungan yang mendukung dan memadai
bagi perkembangannya, termasuk ketersediaan seorang yang dapat dijadikan figur
primer sehingga anak dapat berkembang secara stabil dengan pencapaian kemampuan
sosial dan emosional yang diharapkan sesuai dengan potensi pribadina dalam konteks
lingkungannya. Segala tingkah laku atau sikap yang mengganggu kesehatan mental
anak atau perkembangan sosialnya.
Contoh : tidak pernah memberikan pujian/ reinforcemen yang positif,
membandingkannya dengan anak yang lain, tidak pernah memberikan pelukan atau
mengucapkan” aku sayang kamu”.
5. Eksploitasi anak (child exploitation)
Merupakan penggunaan anak dalam pekerjaan atau aktivitas lain untuk
keuntungan orang lain. Dampak dari tindak kekerasan terhadap anak yang paling
dirasakan yaitu pengalaman traumatis yang susah dihilangkan pada diri anak, yang
berlanjut pada permasalahan-permasalahan lain, baik fisik, psikologis maupun sosial.
Stigma yang melekat pada korban : (Meadow R,1993)
1. Stigma Interna
a. Kecenderungan korban menyalahkan diri.
b. Menutup diri.
c. Menghukum diri.
d. Menganggap dirinya aib

2. Stigma Eksternal
a. Kecenderungan masyarakat menyalahkan korban.
b. Media informasi tanpa empati memberitakan kasus yang dialami korban
secar terbuka dan tidak menghiraukan hak privasi korban.
Faktor-faktor kausalitas yang signifikan : (Sugiarto,2007)
1. Masalah kemiskinan
2. Masalah gangguan hubungan sosial keluarga dan komunitas
3. Penyimpangan perilaku dikarenakan masalah psikososial
4. Lemahnya kontrol sosial primer masyarakat dan hukum
5. Pengaruh nilai sosial budaya di lingkungan sosial tertentu
6. Keengganan masyarakat untuk melaporkan kasus-kasus
Kompleksitas faktor-faktor penyebab dan beban permasalahan yang demikian
berat dalam diri para korban tindak kekerasan, menuntut diambilnya langkah
penanganan yang holistik dan komprehensif melalui pendekatan interdisipliner,
interinstitusional dan intersektoral dengan dukungan optimal dari berbagai sumber dan
potensi dalam masyarakat. (Sugiarto,2007)
II.2. Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual adalah salah satu bentuk dari kekerasan tubuh yang
merugikan kesehatan dan nyawa manusia. Ilmu Kedokteran Forensik berguna dalam
fungsi penyelidikan, yaitu untuk:
1. Menentukan adanya tanda-tanda persetubuhan
2. Menentukan adanya tanda-tanda kekerasan
3. Memperkirakan umur
4. Menentukan pantas tidaknya korban buat kawin
Kekerasan seksual merupakan segala kekerasan, baik fisik maupun psikologis,
yang dilakukan dengan cara-cara seksual atau dengan mentargetkan seksualitas.
Definisi kekerasan seksual ini mencakup pemerkosaan, perbudakan seksual, dan
bentuk-bentuk lain kekerasan seksual seperti penyiksaan seksual, penghinaan seksual di
depan umum, dan pelecehan seksual.Terdapat dua macam bentuk kekerasan seksual,
yaitu ringan dan berat.
Macam-macam kekerasan seksual ringan :
 Pelecehan seksual
 Gurauan porno,
 Siulan, ejekan dan julukan
 Tulisan/gambar
 Ekspresi wajah,
 Gerakan tubuh
 Perbuatan menyita perhatian seksual tak dikehendaki korban, melecehkan dan atau
menghina korban.
 Melakukan repitisi kekerasan seksual ringan dapat dimasukkan ke dalam jenis
kekerasan seksual berat.

Macam-macam kekerasan seksual berat:


 Pelecehan, kontak fisik: raba, sentuh organ seksual, cium paksa, rangkul, perbuatan
yang rasa jijik, terteror, terhina
 Pemaksaan hubungan seksual
 Hubungan seksual dgn cara tidak disukai, merendahkan dan atau menyakitkan
 Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain, pelacuran tertentu.
 Hubungan seksual memanfaatkan posisi ketergantungan / lemahnya korban.
 Tindakan seksual + kekerasan fisik, dengan atau tanpa bantuan alat yang
menimbulkan sakit, luka, atau cedera.

II.3. Dasar Hukum Kekerasan Terhadap Kesusilaan


Persetubuhan tertera pada Bab XIV KUHP Tentang Kekerasan Terhadap Kesusilaan
(a)Persetubuhan dalam perkawinan: Pasal 288 KUHP
(b) Persetubuhan di luar Perkawinan:
► Dengan persetujuan si wanita
- Tanpa ikatan
≈ wanita < 15 tahun : (287 KUHP)
≈ wanita > 15 tahun : (284 KUHP)
- Dengan Ikatan
≈ wanita < 21 tahun
- Pemberian/janji uang/barang (293 KUHP)
- Asuhan/Pendidikan (294 KUHP)
≈ wanita > 21 tahun
- Bawahan (294 KUHP)
- Dalam pengawasan (294 KUHP)
►Tanpa Persetujuan
- Dengan Kekerasan/ ancaman (285 KUHP)
- Si wanita pingsan/tidak berdaya (286 KUHP)

II.4. Aspek Hukum KUHP Tentang Perbuatan Cabul


Pasal KUHP yang mengatur mengenai pencabulan ada dalam pasal 289-296.
a. Pasal 289 KUHP
Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk
melakukan atau membiarkan dilakukannya perbuatan cabul, diancam karena
melakukan perbuatan yang menyerang kesusilaan, dengan pidana penjara paling
lama 9 tahun.
b. Pasal 290 KUHP
Diancam dengan pidana paling lama tujuh tahun:
· Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang padahal diketahui
bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya;
· Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang padahal diketahui atau
sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau
umurnya tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin
· Barangsiapa membujuk seseorang yang diketahui atau sepatutnya harus diduga
bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak ternyata, bahwa
belum mampu dikawin, untuk melakukan atau membiarkan perbuatan cabul atau
bersetubuh diluar perkawinan dengan orang lain
c. Pasal 292 KUHP
Orang yang cukup umur yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sama
kelamin, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa belum cukup
umur,diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
d. Pasal 293 KUHP
Barangsiapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang, menyalahgunakan
pembawa yang timbul dari hubungan keadaan, atau dengan menyesatkan sengaja
menggerakkan seseorang belum cukup umur dan baik tingkah-lakunya, untuk
melakukan atau membiarkan dilakukannya perbuatan cabul dengan dia, padahal
tentang belum cukup umurnya itu diketahui atau selayaknya harus diduga, diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
· Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan orang yang terhadap dirinya dilakukan
kekerasan itu.
· Tenggang tersebut dalam pasal 74, bagi pengaduan ini adalah masing-masing 9
bulan dan 12 bulan.

II.5. Peran Kedokteran Forensik Dalam Kasus Kekerasan Seksual:


1. Menentukan adanya tanda-tanda persetubuhan
Persetubuhan adalah suatu peristiwa dimana alat kelamin laki-laki masuk ke
dalam alat kelamin perempuan, sebagian atau seluruhnya dan dengan atau tanpa
terjadinya pancaran air mani.
Pemeriksaan dipengaruhi oleh : besarnya zakar dengan ketegangannya, seberapa
jauh zakar masuk, keadaan selaput dara serta posisi persetubuhan.
Adanya robekan pada selaput dara hanya menunjukkan adanya benda
padat/kenyal yang masuk (bukan merupakan tanda pasti persetubuhan). Jika
zakar masuk seluruhnya & keadaan selaput dara masih cukup baik, pada
pemeriksaan diharapkan adanya robekan pada selaput dara. Jika elastis, tentu
tidak akan ada robekan.
Adanya pancaran air mani (ejakulasi) di dalam vagina merupakan tanda pasti
adanya persetubuhan. Pada orang mandul, jumlah spermanya sedikit sekali
(aspermia), sehingga pemeriksaan ditujukan adanya zat-zat tertentu dalam air
mani seperti asam fosfatase, spermin dan kholin. Namun nilai persetubuhan lebih
rendah karena tidak mempunyai nilai deskriptif yang mutlak atau tidak khas.
1. Sperma masih dapat ditemukan dalam keadaan bergerak dalam vagina 4-5 jam
setelah persetubuhan.
2. Pada orang yang masih hidup, sperma masih dapat ditemukan (tidak
bergerak) sampai sekitar 24-36 jam setelah persetubuhan, sedangkan pada
orang mati sperma masih dapat ditemukan dalam vagina paling lama 7-8 hari
setelah persetubuhan.
3. Pada laki-laki yang sehat, air mani yang keluar setiap ejakulasi sebanyak 2-5
ml, yang mengandung sekitar 60 juta sperma setiap mililiter dan 90% bergerak
(motile)
4. Untuk mencari bercak air mani yang mungkin tercecer di TKP, misalnya pada
sprei atau kain maka barang-barang tersebut disinari dengan cahaya ultraviolet
dan akan terlihat berfluoresensi putih, kemudian dikirim ke laboratorium.
5. Jika pelaku kekerasan segera tertangkap setelah kejadian, kepala zakar harus
diperiksa, yaitu untuk mencari sel epitel vagina yang melekat pada zakar. Ini
dikerjakan dengan menempelkan gelas objek pada gland penis (tepatnya
sekeliling korona glandis) dan segera dikirim untuk mikroskopis.
6. Robekan baru pada selaput dara dapat diketahui jika pada daerah robekan
tersebut masih terlihat darah atau hiperemi/kemerahan. Letak robekan selaput
dara pada persetubuhan umumnya di bagian belakang (comisura posterior),
letak robekan dinyatakan sesuai menurut angka pada jam. Robekan lama
diketahui jika robekan tersebut sampai ke dasar (insertio) dari selaput dara.
7. VeR yang baik harus mencakup keempat hal tersebut di atas (fungsi
penyelidikan), dengan disertai perkiraan waktu terjadinya persetubuhan. hal
ini dapat diketahui dari keadaan sperma serta dari keadaan normal luka
(penyembuhan luka) pada selaput dara, yang pada keadaan normal akan
sembuh dalam 7-10 hari.
2. Menentukan adanya tanda-tanda kekerasan
Kekerasan tidak selamanya meninggalkan bekas/luka, tergantung dari
penampang benda, daerah yang terkena kekerasan, serta kekuatan dari kekerasan
itu sendiri. Tindakan membius juga termasuk kekerasan, maka perlu dicari juga
adanya racun dan gejala akibat obat bius/racun pada korban.
Adanya luka berarti adanya kekerasan, namun tidak ada luka bukan berarti tidak
ada kekerasan. Faktor waktu sangat berperan. Dengan berlalunya waktu, luka
dapat sembuh atau tidak ditemukan, racun/obat bius telah dikeluarkan dari
tubuh. faktor waktu penting dalam menemukan sperma.
3. Memperkirakan umur
Tidak ada satu metode tepat untuk menentukan umur, meskipun pemeriksaannya
memerlukan berbagai sarana seperti alat rontgen untuk memeriksa pertumbuhan
tulang dan gigi. Perkiraan umur digunakan untuk menentukan apakah seseorang
tersebut sudah dewasa (> 21 tahun) khususnya pada homoseksual/lesbian serta
pada kasus pelaku kekerasan. Sedangkan pada kasus korban perkosaan perkiraan
umur tidak diperlukan.
4. Menentukan pantas tidaknya korban buat dikawin
Secara biologis jika persetubuhan bertujuan untuk mendapatkan keturunan,
pengertian pantas/tidaknya buat kawin tergantung dari: apakah korban telah siap
dibuahi yang artinya telah menstruasi, namun untuk bukti hal ini korban perlu
diisolir untuk waktu cukup lama. Bila dilihat Undang-Undang Perkawinan, yaitu
pada Bab II pada pasal 7 ayat 1 berbunyi : perkawinan hanya diizinkan jika pria
sudah mencapai 19 tahun dan wanita sudah mencapai 16 tahun. Namun terbentur
lagi pada masalah penentuan umur yang sulit diketahui kepastiannya.

II.5.1. Pemeriksaan Medis


1. Anamnesis
Anamnesis umum memuat:
 Identitas : Nama, umur, TTL, status perkawinan,
 Spesifik : Siklus haid, penyakit kelamin, peny. kandungan, peny. lain,
pernah bersetubuh, persetubuhan yang terakhir, kondom ?
Anamnesis khusus memuat waktu kejadian
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik umum memuat :
 Kesan penampilan (wajah, rambut), ekspresi emosional, tanda-tanda
bekas kehilangan kesadaran / obat bius / needle marks.
 Berat badan, tinggi badan, tanda vital, pupil, refleks cahaya, pupil
pinpoint, tanda perkembangan alat kelamin sekunder, kesan nyeri ?
Pemeriksaan fisik khusus memuat:
o Pembuktian persetubuhan :
-Ada / tidak penetrasi penis ke vagina / anus / oral
-Ejakulat / air mani pada vagina / anus
o Bukti Penetrasi :
-Robekan hymen, laserasi (mencakup perkiraan waktu)
-Variasi : - korban 3 hari yang lalu / lebih hymen elastis
○ Penetrasi tidak lengkap
- Bukti Ejakulat/air mani (mencakup perkiraan waktu)
- Perlekatan rambut kemaluan
- Ejakulat di liang vagina
- Pemeriksaan Pakaian
- Rapi / tidak,
- Robekan? lama/baru, melintang? pada jahitan? kancing putus?
- Bercak darah
- Air mani
- Lumpur / kotoran lain di TKP
3. Pemeriksaan Laboratorium
- Cairan dan sel mani dalam lendir vagina
- Pemeriksaan terhadap kuman N. gonorrhoea sekret ureter
- Pemeriksaan kehamilan
- Toksikologik darah dan urin
4. Pembuktian Adanya Kekerasan
- Luka-luka lecet bekas kuku, gigitan (bite marks), luka-luka memar
- Lokasi : Muka, leher, buah dada, bagian dalam paha dan sekitar alat kelamin
5. Perkiraan Umur
- Dasar berat badan, tinggi badan, bentuk tubuh, gigi, ciri-ciri kelamin sekunder
- Pemeriksaan sinar X : standar waktu penyatuan tulang
6. Penentuan sudah atau belum waktunya dikawin
- Pertimbangan kesiapan biologis : menstruasi,
- Wanita sudah ovulasi / belum : vaginal smear
- Berdasar umur ? : > 16 th
7. Pemeriksaan terhadap Pelaku
- Upaya pengenalan persetubuhan,
- Bercak sperma, darah, tanah dan pakaian, robekan.
- Bentuk tubuh : memungkinkan tindakan kekerasan.
- Tanda cedera : perlawanan korban ?
- Rambut terlepas.
- Pemeriksaan menyeluruh alat kelamin : mampu seksual ? cedera ?
- Tanda infeksi gonokokus,
- Sekret
- Smegma
8. Pemeriksaan Penentuan Golongan Darah
- Serologis air mani (antigen ABO) pada orang yg ’sekretor’
- Di cocokkan dengan golongan darah (pelaku / korban)
9. Homoseksual
- Homoseksual merupakan salah satu bentuk kekerasan seksual
- Didalam Pasal 292 KUHP, terdapat ancaman hukuman bagi seseorang yang
cukup umur yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain yang sama
kelaminnya yang belum cukup umur

II.6. Perkembangan Sex Sekunder


Pertumbuhan fisik remaja merupakan pertumbuhan yang paling pesat. Remaja
tidak hanya tumbuh dari segi ukuran (semakin tinggi atau semakin besar), tetapi juga
mengalami kemajuan secara fungsional, terutama organ seksual atau “pubertas”. hal ini
ditandai dengan datangnya menstruasi pada perempuan dan mimpi basah pada laki-
laki. Pertumbuhan adalah suatu proses perubahan fisiologis yang bersifat progresif dan
kontinyu dan berlangsung dalam periode tertentu. Perubahan ini berkisar hanya pada
aspek-aspek fisik individu. Pertumbuhan itu meliputi perubahan yang bersifat internal
maupun eksternal. Pertumbuhan internal meliputi perubahan ukuran alat pencernaan
makanan, bertambahnya ukuran besar dan berat jantung dan paru-paru, bertambah
sempurna sistem kelenjar kelamin, dan berbagai jaringan tubuh. Adapun perubahan
eksternal meliputi bertambahnya tinggi badan, bertambahnya lingkar tubuh,
perbandingan ukuran panjang dan lebar tubuh, ukuran besarnya organ seks, dan
munculnya atau tumbuhnya tanda-tanda kelamin sekunder.
Datangnya masa remaja, ditandai oleh adanya perubahan-perubahan fisik. Hurlock
(1992) menyatakan bahwa perubahan fisik tersebut, terutama dalam hal perubahan
yang menyangkut ukuran tubuh, perubahan proposisi tubuh, perkembangan ciri-ciri
seks primer, dan perkembangan ciri-ciri seks sekunder. Pertumbuhan yang terjadi pada
fisik remaja dapat terjadi melalui perubahan-perubahan, baik internal maupun
eksternal.
II.6.1. Perubahan Internal
Perubahan yang terjadi dalam organ dalam tubuh remaja dan tidak tampak dari
luar. Perubahan ini nantinya sangat mempengaruhi kepribadian remaja. Perubahan
tersebut adalah:
a. Sistem Pencernaan
b. Sistem Peredaran Darah Jantung
c. Sistem Pernafasan
d. Sistem Endokrin
Kegiatan kelenjar kelamin yang meningkat pada masa remaja menyebabkan
ketidakseimbangan sementara dari seluruh sistem kelamin pada masa awal remaja.
Kelenjar seks berkembang pesat dan berfungsi, meskipun belum mencapai ukuran
yang matang sampai akhir masa remaja atau awal masa dewasa.
e. Jaringan Tubuh
Perkembangan kerangka berhenti rata-rata pada usia delapan belas tahun. Jaringan
selain tulang, khususnya bagi perkembangan otot, terus berkembang sampai tulang
mencapai ukuran yang matang.
II.6.2. Perubahan Eksternal
Perubahan dalam tubuh seorang remaja yang mengalami datangnya masa
remaja ini terjadi sangat pesat. Perubahan yang terjadi, dapat dilihat pada fisik luar
anak.
Baik laki-laki maupun perempuan organ seks mengalami ukuran matang pada
akhir masa remaja, tetapi fungsinya belum matang sampai beberapa tahun kemudian
(dewasa).
Perkiraan umur dapat diketahui dengan melakukan serangkaian pemeriksaan
yang meliputi perkembangan fisik, ciri-ciri seks sekunder, pertumbuhan gigi, fusi atau
penyatuan dari tulang-tulang khususnya tengkorak serta pemeriksaan radiologik
lainnya. (Idries, AM. 1997). Salah satu cara memperkirakan umur pada korban
kekerasan seksual adalah dengan memperhatikan ciri-ciri seks sekunder. Dalam hal ini
termasuk perubahan pada genitalia, payudara dan tumbuhnya rambut-rambut seksual
yang pertama tumbuh hampir selalu di daerah pubis. . (Narendra et al, 2002)
Sexual Maturation Rate (SMR) atau dikenal juga dengan Tanner Staging
merupakan penilaian ciri seks sekunder. SMR didasarkan pada penampakan rambut
pubis, perkembangan payudara dan terjadinya menarke pada perempuan.SMR stadium
1 menunjukkan pertumbuhan dan perkembangan prapubertal,sedangkan stadium 2-4
menunjukkan pubertas progress. SMR stadium 5 pematangan seksual sudah sempurna.
Pematangan seksual berhubungan dengan pertumbuhan liniar, perubahan berat badan
dan komposisi tubuh, dan perubahan hormonal. (Stang, J., Story, M., 2005)
Sexual Maturating Rate (SMR) pada Perempuan berdasarkan Tanner Stage
Gambar 1. Sexual Maturating Rate (SMR) meliputi perkembangan payudara pada
Perempuan. (Behrman, 2000)
Gambar 2. Sexual Maturating Rate (SMR) meliputi perubahan rambut pubis pada
Perempuan. (Behrman, 2000)

Tabel 2. Sexual Maturating Rate (SMR) pada perempuan (Behrman, 2000)


II.7. Gangguan Psikis Pada Korban Pelecehan Seksual Dan Perkosaan
Post Traumatic Stress Disorder
Sindrom kecemasan, labilitas autonomik, ketidakrentanan emosional, dan kilas
balik dari pengalaman yang amat pedih setelah mengalami stress fisik maupun emosi
yang melampaui batas ketahanan orang biasa.
Gejala:
1. Pengulangan pengalaman trauma, ditunjukkan dengan selalu teringat akan
peristiwa yang menyedihkan yang telah dialami, flashback (merasa seolah-olah
peristiwa yang menyedihkan terulang kembali), nightmares (mimpi buruk
tentang kejadian-kejadian yang membuatnya sedih), reaksi emosional dan fisik
yang berlebihan karena dipicu oleh kenangan akan peristiwa yang
menyedihkan.
2. Penghindaran dan emosional, ditunjukkan dengan menghindari aktivitas,
tempat, berpikir, merasakan, atau percakapan yang berhubungan dengan
trauma. Selain itu juga kehilangan minat terhadap semua hal, dan perasaan
terasing dari orang lain.
3. Sensitifitas yang meningkat, ditunjukkan dengan susah tidur, mudah
marah/tidak dapat mengendalikan marah, susah berkonsentrasi, kewaspadaan
yang berlebih, respon yang berlebihan atas segala sesuatu (Anonim, 2005a;
Anonim, 2005b).
Kriteria Diagnostik
Kriteria Diagnostik Gangguan Stress Akut berdasarkan Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorders III-Revisi atau DSM III-R:
1. Orang yang mengalami peristiwa luar biasa, dan dirasa amat
menekan semua orang.
2. Peristiwa traumatik itu secara menetap dapat dialami melalui cara teringat
kembali peristiwa secara berulang dan sangat mengganggu, mimpi yang
berulang tentang peristiwa yang membebani pikiran, perasaan atau
tindakan mendadak seolah peristiwa traumatik itu terjadi lagi, tekanan jiwa
yang amat sangat karena terpaku pada peristiwa yang melambangkan atau
menyerupai traumatiknya.
3. Pengelakan yang menetap terhadap rangsang yang terkait dengan trauma
atau kelumpuhan yang bereaksi terhadap situasi umum (yang tak ada
sebelum trauma itu). Keadaan ini paling tidak dapat ditunjukkan dengan
sedikitnya 3 dari keadaan yang berupa: upaya untuk mengelak terhadap
gagasan atau perasaan yang terkait dengan trauma itu, upaya untuk
mengelak dari kegiatan atau situasi yang menimbulkan ingatan terhadap
trauma itu, ketidakmampuan untuk mengingat kembali aspek yang penting
dari trauma itu, minat yang sangat berkurang terhadap kegiatan yang
penting, rasa terasing dari orang lain, kurangnya afeksi, dan merasa tidak
punya masa depan.
4. Gejala meningginya kesiagaan yang menetap (tak ada sebelum trauma)
dengan ditunjukkan oleh dua dari gejala: sulit masuk tidur atau
mempertahankan tidur yang cukup, iritable atau mudah marah, sulit
berkonsentrasi, amat bersiaga, reaksi kaget yang berlebihan, reaksi rentan
faali saat menghadapi peristiwa yang melambangkan atau menyerupai
aspek dari peristiwa traumatik.
5. Jangka waktu gangguan itu (gejala pada kriteria ke dua, tiga, dan empat)
sedikitnya sebulan (Kaplan, 1997)
Gangguan Sosial PTSD:
- Panic attack (serangan panik).
Anak/remaja yang mempunyai pengalaman trauma dapat mengalami serangan
panik ketika dihadapkan/menghadapi sesuatu yang mengingatkan mereka pada trauma.
Serangan panik meliputi perasaan yang kuat atas ketakutan atau tidak nyaman yang
menyertai gejala fisik dan psikologis. Gejala fisik meliputi jantung berdebar,
berkeringat, gemetar, sesak nafas, sakit dada,sakit perut, pusing, merasa kedinginan,
badan panas, mati rasa.
- Perilaku menghindar.
Salah satu gejala PTSD adalah menghindari hal-hal yang dapat mengingatkan
penderita pada kejadian traumatis. Kadang -kadang penderita mengaitkan semua
kejadian dalam kehidupannya setiap hari dengan trauma, padahal kondisi kehidupan
sekarang jauh dari kondisi trauma yang pernah dialami. Hal ini sering menjadi lebih
parah sehingga penderita menjadi takut untuk keluar rumah dan harus ditemani oleh
orang lain jika harus keluar rumah.
- Depresi.
Banyak orang menjadi depresi setelah mengalami pengalaman trauma dan menjadi
tidak tertarik dengan hal-hal yang disenanginya sebelum peristiwa trauma. Mereka
mengembangkan perasaan yang tidak benar, perasaan bersalah, menyalahkan diri
sendiri, dan merasa peristiwa yang dialami merupakan kesalahannya, walaupun semua
itu tidak benar.
- Membunuh pikiran dan perasaan.
Kadang-kadang orang yang depresi berat merasa bahwa kehidupannya sudah tidak
berharga. Hasil penelitian menjelaskan bahwa 50% korban kekerasan mempunyai
pikiran untuk bunuh diri. Jika anda dan orang yang terdekat dengan anda mempunyai
pemikiran untuk bunuh diri setelah mengalami peristiwa traumatik, segeralah mencari
pertolongan dan berkonsultasi dengan para profesional.
- Merasa disisihkan dan sendiri.
Penderita PTSD memerlukan dukungan dari lingkungan sosialnya tetapi mereka
seringkali merasa sendiri dan terpisah. Karena perasaan mereka tersebut, penderita
kesulitan untuk berhubungan dengan orang lain dan mendapatkan pertolongan.
Penderita susah untuk percaya bahwa orang lain dapat memahami apa yang telah dia
alami.
- Merasa tidak percaya dan dikhianati.
Setelah mengalami pengalaman yang menyedihkan, penderita mungkin kehilangan
kepercayaan dengan orang lain dan merasa dikhianati atau ditipu oleh dunia, nasib atau
oleh Tuhan. Marah dan mudah tersinggung adalah reaksi yang umum diantara
penderita trauma. Tentu saja kita dapat salah kapan saja, khususnya ketika penderita
merasa tersakiti, marah adalah suatu reaksi yang wajar dan dapat dibenarkan.
Bagaimanapun, kemarahan yang berlebihan dapat mempengaruhi proses penyembuhan
dan menghambat penderita untuk berinteraksi dengan orang lain di rumah dan di
tempat terapi.
- Gangguan yang berarti dalam kehidupan sehari-hari.
Beberapa penderita PTSD mempunyai beberapa gangguan yang terkait dengan fungsi
sosial dan gangguan di sekolah dalam jangka waktu yang lama setelah trauma. Seorang
korban kekerasan mungkin menjadi sangat takut untuk tinggal sendirian. Penderita
mungkin kehilangan kemampuannya dalam berkonsentrasi dan melakukan tugasnya di
sekolah.
Pengobatan
- Profesi kedokteran : Sesuai standar pemeriksaan korban kekerasan dan pembuatan
visum et repertumnya
- Kendala → belum berkembangnya Ilmu Kedokteran Forensik Klinik di Indonesia
- Didirikannya Pusat Krisis terpadu bagi perempuan dan anak-anak
- Menerima dan menatalaksana kekerasan terhadap perempuan, kekerasan fisik
maupun seksual, secara terpadu sehingga diharapkan dapat memperkecil trauma
psikologis akibat viktimisasi lanjutan pada korban.
Pengobatan psikoterapi.
Para terapis yang sangat berkonsentrasi pada masalah PTSD percaya bahwa ada tiga
tipe psikoterapi yang dapat digunakan dan efektif untuk penanganan PTSD, yaitu:
anxiety management, cognitive therapy, exposure therapy .
1. Pada anxiety management:
a) relaxation training, yaitu belajar mengontrol ketakutan dan kecemasan secara
sistematis dan merelaksasikan kelompok otot-otot utama,
b) breathing retraining, yaitu belajar bernafas dengan perut secara perlahan-lahan,
santai dan menghindari bernafas dengan tergesa-gesa yang menimbulkan perasaan
tidak nyaman, bahkan reaksi fisik yang tidak baik seperti jantung berdebar dan sakit
kepala,
c) positive thinking dan self-talk, yaitu belajar untuk menghilangkan pikiran negatif
dan mengganti dengan pikiran positif ketika menghadapi hal–hal yang membuat stress
(stresor),
d) asser-tiveness training, yaitu belajar bagaimana mengekspresikan harapan, opini dan
emosi tanpa menyalahkan atau menyakiti orang lain,
e) thought stopping, yaitu belajar bagaimana mengalihkan pikiran ketika kita sedang
memikirkan hal-hal yang membuat kita stress (Anonim, 2005b).
2. Dalam cognitive therapy, terapis membantu untuk merubah kepercayaan yang
tidak rasional yang mengganggu emosi dan mengganggu kegiatan -kegiatan
kita. Misalnya seorang korban kekerasan mungkin menyalahkan diri sendiri
karena tidak hati-hati. Tujuan kognitif terapi adalah mengidentifikasi pikiran-
pikiran yang tidak rasional, mengumpulkan bukti bahwa pikiran tersebut tidak
rasional untuk melawan pikiran tersebut yang kemudian mengadopsi pikiran
yang lebih realistik untuk membantu mencapai emosi yang lebih seimbang
(Anonim, 2005b).
3. Sementara itu, dalam exposure therapy para terapis membantu menghadapi
situasi yang khusus, orang lain, obyek, memori atau emosi yang meng
-ingatkan pada trauma dan menimbulkan ketakutan yang tidak realistik dalam
kehidupannya. Terapi dapat berjalan dengan cara: exposure in the imagination,
yaitu bertanya pada penderita untuk mengulang cerita secara detail sampai
tidak mengalami hambatan menceritakan; atau exposure in reality, yaitu
membantu menghadapi situasi yang sekarang aman tetapi ingin dihindari
karena menyebabkan ketakutan yang sangat kuat (misal: kembali ke rumah
setelah terjadi perampokan di rumah). Ketakutan bertambah kuat jika kita
berusaha mengingat situasi tersebut dibanding berusaha melupakannya.
Pengulangan situasi disertai penyadaran yang berulang akan membantu
menyadari situasi lampau yang menakutkan tidak lagi berbahaya dan dapat
diatasi (Anonim, 2005b).
4. Di samping itu, didapatkan pula terapi bermain ( play therapy) mungkin
berguna pada penyembuhan anak dengan PTSD. Terapi bermain dipakai untuk
menerapi anak dengan PTSD. Terapis memakai permainan untuk memulai
topik yang tidak dapat dimulai secara langsung. Hal ini dapat membantu anak
lebih merasa nya -man dalam berproses dengan pengalaman traumatiknya
(Anonim, 2005b).
5. Terapi debriefing juga dapat digunakan untuk mengobati traumatik. Meskipun
ada banyak kontroversi tentang debriefing baik dalam literatur PTSD umum
dan di dalam debriefing yang dipimpin oleh bidan. Cochrane didalam
systematic reviews-nya merekomendasikan perlu untuk melakukan debriefing
pada kasus korban-korban trauma (Rose et al, 2002). Mengenai debriefing oleh
bidan, Small gagal menunjukkan secara jelas manfaatnya (Small et al., 2000).
Meski begitu, Boyce dan Condon merekomen-dasikan bidan untuk melakukan
debriefing pada semua wanita yang berpotensi mengalami kejadian traumatik
ketika melahirkan (Boyce & Condon, 2000).
6. Selain itu, didapatkan pula support group therapy dan terapi bicara. Dalam
support group therapy seluruh peserta merupakan penderita PTSD yang
mempunyai pengalaman serupa (misalnya korban bencana tsunami, korban
gempa bumi) dimana dalam proses terapi mereka saling menceritakan tentang
pengalaman traumatis mereka, kemdian mereka saling member penguatan satu
sama lain (Swalm, 2005).
7. Sementara itu dalam terapi bicara memperlihatkan bahwa dalam sejumlah studi
penelitian dapat membukti kan bahwa terapi saling berbagi cerita mengenai
trauma, mampu memperbaiki kondisi jiwa penderita. Dengan berbagi, bisa
memperingan beban pikiran dan kejiwaan yang dipendam. Bertukar cerita
membuat merasa senasib, bahkan merasa dirinya lebih baik dari orang lain.
Kondisi ini memicu seseorang untuk bangkit dari trauma yang diderita dan
melawan kecemasan (Anonim, 2005b). Pendidikan dan supportive konseling
juga merupakan upaya lain untuk mengobati PTSD. Konselor ahli mem-
pertimbangkan pentingnya penderita PTSD (dan keluarganya) untuk
mempelajari gejala PTSD dan bermacam treatment (terapi dan pengobatan) yan
g cocok untuk PTSD. Walaupun seseorang mem-punyai gejala PTSD dalam
waktu lama, langkah pertama yang pada akhirnya dapat ditempuh adalah
mengenali gejala dan permasalahannya sehingga dia mengerti apa yang dapat
dilakukan untuk mengatasinya (Anonim,2005b).

BAB III
PENUTUP
III.1.Kesimpulan

Forensik Klinik adalah bagian dari ilmu kedokteran forensik yang mencakup
pemeriksaan forensik terhadap korban hidup dan investigasinya, kemudian aspek
medikolegal, juga psikopatologinya, dengan kata lain forensik klinik merupakan area
praktek medis yang mengintegrasikan antara peranan medis dan hukum terutama dalam
kasus-kasus berkaitan kekerasan susila. Namun, Untuk menyelesaikan permasalahan
kasus kekerasan seksual pada anak, tidak hanya membutuhkan intervensi medis
semata-mata tapi, menuntut diambilnya langkah penanganan yang holistik dan
komprehensif termasuk dukungan psikososial yang secara otomatis membutuhkan
dukungan optimal dari keluarga dan masyarakat. Tugas dokter tidak hanya
menjalankan fungsi maksimal dalam bidang kesehatan, namun dokter tersebut dituntut
untuk memanfaatkan ilmu pengetahuan kedokteran seoptimal mungkin dan mematuhi
tuntutan undang-undang terhadapnya terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan
proses hukum. Peranan seorang dokter dalam pengumpulan bukti salama pemeriksaan
medis forensik memiliki hubungan langsung dengan keberhasilan penuntutan kasus.
Selain itu, seorang dokter dituntut untuk dapat menentukan adanya tanda-tanda
persetubuhan, adanya tanda-tanda kekerasan, serta memperkirakan umur anak
berdasarkan keilmuan yang dimilikinya.

III.2.Saran
1. Bagi instansi kesehatan, khususnya rumah sakit agar lebih meningkatkan kuantitas
dan kualitas sarana dan prasarana pemeriksaan penunjang, khususnya bagi korban
kekerasan seksual pada anak, sehingga diharapkan dapat semakin membantu lancarnya
proses peradilan.
2. Bagi orang tua agar memberikan pendidikan seksual atau pendidikan kesehatan
reproduksi bagi anak-anak sedini mungkin
3. Pada kasus kekerasan seksual pada anak,tidak hanya difokuskan pada perawatan
medisnya saja tetapi yang tak kalah penting adalah terapi psikis pada anak,
DAFTAR PUSTAKA
1. Behrman, Kliegman & Arvin, Nelson. Ilmu Kesehatan Anak. EGC: Jakarta.2012
2. Reneta Kristiani, Doni, Mira Nurcahyo budi W. Kekerasan Seksual Pada Anak.
(diakses tanggal 06 Juni 2012 dari
http://www.pulih.or.id/res/publikasi/news_letter%2015.pdf ).2010
3. Sudaryono. Kekerasan Pada Anak : Bentuk, Penanggulangan, dan Perlindungan
Pada Anak Korban Kekerasan. (diakses tanggal 06 Juni 2012 dari
http://www.scribd.com/doc/83672075/6-sudaryono).2007
4. Departemen Kesehatan. Melindungi Kesehatan Anak Korban Kekerasan. (diakses
tanggal 06 Juni 2012 dari http://www.smallcrab.com/anak-anak/1050-melindungi-
kesehatan-anak-korban-kekerasan).2010
5. Centers for Disease Control and Prevention, Child Maltreatment Surveillance:
Uniform Definitions for Public Health and Recommended Data Elements di akses
tanggal 06 Juni 2012 dari
http://www.cdc.gov/violenceprevention/pdf/CM_Surveillance-a.pdf.2010
6. Ferry ndoen. Pemerkosaan Anak di Kupang Sangat tinggi. (diakses tanggal 06 Juni
2012 dari http://www.tribunnews.com/2012/03/02/pemerkosaan-anak-di-kupang-
sangat-tinggi).2012
7. Sutrisno,ED KPAI Banyak Temukan Kekerasan Seksual Pada Anak di Tahun 2010
(diakses tanggal 06 Juni 2012 dari
http://news.detik.com/read/2010/12/22/191329/1531095/10/kpai-banyak-temukan-
kekerasan-seksual-pada-anak-di-tahun-2010?nd992203605).2010
8. Mira, Doni. Kekerasan Seksual Pada Anak. Newsletter PULIH – Volume 15 p1-
8.2010
9. Departemen Kesehatan RI, Pedoman Rujukan Kasus Kekerasan Terhadap Anak
Bago Petugas Kesehatan, diakses tanggal 06 Juni 2012 dari
http://www.gizikia.depkes.go.id/wp-
content/uploads/downloads/2011/01/PEDOMAN-RUJUKAN-KASUS- KtA-
BAGI-PETUGAS-KESEHATAN.pdf. 2011
10. Hobbs CJ, Hanks HGI, Wynne JM: Violence and criminality. Dalam: Child Abuse
and Neglect A Clinician’s Handbook. 2nd Edition. Churchill Livingstone, London.
1999.
11. Bittner S, Newberger EH: Pediatric understanding of child abuse and neglect.
Pediatric Rev 2:198, 1998.
12. Philip SL. Clinical Forensic Medicine: Much Scope for Development in Hong
Kong. Hongkong: Departement of Pathology Faculty of Medicine University of
Hongkong. 2007
13. Meadow R: ABC of child abuse. Edition. BMJ, 1993.
14. Sugiarto I. Aspek Klinis Kekerasan Pada Anak dan Pencegahannya. Diakses
tanggal 06 Juni 2012 dari :http://www.lcki.org/images/seminar
/anak/tatalaksana.pdf. [Update : Juli 2007]
15. Idries, AM. 1997. Kekerasan Seksual. Dalam: Idries, AM, Pedoman Ilmu
Kedokteran Forensik. Jakarta: Bina Rupa Aksara. p 216-27
16. Narendra et al, 2002. Tumbuh Kembang Anak dan Remaja. Jakarta : Ikatan Dokter
Anak Indonesia.
17. Stang, J., Story, M., 2005. Pubertal Growth and Development. Available from:
http://www.epi.umn.edu/let/pubs/img/adol_ch1.pdf. (Accesed: 2012, March 3).
18. Anonim, “Disaster Rescue and Response Workers,” http://www.
ncptsd.va.gov/facts/disasters/fs_rescue_workers. html, diakses 04 Mei 2005a.
19. Anonim, “Expert Consensus Treatment Guidelines for Post Traumatic Stress
Disorder: A Guide for Patients and Families,” http://www. psychguides. com,
diakses 04 Mei 2005b
20. Kaplan,H.I., B. J. Sadock, J.A. Grebb, Sinopsis Psikiatri:Ilmu Pengetahuan
Perilaku Psikiatri Klinis, 2 (Jakarta: Binarupa Aksara,1997).
21. Rose, S, J. Bisson & S. Wessely, “Psychological Debriefing for Preventing Post
Traumatic Stress Disorder (PTSD): Review,” dalam Cochrane Database of
Systematic Reviews, Issue 2, Art No.CD000560, 2002.
22. Small, R., J. Lumley, L. Donohue, A. Potter & U. Waldenstrom, “Randomized
Controlled Trial of Midwife Led Debriefing to Reduce Maternal Depression after
Operative Childbirth,”British Medical Journal, 321, 2000: 1043-1047.
23. Boyce, P., & J. Condon, “Traumatic Childbirth and the Role of Debriefing,” B
Raphael &J.P.Wilson (ed.), Psychological Debriefing: Theory, Practice and
Evidence (New York:Cambridge University Press, 2000).
24. Swalm, D., “Tabs-Childbirth and Emotional Trauma: Why it’s Important to Talk T
alk Talk,”Associate Head of Dept of Psychological Medicine for Women, King
25. Edward Memorial Hospital, Subiaco 6008, Western Australia, ” www.trauma-
center.org, diakses 04 Mei 2

Anda mungkin juga menyukai