Anda di halaman 1dari 8

MATA KULIAH METODOLOGI PENELITIAN HUKUM

DOSEN PENGAMPU Drs. Husein Manalu, S.H, MM,M.H


PRODI Hukum
Kelas Hukum 20c2
NIM
Nama Muhammad Nazzar

RESUME PENELITIAN

UPAYA PERLINDUNGAN ANAK

DARI KEKERASAN DAN PENERAPAN PIDANA BAGI PELAKU KEKERASA


TERHADAP ANAK

A. Latar Belakang Penelitian

Anak adalah harapan bangsa dimasa mendatang, hak hak yang harus diperoleh anak
terhadap orang tuanya sejak anak dilahirkan didunia yang berdasarkan hukum dan peraturan
perundangundangan yang berlaku. Perlindungan hukum terhadap anak dapat diartikan
sebagai upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi
anak(fundamental rights and freedoms of children) serta berbagai kepentinganyang
berhubungan dengan kesejahteraan anak.1 Pada hakikatnya anak tidak dapat melindungi diri
sendiri dari berbagai macam Tindakan yang dapay menimbulkan kerugian mental, fisik,
sosial dalam berbagau bidang kehidupan, anak perlu mendapatkan perlindungan dari
penerapan peraturan perundang-undangan yang diberlakukan terhadap dirinya. Anak adalah
keadaan manusia normal yang masih muda dan sedang menentukan identitas serta sangat
labil jiwanya sehingga sangat mudah kena pengaruh lingkungan.2

Lilik Mulyadi berpendapat ditinjau dari aspek yuridis maka pengertiananak dimata
hukum positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa
(minderjaiglpersonunderage), orang dibawah umur atau keadaan dibawah umur
(minderjarigheicUinferiority), atau kerap juga disebut sebagai anakyang dibawah
pengawasan wali (minderjarigeondervoordi).3

1 Waluyadi, hukum perlindungan anak, Mandar maju, bandung, 2009, hlm 1


2 Kartini, gangguan-gangguan pshikis, bandung, sinar baru, 1981, hlm 189
3 Lilik Mulyadi, pengadilan anak di Indonesia Teori, praktek permasalahannya, bandung, mandar maju, 2005,
hlm 3-4
Berbagai jenis kekerasan diterima oleh anak-anak, seperti kekerasan verbal,fisik,mental
maupun pelevehan seksual. Ironisnya pelaku kekerasan terhadap anak biasanya orang yang
memiliki hubungan dekat dengan si anak, seperti keluarga, guru maupun teman
sepermainannya sendiri. Tentunya ini memicu trauma pada si anak. kondisi ini sangat
memprihatinkan, namun bukan berarti tidak ada penyelesaiannya, perlu koordinasi yang tepat
dilingkungan sekitar anak terutama pada lingkungan keluarga untuk mendidik anak tanpa
memnggunakan kekerasan, menyeleksi tayangan televisi meupun memberikan perlindungan
serta kasih sayang agar anak tersebut tidak menjadi anak yang suka melakukan kekerasan
nantinya.

Maka peran dari perlindungan anak harus ada dan diterapkan di Indonesia agar
ekploitasi anak anak dapat berkurang dan cegah dalam pasal 3 Undang-Undang Nomor 23
tahun 2002 tujuan perlindungan anak disebutkan untuk menjamin terpenuhinya hak hak anak
agar hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan deskriminasi,
demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berkahlak mulia dan sejahtera.
Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh anak
disebabkan oleh berbagai faktor antara lain dampak negatif dari perkembangan pembangunan
yang cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi serta perubahan gaya dan cara hidup sebagai orang tua. Hal tersebut telah
membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat dan sangat
berpengaruh terhadap nilai serta perilaku anak, Anak yang kurang atau tidak memperoleh
kasih sayang, asuhan dan bimbingan serta pembinaan dalam pengembangan sikap perilaku
penyesuaian diri, serta pengawasan dari orang tua, wali atau orang tua asuh akan mudah
terseret dalam arus pergaulan masyarakat dan lingkungannya yang kurang sehat dan
merugikan perkembangan pribadinya (Supramono, 2000:158).

Secara teoritis kekerasan terhadap anak dapat didefinisikan seperti perlakuan fisi,
mental ataupun sesksual yang umumnya dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai
tanggung jawab terhadap kesejahteraan anak yang mana itu semua diindikasikan dengan
kerugian dan ancaman terhadap Kesehatan dan kesejahteraan anak. Namun demekian
kesejahteraan sebetulnya tidak hanya berupa pemukulan atau penyerangan fisik akan tetapi
bisa juga berypa bentuk ekspolitasi melalui pornografi, dan penyerangan seksual (sexsual
assault), pemberian makanan yang tidak layak (malnutrition), pengabaian Pendidikan dan
Kesehatan (educational and medical neglet) dan kekerasan yang berkaitan dengan medis
(medical abuse).4

Berbicara mengenai anak adalah hal yang sangat penting karena anak merupakan
potensi nasib suatu generasi atau bangsa di masa mendatang. Anak merupakan cerminan
sikap hidup bangsa dan penentu perkembangan bangsa tersebut.3 Untuk menanggulangi
kejahatan diperlukan suatu usaha yang rasional dari masyarakat, yaitu dengan cara politik
kriminal. Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakekatnya merupakan
bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence). Oleh karena itu dapat
dikatakan, bahwa tujuan utama dari politik criminal adalah “perlindungan masyarakat untuk
mencapai kesejahteraan masyarakat”.5

Menurut hukum positif, maka pihak korban dapat menuntut kerugian atau ganti rugi
terhadap pihak terpidana. Pengaturan perlindungan korban dalam nukum pidana positif
Indonesia diatur dalam atau secara implisit kentetuan pasal 14 c ayat (1) KUHP telah
memberikan sebuah perlindungan terhadap korban kejahatan. Pasal tersebut berbunyi “pada
perintah yang tersebut dalam pasal 14a kecuali dalam hal dijatuhkan pidana denda, maka
Bersama sama dengan syarat umum bahwa orang dipidana tak akan melakukan tindak
pidana, hakim bolej mengadakan syarat khusus bahwa orang yang

dipidana itu akan mengganti kerugian yang terjadi karena tindak pidana itu. Semuanya
atau sebagainya saja, dan yang akan ditentukan pada perintah itu juga, yang kurang dari
masa percobaan itu”.6 kekerasan terhadap anak merupakan masalah pelanggaran hak asasi
manusia (HAM) yang menjadi perhatian sangat serius untuk pemerintah dan seluruh lapisan
masyarakat. Hal ini disebabkan oleh persoalan kekerasan terhadap anak masih terus terjadi
dan belum dapat diatasi, meskipun berbagai macam paying hukum telah dibentuk dan
diterbitkan di negeri ini dengan tujuan untuk melindungi anak anak dari segala bentuk
kekerasan, tetapi pada faktanya kekerasan terhadap anak masih sering terjadi dan cenderung
meningkat. Fenomena ini menunjukan bahwa paying hukum yang ada belum
tersosialisasikan dan belum mencapai keseluruhan dalam pengaplikasianya terhadap
masyarakat khusus di Indonesia.

4 Bagong Suyanto dan Sri Sanituti, 2002, krisis dan child abuse, Surabaya, Airlangga University, hlm 114
5 Wagiati Sutedjo, 2010, hukum pidana anak, bandung, refika Aditama, hlm 5
6 Lilik Mulyadi, kapita selekta hukum kriminolohi dan viktimologi, Jakarta, Djambatan, 2004, hlm 135-144
Ada kelompok masyarakat tertentu yang memandang kekerasan yang terjadi di dalam
rumah tangganya (khusunya terhadap anak) tidak termasuk dalam tindak kekerasan yang
perlu diberi sanksi hukum karena pelaku dan korban terikat dalam lingkup keluarga.
Disebabkan hal tersebut, persoalan ini sering dianggap sebagai persoalan keluarga/privacy
yang tidak dapat dicampuri pihak luar.Namun, disisi lain persoalan kekerasan termasuk
dalam masalah pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dapat menyengsarakan korban, maka
persoalan ini patut dianggap pelanggaran yang harus mendapat sanksi hukum dan dapat
diancam hukuman pidana.

1. BENTUK KEKERASAN TERHADAP ANAK

Kekerasan terhadap anak tidak hanya meliputi kekerasan fisik ataupun psikis (emosional),
tetapi juga mencakup kekerasan seksual, kekerasan sosial, bahkan kekerasan yang
diakibatkan oleh tradisi atau adat. Menurut Haidar Nasir (1997:58) bentuk kekerasan
apapun bentuknya mulai dati penelantaran, ekspoilitasi, deskriminasi, sampai pada
perlakuan yang tidak manusiawi akan selalu terekam dalam alam bawah sadar mereka
hingga beranjak dewasa bahkan sepenjang hidupnya akan selalu mengingat segala Tindakan
yang menyerang fisik ataupun psikhisnya, tindak Tindakan tersebut dapat dikategorikan
sebagai child abuse atau perlakuan kejam terhadap anak anak. Child abuse terbagi menjadi
4(empat) macam yaitu7:

1. Kekerasan fisik (physical abuse) adalah kekerasan berupa penyiksaan, pemukulan,


dan penganiayaan terhadap anak dengan atau tanpa menggunakan benda benda
tertentu yang dapat menimbulkan luka luka fisik atau kematian pada anak. Bentuk
luka dapat berupa lecet atau memar akibat persentuhan atau kekerasan benda tumpul,
seperti cubitan. Ikat pinggang, rotan, kayu dan lain lain. Lokasi luka biasanya
ditemukan pada daerah paha, lengan, mulut, pipi, dada, perut, punggung atau daerah
bokong.
2. Kekerasan psikis (mental abuse) adalah kekerasan yang meliputi penghardikan,
penyampaian kata kata kasar dan kotor, memperlihatkan buku, gambar dan film
pornografi pada anak.
Nugroho memakai istilah yang dikemukan moore untuk kekerasan psikis sebagai kekerasan

emosional. Lawson memisahkan kekerasan emosional dengan kekerqasan verbal


(verbal abuse), kekerasan verbal menurut pandangan Lawson adalah kekerasan
dengan menggunakan verbal seperti: bodoh, cerewet, kurang ajar, menyebalkan

7 Terry E.Lawson, dalam Lyle E. Bourne JR, 2001, hlm 115


sedangkan kekerasan emosional (emosional abuse) menurut Lawson yaitu Emotional
abuse, yaitu terjadi Ketika orang tua mengetahui anaknya membutuhkan perhatian
mereka justru mengabaikannya seperti seorang ibu membiarkan anak basah atau lapar
karena si ubu terlalu sibuk atau tidak ingin diganggu. Kekerasan emosional
merupakan Tindakan orang tua yang secara khusus menganggu pertumbuhan jiwa
anak.
3. Kekerasan seksual (sexual abuse) berupa perlakuan prakontak seksual antara anak
dengan orang yang lebih besar seperti melalui: kata kata, sentuhan, gambar sexial,
exhibitionism.
Maupun perlakuan kontak seksual secara langsung antara anak dengan orang dewasa
(incest. Perkosaan, eksploitasi seksual).
4. Kekerasan sosial (social abuse) Kekerasan Sosial (social abuse) mencakup eksploitasi
anak dan penelantaran anak. Eksploitasi anak merupakan perlakuan sewenangwenang
terhadap anak yang dilakukan oleh keluarga ataupun masyarakat. Menurut Karyanto,
eksploitasi tampil dalam dua bentuk yaitu diantaranya: pertama Tindakan
penghisapan atas potensi dan hasil dari pertukaran dalam satu relasi sosial. Kedua
Tindakan pemanfaatan. Penghisapan seperti orang tua sering memposisilan anak
sebagai asset ekonomi keluarga, seperti disuruh bekerja, membersihkan kerang,
dipaksa bekerja menjadi pemulung, dipaksa mengamen dipaksa menjadi pembantu
rumah tangga, dipaksa mengemis, dan bahkan dipaksa menipu dengan gaya. 8 Adapun
tindakan pemanfaatan dapat disaksikan dari eksploitasi yang dapat dijumpai di tengah
keluarga yang kaya atau mapan. Dalam hal ini, eksploitasi tidak bertujuan ekonomis,
tetapi lebih pada prestise, gengsi, status keluarga atau orangtua. Anak dimanfaatkan
sebagai obyek milik, boneka cantik yang bisa didandani menurut keinginan orangtua.
Sedangkan penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orangtua yang tidak
memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuhkembang anak, seperti anak
dikucilkan, tidak diberikan pendidikan, dan perawatan kesehatan yang layak.

Galtung dalam Annual Lobby Draft Position Paper-YPHA membagi tipologi/bentuk


kekerasan menjadi tiga, yaitu: kekerasan langsung, kekerasan kultural, dan kekerasan
struktural. Kekerasan langsung adalah sebuah peristiwa (event). Kekerasan struktural
adalah sebuah proses, sedangkan kekerasan kultural adalah sesuatu yang bersifat permanen.

8 Ibe Karyanto, “korban kekerasan sistematik”. Dalam Suranto (Ed), jurnalisme anak pinggiran Jakarta
(jakarta:pokja anak pinngiran,1992), hlm 22
Kekerasan kultural merupakan strata yang paling dasar dan merupakan sumber inspirasi
bagi kekerasan struktural dan

kekerasan langsung. Strata berikutnya adalah kekerasan struktural, berupa ritme-ritme


kekerasan yang melokal dan merupakan pola-pola dari kekerasan kultural. Puncaknya,
kekerasan yang tampak oleh mata berupa kekerasan langsung yang dilakukan oleh manusia
terhadap yang lain. Kekerasan langsung mewujud dalam perilaku, misalnya pembunuhan,
pemukulan, intimidasi, dan penyiksaan. Kekerasan langsung dapat dilihat pada
penganiayaan atau pemukulan pada anak-anak oleh orang dewasa ataupun oleh anak anak
itu sendiri.

Kekerasan struktur atau kekerasan yang melembaga terwujud dalam konteks, sistem, dan
struktur, misalnya diskriminasi dalam pendidikan, pekerjaan, dan pelayanan kesehatan.
Contoh kekerasan struktur dapat dilihat pada kekerasan yang dilakukan oleh petugas
ketentraman dan ketertiban (trantib) dan satuan polisi pamong praja (satpol PP) berupa
pemukulan, penindasan, dan lain-lain dalam setiap razia “street cleansing” terhadap anak-
anak jalanan dengan alasan penegakan ketertiban umum. Lebih dari itu, kekerasan kultural
terwujud dalam sikap, perasaan, nilainilai yang dianut dalam masyarakat, misalnya
kebencian, ketakutan, rasisme, seksisme, dan ketidaktoleranan.

Bentuk kekerasan pada anak sebagaimana dalam pembahasan di atas, menjelaskan bahwa
bentuk kekerasan pada anak berupa kekerasan emosi, kekerasan dengan kata-kata,
kekerasan pada tubuh anak, dan kekerasan seksual. Kekerasan emosi yaitu penolakan dari
orang-orang yang dekat secara emosional dengan anak untuk memberikan perhatian, cinta,
dan kasih sayang pada anak, sehingga membuat perasaan anak tidak bahagia, sedih,
tertekan, dendam, benci, dan tidak suka pada orang tersebut. Kekerasan verbal atau
kekerasan dengan kata-kata yaitu seseorang yang mempunyai hubungan dekat dengan anak
mengeluarkan katakata kasar atau kata yang tidak disenangi, menyakitkan, atau kata-kata
yang mengecewakan perasaan anak, sehingga anak kecewa dan sedih serta mencurahkan
kesedihannya dengan tangisan, atau kemarahan dan dendam di hatinya.

B. Kesimpulan

kekerasan terhadap anak dan juga aturan pidananya baik yang secara langsung disebutkan
objeknya adalah anak, maupun secara tidak langsung. Dalam Pasal 13 ayat (1) UU
Perlindungan Anak dinyatakan bahwa setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua,
wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat
perlindungan dari perlakuan: diskriminasi, ekploitas, penelantaran, kekejaman, kekerasan
dan penganiayaan, ketidak adilan, perlakuan salah lainnya. Namun masih saja dalam bentuk
perlindungan yang diharapkan belum diberikan secara maksimal karena kurang faktor
penyuluhan kepada masyarakat dan kurang nya edukasi dan sosialisasi dari KPAI dan LPA
(Lembaga perlindungan anak dan pemerintah dalam pengaplikasian sebuah aturan yang
telah dibentuk sehingga masyarat kurang dan belum sepenuhnya memahami dasar aturan
yanbg telah dibentuk.

Pasal 1 Undang-undang perlindungan anak memberika pengertian tentang perlindungan


anak yaitu segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak haknya agar dapat
hidup, tumbuh dan berkembang dan berpartisipasi secara optimal dari kekerasan dan
deskriminasi.

Perlindungan khusus bagi anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan anak, anak
korban kekerasan, anak korban perlakuan salah dan penelantaran, dilakukan melalui
berbagai upaya seperti sosialisasi peraturan perundang-undangan, pengawasan,
perlindungan, pencegahan, perawatan dan rehabilitasi, baik dilakukan oleh pemerintah
maupun oleh masyarakat.

Lalu perbuatan cabul pada anak anak diatur dalam pasal 287, 288, 289,290 dan 291 sanksi
hukum terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak yang masih dibawah umur telah
atur sendiri dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan Undang-
undang perlindungan anak Nomor 23 tahun 2002 pasal 81 ayat 1,2 dan 3. Pelecehan seksual
terhadap anak tidak hanya diatur dalam KUHP saja melainkan juga diatur dalam peraturan
yang lebih khusus yaitu diatur dalam Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang
perlindungan anak pada pasal 81 dan 82 yang menyebutkan bahwa “hukuman bagi pelaku
kejahatan seksual terhadap anak minimal 5 tahun penjara dan maksimal 15 tahun penjara.
Sedangkan dalam KUHP pasal 287 dan 292 menyebutkan bahwa masa hukum terhadap
pelaku pencabulan terhadap anak maksimal 9 tahun penjara (pasal 287) dan dalam pasal
292 maksimal 5 tahun dan dalam hal ini menunjukan bahwa Undang-undang perlindungan
anak sebagai lex specialis dan lebih memberikan ancaman yang lebih besar bagi para
pelaku kekerasan seksual terhadap anak dibandingkan dengan KUHP.

Anda mungkin juga menyukai