PENDAHULUAN
I.1.LATAR BELAKANG
1
Kekerasan seksual adalah setiap aktivitas pada anak, di mana umur belum
mencukupi menurut izin hukum, yang digunakan untuk sumber kepuasan seksual orang
dewasa atau anak yang sangat lebih tua. Belakangan ini banyak muncul kasus perilaku
seks bebas yang melanda anak-anak di bawah umur, dimana anak merupakan
kelompok yang rentan baik fisik maupun mental. Seksual abuse termasuk oral-genital,
genital-genital, genital-rektal, tangan-genital, tangan-rektal atau kontak tangan-
payudara; pemaparan anatomi seksual, melihat dengan paksa anatomi seksual, dan
menunjukkan pornografi pada anak atau menggunakan anak dalam produksi
pornografi. Penelitian tentang “Kekerasan Pada Anak” yang dilakukan oleh Sudaryono
menyatakan selama tiga dasawarsa masalah anak baik sebagai pelaku maupun korban
kekerasan (kekerasan) dapat dikatakan kurang mendapat perhatian.[1]
Beberapa bulan terakhir ini, kasus kekerasan seksual pada anak kembali marak
terjadi di Indonesia. Kekerasan seksual pada anak ini sangatlah memprihatinkan
banyak pihak terutama bagi sekolah-sekolah serta ibu-ibu yang memiliki anak.
Kebanyakan korban kekerasan seksual pada anak berusia sekitar 5 hingga 11 tahun.[2]
Dari sekian ratus kasus yang pernah terjadi, kekerasan seksual pada anak
diibaratkan sebagai fenomena “gunung es”. Laporan LBH (Lembaga Badan Hukum)
Apik Jakarta menyebutkan dari 239 kasus kekerasan seksual yang terjadi pada Januari-
Oktober 2003, sekitar 50% di antaranya menimpa anak-anak. Data itu mencakup kasus
perkosaan, sodomi, pedofilia, pencabulan, dan pelecehan seksual. Sementara itu, dari
32 kasus kekerasan seksual yang terjadi pada bulan April 2002, 28 kasus atau 87,5% di
antaranya terjadi pada anak di bawah umur.[3]
Menurut Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Biro Pusat Statistik
Tahun 2007, angka kejadian tindak kekerasan terhadap anak di Indonesia adalah 3,02%
yang artinya setiap 10.000 anak terdapat 302 anak korban kekerasan. Kekerasan pada
anak itu sendiri terdiri dari kekerasan seksual, fisik, emosional, eksploitasi anak,
perdagangan anak, dan penelantaran anak.[4]
Berdasarkan data Komisi Nasional perlindungan anak, pada tahun 2009 kasus
kekerasan seksual pada anak sudah mencapai 1298 kasus.[2]
Sebelumnya, pada tahun 2008 kasus kekerasan seksual pada anak sudah
meningkat 30 persen menjadi 1.555 kasus dari 1.194 kasus pada tahun 2007. Dengan
kata lain setiap harinya terdapat 4,2 kasus. Hal yang memprihatinkan adalah untuk
kasus jenis perkosaan dan percabulan, tersangkanya masih berusia anak-anak 10 hingga
17 tahun.[2]
Kasus pemerkosaan dan kekerasan terhadap anak di wilayah Nusa Tenggara
Timur (NTT) sangat tinggi. Bahkan kasus pemerkosaan anak di NTT
tertinggi/terbanyak di Indonesia.[6]
Komisi Perlindungan Anak Indonesia menemukan banyak aduan kekerasan pada
anak pada tahun 2010. Dari 171 kasus pengaduan yang masuk, sebanyak 67,8 persen
terkait dengan kasus kekerasan. Dan dari kasus kekerasan tersebut yang paling banyak
terjadi adalah kasus kekerasan seksual yaitu sebesar 45,7 persen (53 kasus).[7]
Maka dari itu, hal yang penting dilakukan adalah memberikan pendidikan
seksual atau pendidikan kesehatan reproduksi bagi anak-anak sedini mungkin, perlu
dilakukan oleh orangtua dan pihak sekolah agar anak tidak mendapatkan informasi
yang salah dari teman, internet, maupun media lainnya.[2]
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Kekerasan Pada Anak (Child Abuse)
Secara umum kekerasan didefinisikan sebagai suatu tindakan yang dilakukan
satu individu terhadap individu lain yang mengakibatkan gangguan fisik dan atau
mental. Anak ialah individu yang belum mencapai usia 18 tahun, termasuk anak yang
masih dalam kandungan seperti tertera dalam pasal 1 UU No 23 tahun 2002 tentang
perlindungan anak. Kekerasan pada anak adalah tindakan yang di lakukan seseorang
atau individu pada mereka yang belum genap berusia 18 tahun yang menyebabkan
kondisi fisik dan atau mentalnya terganggu.
Kekerasan pada anak atau perlakuan salah pada anak adalah suatu tindakan
semena-mena yang dilakukan oleh seseorang yang seharusnya menjaga dan melindungi
anak (caretaker) pada seorang anak baik secara fisik, seksual, maupun emosi. Pelaku
kekerasan di sini karena bertindak sebagai caretaker, maka mereka umumnya
merupakan orang terdekat di sekitar anak. Ibu dan bapak kandung, ibu dan bapak tiri,
kakek, nenek, paman, supir pribadi, guru, tukang ojek pengantar ke sekolah, tukang
kebun, dan seterusnya.
Seringkali istilah kekerasan pada anak ini dikaitkan dalam arti sempit dengan
tidak terpenuhinya hak anak untuk mendapat perlindungan dari tindak kekerasan dan
eksploitasi. Kekerasan pada anak juga sering kali dihubungkan dengan lapis pertama
dan kedua pemberi atau penanggung jawab pemenuhan hak anak yaitu orang tua (ayah
dan ibu) dan keluarga. Kekerasan yang disebut terakhir ini di kenal dengan perlakuan
salah terhadap anak atau child abuse yang merupakan bagian dari kekerasan dalam
rumah tangga (domestic violence). (Hobbs CJ,1998)
Menurut WHO (World Health Organization) kekerasan dan penelantaran pada
anak merupakan semua bentuk perlakuan menyakitkan secara fisik ataupun emosional,
penyalahgunaan seksual, penelantaran, eksploitasi komersial atau eksploitasi lain, yang
mengakibatkan cedera atau kerugian nyata ataupun potensial terhadap kesehatan anak,
kelangsungan hidup anak, tumbuh kembang anak, atau martabat anak, yang dilakukan
dalam konteks hubungan tanggung jawab, kepercayaan atau kekuasaan.
Banyak teori yang berusaha menerangkan bagaimana kekerasan ini terjadi,
salah satu di antaranya teori yang berhubungan dengan stress dalam keluarga (family
stress). Stres dalam keluarga tersebut bisa berasal dari anak, orang tua, atau situasi
tertentu. (Bittner S,1998)
1. Stres berasal dari anak misalnya anak dengan kondisi fisik, mental, dan
perilaku yang terlihat berbeda dengan anak pada umumnya. Bayi dan usia balita, serta
anak dengan penyakit kronis atau menahun juga merupakan salah satu penyebab stres.
2. Stres yang berasal dari orang tua misalnya orang tua dengan gangguan jiwa
(psikosis atau neurosa), orang tua sebagai korban kekerasan di masa lalu, orang tua
terlampau perfek dengan harapan pada anak terlampau tinggi, orang tua yang terbiasa
dengan sikap disiplin.
3. Stres berasal dari situasi tertentu misalnya terkena PHK (Pemutusan Hubungan
Kerja) atau pengangguran, pindah lingkungan, dan keluarga sering bertengkar.
Dengan adanya stres dalam keluarga dan faktor sosial budaya yang kental
dengan ketidaksetaraan dalam hak dan kesempatan, sikap permisif terhadap hukuman
badan sebagai bagian dari mendidik anak, maka para pelaku makin merasa sah untuk
menyiksa anak. Dengan sedikit faktor pemicu, biasanya berkaitan dengan tangisan
tanpa henti dan ketidakpatuhan pada pelaku, terjadilah penganiayaan pada anak yang
tidak jarang membawa malapetaka bagi anak dan keluarganya. (Bittner S,1998)
Perlukaan bisa berupa cedera kepala (head injury), patah tulang kepala, geger
otak, atau perdarahan otak. Perlukaan pada badan, anggota gerak dan alat kelamin,
mulai dari luka lecet, luka robek, perdarahan atau lebam, luka bakar, patah tulang.
Perlukaan organ dalam (visceral injury) tidak dapat dideteksi dari luar sehingga perlu
dilakukan pemeriksaan dalam dengan melakukan otopsi. Perlukaan pada permukaan
badan seringkali memberikan bentuk yang khas menyerupai benda yang digunakan
untuk itu, seperti bekas cubitan, gigitan, sapu lidi, setrika, atau sundutan rokok. Karena
perlakuan seperti ini biasanya berulang maka perlukaan yang ditemukan seringkali
berganda dengan umur luka yang berbeda-beda, ada yang masih baru ada pula yang
hampir menyembuh atau sudah meninggalkan bekas (sikatriks). Di samping itu lokasi
perlukaan dijumpai pada tempat yang tidak umum sepertihalnya luka-luka akibat jatuh
atau kecelakaan biasa seperti bagian paha atau lengan atas sebelah dalam, punggung,
telinga, langit langit rongga mulut, dan tempat tidak umum lainnya. (Philip SL,1993)
Saat perlakuan salah pada anak terjadi, lantaran perbuatan itu, pelaku tidak
sadar bahkan mungkin tidak tahu bahwa tindakannya itu akan diancam dengan pidana
senjata atau denda yang tidak sedikit, bahkan jika pelaku ialah orang tuanya sendiri
maka hukuman akan ditambah sepertiganya yakni pada pasal 80 Undang-Undang
Republik Indonesia No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, sebagai berikut :
1. Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau
penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
tahun 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 72.000.000.00.
2. Dalam hal anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling
banyak Rp. 100.000.000.00.
3. Dalam hal anak yang dimaksud ayat 2 mati, maka pelaku dipidana penjara paling
lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak RP. 200.000.000.004. Pidana dapat
ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2)yat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya).
2. Stigma Eksternal
a. Kecenderungan masyarakat menyalahkan korban.
b. Media informasi tanpa empati memberitakan kasus yang dialami korban
secar terbuka dan tidak menghiraukan hak privasi korban.
Faktor-faktor kausalitas yang signifikan : (Sugiarto,2007)
1. Masalah kemiskinan
2. Masalah gangguan hubungan sosial keluarga dan komunitas
3. Penyimpangan perilaku dikarenakan masalah psikososial
4. Lemahnya kontrol sosial primer masyarakat dan hukum
5. Pengaruh nilai sosial budaya di lingkungan sosial tertentu
6. Keengganan masyarakat untuk melaporkan kasus-kasus
Kompleksitas faktor-faktor penyebab dan beban permasalahan yang demikian
berat dalam diri para korban tindak kekerasan, menuntut diambilnya langkah
penanganan yang holistik dan komprehensif melalui pendekatan interdisipliner,
interinstitusional dan intersektoral dengan dukungan optimal dari berbagai sumber dan
potensi dalam masyarakat. (Sugiarto,2007)
II.2. Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual adalah salah satu bentuk dari kekerasan tubuh yang
merugikan kesehatan dan nyawa manusia. Ilmu Kedokteran Forensik berguna dalam
fungsi penyelidikan, yaitu untuk:
1. Menentukan adanya tanda-tanda persetubuhan
2. Menentukan adanya tanda-tanda kekerasan
3. Memperkirakan umur
4. Menentukan pantas tidaknya korban buat kawin
Kekerasan seksual merupakan segala kekerasan, baik fisik maupun psikologis,
yang dilakukan dengan cara-cara seksual atau dengan mentargetkan seksualitas.
Definisi kekerasan seksual ini mencakup pemerkosaan, perbudakan seksual, dan
bentuk-bentuk lain kekerasan seksual seperti penyiksaan seksual, penghinaan seksual di
depan umum, dan pelecehan seksual.Terdapat dua macam bentuk kekerasan seksual,
yaitu ringan dan berat.
Macam-macam kekerasan seksual ringan :
Pelecehan seksual
Gurauan porno,
Siulan, ejekan dan julukan
Tulisan/gambar
Ekspresi wajah,
Gerakan tubuh
Perbuatan menyita perhatian seksual tak dikehendaki korban, melecehkan dan atau
menghina korban.
Melakukan repitisi kekerasan seksual ringan dapat dimasukkan ke dalam jenis
kekerasan seksual berat.
BAB III
PENUTUP
III.1.Kesimpulan
Forensik Klinik adalah bagian dari ilmu kedokteran forensik yang mencakup
pemeriksaan forensik terhadap korban hidup dan investigasinya, kemudian aspek
medikolegal, juga psikopatologinya, dengan kata lain forensik klinik merupakan area
praktek medis yang mengintegrasikan antara peranan medis dan hukum terutama dalam
kasus-kasus berkaitan kekerasan susila. Namun, Untuk menyelesaikan permasalahan
kasus kekerasan seksual pada anak, tidak hanya membutuhkan intervensi medis
semata-mata tapi, menuntut diambilnya langkah penanganan yang holistik dan
komprehensif termasuk dukungan psikososial yang secara otomatis membutuhkan
dukungan optimal dari keluarga dan masyarakat. Tugas dokter tidak hanya
menjalankan fungsi maksimal dalam bidang kesehatan, namun dokter tersebut dituntut
untuk memanfaatkan ilmu pengetahuan kedokteran seoptimal mungkin dan mematuhi
tuntutan undang-undang terhadapnya terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan
proses hukum. Peranan seorang dokter dalam pengumpulan bukti salama pemeriksaan
medis forensik memiliki hubungan langsung dengan keberhasilan penuntutan kasus.
Selain itu, seorang dokter dituntut untuk dapat menentukan adanya tanda-tanda
persetubuhan, adanya tanda-tanda kekerasan, serta memperkirakan umur anak
berdasarkan keilmuan yang dimilikinya.
III.2.Saran
1. Bagi instansi kesehatan, khususnya rumah sakit agar lebih meningkatkan kuantitas
dan kualitas sarana dan prasarana pemeriksaan penunjang, khususnya bagi korban
kekerasan seksual pada anak, sehingga diharapkan dapat semakin membantu lancarnya
proses peradilan.
2. Bagi orang tua agar memberikan pendidikan seksual atau pendidikan kesehatan
reproduksi bagi anak-anak sedini mungkin
3. Pada kasus kekerasan seksual pada anak,tidak hanya difokuskan pada perawatan
medisnya saja tetapi yang tak kalah penting adalah terapi psikis pada anak,
DAFTAR PUSTAKA
1. Behrman, Kliegman & Arvin, Nelson. Ilmu Kesehatan Anak. EGC: Jakarta.2012
2. Reneta Kristiani, Doni, Mira Nurcahyo budi W. Kekerasan Seksual Pada Anak.
(diakses tanggal 06 Juni 2012 dari
http://www.pulih.or.id/res/publikasi/news_letter%2015.pdf ).2010
3. Sudaryono. Kekerasan Pada Anak : Bentuk, Penanggulangan, dan Perlindungan
Pada Anak Korban Kekerasan. (diakses tanggal 06 Juni 2012 dari
http://www.scribd.com/doc/83672075/6-sudaryono).2007
4. Departemen Kesehatan. Melindungi Kesehatan Anak Korban Kekerasan. (diakses
tanggal 06 Juni 2012 dari http://www.smallcrab.com/anak-anak/1050-melindungi-
kesehatan-anak-korban-kekerasan).2010
5. Centers for Disease Control and Prevention, Child Maltreatment Surveillance:
Uniform Definitions for Public Health and Recommended Data Elements di akses
tanggal 06 Juni 2012 dari
http://www.cdc.gov/violenceprevention/pdf/CM_Surveillance-a.pdf.2010
6. Ferry ndoen. Pemerkosaan Anak di Kupang Sangat tinggi. (diakses tanggal 06 Juni
2012 dari http://www.tribunnews.com/2012/03/02/pemerkosaan-anak-di-kupang-
sangat-tinggi).2012
7. Sutrisno,ED KPAI Banyak Temukan Kekerasan Seksual Pada Anak di Tahun 2010
(diakses tanggal 06 Juni 2012 dari
http://news.detik.com/read/2010/12/22/191329/1531095/10/kpai-banyak-temukan-
kekerasan-seksual-pada-anak-di-tahun-2010?nd992203605).2010
8. Mira, Doni. Kekerasan Seksual Pada Anak. Newsletter PULIH – Volume 15 p1-
8.2010
9. Departemen Kesehatan RI, Pedoman Rujukan Kasus Kekerasan Terhadap Anak
Bago Petugas Kesehatan, diakses tanggal 06 Juni 2012 dari
http://www.gizikia.depkes.go.id/wp-
content/uploads/downloads/2011/01/PEDOMAN-RUJUKAN-KASUS- KtA-
BAGI-PETUGAS-KESEHATAN.pdf. 2011
10. Hobbs CJ, Hanks HGI, Wynne JM: Violence and criminality. Dalam: Child Abuse
and Neglect A Clinician’s Handbook. 2nd Edition. Churchill Livingstone, London.
1999.
11. Bittner S, Newberger EH: Pediatric understanding of child abuse and neglect.
Pediatric Rev 2:198, 1998.
12. Philip SL. Clinical Forensic Medicine: Much Scope for Development in Hong
Kong. Hongkong: Departement of Pathology Faculty of Medicine University of
Hongkong. 2007
13. Meadow R: ABC of child abuse. Edition. BMJ, 1993.
14. Sugiarto I. Aspek Klinis Kekerasan Pada Anak dan Pencegahannya. Diakses
tanggal 06 Juni 2012 dari :http://www.lcki.org/images/seminar
/anak/tatalaksana.pdf. [Update : Juli 2007]
15. Idries, AM. 1997. Kekerasan Seksual. Dalam: Idries, AM, Pedoman Ilmu
Kedokteran Forensik. Jakarta: Bina Rupa Aksara. p 216-27
16. Narendra et al, 2002. Tumbuh Kembang Anak dan Remaja. Jakarta : Ikatan Dokter
Anak Indonesia.
17. Stang, J., Story, M., 2005. Pubertal Growth and Development. Available from:
http://www.epi.umn.edu/let/pubs/img/adol_ch1.pdf. (Accesed: 2012, March 3).
18. Anonim, “Disaster Rescue and Response Workers,” http://www.
ncptsd.va.gov/facts/disasters/fs_rescue_workers. html, diakses 04 Mei 2005a.
19. Anonim, “Expert Consensus Treatment Guidelines for Post Traumatic Stress
Disorder: A Guide for Patients and Families,” http://www. psychguides. com,
diakses 04 Mei 2005b
20. Kaplan,H.I., B. J. Sadock, J.A. Grebb, Sinopsis Psikiatri:Ilmu Pengetahuan
Perilaku Psikiatri Klinis, 2 (Jakarta: Binarupa Aksara,1997).
21. Rose, S, J. Bisson & S. Wessely, “Psychological Debriefing for Preventing Post
Traumatic Stress Disorder (PTSD): Review,” dalam Cochrane Database of
Systematic Reviews, Issue 2, Art No.CD000560, 2002.
22. Small, R., J. Lumley, L. Donohue, A. Potter & U. Waldenstrom, “Randomized
Controlled Trial of Midwife Led Debriefing to Reduce Maternal Depression after
Operative Childbirth,”British Medical Journal, 321, 2000: 1043-1047.
23. Boyce, P., & J. Condon, “Traumatic Childbirth and the Role of Debriefing,” B
Raphael &J.P.Wilson (ed.), Psychological Debriefing: Theory, Practice and
Evidence (New York:Cambridge University Press, 2000).
24. Swalm, D., “Tabs-Childbirth and Emotional Trauma: Why it’s Important to Talk T
alk Talk,”Associate Head of Dept of Psychological Medicine for Women, King
25. Edward Memorial Hospital, Subiaco 6008, Western Australia, ” www.trauma-
center.org, diakses 04 Mei 2